24

January 1, 2018 | Author: acheh library | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download 24...

Description

Aceh Serambi Mekkah

i

i

Daftar Isi

ACEH SERAMBI MEKKAH

Aceh Serambi Mekkah

iii

ACEH SERAMBI MEKKAH

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) Tsunami Aceh, - Cet. I, Yogyakarta: Multi Solusindo Press ISBN: 979-992419-7 Hak cipta @ ada pada pengarang, terpelihara oleh undang-undang. Copy reights reserved ada pada penerbit buku ini. Diterbitkan Oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Cetakan Pertama November 2008 Layout/Setting Alwahidi Ilyas Desain Cover Tim CV. Citra Kreasi Utama Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata No. 3, Banda Aceh

PEMERINTAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008

iv

Daftar Isi

Aceh Serambi Mekkah

v

vi

Daftar Isi

PENGANTAR KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

Aceh Serambi Mekkah

vii

viii

Daftar Isi

SEKAPUR SIRIH

Aceh telah mengalami pasang surut sejarah keberadaannya dari masa ke masa. Dalam pasang surutnya yang sangat dinamis, Aceh telah mencatat tonggak-tonggak sejarah penting dan meninggalkan warisan budaya yang sangat kaya dan membanggakan. Berangkat dari kenyataan sejarah tersebut, seiring dengan aktivitas menjalankan rode pemerintahan sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari 31 Desember 2005 – 7 Februari 2007, kami tergugah untuk menggagas suatu kodifikasi fakta-fakta sejarah, warisan budaya Aceh, dan dinamika masyarakat Aceh dalam bentuk buku-buku tentang Aceh dari berbagai aspeknya yang meliputi Aceh Serambi Mekkah, Aceh Tanah Rencong, Aceh Bumi Srikandi, Aceh Bumi Iskandar Muda, Aceh Daerah Modal, Budaya Aceh, Aceh Dari Konflik Ke Damai, dan Tsunami Aceh. Pada saat gagasan penulisannya diwujudkan, sebenamya kami berharap buku-buku tersebut dapat segera diselesaikan dan dapat diterbitkan sebelum masa tugas kami sebagai Penjabat Gubernur berakhir. Akan tetapi, kenyataannya untuk mempersiapkan, menulis, mengedit, dan menyempurnakan draf buku-buku tersebut sehingga siap cetak memerlukan waktu agak panjang, bahkan melampaui masa jabatan kami sebagai Penjabat Gubernur sehingga buku-buku tersebut tidak sempat diterbitkan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Dalam pada itu, usaha-usaha penyempurnaan drafnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya buku-buku tentang dinamika sejarah Aceh ini siap diterbitkan. Adalah suatu kenyataan bahwa suatu gagasan berjalan berkesinambungan dari priode ke priode selajutnya, seperti buku-buku ini yang digagas pada priode kami menjabat Gubernur, tetapi selesai dan dapat diterbitkan pada masa Gubernur Irwandi Yusuf. Karna itu, seyogyanyalah kami menyampaikan terima kasih yang tak terbingga kepada Bapak Irwandi Yusuf, Gebernur Nanggroe Aceh Darussalam yang telah menyediakan anggaran dalam APBA 2008 dan berkenan memberi peluang bagi penyempurnaan dan penerbitan buku-buku in. Dari awal gagasan penulisannya kami berharap buku-buku ini dapat menjadi jendela informasi tentang Aceh yang lebih lengkap dan dapat memperkaya bahan pustaka bagi masyarakat pada umumnya.

Aceh Serambi Mekkah

ix

Selanjutnya, kepada semua fihak yang telah berpartisipasi, terutama para penyusun, narasumber, editor, dan para reviewer yang telah bekerja keras sehingga buku-buku ini dapat diterbitkan kami sampaikan pula terima kasih yang setulus-tulusnya. Insya Allah jasa baik saudara-saudara mendatangkan manfaat yang besar bagi Nanggroe Aceh Darussalam dan Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian. Amin.

Banda Aceh, Oktober 2008 PENGGAGAS PENULISAN

DR. IR. MUSTAFA ABUBAKAR, M. Si.

x

Daftar Isi

PENGANTAR EDITOR

Aceh sebagai sebuah kerajaan Islam yang pernah terkenal di wilayah Asia Tenggara pada masa dahulu telah ditabalkan sebagai daerah Serambi Makkah. Penyebutan Serambi Mekkah untuk Aceh bukan merupakan sebuah peristiwa, akan tetapi merupakan sebuah ungkapan apresiasinya masyarakat muslim, — setidak-tidaknya masyarakat muslim Asia Tenggara — terhadap Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam sebagai agama yang suci. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah bahwa masyarakat Aceh telah lama memeluk Islam yaitu sekitar tahun 800 Masehi. Sejak itu mereka telah menjadikan Islam sebagai barometer dalam meniti kehidupan. Apabila persoalan yang timbul dalam perjalanan kehidupan, mereka lebih senang merujuk pada ajaran Islam untuk mencari solusinya. Bahkan dapat dikatakan Islam menjadi rujukan utama bagi masyarakat Aceh dalam menyelesaikan segala permasalahan baik persoalan politik, ekonomi, sosial budaya dan juga sosial keagamaan. Realitas itulah para penganut Islam di kawasan lain memahami bahwa agama Islam memiliki akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dari pengalaman sejarah itulah kemudian Islam telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Setiap sisi kehidupan Aceh identik dengan Islam. Adat, budaya sampai ke kehidupan sehari-hari tidak jauh dari pengaruh Islam. Sejak mulai diperkenalkan di Aceh melalui pedagang-pedagang yang kadang-kadang sekaligus sebagai ulama, baik dari Arab langsung atau wilayah lain seperti India, Islam telah memberi pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat Aceh. Sifat masyarakat Aceh yang rentan akan pengaruh dan perubahan budaya menjadikan masyarakat Aceh lebih terbuka terhadap pengaruh budaya luar sehingga terjadi penggabungan antara budaya lokal dan non lokal, dan ketika Islam masuk ke Aceh dengan budaya yang lebih modern, dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh, sehingga sampai sekarangpun dapat kita lihat dari adat dan budaya masyarakat Aceh sangat kental warna Islamnya. Aceh, dahulunya adalah sebuah kerajaan, bahkan termasuk salah satu kerajaan besar di dunia. Karena letakknya yang strategis dan selalu dilewati dan disinggahi oleh pedagang-pedagang asing, telah menjadikan kerajaan Aceh termasuk kerajaan yang makmur di masa itu. Karena kemakmurannya, banyak negara-negara atau kerajaan-kerajaan yang ingin menjajah Aceh, termasuk beberapa Negara Eropa. Negara-negara Eropa ini selain ingin menguasai perekonomian (Gold) kerajaan Aceh, mereka juga ingin menguasai kerajaan Aceh melalui agama (God). Tetapi

Aceh Serambi Mekkah

xi

karena Islam telah mendarah daging dalam diri masyarakat Aceh, mengakibatkan usaha bangsabangsa Eropa menaklukkan bangsa Aceh menjadi sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Dalam sejarah dikatakan bahwa bangsa Aceh tidak pernah mau tunduk kepada penjajah, mereka terus berjuang mempertahankan kerajaan dan agamanya. Semangat jihad Fisabillillah dikobarkan dalam semangat juang bangsa Aceh. Syahid telah menjadi tujuan para pejuang Aceh, sehingga tak seorangpun mau menyerah kalah pada penjajah. Di kala pemimpin negara tidak mampu melanjutkan perang untuk melawan penjajah, ulama tampil menjadi pemimpin masyarakat Aceh, baik dalam berjuang bersama di medan perang maupun dalam membimbing mereka dalam beribadah. Ulama adalah sosok penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik dari segi kenegaraan maupun agama dan kehidupan sehari-hari. Di masa kerajaan Aceh, ulama merupakan tokoh sentral yang memegang peranan penting. Ulama sebagai penasehat kerajaan dan ilmuwan yang berperan dalam memajukan kerajaan dan masyarakat Aceh. Pada masa itu ada beberapa ulama besar yang juga memiliki karya besar yang patut membuat kita bangga karena karyanya, seperti syekh Hamzah Fansuri yang memiliki karya-karya besar yang mengagumkan banyak orang, Syekh Syams al-Din Al-Sumatrani yang sempat menjadi mufti pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda, Syekh Nuruddin Ar-Raniry pernah diangkat menjadi mufti pada masa kerajaan Sultan Iskandar Tsani, dan Syekh Abdul Rauf Al-Singkili sempat menjadi mufti pada masa kerajaan empat orang sulthanah. Selain berperan dari sisi politik dan agama, ulama juga bereran penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan masyarakat Aceh. Karya-karya para ulama ini tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat Aceh saja tetapi juga memberi pengaruh bagi masyarakat nusantara khususnya dan Asia tenggara umumnya. Karya-karya mereka mencakup berbagai bidang studi termasuk tauhid, akhlak, tafsir, sejarah, sastra, tasawuf, astronomi, pertanian dan kedokteran. Selain ulama, ada juga tokoh lain yang berperan dalam dunia politik masyarakat Aceh yaitu Uleebalang. Uleebalang merupakan pemimpin adat yang membantu sultan dalam pemerintahan kerajaan Aceh. Sebelum masa penjajahan Belanda ulama dan uleebalang bekerjasama dalam memajukan kerajaan Aceh. Mereka saling membantu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, saling melengkapi dalam mengayomi masyarakat. Hanya saja politik penjajahan Belanda membuat dua peran penting ini saling menjauh dan bertentangan. Beberapa uleebalang mendukung Belanda dalam usahanya menaklukkan Aceh, sehingga menimbulkan reaksi yang sangat keras dari para ulama. Tetapi semangat juang bangsa Aceh tetap tidak kendur, demi mempertahankan agama dan kerajaannnya, pejuang Aceh tetap tak gentar dalam menghadapi penjajah. Pada masa setelah kemerdekaan, di Aceh masih muncul pemeberontakan-pemberontakan. Jika diteliti secara mendalam ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan terhadap janji-janji pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Penyelesaian pemberontakan itu berlarut-larut. Kendatipun pada tahun 1957 telah pernah dibuat perjajian damai dengan janji memberikan hak istimewa kepada Aceh, pada kenyataannya hal itu tidak pernah direalisasikan. Hal itulah kemudian pembangkangan terhadap pemerintah pusat berlanjut lagi. Pada tahun 2000 ketika dimulai masa reformasi pemerintah pusat mulai merubah kebijakan dengan memberi kesempatan Aceh menerapkan syariat Islam. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu cara

xii

Daftar Isi

mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Aceh, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia masa itu berunding untuk mencari jalan terbaik agar bangsa Aceh tidak selalu berada dalam penderitaan. Suatu takdir dari Allah untuk Aceh datang tahun 2004, tepatnya 26 desember 2004, yaitu bencana alam gempa bumi yang berskala tinggi yang menyebabkan gelombang Tsunami melanda Aceh. Pada dasarnya masyarakat Aceh begitu menderita. Banyak yang menyangka pasti banyak orang yang jatuh gila di Aceh. Tetapi Al-hamdulillah kenyataannya tidak terjadi. Mungkin juga ada tetapi hampir tidak dapat terdeteksi. Pada saat yang sama juga terjadi tsunami di wilayah negara lain seperti Srilangka, Thailand dan India. Menurut sejumlah peneliti begitu banyak orang-orang di India yang bunuh diri, atau setidak-tidaknya jatuh gila. Tetapi itu tidak terjadi di Aceh. Ini karena masyarakat Aceh mampu menerima kenyataan ini sebagai pemberian dari Allah, mungkin sebagai peringatan terhadap umatnya yang lalai, dan boleh jadi sebagai ujian terhadap orang-orang beriman. Karena kekuatan tauhidlah masyarakat Aceh tidak mengambil tindakan-tindakan yang fatal seperti yang terjadi di tempat lain. Islam bisa dikatakan the way of life-nya masyarakat Aceh. Semangat masyarakat Aceh dalam mempertahankan dan mengembangkan agama Islam sangat tinggi sekali, karena Islam telah menjadi rujukan dalam kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai segi kehidupan. Setiap suatu permasalahan, bangsa Aceh menjadikan Islam sebagai solusi dari permasalahan. Seperti terlihat sejak awal masyarakat Aceh mendirikan kerajaan Islam, mendakwahkannya. Kemudian ketika ada unsur yang mengganggu seperti usaha para penjajah, mereka usir dengan kekuatan iman. Demikian juga ketika pemerintahnya sendiri tidak memberi kesempatan untuk merealisasikan syariat, mereka membangkang. Terakhir ketika musibah yang begitu besar melanda daerahnya mereka tetap menerima dengan penuh keimanan.

Banda Aceh 15 Nopember 2008

Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA

Aceh Serambi Mekkah

xiii

xiv

Daftar Isi

DAFTAR ISI Sambuvan Gubernur Proxinsi Nanggroe Aceh Darussalam Penganvar Kerala Dinas Kebudayaan dan Pariyisava Proxinsi Nangroe Aceh Darussalam Sekarur Sirih Penganvar Edivor Dafvar Isi

v vii iz zi zv

BAB SATU

KEDATANGAN ISLAM KE ACEH Aceh Pra Islam Ragam Teori Penyebaran Islam ke Aceh 1. Teori Asal Usul Islam ke Aceh 1.1. Teori Arab 1.2. Teori India 1.3. Teori yang Lain 2. Kecenderungan Islamisasi di Aceh 3. Teori Subyek Pembawa Islam 3.1. Pedagang 3.2. Ulama 1 Sufi 4. Teori Kompetisi Islamisasi < Konversi dan Internalisasi 1. Peralihan Keyakinan Hindu dan Budha kepada Islam 2. Jalur-jalur Konversi 2.1. Jalur Perdagangan 2.2. Jalur Perkawinan 2.3 Jalur Kekuasaan

1 1 5 5 5 10 12 12 15 15 17 19 20 20 26 26 28 30

BAB DUA

ACEH< RELASI LOKAL DAN GLOBAL Posisi Strategis Selat Malaka< Perspektif Sejarah Kerajaan-Kerajaan Islam di Sumatera 1. Kerajaan Perlak 2. Kerajaan Samudra Pasai 3. Kerajaan Tamiang 4. Kerajaan Aceh Darussalam Masa Kemegahan Kerajaan Aceh Ratu Safiatuddin Ratu Nakiatuddin Ratu \akiatuddin Inayat Syah Sri Ratu Kamalat Syah Peranan Ulama dalam Masyarakat Aceh< Perspektif Sejarah 1. Periode Kerajaan Islam 2. Perang Aceh- Belanda

33 34 36 36 38 41 41 46 50 56 60 61 64 64 68

Aceh Serambi Mekkah

xv

BAB TIGA

Relasi Aceh Dengan Dunia Internasional 1. Relasi Aceh Dengan Turki Usmani 2 Relasi Aceh Dengan Eina 3. Relasi Aceh dengan Bangsa-Bangsa Eropa 4. Relasi Aceh Dengan Negara-Negara Asia Tenggara

68 70 82 85 94

ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA< SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN DAN PERADILAN MASA KERALAAN ACEH Sistem Hukum Ketatanegaraan Pemerintahan Kerajaan Aceh 1. Dasar, Hukum, Kaedah dan Bentuk Negara Serta Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh

101

2. 3.

Pembagian kekuasaan Negara Struktur Pembagian Wilayah Kerajaan Aceh 3.1. Gampong 3.2. Mukim 3.3. Nanggroe 3.4. Sagoe 3.5 Kerajaan 4. Peraturan Perundang-undangan Kerajaan Aceh 4.1. Adat Meukuta Alam 4.2. Hukum Ahwal Asy-Syakhsyiyah (Hukum Keluarga) 4.3. Sarakata Paduka Sri Sultan Syamsul Alam 4.4. Sarakata Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah 4.5. Kanun Syariah Kerajaan Aceh Sistem Peradilan Kerajaan Aceh 1. Kekuasaan Kehakiman 2. Peradilan 3. Hukum Pidana Islam (Jinayah) BAB EMPAT ISLAMISASI SERAMBI MEKAH< DARI SINI BERSEMI Akseptabilitas Masyarakat Aceh atas Islam 1 Karakter Masyarakat Aceh 2 Metode yang Dibangun Pengukuhan Identitas Islam 1 Islam Sebagai Identitas Masyarakat Aceh 2 Islam Sebagai Ideologi Masyarakat Aceh Aceh Sebagai Sentral Pendidikan di Nusantara 1 Sejarah Pendidikan di Aceh 2 Mistisme Ketahyulan dan Antagonisnya 3 Sekolah dan Perikehidupan Siswa 4 Eabang Pengetahuan 5 Seni 6 Tokoh Ulama dan Sarjana di Kerajaan Aceh Darussalam 6.1 Syekh Hamzah Fansuri 6.2 Syekh Syamsuddin as-Sumatrani

xvi

102 102 106 110 111 115 119 120 121 124 125 135 136 139 139 155 155 157 165 169 169 169 171 175 176 177 178 188 200 202 206 208 209 209 228

Daftar Isi

7

BAB LIMA

BAB ENAM

6.3 Syekh Nuruddin Ar-Raniry 6.4 Syekh Abdur Rauf 6.5 Syekh Burhanuddin Pengaruh Para Ulama dan Sarjana Pada Pemikiran Islam di Aceh 7.1 Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dan Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Nusantara 7.2 Peranan ar-Raniry Dan Abdur Rauf Terhadap Kepemimpinan Sultanah

ACEH< SUMBER ISLAMISASI NUSANTARA Islam Sebagai Pemersatu Etnik1 Suku Aceh 1 Aceh dan Pemetaan Nusantara 2 Etnis Aceh dan Perkembangannya Islam di Aceh dan Penyebarannya ke Nusantara 1 Rakyat Aceh Bersatu Karena Islam Ulama dan Pengaruhnya Terhadap Nasionalisme Indonesia di Aceh 1 Makna Nasionalisme 2 Nasionalisme dan Pengaruh Ulama 3 Nasionalisme Masyarakat Aceh Ulama dan Perseteruan Politik 1. Ulama dan Uleebalang Sebagai Tokoh Politik Masa Kesultanan Aceh 2. Ulama dan Uleebalang Pada Masa Belanda 3 Ulama dan Uleebalang pada masa Penjajahan Jepang 4 Gesekan Ulama dan Uleebalang dalam Politik Pergulatan Islam dalam Menentukan Arah Kebijakan Masyarakat Indonesia Pengaruh Islam Terhadap Ideologi Negara 1. Islam sebagai Agama Masa Kesultanan Aceh Darussalam 2. Islam dan Pergulatan Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia ISLAM SEBAGAI SUMBER KEKUATAN RAKYAT ACEH Masa Perjuangan Kemerdekaan 1. Sikap Raja, Uleebalang dan Ulama dalam Menghadapi Belanda 2. Sikap Sebagian Penguasa Terhadap Kedaulatan Aceh 3. Perjuangan Kemerdekaan Melalui Perubahan Pendidikan 4. Kedatangan Jepang Ke Aceh 5. Aceh dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 6. Ketidakstabilan Aceh Pasca Proklamasi Aceh Masa Orde Lama 1. Masa Penerapan Syariat Islam 2. Masalah Bentuk Pemerintahan Aceh 3. Perimbangan Ekonomi 4. Pergolakan dan Peredarannya 4.1 Muncul Pergolakan 4.2 Upaya Meredam Permusuhan

Aceh Serambi Mekkah

229 251 256 257 257 262 263 263 263 265 267 272 275 275 276 289 293 293 296 299 301 302 303 303 305 311 311 311 315 316 320 322 324 327 327 330 335 336 336 339

xvii

BAB TULUH

Dafvar Pusvaka Biodava Penulis

xviii

Masa Orde Baru 1 Sikap Politik Orde Baru 2 Masalah Dwi-Fungsi ABRI 3 Persoalan HAM 4 Sistem Ekonomi Kapitalis 5 Persoalan Aceh Pada \aman Orde Baru 5.1 Gerakan Aceh Merdeka 5.2 Masalah Sumber Kekayaan Aceh 5.3 Pemaksaan Berpihak Pada Golkar Aceh di Era Reformasi 1 Aceh Masa Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999) 1.1 Pengakuan Pusat Untuk Diterapkan Syari‚at Islam di Aceh 1.2 Pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) 1.3 Silaturrahmi Dengan Masyarakat 2 Aceh Masa Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-24 Juli 2001) 3 Aceh Masa Pemerintahan Megawati Aceh Pasca Tsunami 1 Kekuatan Sabar 2 Kekuatan Melawan Upaya Pemurtadan 3 Kekuatan Bangkit Kembali 4 Renungan Religius Untuk Tsunami Aceh AWAL DAN PENYEBAB BANJIR 1 Antara Banjir flArim dan Banjir Aceh 2 Kisah Dalam Al-Sur‚an 3 Banjir Aceh 4 Gempa Dan Tsunami Aceh 5 Renungan

343 344 345 346 348 348 348 351 354 355 356

PENABALAN SERAMBI MEKAH Argumentasi Geografis 1 Letak Aceh Pada Lintasan Dagang Dunia 2 Pedagang Arab Islam dan Gerakan Dakwah Argumentasi Sosiokultural 1 Kultur Masyarakat Aceh 2 Adat dalam Kehidupan Masyarakat Aceh Argumentasi Sosio-religius 1 Ulama sebagai Rujukan Kerajaan dan Panutan Masyarakat Aceh 2 Aceh sebagai Sumber Referensi Islam Asia Tenggara 3 Aceh sebagai Pusat Dakwah Asia Tenggara 4 Aceh sebagai Sentral Pendidikan Islam 5 Ulama dan Komitmen Masyarakat Aceh Terhadap Islam 6 Aceh Sebagai Serambi Mekkah dalam Pandangan Tokoh Aceh

389 389 390 390 395 396 401 404 404

357 357 358 359 360 364 365 367 375 377 378 382 382 383 384 385

408 411 412 416 422 429 439

Daftar Isi

BAB SATU KEDATANGAN ISLAM KE ACEH Aceh Pra Islam Aceh1 senantiasa dikonotasikan dengan Islam. Hal ini tidak hanya karena daerah ini merupakan pelopor bagi masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, melainkan juga karena Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Aceh. Menurut Al-Chaidar, pengaruh Islam yang kental pada budaya Aceh mengakibatkan berkembangnya budaya tersebut tidak hanya dalam bentuk adat maupunpun seni, melainkan juga dalam suatu bentuk peradaban yang tinggi dan adiluhung. Peradaban inilah yang memberikan rasa percaya diri pada masyarakat Aceh sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, mulia, dan berbudi-kebangsaan luhur. Pada tataran yang lebih jauh, peradaban seperti ini melahirkan sikap dan perasaan yang halus, berbesar hati dalam berkorban, memiliki budaya malu, dan bersikap adil dalam merespon situasi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.2 Para ilmuwan sosial menggolongkan etnis Aceh ke dalam ras Melayu, namun tidak berarti bahwa masyarakat Aceh memiliki budaya yang homogen. Bahkan, dari segi bentuk fisik pun orang Aceh beragam sesuai dengan asal daerahnya. Kebanyakan orang Aceh memiliki bentuk muka yang mirip dengan orang Arab, Cina, Eropa dan India. Semua ini tidak terlepas dari interaksi sosial dan kontak budaya masyarakat Aceh dengan masyarakat internasional___terutama dengan India, Timur Tengah, dan Cina___sejak berabad-abad yang silam. Pluralitas budaya dan kemultietnikan masyarakat Aceh nyata terlihat dari keberagaman adat-istiadat dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami provinsi ini. Mungkin karena keberagaman dan pengaruh sejarah kedaulatan Aceh di bawah Kerajaan Aceh Darussalam pada abad berikutnya, sebagian orang Aceh menyatakan bahwa Aceh merupakan sebuah bangsa, bukan sebuah suku. Realitanya, dewasa ini di Aceh terdapat beberapa etnik, diantaranya: etnik Aceh, Aneuk Jame, Gayo, Tamiang, Alas, Kluet, Devayan, Sigulai, dan Singkil.

1

Asal mula sebutan Aceh bersumber dari berbagai versi, sebagaimana dideskripsikan oleh H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal. 24-25. 2 Al-Chaidar, dkk., Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hal. 9.

Aceh Serambi Mekkah

1

Sejarawan terkemuka, Taufik Abdullah, menyatakan bahwa untuk memahami dinamika Aceh dan proses pembentukan kesadaran masyarakat serta kecenderungan kulturalnya, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) proses islamisasi; (2) zaman keemasan Sultan Iskandar Muda di abad XVII; (3) perang melawan Belanda 1873-1912; dan (4) revolusi nasional.3 Pada tataran empiris, penelitian dan kajian tentang Islam di Aceh memang telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan akademisi yang dituangkan dalam berbagai buku, artikel, dan laporan tertulis. Akan tetapi, seturut pandangan Taufik Abdullah, pada umumnya setting periode dan objek penelitian berada dalam rentangan diantara sejarah masuk Islam ke Aceh sampai Islam di Aceh dalam era revolusi nasional. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam? Agama apa yang dianut oleh masyarakat Aceh pra Islam? Tidak mudah untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, apalagi secara tepat dan akurat, dalam arti jawaban yang tidak menimbulkan perdebatan terutama di kalangan akademisi dan sejarawan. Hal ini disebabkan oleh minimnya referensi yang membahas masalah Aceh pra Islam. Menurut Zainuddin,4 sebagian besar sejarah Aceh sebelum tahun 400 M tidak diketahui secara jelas. Bahkan, catatan J. Kreemer dalam buku “Atjeh”___sebagaimana dikutip oleh Aboebakar Atjeh___menyebutkan bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih belum diketahui orang. Berdasarkan berita dan catatan perjalanan yang bersumber dari orang-orang Cina, Arab, dan Eropa, yang berkunjung ke Sumatera atau mendengar cerita tentang “Pulau Emas” itu sebelum tahun tersebut, Deskripsi Bumi Serambi Mekkah tempo dulu nama Aceh sama sekali tidak disinggung di dalamnya.5 Kendati demikian, catatan-catatan perjalanan dari para pedagang yang mengarah ke wilayah Sumatera Utara, terutama Aceh, telah dibukukan dalam masa-masa sebelum itu. Hanya saja catatan-catatan tersebut tidak menyebutkan nama Aceh secara eksplisit. Seorang pemikir Mesir, Ptolomaeus___suami Cleopatra yang hidup di Mesir sekitar abad ke-2 SM___telah menggambarkan dan memasukkan Sumatera ke dalam peta yang dipergunakan untuk perdagangan Mesir. Ini disebabkan oleh karena Sumatera merupakan wilayah penghasil kemenyan dan kapur

3

Lihat, Taufik Abdullah, “Pengantar” dalam Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 12. 4 H.M. Zainuddin, Tarich ... hal. 40. 5 Aboebakar Atjeh, “Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal.17.

2

Kedatangan Islam Ke Aceh

barus yang merupakan komoditas dagang yang penting bagi orangorang Mesir sebagai bahan mumifikasi jenazah.6 Menurut Said, catatan Ptolomaeus tersebut menunjukkan bahwa sebelum sampai ke Mesir, komoditas dari Timur disinggahkan di pelabuhan yang terletak antara India dan Cina untuk dikumpulkan. Pelabuhan ini diperkirakan terletak di Sumatera Utara, terutama dengan menunjuk tempat bernama “Argure”, yang diperkirakan Aceh.7 Seturut pandangan Said, maka dapat dikatakan bahwa Aceh pada masa pra Islam telah terlibat dan memainkan peran penting dalam perdagangan internasional, terutama dengan Timur Tengah, Cina, India, dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Dari perspektif antropologi, interaksi yang terbangun antara masyarakat Aceh dengan masyarakat “dunia luar” tersebut___secara sadar atau tidak___turut mempengaruhi formasi sosial dan karakteristik budaya masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan evolusi manusia, perubahan dan perkembangan kebudayaan suatu bangsa sebagai akibat pengaruh dari dunia luar merupakan sebuah keniscayaan. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan berubah sebagai respon terhadap hal-hal yang telah ada sebelumnya, seperti masuknya pengaruh dari luar, atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam kebudayaan. Wilayah sentral tempat berkecamuknya proses perubahan kebudayaan suatu bangsa/masyarakat terletak pada kawasan pintu gerbang perbatasan/pertemuan dengan bangsa/masyarakat daerah lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Di sini cenderung berlaku hukum superior versus inferior. Artinya, budaya yang superior biasanya mempengaruhi budaya inferior.8 Masyarakat Aceh pada masa itu hidup di bawah convergent value, suatu perbauran nilai-nilai lama dengan nilai baru yang diserap dari berbagai sumber. Lebih dari itu, perbauran nilai juga terjadi antara nilai-nilai budaya Aceh dengan nilai budaya masyarakat pendatang dari berbagai penjuru dunia yang berdagang dan singgah di Aceh. Dalam hal ini, tampaknya superioritas budaya dimiliki oleh bangsa pendatang, sehingga budaya masyarakat Aceh-lah yang cenderung dipengaruhi. Pada masa itu, ada kemungkinan budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilai agama Hindu. Menurut Van Langen, pada dasarnya orang Aceh berasal dari bangsa Hindu. Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke pedalaman. Dari

6

Djoko Suryo, dkk., Agama dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hal. 21. Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1961), hal. 25-27. 8 Lihat, Bustami Abubakar, “Kehidupan Sosial Masyarakat Aceh di Perbatasan”, makalah yang disampaikan pada Diskusi Rutin Aceh Institute, (Banda Aceh: 28 April 2006). 7

Aceh Serambi Mekkah

3

Gigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu menuju ke daerah XXII Mukim di Aceh Besar.9 Pendapat ini dibantah oleh C. Snouck Hurgronje dan menyatakan bahwa pendapat seperti itu berasal dari orang-orang yang tidak paham tentang sejarah Aceh.10 Akan tetapi, jika diperhatikan dari intensitas pergaulan, terutama dalam bidang perdagangan antara Aceh dan India pada masa itu, maka dapat dikatakan bahwa agama Hindu merupakan anutan sebagian masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam. Selain Hindu, diperkirakan agama Budha juga menjadi anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain, yang diduga dibawa oleh orang-orang Cina. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat Aceh pra Islam bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, tidak ditemukan catatan sejarah yang menceritakan seberapa besar pengaruh Hindu dan Budha di Aceh pada masa pra Islam. Ketika jalur perdagangan dan ekonomi didominasi oleh para pedagang muslim, maka baik disadari atau tidak, para pendatang muslim inipun telah ikut menyebarkan kebudayaan mereka kepada masyarakat Aceh. Dikarenakan posisi para pedagang muslim ini secara ekonomi dan sosial berada pada strata yang lebih tinggi, maka kebudayaan yang mereka bawa pun menempati posisi superior dibandingkan dengan kebudayaan setempat. Praktis, budaya lokal yang inferior pada gilirannya dipengaruhi oleh budaya baru yang dibawa oleh orang-orang muslim yang bersangkutan. Dalam perkembangannya kemudian, justeru dikarenakan oleh kondisi yang rentan akan pengaruh dan perubahan kebudayaan inilah yang menjadikan masyarakat Aceh bersifat lebih terbuka terhadap orang luar dan jauh dari etnosentrisme syndrom. Sifat terbuka dan jauh dari etnosentrisme syndrom yang dimiliki masyarakat Aceh terefleksi dari kemampuan orang Aceh berinteraksi dan menerima ragam budaya yang datang dari dunia luar, sehingga menghasilkan asimilasi kebudayaan.11 Asimilasi budaya yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Aceh nyata terlihat dari perpaduan peradaban Hindu dan Islam yang hidup di tengah masyarakat.

9 Tuanku Abdul Jalil, “Kerajaan Islam Perlak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 10 Selanjutnya, lihat Aboebakar Atjeh, Tentang Nama ... hal. 20. 11 Untuk tidak mengaburkan pemahaman, perlu kiranya dikemukakan pengertian asimilasi budaya, yaitu proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan dari golongan-golongan manusia tersebut masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur masing-masing berubah wujud menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Perlu juga ditegaskan bahwa asimilasi budaya belum tentu akan terjadi bila di antara kelompok-kelompok yang saling berhadapan itu tidak memiliki suatu sikap toleransi dan simpati antara sesama, kendati mereka telah terlibat dalam pergaulan

4

Kedatangan Islam Ke Aceh

Situasi ini pada gilirannya menghasilkan racikan peradaban Aceh yang unik, yang merupakan serapan dan perpaduan dari ragam kebudayaan bangsa lain yang berinteraksi dengan kebudayaan Aceh. Dalam konteks inilah sebutan ACEH sebagai akronim dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia menemukan nilai kesahihannya.

Ragam Teori Penyebaran Islam Di Aceh 1. Teori Asal-Usul Islam di Aceh Kajian mengenai sejarah masuknya Islam ke Nusantara telah banyak ditulis oleh para peneliti dan akademisi. Akan tetapi, sampai sejauh ini, diskusi mengenai asal-muasal kedatangan Islam ke Nusantara belum menemukan kata akhir yang dapat dijadikan sebuah kesimpulan dan diterima oleh berbagai kalangan, terutama para sejarawan. Menurut catatan Azyumardi Azra, ada tiga permasalahan pokok yang masih diperdebatkan oleh para ahli mengenai kedatangan Islam ke Nusantara, yaitu: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.12 Adapun mengenai tempat pertama di wilayah Nusantara yang didatangi Islam, hampir tidak diperdebatkan lagi. Kebanyakan sejarawan dan penulis sejarah meyakini bahwa wilayah Nusantara pertama yang didatangi Islam adalah Aceh. Terkait dengan tempat asal-usul kedatangan Islam ke Aceh, para sejarawan juga bersilang pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Islam yang datang ke Aceh berasal dari India, sementara ada pula yang berpendapat berasal dari Arab/Persia, dan ada juga dari daerah-daerah yang lain. Untuk memudahkan dalam memahami uraian-uraian berikutnya mengenai asal-usul kedatangan Islam ke Aceh, akan digunakan istilah “teori Arab, teori India, dan teori lainnya”. 1.1. Teori Arab Beberapa sumber menyatakan bahwa ajaran Islam yang datang ke Nusantara (baca: Aceh) dibawa langsung oleh orang-orang dari Arab. Catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti tahun masuknya Islam ke Aceh memang tidak ditemukan, tetapi petunjuk yang ada mengenai hal itu dapat ditelusuri dalam Hikayat Raja-raja Pasai (HRP). HRP (ditulis setelah tahun 1350) menukilkan bahwa ada seorang nakhoda Arab bernama Syaikh Ismail telah berlayar dari Mekah menuju Sumatera dengan membawa serta seorang penyebar agama Islam. Perjalanan ke Sumatera sengaja dilakukan dengan maksud untuk mengislamkan Meurah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malik as-Salih, Raja Pasai pertama. Sebelum tiba di Pasai, rombongan terlebih dulu singgah di Barus, Lamuri, dan Perlak untuk mengislamkan penduduk di sana.13 Selain itu, salah satu historiografi Aceh menyatakan bahwa nenek moyang para sultan Aceh bernama Syaikh Jamal al-Alam, seorang Arab yang diutus oleh Sultan Utsmani untuk mengislamkan masyarakat Aceh. Riwayat lain menyebutkan bahwa Islam dibawa ke Aceh sekitar

antar kelompok secara luas dan intensif. Selanjutnya, lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet. VIII, 1990), hal. 255-256. 12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 2. 13 Mohammad Said, Atjeh Sepanjang … hal. 38.

Aceh Serambi Mekkah

5

tahun 1111 M oleh seorang Arab bernama Abdullah Arif.14 Akan tetapi jauh sebelum itu, para pedagang Arab telah menjalin hubungan perdagangan yang luas dengan bangsa–bangsa di Asia Timur dan Selatan. Sejak abad ke-10 hingga abad ke-15 M, para pedagang Arab menguasai perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur Padahal sebelum itu, yaitu pada masa pra Islam atau sebelum kedatangan bangsa Arab ke Asia, perdagangan di kawasan Asia Tengah, Selatan, dan Tenggara didominasi oleh Cina. Sebelum bangsa Portugis menemukan jalur ke Tanjung Harapan, dan Terusan Suez pun belum dibuka, Cina mengeksport komoditi dagang dari kawasan Asia ke Timur Tengah, terutama Mesir sebagai pasar andalan Eropa. Implikasinya adalah bergesernya monopoli Imperium Islam di Timur Tengah terhadap pasar Eropa. Hal ini diperparah lagi oleh serbuan dan pendudukan Mesir oleh pasukan Kristen Eropa. Situasi demikian mendorong pedagang muslim Timur Tengah melakukan ekspansi ke kawasan Asia. Mereka kemudian menaklukkan India dan menyerang Cina.15 Setelah India berhasil ditaklukkan pada akhir abad ke 7 H, sebuah kerajaan Islampun didirikan di sana. Hubungan dan jalur perdagangan yang telah dibangun India dengan kerajaankerajaan di Nusantara tetap dilanjutkan oleh rezim penakluk demi keberlangsungan ekonomi kerajaan. Hal ini berarti bahwa semenjak India ditaklukkan, Nusantara telah bersentuhan langsung dan berinteraksi dengan Islam.16 Salah satu kerajaan yang terpenting dalam perkembangan Islam di Nusantara adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Orang Arab menyebutnya rami, ramni, sedangkan orang Cina menyebutnya lan-li, lan-wu-li, nan-wu-li dan nan-poli. Orang Aceh menyebutnya lam muri, sementara Marco Polo menyebut lambri.17 Terkait dengan lokasi, pendiri dan masa berdirinya, serta struktur atau sistem pemerintahan yang berlaku di Lamuri, belum ditemukan kesepakatan di antara peminat dan para ahli sejarah. Akan tetapi, sebagian besar mereka berpendapat bahwa Lamuri terletak di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang, hanya saja tidak dapat dipastikan apakah di kawasan Krueng Raya (tepian pantai) ataukah di daerah pedalaman, seperti Lamreh (Tungkop). Boleh jadi kerajaan ini membentang mulai dari kawasan pantai laut sampai ke daerah pedalaman.18 Kendati demikian, secara agak meyakinkan, Zainuddin menyatakan bahwa Lamuri adalah sebuah ibukota kerajaan yang terletak di kawasan Sibreh, Aceh Besar (sekarang). Seperti halnya India, Lamuri didatangi Islam pada awal abad XIII M (tahun 1206 M).19 Sebelum kedatangan Islam, penduduk Lamuri dan beberapa kerajaan lain yang ada di Sumatera beragama Budha. Hubungan perdagangan dan politik dengan Cina terbina dengan baik, terutama pada masa-masa Cina mendominasi jalur perdagangan Asia. Ketika dominasi Cina atas Asia digantikan oleh bangsa Arab, hubungan Cina dan Lamuri pun mengalami kemerosotan. Beberapa kerajaan yang berusaha merebut monopoli perdagangan di Asia 14

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ..., hal. 10. Djoko Suryo, dkk., Agama … hal. 25-26. 16 Ibid, hal. 32. 17 H.M. Zainuddin, Tarich ... hal. 23. 18 Lihat, Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 431-432. 19 H.M. Zainuddin, Tarich … hal. 41 15

6

Kedatangan Islam Ke Aceh

menganggap Lamuri sebagai wilayah strategis yang harus dikuasai dengan harapan mereka dapat menguasai selat Malaka sebagai jalur perdagangan menuju kawasan Asia Tenggara, Timur, dan Selatan. Dari sinilah upaya islamisasi Lamuri dilakukan oleh bangsa Arab yang berasal dari Timur Tengah.20 Kendati demikian, tampaknya Lamuri bukanlah kerajaan pertama di Nusantara yang “disentuh” oleh Islam. Ada kerajaan lain di Aceh yang lebih dahulu didatangi Islam, yaitu Kerajaan Peureulak (Perlak). Menurut catatan Zainuddin, kekuasaan raja-raja Islam di Peureulak telah ada sejak tahun 1075 M, tidak berselang lama dengan kedatangan Islam ke Baktria (Kabul), Afghanistan.21 Sungguhpun demikian, Zainuddin mengakui bahwa riwayat tersebut diperoleh dari sumber yang tidak “sahih”, terputus-purtus, dan acapkali berbeda-beda. Berbeda dengan Zainuddin, M. Yunus Djamil22 mencatat bahwa pada abad VIII M, Bandar Perlak telah menjadi sebuah pelabuhan yang ramai disinggahi kapal dagang dari Arab. Sebagian pedagang ini kawin dengan penduduk setempat, sehingga agama Islam yang mereka anut ikut pula tersebar kepada keluarga, kerabat dan masyarakat setempat. Secara gradual, penduduk muslim kian bertambah sehingga pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Kerajaan Perlak dideklarasikan sebagai kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Nama Bandar Perlakpun diganti menjadi Bandar Khalifah, sebagai salah satu upaya masyarakat setempat untuk menghormati dan mengenang jasa rombongan Nakhoda Khalifah yang telah menyebarkan Islam di sana. Menurut catatan A. Hasjmy,23 Nakhoda Khalifah dan 100 orang angkatan dakwahnya yang terdiri dari orang-orang Arab, Persia, dan India berlabuh di Bandar Perlak pada tahun 173 H dengan menyamar sebagai kapal dagang. Tidak disebutkan secara pasti nama asli nakhoda kapal tersebut. Penyebutan Nakhoda Khalifah kepada pemimpin angkatan dakwah itu ditabalkan oleh Abu Ishak Makarani al-Pasy dalam kitab “Idharul Haq fi Mamlakah Farlak”. Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa berkat hikmah kebijaksanaan Nakhoda Khalifah dan pengikutnya, dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, raja dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Hindu, Budha, dan Pelbegu, secara sukarela memeluk agama Islam. Idharul Haq juga menukilkan bahwa pada tangal 1 Muharram 225 H diproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Perlak dengan rajanya yang pertama Sayyid Abdul Azis, seorang putera blasteran Arab-Perlak. Dia kemudian bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam yang pertama di kawasan Asia Tenggara. Pada hari itu, nama ibukota kerajaan pun dirubah dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Dalam buku yang lain, A. Hasjmy mengemukakan bahwa ayah dari Sayyid Abdul Azis bernama Sayyid Ali, berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Meurah Perlak bernama Syahir Nuwi. Syahir Nuwi sendiri adalah putra dari Pangeran Salman yang telah memeluk agama Islam. A. Hasjmy selanjutnya menganalisis dengan menyimpulkan bahwa jika kedatangan angkatan dakwah pada tahun 173 H, sedangkan 20

Djoko Suryo, dkk., Agama … hal. 42. H.M. Zainuddin, Tarich ... hal. 40. 22 Lihat, Muhammad Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh, (tanpa penerbit), 2005, hal. 5-6. 23 A. Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 146-147. 21

Aceh Serambi Mekkah

7

Pangeran Salman sebagai seorang muslim telah datang ke Perlak 50 tahun sebelumnya, maka diperkirakan agama Islam telah masuk ke Aceh pada awal abad kedua atau akhir abad pertama Hijriah.24 Terlihat jelas bahwa di antara beberapa penulis sejarah Aceh memiliki pandangan yang sama tentang tempat asal kedatangan Islam ke Aceh, namun mereka berbeda pandangan mengenai waktu kedatangannya. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal bab ini bahwa di kalangan sejarawanpun belum ada satu kesepakatan dan kesamaan pendapat mengenai masa kedatangan Islam ke Nusantara. Selain beberapa penulis yang telah disebutkan di atas, terdapat pula para penulis sejarah lain yang memiliki catatan yang tidak sama mengenai masa kedatangan Islam ke Aceh (Nusantara). Sungguhpun demikian, perbedaan pandangan ini mengkristal pada dua periode waktu, yaitu antara abad VII dan XIII. Beberapa sejarawan dan peminat sejarah dari Aceh dan Melayu lebih cenderung kepada abad VII. Kecenderungan ini dirumuskan dalam sebuah seminar mengenai “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. A. Hasjmy mengutip beberapa rumusan penting yang disampaikan oleh para nara sumber dalam seminar tersebut.25 Hamka menyimpulkan bahwa agama Islam telah datang ke Nusantara secara berangsur sejak abad I H/VII M, yang dibawa oleh para saudagar Islam dan dimotori oleh orang-orang Arab, baru kemudian diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Haji Abubakar Aceh menarik kesimpulan sebagai berikut. a. Islam masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh, tidak mungkin dari daerah lain b. Penyiar Islam pertama di Indonesia tidak hanya berasal dari India dan Gujarat, melainkan juga dari Arab Pada akhirnya, seminar tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan, diantaranya: a. Bahwa menurut sumber-sumber yang diketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad I H (abad VII/VIII M) dan langsung dari Arab; b. Bahwa daerah yang pertama didatangi Islam adalah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh. Pada tahun 1978, seminar serupa diselenggarakan di Banda Aceh. Di antara rumusan penting yang dihasilkan adalah: a.Islam telah masuk ke Aceh pada abad I H. b.Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama adalah Perlak, Lamuri, dan Pasai. Selain hasil seminar tersebut, pandangan yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Aceh pada abad VII M juga diajukan oleh beberapa ahli terkemuka. Sasmita mengklasifikasi kelompok ahli yang berpendapat seperti ini, diantaranya: T.W. Arnold, Syed Naguib al-Attas,

24

A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1981), hal. 146. 25 Lihat, A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), hal. 37-38.

8

Kedatangan Islam Ke Aceh

dan Hamka.26 Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata ketiga ilmuwan ini juga meyakini bahwa Islam yang datang ke Aceh dibawa oleh orang-orang Arab. T.W. Arnold berpendapat bahwa penyebaran Islam ke Nusantara dilakukan oleh para pedagang Arab ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad pertama hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 masehi. Kendati tidak ada catatan sejarah mengenai aktivitas pedagang Arab ini dalam penyiaran Islam di Nusantara, Arnold meyakini bahwa para pedagang itu menyiarkan Islam kepada penduduk lokal Nusantara sembari mereka berdagang di kawasan ini. Untuk memperkuat pandangannya, Arnold mengemukakan fakta-fakta yang tersebut dalam sumber-sumber Cina yang menyatakan bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Arnold berkesimpulan bahwa masyarakat pemukiman itulah yang melakukan penyebaran Islam kepada penduduk setempat.27 Sarjana lain yang menyatakan bahwa Islam di Aceh dibawa dari Arab adalah Sir John Crowford. Dia mendasarkan pandangannya atas anutan mazhab Syafi’i___yang lahir di Semenanjung Tanah Arab___oleh masyarakat muslim Melayu (termasuk Aceh).28 Meski begitu, Crowford tidak menampik bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum muslimin yang berasal dari pantai Timur India merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.29 Sumber lain menyebutkan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang Yaman, Hadramaut, dan Oman, yang terletak di bagian selatan dan tenggara Semenanjung Jazirah Arab. Kawasan Yaman telah diislamkan oleh Ali bin Abi Thalib sekitar tahun 630-631 M. Pengislaman Yaman berimplikasi terhadap Asia Tenggara, terutama Nusantara, dikarenakan para pedagang yang telah beragama Islam tersebut kemudian menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar pelabuhan Nusantara. Dengan demikian diyakini bahwa Islam telah masuk ke kawasan Nusantara pada abad ke-7 M. Pada masa itu pula, sebuah perkampungan Islam pun telah dibangun di sekitar Sumatera Utara. Perkampungan itu dikenal dengan nama Ta-Shih. Menurut catatan sejarah Cina, Ta-Shih telah menjalin hubungan dengan Cina sekitar tahun 650 M.30 Harry W. Hazard menyatakan bahwa interaksi antara orang Arab dan Cina telah berlangsung semenjak zaman pra Islam (sebelum tahun 600). Menurut Hazard, kira-kira dalam tahun 650 M. Maharaja Kao Tsung dari Dinasti T’ang melaporkan bahwa sebuah kekuatan militer baru yang telah mengontrol perjalanan perdagangan, telah mengirimkan suatu perutusan ke Madinah dan perutusan balasan dari Sayyidina Usman dalam tahun 713 dan 726. Satu golongan yang pro Sayyidina Ali yaitu para pengungsi dari Kerajaan Umayyah, telah bermukim di Cina sebelum tahun 750. 26 Uka Tjandra Sasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: AlMa’rif, 1993), hal. 358. 27 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ... hal. 6. 28 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh, Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 180. 29 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ... hal. 7. 30 Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah Islam, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd, tt), hal. 559.

Aceh Serambi Mekkah

9

Menurut Hazard, berdasarkan laporan dari Maharaja Kao Tsung, satu-satunya jalur pelayaran yang dapat dilalui dari Cina ke Madinah adalah melalui Selat Malaka. Besar kemungkinan dalam pelayaran itu bangsa Arab telah memetakan negeri-negeri yang dilalui sepanjang Selat Malaka, mengingat dalam tahun 700 bangsa Arab telah memiliki para ahli ilmu bumi dan sejarah. Bangsa Arab ini juga mengamati pengaruh Hindu di daerah sepanjang Selat Malaka, mulai dari Aceh Utara, Pidie hingga Aceh Besar.31 Di antara para ahli tersebut, menurut catatan Azra, yang sangat gigih menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab adalah Naguib Al-Attas. Menurutnya, karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia merupakan bukti yang paling penting yang harus dikaji bilamana hendak membahas topik kedatangan Islam ke Nusantara. Oleh karena itu, teori umum tentang islamisasi nusantara harus didasarkan terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia melayu. Sebelum abad XVII tidak ditemukan satupun literatur keagamaan Islam yang dikarang oleh muslim India atau berasal dari India, melainkan dari Arab. Nama dan gelar para pembawa Islam ke Nusantara pun menunjukkan mereka berasal dari Arab. Karena itu, Al-Attas menyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab.32 1.2. Teori India Teori yang menyatakan asal-muasal Islam di Nusantara dari India pada umumnya dianut oleh para sarjana Belanda. Adalah Pijnappel yang pertama kali mencoba mengaitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, Islam ke Nusantara dibawa oleh para penganut mazhab Syafi’i yang bermigrasi dan kemudian menetap di India.33 Pandangan Pijnappel sebangun dengan pendapat Hurgronje, yang menyatakan bahwa ketika kekuasaan Islam berkibar di India, kaum muslim India mulai datang dan menyebarkan ajaran Islam ke Nusantara, barulah kemudian diikuti oleh orang-orang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW yang bergelar sayyid atau syarif. Hurgronje mengatakan: “...Setelah sebahagian bangsa India memeluk agama Islam, maka orang-orang Islam dari India turut mengambil bahagian lalulintas dan emigrasi di Nusantara, dan mereka itulah yang memasukkan Islam ke wilayah Nusantara.”34 Kendati begitu, Hurgronje tidak dapat menunjukkan secara tepat wilayah di India sebagai tempat asal kedatangan Islam ke Nusantara. Dalam pidato penganugerahan jabatan guru besar di Universitas Leiden, tanggal 23 Januari 1907, Prof. Hurgronje menyatakan: “Dalam buku sejarah tidak didapatkan bukti bahwa orang Arab memiliki pengetahuan tentang Indonesia berdasarkan penglihatan mereka sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari Arabia sampai di Indonesia melalui India.” Pandangan Hurgronje dan kemudian diikuti oleh para pengarang orientalis, didasarkan atas alasan berikut.35 a. Ada jalur perdagangan dan pelayaran orang India dengan Indonesia sejak 31

Tuanku Abdul Jalil, Kerajaan Islam …hal. 269-270. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ... hal. 8-9. 33 Ibid, hal. 2 34 C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhratara, 1973), hal. 17. 35 Lihat, Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), hal. xxiv. 32

10

Kedatangan Islam Ke Aceh

b. Zaman pra Islam (Hindu); c. Adanya keraguan akan kemampuan orang Arab berlayar ke Indonesia secara langsung, sebab menurut mereka orang Arab tidak terkenal sebagai pelaut tangguh dan pemberani dalam mengarungi samudera dengan kapal layar; d. Nama-nama ulama pembawa Islam memakai gelar maulana, khan, dan syah yang merupakan gelar yang lazim dipakai di India dan Persia; e. Batu marmer dari makam raja-raja dan pembawa Islam seperti Maulana Malik Ibrahim, jika dilihat pada retakannya tampak bekas tembok kuil Hindu dan bentuk ukirannya adalah bentuk ukiran dari India. Pendapat Hurgronje mendapat justifikasi dari sarjana Belanda yang lain, diantaranya D.G.E. Hall, J. Gonda, Marrison, R.O. Winstedt, Bousquet, Vlekke, J.P. Mouquette, dan B. Harrison. Menurut Harrison, Asia Tenggara memperoleh inspirasi budayanya bukan dari Persia atau tanah Arab, melainkan dari India. Kedatangan Islam ke kawasan kepulauan dan Semenanjung Tanah Melayu dibawa dari India yang secara intensif telah terlibat dalam perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara. Pada abad ke-13, Islam telah menapaki kawasan barat laut dan timur laut India di bawah pemerintahan Sultan Turki di Delhi. Sejak itu, Islam mulai merambah Nusantara terutama dibawa oleh para pedagang Gujarat.36 J.P. Moquette menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Pendapat ini didasarkan atas kesamaan bentuk batu nisan Sultan Malik as-Salih di Samudera Pasai dengan bentuk batu nisan di Gujarat. Ini berarti bahwa batu-batu nisan dari Gujarat dibawa oleh para pedagang ke Nusantara. Momentum itu tidak hanya digunakan untuk berdagang, tetapi juga untuk menyebarkan ajaran Islam.37 Tak hanya Moquette yang berargumentasi seperti di atas. Secara umum, pendukung teori India yang lain pun mendasarkan pandangan mereka atas beberapa alasan berikut. a. Batu-batu nisan awal yang dijumpai di Asia Tenggara diimport dari Kambay di Gujarat. b. Pedagang-pedagang Gujarat telah memainkan peranan penting di Kepulauan Nusantara dalam kaitannya dengan penyebaran Islam ke kawasan ini c. Tradisi kesusasteraan Melayu yang lebih mirip dengan tradisi India Islam. Selain ketiga aspek di atas, pandangan para orientalis Belanda pendukung teori India juga dilandasi oleh catatan-catatan perjalanan para pengembara yang pernah singah atau melawat ke Nusantara sekitar abad ke-13 dan ke-14 M, diantaranya catatan Marco Polo dan Ibn Batutah. Teori ini diperkuat dengan ditemukan makam Sultan Malik as-Salih, Raja Pasai yang mangkat pada tahun 1297 M dan disebut dalam Hikayat Raja-raja Pasai sebagai raja Islam yang pertama di Kepulauan Melayu. Berdasarkan hal tersebut, mereka meyakini bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M.38

36 37

Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ... hal. 557. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ..hal. 3. Lihat juga, Uka Tjandra Sasmita, Proses Kedatangan

... hal. 359. 38

Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ...hal. 558.

Aceh Serambi Mekkah

11

Adapun dari kalangan muslim yang menyatakan bahwa Islam ke Nusantara dibawa dari Gujarat adalah Abu Ishak Makarani al-Pasy dalam karyanya “Idharul Haq fi Mamlakah Farlak”. Terkait hal ini, A. Hasjmy menulis: “Abu Ishak Al Makarany Pasy, dalam kitabnya Idharul Haq mencatat bahwa dalam tahun 173 H (800 M) berlabuh di Bandar Peureulak sebuah kapal dari teluk Kambey (Gujarat) di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah bersama sejumlah pedagang-pedagang Muslim; dan selanjutnya mereka menetap di Peureulak untuk menjalankan Dakwah Islamiyah.”39 Kendati demikian, berbeda dengan para sarjana Belanda pendukung teori India, Abu Ishak tidak sepakat dengan pandangan yang menyatakan Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13 M, melainkan, menurutnya, pada abad ke-7 atau ke-8 M. 1.3. Teori yang Lain Selain Arab dan India, wilayah lain yang diduga sebagai asal mulai kedatangan Islam ke Aceh adalah Coromandel dan Malabar. Teori ini dikemukakan oleh T.W. Arnold. Arnold mendasarkan pandangannya atas adanya persamaan mazhab fiqih yang dianut oleh kedua masyarakat tersebut. Mayoritas muslim di Aceh menganut mazhab Syafi’i, demikian pula halnya dengan muslim di Coromandel dan Malabar. Persamaan mazhab fiqih ini bukanlah sebuah kebetulan belaka, tetapi disebabkan oleh adanya interaksi sosial antar kedua masyarakat yang berimplikasi pada perubahan unsur-unsur budaya tertentu dari suatu masyarakat. Menurut pengamatan Arnold, Coromandel dan Malabar memainkan peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Para pedagang dari wilayah ini mendatangi dan singgah di pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu untuk melakukan transaksi perdagangan. Akan tetapi, aktivitas mereka tidak berdagang an sich, melainkan juga menyebarkan ajaran Islam. Arnold juga menegaskan bahwa Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal kedatangan Islam di Nusantara, tetapi Islam juga dibawa oleh para pedagang Arab ke kawasan ini. Sarjana lain yang mendukung pendapat Arnold adalah G.E. Marrison. Marrison mengemukakan pandangannya tidak saja dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Coromandel, tetapi sekaligus juga untuk mematahkan pendapat para sarjana lain yang menyatakan Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Marrison menunjukkan fakta bahwa ketika Sultan Malik as-Salih mangkat pada tahun 1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Oleh karena itu, mustahil para padagang Gujarat yang membawa ajaran Islam ke Nusantara. Marrison menyimpulkan bahwa islamisasi Nusantara dilakukan pada akhir abad ke-13 oleh orang-orang dari pantai Coromandel.40 2. Kecenderungan Teori Islamisasi di Aceh Beberapa teori dari para ahli tentang tempat asal dan masa kedatangan Islam ke Nusantara telah dipaparkan, kendati tidak secara mendetil. Sebagai salah satu ciri dari keautentikan karya ilmiah, maka penulis dihadapkan pada pilihan untuk menganalisis teori-teori tersebut yang mengarah pada kecenderungan tempat asal dan masa islamisasi Nusantara. Dikatakan kecenderungan karena

39 40

12

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ...hal. 39. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama ...hal. 5-6.

Kedatangan Islam Ke Aceh

sangat sulit dan bahkan terlalu berani untuk membuat suatu kesimpulan final mengenai hal tersebut, sebab masing-masing teori dan pendapat memiliki argumentasi yang cukup kuat dan responsible. Analisis kecenderungan teori islamisasi Nusantara yang dihadirkan disinipun bukanlah didasari oleh pemikiran penulis semata, melainkan juga disandarkan kepada pendapat dan perdebatan di kalangan para ahli terhadap kekuatan dan kelemahan masing-masing teori. Perdebatan yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan pandangan di antara para ahli mengenai masa kedatangan Islam dan tempat asal kedatangannya ke Nusantara. Berdasarkan eksposisi yang telah dipaparkan di atas, maka secara umum ada dua pandangan yang mengkristal mengenai hal tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 M yang dibawa langsung dari Jazirah Arab, sedangkan pandangan yang lain menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13 M dan dibawa dari India/Gujarat. Adapun pandangan yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara dibawa dari Coromandel dan Malabar tidak begitu dominan diutarakan, kecuali oleh beberapa orang saja. Menyangkut tentang tempat mula kedatangan Islam di Nusantara, jumhur ahli menyatakan di Aceh, sehingga dalam sub bab ini tidak lagi diperbincangkan. Menurut salah seorang sejarawan dari Universitas Indonesia, Uka Tjandra Sasmita, pandangan yang dikemukakan Hurgronje dan para pendukungnya mengenai kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13 dan dibawa dari Gujarat, memiliki banyak kelemahan. Uka menyatakan: “Kelemahan kelompok ahli ini jelas bahwa mereka tidak menyadari adanya jalur pelayaran yang sudah ramai dan bersifat internasional jauh sebelum abad ke 13 M melalui Selat Malaka dan mungkin pula pesisir Barat Sumatera. Keramaian pelayaran melalui perairan tersebut di atas dapat dibuktikan berdasarkan berita-berita baik dari orang Muslim sendiri maupun dari orang Cina. Berita Cina berasal dari abad ke-7 dan berita Jepang berasal dari abad ke-8 serta berita Chaujukua yang berasal dari abad ke-12 sebagaimana telah dikatakan di atas membuktikan tentang ramainya pelayaran serta perdagangan dari negeri Islam di Asia Barat dengan negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.”41

Jika pendapat yang menyatakan kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13 disandarkan atas adanya kesamaan batu nisan Sultan Malik as-Salih dengan batu nisan di Gujarat, sebagaimana diutarakan J.P. Moquette, maka barangkali Moquette khilaf bahwa dia sendiri pernah membaca nisan kubur di Leran (Gresik) dalam huruf Kufi yang memuat nama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang mangkat pada tahun 495 H atau 1102 M. Angka tahun mangkat ini kemudian dikoreksi oleh Ravaisse yang membacanya tahun 475 H atau 1082 M. Terkait dengan hal ini, Uka Tjandra Sasmita memberikan komentarnya: “Terlepas daripada apakah sudah membentuk kerajaan atau tidak, namun harus diakui bahwa pulau Jawa saja pada abad ke-11 sudah kedatangan Islam. Hal ini tentu sejalan dengan keramaian jalur pelayaran seperti telah diberitakan oleh berbagai berita baik dari orang-orang Cina maupun Muslim yang telah diterangkan di atas”.42 41 42

Uka Tjandra Sasmita, Proses Kedatangan ...hal. 358. Ibid, hal. 359.

Aceh Serambi Mekkah

13

Selain nisan-nisan di Jawa, di Barus, Sumatera juga terdapat nisan pada komplek makam Tuan Makhdum, salah satu diantaranya bertuliskan nama Siti Tuhar Amisuri yang mangkat pada tahun 602 H, dan jelas lebih tua daripada nisan/makam Sultan Malik as-Salih. Demikian pula nisan marmar pada makam Al-Malik Maulana Abd. Al-Rahman Taj al-Daulah Quth al-Ma ‘AfialFa-si, yang mangkat pada Rabu, bulan Dhulqaidah tahun 610 H (1214 M). Makam ini terdapat di Blang Me, Samudera Pasai. Berdasarkan alasan-alasan di atas dan temuan situs-situs arkeologi tersebut, Uka Tjandra Sasmita menolak pendapat Hurgronje dan para ahli yang lain yang menyatakan Islam datang ke Nusantara pada abad ke-13. Dia juga menolak pendapat Moquette mengenai tempat asal kedatangan Islam ke Nusantara. Menurutnya, bentuk dan jenis bahan nisan Sultan Malik asSalih sangat berbeda dengan model nisan di Gujarat, seperti yang terdapat pada makam Umar ibn al-Kazaruni.43 Sejarawan Indonesia yang lain, Taufik Abdullah juga meragukan pendapat Hurgronje. Menurutnya, kelemahan teori Hurgronje adalah karena dia meremehkan dan bahkan menolak tradisi-tradisi lokal, seumpama hikayat, babad, dan lain-lain. Hurgronje menutup mata terhadap tradisi lokal tersebut dan dianggap tak lebih dari sekedar cerita-cerita naif. Padahal tradisi lokal itu juga secara implisit mengandung memori-memori historis.44 Di antara sumber lokal yang cukup populer di Aceh adalah Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu. Dalam kedua historiografi tersebut dinukilkan bahwa penyebaran agama Islam pertama kali di Nusantara dilakukan oleh Syaikh Ismail dan langsung dibawa dari Arab. Hanya saja Hikayat Raja-raja Pasai tidak menyebutkan secara pasti waktu kedatangan Syaikh Ismail ke Aceh. Pada abad ke-13, seluruh penduduk di berbagai wilayah Aceh (Pasai) telah beragama Islam. Catatan perjalanan Marco Polo yang tiba di Peureulak tahun 1292 dan Ibnu Batutah yang sampai di Samudera Pasai tahun 1343 menegaskan bahwa seluruh penduduk di wilayah tersebut telah memeluk Islam. Teori Hurgronje juga mendapat kritikan dari sarjana Malaysia, Mahayudin Hj. Yahaya dan Ahmad Jelani Halimi. Menurut mereka, hubungan antara Asia Tenggara dan Arab telah terbangun sejak era pra Islam, sehingga sulit diterima jika Islam baru bersentuhan dengan bangsabangsa Asia Tenggara terutama Aceh pada abad ke-13. Demikian pula argumentasi yang menyatakan Islam berasal dari India atas dasar kesamaan batu nisan di antara kedua wilayah. Menurut mereka, batu nisan merupakan komoditas dagang yang dapat dibawa dan dijual oleh siapa saja, termasuk kalangan non muslim, sehingga hal tersebut tidak bisa menjadi alat justifikasi untuk menyatakan Islam dibawa dari India. Terkait dengan alasan tentang tradisi kesusasteraan Islam di Melayu lebih mirip dengan tradisi Islam India juga tidak dapat diterima sebagai justifikasi kedatangan Islam ke Nusantara dari India. Hal ini dikarenakan tradisi tersebut tidak diterima pada masa-masa permulaan perkembangan Islam ke Nusantara, melainkan jauh setelah itu yaitu setelah Islam bertapak di kawasan ini dan setelah agama ini berkembang secara meluas di India.45 43

Ibid, hal. 360. Lihat, Taufik Abdullah, “Pengantar” dalam C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhratara, 1973), hal. 10-11. 45 Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ...hal. 558. 44

14

Kedatangan Islam Ke Aceh

Berdasarkan telaahan yang dilakukan oleh para sejarawan sebagaimana tersebut di atas dan pembacaan penulis terhadap telaahan tersebut, maka penulis lebih cenderung meyakini bahwa Islam telah datang ke Aceh pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M dan dibawa oleh orang-orang Arab. Kendati Islam telah menapaki Aceh pada abad ke-7 M, tetapi baru setelah abad ke-12 pengaruh Islam terlihat secara eksplisit, yang ditandai dengan munculnya kerajaankerajaan Islam di kawasan ini. 3. Teori Subjek Pembawa Islam 3.1. Pedagang Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa kedatangan Islam ke Nusantara dibawa oleh para muballigh dan pedagang dari jazirah Arab. Sebagai orang Islam, para pedagang itu datang ke Nusantara tidak hanya untuk berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam. Sungguhpun pada mulanya tujuan perdagangan mereka ke Cina, namun mereka terpaksa singgah berbulan-bulan lamanya di pelabuhan-pelabuhan Kepulauan Melayu sambil menunggu angin yang baik untuk meneruskan pelayaran ke Cina atau kembali ke Arab.46 Terkait dengan hal ini, Wan Hussein Azmi menulis: “Pelayaran dari Aden bergantung kepada angin Barat Laut yang bertiup di bulan September membawa kapal-kapal ke pesisir pantai India dan dari sini masuk ke gugusan pulau-pulau Melayu; manakala pelayaran pulang bergantung kepada angin Timur Laut yang bertiup di akhir bulan November dan awal bulan Desember membawa kapal-kapal dari gugusan pulau-pulau Melayu ke pesisir pantai India Selatan dan dari sini menuju kembali ke Semenanjung Tanah Arab. Keadaan ini menyebabkan saudagar-saudagar Arab Muslimin di gugusan pulau-pulau Melayu itu terpaksa tinggal beberapa lama di pelabuhan-pelabuhan daerah ini untuk menanti musim angin; keadaan ini memberi peluang kepada saudagar Muslimin menyebarkan Dakwah Islamiah di mana saja tempat mereka itu berada.”47

Menurut Wan Hussein Azmi, para saudagar Arab telah tiba di gugusan pulau-pulau Melayu jauh sebelum masyarakat setempat mengenal Islam. Mereka datang melalui dua jalur berikut. a. Melalui jalan laut; dimulai dari Adan di Selatan Semenanjung Tanah Arab menuju ke Gujarat, Kambey, Sailon (Sri Lanka), dan dari sini bertolak ke gugusan pulau-pulau Melayu. b. Melalui jalan darat; dimulai dari Damsyik, Syria, ke Khurasan, Parsi dan dari Khurasan ke Balakh, Afghanistan, dan dari Balakh ke Bamir kemudian ke Kasykar, Shina, ke Khutan, kemudian menyeberangi padang pasir Gobi menuju ke Sangtu, kemudian ke Hansyau, dan dari sinilah mereka itu bergerak ke gugusan pulau-pulau Melayu.48 Tidak semua penulis sejarah Islam Nusantara setuju bahwa agama Islam ke Nusantara dibawa oleh para pedagang. Di antara mereka yang tidak sependapat adalah A.H. Johns. Dia meragukan kalau para pedagang itu juga bertindak sebagai penyiar agama Islam. Jika benar mereka juga bertindak sebagai penyiar Islam, maka Johns meragukan apakah jumlah penduduk

46

Ibid, hal. 560 Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh ... hal. 181. 48 Ibid, hal. 176. 47

Aceh Serambi Mekkah

15

yang berhasil mereka islamkan cukup besar dan signifikan. Dia juga mempertanyakan, jika memang para pedagang itu sangat aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam baru nyata terlihat sebelum abad ke-12, padahal para pedagang muslim sudah berada di Nusantara sejak abad ke-7 dan ke-8. Berdasarkan logika tersebut, Johns akhirnya menyimpulkan bahwa kendati para pedagang muslim telah berinteraksi dengan penduduk Nusantara sejak abad ke-7 dan ke-8, tidak ditemukan bukti adanya penduduk muslim lokal dalam jumlah yang besar. Ini berarti tidak terjadinya islamisasi substansial di Nusantara yang dilakukan oleh para pedagang muslim dari jazirah Arab.49 Sekilas, gugatan Johns cukup logis dan meyakinkan. Akan tetapi bila ditelusuri lebih jauh, maka dapat dikatakan bahwa Johns tidak melihat persoalan ini secara lebih komprehensif. Gugatan Johns terbantahkan dengan sejumlah catatan sejarah atau argumentasi lain yang diajukan oleh para pakar yang lain. Dalam Hikayat Radja-radja Pasai (HRP) disebutkan bahwa proses islamisasi Nusantara dilakukan oleh rombongan pedagang dari Mekah di bawah pimpinan seorang nakhoda bernama Syaikh Ismail. Rombongan tersebut singgah di Barus sebagai wilayah yang paling banyak dihuni oleh masyarakat Arab. Islamisasi penduduk setempat dapat dimaknai sebagai menggalang kekuatan koloni Arab tersebut yang telah kawin-mawin semenjak abad ke-7. Selanjutnya, Syaikh Ismail mengangkat pimpinan lokal dan diberi gelar Sultan dengan maksud untuk mempermudah urusan perdagangan mereka. Atas dasar hutang budi ini, Syaikh Ismail dan rombongannya dapat singgah kapan saja dan dalam kurun waktu yang mereka maui di kawasan tersebut dengan mudah. Rombongan pedagang ini pula yang kemudian mengislamkan Lamuri, Perlak, dan Pasai sebelum mereka kembali ke Mekah.50 Oleh karena itu, jika A.H. Johns mempersoalkan keberadaan pedagang muslim dalam menyiarkan Islam pada abad ke-7 dan ke-8, maka persoalan tersebut kiranya dapat ditemukan jawaban. Pengangkatan Meurah Silu menjadi sultan di Kerajaan Pasai dengan gelar Sultan Malik as-Salih merupakan kunci penting bagi perkembangan Islam di Nusantara. Penyebutan nama Pasai untuk kerajaan ini sering dikaitkan dengan kesalahan ejaan dari Parsi ke Pase atau Pasi. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya Aceh telah memiliki hubungan yang erat dengan Persia sejak masa pra Islam. Pengangkatan Sultan Pasai menjadi penting disebabkan oleh karena populasi koloni Arab yang telah ada di kawasan Pase jauh sebelum daerah ini menjadi sebuah kerajaan kian meningkat, sementara mereka belum memiliki sebuah kerajaan yang dapat menjamin hak-hak mereka sebagai warga negara. Oleh karena Pasai merupakan daerah pelabuhan yang paling penting dibandingkan Lamuri, Barus, dan Perlak, maka Syaikh Ismail atas nama Syarif Mekah mengangkat Meurah Silu sebagai sultan, yang kemudian menggalang persatuan masyarakat Islam di wilayah Aceh. Pengangkatan Meurah Silu sebagai sultan tampaknya juga berkaitan dengan kepentingan perdagangan yang telah didominasi oleh orang-orang Islam. Selain itu, catatan sejarah juga menyebutkan bahwa pada saat Sultan Malik as-Salih meninggal dunia pada tahun 1296 M, masyarakat Aceh telah beragama Islam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa proses islamisasi itu tentunya telah berlangsung jauh sebelumnya.51

49

Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …hal. 13. Djoko Suryo, dkk., Agama …hal.42. 51 Ibid, hal. 45. 50

16

Kedatangan Islam Ke Aceh

Adapun mengenai tidak banyaknya penduduk lokal yang menjadi muslim sebagai bukti yang diajukan Johns untuk menunjukkan bahwa islamisasi Nusantara bukan dilakukan oleh para pedagang, terbantahkan pula oleh argumentasi yang dikemukakan oleh Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi. Menurut kedua pakar dari Malaysia ini, ketika para pedagang yang berangkat dari Mekah tiba di Ranah Melayu dan dalam masa menunggu angin yang baik untuk melanjutkan perjalanan, para pedagang ini terlibat dalam pergaulan dan interaksi dengan penduduk lokal. Dalam proses interaksi itu, para pedagang tersebut menyebarkan ajaran Islam kepada para pedagang lokal. Penyebaran Islam yang mereka lakukan tidak meluas sampai ke pemukiman penduduk, melainkan terbatas pada para pedagang dan di kota-kota pelabuhan saja.52Dengan demikian menjadi jelas bahwa kendati ajaran Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke-7, namun pengaruh Islam belum kuat. Hal ini disebabkan oleh masih kuatnya dominasi Cina dan India, sementara umat Islam belum menyatukan diri dalam sebuah wadah besar seumpama negara. Tegasnya dapat dikatakan bahwa Hinduisme dan Budhisme menjadi instrumen agama yang mengatur tata kehidupan masyarakat dan memiliki hubungan politik dengan India dan Cina. Adapun komunitas masyarakat Islam masih berupa koloni-koloni, yang secara politik tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Kebenaran penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para pedagang juga dapat dijelaskan melalui perspektif antropologi. Menurut disiplin ilmu ini, pada saat sekelompok orang melakukan migrasi atau menyebar ke tempat lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan mereka, maka turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan itu. Proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan itu dinamakan difusi. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan itu dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompokkelompok manusia atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena adanya individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Mereka ini terutama sekali adalah para pedagang dan pelaut. Pada zaman penyebaran agama-agama besar di muka bumi, para pemuka agama Budha, para pendeta, dan kaum muslimin mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan-kebudayaan dari tempat asal mereka ke belahan dunia lain, sampai jauh sekali.53 Berdasarkan perspektif ini, maka sulit untuk menampik jika penyebaran agama Islam ke Nusantara di antaranya dilakukan oleh para pedagang Arab yang singgah dan bahkan bermukim untuk kurun waktu tertentu di Nusantara. 3.2. Ulama/Sufi Selain para saudagar, islamisasi Nusantara juga dilakukan oleh kaum ulama yang secara sengaja datang ke kawasan ini untuk melakukan tugas tersebut. Pandangan ini diajukan oleh A.H. Johns,54 setelah dia menolak pendapat yang menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para saudagar/pedagang. Menurut Johns, sangat kecil kemungkinan para pedagang memainkan peranan penting dalam proses islamisasi Nusantara. Peran penting itu justeru dilakoni oleh para sufi pengembara yang berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara, setidaknya sejak abad ke-13. 52

Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ...hal. 560. Koentjaraningrat, Pengantar …hal. 244. 54 Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …hal. 14-15. 53

Aceh Serambi Mekkah

17

Adapun karakteristik para sufi dalam melakukan islamisasi Nusantara, menurut Johns adalah sebagai berikut. a. Menyiarkan Islam sambil berkelana ke seluruh dunia yang mereka kenal b. Rela hidup dalam kemiskinan c. Sering berhubungan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut d. Mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks yang secara umum dikenal oleh masyarakat Indonesia yang mereka tempatkan ke bawah ajaran Islam dan merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam e. Menguasai ilmu magis dan memiliki kekuatan yang dapat menyembuhkan orang sakit f. Memelihara kontinuitas dengan masa silam g. Menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dalam konteks Islam. Selain Johns, pendukung teori sufi yang lain adalah SQ. Fatimi. Pandangannya didasarkan atas keberhasilan kaum sufi pada periode yang sama dalam melakukan islamisasi sejumlah besar penduduk Anak Benua India. Di samping penulis-penulis Barat, di kalangan sejarawan Indonesia pun ada yang meyakini bahwa islamisasi Nusantara dilakukan secara khusus oleh para ulama/sufi, kendati mereka tidak menampik jika para pedagang pun memainkan peranan penting dalam proses islamisasi tersebut. Di antara sejarawan yang dimaksudkan itu adalah Uka Tjandrasasmita.55 Menurutnya, proses islamisasi Nusantara selain dimotivasi oleh faktor ekonomi yaitu melalui jalur pelayaran dan perdagangan, proses ini juga dapat pula dilakukan secara khusus melalui dakwah islamiyah yang dilakukan oleh para muballigh. Kedatangan mereka ke Nusantara dapat saja secara bersamasama dengan para pedagang, namun tidak tertutup kemungkinan mereka datang sendiri-sendiri secara khusus. Dalam catatan Uka, sejak abad ke-13, penyebaran Islam melalui tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada tulisan-tulisan antara abad ke-13 dan 18. Berkaitan dengan proses islamisasi ini, menurut Uka, orang-orang muslim dapat pula membentuk dan mendirikan pesantrenpesantren/dayah dan madrasah-madrasah. Dengan demikian Islam dapat pula disebarluaskan tidak hanya ke lingkungan masyarakat muslim namun juga ke daerah-daerah di luarnya, melalui lembaga-lembaga pendidikan tersebut ataupun kelembagan masyarakat lainnya. Ada pula para ahli yang berpendapat bahwa islamisasi Nusantara dilakukan oleh para sufi sambil berdagang. Pandangan ini tampaknya lebih logis dan acceptable, sebab boleh jadi para pedagang yang datang dari jazirah Arab ke Nusantara adalah para ulama/sufi, sehingga mereka tidak saja melakukan aktivitas perdagangan namun juga menyiarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat. Pandangan seperti ini dilontarkan oleh A.Hasjmy dengan mengutip sumber dari kitab Idharul Haq karangan Abu Ishak Al Makarany Pasy.56 Di samping itu dalam kegiatan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 –

55 56

18

Uka Tjandrasasmita, Proses Kedatangan …hal. 363. Lihat kembali, A. Hasjmy, Sejarah Masuk …hal. 146.

Kedatangan Islam Ke Aceh

20 Maret 1963, salah satu kesimpulan yang dihasilkan (point d) adalah: “Bahwa mubalighmubaligh Islam yang lama-lama itu selain sebagai penyiar agama, juga sebagai saudagar.”57 4. Teori Kompetisi Teori kompetisi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan sebagai resistensi terhadap ancaman kristenisasi yang dilakukan secara masif dan merambah wilayah-wilayah di Nusantara. Pandangan seperti diajukan oleh Schrieke. Menurutnya, penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam merupakan hasil dari pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan penganut baru di kawasan ini. Teori ini dikemukakan Schrieke atas pengamatannya terhadap konfrontasi Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia. Penyebaran Islam secara besar-besaran di Nusantara, menurut Schrieke, dilakukan ketika Portugis tengah terlibat dalam pertarungan dengan para saudagar dan penguasa muslim di Arabia, Persia, India, dan Nusantara. Karena itu, penyebaran Islam di Nusantara dimaknai Schrieke sebagai kekuatan tandingan terhadap gospel58 Kristen yang agresif.59 Teori yang diajukan Schrieke mendapat kritikan dari Azyumardi Azra. Dia tidak dapat menerima teori tersebut, dengan alasan bahwa pertarungan antara Islam dan Kristen di Nusantara paling mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 M, ketika orang-orang Eropa mulai datang ke Nusantara, bukan pada abad ke-12 atau ke-13, yaitu saat terjadi gelombang g islamisasi besarbesaran di Nusantara. Penolakan Azra terhadap Schrieke sebenarnya cukup beralasan. Merujuk kepada bukubuku sejarah Indonesia bahwa bangsa Barat (Eropa) yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis. Setelah menaklukkan Malaka pada tahun 1511, Portugis berhasil menguasai rempah-rempah di Maluku dengan cara langsung membeli dan memonopoli rempah-rempah tersebut. Sejak itu Portugis berhasil menghubungkan jalur pelayaran dan perdagangan langsung dari produsen ke konsumen (Asia ke Eropa) melalui Mozambik-Tanjung Harapan-Lisabon. Bandar Lisabon pun kemudian menjadi pusat perdagangan barang-barang dari Asia di Eropa. Dari bandar inilah barang-barang dari dunia Timur disebarkan ke Eropa Barat oleh para pedagang Belanda. Selanjutnya, Portugis berusaha merebut jalur perdagangan yang dikuasai umat Islam dengan cara menghambat jalan dagang yang menghubungkan Asia-Eropa lewat Laut Tengah.

57

Baca, A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ...hal. 36. Catatan sejarah menyebutkan bahwa alasan utama bangsa Portugis dan bangsa Barat lainnya menjelajahi dunia Timur termasuk Nusantara adalah keinginan mereka untuk mewujudkan semboyan 3G (gold, gospel, dan glory). Artinya dalam berdagang mereka ingin mencari kekayaan (gold), menyebarkan agama (gospel), dan mencapai kejayaan (glory). Kekayaan yang mereka cari adalah rempah-rempah, karena di Eropa harga rempah-rempah sangat mahal, semahal harga emas (gold). Selain mencari kekayaan, bangsa Barat juga membawa misi agama, yaitu menyebarkan agama Kristen (Nasrani) kepada penduduk di daerah yang dikuasai. Tugas ini dianggap sebagai tugas suci, maka harus dilaksanakan (gospel). Selain itu, pada masa itu di Eropa berkembang anggapan bahwa apabila suatu negara mempunyai banyak wilayah jajahan, maka negara tersebut termasuk negara yang jaya (glory). Baca, Ruswardiyatmo, dkk., Sejarah Indonesia dan Dunia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 133. 59 Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …hal. 13-14. 58

Aceh Serambi Mekkah

19

Untuk itu, Portugis merebut Sokotra yang terletak di bagian Selatan Saudi Arabia, Ormuz (Teluk Persia), Goa (India), dan Malaka. Dengan demikian, sejak abad ke-16 jalur pelayaran dan perdagangan yang menghubungkan Asia-Eropa adalah Indonesia-Malaka-Goa-MozambikTanjung Harapan-Lisabon.60 Seturut pandangan Azra dan berdasarkan catatan sejarah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya teori kompetisi antara Islam dan Kristen, sebagaimana diajukan Schrieke, tidak terjadi pada masa-masa awal proses islamisasi penduduk Nusantara (abad ke-7 M) maupun pada masa kristalisasi Islam di Nusantara (abad ke-13) , melainkan pada kurun setelah itu (abad ke-16).

Islamisasi: Konversi Dan Internalisasi 1. Peralihan Keyakinan Hindu dan Budha kepada Islam Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa sebelum kedatangan Islam, masyarakat di Nusantara telah menganut agama Hindu dan Budha. Eksistensi kedua agama tersebut sebagai anutan masyarakat Nusantara menegaskan bahwa masyarakat di kawasan ini telah terlibat dalam pergaulan internasional jauh sebelum kedatangan Islam. Dari sini terlihat bahwa di antara bangsabangsa yang pernah singgah atau menjelajahi negeri-negeri di Nusantara, pengaruh bangsa Cina dan India tampaknya lebih dominan. Hal ini terlihat dari dominasi agama Hindu dan Budha sebagai anutan masyarakat. Sebelum kedatangan budaya dan agama Hindu, di Indonesia telah berkembang pula kebudayaan dan kepercayaan animisme. Masuknya budaya dan agama Hindu menyebabkan terjadinya asimilasi budaya, yaitu kebudayaan dan kepercayaan animisme bercampur dengan kebudayaan Hindu, sehingga menghasilkan kebudayaan baru yang dinamakan kebudayaan Indonesia-Hindu. Catatan sejarah tentang masuk dan berkembangnya agama Hindu dan Budha di Indonesia menegaskan bahwa hubungan perdagangan laut dari Cina ke Asia Selatan dan sebaliknya telah dirintis sejak awal abad pertama masehi. Dalam abad yang sama, kedua agama ini merambah ke kawasan Semenanjung Malaya dan Indonesia, yang dibawa oleh para pedagang dari Asia Selatan (India). Karena tertarik dengan kekayaan alam Indonesia, para pedagang tersebut kemudian bermukim dan mendirikan perkampungan di sekitar bandar-bandar perdagangan, sehingga terjadilah interaksi budaya dengan penduduk asli. Implikasi yang ditimbulkan adalah terjadinya penyebaran unsur-unsur budaya (difusi) Hindu dan Budha di kalangan masyarakat Indonesia. Selain dibawa oleh para pedagang tersebut, ada pula teori lain yang menyebutkan bahwa penyebaran agama Hindu di Indonesia dilakukan oleh para Brahmana yang secara khusus diundang oleh para raja di Indonesia untuk mengajarkan agama dimaksud.61 Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dengan cara yang damai. Sebagai sebuah agama yang datang kemudian, kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat Nusantara yang___secara dominan___telah menganut agama Hindu dan Budha tentu menjadi sebuah fenomena sosial tersendiri yang menarik untuk ditelaah secara ilmiah. Lazimnya sebuah kajian ilmiah, perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai islamisasi Nusantara

60 61

20

Ruswardiyatmo, dkk., Sejarah…hal. 107-108. Ibid, hal.10.

Kedatangan Islam Ke Aceh

merupakan sebuah keniscayaan. Jauh sebelum itu, para sejarawan, teolog, dan ahli lain dalam ragam disiplin ilmu telah terlibat dalam “pertarungan ilmiah” mengenai islamisasi jazirah Arab yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Perdebatan para ahli mengenai hal tersebut lebih terfokus pada metode atau dengan cara apa Muhammad SAW menyebarkan Islam di Jazirah Arab. Seorang penulis Barat, Robert Payne melalui bukunya The History of Islam menuding bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan penuh kekerasan. Menurutnya, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan Islam mengalami kepesatan yang luar biasa, yang berlangsung tidak saja dengan jalan damai tetapi juga melalui peperangan atau penaklukan.62 Tudingan bahwa Islam disebarkan melalui kekerasan atau pedang seperti dilontarkan oleh Payne dan para orientalis lainnya, dibantah keras oleh seorang cendekiawan muslim Mesir, Muhammad Husain Haekal. Melalui bukunya yang tergolong best seller, Haekal mengemukakan bahwa perang yang dilakukan oleh kaum muslimin pada zaman Nabi Muhammad dan para penggantinya dan yang datang sesudah itu, bukan untuk menaklukkan atau menjajah, melainkan untuk mempertahankan keyakinan mereka manakala mereka diancam oleh Kaum Quraisy dan oleh orang-orang Rumawi dan Persia. Dalam peperangan tersebut, kaum muslimin tidak pernah memaksa orang untuk menganut agama Islam, karena memang tak ada paksaan dalam beragama. Demikian pula kerajaan dan amirat mereka, tetap dibiarkan oleh Nabi dalam keadaannya masingmasing, tanpa diganggu. Tujuannya hanyalah supaya ada kebebasan dalam mempropagandakan agama.63 Lantas, bagaimana proses islamisasi di Nusantara? Apa yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini mengalihkan keyakinan mereka dari animisme, Hindu, dan Budha kepada Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua aspek yang patut dijadikan determinant factor. Pertama, pola penyebaran Hindu-Budha di Indonesia. kedua, pola penyebaran Islam di Indonesia. Menurut catatan sejarah, agama Budha lebih dahulu masuk ke Indonesia daripada agama Hindu. Agama Budha dikembangkan oleh para misionaris yang dikenal dengan nama dharmadhuta. Agama ini diperkirakan telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-2 M yang dibuktikan dengan adanya temuan patung Buddha dari perunggu di Jember, Jawa Timur dan di Sulawesi Selatan. Patung-patung tersebut berlanggam Amarawati. Patung-patung itu diduga dibawa dari India Selatan, kendati belum diketahui secara pasti siapa pembawanya.64 Sebagaimana halnya agama Budha, agama Hindu yang dibawa masuk ke Indonesia juga berasal dari India Selatan. Wilayah ini sendiri dimasuki ajaran Hindu pada tahun 4000 SM melalui India Kush bangsa Arya yang berhasil menduduki India Selatan dan mengjarkan agama Brahma. Bangsa Arya berhasil mendesak bangsa Dravida di India, sehingga terjadilah akulturasi budaya yang menghasilkan kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Hindu di India. Bangsa yang mengembangkan kebudayaan ini kemudian disebut bangsa Hindu. Kendati demikian, bangsa Arya menganggap diri mereka bangsa superior. Diskriminasi ras dan warna kulit semakin kentara

62

Lihat, Djoko Suryo, dkk., Agama …hal. 27. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, Cet. XXV, 2001), hal. 667. 64 I Wayan Badrika, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 6. 63

Aceh Serambi Mekkah

21

diekspresikan oleh bangsa Arya ketika mereka menyusun stratifikasi sosial atas tiga kasta, yaitu (1) Kasta Brahmana, terdiri dari golongan pendeta dan cendekiawan; (2) Kasta Ksatria, yaitu golongan pegawai dan prajurit; dan (3) Kasta Waisya, golongan petani dan pedagang. Adapun bangsa Dravida dianggap rendah derajatnya (inferior) dan kemudian diklasifikasi dalam Kasta Sudra.65 Tampaknya, stratifikasi kasta umat Hindu di India dengan berbagai dinamika sosial yang melingkupinya, dijadikan sebagai dasar rujukan untuk para ilmuwan sosial untuk mengembangkan teori penyebaran Hindu di Indonesia. Setidaknya, terdapat empat teori penyebaran Hindu di India, yaitu: a. Teori Sudra, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dilakukan oleh orang-orang India yang berkasta Sudra. Sebagian mereka meninggalkan negerinya karena dianggap sebagai orang-orang buangan. b. Teori Waisya, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orangorang India berkasta Waisya, karena mereka adalah para pedagang yang datang dan kemudian menetap di Indonesia. Banyak pula di antara mereka yang menikah dengan wanita Indonesia. c. Teori Ksatria, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dilakukan oleh orang-orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan oleh timbulnya kekacauan politik di India, sehingga golongan Ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu. d. Teori Brahmana, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dilakukan oleh kaum Brahmana. Kedatangan mereka ke Indonesia dalam rangka memenuhi undangan kepala suku setempat yang tertarik dengan agama Hindu.66 Dari keempat teori tersebut, I Wayan Badrika menyimpulkan bahwa hanya teori Brahmana yang dianggap sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Kesimpulan tersebut didasarkan atas dua alasan berikut: a. Agama Hindu bukan agama yang demokratis, karena urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana, sehingga hanya golongan ini yang berhak dan mampu menyiarkan agama. b. Prasasti Indonesia yang pertama berbahasa Sansekerta, sementara di India bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara-upacara keagamaan. Dengan demikian, tentu hanya kaum Brahmana yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut. Jika teori Brahmana dianggap sebagai teori yang paling sesuai dalam proses kedatangan agama Hindu ke Indonesia, maka ditemukan cukup alasan untuk menjawab persoalan: “Mengapa perkembangan agama Hindu dan Budha tidak pesat dan meluas sebagaimana halnya dengan perkembangan Islam yang datang kemudian?” Hal ini ternyata disebabkan agama Hindu dan Budha bersifat inklusif, dalam arti tidak terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Penyebarannya diutamakan bagi raja dan keluarga/kerabatnya, juga kaum bangsawan. Adapun prosesi untuk menjadi penganut agama Hindu dan Budha dilakukan melalui ritual agama yang dipimpin oleh brahmana atau pendeta. Karena sifatnya ritual, tentu membutuhkan sejumlah dana, sehingga bagi rakyat kecil yang memiliki keterbatasan dana lebih memilih untuk tidak mengikuti prosesi tersebut,67 yang berarti mereka tidak menjadi pengikut agama Hindu dan Budha. 65

Ruswardiyatmo, dkk., Sejarah …hal. 4-5. I Wayan Badrika, Sejarah …hal. 7. 67 Ruswardiyatmo, dkk., Sejarah …hal. 12. 66

22

Kedatangan Islam Ke Aceh

Selain itu, sistem kasta yang dikembangkan dalam ajaran Hindu, baik di India maupun ketika dibawa masuk ke Indonesia, dalam pandangan antroplog terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje, dianggap mengekang kebebasan rakyat jelata. Ketika sistem ini berhadapan dengan ajaran Islam yang memberi kebebasan penuh kepada setiap penganutnya untuk berkembang sekehendaknya, maka ajaran Hindu pun mulai ditinggalkan oleh pengikutnya dan mereka beralih kepada Islam. Di samping itu, tegas Hurgronje, kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia pada waktu itu sedang berada pada tahap perkembangan rohaniah yang hampir sama dengan situasi bangsa Arab pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi kelanjutan proses penyebaran Islam, sehingga dapat berkembang dengan cepat. Itulah sebabnya, dalam waktu yang relatif singkat, Islam berhasil menapaki Nusantara secara kuat. Hampir seluruh masyarakat Pulau Jawa memeluk Islam, sementara sebagian yang lain mengungsi ke Pulau Bali disebabkan mereka tidak mau meninggalkan ajaran Hindu yang telah dianut sebelumnya.68 Menurut Roeslan Abdulgani, peralihan keyakinan beragama masyarakat dari Hindu kepada Islam juga dipengaruhi oleh ajaran Islam yang secara kualitatif lebih maju daripada peradaban yang telah ada sebelumnya dan bersumber dari ajaran Hindu. Dalam kehidupan sosialkemasyarakatan, Islam tidak mengenal pembagian kasta. Dalam aspek teologi, Islam mengajarkan teologi monotheisme, sementara Hindu berpegang pada ajaran polytheisme. Teologi monotheisme ini menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi masyarakat Aceh dan Nusantara pada umumnya, sebab dengan itu mereka terbebaskan dari belenggu ketakhayulan dan kemusyrikan. Secara lebih rinci, Roeslan menyimpulkan pandangannya secara ringkas sebagai berikut. a. Ajaran-ajaran Islam mengintrodusir suatu pandangan religius-monoteistis yang lebih maju dan lebih menarik daripada pandangan yang ada, dan karenanya merupakan suatu kekuatan pembebasan spiritual (a spiritual liberating force) terhadap berbagai macam dan bentuk ketahyulan serta kemusyrikan. b. Para penyebar ajaran Islam yang datang pertama di daerah pesisir Aceh, Malaka, Palembang, Batam, Tuban, Gersik, dan sebagainya, baik mereka itu datang sebagai pedagang maupun sebagai da’i dan ulama, telah mengintrodusir suatu cara kehidupan kemasyarakatan yang baru tanpa diskriminasi kasta, berjiwa kewiraswastaan yang dinamis, dan yang merupakan suatu kekuatan pembebasan sosial (a social liberating force) terhadap masyarakat kerajaankerajaan feodal di pedalaman yang berkasta-kasta, dan yang masih berjiwa agraris statis. c. Penyebaran itu berlaku setapak demi setapak dan setingkat demi setingkat, tanpa paksaan dan tanpa bentrokan bersenjata yang berarti; tidak dengan cara penaklukan atau parconquest, melainkan dengan cara penetrasi damai atau penetration pacifique; disertai dengan jiwa toleransi dan saling harga-menghargai antara para penyebar dan pemeluk agama baru dengan para pengikut agama Hindu-Budha lama. d. Ringkasnya, masyarakat Indonesia pada waktu itu sedang mengalami suatu transformasi sosial yang hebat sekali, yaitu dari suatu masyarakat yang semula dominan agraris dan feodal ke arah suatu masyarakat baru dimana perdagangan, perniagaan, dan pelayaran lebih dominan;

68

Lihat, Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Proses Islamisasi...hal. 394.

Aceh Serambi Mekkah

23

dan dimana situasi statis memperoleh denyutan dinamis baru, terutama sehubungan dengan meningkatnya hubungan perdagangan bangsa kita dengan para pedagang dari Timur Tengah, khususnya dari Arab, Parsi, dan India serta dari Tiongkok yang menyelusuri seluruh kepulauan Nusantara; dan dimana pintu kepulauan Nusantara lebih terbuka lagi dalam hubungannya dengan dunia internasional pada waktu itu; dan dimana ajaran-ajaran Islam serta para penyebarnya ikut memberikan sumbangan yang sangat besar dan berharga bagi transformasi sosial itu, sekalipun feodalisme kuno belum terkikis habis oleh kedatangan Islam itu.69 Transformasi sosial-religius masyarakat dari ajaran Hindu-Budha kepada Islam (islamisasi) berlangsung relatif cepat di Aceh. Hal ini selain disebabkan oleh beberapa kelemahan dalam proses penyebaran dan sistem ajaran Hindu, juga dikarenakan oleh kelihaian para penyiar agama Islam dalam menjalankan misi mereka. Eratnya koneksi yang dibangun oleh para pedagang dan penyiar Islam dengan penguasa lokal merupakan salah satu faktor yang sangat menguntungkan dalam proses islamisasi Aceh. Dalam pandangan Djoko Surjo, dkk.,70 proses islamisasi yang dilakukan secara cepat di tengah-tengah masyarakat lokal yang memeluk agama Hindu dan Budha adalah sesuatu yang luar biasa. Keberlangsungan proses ini disinyalir didukung oleh tiga faktor penyebab, yaitu: a. Kerajaan-kerajaan di Sumatera memiliki masyarakat yang plural (heterogen), sehingga tidak memiliki ikatan sosial-agama yang cukup kuat. Agama Hindu, Budha, dan Islam telah hidup berdampingan dengan pusat kerajaan beragama Hindu/Budha, namun di dalamnya telah terjadi tarik-menarik kepentingan politik. Kedatangan Syaikh Ismail rombongannya ke Aceh telah berhasil mempersatukan kekuatan orang-orang Islam untuk menghadapi persaingan politik dan ekonomi. b. Keberadaan orang-orang Islam yang telah cukup lama di Aceh telah membentuk kolonikoloni, dan oleh kerajaan diberi hak yang cukup istimewa, baik secara politis maupun ekonomis. Tidak tertutup kemungkinan koloni Islam tersebut telah memiliki koneksi dengan sistem birokrasi pelabuhan. Hal ini menjadi penting mengingat hubungan dengan bandar laut berjalan beriringan dengan dominasi Islam Timur Tengah dalam pedagangan internasional. c. Kerajaan Hindu/Budha di Sumatera mulai melemah, terutama karena serangan Colamandala71 dan merosotnya dominasi India dan Cina dalam perdagangan internasional. Faktor lain yang menyebabkan mudahnya perkembangan Islam di tengah-tengah masyarakat Hindu di Aceh diajukan oleh Wan Hussein Azmi. Menurutnya, setidaknya terdapat enam faktor yang mempermudah proses islamisasi Nusantara, yaitu: a. Hubungan baik antara saudagar-saudagar Arab (penyiar Islam) dengan pihak pemerintah setempat; b. Saudagar-saudagar Arab itu tidak mencampuri urusan politik; 69

Roeslan Abdulgani, “Islam Datang ke Nusantara Membawa Tamaddun/Kemajuan/Kecerdasan”, dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), hal. 112-116. 70 Djoko Surjo, dkk., Agama …hal. 43-44. 71 Berdasarkan catatan dari Cina, di Sumatera terdapat beberapa kerajaan, tetapi tampaknya Kerajaan Lamuri yang terpenting bagi perkembangan Islam di kawasan ini. Kerajaan ini pernah diserang oleh Raja

24

Kedatangan Islam Ke Aceh

c. Para saudagar itu mempraktekkan ajaran Islam terhadap diri mereka dan dalam berinteraksi dengan masyarakat; d. Tidak ada pemaksaan dalam pendakwahan Islam; e. Pendakwahan Islam berjalan menurut metode yang ditentukan Allah melalui Al-Quran; dan f. Keindahan ajaran Islam jika dibandingkan dengan ajaran-ajaran Hindu dan Budha yang dianut oleh masyarakat.72 Berdasarkan paparan di atas, nyata terlihat bahwa transformasi keagamaan masyarakat dari Hindu-Budha kepada Islam berlangsung secara damai dan tanpa pemaksaan (penetration pacifique). Dalam tahap perkembangan Islam berikutnya, proses islamisasi juga dilakukan melalui pendekatan budaya. Salah satu unsur budaya yang cukup signifikan mempengaruhi alur perkembangan Islam di Aceh adalah kesenian. Tradisi kesenian yang telah mengurat-mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik pra Islam maupun sesudahnya adalah hikayat. Bagi masyarakat Aceh, cerita-cerita yang dikisahkan dalam hikayat dimaknai sebagai peristiwa yang pernah terjadi di daerah mereka, bahkan beberapa di antaranya dianggap mengandung nilai-nilai historis. Karena itu, tradisi membaca hikayat tumbuh subur dalam rutinitas keseharian masyarakat Aceh, bukan sekedar media hiburan, tetapi lebih daripada itu sebagai media membangkitkan kembali kesadaran dan pemahaman akan sejarah mereka. Menurut hasil penelitian yang dilakukan UU. Hamidy,73 tidak kurang dari 100 hikayat dan haba jameun pernah hidup dalam kehidupan masyarakat Aceh. Di antara hikayat tersebut ada yang diwarnai oleh pengaruh Hindu, termasuk animisme dan dinamisme. Dengan demikian terlihat jelas bahwa pada masa Aceh pra Islam, pengaruh Hinduisme telah dikokohkan dengan berbagai cara, termasuk melalui cerita-cerita rakyat seperti hikayat. Ketika Islam masuk ke Aceh, salah satu upaya yang kiranya mesti dilakukan adalah menggoyahkan pengaruh Hindu dari pikiran masyarakat, termasuk yang diserap dari hikayat. Untuk itu, hikayat yang telah mendapat pengaruh Hindu tersebut disisipi dengan unsur-unsur Islam. Hamidy mengakui bahwa tidak mudah untuk memasukkan sisipan nafas Islam ke dalam cerita-cerita Hinduisme tersebut. Aspek-aspek yang sangat penting dipertimbangkan sebelum hal itu dilakukan adalah menjaga alur cerita sehingga tidak merusak nilai-nilai seni yang terdapat didalamnya. Aspek yang lain adalah sisipan tersebut jangan sampai merusak keaslian cerita, karena itu mestilah dilakukan sehemat mungkin. Di antara sejumlah hikayat yang mendapat sisipan Islam, satu yang paling menonjol, menurut Hamidy adalah Hikayat Kancamara. Dalam hikayat ini, kebenaran agama Hindu mulai diperdebatkan melalui dialog yang dilakukan oleh Kancamara (pemuda beragama Islam) dengan seorang putri beragama Hindu, sebagaimana dikutip dari Hamidy disertai analisisnya:

Rajendra Cola I dari Kerajaan Cola Mandala (India Selatan) pada abad ke-10. Akan tetapi, penguasa Lamuri, Hamuridecam melakukan perlawanan yang hebat terhadap serangan itu, sehingga Lamuri dapat bertahan hingga abad ke-15. Baca, Ibid, hal. 42. 72 Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh…hal. 182. 73 Baca, UU. Hamidy, “Kebijaksanaan Mempergunakan Hikayat dalam Pengembangan Islam di Aceh”, dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: AlMa’rif, 1993), hal. 349-355.

Aceh Serambi Mekkah

25

Kancamara

: Seorang raja yang tidak mempunyai kekuasaan, tidak dapat mencegah rakyat berbuat jahat, baik terhadap hukum maupun adat, apakah raja itu kita turut dan kita sembah? Tuan Putri : Raja itu tidak patut kita ikuti (Ini adalah kiasan kepada orang yang menyembah berhala, padahal berhala itu tidak tahu apa-apa, sehingga tak ada gunanya disembah). Kancamara

: Apakah seorang menteri yang tiada tahu benar dan salah dalam perbuatannya, akan kita turut? Tuan Putri : Tentu tidak akan kita turut (Ini merupakan kiasan kepada orang yang mendewakan api, agar jangan menyembah api itu) Kancamara Tuan Putri

: Seorang raja zaman dahulu menetapkan harga padi 20 bambu, raja penggantinya menetapkan 10 bambu, lalu ketetapan mana yang kita turut? : Tentu kita ikuti ketetapan 10 bambu

(Ini merupakan simbolik kepada nabi Muhammad sebagai nabi yang terakhir, sehingga hanya agama yang diajarkannya yang patut diturut).

Selain Hikayat Kancamara, masih banyak hikayat lain yang diwarnai ajaran Hindu telah disisipi dengan unsur-unsur ajaran Islam. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya melakukan konversi keyakinan beragama masyarakat Aceh dari Hindu kepada Islam melalui pendekatan kebudayaan. 2. Jalur-jalur Konversi Setelah dipaparkan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadi konversi HinduBudha kepada Islam, penting juga dikemukakan koridor yang ditapaki oleh para penyiar Islam di Aceh dalam rangka menjalankan misi mereka. Pertanyaan yang muncul adalah dengan cara bagaimana Islam mampu mengepakkan sayapnya di Aceh? Berdasarkan sejumlah literatur, dapat dinyatakan bahwa ada beberapa jalan yang digunakan oleh para pembawa dan penyebar Islam ke Aceh dan Nusantara dalam melaksanakan islamisasi masyarakat, di antaranya adalah jalur perdagangan, perkawinan, percampuran hubungan, dan kekuasaan. 2.1. Jalur Perdagangan Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa di antara penyebar Islam di Nusantara adalah para pedagang. Mereka menyiarkan Islam kepada penduduk setempat sambil berdagang. Penyebaran ini, menurut penulis dilakukan dengan cara dakwah bi lisan dan dakwah bi hal. Dakwah bi lisan berarti mereka secara khusus mengajak masyarakat untuk menganut Islam dengan cara menyampaikan materi-materi ajarannya. Aktivitas ini dilakukan di tengah kesibukan mereka sebagai pedagang. Adapun dakwah bil hal dilakukan melalui keteladanan pribadi para pedagang, baik tutur kata, sikap, maupun perbuatan mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat.

26

Kedatangan Islam Ke Aceh

Dari perspektif antropologi, interaksi yang terjadi antar individu dalam suatu kelompok dengan individu dari kelompok lain, dapat menyebabkan terjadinya penyebaran unsur kebudayaan suatu kelompok kepada kelompok lain. Interaksi atau pertemuan antar individu dalam kelompok yang berbeda dapat berlangsung dengan berbagai bentuk dan menghasilkan implikasi tertentu, di antaranya adalah hubungan symbiotic, yaitu hubungan/interaksi yang terjadi namun bentuk dari kebudayaan masing-masing kelompok hampir tidak mengalami perubahan. Bentuk yang lain adalah hubungan yang disebabkan karena perdagangan, tetapi dengan implikasi yang lebih jauh daripada yang terjadi pada hubungan symbiotic. Pada bentuk yang kedua ini, unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang dan masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak disengaja dan tanpa paksaan. Hubungan ini disebut penetration pacifique (pemasukan secara damai).74 Dalam konteks aktivitas para pedagang muslim yang datang dari Timur Tengah maupun dari penjuru yang lain ke Aceh, interaksi yang terjadi antara mereka dengan penduduk setempat telah menghasilkan hubungan penetration pacifique. Hubungan ini terutama terjadi melalui aktivitas perdagangan dan dakwah bil hal yang mereka lakukan, sehingga tanpa disadari masyarakat penerima telah tertarik kepada unsur-unsur kebudayaan dan ajaran agama Islam yang dianut dan diamalkan oleh para pedagang itu. Hal ini menimbulkan keinginan masyarakat penerima untuk lebih mengetahui dan memahami ajaran Islam. Adapun para pedagang yang juga berprofesi sebagai ulama (penyiar Islam), hubungan penetration pacifique lebih ditingkatkan. Artinya, pemasukan unsur-unsur ajaran Islam dilakukan secara sengaja, kendati tanpa pemaksaan. Salah satu cara yang digunakan untuk itu adalah melalui dakwah bil lisan. Jalur perdagangan merupakan jalur yang paling strategis dalam proses islamisasi Aceh. Hal ini dikarenakan perdagangan merupakan aktivitas utama yang dilakukan dalam rangka menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Selain itu, Aceh terletak pada jalur perairan internasional yang dilayari dan disinggahi para pedagang dari manca negara. Pada masa pra Islam, aktivitas perdagangan di kawasan ini didominasi oleh Cina dan India, namun dalam periode berikutnya para pedagang muslim dari Timur Tengah-lah yang menguasai jalur perdagangan tersebut. Menurut Uka Tjandrasasmita, kepesatan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dan pesisir Barat Sumatera sejak abad ke-7 M mungkin disebabkan oleh faktor pendorong persaingan antara Dinasti T’ang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Indonesia (Asia Tenggara) dan Bani Umayyah di kawasan Asia Barat. Praktis, melalui pelayaran tersebut, para pedagang maupun muballigh Islam dapat berhubungan dengan para pedagang lokal dari ketiga negeri bagian benua Asia itu. Hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orangorang muslim melalui perairan Selat Malaka makin lama makin kuat. Pada awal abad ke-13 M, terbentuklah perkampungan masyarakat muslim di pesisir Samudera, lebih kurang 15 km dari Kota Lhokseumawe.75

74 75

Koentjaraningrat, Pengantar…hal. 245. Uka Tjandrasasmita, Proses Kedatangan …hal. 361.

Aceh Serambi Mekkah

27

T.W. Arnold mengemukakan bahwa jalur perdagangan tidak hanya digunakan oleh para pedagang Arab untuk berdagang, namun juga menyebarkan ajaran Islam, terutama ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur pada abad ke-7 dan ke-8 M. Kendati tidak ditemukan catatan-catatan sejarah mengenai aktivitas para pedagang ini secara pasti dalam konteks penyiaran Islam, Arnold berpedoman kepada sumber-sumber Cina yang menyebutkan bahwa menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab berhasil menjadi pemimpin pada sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera.76 Di samping para pedagang Arab, para pedagang muslim dari India juga memberikan konstribusi yang besar dalam penyebaran Islam di Indonesia melalui jalur perdagangan. Mereka menyebarkan Islam ke pulau-pulau yang dilayari dalam kawasan Nusantara. Agama Islam yang mereka ajarkan kepada masyarakat yang didatangi dan telah beragama Hindu itu, sebelumnya telah mengalami proses penyesuaian dengan agama Hindu sehingga memudahkan masyarakat dalam memahami dan menerimanya.77 Data yang disajikan di atas merefleksikan adanya aktivitas penyiaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang Arab melalui jalur perdagangan dan dakwah islamiyah yang dikembangkan disambut baik oleh masyarakat, sehingga para pedagang ini berhasil berbaur dengan masyarakat setempat dan mendirikan pemukiman muslim di wilayah yang didatanginya. 2.2. Jalur Perkawinan Selain melalui jalur perdagangan, konversi ajaran Hindu-Budha kepada Islam juga dilakukan melalui perkawinan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa perkawinan antara para penyiar Islam (pendatang) dengan penduduk setempat memberikan konstribusi yang cukup besar dalam proses perkembangan Islam di Aceh. Hal ini, menurut P.A. Hoesein Djajadiningrat, dikarenakan sebelum dilangsungkan perkawinan antara para pedagang muslim itu dengan perempuan setempat, terlebih dahulu para perempuan itu diislamkan dan seringkali proses pengislaman ini kemudian diikuti oleh anggota-anggota dan kerabat dari si perempuan. Selanjutnya, Djajadiningrat menulis: “...Pembentukan keluarga Islam yang baru itu dengan sendirinya membutuhkan pengajaran agama, baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa. Pengajaran agama menurut kebiasaan turun-temurun yang berasal dari jaman permulaan Islam, masih kita jumpai sekarang dalam bentuk yang hanya sedikit sekali mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Sistem pendidikan dan perkawinan seperti yang dilukiskan di atas itulah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Indonesia dengan jalan damai.”78

Tampaknya, dalam proses islamisasi di Aceh, perkawinan dengan penduduk lokal merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Pada masa itu, perkawinan bukan sekedar sebuah

76

Baca, azyumardi Azra, Jaringan Ulama …hal. 6. Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Proses Islamisasi...hal. 393. 78 P.A. Hoesein Djajadiningrat, “Islam di Indonesia”, dalam Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional Ke 12, Dari Sini Ia Bersemi, (Banda Aceh: Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional Ke 12, 1981), hal. 7. 77

28

Kedatangan Islam Ke Aceh

pranata sosial yang berfungsi sebagai media untuk melanjutkan keturunan, namun perkawinan merupakan salah satu media yang digunakan untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Dalam catatan Arnold, salah satu faktor yang menyebabkan munculnya pedagang Arab sebagai pemimpin pemukiman muslim di pesisir pantai Sumatera adalah perkawinan. Sebagian pedagang Arab ini melakukan perkawinan dengan perempuan lokal, sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Dalam tahapan berikutnya, penyebaran Islam tidak dilakukan oleh para pedagang Arab an sich, melainkan juga melibatkan anggota-anggota komunitas muslim tersebut.79 Komunitas muslim di pesisir pantai yang telah diislamkan, baik melalui jalur perdagangan maupun perkawinan, kemudian menyebarkan ajaran Islam ke wilayah pedalaman dan kepulauan di sekitar mereka. Penyebaran inipun dilakukan dengan cara membentuk keluarga baru melalui perkawinan. Menurut Hurgronje, setelah para pedagang ini tinggal beberapa lama di tengahtengah komunitas non muslim, mereka kemudian berusaha menciptakan lingkungan hidup baru, terutama membentuk keluarga baru dengan cara mengawini perempuan setempat. Sebelum dikawini, perempuan itu terlebih dahulu diislamkan. Pada tahap berikutnya, si perempuan akan mengajak keluarga dan kerabat terdekatnya untuk mengikuti jejaknya. Mudahnya para pedagang dan penyiar Islam ini memperistri perempuan lokal serta mengajak anggota isterinya itu untuk memeluk Islam dikarenakan dalam pandangan masyarakat setempat, para pedagang ini memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada mereka. Oleh karena itu, menjadi anggota keluarga atau bagian dari golongan para pedagang muslim itu merupakan sebuah keinginan dan kebanggan serta memiliki prestise tersendiri bagi masyarakat setempat. Dalam perkembangan berikutnya, keluarga-keluarga yang telah memeluk Islam kian bertambah dan meluas, sehingga secara gradual terbentuklah pemukiman muslim dalam bentuk desa-desa, daerah-daerah, bahkan sampai menjadi sebuah kerajaan.80 Selain Arnold, catatan Marco Polo yang datang ke Perlak pada tahun 1292 juga menyatakan bahwa para pedagang melakukan pengislaman terhadap penduduk setempat dengan jalan damai dan banyak dilakukan melalui perkawinan, baik yang bersifat politis maupun bukan.81 Para pedagang dan penyiar Islam dari Arab tidak saja melakukan perkawinan dengan perempuan lokal dari kalangan rakyat biasa, melainkan mereka juga mengawini perempuan bangsawan dari kalangan istana. Barangkali, inilah yang dimaksudkan oleh Marco Polo sebagai perkawinan yang bersifat politis. Jika hal ini benar, maka menurut penulis hal itu tidak berarti bahwa para pedagang dan penyiar Islam itu menggunakan pranata perkawinan sebagai kuda troya untuk mencapai kepentingan politik mereka dalam meraih kekuasaan semata-mata, tetapi makna politis di sini kiranya dapat dipahami bahwa kekuasaan politik yang telah didapatkan melalui perkawinan itu digunakan untuk mempermudah penyebaran Islam di kalangan elit istana dan rakyat di wilayah kekuasaannya. Jika para pedagang atau penyiar Islam tersebut menempati posisi-posisi penting dalam jaringan kekuasaan istana sebagai akibat dari perkawinan yang mereka lakukan dengan anak bangsawan atau raja, maka hal itu akan sangat membantu proses penyebaran Islam. Sebab,

79 80

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …hal. 6. Baca, Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Proses Islamisasi...hal. 393.

Aceh Serambi Mekkah

29

masyarakat tidak lagi memandang si Muslim itu sebagai pedagang asing dan atau rakyat biasa, melainkan mereka melihatnya dalam status sosial yang lebih tinggi, yaitu bangsawan yang memiliki sifat-sifat dan kharisma kebangsawanannya. Perkawinan antara para pedagang muslim dengan perempuan dari kalangan istana tidak hanya menguntungkan pihak pedagang dalam aktivitas perdagangan dan menyiarkan Islam, tetapi perkawinan itu sebenarnya bersifat mutualisme (menguntungkan kedua belah pihak). Terkait dengan hal ini, Uka Tjandrasasmita menyatakan: “Proses penyebaran Islam melalui saluran perdagangan dan perkawinan dengan golongan bangsawan-bangsawan itu jelas menguntungkan kedua belah pihak. Bagi pedagangpedagang Muslim merasa lebih produktif usahanya, karena kecuali mudah mendapatkan izin perdagangan juga memudahkan untuk lebih menyebarkan ajaran-ajaran Islam baik terhadap bangsawan maupun masyarakat memudahkan pemasaran untuk pengeksporan hasil-hasil produksi negerinya. Karena terutama abad-abad ke-14,-15, dan ke-16 kunci pelayaran dan perdagangan di lautan sebagian besar ada pada golongan pedagangpedagang Muslim.”82 Kendati demikian, tidak semua penulis sejarah sepakat jika jalur perkawinan memberikan konversi kepada Islam dalam jumlah yang besar. Di antara mereka yang tidak setuju dengan teori ini adalah Schrieke. Sebagai seorang pendukung teori kompetisi, Schrieke melihat motif penyebaran Islam di Indonesia lebih disebabkan oleh adanya ancaman kristenisasi di Nusantara, sehingga hal itu mendorong sebagian besar penduduk Nusantara untuk masuk Islam.83 Akan tetapi, berdasarkan banyak sumber yang lain sebagaimana telah dipaparkan di atas, nyata terlihat bahwa perkawinan antara para pedagang dan penyiar Islam yang datang dari berbagai pelosok dunia ke Aceh dan Nusantara pada umumnya dengan penduduk yang didatangi merupakan sebuah media yang efektif yang digunakan dalam proses penyebaran Islam di Nusantara. Para pedagang dan penyiar Islam yang telah kawin dengan “anak negeri” akan menyebabkan mereka untuk tinggal lebih lama di lingkungan isteri mereka. Hal ini, di samping memberikan kesempatan kepada mereka untuk meneruskan keturunan muslim, juga memberikan peluang yang cukup besar bagi mereka untuk menyiarkan dakwah islamiyah kepada penduduk sekitar yang belum menganut ajaran Islam. 2.3. Jalur Kekuasaan Dalam konsep ajaran Hindu, raja atau penguasa dianggap sebagai penjelmaan atau titisan dewa.84 Pemahaman ini melahirkan konsep dewa-raja. Oleh karena itu, pendewaan kepada

81

Lihat, Djoko Surjo, dkk., Agama…hal. 39. Uka Tjandrasasmita, Proses Kedatangan…hal. 364. 83 Lihat kembali pembahasan tentang Teori Kompetisi pada halaman sebelumnya. 84 Dalam konteks relasi agama dan negara, anggapan bahwa raja merupakan penjelmaan dewa atau tuhan adalah ciri dari paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham ini, raja atau kepala negara memiliki otoritas atas nama Tuhan. Karena itu, diyakini pula bahwa raja memerintah atas kehendak Tuhan. Selanjutnya, lihat, Dede Rosyada, dkk., Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hal. 59. 82

30

Kedatangan Islam Ke Aceh

pemerintah menjadi sebuah keniscayaan yang direfleksikan dalam bentuk ketaatan terhadap perintah dan larangan penguasa. Dalam konteks ini, dikenal pula konsep daulat sebagai ekspresi ketaatan dan konsep durhaka sebagai manifestasi dari keingkaran. Paradigma teologis seperti inilah yang berkembang dalam masyarakat Asia Tenggara pada umumnya dan masyarakat Melayu pada khususnya pada era pra Islam.85 Sebagai agama yang mengajarkan kedamaian, Islam masuk ke kawasan Aceh___sebagai bagian dari masyarakat Melayu dan Asia Tenggara___dengan cara yang damai pula, sehingga konversi keyakinan masyarakat dari Hindu dan Budha pun berlansung secara damai. Salah satu aspek penting untuk menciptakan kondisi itu adalah dengan memperhatikan local wisdom masyarakat setempat, baik dari aspek agama maupun budaya. Adanya konsep dewa-raja sebagai salah satu bentuk local wisdom dalam beragama pada masyarakat Aceh pra Islam, mendorong para penyebar Islam di Aceh untuk membangun jaringan dan akses struktural dengan para penguasa setempat. Pada tataran lebih jauh, efektivitas penyebaran agama Islam akan lebih baik berlangsung jika mereka dapat menempati posisiposisi penting dalam birokrasi kekuasaan atau bahkan menjadi top leader dalam struktur kekuasaan itu. Menurut Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, apabila raja-raja telah dapat diislamkan, maka seluruh rakyatnya ikut serta memeluk agama Islam. Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh pemahaman akan agama Islam yang baru datang kepada mereka, melainkan juga sebagai manifestasi ketaatan kepada raja. Realitas seperti inilah yang terlihat dalam islamisasi Kerajaan Malaka, Kedah, dan Patani.86 Lantas, bagaimana proses islamisasi masyarakat Aceh melalui jalur kekuasaan? Tampaknya, simpul yang paling terbuka untuk masuk ke dalam jaringan kekuasaan adalah melalui perdagangan dan perkawinan, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Selain kedua koridor tersebut, secara gradual para penyebar Islam di Aceh juga membangun struktur pemerintahan tersendiri di dalam koloni mereka. Penulis menduga, inilah yang menjadi cikal-bakal bagi tegakkembangnya kerajaan Islam di Aceh. Dalam catatan Djoko Surjo, dkk., pada masa-masa awal islamisasi Aceh, penduduk Muslim baik yang datang dari India maupun Timur Tengah hanyalah merupakan koloni kecil yang mendapatkan hak-hak istimewa dari penguasa lokal yang disebabkan oleh posisi mereka sebagai pedagang. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk Muslim, setiap koloni mengangkat sendiri pemimpin mereka, namun sering pula oleh seorang nakhoda. Pengangkatan pemimpin ini menjadi penting dalam rangka mempercepat akses mereka dengan penguasa lokal dan juga mempermudah persinggahan pedagang Muslim lain yang datang kemudian. Ketika dominasi perdagangan Asia dikuasai oleh umat Islam, organisasi internal di setiap koloni membentuk pasukan militer untuk menjaga serangan dari para perompak. Pada saat dominasi Islam mencapai titik kulminasi kejayaan dan menggeser dominasi Cina dan India, fungsi pasukan militer ditingkatkan sebagai kekuatan untuk menghadapi persaingan dagang sekaligus memperluas wilayah koloni Islam.87

85

Mahayuddin Hj. Yahaya dan A.J. Halimi, Sejarah ...hal. 562. Ibid, hal. 562. 87 Djoko Surjo, dkk., Agama …hal. 33. 86

Aceh Serambi Mekkah

31

Perluasan wilayah koloni menghadapi kendala serius disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat yang belum menganut agama Islam. Secara politik, masyarakat non muslim ini tinggal di wilayah kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu/Budha. Bagaimanapun, situasi ini pada akhirnya memaksa koloni-koloni Islam untuk berhadapan dengan kekuatan Hindu/Budha yang didukung oleh Cina dan Majapahit. Majapahit melihat bahwa perkembangan Islam di Aceh membahayakan posisi perdagangan Majapahit, sebab dikhawatirkan pelabuhan internasional yang paling utama dikuasai oleh masyarakat Islam Aceh. Hubungan bilateral yang dicoba bangun oleh Majapahit dengan Lamuri melalui perkawinan bangsawan antar kedua kerajaan tidak direspon secara positif oleh Lamuri. Puncak dari kemarahan Majapahit ditunjukkan dengan cara menyerang Lamuri pada abad ke-13, karena dianggap telah memberontak kepada Majapahit dan bersekutu dengan Islam.88 Terkait dengan perebutan kekuasaan antara Islam dengan Hindu/Budha di Aceh dan wilayah Sumatera Utara, Djoko Surjo, dkk., menyatakan bahwa ada kemungkinan proses islamisasi di kawasan ini dilakukan melalui perebutan kekuasaan antara penguasa Hindu/Budha dan Islam yang menghasilkan sebuah kerajaan yang benar-benar berada di bawah kontrol Islam, yaitu Kerajaan Pasai.89 Kendati demikian, menurut penulis adalah suatu kekeliruan jika ada yang mengatakan bahwa islamisasi di Aceh dilakukan melalui peperangan dan kekerasan. Sebab, tergesernya koloni dan peran India dan Cina___sebagai representasi dari Hindu dan Budha___dari Aceh tidak sematamata disebabkan oleh peperangan, tetapi juga karena perkawinan antara para pembawa Islam dengan penduduk lokal. Faktor penting lain yang patut diperhatikan adalah kekalahan monopoli perdagangan Cina dan India dengan para pedagang Islam dalam penguasaan pelabuhan dan jalur-jalur perdagangan.

88 89

32

Ibid, hal. 49-50. Ibid, hal. 44.

Kedatangan Islam Ke Aceh

BAB DUA ACEH : RELASI LOKAL DAN GLOBAL Di dalam surah Hud ayat 120, Allah Swt. berfirman, yang artinya “Dan semua kisah rasul-rasul itu Kami ceritakan kepadamu untuk Kami teguhkan hatimu, dan telah datang kepadamu di dalamnya kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. Kisah rasulrasul yang dimaksudkan didalam ayat tersebut adalah untuk dijadikan bahan pelajaran dan pegangan bagi orang-orang yang hidup setelah peristiwa tersebut terjadi, peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu biasanya disebut sejarah. Sejarah dalam bahasa Inggris adalah history, berarti masa lalu umat manusia. Dalam bahasa Arab disebut tarikh, yang asal mulanya berarti penetapan bulan atau kalender. Sebagai ilmu, sejarah merupakan pengetahuan yang menggali, mengurai dan menafsirkan berbagai catatan peristiwa kehidupan manusia di masa lalu serta memberi gambaran secara sistematis untuk diketahui dan diambil pelajarannya. Menurut ahli sejarah modern, seperti Henry Marrouw dari Perancis dan Arnold Toynbee dari Inggris, telaah kesejarahan memberi banyak data dan gagasan sebagai dasar pertimbangan makna dan arah kehidupan. Artinya, sejarah bukanlah sekedar pengetahuan untuk memberi kepuasan dan kegembiraan, seperti yang dikatakan oleh ahli sejarah Yunani kuno, Herodotus.1 Karena itu, penulisan sejarah tidak cukup dengan menyajikan fakta-fakta elementer; tentang apa, siapa, kapan dan dimana, tetapi juga harus bisa menjawab tentang bagaimana, mengapa dan apa jadinya, peristiwa masa lalu harus diketahui rekonstruksinya, hal ini disebut dengan penjelasan sejarah (historical explanation), dan penjelasan kausalitas sebab-akibat sebagai hasil terpenting dari kajian secara kritis. Penulisan sejarah suatu bangsa, daerah atau suatu kejadian yang terjadi di suatu tempat tidak lain dimaksudkan untuk memperkenalkan identitas pribadi kita sebagai warga masyarakat yang mendiami suatu wilayah. Karena secara empiris sulit dibantah bahwa kelompok masyarakat yang hidup di zaman ini tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi kehidupan lainnya yaitu masa lampau yang telah dilalui dengan segala problematika dan masa yang akan datang yang secara sadar sedang berusaha untuk dipetakan. Setiap generasi umat manusia selalu berharap dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh dan segenap upaya untuk menyongsong masa depan

1

The Ling Gie dan Andrian, Ensiklopedi Ilmu-ilmu, (Yogyakarta: PUBIB dan Andi, 1998), hal., 230.

Aceh Serambi Mekkah

33

yang jauh lebih baik dari masa kini dan masa lalu. Dengan kata lain bahwa proses perubahan sejarah akan menghasilkan sesuatu yang baru di setiap zamannya. Penulisan sejarah Kesultanan Aceh dimaksudkan untuk memberikan informasi siklus perjalanan sejarah Aceh yang merupakan bagian integral dari sejarah Nasional Indonesia sebagai salah satu unsur mutlak yang harus diketahui publik. Rasanya tidak ada suatu cara yang paling aman untuk dapat mengetahui dan mempedomani suatu pengalaman sosial bahkan modal sosial dari masa lalu kecuali dengan jalan mengenal kembali identitas diri dari masa kini dan masa lalu. Salah satu cara pengenalan identitas diri adalah dengan cara mempertanyakan kembali kapan kita sebagai suatu komunitas masyarakat mulai lahir dan bagaimana proses perkembangan itu berlangsung hingga keberadaan kita saat ini. Banyak pengalaman berharga di masa lalu yang dapat kita pergunakan sebagai dasar pemikiran untuk menentukan arah bagi perkembangan yang sedang kita tuju di masa yang akan datang. Dalam hal ini, penulis mengutip ungkapan Sir John Seeley yang menyatakan bahwa tiada lain maksud dari mempelajari sejarah adalah agar orang (masyarakat) dapat menjadi lebih bijaksana sebelum segala sesuatu terjadi.2 Melalui penulisan ini kita dapat mengetahui masa lalu Aceh, walau bagaimanapun fakta sejarah tidak boleh kita lupakan, karena melupakan sejarah berarti kita telah mendistorsikan sebagian riwayat hidup kita yang cukup penting di masa lalu. Sejarah harus dapat memberikan pengertian kepada kita tentang masa lalu, agar kita mampu memahami masa lalu tersebut, dengan demikian diharapkan kita dapat bertindak bijaksana pada hari ini dan pada masa yang akan datang dan mengambil sisi baik dari sejarah kecemerlangan yang ada serta memberi makna pada sejarah hari ini. Diharapkan kita dapat bersikap dengan belajar dari sejarah kelam yang pernah terjadi, karena sejarah mengalami proses rekonstruksi dan representasi. POSISI STRATEGIS SELAT MALAKA: PERSPEKTIF SEJARAH Untuk menelusuri jejak perjalanan sejarah berdirinya kerajaan Aceh Darussalam, terlebih dahulu ditelaah faktor pencetus dan kondisi riil sejarah yang mendorong lahirnya suatu kerajaan, karena ia tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa setting episode tertentu sehingga mempercepat proses kelahirannya. Aceh (kini Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di ujung Barat Pulau Sumatera. Provinsi ini terletak pada posisi 2º-6º lintang utara dan 95º-98º bujur timur. Luas Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah 57.365,57 km² atau 2,88 persen dari luas wilayah Indonesia. Provinsi ini secara geografis berbatasan dengan Selat Malaka dan Sumatera Utara di belahan pesisir Utara dan Timur. Sedangkan di bagian pesisir Barat/Selatan berbatasan dengan lautan Hindia dan provinsi Sumatera Utara. Provinsi ini mempunyai 57.53 km² luas wilayah daratannya.3 Dari kondisi letak geografis seperti tersebut diatas, letak provinsi ini sangatlah strategis, sehingga menjadi pintu gerbang sebelah Barat kepulauan Indonesia yang terletak di tepi Selat Malaka dan Samudera Indonesia, jika dilihat dari

2 Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, (Medan: Prakarsa Abadi Press, 1988), hal. 12. 3 Yayasan Wawasan Nusantara, Profil Provinsi Republik Indonesia,Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : 1992), hal.41.

34

Aceh: Relasi Lokal dan Global

sisi lalu lintas perdagangan dan pelayaran International. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, daerah Aceh telah menunjukkan perannya yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentengi Indonesia dari ancaman imperialisme Barat. Aceh telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dan mengagumkan. Diantaranya, Aceh telah mengorbankan ribuan pahlawan yang gagah berani membela dan mempertahankan tanah air dari renggutan imperialisme Barat. Sejak zaman neolitikum (zaman batu) Selat Malaka merupakan terusan penting dalam gerak migrasi bangsa-bangsa di Asia, dalam bentuk gerak ekspansi kebudayaan India sebagai jalan niaga dunia serta jalan penghubung utama dua kebudayaan besar Cina dan India.4 Untuk melihat peran Aceh dari letak geografisnya, analisis ini dikaitkan dengan jalan niaga international melalui selat Malaka. Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Di awal abad Masehi sudah ada ruterute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. 5 Wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Bahkan hasil bumi dari maluku seperti pala dan cengkeh juga dipasarkan di jawa dan sumatera. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-I dan ke-IV M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. 6 Para pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ikut serta dalam perdagangan di kepulauan Indonesia sejak abad VII M (abad I H). Malaka merupakan jalur utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara di bawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dagang secara langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian Malaka menjadi mata rantai jalur pelayaran penting. Lebih ke barat lagi dari Gujarat, perjalanan laut melintasi Laut Arab. Dari sana jalur perjalanan terbelah menjadi dua. Jalur pertama disebelah utara menuju teluk Oman, melalui selat Ormuz ke teluk Persia. Jalur kedua melalui Teluk Aden dan Laut Merah dan dari kota Suez menuju Cairo dan Iskandariah jalur perdagangan harus melalui jalur darat. Melalui jalur pelayaran tersebut kapal-kapal Arab, Persia dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan kemudian ke Cina dengan menggunakan angin musim untuk berlayar. 7 Dalam versi lain menurut Zakaria Ahmad, di Asia terdapat dua jalur niaga international yang utama, yaitu melalui jalur darat dan jalur laut. Jalur darat ini disebut jalan sutera yang menempuh jalur dari Cina melalui Asia Tengah dan Turkestan sampai ke laut Tengah. Jalan ini berhubungan dengan jalan kafilah India. Hubungan Cina-India dengan Eropa sudah dikenal semenjak tahun 500 SM dan merupakan jalan yang paling tua. Sedangkan jalan yang melalui jalur laut ialah dari Cina dan

4 Haji Moh.Said dan Anas Mahmud, “Banda Aceh Sebagai Pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh” dalam Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun. (Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, (Medan: Prakarsa Abadi Press,1988) hal.213. 5 Marwati Djoened Poeponegoro dan Noegroho Nosusanto (Ed). Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal.2. 6 Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, ( Jakarta: MUI,1991), hal. 34. 7 Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hal.122.

Aceh Serambi Mekkah

35

Indonesia melalui selat Malaka ke India. Dari tempat ini dapat diteruskan ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah atau diteruskan ke laut Merah melalui Mesir kemudian ke laut Tengah. Jaringan lalulintas internasional ini tidak hanya menghubungkan Asia dan Eropa tetapi juga Afrika Timur sampai ke Mozambiq. Perdagangan ke kepulauan Indonesia ini sudah lazim dilakukan sejak bangsa Indonesia mulai menetap di kepulauan ini dan hal ini semakin bertambah ramai dengan adanya perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan oleh kepulauan Maluku yang sangat disukai oleh bangsa Eropa, Cina dan India. 8 Posisi strategis itu menjadikan wilayah Indonesia yang berada di sekitar Selat Malaka selalu mempunyai peranan penting sepanjang gerak sejarah Indonesia. Akibat keramaian lalulintas pelayaran di Selat Malaka, maka kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara pulau Sumatera menjadi daerah perdagangan yang penting, sehingga banyak dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negara. Bermacam-macam hasil pertanian dan rempah-rempah serta barang dagangan lainnya diperjualbelikan di kota- kota tersebut. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA 1. Kerajaan Islam Perlak Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Indonesia bahkan di Asia Tenggara adalah kerajaan Perlak. Berdirinya kerajaan ini diploklamirkan pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram tahun 225 H (840 M). Bandar Peureulak menjadi ibu kota kerajaan islam yang pertama ini. Untuk mengenang jasa penyebar Islam pertama di Peureulak yaitu seorang Nakhoda “Khalifah”. Maka Bandar Peureulak sebagai diganti dengan nama “Bandar Khalifah”. Raja pertama yang memerintah kerajaan ini ialah Said Maulana Alaiddin Abdul Aziz Syah dan memerintah selama 24 tahun: dari tahun 225-249 H (840-864 M). Menurut Tgk. Hamzah Yunus 9 masa pemerintahan Islam Peureulak berlangsung selama 467 tahun dari tahun 225-692 H dengan 13 orang sultan. Kerajaan Islam Perlak lahir bertepatan dengan masa pemerintahan khalifah Al-Muktashim Billah, khalifah Abbasiyah terakhir yang memerintah tahun 218-227 H (833-842 M). Sampai awal abad ke X tercatat empat orang raja yang memerintah Kerajaan Islam Peureulak, yaitu: 1. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah, yang memerintah pada tahun 225249 H (840-864 M) 2. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdurrahim Syah, 249-285 H (864-888 H) 3. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah, 285-300 H (888-913 M). 4. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughaiyat Syah, 302-305 H (915-918 M). Penobatan Sultan yang ke-empat tertunda selama tiga tahun karena terjadi pertentangan politik antara aliran Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Para saudagar yang dipimpin Nakhoda 8

Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam TH 1520-1675, (Medan: Monora,1972), hal.17. Tgk.Hamzah Yunus, “Bandingan terhadap Sejarah Pemerintahan selama Berdiri Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” , dalam Sinar Darussalam No. 94-95. (YPD Unsyiah IAIN Ar-Raniry 1978), hal. 458. 9

36

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Khalifah terdiri atas pemimpin-pemimpin kaum Syiah yang tersingkir oleh penguasa dari dinasti Abbasiyah di Tanah Arab, Persia dan India. Pertentangan politik antara kedua mazhab ini saat itu sampai meluas ke Peureulak. Akhirnya kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah berhasil menumbangkan kerajaan Islam Syiah dan menggantikannya dengan kerajaan Ahlussunnah Peureulak. Dinasti Makhdum merupakan pelanjut dari sultan-sultan dinasti Saiyid Maulana yang berjumlah dua belas orang, yaitu: 1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 306310 H (918-922 M) 2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhamamd Amin Syah Johan Berdaulat, 310-334 H (922946 M) 3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdulmalik Syah Johan Berdaulat, 334-361 H (946-973 M) 4. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat, 402-450 H (1012-1059 M) 5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat, 450-470 H (1059-1078 M) 6. Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat, 470-501 H (1078-1108 M) 7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat, 501-527 H (1108 – 1134 M) 8. Sultan Makhdum Alaidin Mahmud Syah Johan Berdaulat, 527-552 H (1134-1158 M) 9. Sultan Makhdum Alaidin Malik Usman Syah Johan Berdaulat, 552-565 H (1158-1170 M) 10. Sultan Makhdum Alaidin Malik Mahammad Syah Johan Berdaulat, 565 592 H (1170-1196 M) 11. Sultan Makhdum Alaidin Malik Abduljalil Syah Johan Berdaulat, 592-622 H (1196-1225 M) 12. Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat, 622-662 H (1225-1263 M). Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah, kaum Syiah kembali melakukan perlawanan terhadap sultan dan terjadilah perang saudara selama empat tahun. Akhirnya perang saudara ini dapat diakhiri dengan kesepakatan damai, yaitu kerajaan Islam Peureulak dibagi dua. Peureulak pesisir untuk golongan Syiah dangan ibukota Bandar Peureulak dan Peureulak pedalaman untuk golongan Ahlussunnah dengan ibukota Bandar Khalifah. Pembagian wilayah kekuasaan ini mengakhiri perang saudara yang terjadi diantara dua idiologi politik yang saling mempengaruhi peta politik dunia Islam. Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II tidak mempunyai putera mahkota, oleh karena itu kedua puterinya dinikahkan dengan dua orang raja. Puteri Ratna Kemala dinikahkan dengan Parameswara, salah seorang Raja Malaka, yang mengganti namanya dengan Iskandarsyah setelah memeluk Islam. Dengan bantuan iparnya Malik Abdulazis Syah (putera mahkota Malik Muhamamd Amin Syah II), sultan berjihad mengembangkan ajaran Islam ke seluruh daratan Semenanjung Tanah Melayu. Sementara puteri Ganggang Sari dinikahkan dengan Sultan Malikussalih yang memerintah kerajaan Islam Samudera Pasai dari tahun 659-688 H (1261-1289 M). Kedua Perkawinan ini mempunyai arti yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Aceh Serambi Mekkah

37

Sultan Malik Abdul Aziz merupakan raja terakhir dinasti Makhdum dalam Kerajaan Islam Peureulak. Setelah sultan terakhir ini mangkat, Kerajaan Islam Peureulak bergabung dengan Kerajaan Islam Samudera Pasai. Faktor perkawinan puteri Ganggang dengan sultan Malikussalih menyebabkan lancarnya penyatuan Kerajaan Islam Peureulak ke dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai. 10 Nantinya dari hasil perkawinan ini melahirkan seorang putera mahkota pewaris dua kerajaan, yakni Sultan Muhammad Malikul Dhahir. Di masa jayanya kerajaan Islam Peureulak adalah kerajaan yang memiliki kebudayaan dan peradaban tinggi bersifat terbuka. 2. Kerajan Islam Samudera Pasai Kerajaan Islam Samudera Pasai adalah Kerajaan Islam terbesar dan termegah di Asia Tenggara pada abad ke-13. Kerajaan ini terletak di daerah Aceh Utara, di pesisir timur laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan pada awal atau pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.11 Sebelum berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai, di daerah ini telah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja yang bergelar “Meurah”. Gelar Meurah Cut Intan misalnya, adalah pahlawan Aceh dari negeri-negeri kecil seperti Jeumpa, Samudera, Tanoh Data, dan lain-lain.12 Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Pembentukan kerajaan Islam Samudera Pasai diawali dengan kedatangan seorang pembaharu Islam ke wilayah itu pada tahun 433 H (1042 M). Meurah Khair datang ke Tanoh Data (di sekitar daerah Cot Girek sekarang) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke Raja Samudera Pasai. Meurah Khair, sang pembaharu, berasal dari keluarga Sultan Mahmud Peureulak. Ia datang dengan dua tujuan yaitu untuk mendakwah Islam dan membangun Kerajaan Islam Samudera Pasai. Akhirnya tujuan ini tercapai dan ia menjadi raja yang pertama yang bergelar Maharaja Mahmud Syah disamping memiliki nama gelar lokal, Meurah Giri, 433-470 H (10421078 M).13 Adapun silsilah dari raja-raja kerajaan Samudera Pasai adalah: 1. Maharaja Mahmud Syah (Meurah Giri), 433-470 H (1042-1078 M) 2. Maharaja Mansur Syah, 470- 527 H(1078-1113 M) 3. Maharaja Khiyassyudin Syah, 527-550 H (1113-1155 M) 4. Maharaja Nurdin al-Kamil, 550- 607 H (1155-1210 M) 10

Ali Hasjmy dkk, Eds). 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI, 1995).hal.3-8. Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984 ), hal.3. Sementara A.Hasjmy mengatakan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai lahir pada tahun 433 H atau 1042 M pada masa Daulah Abbasiyah dikuasai oleh Dinasti Buwaihi di Irak tepatnya pada masa Jalaluddin Daulah (416-435 H). 12 Tgk. M.Junus Jamil, Tawarich, hal. 9. 13 Ibid, hal. 9. 11

38

Aceh: Relasi Lokal dan Global

5. Sultan Malikussalih, 659-688 H (659-688 H (1261-1289 M) 6. Sultan Muhamamd Malikul Dhahir, 688-725 H (1289-1326 M) 7. Sultan Ahmad Malikul Dhahir, 725-750 H (1326-1350) 8. Sultan Zainuddin Malikul Az-Zahir, 750-796 H (1350-1394 M) 9. Sultan Zainal Abidin, 1383-1400 H 10. Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, 801-831 H (1400-1427 M). Sementara menurut pengakuan sarjana-sarjana Barat, Malik al-Saleh, raja pertama dari kerajaan ini, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Rajaraja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian dari beberapa sumber yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat tersebut, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L.Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffacr, H.KJ. Cowan, dan lain-lain. 14 Dari sisi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.15 Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan16 bahwa raja Pasai kelima yaitu Malik alSaleh sebelum menjadi raja mempunyai gelar Meurah Sile atau Meurah Selu. la masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kuburan itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut. Meurah Selu adalah putera Meurah Gajah. Nama Meurah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata sungkala yang aslinya berasal dan Sanskrit Chula. Kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja. Dari hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu dan kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara sungai Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja. Pendapat yang mengatakan bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M didukung oleh berita Cina dan pendapat Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi menuju Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber- sumber dari Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim duta kepada raja

14

Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam A.Hasjmy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, ( Bandung: AlMa’arif, 1989 ), hal.420. 15 Uka Tjandrasasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” , dalam A.Hasjmy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, ( Bandung: Alma’arif, 1989), hal.362. 16 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi. Proses Islamisasi, hal.423-426.

Aceh Serambi Mekkah

39

Cina yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman. 17 Ibnu Batutah menyatakan, bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di sana. la meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya, mengikuti mazhab Syafi’i. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi tentang berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Perekonomian kerajaan maritim ini tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran merupakan sendi- sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh pendapatan dan pajak yang besar, diantaranya diperoleh dari pajak yang dibebankan kepada setiap kapal dagang dari barat yang singgah didaerah ini sebesar enam persen. Didukung oleh letaknya yang strategis, yang menjadikan daerah ini sebagai penghubung pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab, menyebabkan daerah ini banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari negara barat, sehingga dapat diperkirakan bahwa kerajaan ini adalah kerajaan yang sangat makmur. Tome Pires menceritakan bahwa kerajaan Pasai menggunakan mata uang dirham. Adanya mata uang tersebut membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang maju. Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan untuk menunjukkan bukti- bukti sejarah raja- raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan namanama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah, Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan ke-15 M. Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu dapat diketahui nama-nama raja dan urutan-urutannya, sebagai berikut: Sultan Malik al-Saleh yang memerintah sampai tahun 1297 M, Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik al-Zahir (1326-1345 M), Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M), Zain al-Abidin Malik al-Zahir(1383-1405 M), Nahrasiyah (1402- ? ), Abu Zaid Malik al-Zahir(7-1455M), Mahmud Malikal-Zahir(1455-1477M), Zain al-Abidin (1477-1500 M.), Abdullah Malik alZahir (1501-1513 M), dan Sultan yang terakhir adalah Zain al-Abidin (1513-1524). 18 Kerajaan Samudera Pasai berkuasa sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis dan mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.19

17

H.J.De Graaf,”Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke 18" dalam Azyumardi Azra (Ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hal.3. 18 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Proses Islamisasi, hal. 430. 19 Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI,1992), hal. 55.

40

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir (688-725 H), dibentuklah suatu konfederasi kerajaan-kerajaan Islam yang terdiri atas Kerajan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Beunua (Tamiang) dan Kerajaan Islam Samudera Pasai. 3. Kerajaan Islam Tamiang Kerajaan Islam Tamiang pada asalnya bernama “Negeri Benua”. Asal usul Negeri Benua awalnya adalah Pulau Kampai di Pangkalansusu. Di tahun 580 H (1184 M) satu kelompok masyarakat yang berasal dari negeri Peunaroon (Tanah Alas) yang dipimpin oleh Panglima Pucook Sulooh membuka daerah baru yang diberi nama “Batu Karang” di daerah Tamiang sekarang. Para Pendatang ini berasal dari Tanah Alas. Mereka penganut agama Islam yang telah lama menetap di Peureulak. Pucook Sulooh meninggal dunia pada tahun 609 H (1212 M). Anaknya yang bernama raja Sepala mewarisi kerajaan negeri Tamiang ini. Kemudian setelah raja tersebut mangkat kerajaan ini diwariskan kepada raja Pahdiwangsa dan selanjutnya kepada raja Dinok. Setelah raja Dinok mangkat, negeri Tamiang diwariskan kepada puteranya yang bernama raja Malas. Selanjutnya Tamiang diperintah oleh raja Kelabu Tunggal. Setelah raja ini mangkat dilanjutkan oleh raja Peundekar. Kemudian raja ini mengangkat menantunya yang bernama Proom Syah menjadi raja. Dari keturunan raja ini Tamiang diperintah secara terus menerus sampai ia digantikan oleh raja Muhammad yang digelar raja silang Kemudian negeri ini diperintah oleh raja Muda Seudia Putera dari seorang panglima yang bernama Makhdum Sa’ad. Keturunan raja Muda Seudia ini yang memerintah Tamiang secara turun temurun sampai ke masa terakhir pemerintahan kerajaan ini diperintah oleh Tengku Raja Suloong bin Raja Habsyah bin Raja Ma’an. 4. Kerajaan Aceh Darussalam Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan reaksi dari pihak-pihak yang menjadi korban. Banyak kerajaan di Nusantara yang akhirnya berperang dengan kaum pendatang yang mengedepankan semangat imperialisme dan monopoli perdagangan. Salah satu kerajaan yang memerangi imperialisme dan kolonialisme Barat adalah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam merupakan konfederasi dari kerajaan Islam sebelumnya. Berdirinya kerajaan Aceh Darussalam terkait erat dengan penaklukan kota Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511 yang bermaksud untuk menghancurkan perdagangan saudagar muslim di kota tersebut. Penaklukan ini berakibat timbulnya kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan selat Malaka. Dengan semangat perang Salib, orang-orang Portugis memperoleh kemenangan mengusir bangsa Mur (orang-orang Islam) dari negerinya ke seberang selat Giblartar pada abad 15 masehi dan menduduki Ceuta yang terdapat diseberang selat gibraltar, Afrika, pada tahun 1415.20 Kemenangan tersebut telah mendorong orang-orang Portugis untuk mengadakan perlawatan ke berbagai tempat di kawasan lain. Pada mulanya perlawatan ini tidak didasarkan pada motif

20

Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, Medan: Penerbit Menara 1972, hal.24.

Aceh Serambi Mekkah

41

ekonomi, akan tetapi untuk melanjutkan pengejaran dan pengusiran bangsa Mur, sebagai musuh agama mereka (Kristen) yang telah mengalahkan mereka dalam perang Salib di Timur Tengah. 21 Strategi perang Portugis dalam pengusiran tersebut adalah memutuskan mata rantai kekuatan Turki dari sumber ekonomi perdagangannya dengan menduduki bandar-bandar dagang di India dan Asia Tenggara. Dengan monopoli dagang ini, Turki akan kehilangan daerah juangnya. Oleh sebab itulah Portugis menduduki Diu di teluk Persia, Goa di India, dan Melaka di Selat Malaka. Hampir bersamaan dengan itu, mereka juga menyerang Aden yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque, tetapi tidak berhasil. Karena kekalahan itu, maka impian Alfonso de Albuquerque menaklukkan Mekah untuk menghancurkan Ka’bah dan menyerang Madinah untuk mengambil tulang-belulang Nabi Muhammad Saw. dari kuburnya dan dibawa ke Yerussalem tinggal menjadi impian belaka. 22 Karena motif semangat perang Salib, Portugis tidak membenarkan perdagangan yang dilakukan oleh orang Islam. Oleh karena itu timbullah bentrok antara Portugis dengan pedagang Islam. Bagi Portugis, pedagang dan raja Islam di Asia adalah musuh-musuh yang harus diperangi, tetapi tidak mudah bagi mereka untuk melaksanakan niatnya menghancurkan pedagang Islam. Di Goa, de Albuquerque mendengar berita tentang Malaka yang telah menjadi kota Islam yang makmur dan telah menjadi sebuah kota pelabuhan transit yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang asing. Ia berhasrat mengadakan hubungan dagang dengan Sultan Mahmud Syah, Sultan Malaka, dengan mengirimkan utusannya ke Malaka. Akan tetapi Sultan tidak menyambut baik keinginan ini karena telah mengetahui tentang hal- hal yang tidak menguntungkan dari Portugis. Hal ini mengakibatkan kemarahan Portugis, kemudian mereka menyerang Malaka dan menguasainya pada tahun 1511.23 Setelah kota ini diduduki, de Albuquerque membuat benteng untuk memperkuat kedudukan Portugis di Malaka yang sangat strategis. Akibat dari pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 sangat luas. Portugis memegang kunci perdagangan di Selat Malaka dan di Asia Tenggara umumnya. Walaupun pendudukan ini bersifat komersil, namun motivasi agama (perang Salib) tidak pernah pudar dan terlupakan. Sehingga para pedagang Islam banyak mengalami kesulitan. Akhirnya mereka, termasuk para ulama, mengarungi Selat Malaka untuk pindah ke tempat lain seperti Pidie dan Pasai. Mereka melanjutkan usaha dagang di dua kota pelabuhan ini yang juga merupakan daerah yang sudah maju dibidang perdagangan dan pertanian terutama lada. Portugis tidak mentolerir pertumbuhan dan kemajuan dua kota pelabuhan tersebut. Akhirnya Pidie dikuasai pada 1520 dan Pasai diduduki pada 1521. Untuk mempertahankan kedudukannya dari ancaman serbuan kerajaan Aceh Darussalam yang sudah mulai muncul sebagai kekuatan baru di kawasan itu, Portugis mendirikan benteng yang kuat di Pasai. Menurut hasil penyelidikan Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat yang mempergunakan naskahnaskah asli Aceh dan catatan pada batu nisan, dijumpai beberapa nama lain dari raja Aceh; pada umumnya adalah raja kecil yang takluk pada kekuasaan Pidie. Diantaranya Raja Inayat Syah anak dari Al-Malik al-Mubun. Inayat Syah mempunyai dua orang anak laki- laki dan dua orang

21

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry,(Jakarta: Rajawali,1983), hal.14. 22 Ibid, hal. 14. 23 Ibid, hal. 15.

42

Aceh: Relasi Lokal dan Global

anak perempuan. Salah seorang anak laki-lakinya bernama Sultan Aladdin Riayat Syah yang memerintah di kerajaan Daya. Sementara anaknya yang lain, Muzaffar Syah menjadi raja Meukuta Alam (Kuta Alam) yang takluk pada kerajaan Pidie. Berikutnya raja Meukuta Alam ini digantikan oleh menantunya yaitu Sultan Syamsu Syah, anak dari Munawar Syah. Sultan Syamsu Syah mempunyai dua orang anak laki-laki yaitu Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim.24Kedua kakakberadik inilah yang meletakkan dasar-dasar perkembangan kerajaan Aceh selanjutnya. Pada permulaan abad ke-16, sebagian besar negara Islam telah berada di bawah kekuasaan imperialisme dan kolonialisme Barat, termasuk Aceh. Kekuasaan imperialisme kolonial Barat ini bisa bertahan karena kekuatan yang dimiliki oleh kerajaan Islam di Aceh terpencar dengan sejumlah kerajaan-kerajaan kecil, seperti kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, Kerajaan Pedir, Kerajaan Darussalam (Aceh Besar sekarang). Pemikiran menyatukan kerajaan-kerajaan kecil ini baru muncul dari panglima Angkatan perang kerajaan Islam Aceh pada masa itu, yaitu Ali Mughayat Syah. Ia menyadari betapa kuat ancaman Portugis pada awal abad ke-16 yang mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat signifikan di sekitar Selat Malaka dan mengancam keselamatan pedagang Islam. Portugis berusaha memblokir seluruh jalur lalu lintas Internasional disekitar Selat Malaka termasuk Aceh. Karena ancaman ini, maka Ali Mughayat Syah berusaha mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh dalam satu kerajaan besar yang diproklamirkan pada 20 Februari 1511 M atau 21 Zulqaidah 916 H yang diberi nama Kerajaan Aceh Darussalam.25 Asas Kerajaan ini berdasarkan Qanun Meukuta Alam al-Asyi. Bahasa resmi negara adalah Melayu Pase, Aceh dan Arab. Untuk menghalau Portugis menguasai Kerajaan Aceh Darussalam, Ali Mughayat Syah juga membentuk angkatan darat dan laut kerajaan yang lengkap dengan segala peralatannya. Dan bersama dengan Raja Ibrahim, ia juga mengatur sebuah progress pemerintahan yang dituangkan dalam tiga hal: 1. Mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh Besar yang akan dijadikan pusat Kerajaan Aceh yang kuat dan merdeka, yang selanjutnya akan diperluas ke daerah-daerah di tepi Selat Malaka. 2. Mengusir bangsa Portugis dari daerah sepanjang Selat Malaka dan selanjutnya merebut Malaka dari tangan Portugis agar kekuasaan tunggal atas lalulintas international di Selat Malaka berada sepenuhnya di tangan Kerajaan Aceh. 3. Untuk mengimbangi semangat conquistador Portugis yang berapi-api, maka dikalangan rakyat Aceh dibangun dan dibangkitkan semangat jihad dengan memperkuat pengajaran agama Islam dikalangan rakyat. Satu persatu kerajaan kecil di Aceh Besar dipersatukan dan kerajaan terakhir yang ditaklukkan oleh Panglima Ali Mughayat Syah adalah kerajaan Daya pada 1520 M. Sejak saat itu kerajaan Aceh menjadi kerajaan merdeka dan berdaulat yang meliputi Aceh Besar ditambah Daya yang terletak di Aceh Barat sebagai daerah pusat kerajaan Aceh Darussalam.

24

Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, Medan: Penerbit Menara 1972, hal. 35. 25 Lihat A.Hasjmy, “Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam Sinar Darussalam Nomor 94/95. hal.644

Aceh Serambi Mekkah

43

Pada tahun 1519, Portugis di bawah pimpinan panglima Gaspar de Costa menyerang Aceh, serangan ini dapat dipatahkan oleh Ali Mughayat Syah. Kemudian pada tahun 1521 Portugis bekerja sama dengan kerajaan Pidie mencoba menghancurkan kerajaan yang sangat muda ini dan gagal, bahkan panglima Portugis Jose de Brito tewas dalam pertempuran. Kemenangan ini dijadikan momentum oleh Ali Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari Aceh. Pada tahun tersebut juga kekuasaan Portugis di Pidie dapat dihancurkan. Pidie dimasukkan dalam kerajaan Aceh Ekspedisi selanjutnya diarahkan ke Pasai dibawah pimpinan Raja Ibrahim dan Pasai berhasil diduduki seluruhnya pada tahun 1524. Raja sendiri syahid, jenazahnya di bawa pulang ke Banda Aceh dan dimakamkan disana. Di batu nisannya tertulis tanggal kesyahidannya 21 Muharram 930 H atau 30 Nopember 1535 M. Tanggal ini diabadikan sebagai tanggal hari kemenangan Pasai melawan Portugis.26 Sabastian de Sausa yang menggantikan Don Sancho Henrique untuk mempertahankan benteng Portugis di Pasai mengalamai kegagalan total dan meninggalkan banyak peralatan perangnya yang tidak sanggup di bawa lari ke Malaka. Setelah Pasai dapat ditaklukkan, kerajaan ini disatukan dengan kerajaan Aceh Darussalam. Dengan demikian sejak saat ini unsur asing tidak ada lagi di belahan bumi Aceh dan disana ditempatkan seorang wakil Sultan. Pada tanggal 7 Agustus 1530 (12 Zulhijjah 936 H) Ali Mughayat Syah putra Sultan Syamsu Syah meninggal dunia27 setelah memerintah selama sepuluh tahun. Walaupun seluruh cita-citanya belum dapat direalisasikan, namun khittah perjuangan yang digariskannya sudah cukup kuat dan dia berhasil mengusir Portugis dari Aceh, mempersatukan daerah inti kerajaan Aceh dan memperluasnya ke beberapa daerah: Daya, Pidie dan Pasai yang kemudian menjadi daerah pokok kerajaan Aceh. Kegigihan dalam mengusir Portugis telah memberikan andil yang sangat besar bagi sebuah keyakinan bahwa penjajahan asing selalu dapat dilawan. Kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu termasuk salah satu Kerajaan yang masuk dalam deretan Lima Besar Kerajaan Islam. Pada masanya, kelima kerajaan Islam ini menjalin hubungan kerjasama ekonomi, politik, militer,dan kebudayaan. Lima Besar Kerajaan Islam tersebut adalah: 1. Kerajaan Islam Usmaniyah di Istambul (Turki) Asia Minor; 2. Kerajaan Islam Maroko di Rabat, Afrika Utara; 3. Kerajaan Islam Isfahan di Persia (Iran) Timur Tengah 4. Kerajaan Islam Mughal di Agra, Anak Benua India 5. Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.28 Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M,29 Menurutnya, pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar- saudagar muslim yang

26

Muhammad Said, Atjeh Sepandjang Abad, jilid I, Medan: Muhammad Said, 1961, hal.167. Ibid, hal. 156 28 Cantwell Smith, Islam In Modern History (princenton, new york jersey: princeton 29 Anas Machmud, “Turun- Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”, dalam A.Hasjmy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, hal.286 27

44

Aceh: Relasi Lokal dan Global

sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri. Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Prioritas utama yang dilakukan al Qahar ialah: 1. Meningkatkan volume perdagangan dan memberi jaminan keselamatannya sebagai kelanjutan kebijakan sultan sebelumnya; 2. Melanjutkan usaha penumpasan imperialis Portugis yang terus mengancam di Selat Malaka. Perdagangan internasional yang telah berkembang selama ini terus ditingkatkan. Ekspor Aceh terutama lada, baik yang diangkut oleh saudagar– saudagar Gujarat, saudagar Aceh dan saudagar asing lainnya dapat terjamin sampai ke laut Merah dan berjalan lancar. Komoditas utama Aceh yang sangat di incar oleh pedagang luar adalah produksi pertanian, lada, kapur barus, kemenyan, emas. Kesemua ini sangat tinggi nilai jualnya di pasaran Eropa. Untuk tujuan ini, Sultan berusaha meminimalisir peran Portugis di Selat Malaka karena telah berusaha memonopoli lalu lintas Malaka. Pembangunan kapal terus digiatkan dengan memanfaatkan tenaga ahli dari Portugis yang telah memeluk Islam yang diberi nama Khoja Zainal Abidin. Hampir semua barang kebutuhan buatan luar negeri dapat diproduksi di Aceh pada masa al-Qahhar. Demikian pula dengan industri meriam sudah sangat maju menurut ukuran masa itu dan sudah dapat menerima pesanan dari kerajaan Demak. Setelah memerintah selama dua puluh delapan tahun sembilan bulan, pada tanggal 8 Jumadil awal 979 H atau 28 September 1571 M Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahar meninggal dunia. Kepergiannya, membuat Kerajaan Aceh telah kehilangan raja yang perkasa, tegas dan adil. Dialah peretas yang membawa harum nama Aceh di mata international. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Mukammal, usaha pertama yang dilakukannya ialah menciptakan suasana tenteram di seluruh kerajaan Aceh Darussalam. Kekalutan yang silih berganti yang diakibatkan oleh perebutan kekuasaan sultan telah menimbulkan perpecahan, huru-hara dan pembunuhan-pembunuhan. Perang yang terus menerus dilancarkan oleh kerajaan Aceh Darussalam baik terhadap Portugis maupun terhadap kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengan Portugis di wilayah Malaya maupun di Sumatera telah banyak membawa korban jiwa dan harta benda. Keadaan yang tidak kondusif ini apabila tidak diantisipasi dengan segera akan berdampak pada kehancuran kerajaan Aceh. Namun ada satu hal yang melegakan bahwa daerah pusat Kerajaan Aceh tidak pernah melakukan kudeta atau tindakan separatis. Hal ini karena landasan persatuan dan kesatuan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan Alauddin Ri‘ayat Syah al-Qahar sangat kuat dan teguh dipegang oleh semua komponen strata masyarakat yang ada dalam kerajaan. Untuk meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah al-Mukammal membuka empat pelabuhan utama yaitu : Pantai Cermin, Daya, Pidie dan Pasai. Keempat bandar itu dibuka selebar-lebarnya untuk lalu lintas perdagangan. Para pedagang asing yang datang ke Aceh diperlakukan sama. Di banda dan pasar tersebut didapati pedagangpedagang asing dari berbagai bangsa seperti Arab, Cina, Persia, Siam, Turki, Pegu, Benggala, Aceh Serambi Mekkah

45

Portugal dan Spanyol. Pada masa al-Mukammal konfrontasi dengan Portugis untuk sementara waktu dihentikan. Ini belum pernah terjadi sejak kerajaan Aceh Darussalam dibangun bahkan di istana kerajaan terdapat seorang Portugis yang bernama Alfonso Vicente yang bertindak sebagai juru bahasa dan penasehat dagang Sultan. Karena perdagangan lada di bandar-bandar Aceh pesat sekali perkembangannya, maka Sultan al-Mukammal mengintensifkan perluasan penanaman komoditi ini. Untuk itu dibuka kebunkebun lada yang sangat luas dan para petani mendapatkan uang muka untuk biaya penanaman dan membuka lahan baru. Atas usaha ekstensifikasi lada ini Kesultanan Aceh menjadi sangat makmur. Dari hasil penjualan lada dan cukai perdagangan di pelabuhan-pelabuhan dimanfaatkan untuk membangun Kerajaan Aceh. Karena itu tidak mengherankan kemajuan yang dicapai sangat pesat. Selain membangun sarana fisik, pendapatan yang diperoleh juga dimanfaatkan untuk memperkuat armada perang dengan membeli kapal-kapal buatan luar negeri. Meskipun demikian bantuan senjata masih tetap diterima dari kerajaan Turki. Selain itu al-Mukammal juga membeli senjata dan mesiu dari Belanda dan Inggris. Atas prestasi ini Aceh menjadi negara maritim yang kuat dan berani melawan Portugis di Malaka. Masa damai yang berlangsung sementara itu mencair kembali karena pihak Portugis sudah mulai menunjukkan sifat-sifat penjajahnya, sifat monopoli dalam perdagangan dan perasaan iri terhadap kehadiran saudagar Eropa lainnya seperti Inggris, Belanda, dan Perancis sebagai pendatang baru yang dapat mengancam kedudukan mereka. Portugis melancarkan siasatnya dengan menghasut daerah-daerah vazal kerajaan Aceh agar menyalurkan hasil komoditasnya ke Malaka. Tindakan Portugis ini sangat merugikan Aceh dan Aceh tidak membiarkan kepentingan ekonominya dihancurkan oleh Portugis. Selama memerintah, al-Mukammal telah berhasil menyelamatkan Kerajaan Aceh dari keruntuhannya dan berhasil menciptakan suasana kondusif, aman dan tenteram di seluruh Kerajaan Aceh. Al- Mukammal juga telah berhasil menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan di Asia Barat umumnya dan Indonesia bagian Barat khususnya. Rakyatnya hidup dalam kemakmuran karena kerajaannya makmur. Al-Mukammal berhasil membangun kekuatan angkatan bersenjata yang kuat yang mampu menjaga keamanan dan keutuhan wilayah kerajaan Aceh. MASA KEMEGAHAN KERAJAAN ACEH Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masa pemerintahannya, Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera. Sultan ini mampu mengislamkan orang-orang di wilayah Aceh, Tanah Gayo dan Minangkabau. Hanya orang-orang Batak yang tidak mau menerima agama Islam, untuk menangkis kekuatan ini mereka meminta bantuan Portugis. 30 Iskandar Muda dilahirkan pada tanggal 22 Rajab 1001 H (1593 M). Ayahanda Iskandar Muda Laksamana Muda Maharaja Mansur Syah adalah putera dari Abdul Jalil, putera Sultan Alaiddin Ri‘ayat Syah II Abdul Qahar yang memerintah pada tahun 945-979 H (1539-1571 M). Dari pihak ibunya, ia adalah cucu dari al-Mukammal dan dari pihak ayahnya ia adalah cicit dari al Qahar. Dari garis keturunan ini dapatlah di pahami bahwa kebesaran Iskandar Muda salah satunya diwarisi dari genetik keturunan raja-raja dari pihak ibu dan ayahnya. Baik al30

46

H.J de Graaf, Islam di Asia Tenggara, hal. 6

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Qahar maupun al-Mukammal, keduanya merupakan sultan Kerajaan Aceh yang cukup terkenal karena kecakapannya memimpin dan keberhasilan yang telah diraih dimasanya. Dari silsilah keturunan ini dapatlah dikatakan bahwa dalam tubuh Iskandar Muda mengalir darah bangsawan Aceh asli. Atas kehendak rakyat dan para ulama serta pembesar negara dan angkatan perang, maka pada Rabu, tanggal 6 Zulhijjah 1015 H (11 April 1606 M) Iskandar Muda dinobatkan sebagai sultan Kerajaan Aceh Darussalam pada usia 17 tahun. Pada awal masa pemerintahannya terjadi ketegangan didalam tubuh pemerintah. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Aceh baru saja terlepas dari suasana instabilitas pemerintahan Sultan Ali Ri‘ayat Syah dan ancaman yang sangat berbahaya dari Portugis. Disamping itu ada pula pihak yang merasa dirinya lebih berhak atas tahta Kerajaan Aceh dibandingkan dengan Iskandar Muda. Misalnya paman sultan Iskandar Muda sendiri yang bernama Husin, wakil Sultan Aceh di Pidie, anak Al Mukammal dan saudara dari Sultan Ali Ria‘yat Syah. Tetapi dengan kecakapannya Iskandar Muda dengan cepat dapat bertindak untuk mengakhiri ketegangan tersebut, ia mengadakan konsolidasi dengan seluruh alat pemerintahan sipil dan militer serta menangkap pamannya Husin dan memenjarakannya. Kemudian Iskandar Muda menyadari bahwa kemajuan suatu negara erat sekali hubungannya dengan kemajuan ekonomi dan kemakmuran rakyatnya. Dia melihat bahwa hasil bumi Aceh pada waktu itu telah menjadi rebutan bangsa Barat. Dia mengetahui pula bahwa letak geografis Aceh sangat menguntungkan dan merupakan salah satu karunia Allah swt yang sangat berharga. Meskipun demikian ia menyadari pula adanya kelemahan yang sangat merugikan dan akan selalu mengancam keselamatan Kerajaan Aceh.. Pada permulaan abad ke-17 diperairan Indonesia telah banyak bermunculan bangsa barat seperti Portugis. Belanda, Inggris dan Perancis. Semangat kolonialisme dan imperialisme telah membawa mereka untuk menguasai negara-negara yang potensial dan dapat memberikan keuntungan bagi mereka, dari segi ekonomi maupun agama. Mereka melakukan segala hal untuk mencapai tujuan tersebut, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Sehingga diperlukan tindakan yang cerdik, cermat dan berani untuk menghadapi serangan mereka demi melindungi wilayah Aceh agar tidak jatuh ke tangan mereka. Karena itu Iskandar Muda menyusun rencana untuk melindungi wilayah Aceh, yaitu; 1. Memajukan perniagaan Internasional di Aceh. 2. Menjalin hubungan dengan kerajaan Islam diluar Indonesia untuk melawan Portugis. 3. Menentang agresi Portugis agar dapat menguasai perairan Selat Malaka 4. Meluaskan daerah kekuasaan Kerajaan Aceh. 5. Merebut monopoli timah dan lada yang merupakan hasil utama Indonesia Barat dan Malaya. Setelah Sultan Iskandar Muda berhasil melaksanakan konsolidasi kekuasaan pemerintahan di tingkat pusat, langkah selanjutnja adalah menyusun dan mengatur kembali daerah yang pernah tunduk dan dimiliki oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang memisahkan diri baik yang bertindak sebagai negara merdeka ataupun menggabungkan diri dalam kekuasaan Johor dipaksa oleh Iskandar Muda untuk menggabungkan diri dalam wilayah kekuasaan Aceh. Iskandar Muda membutuhkan waktu selama lima tahun untuk menyelesaikan persoalan inkonstitusional daerahdaerah ini. Daerah di pantai barat Sumatera seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman Salida dan Indera Pura dimutasi besar- besaran dengan menempatkan pembesar yang berwibawa dan cakap untuk menjalankan tugas, mengatur pemungutan pajak, cukai dan pendapatan kerajaan lainnya. Aceh Serambi Mekkah

47

Nias juga ditaklukkan. Daerah pantai timur Sumatera berhasil pula direbutnya kembali, dahulunya kerajaan ini ditaklukkan oleh Johor yang dibantu oleh Bendahara Tun Perak. Pada tahun 1612, Aru juga direbut kembali. Berturut-turut kemudian Deli, Rokan, Kampar direbut juga. Raja Indragiri dan Jambi dipaksa menjual ladanya kepada pedagang Aceh.31 Demikianlah sejak tahun 1612 pantai timur Sumatera dikuasai kembali. Penguasaan daerah-daerah tersebut juga dimaksudkan sebagai balasan terhadap sikap Johor, yang pada tahun 1610 dengan terangterangan memasuki Aceh dan mengadakan perjanjian persahabatan dengan Portugis, perjanjian itu ditandatangani oleh Sultan Johor dan wakil Portugis Jeao Lopes d’Amoreira pada tanggal 16 Oktober 1610. Sejak tahun 1612, pantai timur Sumatera tertutup bagi pedagang Portugis. Sesudah Sultan Iskandar Muda menutup bandar lada di Sumatera, Portugis membeli lada di Patani. Patani tumbuh menjadi pasar lada yang besar. Lada dari Jambi, Indragiri, Palembang dan dari seluruh Semenanjung Malaya mengalir membanjiri Patani. Kemajuan perdagangan di Patani tentu sangat merugikan Aceh. Sultan Iskandar Muda menyiapkan angkatan perangnya untuk menghancurkan sentral perdagangan Patani. Dalam bulan Juni 1613 Batu Sawar, Ibukota Kerajaan Johor diserang oleh armada Aceh yang cukup kuat. Pasukan Aceh ini dipimpin oleh Orang Kaya Laksamana, Orang Kaya Sri Maharaja dan Orang Kaya Raja Lelawangsa. Benteng Batu Sawar dan ibukota Batu Sawar dihancurkan rata dengan tanah oleh pasukan Aceh. Raja Bungsu, Raja Siak (masing-masing adalah adik dan ipar Sul-tan Johor), Bendahara Tun Sri Lanang dan sejumlah perwira/ bangsawan lainnya dibawa ke Aceh sebagai tawanan perang. Sultan Johor sendiri dapat melarikan diri ke Bintan. Pada awal bulan Juli 1613 seluruh angkatan perang Aceh telah kembali dengan selamat ke Aceh. Setelah suasana kondusif, kemudian nasib Kerajaan Johor dibicarakan. Karena Raja Bungsu dianggap orang yang tidak mendukung Portugis dan bersedia pula mengikuti politik Kerajaan Aceh, maka diberikanlah kesempatan kepadanya untuk membangun kembali Kerajaan Johor. Raja Bungsu diangkat menjadi Sultan Johor didampingi oleh sebuah badan pengawas yang terdiri dari orang-orang Aceh dan dikepalai oleh Orang Kaya Raja Lelawangsa. Untuk mengeratkan tali kekeluargaan, Raja Bungsu dikawinkan pula oleh Iskandar Muda de-ngan adiknya. Semenjak itu, hubungan Aceh dan Johor sangat baik. Di ibukota Banda Aceh terlihat pula kesibukan untuk mengatur persiapan dan rencana menyerang Portugis. Johor diikut sertakan karena memihak kepada Aceh. John Milward dan Thomas Best yang mengunjungi Aceh tanggal 28 Juni 1616 mencatat, bahwa ia melihat Sultan Johor bersama Sul-tan Aceh, diperkirakan mereka sedang menyusun strategi persiapan menyerang Malaka. Tidak berapa lama sesudah peristiwa tersebut, suasana berubah. Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah II kembali menjadi Sultan Johor dan membuat perjanjian kerja sama dengan Portugis pada bulan November 1615. Peristiwa ini disusul pula dengan pengiriman kembali isteri Sultan Bungsu, adik Iskandar Muda ke Aceh dan kemudian Raja Bungsu menikah dengan adik perempuan Sultan Jambi. Hubungan Johor dan Aceh memburuk kembali, pada tahun 1617 Batu Sawar dihancurkan lagi oleh pasukan Aceh. Alauddin Ri‘ayat Syah II tertangkap, dibawa ke Aceh dan dibunuh disana. Raja Bungsu sempat melarikan diri ke pulau Lingga. Pada tahun 1623 Aceh 31

Rusdi Sufi, Sultanah Safiatudin Syah, dalam Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, (Jayakarta: Agung Offset, 1994), hal. 44

48

Aceh: Relasi Lokal dan Global

menggempur pulau Lingga. Raja Bungsu menyingkir ke Tambelan dan meninggal dunia disana pada bulan Maret 1623. Pada tahun 1618, Aceh mengirimkan 17.000 pasukannya untuk menyerang Pahang. Negeri tersebut dikalahkan. Sultan Ahmad, isterinya dan anaknya dari puteri Siak ditawan dan dibawa ke Aceh. Anak Sultan Pahang ini kemudian diangkat menjadi Sultan Aceh menggantikan Iskandar Muda dan diberi gelar Sultan Iskandar Thani. Kedah ditaklukkan pada tahun 1619 disusul dengan Perak pada tahun 1620. Kebun-kebun lada di Perak dihancurkan. Daerah produksi timah di Malaya diku-asai. Patani tidak lagi diserang karena sudah menyerah. Seluruh hasil lada di Indonesia Barat dikuasai dan diangkut ke Aceh, kecuali lada dari Palembang, Lampung dan Banten. Barang tersebut diperjual-belikan di bandar Aceh kepada pedagang asing. Sejak tahun 1623, Aceh benar-benar menjadi Kerajaan besar. Perniagaan Internasional di Asia Barat berpusat di Aceh. Armada Aceh menguasai lautan sekitar Malaya dan Sumatera. Persiapan pengepungan secara sistematis terhadap Portugis pun dilakukan dengan cermat. Tentang kemajuan lain yang telah diraih pada masa Sultan Iskandar Muda, Ensiklopedia of Islam antara lain mendeskripsikan “ Pada bagian pertengahan pertama dari abad ke- 17 Aceh telah mencapai puncak kemegahan dan kemajuan, dan pada saat itu Aceh berada di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda yang bergelar Meukuta Alam. Dalam masa pemerintahannya Kerajaan Aceh Darussalam sangat luas wilayah kekuasannya dan dengan armada yang amat besar, Iskandar Muda telah menyerang Malaka, sehingga riwayat penyerangannya itu diceritakan dalam sebuah buku yang berjudul Hikayat Malem Dagang, buku tersebut telah dicetak di Den Haag pada tahun 1937. Seorang penulis Inggris, Anderson, menceritakan tentang kemajuan dan kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-17. Perdagangan Aceh pada saat itu sangat maju, demikian pula industrinya. Aceh merupakan daerah penghasil sutera yang terbaik di dunia, kerajaan ini juga telah mampu membuat sendiri kapal, baik kapal perang maupun kapal dagang, bahkan konstruksinya direncanakan oleh tenaga ahli lokal. Anderson juga menceritakan tentang armada Iskandar Muda yang mampu menaklukkan Malaka. Demikian juga pengakuan Anthony Reid dalam mendeskripsikan kemajuan Kerajaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda: “ di bawah pimpinan raja yang gagah berani dan brilian, Sultan Iskandar Muda, kebesaran dan kekuatan Aceh, baik di dalam maupun di luar negeri, telah mencapai puncaknya. Pengawasan kerajaan terhadap pelabuhan penting di sepanjang pantai barat Sumatera sangat efektif, seperti halnya di pantai timur sampai ke selatan Asahan. Daerah taklukannya mencapai Pahang di Pantai semenanjung Melayu, sementara perdagangan luar negerinya telah mampu merealisir segala cita-citanya. Istananya yang besar dan agung adalah pusat kegiatan ilmu dan kesarjanaan yang tidak ada bandingannya di kepulauan Nusantara. Duta Besar Perancis, Bealieu, yang mendapatkan mandat khusus dari rajanya untuk mengantarkan surat dan berunding dengan sultan Iskandar Muda menuliskan beberapa catatannya tentang apa yang disaksikannya, antara lain sebagai berikut: “ Bahwa banyak sekali penduduk Aceh yang sudah bisa membaca dan berhitung. Mereka pun penggemar sastra, pakaianpakaiannya bersih demikian pula rumah tangganya. Pertukangan adalah bakat orang Aceh, seperti pandai besi, menghancurkan tembaga dan membuat kapal, keahlian mereka sangat mengagumkan. Di laut berlabuh kapal- kapal perang Aceh yang jauh lebih besar dari kapal-kapal perang yang pernah dibuat oleh orang Eropa saat itu….” Aceh Serambi Mekkah

49

“ Saya telah menyaksikan sendiri, bahwa kapal ukuran pertengahan saja adalah 120 kaki panjangnya. Orang Aceh sangat ahli membuat kapal perang, indah tapi berat, terlalu lebar dan tinggi pula. Di dalamnya didapati bilik-bilik. Juga dayung-dayungnya panjang tapi ringan, setiap dayung dikayuh oleh dua orang. Kapal-kapal perang itu dirawat dengan baik sehabis berperang. Disetiap kapal disediakan beberapa meriam besar, setiap kapal sanggup membawa 700 sampai 800 tentara, dan mereka juga bertugas mendayung kapal secara bergantian kalau angin tidak kuat. Gajah- gajah cukup banyak. Binatang ini sangat dibutuhkan di dalam peperangan. Kapal- kapal yang akan dinaikkan ke pantai dan dimasukkan ke dok akan ditarik oleh gajah. Sedikitnya ada sekitar 900 ekor gajah milik sultan. Semuanya telah terlatih dengan tugas masingmasing dalam peperangan seperti terlatih untuk lari, berbelok, berhenti, duduk berlindung dan sebagainya”. Pada saat itu dengan mudah didapati tukang pandai besi yang ahli, demikian pula tukang pembuat kapal. Selain itu, banyak juga dijumpai tukang yang pandai menuang tembaga. Sultan memiliki 300 orang tukang mas, dan banyak sekali tukang kayu. Ada sekitar 1500 hamba sahaya yang cukup dipercayainya dan siap menjalankan perintah tanpa membantah. Mereka itu kebanyakannya berasal dari orang asing (Habsyi). Istana dikelilingi oleh lapangan kira- kira satu setengah mil berbentuk bulat telor. Ketika melewati istana mengalir sungai yang airnya jernih sekali. Di kiri- kanannya terdapat banyak tangga untuk turun mandi ke dalamnya. Sebelum sampai ke ruang istana, tamu harus melewati empat buah pintu gerbang. Pintu terakhir sengaja temboknya dipertebal sejauh 50 langkah. Di empat penjuru ditemukan empat buah menara tinggi. Sesudah dinding terakhir terdapat sebuah lapangan yang luas. Di situ kita akan melihat 4000 orang prajurit dan 300 gajah yang bertugas di dalamnya. RATU SAFIATUDDIN 1050-1084 H (1641-1675 M) Putri Safiah yang setelah menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam, bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri Sani Ratna Sendi Istana. Setelah Sultan Iskandar Sani mangkat, atas keputusan musyawarah pembesar negara dan para ulama, maka Putri Safiah dinobatkan menjadi Ratu Aceh dengan gelar Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, untuk menggantikan suaminya. Safiatuddin memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa tersebut merupakan masa yang relatif lama. Pada periode ini kerajaan Aceh berada dalam kondisi kritis akibat kemampuan perang (militer) yang dimilikinya telah melemah sepeninggal Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin sebagai sultanah. Kondisi semakin diperkeruh dengan keberadaan segelintir orang yang ketika itu turut menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit tersebut. Kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun sedang meningkat, terutama setelah

50

Aceh: Relasi Lokal dan Global

mereka barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Oleh karenanya, kepiawaian Sultanah dalam mengendalikan pemerintahan Kerajaan Aceh dalam situasi sulit dan kritis ini oleh para sejarawan dinilai suatu yang sangat luar biasa. Safiatuddin dalam memimpin kerajaan sangat memperhatikan berjalannya sistem pengendalian pemerintahan, masalah-masalah pendidikan, keagamaan dan perekonomian juga menjadi fokus perhatiannya. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusias yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat32. Mungkin ini juga menjadi sebab yang membuat Sultanah mendapat dukungan dari ulama-ulama terkemuka waktu itu. Kelancaran roda pemerintahan yang berlangsung relatif lama pada masa Tajul Alam Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum rakyat menerima kepemimpinannya. Meskipun pada realitasnya tidaklah sebanding dengan kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Tetapi, sebagai seorang wanita pertama yang memimpin pemerintahan, ia dapat dikatakan telah mencapai prestasi yang membanggakan. Karena prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya bersangkutan soal-soal keagamaan seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam menghadapi tantangantantangan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, khususnya menyangkut masalah paham wujudiyah.33 Dalam hal perekonomian, Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan kehidupan ekonomi. Sumber utama perekonomian ketika itu, selain dari hasil tambang emas, adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di mana Belanda tidak diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh, bahwa setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak masuk sebesar lima persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu, setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang bersangkutan. Salah satu kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman dari luar, khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam makalah ini..

32

Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal. 257 33 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: Rajawali, 1993), hal. 41-42

Aceh Serambi Mekkah

51

Kenyataan lain membuktikan bahwa Safiatuddin juga memberikan perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda, Safiatuddin meneruskan upayaupaya yang telah dilakukan orang tuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain dengan mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin meminta Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab yang dikenal Mir’at al Tullab, yang berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan mengenal segala hukum syara’Allah34 Tentang kemajuan yang telah dicapai Aceh dalam pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin, tergambar jelas dalam kutipan di bawah ini: Syekh Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustanus Salatin, antara lain menulis: “... Banda Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin terlalu makmur, dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam kesentosaan dan mengikut segala barang sabdanya. Dan ia adil pada segala hukumnya, dan tawakal pada segala pekerjaannya dan sabar pada segala barang halnya, lagi mengerasi segala yang durhaka ...” “Dan ialah haibat pada segala kelakuannya, bijaksana pada perkataannya lagi ‘alim perangainya, pengasih akan segala rakyatnya lagi syafaat akan segala fakir dan miskin. Dan ialah yang mengasihi dan menghormati segala ulama dan akan anak-cucu Rasulullah saw., yang datang ke Banda Aceh Darussalam, serta dikaruniainya dengan sempurnanya ... Dan ialah raja yang tinggi hematnya, dan amat sangat murahnya ...” M. Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh melukiskan betapa berat tugas yang dihadapi Ratu Safiatuddin, antara lain dia menulis: “... Sungguh amat berat beban yang dipikul oleh Sri Ratu, disamping menghadapi dan mengatasi politik VOC Belanda yang telah berhasil merebut kota Malaka dari tangan Portugis pada 14 Januari 1641 M, juga menghadapi persoalan dalam negeri yang sangat ruwet. Para penganut paham wujudiyah menentang kedaulatan baginda. Mereka mengatakan, tidak sah hukum dalam kerajaan wanita. Ratu Safiatuddin bertindak tegas menghadapi mereka ...” Ilyas Sutan Pamenan dalam bukunya yang berjudul: Rencong Aceh di Tangan Wanita, menilai Safiatuddin sebagai wanita yang cakap dan bijaksana, yang antara lain beliau menulis: “... Rakyat Aceh mula-mula dengan sangsi memilih Sri Ratu Tajul Alam sebagai sultan dan mereka melakukan ini semata- mata karena tidak ada kaum kerabat almarhum Sultan Iskandar Sani atau pun almarhum Sultan Iskandar Muda yang laki-laki, yang akan dapat mereka pilih, merasa sekarang, bahwa pilihan itu tidak salah. Perjuangan baginda untuk mempertahankan nasib rakyatnya cukup ulung untuk membangkitkan perasaan hormat dan takjub pada penduduk Aceh ...” H.M. Zainuddin dalam bukunya yang berjudul: Srikandi Aceh, menilai Safiatuddin sebagai seorang wanita yang gemar kepada sajak (syair) dan mengarang, antara lain beliau menulis: “... Safiatuddin seorang putri yang cantik dan bijaksana, gemar sekali kepada syair (sajak) dan mengarang; guru sajaknya Hamzah Fansuri dan guru ilmu fikih Nuruddin Ar-Raniry. Sebelum

34 T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh), 1999, hal. 57

52

Aceh: Relasi Lokal dan Global

dewasa sampai menjadi permaisuri, ia banyak mengeluarkan belanja untuk membantu Hamzah Fansuri untuk membangun kesusastraan. Karena itu, namanya sangat populer dalam kesusastraan, dan juga banyak membantu Abdurrauf untuk mengarang kitab hukum. Kedua pengarang ini dikirim ke luar Aceh untuk meluaskan pandangan dan memperdalam ilmunya, yaitu ke Malaya, India, Baital Makdis, Baghdad, Madinah, dan Mekkah...” Mohammad Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang Abad, menilai Safiatuddin sebagai seorang yang mempunyai kebijaksanaan dan kemampuan luar biasa, antara lain beliau menulis: “... Kelebihan Tajul Alam dalam kenegaraan terlihat pula dari kuatnya dukungan para menteri, orang besar dan para ulama atasnya. Menurut catatan, lembaga kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua orang cerdik pandai dan berpengaruh dengan kuat mendukungnya. Mereka adalah Syekh Nuruddin Ar Raniry dan Syekh Abdurrauf sendiri. Tampak dengan dukungan ini tidak ada kekolotan keagamaan dalam membenarkan seorang wanita menjadi raja. Kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang dimiliki raja laki-laki. Tajul Alam bukan saja telah berhasil mengatasi ujian berat untuk membuktikan kecakapannya memerintah yang tidak kalah dari seorang laki-laki, tetapi juga berhasil mengadakan pembaharuan dalam pemerintahan, memperluas pengertian demokrasi yang selama ini kurang disadari oleh kaum laki- laki sendiri...” Sejak berusia tujuh tahun, Safiatuddin telah belajar bersama Iskandar Sani dan putraputri istana lainnya pada para ulama besar terkenal, seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Seri Fakih Zainal Abidin Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqiuddin Hasan, Syekh Saifuddin Abdulkahar dan lain- lainnya, semua mereka itu adalah guru besar pada Jamik Baiturrahman. Selesai pendidikan, Safiatuddin telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan telah menguasai dengan baik bahasa Arab, Persia dan Spanyol, di samping telah alim dengan ilmu-ilmu fikih (hukum) termasuk fiqh duali (hukum tata negara), sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, adab/ sastra, dan lain-lain. Masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, adalah zaman emas ilmu pengetahuan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, Pada masa itu banyak muncul ulama/sarjana besar, yang di antara mereka ada yang berkaliber internasional, seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Syekh Jalaluddin Tursani, dan lain-lain. Ratu Safiatuddin merangsang para ulama/sarjana untuk mengarang buku- buku dalam berbagai disiplin ilmu. Hal ini dapat kita diketahui karena dari kitab-kitab itu tercantum mukadimah yang menyatakan bahwa pengarang itu mengarang kitab tersebut atas anjuran Ratu Safia-tuddin. Dalam mukadimah kitab Bidayatul Iman Fi Fadlilil Manan (bahasa Melayu), Syekh Nuruddin Ar-Raniry menulis: Dapat dijelaskan, Syekh Nuruddin Ar-Raniry telah menga-rang lebih 30 judul kitab di zaman Safiatuddin. Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, yang juga menerima saran Ratu Safiatuddin agar mengarang sebuah kitab, dalam kitabnya Miratuth Thullab (juga bahasa Melayu), antara lain menulis dalam mukadimah kitab itu: “... hadharat yang mulia itu bersabda kepadaku saat lobanya akan agama Rasul Allah, bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi Pasai, yang muhtaj kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadli pada pekerjaan hukumnya daripada hu-kum syara’Allah yang muktamad”. Pada zaman Safiatuddin, Abdurrauf Syiah Kuala telah berhasil mengarang lebih dari sepuluh judul kitab dalam berbagai disiplin ilmu, bukan saja dalam “bahasa Melayu Pasai”, tetapi Aceh Serambi Mekkah

53

juga dalam bahasa Arab. Selain dari dua tokoh ulama besar tersebut, berpuluh ulama lainnya juga telah mengarang berbagai kitab. Ibukota kerajaan pada zaman itu, merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Selain dari peningkatan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Safiatuddin juga banyak mengambil langkah untuk lebih meningkatkan kedudukan kaum wanita. Banyak peraturan yang dibuat untuk melindungi kaum wanita. Dalam dunia kesusastraan Melayu- Aceh, terkenal sebuah karya sastra yang berjudul Hikayat Putroe Gumbak Meuh (Putri yang Berambut Poni Emas). Menurut para ahli, hikayat ini dikarang oleh seorang ulama untuk melukiskan zaman Safiatuddin. Yang dimaksud dengan Putrou Gumbak Meuh, yaitu Ratu Safiatuddin, dan tokoh utama dalam hikayat itu, yaitu Lila Bangguna dari Negeri Antara, adalah Raja Mughal atau Iskandar Sani, suami Safiatuddin. Roman yang dilukiskan dengan bahasa puisi itu menarik sekali, karena selain mengisahkan percintaan antara Safiatuddin dan Raja Mughal, juga menampilkan berbagai masalah kehidupan manusia dan kehidupan kenegaraan. Telah menjadi kebiasaan bagi pengarang Aceh untuk mengabadikan nama orang- orang besarnya, terutama raja, dengan buku “novel-puisi” atau cerita roman yang dijalin dengan bahasa puisi, yang dalam istilah bahasa Aceh disebut “hikayat”. Malikul Saleh, Sultan Samudra Pasai yang terkenal itu diabadikan dengan “novel-puisi” yang bernama: Hikayat Nun Parisi; Iskandar Muda diabadikan dengan “novel-puisi” yang bernama Hikayat Maleem Dagang; Sultan Jamalul Alam Badrul Munir dan Sultan Alaiddin Johan Syah diabadikan dengan “novel-puisi” yang bernama Hikayat Pocut Muhammad, dan sebagainya. Tentang bagaimana Lila Bangguna dan Putrou Gumbak Meuh (Raja Mughal Iskandar Sani dan Putri Safiah) memadu cinta, digambarkan oleh hikayat, bahwa pada waktu Lila Bangguna masuk ke dalam Mahligai Putrou Gumbak Meuh, putri terkejut melihat seorang pemuda yang tampan rupawan telah berada di depannya. Pada waktu itu, putri sedang membaca Alquranul Karim, dan dengan hati yang berdebar tuan putri menutup Alquran, serta menyapa tamunya dengan pantun yang kalau dipuisikan dalam bahasa Indonesia berbunyi: Kayu bakau menghijau daun Tempat berhimpun burung nuri Selamat datang Teungku Ampun Patik junjung di bawah duli Kayu di gunung indah bersusun Dibawa turun melalui kali Kurang santun kami di dusun Maaf dan ampun kami diberi Rasa kanun kami tak tahu Anak dungu tinggal di desa Sudi maafkan kami, Tuanku Karena tak tahu budi bahasa

54

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Selesai Tuan Putri memberi salam, dengan suara lemah lembut Lila Bangguna membalas pantun, yang kalau diindonesia-kan menjadi: Di puncak gunung kapas berhimpun Kiranya awan menyerak diri Kami ini laksana embun Dibawa taifun ke negeri ini Dengan rasa rindu dendam, Tuan Putri mempersembahkan cerana sirih kepada Lila Bangguna dengan diiringi pantun: Sirih hutan kami di gunung Buruk untung anak desa Tuanku jangan berhati murung Kami bingung jangan dihina. Lila Bangguna terharu mendengar pantun Putrou Gumbak Meuh, dan dengan nada yang penuh harap Lila berpantun lagi: Kru semangat kemala negeri Sepuluh jari atas jemala Sirih hutan tuan putri Menurut kami selasih cina Kami ini orang buangan, Empat puluh bulan sampai kemari Kasihani kami putri andalan Tiada kenalan di negeri ini Selesai Lila Bangguna mengapur sirih, Putrou Gumbak Meuh menanyakan Lila dari mana asalnya: Gerangan di mana negeri Tuanku Adakah sesuatu dicari kemari Boleh kami mencari tahu Mengapa tuanku musafir sendiri Lila Bangguna menjawab: Negeri kami, tuan putri, Jauh di sana, di negeri Antara, Semantra Indra namanya pasti, Di sanalah kami lahir ke dunia. Ayah dan bunda sudah tiada, Kami terlunta ke sana- sini, Hanya kakak yang masih ada, Air mata berlinang basahi pipi. Memang ayah Lila Bangguna (Raja Mughal Iskandar Sani) telah meninggal, yaitu Raja Negeri Pahang. Yang dimaksud dengan kakak yang masih hidup, yaitu Putri Pahang yang dibawa bersama Aceh Serambi Mekkah

55

ke Aceh dan menjadi permaisuri Iskandar Muda, ayahnya Putrou Gumbak Meuh (Putri Safiah/ Ratu Safiatuddin). Dialog yang romantis ini berlangsung lama dan sangat indah. Pada akhir dialog, Putrou Gumbak Meuh melepaskan rindu asmaranya: Bunga jempa, jempa kebiru Bunga sunting dalam puwan Tujuh kali semalam rindu Tidakkah sampai kepada Tuan? Pohon sirahit di atas bukit Daun kiriman si Raja Cina Janganlah Tuanku berhati sakit Terserah tubuhku yang hina Pohon beramu di atas pantai Pohon berabai di atas gunung Kepada Tuanku cintaku membadai Ke bawah duli rindu kugandrung Buah delima campuran ketan Pisang suasa makanan nuri Terserah kehendak kakandaku Tuan Badan dan nyawaku milikmu duli Memang indah sekali lukisan dan percakapan dalam Hikayat Putrou Gumbak Meuh, dan betul-betul menggambarkan zaman emasnya Aceh pada masa Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin. Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal Safiatuddin kerajaan Aceh diperintah oleh seorang wanita lainnya yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah RATU NAQIATUDDIN 1084-1087 H (1675-1678 M) Sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, terlebih dahulu dilantik penggantinya, sesuai dengan ketentuan dalam Kanun Al Asyi. Safiatuddin telah mempersiapkan tiga orang wanita penggantinya. Memang Ratu Safiatuddin sangat cerdik, selagi dia masih memerintah telah mempersiapkan calon penggantinya, semuanya adalah dari wanita. Seakan- akan dia berkehendak agar Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh empat orang ratu berturut- turut. Salah seorang di antaranya yang telah dipersiapkan adalah Putri Naqiah. Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat

56

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Syaikh Hitam, putra Firman Ali Riayat Syah, putra Sayyid al Mukammil. Berarti Naqiatuddin merupakan salah satu wanita yang merupakan keturunan para sultan terdahulu pada abad ke-14. Menurut M. Yunus Jamil, Putri Naqiah dilantik menjadi Ratu Aceh, yaitu pada tanggal 1 Syakban 1084 H (23 Oktober 1675 M), dengan gelar Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin. Beliau memerintah sampai tahun 1087 H (1678 M). Sejak awal pemerintahannya, Sri Ratu Nurul Alam Naqia-tuddin telah menghadapi berbagai macam tantangan besar, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ancaman terhadap Kerajaan Aceh Darussalam bertambah hebat dari Barat Kristen (Belanda, Portugis dan Inggris), sementara di dalam negeri “kaum Wujudiyah” yang telah menyeleweng dari ajaran Islam, meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin, dengan melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda Aceh. Mengenai tantangan yang dihadapi Ratu Naqia-tuddin, Ilyas Sutan Pamenan melukiskan: “... Amat sulit bagi Nurul Alam untuk memajukan perekonomian rakyat, sungguhpun dalam garis besarnya mencoba menurutkan jejak Raja Putri Tajul Alam. bertambah lagi berbagai macam cobaan ditimpakan kepada ratu itu. Baru saja ia duduk ke atas tahta kerajaan, tiba-tiba terjadi kebakaran yang sangat dan maha mengejutkan, Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Sri Sultan beserta segala isinya, yang berarti tanda kebesaran raja habis musnah dimakan api, yang bersimaharajalela dan berkuasa di Banda Aceh beberapa hari lamanya. Segala tenaga yang dikerahkan untuk memadamkan api itu sia-sia belaka. Sungguh sial raja yang bercita- cita baik untuk rakyatnya”. “Kebakaran di Aceh yang maha dahsyat itu, juga turut menggemparkan Malaka, yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun 1677 ...” Dalam rangka usaha menekan oposisi “kaum Wujudiyah” dan kelompok oposisi lain, Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin mengadakan perubahan- perubahan dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Kanun Al Asyi atau Adat Meukuta Alam. Diantara perubahan- perubahan penting yang dilakukan Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, dengan petunjuk Kadi Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yaitu hal- ikhwal sekitar pengangkatan Sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagoe yang telah dibentuk oleh Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, yaitu Sagoe XXII Mukim, Sagoe XXV Mukim, dan Sagoe XXVI Mukim.Di bawah sagoe disebut dengan Mukim35 dan dikepalai oleh seorang imeum36. Struktur pemerintahan panglima bawah adalah Gampong37. Di samping itu juga ditemui adanya pemerintahan otonom yang disebut dengan Nanggroe38 dan diperintah langsung oleh uleebalang.39 Sedangkan struktur pemerintahan 35

Wilayah pemerintahan dengan sebuah mesjid, dikepalai oleh imeum mukim. Kepala Mukim di Aceh Besar, diangkat dan diberhentikan serta tunduk kepada panglima sagoe. Di luar Aceh Besar imeum adalah pejabat urusan keagamaan. 37 Suatu organisasi pemerintahan terbawah dengan syarat adanya sebuah meunasah (tempat shalat, sejenis mushalla), dikepalai oleh keuchik atau peutuwa (untuk beberap wilayah di luar Aceh Besar), dibantu beberapa Waki dan Teungku. 38 Wilayah dengan atonom yang diperintahkan oleh uleebalang. Dibeberapa wilayah tertentu, di luar Aceh, Uleebalang juga disebut Raja atau Keujrun. 39 Kepala sebuah Nanggroe melalui penganugerahan dan adanya pengakuan dari sultan, dan mereka diharuskan membayar upeti dari hasil daerah masing-masing kepada sultan. 36

Aceh Serambi Mekkah

57

diluar Aceh Besar tidak dijumpai adanya sagoe-sagoe, melainkan yang ada hanya nanggroe dengan langsung berada dibawah kekuasaan uleebalang yang mendapat restu dari pusat. Di bawah nanggroe adalah mukim, yang membawahi gampong-gampong sebagai struktur pemerintah yang paling bawah. Maksud pembentukan sagoe adalah membentuk pemerintahan yang tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegerian-kenegerian kepada ketiga orang panglima sagoe. Panglima sagoe terutama berfungsi untuk mengefektifkan tugas pengawasan, yaitu dengan memonitor sejauh mana kebijakan dan perintah-perintah dari kesultanan disampaikan pimpinanpimpinan negeri atau uleebalang benar-benar dilaksanakan. Kebijaksanaan Naqiatuddin di atas merupakan suatu kemajuan dalam sejarah Aceh, seperti yang dikatakan oleh Thomas Braddel dalam karyanya yang berjudul On the History of Acheen, Braddel mengatakan bahwa pembentukan tiga sagoe di Aceh besar dengan pembagian kepada beberapa mukim untuk bawahannya, adalah suatu contoh dari kemajuan sistem pemerintahan40. Kalau boleh ditarik lebih luas dari pendapat Braddel ini, sebagaimana dikatakan Mohammad Said, ia hendak menunjukkan bahwa masa 200 tahun yang lalu, sebelum Eropa sendiri mengenal demokrasi, di Aceh sudah dilaksanakan suatu demokratisasi pemerintahan yang dilaksanakan atas prinsip musyawarah41. Namun demikian, ada pula yang berpendapat bahwa pembentukan sagoe-sagoe tersebut adalah berdasarkan keadaan memaksa. Menurut pandangan tersebut, pada masa itu diperlukan balance of power antara panglima sagoe dengan pemerintah pusat yaitu Sultanah. Sebagimana yang dinyatakan oleh Veltman yaitu untuk mengukuhkan kekuasaan panglima sagoe itu sendiri terhadap sultanah.42 Walaupun terjadi silang pendapat dasar pembentukan panglima sagoe tersebut, yang jelas pada masa Naqiatuddin telah terjadi suatu bentuk pemerintah yang demokratis untuk membangun sikap saling percaya dalam mewujudkan keadaan damai dan kestabilan kerajaan Aceh, karena pada tersebut, Aceh dalam situasi yang kurang kondusif diakibatkan semakin melemahnya kekuatan militer. Kedudukan ketiga orang panglima sagoe sangat kuat, antara lain merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau pemberhentian seseorang sultan, seperti dinyatakan dalam Kanun Meukuta Alam yang disempurnakan, yang ikhtisarnya: 1.

2.

Yang berhak memilih dan memakzulkan Sultan, yaitu: a. Seri Imeum Muda, Cot’oh, Panglima Sagi XXVI Mukim. b. Seri Setia Ulama, Panglima Sagi XXV Mukim. c. Seri Muda Perkasa Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim. d. Kadi Malikul Adil, (semacam Ketua Mahkamah Agung). Seorang sultan yang akan diangkat, berkewajiban membayar: a. 32 kati emas murni sebagai jinamei.

40

Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail, Ratu Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah, dalam dalam Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, Jayakarta: Agung Offset, 1994, hal. 65 41 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 405 42 Ibid, hal. 405-406.

58

Aceh: Relasi Lokal dan Global

b.16.000 ringgit uang tunai sebagai dapha. Jinamei dan dapha tersebut dibagikan kepada: - Panglima Sagi XXV Mukim, Panglima Sagi XXVI Mukim dan Panglima Sagi XXVII Mukim, masing-masing sepuluh kati emas dan lima ribu ringgit. - Kadi Malikul Adil dua kati emas dan seribu ringgit. 3. Seorang sultan baru boleh dan sah dinobatkan, setelah nyata sultan sebelumnya wafat atau dimakzulkan. 4. Daerah- daerah yang langsung di bawah Sultan, yaitu: a. Daerah istana Darud Dunia dan ibu kota Kerajaan Banda Aceh Darussalam. b. Mukim Masjid Raya. c. Mukim Lueng Bata. d. Mukim Pagar Aye. e. Mukim Lamsayun. f. Kampung Pandee. g. Kampung Jawa. h. Kampung Pelanggahan. i. Mukim Meraksa. 5. Kepala pemerintahan di luar Aceh Rayek (Ulee- balang, Keujrun) dan sebagainya. 6. Kepala pemerintahan dalam Aceh Rayek, dipadakan dengan turun- temurun, tanpa ada pengangkatan baru, kecuali kalau beralih keturunan. 7. Hak otonomi diberi seluas- luasnya kepada semua pemerintah daerah, termasuk keuangan dan kepolisian, kecuali beberapa macam sumber kekayaan yang langsung dikuasai Sultan. 8. Urusan luar negeri dan pertahanan semuanya menjadi wewenang Pemerintah Pusat (Sultan). Hal lain yang dilakukan Naqiatuddin ialah penempaan dan mengeluarkan mata uang sendiri yang terbuat dari emas sebagai alat tukar. Mata uang yang dikeluarkan ini terletak pada nilai emas setinggi 17 karat, berat sebesar 0,59 gram. Adapun bentuknya berupa tulisan nama dan gelar ratu, Paduka Sri Sultanah Nurul Alam pada bagian mukanya, dan tulisan Naqiat adDin Syah Berdaulat pada bagian belakangnya43. Sabotase “kaum Wujudiyah” membuat pemerintahan Sri Ratu Nurul Alam tidak berjalan lancar dan juga membawa dampak negatif kepada para ratu setelahnya. Dengan meninggalkan kerajaan demikian rupa, maka pada tanggal 1 Zulkaidah 1088 H (1678 M) Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah wafat di Banda Aceh.

43

T. Ibrahim Alfian, Mata Uang…, hal. 65

Aceh Serambi Mekkah

59

RATU ZAKIATUDDIN INAYAT SYAH 1087-1097 H (1678-1688 M) Sebelum pemakaman Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin terlebih dahulu dilantik Putri Zakiah menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah. Pelantikan terjadi pada tanggal 1 Zulkaidah 1087 H (23 Januari 1678 M). Beliau memerintah sampai tahun 1097 H (1688 M). Putri Zakiah adalah calon pengganti kedua yang dipersiapkan Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, yang kemudian merupakan calon pertama pengganti Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin. Ia dikenal sebagai seorang sultanah yang bijak, berpengetahuan luas dalam berbagai bidang. Ia bahkan menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, Spanyol dan Belanda. Menurut orang-orang Inggris yang mengunjungi Aceh pada tahun 1684, umur Inayat waktu itu diperkirakan sekitar 40 tahun. Ia digambarkan berbadan tegap dan memiliki suara yang keras Ratu Zakiatuddin juga menghadapi tantangan-tantangan yang berat, lebih daripada pendahulunya. Untungnya, karena Syekh Abdurrauf, yang begitu besar pengaruhnya, tetap menjadi tangan kanannya sebagai Kadi Malikul Adil (Ketua Mahkamah Agung). Kebijaksanaan yang telah dijalankan oleh kedua pendahulu-nya, terus dijalankan sedapat mungkin. Tindakan keras terhadap “kaum Wujudiyah” tetap dilaksanakan. Terhadap VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie = Kongsi Dagang Belanda) yang semenjak Ratu Saflatuddin terus merongrong Aceh, tidak diberi kesempatan untuk melakukan maksud jahatnya. Di Sumatra Barat dengan segera Ratu Zakiatuddin menunjukkan kekuasaannya kepada VOC, antara lain dengan menarik kembali barang-barang dagangan ke wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Sikap tegas yang demikian mendapat sambutan baik dari rakyat Minangkabau, sehingga menimbulkan kesulitan besar bagi Melchior Hurdt sebagai Kepala Perwakilan VOC yang berkedudukan di Padang. Dua tahun lamanya VOC harus menghadapi peperangan yang hebat. Dalam usaha menghadapi Belanda dan memajukan rakyatnya, semua negara tetangga diikat perjanjian kerja sama. Hanya Negara Siam yang tidak dapat ditarik ke dalam Persekutuan Aceh. Perlu dijelaskan, bahwa semasa hidupnya Ratu Safiatuddin telah mendidik ketiga calon penggantinya dalam Istana Darud Dunia dengan berbagai ilmu pengetahuan: hukum (termasuk hukum tata negara), sejarah, filsafat, kesusastraan/adab, pengetahuan agama Islam, bahasa Arab, bahasa Persia, bahasa Spanyol, dan bahasa Inggris. Yang mengajar bahasa Spanyol dan Inggris adalah seorang wanita Belanda yang menjadi sekretaris pribadi Ratu Safiatuddin. Seorang pengarang ternama, Mohammad Said, menceritakan bahwa pada masa pemerintahan Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, Aceh pernah dikunjungi oleh utusan dari Inggris dan Syarif Mekah. Utusan dari Inggris adalah Tuan Ord dan Tuan Cowley. Mereka meminta agar Ratu mengizinkan Inggris untuk mendirikan kantor dagangnya di Aceh bersama loji militer. Permintaan ini ditolak dengan amarah oleh Ratu, dan mereka pulang dengan tangan hampa.

60

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Salah seorang pengunjung Inggris lain, yaitu William Dampier, dalam bukunya yang banyak dibaca, antara lain menulis: “This country is governed by a queen, under whom there are 12 Orang Kayas or Great Lords. They act in the several precints with great power and authority.” (Negeri ini diperintah oleh seorang Ratu, di bawahnya 12 Orang Kaya atau Pangeran Agung. Mereka menjalankan kekuasaannya dalam bidangnya masing-masing de-ngan hak dan kekuasaan besar). Cerita Dampier ini merupakan suatu petunjuk, bahwa kekuasaan Panglima Sagoe yang disebut-sebut di atas dalam sehari-hari tidak bersifat mutlak. Panglima Sagoe baru muncul ke depan dan menonjol waktu mangkat dan penobatan sultan atau sultanah, artinya dalam penentuan siapa yang boleh menjadi penguasa tertinggi Kerajaan Aceh Darussalam. Struktur pemerintahan di Aceh pada masa itu adalah sebagai berikut: Sultan memerintah dengan dibantu oleh 12 orang menteri dengan titel: Kadi Malikul Adil, Laksamana, Perdana Menteri, Wazir Mu’addham, Wazir, Syahbandar, dan sebagainya. Masing-masing menteri berkuasa dan bertanggung jawab dibidangnya. Khususnya mengenai pemerintahan di Aceh Rayek, tiap Sagoe/Sagi dipimpin oleh seorang Panglima Sagoe. Pada tahun 1092 H (1681 M), utusan Syarif Mekkah sampai di Banda Aceh Darussalam. Mereka diterima oleh Ratu sendiri dan pembicaraan berlangsung dalam bahasa Arab tanpa memakai juru bahasa. Mereka sangat kagum melihat Banda Aceh yang cantik permai, segala bangsa berdiam di sana, kebanyakannya kaum saudagar. Ketika mereka menghadap Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin dengan para pembantunya yang terdiri dari kaum wanita, didapatinya Ratu duduk di balik tirai sutra dewangga yang berwarna kuning, berumbai-umbai dan berhiaskan emas permata. Ratu berbicara dalam bahasa Arab yang fasih dengan menggunakan kata-kata yang diplomatis, sehingga menimbulkan takjub yang amat sangat bagi para utusan itu. Mereka tinggal di Aceh satu tahun lamanya. Dalam rombongan Syarif Mekkah ada dua orang syarif bersaudara, yaitu Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim. Pada tahun 1094 H (1683 M) perutusan Syarif Mekkah kembali ke tanah airnya, kecuali Syarif Hasyim dan Syarif Ibra-him, dimana ketika pemerintahan Ratu Kamalat Syah, kedua syarif bersaudara ini mempelopori perebutan kekuasaan. Perutusan Syarif Mekkah kembali dengan membawa banyak hadiah untuk Syarif Mekkah dan pejabat tinggi lainnya. Setelah memerintah sepuluh tahun, pada hari Ahad tanggal 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober 1688 M), Sultanah Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah berpulang ke rahmatullah SRI RATU KAMALAT SYAH 1097- 1108 H (1688-1699 M) Sebelum dimakamkan, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, terlebih dahulu menobatkan Putri Kamalah yang juga telah dipersiapkan oleh Ratu Safiatuddin. Pada tanggal 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober 1688 M) Putri Kamalah dinobatkan menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu Kamalatuddin Syah atau sering disebut Ratu Kamalat saja. Kemangkatan Ratu Zakiatuddin dipergunakan sebaikbaiknya oleh sekelompok politisi yang memperalat “kaum wujudiyah”. Hal ini merupakan sebuah peluang bagi mereka. Syarif Aceh Serambi Mekkah

61

Hasyim, seorang dari dua Syarif bersaudara yang datang ke Aceh bersama- sama perutusan Syarif Mekkah, telah menantikan peluang ini Kelompok politisi yang memperalat “kaum wujudiyah” ini (termasuk beberapa orang hulubalang) adalah kelompok yang tidak puas selama pemerintahan Ratu Safiatuddin, karena ada beberapa hak istimewa yang telah ditiadakan oleh Ratu, yang kemudian dilanjutkan oleh ratu- ratu setelahnya. Penobatan Putri Kamalat (juga disebut Putri Punti) menjadi sultanah dengan gelar Sri Ratu Kamalatuddin Inayat Syah menimbulkan kegoncangan, karena ada yang pro dan ada juga yang kontra. Hampir saja Putri Kamalat terjungkir dari tahta kerajaan pada hari-hari pertama penobatannya, jika bukan karena kebijaksanaan Kadi Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, yang didukung sepenuhnya oleh Panglima Sagi XXII, XXVI, XXV Mukim, mungkin putri Kamalat akan turun tahta tidak lama setelah penobatannya. Mohammad Said menggambarkan kegoncangan tersebut sebagai berikut: “... Sebaik dia (Ratu Kamalatuddin) timbul bahaya perebutan tahta. Golongan pemerintah (para menteri) menginginkan supaya tidak lagi perempuan yang menjadi raja. Sebaliknya, golongan Tiga Panglima Sagi menginginkan supaya perempuan tetap menjadi pilihan. Tiga Sagi menang, karena mereka lebih kuat tampaknya. Maka diangkatlah lagi seorang putri bangsawan ...” Ilyas Sutan Pamenan melukiskan peristiwa setelah wafat Ratu Zaqiatuddin sebagai berikut: “... Sekarang timbullah gerakan di dalam negeri yang sangat kuat untuk mendudukkan kembali seorang pria sebagai sultan ke atas tahta Kerajaan Aceh. Satu pasukan yang maha kuat, dipimpin oleh empat orang uleebalang datang menyerbu dari pedalaman, dan setelah melakukan pertempuran beberapa hari lamanya, dapatlah mereka menduduki sebahagian dari lembah Sungai Aceh sambil berhadap-hadapan dengan sebahagian rakyat yang masih ingin mempunyai seorang raja putri. Tetapi rupanya persiapan uleebalang itu tidak cukup kuat untuk melakukan peperangan yang berlarut-larut, sehingga terpaksalah mereka mengalah dan menyetujui penobatan Raja Putri, yaitu Sri Ratu Kamalat Syah, yang nantinya akan memerintah lebih dari 10 tahun, yaitu dari tahun 1688- 1699 M. Sungguhpun telah beberapa tahun Kamalat Syah memerintah, ketenteraman dan keamanan belum juga pulih. Pada saat itu, timbul pula fitnah, bahwa Sultanah mendapat bantuan yang sangat dicurigai dari seorang Syahbandar, yang ingin menjadikan baginda menantunya, ingin mengawinkan baginda dengan putranya yang menjadi Kepala Pasukan Pengawal Istana. Suasana curiga-mencurigai meluas di antara pembesar di Tanah Aceh, masing-masing cemburu kepada Syahbandar itu, dan rakyat menjadi gelisah. Di dalam keadaan itulah Kamalat Syah masih dapat terus duduk di atas tahta kerajaannya dan berusaha sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan perekonomian rakyat yang telah menderita sekian lama. Dalam bukunya, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, M. Yunus Jamil melukiskan peristiwa tragis sebagai berikut: “... Diangkatnya ratu ini (Kamalat Syah) menjadi Sultanah Keraja-an Aceh Darussalam menimbulkan kegoncangan politik, terutama dalam golongan pembesar-pembesar negara. Ada golongan yang mendukung Kamalat Syah dan ada pula yang berusaha supaya Syarif Hasyim Jamalul`lail diangkat menjadi sultan, dan ada pula yang menghendaki agar Maharaja Lela Abdurrahim, keturunan Maharaja Lela Daeng Mansur, diangkat menjadi raja. Dengan kecerdikan dan wewenangnya, Waliyul-Mulki, Mufti Besar Kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf

62

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Syiah Kuala, ke-goncangan itu dapat ditenteramkan kembali. Sri Ratu Kamalatud-din Syah tetap diangkat menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam. Walaupun tantangan yang cukup berat dari golongan oposisi, namun Ratu Kamalat masih memikirkan pembangunan Kerajaan, termasuk pembangunan ekonomi. Hal ini dimungkinkan, karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala sebagai Kadi Malikul Adil dan para ulama besar lainnya terus membantu baginda. Kebijaksanaan yang dilakukan Ratu Zakiatuddin dijalankan terus. Hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga terus dipelihara, sementara hubungan dengan Belanda semakin meruncing, karena wilayah Kerajaan Aceh di seberang Selat Malaka maupun di pesisir barat dan timur Sumatra telah digerogoti oleh VOC. Untuk melawan perampasan wilayah oleh Belanda, Ratu Kamalat Syah mengundang Persatuan Dagang Inggris untuk datang ke Aceh pada tahun 1695 dan mereka ingin mendirikan kantor dagangnya di Aceh. Kedatangan mereka diterima Sri Ratu Kamalat Syah dengan tangan terbuka. Persatuan Dagang Inggris tersebut diperkenankan mendirikan kantornya di Banda Aceh, tetapi baginda tidak lalai memikirkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kerajaan dan rakyat dalam perdagangan dengan bangsa Inggris. Beberapa peraturan dan perjanjian dibuat Baginda dengan Persatuan Dagang Inggris (English East India Company) yang memberi keuntungan bagi Aceh, terutama dalam melawan operasi VOC Belanda, sehingga keuntungan yang diperoleh Inggris dalam perdagangan tersebut tidak begitu banyak . Pada waktu Ratu Kamalat Syah sedang melaksanakan segala rencana pembangunan negara yang telah disahkan oleh Balai Majelis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba tangan kanannya yang amat kuat, Kadi Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala meninggal dunia pada malam Senin tanggal 23 Syawal 1106 H (1695 M) dalam usia 100 tahun. Kadi Malikul Adil pengganti Syekh Abdurrauf tidak cukup kuat untuk menghadapi oposisi yang ingin menjatuhkan Kamalat Syah yang mempergunakan alasan, tidak sah wanita menjadi raja, bahkan menurut satu riwayat, bahwa Kadi Malikul Adil yang baru itu akhirnya berpihak kepada oposisi, dan dia berangkat ke Mekkah untuk meminta fatwa kepada Mufti Besar Mekkah tentang sah tidaknya wanita menjadi kepala negara, yang segera mengirim surat ke Aceh menyatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi sultan. Menurut Ilyas Sutan Pamenan, pernyataan bahwa Kadi Malikul Adil yang telah menggabungkan diri dengan pihak oposisi/golongan uleebalang, yang hendak menjatuhkan Kamalat Syah, tidak benar, apalagi keberangkatannya ke Mekkah, yang benar adalah ia hanya membuat satu persekongkolan de-ngan para uleebalang yang oposisi, Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, seakan- akan menerima surat dari Mekkah, bahwa seorang wanita tidak sah menjadi raja menurut hukum Islam. Surat dari Mekkah itu, menurut Ilyas Sutan Pamenan dan M. Yunus Jamil, dibicarakan dalam Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yang anggotanya telah banyak diganti dan hanya beranggotakan beberapa orang wanita. Keputusan dari Balai Ma-jelis Mahkamah Rakyat tersebut, bahwa Ratu Kamalat Syah harus turun tahta. Pada Hari Rabu tanggal 20 Rabiul Awal 1109 H (1699 M), Sultanah Sri Ratu Kamalatuddin Syah dimakzulkan, dan pada hari itu juga dinobatkan Syarif Hasyim Jamalul‘lail menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalul’lail. Aceh Serambi Mekkah

63

Tujuh tahun setelah dimakzulkan, pada hari Ahad tanggal 28 Zulhijjah 1116 H (1705 M) Ratu Kamalat Syah meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman tiga orang ratu sebelumnya, di Kandang Mas, yang terletak dalam komplek Istana Darud Dunia, satu komplek dengan makam Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. PERANAN ULAMA DALAM MASYARAKAT ACEH: PERSPEKTIF SEJARAH 1. Periode Kerajaan Islam Sejak berdirinya Kerajaan Islam di Pasai (1270), ulama Aceh mulai memegang peranan penting dalam kerajaan tersebut. Mereka mengabdi sebagai penasehat raja yang mengurusi bidang keagamaan. Karena itu, keterlibatan ulama sebagai penasehat keagamaan sultan Pasai menjadi posisi sentral di Kerajaan Islam. Setiap masalah yang tidak jelas atau terdapat perbedaan pandangan tentang ajaran dan praktik Islam, diserahkan untuk diputuskan di Pasai. Dalam sejarah Melayu, disebutkan bahwa sebuah kerajaan megah di Malaka, mempercayakan peraturanperaturannya tentang praktik agama dan penyelesaian permasalahan yang berhubungan dengan agama mengacu kepada kerajaan Islam Pasai. Malik al-Zahir (wafat 1326), raja Pasai dan anak dari Malik al-Salih, yang mendirikan Kerajaan Pasai, pernah meminta untuk menghadirkan beberapa ulama dari Mekkah dan tempattempat lain untuk mengajarkan ajaran Islam untuk rakyat. Dia sendiri, sering berdiskusi dengan ulama mengenai ajaran Islam. Di istana, ia menempatkan beberapa ulama dari Mekkah, Persia, dan India, serta memilih salah satu dari mereka sebagai penasihat kerajaan. Ketika Iskandar Muda memerintah, Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih Syekh Syams al-Din al-Sumatrani sebagai penasihatnya dan sebagai mufti (disebut Syekh dhlatri),yang bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Meskipun demikian, alSumatrani tidak hanya sebagai penasihat agama, tapi kadang juga terlibat dalam urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602), raja sebelum Iskandar Muda. James Lancaster, utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan perjalanannya bahwa ada seorang bangsawan “(hiefbisbcff), yang diperkirakan orang tersebut adalah al-Sumatrani, yang terlibat dalam perundingan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh. Nuruddin Ar-Raniry dipilih sebagai Qadhi Malikul Adil dan Mufti Muaddam pada periode Sultan Iskandar Tsani dan beberapa tahun berikutnya, ketika kerajaan dikuasai oleh Ratu Safiatuddin. Ar-Raniry digambarkan sebagai orang yang hebat. Dia pada dasarnya seorang sufi, teolog dan Jaqib, tetapi juga pengarang, penasihat dan politikus. Pada masa Iskandar Tsani, ia memainkan peranan penting dalam bidang ekonomi, politik disamping bertanggung jawab dalam urusan keamanan. Syekh Abd Rauf al-Singkili ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil Kerajaan Islam Aceh selama periode empat ratu (1641-1699) yang memimpin kerajaan.7 Sultanah yang memilih dia menjadi mufti adalah Taj al-Alam Safiat al-Din (1641-1675), isteri dan pengganti Iskandar Tsani dan merupakan ratu yang pertama. Sultanah berikutnya adalah Nur al-Alam Naqiyyat al- Din, hanya memimpin kerajaan selama 3 tahun, mangkat pada tanggal 23 Januari 1678. Dia digantikan oleh sultanah yang lain, anaknya sendiri, Inayah Syah Zakiyyat al- Din.

64

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Sultanah ini memimpin Kerajaan Aceh selama 10 tahun. Setelah mangkat pada tahun 1688, dia digantikan Keumalat Syah sebagai sultanah yang ke-empat dan merupakan sultanah terakhir yang memimpin kerajaan Islam Setelah memimpin lebih kurang 10 tahun Keumalat diturunkan pada tahun 1699. Al- Singkili sering terlibat dalam urusan politik, khususnya dalam hal penyelesaian situasi konflik politik internal. Dia memainkan peranan penting, misalnya, ketika ada delegasi yang diutus oleh Syarif Mekkah ke Aceh, pada masa Sultanah Zakiyat al-Din. Kedatangan rombongan ini untuk menyelesaikan perdebatan di kalangan orang Aceh mengenai masalah kebolehan wanita sebagai pemimpin rnenurut hukum Islam. Perdebatan ini sudah sangat lama terjadi di kalangan orang Aceh. Dalam hal ini, al- Singkili tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai masalah tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa, al-Singkili mendukung kepemimpinan wanita. Dengan demikian, ketika al- Singkili masih hidup, tidak ada satu kelompok oposisi pun yang menyingkirkan sultanah tersebut. Dia bekerja selama 50 tahun di bawah kepemimpinan wanita, dan dalam hal ini, namanya menjadi simbol otoritas ulama di Aceh. Sebagaimana sering disebut- sebut dalam pepatah Aceh”Adat bak petrou meurehom, hukum bak Syiah Kuala” (Adat urusan raja, agama urusan ulama). Akhirnya, setelah al-Singkili meninggal, sultanah yang terakhir dimakzulkan, berdasarkan fatwa dari ketua mufti Mekkah, yang memutuskan bahwasanya syari’at tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin kerajaan Islam. Setelah empat ratu memimpin Kerajaan Islam Aceh, pemerintahan kerajaan tidak berjalan dengan baik, namun demikian, setiap raja yang memimpin kerajaan pasti didampingi oleh ulama sebagai Qadhi. Lebih dari itu, tidak hanya raja yang menetapkan ulama sebagai Qadhi Malikul Adil untuk menasehatinya, setiap wilayah dan kepala kampung juga dibantu oleh ulama lokal. Ketika masa Sultan Iskandar Muda, pemerintahan sipil dibagi kepada tiga teritorial. Kelompok pertama, yang paling rendah, gampoeng (kampung),dipimpin oleh pemimpin gampoeng yaitu Keucyik sebagai pemimpin urusan duniawi dan Imum Meunasah (pemimpin agama). Kedua dan di atas gampoeng, yaitu mukim yang terdiri dari beberapa gampoeng (paling sedikit delapan gampoeng). Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan Qadhi Mukim. Ketiga yang paling tinggi, yaitu Nangroe (Negeri) dipimpin oleh uleebalang dan Qadhi Nangroe. Ulama di Aceh, disamping sebagai penasehat raja juga berfungsi sebagai perantara masyarakat desa dengan daerah luar. Lebih jauh lagi, para ulama kendatipun selalu menemani pejabat, mereka tidak terikat dengan politik lokal dan bisa berkomumkasi secara bebas dengan siapa saja dari berbagai tingkatan masyarakat. Sebaliknya, uleebalang, yang dipilih secara formal oleh raja sebagai perantara antara rakyat dengan raja, selalu harus menjaga hubungan politik dan ekonomi dengan sultan, sementara kedudukan ulama, didasarkan kepada pengakuan masyarakat. Di satu pihak, para uleebalang membutuhkan ulama untuk menjaga keadilan agar dihormati masyarakat, sementara di pihak lain, masyarakat butuh ulama untuk membimbing mereka mengenai apa yang harus mereka laksanakan. Uleebalang berusaha keras untuk mengatur administrasi secara tegas dan solid, tapi harus berusaha untuk bersikap adil pula. Maka, untuk itu agar menghindari kebijakan yang tidak benar para uleebalang melibatkan para ulama dalam rangka merumuskan agenda kerja dan peraturan. Ulama sebagai suatu komunitas telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Sejak masa kejayaan Kerajaan Islam Aceh, beberapa ulama yang sangat menonjol menghasilkan beberapa karya yang sangat berarti; karyaAceh Serambi Mekkah

65

karya tersebut memberi pengaruh pada pemikiran Islam di Indonesia khususnya dan pada Asia Tenggara umumnya. Sebagai contoh, Mir’at al-Tidlab, salah satu karya Al-Singkili, telah menjadi buku standar sampai abad ke-19 bagi pengkajian hukum Islam di Mangmdano, Philiphina. Karyakarya mereka mencakup berbagai bidang studi dan di dalamnya termasuk tauhid, fiqh, akhlaq, tafsir, sejarah, sastra, tasawuf. Para ulama tersebut dalam menulis karya- karyanya memakai bahasa Arab dan Melayu, hanya beberapa dari karya mereka yang menggunakan bahasa Aceh. Ulama Aceh juga menghasilkan beberapa karya terjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu atau Aceh. Pada pertengahan abad ke-16 M, seorang ulama yang terkenal, yaitu Hamzah Fansuri menulis beberapa kitab. Dia mengarang masalah fiqh dan syari’at, bahkan dikaji secara filosofis dengan detil sehingga telah menjadi subjek studi bagi para sarjana. Karena semua kitabnya ditulis dalam bentuk syair, maka para sarjana menyebutnya sebagai sufi dan pengarang risalah dan sajak Melayu.Meskipun ia hidup pada penyair masa Sultan Mukammal (1589-1604), sebagaimana ia gambarlan dalam sajaknya. Dia tidak mengabdi pada istana, dia lebih suka menghabiskan hidupnya dalam studi dan dakwah Islam. Syams al- Din al- Sumatrani, murid Hamzah Fansuri, juga mirip seperti gurunya, seorang pengarang yang menghasilkan banyak karya, dan menguasai beberapa bahasa. Dia menulis sebanyak 12 kitab, dalam bahasa Melayu dan Arab, kebanyakan karyanya menelaah kalam dan sufi, tetapi tidak seperti Hamzah, dia tidak pernah menulis sajak. Keahliannya dalam ilmu pengetahuan diakui oleh Ar- Raniry sebagaimana telah dipaparkan dalam Bustan al-Salatin bahwa al-Sumatrani adalah seorang ulama terkenal dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang sufi. Nuruddin Ar-Raniry, selain sebagai seorang mufti juga seorang pengarang yang produktif dalam berbagai bidang ilmu, termasuk salah satu kitab sejarah yang berjudul Bustan al-Salatin (Taman Para Raja). Kitab ini menjadi sumber utama bagi sejarawan, khususnya bagi para peneliti Islam di Asia Tenggara, Tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap keilmuannya yang luas dan kontribusinya terhadap wacana Islam di Dunia Melayu. Ar-Raniry lebih dikenal sebagai sufi daripada seorang “pembaharu agama” (mujaddid), dalam pemberitaannya, tak pelak lagi dia adalah seorang mujaddid pertama di kepulauan ini. Pengaruhnya sebagai mujaddid, dibuktikan oleh desakannya yang mementingkan syari’at dalam praktek tasawuf (mistik). Sebagai seorang pengarang terkemuka dalam berbagai bidang pengetahuan Islam, dia menulis sebanyak 29 kitab dan beragam aspek pemikiran Islam termasuk di dalamnya fiqh (hukum Islam), hadits, tasawuf, sejarah dan perbandingan agama. Abd al-Rauf al- Singkili, dikenal di Aceh dengan sebutan Tgk Syiah Kuala, merupakan salah seorang pengarang yang terkenal. Dia juga menulis bidang kajian Islam secara luas. Wan Mohd. Saehir Abdullah mengkoleksi 25 kitab yang ditulis oleh Abd al-Rauf al-Singkili dalam bidang fiqh, tafsir, ilmu kalam dan tasawuf. Baru- baru ini ditemukan bahwa karya al-Singkili sebanyak 36 buah kitab. Karya pentingnya yang terkenal pada 1844, ketika A. Meusinge, salah seorang professor di Koninklijke Institute di Leiden, membuat sebuah handbook untuk mahasiswanya yang didasarkan pada karya- karya al-Singkili, Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh Pada Memudahkan Syara’ Allah. Beberapa karyanya masih ada namun sulit untuk diidentifikasikan. Perpustakaan Islam Dayah Selimum, Aceh Besar, mempunyai beberapa kitab

66

Aceh: Relasi Lokal dan Global

yang memuat nama Abd al-Rauf, namun masih diperdebatkan apakah kitab- kitab tersebut ditulis oleh Abd al-Rauf al-Singkili atau bukan. Salah satu karyanya yang sangat membantu terhadap pertumbuhan ilmu pengetanuan Islam terhadap rakyat Melayu adalah terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dengan beberapa komentar yang didasarkan pada kitab tafsir Arab, Kitab ini pertama kali dicetak di Konstantinopel dan edisi selanjutnya dicetak di Kairo dan Mekkah. Salah satu cara untuk menyebarkan Islam di kawasan Asia Tenggara adalah melalui para muballigh yang menyiarkan Islam di mana pun mereka berada. Semenjak didirikan Kesultanan Pasai, ulama Aceh dikirim ke berbagai kawasan seperti ke ]awa, Sunda, Sulawesi, Malaka dan Pattani untuk menyebarkan ajaran Islam. Kemudian beberapa di antara mereka melakukan perjalanan atas keinginannya sendiri untuk menyebarkan keyakinan Islam. Hamzah Fansuri menghabiskan waktu di beberapa tempat seperti Johor, Malaka (sekarang Malaysia) dan Ayuthia, kota kuna Skm (sekarane Thailand). Fungsi yang paling dominan yang dilakukan oleh ulama adalah mengajar di dayah. Dengan melakukan ini ulama telah menyebarkan pendidikan bagi rakyat Aceh. Pada periode kesultanan, tidak ada lembaga pendidikan lain selain dayah yang tersedia di Aceh. Oleh karena itu, semua pengajar pada waktu itu adalah ulama, dan semua orang terpelajar, baik itu raja atau komandan militer adalah tamatan dari dayah. Misalnya, Iskandar Muda, raja yang terkenal pada masa kejayaan Kerajaan Islam Aceh, pernah menjadi murid Syams al-Din al- Sumatrani. Setiap dayah yang di dalamnya ada Teungku atau ulama, jelas sebagai pusat pertumbuhan pengetahuan Islam. Tapi bagaimanapun, lembaga dayah juga rnerupakan tempat komunikasi sosial dan bahkan kadang kala juga menjadi lembaga kontrol sosial terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, sejak abad ke-17, ulama terlibat dalam pembaharuan sosial kemasyarakatan dan keagamaan, ketika mereka melihat bahwa praktek keagamaan sudah mengalami kemunduran dan ajaran agama banyak yang menyimpang dari pemahaman mereka. Ketika periode kerajaan Islam, para ulama terus berfungsi sebagai pengawal moral dan penasehat keagamaan, sementara masalah politik ditangani oleh sultan sendiri. Fungsi para ulama dapat dilihat dalam penolakan Nuruddin Ar-Raniry terhadap ajaran Hamzah Fansuri pada abad ke-17, karena menurut Ar-Raniry, ajaran Hamzah telah membawa masyarakat ke jalan yang keliru. Belakangan, Abd al-Rahman al-Zahir juga menjadi contoh sebagai ulama yang berperan sebagai kontrol moral. Pada tahun 1870, dia berusaha sekuat tenaga untuk menyapu bersih minuman keras, sabung ayam dan perjudian dalam masyarakat Aceh. Dengan melihat peran ulama pada masa kesultanan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada masa tersebut ulama lebih besar wibawanya daripada para penguasa. Ratu keempat, Keumalat Syah, sebagai contoh, dilengserkan dari tahta karena ada satu fatwa yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Kejadian yang serupa didapati juga pada Kerajaan Utsmani, meskipun para mufti berada diluar struktur negara dan dapat dipecat atas Keinginan penguasa, tetapi kadang-kadang otoritasnya lebih besar daripada raja yang berkuasa. Meskipun sangat jarang, berdasarkan fatwa ulama seorang sultan dapat diturunkan, sebagaimana yang dialami oleh Mustafa I yang disingkirkan pada tahun 1618 dari tahtanya berdasarkan fatwa seorang mufti. Hal yang sangat menarik jika membandingkan antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Utsmani, karena keduanya merupakan Kerajaan Islam, dan puncak kejayaannya pada waktu yang bersamaan pula pada abad ke-16 serta kedua kerajaan tersebut adalah negara Muslim Aceh Serambi Mekkah

67

yang paling kuat dan hebat pada masa tersebut. Lebih jauh, kedua negara ini mempunyai hubungan yang baik dan akrab. Hubungan antara Aceh dan Utsmani dianggap penting selama beberapa abad. Pada akhir tahun 1873 orang Aceh masih meminta bantuan milter Utsmani untuk menghalau Belanda. Orang-orang Turki disambut baik oleh masyarakat Aceh. Banyak pejabat tinggi Aceh mengunjungi khalifah dan ratusan orang dikirim dari Turki ke Aceh. Ulama yang tersohor yang ditunjuk sebagai mufti di Turki dikenal dengan Syekh al-Islam. Aceh juga mempunyai lembaga yang serupa. Kedua masyarakatnya sangat menghargai ulama. Lyber menyebutkan bahwa Beyazid II (1481-1512) membiasakan diri berdiri ketika menyambut mufti dan memberi mereka tempat duduk lebih tinggi dari Tempat duduknya. Di Aceh, sampai saat ini, masyarakat masih memperlihatkan rasa hormat kepada ulama. 2. Perang Aceh - Belanda Banyak para sejarawan cenderung setuju bahwa paruh kedua abad ke-19 adalah awal mula berkembangnya kolonialisme dan imprealisme modern. Periode ini adalah masa ekspansi wilayah dan persaingan kolonial, ketika sistem kapitalis modern, di bawah perlindungan politik, dimulai untuk menguasai negara di dunia. Salah satu contoh usaha kolonial di Asia Tenggara adalan agresi Belanda ke Aceh, sebuah negara merdeka yang terletak paling ujung Pulau Sumatra. Dalam rangka usaha perluasan penjajahan, pemerintah Belanda mengutus beberapa delegasi pada akhir Agustus 1872 untuk memaksa masyarakat Aceh mengakui kedaulatan Belanda terhadap wilayah mereka. Masyarakat Aceh menolak keras pemaksaan ini, dan berusaha mempertahankan wilayah Aceh agar tidak jatuh ke tangan Belanda. Karena dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh, Wilayah ini bukanlah wilayah yang mudah ditaklukkan oleh para kolonialis dan imperialis. RELASI ACEH DENGAN DUNIA INTERNASIONAL Menelusuri sejarah Islam di Melayu-Nusantara, Kesultanan Aceh pernah menjadi salah satu pemegang otoritas kekuasaan temporal terbesar di kawasan ini. Sebelum munculnya Kesultanan Aceh Darussalam, kawasan Sumatera belahan utara merupakan wilayah yang dikenal dengan keberadaan beberapa kerajaan Islam; yang paling penting adalah Kerajaan Peureulak dan Pasai yang keduanya terletak di ujung timur laut Sumatera (sekarang Aceh Timur). Marco Polo saat mengunjungi Peureulak pada tahun 1291, memberikan bukti pertama tentang keberadaan Peureulak sebagai sebuah kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Kerajaan awal lainnya seperti Samudra, Indragiri, Lamuri, dan terutama Pasai digambarkan sebagai suatu pusat penting bagi penyebaran Islam di Melayu-Nusantara.44

44

Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara,( Bandung: Penerbit Mizan, 2002),

hal. 51.

68

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Para ahli sejarah, seperti Edwin M. Loeb, Thomas Arnold dan Hoesein Djajadiningrat menjelaskan perihal perlawatan Marco Polo tersebut, dimana disebutkan bahwa pada tahun 1291 Masehi dirinya yang bekerja untuk Kubalai Khan di Cina pernah singgah di wilayah Perlak, sebuah kota di pesisir pantai utara Sumatra. Di wilayah ini, Marco Polo menemukan jejak atau bekas peninggalan, setidaknya ada atau pernah ada beberapa kerajaan kecil di sana, yaitu Ferlec (Perlak), Basma (Pasai), Samara (Samudra), Dagroian (Indragiri), Lambri (Lamuri). Ketika itu, Marco Polo berada di suatu tempat yang bernama Samara (Samudra), di sebelah utara Perlak, selama lima bulan untuk menunggu datangnya angin baik guna untuk berlayar kembali. Di dekat Samara terdapat tempat yang bernama Basma (Pasai) yang dipisahkan oleh sebuah aliran sungai, kemudian tempat ini dikenal dengan Samudra Pasai. Marco Polo menyaksikan bahwa penduduk Samudra Pasai saat itu telah menganut Islam dan diperintah oleh seorang yang alim.45 Kenyataan yang disaksikan oleh Marco Polo dikuatkan oleh bukti bahwa di daerah Samudra Pasai pernah berdiri sebuah kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Islam Samudra Pasai. Menurut Hikayat Raja- Raja Pasai46 dan Sejarah Melayu47 yang dikutip oleh Yusny Saby melaporkan, bahwa keberadaan Kerajaan Samudra Pasai berawal dari pada tahun 1042, saat datangnya Meurah Khair (Meurah Giri) keturunan dari Sultan Perlak, yang kemudian mendirikan Kerajaan Samudra Pasai dan menjadi raja pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah yang berkuasa hingga tahun 1078. Kerajaan ini kemudian mengalami perkembangan yang lebih signifikan pada masa Sultan Malik Salih atau Malikussaleh (1261-1289), yang mulanya bernama Meurah Silu, tetapi setelah datangnya ulama Syaikh Isma‘il dari Makkah sekitar tahun 1270- 1275, Meurah Silu menjadi penguasa di Samudra Pasai, maka kemudian bergelar Sultan Malik asSalih (The Pious King). 48 Merujuk pada catatan Hasjmy, sejak dari Kerajaan Islam Perlak telah terjalin hubungan dengan luar negeri dalam berbagai kepentingan. Nantinya setelah Kerajaan Aceh Darussalam diproklamirkan dibentuklah kementrian yang khusus menangani bidang hubungan luar negeri, dengan sebutan Wazir Sultan Badrul Muluk, yang membawahi seluruh duta besar Aceh untuk

45

Edwin M. Loeb, Sumatra: Its History and People, (New York: Oxford University Press, 1972), hal. 9 dan 218. Thomas Arnold, The Spread of Islam in The World: A. History of Peaceful Preaching,(India: Goodword Books, 2001), hal. 367. P.A. Hoesein Djajadiningrat, “Islam di Indonesia” dalam Dari Sini Ia Bersemi, Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke-12, Banda Aceh, 1981, hal. 1. 46 Hikayat Raja-Raja Pasai menurut Winstedt ditulis pada abad keempatbelas, dimana di dalamnya menceritakan tentang raja- raja yang berkuasa di Pasai, terutama sejak Malik Salih di abad ke tigabelas hingga penyerangan Majapahit ke daerah ini pada abad keempatbelas. Sir Richard Winstedt, A. History of Classical Malay Literature, (London: Oxford University Press, 1969), hal. 155. 47 Sejarah Melayu atau yang lebih umum dikenal dengan The Malay Annals menurut Winstedt ditulis pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pada awal abad ketujuhbelas. Di dalamnya juga menceritakan tentang raja- raja di Aceh, terutama sekitar pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dan masa- masa sebelumnya, Winstedt, A. History..., hal. 158. 48 Yusny Saby, “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey” dalam Studia Islamika: Indonesia Journal For Islamic Studies, Vol. 8 Number 1, ( Jakarta: 2001), hal. 6, 12-15.

Aceh Serambi Mekkah

69

luar negeri.49 Uraian berikut ini akan menjustifikasi terhadap realitas relasi Aceh dengan luar negeri. 1. Relasi Aceh Dengan Turki Usmani Pada abad ke-16 Masehi beberapa kerajaan Islam yang berada di Aceh berhasil dipersatukan oleh Sultan ‘Ali Al- Mughayat Syah (w. 1530). Pada saat Sultan ’Ali Al- Mughayat Syah inilah terbentuk Kesultanan Aceh yang berangsur kuat dan besar. Pada saat tersebut, kontak antarbangsa yang pada masa sebelumnya sebenarnya telah terjalin, menjadi semakin ramai. Sultan ’Ali Al-Mughayat Syah telah meletakkan dasar- dasar diplomasi yang santun dengan pihak luar. Dalam keyakinannya, suatu negara tidak akan bisa berdiri kukuh bila hanya sebesar kampung, seluas kota, akan tetapi harus seluas wilayah Aceh atau bahkan lebih luas lagi. Untuk itu diperlukan pemberdayaan internal, seperti masalah pertahanan dan kemanan, sosial ekonomi, pendidikan dan sektor kehidupan lainnya. Di samping itu harus menjalin persahabatan yang kuat dengan pihak luar negeri, terutama dengan negara Islam lainnya.50 Menurut catatan sejarah, hubungan antara Kesultanan Aceh dan Kekhilafahan Turki Usmani bermula ketika Sultan Turki membantu Aceh dalam memerangi bangsa Portugis yang mencoba menganeksasi wilayah Pidie (1521 M) dan Pasai (1524 M).51 Menghadapi ancaman serius ini, kemudian Sultan Aceh, ‘Ala Al-Din Ri‘ayat Syah Al- Kahhar (1537-1571 M) mengambil langkah formal untuk tunduk secara sukarela pada kekuasaan Turki Utsmani sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Utsmaniyyah kepada Aceh. Hal ini dirasa wajar atas dasar hubungan emosional religiusitas antara kesultanan Aceh dan kekhalifahan Turki Ustmani. Azra menyatakan bahwa dengan mengutip dokumen Turki, Voorhoeve menunjukkan bahwa ’Ala Al- Din mengirimkan seorang utusan ke Konstantinopel, Turki pada tahun 973 H (1523 M) untuk meminta bantuan guna melawan Portugis, yang setelah diusir dari Pasai kemudian menduduki Malaka, dan mengatakan bahwa sejumlah penguasa kafir di Asia Tenggara telah berjanji akan memeluk Islam jika khilafah Turki Ustmani membantu mereka.52 Realitasnya, memang tidak mudah bagi Aceh untuk mendapatkan bantuan dari Kekhilafahan Turki Utsmani meskipun yang terakhir ini tengah berada dalam masa kejayaan di bawah Khalifah Sulaiman Yang Agung. Perutusan Aceh harus menunggu dua tahun di Istambul sebelum sebuah ekspedisi laut dikirim di bawah komando Laksamana Suez, Kurdoqhlu Kizir Reis, yang terdiri dari sembilan belas kapal dan beberapa kapal lainnya lengkap dengan persenjataan, makanan dan sebagainya. Namun ekspedisi ini berubah haluan menuju ke Yaman untuk menangani pemberontakan di sana. Selanjutnya, dua kapal yang sarat dengan makanan dan sejumlah penasihat militer dikirim ke Aceh. Utusan khalifah Turki tersebut diterima oleh Sultan Aceh dan seterusnya tinggal di Aceh. Sebagai bukti historis adanya relasi ini tercermin

49

Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah,(Jakarta: Penerbit Beuna, 1983), hal. 97. Ibid, hal. 97-98. 51 Teuku Iskandar, Hikayat Aceh: Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda, (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Museum Negeri Aceh, 1986), hal. 39-40. 52 Azra, Jaringan Global ..., 52 dst. 50

70

Aceh: Relasi Lokal dan Global

pada bendera merah Ustmaniyah dan pada hadiah kepada Sultan Aceh. Semua ini diagungkan sebagai apresiasi dari Khalifah Islam di Turki, di samping sebagai tanda penghargaan atas perlindungannya terhadap para pengikutnya di wilayah yang paling jauh di kawasan Timur.53 Pada masa permulaan perang antara Aceh menghadapi Barat, sebuah surat kabar yang terbit di Istambul menceritakan bahwa dalam tahun 1516 Sultan Aceh telah memiliki hubungan diplomatik dengan seorang Pasya, Wazir dari Sultan Selim I Turki. Hubungan bilateral yang telah ada ini kemudian dilanjutkan dan diperteguh lagi oleh Sultan Qahhar, dimana pada tahun 952 H. (1545 M) mengirim utusan ke Turki untuk memperbaharui hubungan diplomatik di samping untuk meminta bantuan senjata dan tenaga ahli untuk melawan Portugis. Sultan Turki yang berkuasa waktu itu yakni Sultan Sulaiman Khan, 926-974 H. (1523-1566 M) menerima permintaan Aceh dengan memberi sejumlah besar alat senjata dan kira-kira 300 orang tenaga ahli, di antaranya ahli teknik, militer, ekonomi, dan hukum/tatanegara. Adapun peralatan senjata yang turut dikirim adalah meriam besar, meriam Lada Sicupak.54 Aceh meraih kejayaan politiknya, baik secara internal maupun eksternal, di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1637) yang brillian dan perkasa. Kontrol kerajaan saat itu sangat efektif atas seluruh pelabuhan penting di pantai barat dan di timur Sumatera. Aceh mendominasi perdagangan di utara dan barat Sumatera, terutama di selat Malaka. Di samping itu, Aceh melakukan kontrol atas daerah tertentu Semenanjung Malaya, yakni Pahang, Kedah dan Perlis. Dengan bantuan penasihat-penasihat militer, persenjataan, dan amunisi dari kekhalifahan Turki Utsmani, kesultanan Aceh mampu melancarkan serangan berkali-kali terhadap benteng Portugis di Malaka.55 Denys Lombard menyertakan bukti historis adanya hubungan diplomatik antara Aceh Dan Turki Ustmani pada abad ke-17 melalui hikayat Aceh yang berisi tentang kedatangan delegasi Turki kepada Sultan Iskandar Muda.56 Kata sahibul hikayat, yakni yang menceritakan hikayat ini, pada suatu zaman bahwa Sultan Muhammad (Muhammad III-pen) yang kerajaan dalam negeri Rum (sebutan untuk Turki Ustmani) itu sakit kepala dan sejuk segala anggotanya. Maka ia memanggil segala hakim dan tabib. Maka memberi titah Sultan itu kepada segala hakim dan segala tabib: Hai segala hakim dan segala tabib, apa penyakit dalam tubuhku ini ada jua akan obatnya? Maka menghampiri dua orang hakim, seorang bernama Taimunus Hakim, seorang bernama Jalus Hakim serta dibukanya baju Sultan itu dan dijabatnya tangan kaki (diperiksa-pen) Sultan itu. Maka sembah hakim kedua itu: Tuanku, (tiada) akan obatnya melainkan salita ’l-kafur dan salita ’t-turab, yakni minyak kapur dan minyak tanah. Maka memberi titah Sultan Rum itu kepada perdana menterinya: Yang pada negeri mana kamu dengar khabar minyak kapur dan minyak tanah itu? Maka sembah perdana menterinya: Tuanku, yang ada kami yang diperhamba dengar khabar minyak kapur dan minyak tanah itu di bumi

53

Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Nederland and Britain 1858-1898, (London: Oxford University Press, 1969), hal. 3. 54 Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal.101 55 Azra, Jaringan Global …, hal. 52. 56 Deny Lombard, Kerajaan Aceh…, hal. 288 dst.

Aceh Serambi Mekkah

71

masyriq (Timur) yang bernama negeri Aceh Dar as-Salam. Maka titah Sultan Rum: Jika demikian suruhlah dua orang Rum yang namanya Celebi Ahmad dan seorang namanya Celebi57 Ridwan yang menghadap daku ini sertanya seratus orang Rum untuk dibawanya sebuah kapal dengan segera ia pergi ke negeri Aceh Darussalam itu. Syahdan pada ketika itu jua dititahkan Sultan untuk menyurat suatu marsum (perintah), yakni satemi (surat resmi) yang sampai kepada basyah di negeri Yaman, bernama Mansur Hallab. Maka ada yang tersebut dalam marsum itu: “Hai basyah Mansur Hallab, segera kau suruhkan sebuah kapal untuk (berlayar) ke negeri Aceh Darussalam, mencahari obat akan daku dari pada minyak kapur dan minyak tanah itu. Dari kapal itu dengan segala senjatanya dan segala arta yang dibawa Celebi Ahmad dan Celebi Ridwan itu. Tatkala sudah surat satemi itu (sampai), maka diberikan kepada Sultan Rum lalu berjalan dengan seratus orang Rumi yang musta’id (persiapan) dengan segala senjatanya. Maka lalulah mereka itu menuju negeri Yaman. Maka tatkala sampai mereka itu ke negeri Yaman, diberikannya surat satemi itu kepada tangan Basyah Mansur Hallab. Tatkala dibacanya surat itu, segera ia menyuruh kepada beberapa orang daripada Rumi mengutus Celebi dua orang itu ke negeri Moka kepada Agha Mir Haidar…Ketika itu jua dimusta’idkannya sebuah kapal dengan segala alatnya dan beserta nakhoda kapal itu yang bernama Yakut Istambul. Beberapa hari kemudian mereka itupun berlayar menuju negeri Darussalam. Takdir Allah Swt. Beberapa lama mereka di dalam laut maka sampailah mereka ke negeri Aceh Darussalam. Kapal tersebut berlabuh antara makam Tukul (kata demi kata: “kuburan martil”; nama tempat tidak kami kenal dari sumber lain) berbetulan dengan pulau Aberama. Pada esok harinya tenggahlah kedua celebi itu dengan segala Rumi yang besertanya. Maka duduklah mereka itu di Bandar Makmur seperti ’adat kelakuan segala saudagar. Kata yang berceritera: bahwa tatkala Agha Yakut Istambul datang ke Aceh Darussalam, seri sultan Perkasa Alam berangkat mengalahkan negeri Deli. Beberapa lama Agha Yakut di Aceh maka satemi dari Deli pun datang mengatakan Deli sudah kalah. Dan sesudah berapa lama maka sultan Perkasa Alam pun berangkat kembali ke Aceh. Kemudian, setelah beberapa hari Yakut Istambul dan kedua Rumi mempersiapkan segala persembahannya, permata dan benda-benda yang mulia yang akan dipersembahkan dari Syahbandar ke bawah duli hadirat Sultan Perkasa Alam: Tuanku, daulat dirgahayu bahwa pada hari Kamis ini Yakut Istambul dan Rumi memohon hendak menghadap duli hadirat yang maha mulia. Maka seri sultan Johan ’Alam memberi titah kepada Syarif alMuluk Laksamana dan kepada Seri Biji Wangsa. Demikian titah yang maha mulia: Wahai kedua panglima gajah, padankan oleh kamu segala gajah yang menta-menta. Insya Allah esok hari kita berangkat keluar. Maka segala pedagang-pedagang yang datang dari negeri Rum itu hendak menghadap kita.” Ketika itu, Syarif al- Muluk Laksamana menyuruh untuk menghimpunkan segala kejuruan gajah dan menyuruh kenakan tali pada kaki gajah yang menta. Dan menyuruh hiasi singgahsana yang di Medan Khayyali, dan mengenakan langit-langit dari zarbaf yang keemasan yang berumbai-rumbaikan mutiara yang besar, dan menghamparkan permadani yang mulia- mulia, dan mengenakan selub segala tiang singgahasana itu dari mukmal yang merah keemasan, dan mengenakan tupuk patma birai dari kain keemasan.

57

72

Celebi adalah gelar kehormatan kaum bangsawan di Turki Usmani.

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Maka disegerakan tempat semayam itu, sebuah daripada tempat yang bertatahkan ratna mutu-manikam, dan berapa buah daripada bantal keemasan daripada kain zarzari. Sekalian itu berpakankan mas dan bantal yang bertumpukkan mas berkerawang dan bepermata yang indah-indah. Maka pada waktu zuhur, Agha Yakut Istambul dan Rumi beserta kedua celebi itu mengarak segala syahbandar pun masuk ke dalam pagar Dar ad-Dunia, lalu ia berdatang sembah: “Tuanku daulat dirgahayu Syah Alam, bahwa segala dagang-dagang yang datang dari negeri Rum itu hadirlah di Medan Khayyali dengan segala persembahannya. Demi Johan (Alam) mendengar menyembah segala syahbandar itu maka memeri titah menyuruh gunamkan gajah yang bernama Biram Setan. Maka Johan Alam pun berangkat serta kembang payung katifah yang keemasan dan beberapa daripada payung zarkar yang keemasan. Sekalian payung itu berkemuncakkan mas permata dan batangnya daripada kayu ungu yang keemasan. Maka ada mengiringkan Johan Alam itu daripada segala rajaraja Timur dan daripada segala raja-raja Barat. Yang di bawah gajah istan itu sekalian memakai keemasan seperti adat pakaian lasykar Aceh. Dan beberapa daripada segala hulubalang yang memakai masing-masing pada kelakuannya dan beberapa daripada Bujang Sabil Allah memikul pedang berhulu mas permata dan bersarung mas bepermata dan bertalikan mas yang terdandan lagi bepermata. Dan setengah daripada Sabil Allah itu memikul keris mas yang berteterapan mas dan berhulukan manikam yang merah; dan setengah berhulukan zamrud yang hijau dan bersarungkan emas berlazuardi yang hijau dan setengah daripada lazuardi yang merah dan beberapa daripada busur keemasan dan tarkas mas permata; dan anak panahnya pun bertatahkan mas dan berbulukan mas, dan beberapa daripada keris pendek dan golok pendek sekaliannya itu berhulukan mas bepermata dan bersarung emas bertetapan; dan beberapa yang berhulu dan bersarung suasa dan daripada yang indah-indah dalam dunia ini sekalian permata intan dan biram dan…. Di negeri Aceh itu terdapat galian mas yang merah yang sepuluh mutu dan tanah cempaga kudrati yang senantiasa mengalir di atas bukit galian itu dan beberapa daripada kolam minyak tanah kudrati yang tiada lagi kurang minyaknya daripada kolam itu; dan yang terbiit daripada segala hewan dalam rimbanya, daripada paizhar dan jebat dan air madu dan lilin dan daripada isi bukit rimbanya, beberapa daripada pohon kayu yang dalamnya kapur dan kemenyan yang putih dan hitam dan daripada pohon kayu celembak dan gaharu dan cendana dan damar dan lada dan pilpin diraz dan beberapa daripada galian yang lain dan daripada segala pohon kayu yang lain dari itu. Dan ada dalam negeri itu di atas bukit yang tinggi suatu laut, artinya tawar dan manis. Maka pada ketika bertiup angin berbangkit ombaknya dan ketika berhenti angin teduh ombaknya seperti ’adat laut yang besar itu. Maka ada dalam laut itu beberapa ular yang besar-besar kepalanyaseperti kepala kuda dan mukanya seperti muka kuda. Maka segala ikan yang ada dalam laut yang besar itu adalah di sana. Maka segala ada isi laut yang besar itu pun adalah dalam laut itu. Maka keliling tepi laut yang besar itu dikedemi manusia yang tiada terhisab banyaknya. Maka sekalian mereka itu ta’luk ke Aceh Dar as-Salam yang terbit mata air daripada bukitnya lalu mengalir ke laut itu. Airnya terlalu manis lagi akan penawar. Maka beberapa daripada orang sakit apabila mandi ke dalam sungai itu maka di’afiatkan Allah ta’ala penyakitnya dan beberapa daripada orang sakit apabila diminumnya air sungai itu maka di’afiatkan Allah ta’ala penyakitnya. Dan beberapa daripada dagang-dagang daripada Arab dan Ajam dan Rumi dan Mughal dan segala Hindi yang melihat sungai itu merasa mandi dalam sungai itu dan merasa minum air sungai itu, maka jadi ia mengucap syukur akan Allah Aceh Serambi Mekkah

73

ta’ala beserta dengan hairannya dan dahsyatnya dan terbit daripadanya kata: Ah, beberapalah negeri yang kami datangi dan kami lihat, dalam nya sungai tiada seperti sungai Aceh Dar as-Salam ini pada cita rasanya dan pada manfaatnya akan jasad manusia. Dan telah ada suatu sungai yang mata airnya terbit daripada guha batu. Maka airnya terlalu amat sejuk lagi amat manis. Maka nama air sungai itu Dar al-’Isyki. Maka segala raja-raja akan air santap daripada air itulah. Dan ada hawa negeri Aceh Dar assalam itu sederhana jua, tiada amat sejuk dan tiada amat hangat, daripada lalu cakrawala matahari dari masyrik ke maghrib ituberbetulan dengan bumi negeri itu. Maka dari karena itulah segala isi negeri itu daripada manusya dan gajah dan berani dan tegar hati; daripada manusya isi negeri itu dijadikan Allah ta’ala kuat bicaranya dan banyak bicaranya dan banyak muslihatnya pada mengikat perang tatkala berhadapan dengan seteru. Maka rajaraja yang telah lalu pada masanya kerajaan daripada nini datu seri sultan Perkasa Alam tiada kelenggara akan kota negeri itu, melainkan Kota Buruj ninpun hanya tempat mengantarkan bedil yang manai banyaknya akan mengawali kuala negeri jua, daripada dijadikan Allah ta’ala pada cermin hatinya kenyataan keras budinya dan kuat bicaranya pada melawan segala seteru itu, daripada dinyatakan Allah ta’ala pada cermin hatinya kenyataan keras dan kuatnya itu dengan segala hulubalangnya yang amat gagah lagi amat berani dan dengan segala gajah yang amat gagah lagi amat berani yang tiada tepermanai banyaknya itu. Maka dengan takdir itu Allah ta’ala maka ta’rif Aceh Dar as-Salam seperti tersebut itu telah masyhurlah kepada segala isi ’alam hingga sampai ke negeri Makkah Allah yang mulia itu dan Madinah nabi Allah yang mulia itu; dan jebat dan celembak dan kepala kapur... Di sini mensifatkan dia dan ada dalam negeri itu sebuah mesjid terlalu besar dan terlalu tinggi kemuncaknya daripada perak yang berapit dengan balur. Maka ada segala orang yang sembahyang dalamnya terlalu banyak. Maka pada penglihat kami diperhamba yang mengatasi banyak oranng sembahyang daripada dalam mesjid itu hanya dalam mesjid yang dalam haram Makkah Allah yang mulia itu jua. Maka mesjid yang dalam segala negeri yang lain tiada ada seperti dalam mesjid itu, hanya kebaruan jua. Maka ada luas mesjid itu seyojan mata memandang dan ada mimbarnya daripada mas dan kemuncak mimbar itu daripada suasa. Maka ada disebutkan oranng pada puji-pujian di mulut orang banyak; sayyidina as-sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat sahib al-barrain wa’l-bahrain, ya’ni tuan kami sultan Perkasa ’Alam yang mengempukkandua darat dan dua laut ya’ni darat dan laut masyrik maghrib. Dan ada dalam negeri itu beratus-ratus mesjid jumat. Syahdan telah ada pekerjaan Johan ’Alam kerajaan dalam negeri Aceh Dar as-Salam itu netiasa menyuruhkan segala hulubalanng dan segala rakyat kecil besr mendirikan agam Allah dan Rasulnya. Syahdan netiasa Johan Alam itu memeri titah kepada segala wazir baginda itu menyusun ghorab yang besar-besar diniatkan dengan niat mujahid dan ghaza dengan segala kuffar ’alaihi’l-lana. Dan akan negeri itu tiada berkota seperti ’adat kota negeri yang lain dengan karena amat banyak gajah perang yang dalam negeri itu.” Syahdan sembah celebi yang dua orang itu kepada sultan Muhammad yang di negeri Rum: “Tuanku, tiadalah tersifatkan kami diperhamba yang kedua ini daripada peri amat ’ajaib sarwa baginya itu.” maka tatkala terdengar sultan sembah celebi yang dua orang yang menceritakan segala ceritera itu, maka sultan Rumpun meraup muka seperti mengucap alhamdu li’llah, lalu memeri titah sultan kepada wazir a’zam dan kepada segala wazir yang lain: “Hai kamu segala wazir, pada bicaraku pada zaman dahulu kala jua dijadikan Allah ta’ala dua orang raja Islam yang amat besar dalam dunia ini, seorang nabi Allah Sulaiman, seorang raja Iskandar juga, seperti sembah celebi Ahmad dan celebi Ridwan

74

Aceh: Relasi Lokal dan Global

ini. Maka pada zaman kita sekarang inipun ada jua dijadikan Allah ta’ala dua orang raja yang amat besar dalam ’alam dunia ini. Maka yang daripadapihak maghrib kitalah raja yang besar dan daripada pihak masyrik itu seri sultan Perkasa ’Alam raja yang besar dan raja yang mengeraskan agama Allah dan agama rasul Allah.” maka sembah wazir a’zam dan segala wazir: Tuanku, sebenarnya sabda tuanku itu, karena jika sperti sembah celebi yang kedua ini tiada ada diperoleh dalam a’lam dunia ini, hanya pada tuanku dalam negeri Rum (dan pada Johan ’Alam yang dalam negeri Rum) dan pada Johan ’Alam yang dalam negeri Aceh Dar as-Salam jua”. Kata yang berceritera: maka tatkala celebi yang dua orang bersembah ceritera kepada sultan Rum itu beberapa daripada raja-raja Perasi dan raja-raja ’Ajami menghadap sultan Rum dan beberapa daripada wazir dan basyah Rumi dan beberapa daripada Arab dan segala ’Ajam dan segala Mughal. Maka sekalian mereka itu hairan dan dahsyat menengar cerita dua orang celebi itu maka kata seorang dari mereka itu berkata sama sendiri kodratnya yang amat keras itu. Jika seperti cerita yang kita dengar ini patut sekalilah sultan yang di negeri Aceh Dar as-Salam itu bernama Perkasa Alam. Setelah itu maka segala raja-raja dan segala wazir dan segala basyah dan segala Arab dan segala ’Ajam dan segala Mughal masing-masing mereka itu kembali ke negerinya. Maka jadi masyhurlah ceritera Johan Alam itu kepada segala isi negeri dalam alam dunia ini. Maka pada ketika haji ke Makkah Allah yang mulia itu maka amir haji basyah Yaman setelah sudah naik haji maka ia datang ke Medinah yang mulia itu. Maka ia duduk dalam mesjid nabi yang mulia itu. Maka tatkala itu dua orang daripada ulama yang terbesar ada hadir, seorang bernama syaikh Sibghat Allah dan seorang bernama syaikh Muhammad Mukarram. Dan telah ada hadir pada majelis itu Mir Ja’far yang salih lagi zahid lagi sufi dan beberapa ketika itu daripada ulama duduk bersama-sama dengan basyah Yaman itu. Maka tatkala itu hadir pada majelis itu seorang haji Ahmad dan seorang haji ’Abdullah. Maka haji yang dua orang itu tiada pernah dilihat. Maka orang Haram Makkah Medinah yang mulia itu dan dagang-dagang yang lain pun tiada mengenal orang kedua itu. Maka seorang dari antara orang Medinah bertanya: “Hai kamu duaorang, di mana negeri kamu?” maka sahut haji Ahmad: negeri kami hampir negeri Aceh Dar as-Salam. Setelah sudah kami haji maka kami ini dari Aceh Dar asSalam. Setelah sudah kami haji maka kami datang ke Medinah. Maka terdengar kepada syaikh Sibghat Allah haji itu mengatakan dirinya dari Aceh....: Kamu tanyakan padanya apa warta Aceh Dar as-Salam itu dan apa warta seri sultan Johan ’Alam yang kerajaan dalam negeri Aceh Dar as-Salam itu. Maka haji Ahmad dan haji Abdullah menceriterakan segala penglihatannya dan segala penegarannya segala di negeri Aceh itu. Maka kata basyah kepada syaikh Sibghat Allah: “Bahwa cerita haji yang dua orang ini sebenarnya dan sahlah karena hamba sudah mendengar warta yang seperti diwartakannya ini di negeri Rum di hadapan cunkar sultan Rum. Maka menceritakan cerita ini dua orang celebi yang datang dari Aceh.” Maka tatkala itu syaikh Sibghat Allah dan segala ulama yang dalam majelis itu sekaliannya membaca Fatihah akan seri sultan Johan Alam. Maka tatkala itu Mir Ja’far pun ada pada majelis itu. Setelah itu maka haji Ahmad dan haji Abdullah kemballi ke Aceh Dar as-Salam. Apakala sampai ia ke Aceh Dar as-Salam maka datang ia kepada syaikh Syamsuddin. Maka diceritakannyalah kepadanya perinya ditanya orang Medinah menyatakan cerita Aceh dan menyatakan cerita Seri Sultan Johan Alam dan peri kata basyah Yaman memenarkan ceritanya itu, maka kata akan basyah Yaman: “Bahwa kami sekalian di negeri Istambul menengar warta ini daripada cerita dua orang celebi yang Aceh Serambi Mekkah

75

datang dari Aceh itu. Setelah itu maka datang pula Mir Ja’far ke Aceh. Apakala ia datang ke Aceh maka datang ia kepada syaikh Syamsuddin. Maka Mir Ja’far pun menceritakan segala cerita seperti haji Ahmad dan haji Abdullah itu jua.” 58

Kutipan panjang hikayat di atas membuktikan adanya hubungan yang erat antara Aceh dan Turki Usmani. Hubungan itu berlanjut, bahkan intensif saat Aceh menghadapi kolonialisme bangsa Barat. Pasca mangkatnya Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani, wibawa kekuasaan Kesultanan Aceh mulai surut. Selama lebih dari setengah abad (1641-1699), Aceh diperintah oleh Sultan Wanita secara berturut-turut, Safiyatuddin, Naqiyatuddin, Zakiyatuddin dan Kamalat Syah.59 Selama waktu itu, kekuasaan efektif yang sebelum terjalin kukuh berangsur lemah kemudian dipegang oleh para uleebalang (kepala-kepala daerah) yang tersebar di berbagai wilayah (negeri). Dalam kondisi seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa realitas kekuasaan kesultanan Aceh tereduksi dan pranata kesultanan cenderung menjadi sebuah simbol. Dan pada akhirnya, waktu dan jarak juga telah menghapus substansi politik tunduknya Aceh atas kekhalifahan Turki Usmani meskipun ikatan sentimental religiusitas tidak pernah padam di hati orang-orang Aceh. Pada paruh kedua abad ke-18, perusahaan Hindia Inggris yang berpusat di India mulai berusaha mencari jalan untuk memasuki wilayah Aceh yang diharapkan dapat menjadi basis yang sangat mungkin sebagai wilayah untuk mengumpulkan produk-produk unggulan di MelayuNusantara dan memperlengkapi armada Hindia Inggris selama musim angin timur. Berbagai cara ditempuh, namun setelah serangkaian tawaran Inggris sejak 1762 ditolak mentah-mentah oleh Kesultanan Aceh, akhirnya perjanjian pertahanan antara kedua belah pihak ditandatangani pada 22 April 1819 di Banda Aceh. Perjanjian ini akhirnya memperkuat dominasi Inggris atas perdagangan yang menguntungkan di sepanjang Selat Malaka. Hal ini membuat persaingan politik dan dagang antara Inggris dan Belanda semakin meningkat. Setelah negosiasi panjang, perjanjian London pada 17 Maret 1824 ditandatangani oleh Inggris dan Belanda. Menurut perjanjian tersebut, Belanda tidak akan memperluas kekuasaannya di Hindia Belanda sampai ke Aceh dan akan menjamin kebebasan perdagangan khususnya di sepanjang Selat Malaka.60 Realitas konflik kepentingan antara dua kekuatan Eropa itu sama sekali tidak dapat diatasi dengan perjanjian. Belanda, karena kebutuhan mendesak akan pendapatan, tidak dapat memberikan toleransi terhadap supremasi dagang Inggris yang terus berlanjut atas daerah-daerah yang dianggap oleh Belanda termasuk ke dalam kekuasaannya. Oleh karena itu, Belanda berupaya merevisi Perjanjian London dan akhirnya berhasil merevisi perjanjian tersebut kemudian ditandatangani sebuah perjanjian baru antara Belanda dan Inggris pada tahun 1871 yang membebaskan Belanda dari janji mereka untuk tidak memperluas kekuasaan terhadap Aceh. Pada saat kedua kekuatan Barat tersebut seolah-olah seenaknya menentukan nasib Aceh, Kesultanan Aceh sedang diperintah oleh Tuanku Ibrahim (1838-1870) yang bergelar Sultan ’Ali

58

Deny Lombard, Kerajaan Aceh…, hal. 288 dst. Tentang Sultanah Aceh ini baca A. Hasjmy, Peranan Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan, Makalah yang disampaikan pada forum Yayasan Pecinta Sejarah di Jakarta, 6 Pebruari 1988, hal. 16-28. 60 Azra, Jaringan Global ..., hal. 52. 59

76

Aceh: Relasi Lokal dan Global

’Ala Al-Din Mansur Syah. Di tangan Sultan Ibrahim, Kesultanan Aceh kembali menjadi kekuatan nyata yang berupaya menegakkan otoritasnya atas seluruh kawasan di utara bagian Sumatera. Menurut sejumlah sumber dari Belanda, dia mengirim Sidi Muhammad sebagai Duta Besar Aceh ke Pelabuhan Istambul (Sublime Port) pada 1850-1851 untuk meminta kekhalifahan Turki Usmani kembali mengakui Aceh sebagai bagian (vassal) dari wilayah Turki Utsmani. Sultan Abdul Majid memenuhi permintaan perutusan dari Aceh ini dengan menerbitkan dua firman (keputusan Sultan Turki Usmani); pertama, memperbaharui perlindungan Turki atas Aceh, dan kedua, menegaskan bahwa Sultan Ibrahim berada dalam status sah pada kesultanannya. Selanjutnya Gubernur Turki Usmani di wilayah Yaman diperintahkan oleh penguasa Turki Usmani untuk mengurus kepentingan Aceh. Beberapa tahun kemudian, Sultan Ibrahim mengirim uang sejumlah $10,000 ke Istambul untuk membantu biaya perang Turki di Crimea. Penguasa Turki Usmani membalas pemberian dana itu dengan tanda jasa Mejidie bagi Sultan Aceh. Meskipun Aceh melaui Sultan Ibrahim telah menandatangani perjanjian persahabatan dengan Belanda pada 30 Maret 1857, ekspansi Belanda ke Sumatera Tengah yang secara nominal berada di bawah kekuasaan Aceh, segera menjadi permusuhan lama di antara mereka muncul kembali. Ekspansi Belanda ke bagian utara Sumatera pada tahun 1860-an memberi peringatan kepada Aceh untuk segera meminta bantuan dari mana saja. Menurut Anthony Reid, permohonan Aceh akan perlindungan Turki atas agresi Belanda yang ditandatangani oleh 65 bangsawan Aceh, telah dilakukan Istambul pada 1868. Bila dicermati, berbagai upaya Aceh untuk mendapatkan bantuan dari Dinasti ’Utsmaniyyah juga tidak dapat dilepaskan dari konteks gagasan kekhalifahan Islam di Turki yang diyakini oleh banyak banyak kaum Muslim di luar Usmaniyyah sebagai pelindung satu-satunya bagi Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kaum Muslim di Timur termasuk Aceh, India, atau Asia Tengah, tidak ragu melancarkan berbagai usaha untuk memperoleh bantuan dari para penguasa Turki Usmani. Permohonan Aceh pada Turki merupakan suatu akibat alami dari adanya permusuhan yang tumbuh antara mereka dan Belanda. Kini, permohonan untuk mendapat bantuan Turki Usmani kembali muncul karena agresi Belanda. Permohonan bantuan itu kini memiliki signifikasi politik tersendiri bagi rakyat Aceh secara keseluruhan dibandingkan dengan misi awal ke Turki yang bertujuan sekedar memperbaharui persahabatan dan pengukuhan kekuasaan Sultan Ibrahim. Karena permasalahan internal yang dihadapi, maka tidak begitu jelas apakah penguasa Turki Usmani merespons permohonan bantuan para pembesar Aceh. Realitasnya, Aceh tidak segera memperoleh bantuan yang dibutuhkan ketika Belanda semakin agresif memperluas kekuasaannya ke arah bagian utara Sumatera. Azra menduga, tampaknya Turki Usmani tidak segera merespon permohonan Aceh karena kesibukan internalnya dalam menerapkan Reformasi Tanzimat yang menyebabkan Dinasti Usmaniyah justru bangkrut karena utang yang banyak kepada Eropa. Selain situasi yang menyulitkan itu, periode 1867-1871 merupakan momentum meningkatnya pemberontakan di sejumlah tempat wilayah kekuasaan Usmani. Semua itu menyebabkan permohonan bantuan yang diminta Aceh tidak berbuah. Kegagalan ini mendorong Aceh meminta bantuan ke berbagai perwakilan kekuasaan asing yang berpusat di Singapura, seperti Konsul Perancis, Amerika, Italia, dan Spanyol. Mayor Studer, Konsul Amerika, dengan antusias menerima seorang utusan Aceh dan membicarakan dengannya kemungkinan intervensi Amerika Serikat di Aceh. Hal ini diketahui oleh para intelejen Belanda di Singapura. Rumor Aceh Serambi Mekkah

77

bahwa armada Amerika akan berada di Aceh dalam waktu dua bulan serta Italia yang juga akan mengirimkan dua kapal untuk membantu Aceh segera tersebar luas.61 Pihak Belanda menanggapi berita tersebut dengan sangat serius tanpa berusaha mengklarifikasi kebenarannya kepada Konsul Amerika dan Italia di Singapura. Di pihak yang sama, otoritas Belanda di Batavia (sekarang Jakarta, ibukota Republik Indonesia) langsung mengirimkan sebuah ultimatum ke Aceh untuk meminta penjelasan dalam waktu 24 jam atas tindakan perutusan Aceh di Singapura. Pada 25 Maret 1873, ultimatum Belanda kedua dikirim ke Aceh yang mendesak agar mengakui kekuasaan Belanda dalam 24 jam dan menyatakan perang jika ultimatum itu tidak diindahkan. Tentu saja, Sultan Aceh bingung dengan ultimatum Belanda ini, karena Konsul Amerika dan Italia tidak mengatakan kepada utusannya ihwal rencana mereka untuk mengirimkan armadanya ke Aceh.62 Sultan Aceh berikutnya, Sultan Mahmud, yang menggantikan Sultan Ibrahim pada 1870, agak kerepotan bagaimana menjawab ultimatum Belanda tersebut. Dia melakukan hal yang tidak lebih daripara pendahulunya dengan mencoba menggunakan ungkapan yang sebaik mungkin kepada Belanda ketika mencari bantuan yang mungkin diperoleh Aceh dari kekuatan lain untuk melawan mereka. Pasukan Belanda yang telah berada di sekitar pelabuhan Banda Aceh menganggap Aceh hanya bermain-main dengan waktu. Angkatan laut Belanda kemudian mulai membombardir daerah pantai pada Aceh 26 Maret 1873 sebagai tanda bahwa perang telah dimulai. Kekuatan Belanda dengan tiga ribu orang tentara mendarat di Banda Aceh pada 8 April 1873, tetapi mendapat perlawanan yang hebat dari rakyat Aceh. Jenderal Kohler, Panglima Tentara Belanda terbunuh dan tentaranya harus mundur dari Aceh setelah banyak kehilangan banyak anggotanya. Ini merupakan pukulan balasan paling telak yang pernah diderita oleh tentara Belanda di Nusantara. Orang-orang Indonesia di tempat lain segera mengetahui bahwa untuk pertama kalinya dalam pengalaman Indonesia, tentara inti Belanda dipaksa mundur oleh para pejuang sebangsa, maka timbullah rasa percaya diri (self confident) bahwa kekuatan Eropa juga dapat dikalahkan. Perkembangan yang dramatis diatas menimbulkan simpati internasional terhadap rakyat Aceh meskipun kekuatan internasional yang kuat seperti Inggris, Rusia, atau Perancis tidak berani mencampuri urusan Aceh karena kepentingan kolonial kolektif mereka. Serangan balasan Aceh yang berhasil memukul mundur Belanda dalam penyerangan pertama sekali tidak membuat Belanda menghentikan permusuhan terhadap Aceh. Sebaliknya, Belanda mempersiapkan serangan kedua yang mereka harapkan bisa membuat Aceh menyerah tanpa syarat. Rentang waktu enam bulan antara dipukul mundurnya ekspedisi Belanda pertama dan munculnya serangan kedua memberi kesempatan bagi Aceh, secara internal untuk konsolidasi dan secara eksternal untuk sekali lagi memohon bantuan kepada Turki Usmani di Istambul. Upaya terakhir ini pada gilirannya merupakan hal yang paling luar biasa dari diplomasi Aceh di Istambul.63 Saat itu sultan yang berkuasa atas Aceh adalah Sultan Alaidin Mahmud Syah. Diterangkan bahwa Sayyid ’Abd Al-Rahman bin Muhammad Al-Zahir (1832-1896), seorang keturunan

61

Azra, Jaringan Global …, hal. 53-54. Azra, Jaringan Global …, hal. 55. 63 Siegel, The Rope..., hal. 49. Azra, Jaringan Global …, hal, 56. 62

78

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Hadramaut dan Nyak Abbas, seorang pedagang kenamaan dikirim oleh Sultan Mahmud ke Istambul beberapa waktu lalu sebelum terjadi serangan Belanda pertama untuk memperoleh bantuan dari Sultan Turki. Sebelumnya, ia tiba di ibukota Aceh pada 1864 dengan membawa sebuah rekomendasi dari patron dia sebelumnya, Maharaja Johor di Semenanjung Malaya. Rekomendasi Raja Johor itu lebih menekankan darah biru yang dia miliki sebagai sayyid yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Di Aceh, orang-orang sayyid sangat dihormati, apalagi bagi yang berpengetahuan luas dan berkepribadian kuat. Oleh karenanya, Habib Al-Zahir langsung saja nyaris menjadi penasihat hukum dan tokoh yang paling berpengaruh di antara penasihat-penasihat pribadi Sultan. Dipengaruhi kuat oleh gagasan pan-Islamisme yang mulai semakin menentukan momentum di Timur Tengah, Habib Al-Zahir juga bertanggung jawab atas meningkatnya gerakan reformasi Islam di Aceh. Dengan semua kelebihannya ini, tidak heran kalau Sultan Aceh segera mengangkatnya menjadi Duta Aceh menuju Istambul.64 Habib Al-Zahir tiba di Makkah pada April 1873 dengan niat memperoleh rekomendasi pribadi dari Syarif Makkah untuk mendukung diplomasinya di Istambul agar mendapat bantuan Turki guna menangkis agresi Belanda yang terus meningkat di Sumatera. Sambil terus mengikuti berita peperangan di Aceh, dia bergegas pergi ke Istambul dan tiba di sana pada 27 April 1873 saat tentara Belanda baru saja dipukul mundur oleh Aceh ke kapal mereka. Habib Al-Zahir saat itu juga pergi menemui Menteri Luar Negeri Istambul, Safyat Pasya. Dua minggu kemudian dia diberi kesempatan berwawancara singkat dengan Wazir ’Utsmaniyyah dan dia dapat memberikan surat Sultan Mahmud kepadanya serta membahas persoalan yang berkaitan dengan Aceh. Habib Al-Zahir kini berada pada posisi yang paling baik dalam misi diplomatik yang sangat urgen. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh koran La Turqui, ia memiliki intelegensi yang luar biasa dan pikiran yang brilian (untuk menjalankan misi diplomatiknya)’. Persuasif dan fasih dalam bahasa Arab, dia dengan jelas menggunakan kesempatan apa pun sebaik mungkin untuk membicarakan pokok-pokok masalah Aceh dengan para pejabat tinggi Turki.65 Namun, Azra mencatat bahwa Habib Al-Zahir menyaksikan Turki sedang berada dalam periode chaos, sebagaimana disebutkan oleh Davison, dalam waktu antara meninggalnya Perdana Menteri ’Ali Pasya yang kuat dan modernis pada 1871 dan tergulingnya Sultan Abdul Aziz pada 1876. sultan Abdul Aziz berusaha memperluas pengaruhnya ketika Perdana Menteri Turki silih berganti dalam beberapa bulan. Pengaruh dan intrik para diplomat asing di Istambul menjadi semakin jelas. Pada saat yang sama, misi dari Khiva, Bukhara, Kashgar, Yunan, dan Cina datang ke Istambul untuk mengakui Abdul Aziz sebagai khalifah dan memohon dengan sangat kepadanya agar memberi bantuan yang sebenarnya tidak bisa dia berikan. Mimpi tentang “Kekhalifahan ’Utsmaniyyah” yang universal dan efektif memunculkan kesombongan Sultan dan sekaligus kerinduan rakyat akan tindakannya untuk mengakhiri kisah sedih kehinaan Turki dan kaum Muslim.66 Dalam suasana kejiwaan seperti ini, pers Istambul mengangkat kasus Aceh dengan sangat antusias. Basiret, surat kabar pan-Islamisme Turki yang paling energik, menyerukan

64

A.K. Jacobi, Aceh Dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 25. 65 Reid, The Contest for…, hal. 118. 66 Azra, Jaringan Global…, hal. 57.

Aceh Serambi Mekkah

79

pengiriman kapal perang Turki ke Sumatera. Jevaid menyerukan permintaan secara lebih lunak, sedangkan La Turque membela Aceh secara konsisten dengan menggunakan istilah sangat modern untuk menuntut adanya intervensi diplomatik yang aktif di Istambul demi hak bangsa kecil. Selain itu, di kalangan dalam kabinet Turki, kasus Aceh dimenangkan oleh pemuka reformis terkemuka, Midhat Pasya.67 Namun baik Midhat maupun Safvet tidak dapat memikirkan caranya sendiri. Safvet bahkan telah terbiasa mencari nasihat dari pihak asing, khususnya Inggris, dalam masalah internasional termasuk kasus Aceh. Dengan mengutip arsip Kementrian Luar Negeri Belanda dan Inggris, Reid menulis cerita tentang Safvet bahwa pada saat itu dia segera meminta nasihat kepada Tuan Henry Elliot tentang apa yang harus diperbuat oleh Turki untuk menanggapi permintaan Aceh. Elliot membacakan kepadanya sebuah nasihat tentang manfaat bersikap abstain. Turki tidak mempunyai kepentingan untuk melindungi Aceh; agama tidak terlibat di dalam urusan perang; dan Belanda pasti telah memutuskan untuk melakukan balas dendam atas kekalahan pertama mereka. Akibatnya, Aceh pasti tidak akan berdaya. Safvet Pasya hanya bisa memprotes, adalah sulit bagi pemerintahan Turki ’Utsmaniyyah secara keseluruhan menolak mendengarkan imbauan rakyat Muslim Aceh yang memohon kepada penguasanya sebagai pemimpin tertinggi mereka. Di samping itu Safvet Pasya juga meminta nasihat kepada Duta Besar Perancis yang sama-sama tidak dapat memberikan dorongan. Sementara itu, Duta Besar Rusia, Jenderal Ingtiev, dengan sukarela memberi nasihat yang sama. Bahkan, dia memperingatkan bahwa jika Turki mulai melakukan intervensi atas nama kaum Muslim Asia, hal itu akan menyebabkan tergeraknya kekuatan lain untuk membela umat Kristen di Turki seperti telah terjadi dalam aksi Rusia pada 1853. 68 Di tengah meningkatnya intrik asing tersebut, Perdana Menteri Safvet diganti oleh Rasyid Pasya; dan akibatnya, Habib Al-Zahir harus memperbarui usaha-usahanya. Sama dengan pendahulunya, Rasyid Pasya juga meminta nasihat kepada sejumlah duta besar asing di istambul; mereka mempertahankan tentang pandangan sikap abstain Turki di Aceh. Namun Rasyid merasa bahwa Turki setidaknya harus tampak melakukan sesuatu bagi kaum Muslim Sumatera demi memelihara prestise Turki di mata kaum Muslim seluruh dunia. Jelaslah bahwa Istambul telah dipersulit oleh permintaan Aceh. Namun, Sultan ’Utsmaniyyah yang dipandang sebagai pemimpin agama kaum Muslim ini mengatakan kepada Menteri Luar Negeri bahwa dia tidak dapat menolak menerima utusan dari Sumatera. Rasyid Pasya kemudian mengatakan kepada Habib Al-Zahir bahwa Aceh terlalu jauh bagi Turki untuk dapat melakukan sesuatu dalam membela Aceh. Namun, Habib Al-Zahir tidak menyerah, dia kemudian memperingatkan Istambul tentang firmannya pada 1850, yang menjadikan Aceh sebagai vassal-nya, yang mesti dilindungi dari serangan asing. Dokomen yang relevan segera di cari di dalam arsip dan dibawa ke dalam sidang Kabinet Turki pada 13 Juni 1873. Akhirnya, kabinet Turki menyatakan bahwa firman itu hanya dapat dianggap sebagai dokumen keagamaan tanpa signifikansi politik. Utusan Aceh ini kini tidak dapat lagi melakukan sesuatu kecuali, paling tidak, meminta Turki memperlihatkan simpatinya terhadap rakyat Aceh. Sebagaimana yang biasa, Rasyid Pasya berkonsultasi dengan duta-duta

67 68

80

Reid, The Contet for…, hal. 121. Reid, The Contet for…, hal. 121.

Aceh: Relasi Lokal dan Global

besar asing di Istambul. Pada akhirnya, dia mengirimkan sepucuk surat pada Belanda yang menggambarkanhubungan historis antara Aceh dan Turki, dan menawarkan suatu mediasi untuk mengatasi konflik dan perang di antara kedua belah pihak. Tentu saja, Belanda menolak tawaran Turki ’Utsmaniyyah tersebut. Dengan demikian, tampaknya kasus Aceh telah ditutup di Istambul. Namun, sebuah gelombang krisis baru segera muncul ketika pada 9 Juli, koran Basiret menyatakan dengan antusias bahwa Istambul akan mengirim delapan kapal perang ke Sumatera untuk melawan Belanda. Laporan itu segera dikutip oleh surat kabar Turki lainnya dan disebarkan ke seluruh dunia oleh Reuter. Istambul menolak laporan itu, dan Basiret segera dituntut bertanggungjawab atas kesalahannya. Meskipun demikian, bantahan resmi penguasa Turki terbukti tidak sampai atau kurang efektif di Sumatera dan selat Malaka daripada di beberapa ibu kota Eropa. Laporan tersebut tak dapat dielakkan memunculkan kegembiraan di kalangan rakyat Aceh dan rakyat Nusantara lainnya. Dilaporkan bahwa sejumlah kaum Muslim di Jawa telah menerima intruksi dari “Khalifah Islam” di Turki bahwa seluruh kaum Muslim Indonesia harus ikut serta dalam perang suci melawan Belanda pada saat kapal perang Turki tiba.69 Rakyat Aceh dan Indonesia lainnya tentu saja menunggu dengan sia-sia datangnya kapal perang Turki. Sementara itu, upaya Habib Al-Zahir untuk melakukan pertemuan pribadi dengan Sultan Turki telah ditolak. Sebagai gantinya, dengan sopan Sultan Turki menasihati bahwa sudah waktunya bagi dia untuk kembali ke Aceh. Dia kemudian diberi bintang kehormatan kelas kedua Turki ’Utsmaniyyah, dan untuk Sultan Aceh, sepucuk surat “khalifah” yang merangkum upaya Turki untuk membantu Aceh. Pada 18 Desember 1873, Habib Al-Zahir kembali ke Aceh, tetapi menjelang kepulangannya, dia mengetahui bahwa Aceh dan wilayah-wilayah di sekitarnya telah dianeksi oleh Belanda. Keberhasilan serangan kedua Belanda sama sekali tidak menjadikan Aceh menyerah; sebaliknya, ia merupakan awal peperangan paling panjang di Nusantara untuk menghadapi Belanda. Sejarah panjang Aceh sebagai sebuah negara independen merupakan sumber kebanggaan mereka yang mampu memotivasi semangat penolakan yang keras terhadap kekuatan kolonial. Terkenal dengan kepenganutan yang kuat pada Islam, rakyat Aceh kelihatannya mengkaitkan agama dan patriotisme lebih erat dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya di indonesia. Oleh karena itu, perang gerilya yang berlangsung lebih dari tiga dekade dipandang sebagai perang suci oleh rakyat Aceh. Hubungan antara Kesultanan Aceh dan kekhalifahan Turki ’Utsmaniyyah tampak unik karena Aceh sangat jauh dari Turki. Namun, Islam sebagai agama rakyat telah mempersatukan perasaan di antara mereka. Dalam hal apapun, hubungan itu mengungkapkan kenyataan tentang adanya sentimen kuat kaum Muslim terhadap kekhalifahan Islam universal. Namun, kegagalan kekhalifahan ’Utsmaniyyah mengulurkan bantuan kepada rakyat Aceh, yang tengah dalam bahaya menghadapi serangan Belanda, menegaskan semakin merosotnya kesultanan Turki di tengahtengah tumbuhnya kekejaman Barat terhadap kaum Muslim hampir di sebagian dunia. Gagasan

69 70

Reid, The Contest for…, hal. 150. Azra, Jaringan Global ..., hal. 51-60.

Aceh Serambi Mekkah

81

kaum Muslim mengenai pan-Islamisme dan kekhalifahan Islam universal pada gilirannya, dan pada kenyataannya, tidak lebih dari retorika belaka. Keberanian dan keteguhan rakyat Aceh mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perjuangan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan mereka dari kekuasaan kolonial bangsa Barat. Penolakan rakyat Aceh telah menjadi sebuah daya dorong yang penting bagi semakin tumbuhnya sentimen kaum nasionalis di Indonesia. Kekalahan Aceh pada dekade kedua abad ke-20 membuat masyarakat Indonesia secara keseluruhan menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memperoleh kemerdekaan kecuali jika mempersatukan segenap upaya mereka.70 Memperhatikan realitas relasional antara Aceh dan Turki, jelaslah bahwa berbagai motif dan penguatan solidaritas antarbangsa dapat ditingkatkan. Begitu juga halnya relasi Aceh dengan dunia luar lainnya. 2. Relasi Aceh Dengan Cina Hubungan antara Aceh dengan Cina dapat dilacak sejak terciptanya jalinan transportasi laut yang merambah pada kawasan ini. Secara geografis, Aceh merupakan kawasan yang sangat strategis sebagai pintu gerbang jalur niaga internasional71 dan bangsa Cina termasuk bangsa yang dikenal dengan budaya merantaunya. Antara tahun 500 sampai 1500, sebelum Eropa menguasai Ekonomi, Asia Timur Jauh telah menguasai ekonomi dunia. Di antaranya tampil Cina, Arab dan India berpengaruh pada perekonomian bangsa-bangsa yang berpusat di India Timur. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara seperti Semenanjung Malaysia dan kawasan-kawasan pesisir seperti Malaka, Aceh, Banten, Sunda Kelapa dan Manila sejak abad pertama dan ke-4 telah mengenal agama Hindu dari para penyebarnya, dan pada abad ke-5, budaya Cina sedikit banyak juga berpengaruh di kawasan sentral ini. Lebih lanjut, Mohammad Said menyatakan bahwa Cina semakin mengenal kepulauan Nusantara melalui laporan dari berbagai lawatan yang dilakukan oleh Marco Polo, pendeta Oderico de Pordenone, Ibnu Batuthah.72 Bahkan sebelum bangsa Eropa menguasai ekonomi dunia di daerah Nusantara, sejatinya bangsa India dan Cina telah eksis di kawasan ini. Di samping bermotif ekonomi yaitu mengembangkan perniagaan, kedatangan bangsa-bangsa ini juga membawa misi agama. Karena bangsa Cina sejak sebelum Masehi sudah sampai di Nusantara ini, maka tidak heran mereka eksis sejak sekarang. Di seantero Nusantara, termasuk di Aceh, etnik Cina selalu saja ada dengan ragam kulturalnya.73 Secara politis, pada masa-masa awal Dinasti Mongol di Cina mengindikasikan bahwa terdapat hubungannya dengan beberapa kerajaan di Sumatera seperti Samudra, Lamuri, Perlak, Tamiang dan Haru. Bahkan Tamiang dan Haru dipaksa oleh Mongol untuk mengirimkan upetinya. Kerajaan Samudra mulai mengadakan hubungan dengan dinasti Mongol pada tahun 1282. Pada tahun itu penguasa Pasai menjalin hubungan dengan Cina melalui perutusan Cina yang kembali

71

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Percetakan dan penerbitan Waspada, 1981),

hal. 17. 72 73

82

Mohammad Said, Aceh Sepanjang..., hal. 112. Jakobi, Aceh dalam..., hal. 19.

Aceh: Relasi Lokal dan Global

dari India Selatan dan singgah di Samudra. Hubungan Aceh dengan Cina pada abad ke-12 dan 13 tersebut, menyebabkan terjadinya kontak budaya yang lebih intens, baik yang hubungan dengan politik, peradaban maupun perniagaan. Oleh karena itu Aceh menjadi mitra perdagangan dengan bangsa Tionghoa. Konsekuensi logis dari hubungan ini terjalinlah akulturasi antarbangsa. Di samping hubungan yang bersifat sosioekonomik, juga berimbas pada hubungan yang bersifat sosiopolitik. Bahkan yang terakhir ini, hubungan diplomasi pada saat tersebut merupakan hal yang sangat menentukan dalam percaturan perdagangan internasional. Hubungan dengan bangsa asing dibina atas saling menguntungkan satu sama lain. Hubungan diplomasi antara Aceh dengan Tiongkok dibangun atas saling menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan diplomasi yang dijalin sangat akrab sehingga Raja Tiongkok menyerahkan cenderamata kepada Sultan Pasai yaitu Lonceng Cakradonya, yang merupakan simbol persahabatan antara bangsa Cina dengan Aceh. Disebutkan bahwa beberapa waktu kemudian Sultan Pasai, Zainul Abidin mengirimkan adiknya sebagai utusan untuk berkunjung ke Tiongkok. Tidak terduga ia wafat di Tiongkok akibat sakit keras. Berhubung dengan ini Kaisar Ming mengadakan upacara penguburan yang khidmat untuk tamu agung dari Aceh itu. Hubungan diplomasi antara bangsa Tiongkok dengan Aceh saat itu merupakan suatu pertanda bahwa Aceh sudah memainkan peranan penting mulai abad ke-12 Masehi. Bagi Tiongkok selain mempunyai keuntungan di bidang ekonomi terutama tentang hasil alam yang ada di Aceh dibawa ke Tiongkok, berikutnya orang Cina dapat membawa peradaban terutama tentang ilmu penngetahuan dan kebudayaan Tiongkok ke Aceh. Karena peradaban Tiongkok merupakan salah satu peradaban tertua di dunia sehingga pengaruhnya sangat kuat pada peradaban lokal di Nusantara. Jalinan persahabatan antara Aceh dengan negara-negara asing terbina dengan baik dan terorganisasi terutama setelah kerajaan Aceh Darussalam. Denys Lombard menyatakan bahwa hubungan antara Aceh dan Cina bidang perniagaan sudah tercatat pada kira-kira tahun 1520. Hubungan dagang sangat boleh jadi terus berlangsung secara teratur dengan Aceh; tetapi yang terutama dicatat oleh sumber-sumber kami ialah hubungan diplomatik. Hikayat Aceh menyebut adanya utusan dari Siam, terkagum-kagum melihat ketrampilan Pancagah yang muda itu (yang kemudian populer pada masa Iskandar Muda), para utusan pulang ke raja mereka yang telah mendengar laporan mereka, memanggil raja dari “Kamboja, Ciangmai, Lana dan Paslula”, demikian pula utusan-utusan dari Cina dan “Campa” untuk menyampaikan kepada mereka adanya keajaiban itu.74 Hubungan yang dilakukan dengan bangsa Cina menurut Lombard adalah bersifat diplomatik guna saling menghargai dan menghormati masing-masing bangsa yang sangat berjauhan. Di samping itu hubungan diplomatik tersebut diawali dengan hubungan dagang yang waktu itu masih menggunakan laut sebagai transportasi utama. Hubungan dengan bagsa asing bagi Aceh merupakan suatu keharusan yang tidak boleh diabaikan karena bangsa yang berdaulat memerlukan hubungan diplomatik dan hubungan dengan bangsa lain di dunia ini.75 Melihat relasi antara Aceh dan bangsa-bangsa di dunia baik sebelum masehi maupun setelah tahun masehi menjadi indikasi bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah yang sangat

74 75

Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., hal. 155. Ibid, hal. 155.

Aceh Serambi Mekkah

83

berpengaruh terutama dalam perdagangan dunia. Peranan Aceh semakin meningkat setelah kerajaan-kerajaan Lambri, Pasai dan Tamiang, berkiprah. Demikian juga setelah penyatuan Aceh dengan sebutan kerajaan Aceh Darussalam, maka pihak asing semakin banyak yang menjalin persahabatan. Kenyataan tersebut karena peranan Aceh dalam wilayah selat Malaka sangat menentukan. Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya adalah pada masa kerajaan Aceh Darussalam, sehingga waktu itu Kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam terbesar kelima di dunia. Fenomena hubungan antarbangsa maupun antaretnik di Aceh telah terjalin dengan bangsa di dunia, terutama dengan Cina, ratusan tahun yang lalu dan bahkan ribuan tahun yang lalu. Pertalian budaya antar bangsa dan bahkan banyak bangsa telah terjadi di Aceh. Karena pencampuran etnik dan ras yang terjadi pada etnik Aceh saat ini telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, maka akulturasi budaya inipun dapat dilihat dalam realitas keseharian masyarakat Aceh dengan banyaknya campuran budaya yang berakulturasi seperti dari India, Cina dan lainnya, seperti dapat dilihat dari wajah, budaya dan bahasa. Pengaruh Cina misalnya tercermin pada bahasa, seperti canca (sendok), cawan (cangkir) dan istilah-istilah lainnya. Demikian juga halnya pengaruh Arab, India dan lainnya, juga dapat dilihat pada kemiripan wajah, warna kulit, budaya atau keseniannya. Adapun pengaruh Eropa dapat dicermati di wilayah-wilayah tertentu di Aceh yang orang dan masyarakatnya memiliki kemiripan dengan orang Eropa seperti di Lamno Aceh Jaya. Pengaruh Timur Tengah di Aceh juga sangat jelas terutama pada sikap keberagamaan (religiusitas), budaya dan wajah. Hubungan Aceh dengan Cina diperkuat dengan adanya hubungan antar bangsa dan hubungan dagang sehingga hubungan tersebut tidak terputus lagi. Pengaruh hubungan diplomatik antara bangsa Cina dan Aceh, tidak hanya terbatas pada hubungan antar dua kerajaan saja, akan tetapi sampai pada hubungan kerja. Sistem hubungan ini diterapkan pertama kali pada abad ke-13. Hubungan tersebut dibina atas sistem hubungan kenegaraan yang dilandaskan pada dua kekuasaan. Hubungan yang dibentuk berdasarkan kekuasaan tersebut tentunya melalui mekanisme yang berlaku pada saat itu yaitu melalui perjanjian, dengan kata lain berdasarkan ikatan hukum. Adanya ikatan perjanjian tersebut tentunya dibina atas dasar menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan yang pada awalnya berorientasi politik dan dibina atas kepentingan kedua bangsa kemudian memberi pengaruh kepada penduduk Cina yang bermigrasi ke Nusantara untuk menetap, dengan tujuan berbisnis. Dengan kata lain hubungan politik berkembang menjadi hubungan bisnis. Catatan sejarah melaporkan adanya dua kerajaan yang sudah berdiri dan mempunyai peradaban tinggi. Kerajaan tersebut telah memainkan peranan yang penting di Sumatera dan Selat Malaka. Mohammad Said menyatakan bahwa telah terjalin hubungan antara Lamuri (di Aceh Besar) dan Pasai (di Aceh Timur), dengan orang Cina. Nama Lamuri mempunyai banyak versi, sering disebut Lambri, istilah yang diberikan oleh Marco Polo, atau Ramini, Ramni serta Lambri, seperti yang disebutkan oleh orang-orang Arab. Orang Cina sendiri menyebut Lamuri dengan menyebut Lan-li, Lan-wuli, Nan-wuli dan Nanpoli. Untuk Aceh, orang Cina menyebutnya dengan Tasyi, atau Lan-li, Yashi. Dan orang Arab menyebutnya dengan Asyi.76

76

84

Mohammad Said, Aceh.....hal. 33-34.

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Pada saat Kaisar Yung Lo berkuasa di Cina pada tahun 1368, beliau pernah mengirim tim ekspedisi ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Muhammad Cheng Ho,77. Saat itu Aceh diperintah oleh Sultan Zainuddin Malik Zahir Berdaulat (1350-1394). Salah satu hadiah dari Kerajaan China untuk Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah lonceng raksasa, Cakra Donya yang hingga sekarang masih dapat disaksikan di Banda Aceh. Di samping itu menurut Yuanzhi, pada musim dingin tahun Yong Le ke-11 (tahun 1413) armada Cheng Ho berlayar ke Samudera Barat untuk keempat kalinya. Armadanya mula-mula ke Campa, kemudian berturut-turut ke Jawa, Palembang Malaka, Aceh dan sebagainya. Realitas mengenai keberadaan kerajaan yang ada di ujung pulau Sumatera tersebut membuktikan bahwa di Aceh sudah berdiri suatu kerajaan yang kokoh dan berperadaban. Dalam catatan perjalanan Cheng Ho menyebutkan bahwa kerajaan Aceh sudah mulai berkiprah di Nusantara sama dengan kerajaan lain di Nusantara.78 Kehadiran kapal Cina di pelabuhan Sumatra Utara mulai didokumentasikan sejak kedatangan Laksamana Muhammad Cheng Ho tersebut. Istana Aceh masih menyimpan kenangan akan kunjungan yang termashur itu; sebuah genta besar yang ada bertuliskan huruf Cina dengan sebutan tahun 1409. Kenangan terhadap perlawatan niaga Cina ke Aceh senantiasa mewarnai hubungan global keduanya. Dalam sebuah peta laut Cina yang agaknya tidak mungkin berasal dari sesudah awal abad ke-17, terdapat ilustrasi apik mengenai jalan dari Banten ke Aceh melalui barat Sumatra, juga mengenai jalur-jalur niaga dari Aceh ke Malaka dan India. Peta ini memberikan bukti yang akurat tentang eksistensi jalinan antara Cina dan di persimpangan di perairan Sumatra. Dan Aceh tercatat sebagai pelabuhan yang sangat menarik kalangan para pedagang kelas dunia saat itu.79 Pada awal perkembangan peradaban Islam, Aceh sudah mulai terkenal dan bahkan banyak pendatang dari Eropa untuk menjalin hubungan perdagangan dengan Aceh. Kontak perdagangan tersebut semula secara diplomasi dan berjalan harmonis. Hubungan dengan bangsa Cina yang telah terbina merupakan suatu jaringan diplomasi dan bisnis guna mendukung adanya hubungan antar budaya. 3. Relasi Aceh dengan Bangsa-Bangsa Eropa Pada abad ke-15 di kepulauan Nusantara terdapat beberapa kerajaan tepi pantai yang memainkan peranan dalam perdagangan antar bangsa seperti Pidie, Pasai, Palembang, Barus di Sumatra serta Gresik, Tuban, Demak dan Sunda Kelapa di Jawa. Pada penghujung abad XVI

77

Mohammad Cheng Ho dalam bahasa Cina sering ditulis dan disapa dengan Ma Ho adalah seorang pemuda muslim yang brilian, mekipun mulanya ditawan, namun pada masa pemerintahan Yung Lo ia dapat berperan besar, sehingga kaisar mengangkatnya sebagai Admiral Muhammad Cheng Hoguna memimpin armada/ kafilah ke berbagai negeri. Baca H. Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok,(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 136 dst. 78 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 150-151. Baca juga Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000), hal. 111 dst. 79 Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., hal. 152.

Aceh Serambi Mekkah

85

dan pada awal abad XVII, kawasan Asia Tenggara telah dikunjungi oleh para musafir dan pedagang dari berbagai bangsa Eropa, seperti Belanda, Inggris, Perancis dan Portugis.80 Di Aceh Darussalam saat Sultan Ali Riayat Syah al-Qahhar bertahta (1539-1571), dunia perdagangan menjadi semakin ramai dengan aktifnya kembali para pedagang Islam dari berbagai penjuru dunia. Aceh menjadi bandar dagang utama bagi para pedagang Islam yang membawa rempah-rempah dari Maluku dan Sumatra untuk dibawa ke Laut Merah di Asia Barat. Dengan karavan barang-barang dagangan mereka dibawa menuju Mediterania dan Venesia. Pada abad ke-16, akibat perkembangan masa lampau, terjadi perseteruan antara Portugis dan pedagang Islam. Sultan Aceh dalam upaya memerangi Portugis berhasil mendapatkan bantuan dari penguasa Turki Usmani berupa alat perang seperti meriam, ahli membuat senjata dan prajurit. Di samping itu, Sultan Aceh juga memperoleh dukungan besar para pedagang Islam dari berbagai bangsa yang menjadikan Aceh sebagai tempat usaha perdagangan mereka di Nusantara. Pada tahun 1589 Alauddin Riayat Syah dinobatkan menjadi Sultan Aceh dan memerintah selama 15 tahun (1589-1604). Di antara kebijakannya adalah mengizinkan para pedagang Inggris dan Belanda untuk membeli lada dari Aceh. Di samping itu Sultan Alauddin Riayat Syah juga memperbolehkan orang Portugis untuk tinggal di Aceh, yaitu sebagai tenaga ahli, suatu kebijakan yang tidak pernah ditempuh oleh sultan Aceh sebelumnya. Interaksi pertama antara Aceh dan Belanda terjadi pada tanggal 21 Juni 1599, ketika kapal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman tiba di pelabuhan Aceh dengan dua buah kapal de Leeeuw dan de eeuwin. Pimpinan rombongan ini menghadap Sultan Aceh dengan membawa berbagai hadiah dan memohon izin untuk berdagang di wilayah Aceh. Pihak Sultan Aceh juga menyambut dan membalas dengan memberikan hadiah dan mengizinkan orang-orang Belanda itu berdagang di Aceh.81 Orang-orang Portugis yang sebelumnya telah menetap di Aceh sebagai tenaga ahli merasa tersaingi dengan kedatangan dan keberadaan orang-orang Belanda. Misi Houtman bersaudara mengalami kegagalan, karena mereka datang dengan penuh rahasia yang tersembunyi, ditambah lagi oleh provokasi perwakilan dagang Portugis yang telah berada di Banda Aceh. Provokasi ini mengakibatkan terbunuhnya Cornelis de Houtman dan saudaranya Frederick de Houtman ditawan bersama delapan orang pengikutnya. Belanda menghadapi kegagalan ini dengan kepala dingin dan bertekad untuk mengirim perutusan yang lain yang lebih bijaksana. Tidak beberapa lama sejak peristiwa Houtman, terjadi penyerobotan oleh Belanda terhadap kapal dan perahu Aceh yang mengadakan pelayaran pengangkutan barang. Pada tanggal 21 Nopember 1600 dua kapal Belanda di bawah pimpinan Admiral Paulus van Caerden berlabuh di Aceh. Akan tetapi rombongan ini berlaku ceroboh merompak kapal Aceh dengan menjarah semua lada yang dibawa dan menenggelamkan kapalnya. Untuk mencari alasan, dia mengatakan bahwa Aceh dan Portugis sedang berkomplot hendak menyerobot kapalnya, hal ini membuat hati orang Aceh menjadi panas. Tidak lama sesudah itu datang pula rombongan kapal Laksamana Jacob Van Nack.82 Mereka tidak tahu peristiwa Van Caerden, dan walaupun mereka

80

Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., hal. 29. Ak. Jacobi, Aceh dalam..., hal. 21. Juga Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hal. 65-67. 82 Mohammad Said, Aceh ...., hal. 222-223. 81

86

Aceh: Relasi Lokal dan Global

mencoba berbohong bahwa Van Caerden adalah orang Inggris, orang-orang Aceh tidak percaya. Mereka terpaksa keluar dari Aceh dengan tangan hampa setelah mendapat perlakuan tidak enak. Ketegangan Aceh dengan Belanda yang ditimbulkan oleh Houtman dan Van Caerden telah menyulitkan Belanda. Bermusuhan dengan Aceh menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Belanda, selain dari segi keamanan pelayaran laut juga dari sumber perdagangan yang tidak dapat direbut dari tangan Portugis. Di Eropa orang Belanda sedang giat memerdekakan diri dari penjajahan Spanyol / Portugis, karena itu tidaklah menguntungkan sama sekali bagi Belanda jika bermusuhan pula dengan Raja-Raja di Indonesia, terutama Aceh. Karena itu pada tahun 1600, Prins Maurint Pembangun dan Kepala Republik Belanda, mengirim sebuah perutusan lagi ke Aceh, yang terdiri dari diplomat-diplomat yang cakap, untuk merundingkan pengikatan hubungan diplomatik/dagang dengan Kerajaan Aceh. Perutusan Belanda ini berangkat dengan empat kapal, yakni Zeelandia, Middelborgh, Langhe Bracke, dan De Sonne, pada tanggal 28 Januari 1601 dari pelabuhan Zeeland. 83. Pada tahun 1602 pedagang Belanda dengan beberapa kapal dibawah pimpinan Admiral Laurens Bicker dan Gerard de Roy tiba di pelabuhan Aceh, bertujuan menciptakan hubungan yang lebih baik dengan pihak Aceh. Mereka membawa berbagai bingkisan yang amat berharga dan membawa sepucuk surat untuk Baginda Sultan Aceh Al-Mukammil. Surat itu ditulis dalam bahasa Spanyol, bahasa resmi dalam surat menyurat saat itu.84 Pada tahun 1598 atas perintah beta telah bertolak dua buah kapal dagang dari negeri ini dengan tujuan mengadakan hubungan perniagaan di Hindia Timur, yang sudah tiba di sana pada tanggal 15 Agustus tahun itu juga. Kepada beta telah dikabarkan betapa baiknya sambutan yang diberikan oleh Yang Mulia kepada mereka ketika mereka tiba di kerajaan Yang Mulia. Di samping itu beta mendapat kabar juga bahwa dengan memenuhi peraturan yang berlaku mereka telah melaksanakan tujuan-tujuan perdagangan itu sesuai dengan segala keinginan mereka. Akan tetapi tatkala orang-orang Portugis yang menjadi kawula Raja Spanyol, musuh kami, mendapat kabar bahwa mereka sedang mendapat perlindungan dan bantuan yang dijanjikan oleh Yang Mulia, merekapun menceritakan hal-hal yang dusta untuk menyesatkan yang Mulia, di antaranya dikatakan oleh mereka bahwa para saudagar Belanda itu adalah bajak laut dan bahwa kedatangan mereka adalah untuk merampas kerajaan Yang Mulia. Kebohongan itu menyebabkan Yang Mulia telah memerintahkan menangkap Frederick de Houtman, nahkoda salah satu kapal itu bersama beberapa awak kapal, serta menahan mereka yang mengakibatkan penderitaan bagi mereka. Dengan keyakinan akan belas kasihan Yang Mulia terhadap mereka, inginlah beta menyampaikan harapan agar kiranya Yang Mulia menitahkan mereka dipelihara dengan baik, sebagai juga dilakukan terhadap setiap warga yang berkunjung ke kerajaan yang mulia yang dengan bebas telah kembali; semoga para tawanan yang kini berada di negeri Yang Mulia dapat pula menikmati kekebasannya kembali. Kepada beta dikabarkan pula bahwa orang-orang Portugis atas perintah Raja Spanyol telah mengadakan peperangan terhadap kerajaan yang Mulia dengan tujuan untuk merampas negeri itu dan menjadikannya kawulanya sebagai hamba sahaya, sebagaimana yang telah

83 84

Hasjmy, Kebudayaan...., hal.104. AK. Jacobi, Aceh dalam..., hal. 21-22.

Aceh Serambi Mekkah

87

dilakukannya selama lebih dari 30 tahun di negeri kami. Akan tetapi Tuhan Yang maha kuasa tidaklah sekali-kali ingin hal yang sedemikian itu dan sebaliknya kami telah mengangkat senjata menentang penjajahan itu dan akan terus melakukan sampai berhasil.85

Oleh sebab itulah beta bermohon kepada Yang Mulia agar kiranya tidak mempercayai orang-orang portugis itu dan supaya Yang Mulia tidak perlu mencurigai lagi kawula yang datang dari negeri beta dan untuk mendapatkan kesempatan berniaga maka inilah beta menugaskan perutusan sebagi wakil beta membawa surat ini, terdiri dari para delegasi berkuasa penuh berjumlah empat orang, yaitu nahkoda-nahkoda Cornelis Bastiaanese. Jan Tannerman, Mathys Antonnisse dan Cornelis Adriaanse, bersama beberapa pegawai keuangan dan perdagangan yaitu Gerard de Roy, Laurens Bicker, jan Jacobs dan Nicolas van der Lee, ke semuanya berangkat dengan empat buah kapal untuk atas nama beta mengadakan perundingan dengan Yang Mulia, guna membicarakan bantuan-bantuan apakah yang diinginkan oleh Yang Mulia di dalam usaha menumpas musuh-musuh. Demikian pula kepada mereka yang telah beta beri tugas untuk menyampaikan bingkisan secara yang lazim ke hadapan Yang Mulia, sebagai bukti hasrat beta untuk mengadakan persahabatan dengan Yang Mulia. Beta mohon semoga bingkisan yang dikirim itu mendapat sambutan dan dengan itu beta mendoakan Yang Mulia ke hadirat Tuhan dan agar kerajaan Yang Mulia bertambah luas.86 Sebagai pemimpin misi muhibah, Bicker di hadapan Sultan Aceh menyatakan penyesalannya terhadap kelakuan Paulus van Caerden yang merompak dan menenggelamkan kapal Aceh. Ia berjanji di hadapan Sultan Aceh untuk menuntut perusahaan dagang van Caerden sekembalinya ke negeri Belanda. Sultan Aceh kemudian membebaskan Frederick de Houtman yang telah mendekam di penjara dua tahun lamanya. Selama ditawan ia sempat menyusun kamus bahasa Melayu/Belanda, dan merupakan kamus pertama yang ditulis oleh orang asing. Laurens Bicker menepati janjinya dan kemudian pengadilan menjatuhkan denda kepada perusahaan dagang van Caerder, ia menuntut supaya membayar 50.000 florin Belanda kepada pemilik kapal yang dirampok tersebut. Rupanya keputusan tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan oleh perusahaan Belanda. Sebagai kunjungan balasan atas kedatangan utusan-utusan Prins Maurits ke kerajaan Aceh, Sultan al-Mukammil mengirimkan perutusan dari kerajaan Aceh, yang oleh Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya Nusantara, A History of Indonesia (1961) disebut sebagai ambassador ke negeri Belanda. Delegasi yang mewakili sultan itu terdiri dari Abdul Hamid sebagai ketua, Laksamana Laut Sri Muhammad, dan Mr. Hasan sebagai anggota. Leonard Werner mendampingi perutusan ini sebagai juru bahasa. Tentang perjalanan kerajaan Aceh ini untuk menghadap Prins Maurits dapat kita ketahui dari karya Dr. Wap. Pada tanggal 20 Juli 1602 perutusan Aceh tiba dengan selamat di Zeeland, negeri Belanda. Demikianlah, tercatat dalam khazanah diplomasi dunia bahwa Aceh merupakan negara pertama di Timur yang memberikan pengakuan kepada Belanda, justru di saat-saat Belanda sedang berada di masa Perang 80-tahun (1568-1648), perang kemerdekaan melawan Spanyol, yang berakhir dengan kemenangan Belanda. Pengakuan tersebut dilakukan dengan penyampaian surat Sultan Ri’ayat Syah al-Qahhar oleh delegasi 85

Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh ..., hal. 67. Termaktub di Den Haag, Negeri Belanda pada Tanggal 11 Desember tahun enam belas ratus Tertanda Maurists de Nassau. 86

88

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Kerajaan Aceh yang diutus menghadap Prins Maurits di sebuah ajang pertempuran di Grave, dekat Brabant Utara. Sungguh malang, musibah menimpa delegasi kerajaan Aceh. Ketua delegasi Abdul Hamid yang telah berumur 71 tahun pulang ke rahmatullah pada 10 Agustus 1602, mungkin karena daya tahan badannya kurang kuat menghadapi iklim negeri Belanda. Ia dikebumikan didalam gereja Sint Peter di Middelburg sesuai dengan upacara pemakaman orang-orang berkedudukan tinggi. segala pembiayaan ditanggung oleh Vereeniggde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pada batu nisannya terpahat tulisan dalam bahasa Latin sebagai berikut: Hic Situs Est Abdul Zamat Princeps Legationis A Rege Tabrobanas Seu Sumatras Sultan Aleiden Raiatsa Lillolahe Felalam Ad Illustriss. Princip. Maurtium Missae Cum Duab. Navi Zeeland Quas In Dedit. Acceper. Libernicum Lusitanam. Vixit An. LXX1 Orbit Anno CI IC II H.M.P.C. Dalam bahasa Indonesia lebih kurang berbunyi Di sini dimakamkan Abdul Hamid Ketua delegasi Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Zilullahifi’l-’alam Utusan untuk menemui Yang Mulia Prins Marits dengan Dua kapal Zeeuw, yang telah merampas Kapal Portugis Tutup usia 71 tahun, meninggal pada tahun 1602 Sebagai penutup wacana ini sungguh baik disajikan kutipan pernyataan Mr. Ali Sastroamidjojo (1974:395-6) yang pernah menjadi Duta Besar pertama Republik Indonesia di Amerika Serikat (1950) dan Perdana Menteri Republik Indonesia sebagai berikut: Begitulah saya memulai tugas saya sebagai Duta Besar Indonesia di negeri asing. Jadi artinya menjadi seorang diplomat. Tetapi saya merasa masih hijau sekali di dalam jabatan saya yang baru ini. Maklumlah bangsa kita belum pernah mempunyai pengalaman di dalam bidang hubungan diplomatik dengan negeri-negeri asing. Terkecuali pengalaman-pengalaman kerajaan-kerajaan kita di zaman kuno, seperti Aceh yang pernah mengirimkan duta-dutanya ke kerajaan Inggris (dan Belanda) atau Sriwijaya dan Majapahit yang menempatkan duta-duta mereka di Tiongkok. Tetapi pengalaman-pengalaman itu sudah lama dilupakan bangsa kita, apalagi oleh

Aceh Serambi Mekkah

89

generasi sebaya saya, yang mengalami zaman penjajahan ketika bangsa kita sama sekali terputus dari hubungan-hubungan dengan luar negeri berabad-abad lamanya. Delegasi Aceh yang telah tinggal selama 16 bulan hingga akhir hayatnya itu, selain untuk berunding juga untuk meninjau. Dan semenjak itulah dengan resmi Kerajaan Aceh Darussalam mengakui Republik Belanda yang baru dibangun, sebagai Kerajaan Berdaulat yang pertama yang mengakuinya.87

Adapun hubungan antara Aceh dan Inggris tampaknya selain dapat dilihat dari sosiopolitik, dapat juga dilihat dari sisi sosio-ekonomik. Tidak berapa lama setelah jalinan hubungan dengan Belanda terjadi, perutusan Inggris di bawah pimpinan Sir James Lancaster dengan rombongan yang terdiri dari tiga buah kapal, yakni Dragon, Hector dan Ascention datang ke Banda Aceh. Diceritakan bahwa perutusan ini tiba di pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602, sesudah empat hari sebelumnya mereka melihat dari jauh daratan pulau Sumatra.88 Saat berlabuh di pelabuhan Banda Aceh, mereka mendapati kapal dalam jumlah banyak yang datang dari berbagai negeri, yang biasanya dikenali melalui bendera atau ciri khas tertentu yang melekat pada masing-masing kapal. Mereka menaksir di pelabuhan sedang berlabuh 16 sampai 18 buah kapal dagang dari segala bangsa, Banggali, Kalikut, Malabar, Gujarat, Pagu, Patani, dan lainlain. Masa itu, ada dua orang Belanda turut memeriksa. Mereka adalah pedagang yang ditinggalkan mengurus perusahaan Belanda, hasil izin yang belum selang lama telah diperoleh Belanda. Lancaster belum ingin mendarat, dia menyuruh kapten Harry Middleton. Setelah diadakan pertukaran utusan antara Istana dengan kapal, maka pada hari ketiga Delegasi Lancaster diterima menghadap Sultan, dimana mereka diberi penghormatan yang cukup wajar, karena mereka mempersembahkan surat Ratu Inggris kepada Hiss Majesty King of Acheen and Sumatra. Lancaster menghadap Sultan dengan 30 orang anggota delegasi. Selama di Banda Aceh, mereka mendapatkan bermacam-macam penghormatan, di antaranya jamuan makan kenegaraan, pertujukan seni budaya dan sebagainya. Hari-hari berikutnya dilakukan perundingan, untuk ini Sultan menugaskan dan mewakilkan kepada ulama Syamsuddin Al-Sumatrani dan Kadi Maliku’l-Adil. Lancaster membawa seorang Yahudi dari England untuk juru bahasa yang fasih berbahasa Arab dan banyak membantu Jenderal Lancaster, dan akhirnya hasil perundingan ini pada pokoknya adalah: 1. Inggris dibenarkan masuk dan berniaga di Aceh 2. Barang-barang mereka bebas dari bea masuk dan keluar 3. Jika kapal Inggris, barang-barangnya dan orang-orangnya mendapat kecelakaan, mereka berhak diberi bantuan dimana saja di Aceh 4. Mereka bebas menentukan sendiri tentang harta benda mereka 5. Segala perjanjian beli dagang yang sudah ditutup, harus diselesaikan bayarannya 6. Mereka berhak mengadili penjahat-penjahat terhadap mereka 7. Mereka berhak mengadili barang siapa yang memberi malu mereka 8. Barang-barang mereka tidak boleh ditahan dan tidak boleh ditentukan sendiri harganya

87 88

90

Hasjmy, Kebudayaan…., hal. 104 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1961), hal.223

Aceh: Relasi Lokal dan Global

9. mereka bebas bergerak. 89 Surat lain yang telah dikeluarkan oleh Sultan Aceh bersamaan dengan itu, ialah pengumuman tentang persetujuan antara Aceh dan Inggris yang isinya memberitahukan bahwa orang Inggris telah diberi izin berniaga dan mereka telah dijamin keselamatan jiwa dan harta bendanya oleh pemerintah Aceh.90 Misi dari Lancaster bertujuan untuk membangun perdamaian dan persahabatan antara yang dipertuannya Ratu Inggris dengan kakandanya yang dicinta, Sultan Aceh yang besar dan perkasa.91 Hasil kunjungan perutusan Inggris ini antara lain membuahkan hasil yaitu diikatnya hubungan diplomatik/dagang antara dua kerajaan, diadakan surat-menyurat lanjutan antara Ratu Inggris dengan Sultan Aceh, dalam surat-surat tersebut dinyatakan maksud baik kedua belah pihak untuk tetap berhubungan dan bermuhibah, juga sama-sama memuji satu sama lain. Bangsa-bangsa Barat pasca renaisance senantiasa terlibat dalam persaingan yang sangat kompetitif, bukan saja bidang pemerintahan, tetapi juga pada sektor lainnya. Di antaranya persaingan mencari suplayer bahan baku bagi kebutuhan industri yang mereka lakukan dan mencari tempat memasarkan hasil dari produksi yang dihasilkannya. Mereka berlomba mengadakan perlawatan, ekspedisi dan penaklukan terhadap wilayah-wilayah yang dipandang menguntungkan mereka. Inggris merupakan salah satu negara di Eropa yang sedang giat melakukan ini. Sebagaimana telah disebut bahwa pada paruh kedua abad ke-18, perusahaan HindiaInggris yang berpusat di India mulai mengendus Aceh sebagai basis yang sangat mungkin untuk mengumpulkan produk-produk Melayu-Nusantara dan memperlengkapi armada Hindia-Inggris selama musim angin timur. Setelah serangkaian tawaran Inggris sejak 1762 ditolak mentah-mentah oleh Kesultanan Aceh, akhirnya perjanjian pertahanan antara kedua belah pihak ditandatangani pada 22 April 1819 di Banda Aceh. Perjanjian itu memperkuat dominasi Inggris atas perdagangan yang menguntungkan di sepanjang Selat Malaka. Hal ini membuat persaingan politik dan dagang antara Inggris dan Belanda semakin meningkat. Setelah negosiasi panjang, perjanjian London pada 17 Maret 1824 ditandatangani oleh Inggris dan Belanda. Menurut perjanjian tersebut, Belanda tidak akan memperluas kekuasaannya di Hindia Belanda sampai ke Aceh dan akan menjamin kebebasan perdagangan khususnya di sepanjang Selat Malaka.92 Berbicara tentang sejarah Sumatera, di samping menelaah literatur dalam bahasa Melayu, Belanda, dan Inggris, tetapi juga tidak boleh mengabaikan sumber-sumber Perancis. Dari sini sekaligus akan diketahui hubungan antara kedua wilayah ini, termasuk Aceh. Para pelaut serta para pedagang dari Normandia dan Bretagne sebenarnya juga tertarik pada rempah-rempah dan beberapa di antara mereka telah meninggalkan kisah perjalanan yang sangat menarik. Sumber populis yang sampai adalah bahwa pada tahun 1529, jauh sebelum kakak beradik De Houtman, dua buah kapal (LaPensee dan Le Sacre) berangkat dari pelabuhan Dieppe

89 Ceritera lengkap mengenai Lancaster belakangan ini telah dihimpun dalam ’The Voyage of Sir James Lancaster to the East Indies’, ad. Markham, Hakluyt Society, Jilid LVI. Mohammad Said, Aceh …, hal. 240. 90 Mohammad Said, Aceh…, hal. 241. 91 Hasjmy, Kebudayaan Aceh…., hal. 104-105. 92 Azra, Jaringan Global ..., hal. 52.

Aceh Serambi Mekkah

91

(Perancis Utara) di bawah pimpinan kakak beradik Jehan dan Raoul Parmentier; pada tanggal 2 Oktober, mereka sampai di sekitar kepulauan Batu dan pulau Pini (Parmentiere) dan berlayar ke Tiku untuk membeli merica. Seorang anggota ekspedisi itu yang bernama P. Crignon, telah menulis mengenai hal ini, yang naskahnya diterbitkan oleh Schefer pada tahun 1883. Kemudian pada bulan Mei tahun 1601, terbentuk sebuah persatuan perdagangan di kota pelabuhan Saint-Malo (Bretagne), yang mengirim sebuah tim ekspedisi lain ke Indonesia. Tim ekspedisi ini tiba di Aceh pada tanggal 17 juli 1602 dan bertolak kembali pada tahun berikutnya dengan muatan merica. Pada tahun 1604, Francois Martin asal dari Vitre (Bretagne) salah seorang peserta, menceritakan tentang sebuah pelayaran pertama yang dilakukan oleh orang Perancis ke Hindia Timur (tulisan ini diterbitkan di Paris); selain menceritakan tentang kota Banda Aceh dan perdagangannya, tulisan ini juga memuat sebuah kamus kecil bahasa Melayu, catatan-catatan mengenai tumbuhtumbuhan di Indonesia seperti pinang, jambu dan lontar. Juga memuat keterangan mengenai penyakit biri-biri yang ditujukan kepada seorang dokter terkenal pada masa itu. Selain itu, Augustin de Beaulieu, yang menetap selama sebelas bulan di Aceh dari Februari 1621 sampai Januari 1622, telah meninggalkan berita yang paling berharga. Ketajaman daya observasi, ketelitian, cara menanggap suatu kenyataan yang sama sekali berbeda, benar-benar harus mendapat perhatian. Setelah sumber-sumber dalam bahasa Melayu (terutama Hikayat Aceh), tulisan de Beaulieu ini merupakan sumber yang terbaik tentang pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Augustin de Beaulieu dilahirkan di Rouen pada tahun 1589. Pelayaran pertamanya adalah ke Sungai Gambia di Pantai Afrika pada tahun 1612 bersama seorang bangsawan dari Normandia, de Brigueville, untuk mendirikan dan memperkokoh sebuah koloni. Tetapi mereka kehilangan hampir semua anak buah yang meninggal karena penyakit, karena tiba di sana pada saat musim yang kurang cocok. Pada tahun 1616 de Beaulieu membentuk sebuah persekutuan saudagar untuk berdagang ke Nusantara, terdiri dari orang Paris dan Rouen. Mereka mengirim dua buah kapal, salah satunya dipimpin oleh Beaulieu. Tetapi Belanda memerintahkan agar semua pelaut berkewarganegaraan Belanda yang bekerja di kedua kapal tersebut diharuskan meninggalkan tugas mereka. Akibatnya sebuah kapal terpaksa dijual kepada seorang raja Jawa. Sungguhpun demikian de Beaulieu berhasil kembali ke Perancis dengan muatan penuh sehingga mereka tidak menderita kerugian.93 Pada tahun 1619 yang bersangkutan mengirim kembali dua buah kapal besar dengan sebuah kapal kecil dan mengangkat de Beaulieu sebagai laksamana armada ini. Waktu bertolak dari Tanjung Harapan ia menyuruh wakilnya memisahkan diri agar berlayar sendiri ke Jakarta. Pada saat wakilnya hendak berangkat kembali ke Eropa, Belanda membakar kapalnya dengan muatannya, hal ini tidak menghalangi de Beaulieu kembali ke Perancis dengan keuntungan yang mungkin mengimbangi biaya perjalanan; keuntungan ekspedisi akan lebih besar seandainya kapal yang sebuah lagi dapat kembali, karena muatannya yang dimakan api itu ditafsirkan berharga 500 ribu uang mas Perancis. Mengenai perjalanan yang kedua inilah de Beaulieu menulis kenangkenangan, seratus dua puluh tiga halaman folio. Thevenot, kompilator yang terkenal itu, memperoleh naskahnya dari seorang yang bernama Dolu dan menerbitkannya dalam jilid kedua dari Kumpulan Kisah perjalanannya (1666) dengan menyatakan kekagumannya seperti berikut; 93

92

Denys Lombard, Kerajaan Aceh..., hal. 34 dan 326

Aceh: Relasi Lokal dan Global

Di antara sedemikian banyak kisah perjalanan ke Hindia timur ditulis oleh orang Portugis, Inggris dan Belanda yang pernah saya baca tidak ada satupun yang dapat melebihi hasil karya de Beaulieu..... Gambaran yang diberikannya sangat teliti dan khusus dan tidak hanya terbatas pada bidang pekerjaannya, seperti misalnya memasuki pelabuhan atau letaknya sebuah pantai, tetapi juga melukiskan hal-hal kehidupan sehari-hari; tidak akan terdapat misalnya ulasan mengenai lada yang demikian teliti seperti yang dilakukannya dalam menulis”. Dan memang dapat dibenarkan bahwa Thevenot tidak berlebih-lebihan. Naskah ini terdiri dari tiga bagian, Pertama, Pelayaran dari Perancis hingga Aceh lewat Madagastar; Kedua, Kehidupan di Aceh; Ketiga, Gambaran mengenai pulau Sumatera (terutama bagian utara) dilengkapi dengan catatan-catatan tentang pelayaran yang dikarang oleh J. Letellier, mualim de Beaulieu, dan beberapa gambar pelabuhan.94

Naskah yang sangat menarik ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda pada tahun 1669 dan dalam bahasa Inggris pada tahun 1705 (dalam jilid pertama dari Harris ’Voyages and Travels). Pada tahun 1904 Julius Jacobs menerbitkan sebuah saduran sebagai tambahan kepada bukunyna; Het familie-en kompongleven op Groot-Atjeh (Leiden, 2 jilid); Kami banyak mempergunakan naskah asli dalam mempelajari kesultanan Aceh di bawah kekuasaan Iskandar Muda (1607-1636) (EFEO, paris, 1967, 297 halaman). Di sini kami memilih sejumlah halaman yang cukup berguna untuk sejarah Aceh, pertama-tama mengenai masa kediaman de Beaulieu di Aceh Darusalam dan hubungannya dengan Iskandar Muda sendiri (yang sebetulnya tak pernah disebutkan dengan nama tersebut), lalu secara lebih umum, mengenai penghasilan, kekuatan militer dan organisasi Kesultanan.

Selama berdiam di Aceh, de Beaulieu pernah memberikan izin kepada salah seorang bawahannya bernama Houppenille, pandai emas berasal dari kota Rouen, bekerja untuk Raja Aceh. Ketika harus kembali ke Perancis, orang ini berdaya upaya sekuat tenaga untuk memperoleh kebebasannya dan tinggal di Aceh. Tanggal 28 Juni 1621, Houppenille, pandai emas kelahiran Rouen, telah mengajukan berkali-kali permintaan agar ia diizinkan tinggal di kota ini. Dia pernah menjanjikan padaku bahwa ia akan mendapatkan seorang Inggris untuk menggantikannya, karena hamba mengatakan bahwa kami kekurangan orang; bahwa pengganti itu akan lebih baik dari dirinya untuk bekerja di kapal dan bahwa dia akan tetap tinggal di rumah orang Inggris di Aceh. Pada mulanya hamba meluluskan kehendaknya karena kuanggap bahwa ia tak terlalu penting dan berguna bagiku, agak sering menyusahkanku lagi dalam waktu mendatang. Tetapi akhirnya dia tak berhasil menemukan penggantinya; sudah tentu ada beberapa orang Inggris yang meminta sangat untuk ikut berlayar pulang ke Eropah, tetapi karena mereka tidak diberi izin oleh atasan mereka, hamba tak mau menerima mereka, biarpun hamba sekalipun memerlukan sekali. Iapun memberitahu padaku bahwa ia tak mendapat orang Inggris untuk menggantikannya. Hambapun memperingatkannya supaya ikut berlayar bersamaku serta mengatakan bahwa hamba tak dapat berbuat apapun baginya. Ketika ia menyadari bahwa ia tak dapat berunding 94

Ibid, hal. 35 dan 327.

Aceh Serambi Mekkah

93

lagi denganku, iapun pergi mendapatkan orang kaya Laksamana, bersama penterjemah, orang tua yang telah kuusir dari rumahku, dengan membawa serta barang perhiasan milik raja yang diserahkannya kepada Laksamana dengan mengatakan padanya bahwa ia tak dapat lagi bekerja untuk Raja, karena hamba memerintahkannya untuk naik kapal. Ditambahkannya lagi bahwa ia ingin sekali tinggal terus di Aceh dan tak ada yang lebih menyenangkan baginya dari terus dapat bekerja untuk raja dan laksamana, bahwa andaikata ia dapat menemukan orang untuk menggantikannya, ia akan dapat bebas dari kekuasaanku dan tak akan lagi berurusan denganku. Orang Kaya Laksamana lalu segera mengirimkan seorang lelaki berasal dari pantai Koromandel dan beragama Islam; hamba sangat keheranan akan keberanian ini dan langsung menyuruhnya kembali dengan pesan bahwa bukanlah adat orang Perancis untuk memperlakukan manusia sebagai kuda. Lalu hamba memikirkan kebodohan Si Houppenille yang tak menyadari bahwa dengan cara ini ia menjadikan dirinya budak orang-orang yang tak akan memberinya kebebasan, apapun yang dilakukannya, dan memutuskannya membiarkan bebas di rumah orang Inggris. Dan untuk menghindari keanehan-keanehan akibat laranganku dan kemungkinan si pandai emas menukar agamanya dan masuk Islam agar bisa tinggal di Aceh.

4. Relasi Aceh dengan Negara-Negara di Asia Tenggara Negara tetangga yang memiliki hubungan dengan kerajaan Aceh diantaranya adalah Tanah Melayu. Tanah Melayu dan kerajaan Aceh telah menjalin hubungan yang erat sejak awal kedatangan Islam ke wilayah itu. Dalam perkembangannya, hubungan itu terus berlanjut walaupun melalui pasang surutnya hingga kini, baik antara kerajaan dengan kerajaan, antara rakyat dengan rakyat, maupun dalam hubungan politik, agama dan perdagangan. Wilayah Samudera Pasai, merupakan sebuah kerajaan yang agung, bukan saja dari perkembangan agama Islam, tetapi juga sebagai pusat perdagangan, sebelum peranannya diambil alih oleh kerajaan Islam Melayu Malaka, kemudian oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Relasi antara kerajaan Melayu dengan Kerajaan Samudera Pasai dapat ditinjau dari bidang keagamaan, perdagangan, politik, sosial dan kebudayaan. Setelah mundurnya kerajaan Islam Pereulak maka kerajaan Samudera Pasai tampil sebagai sebuah kerajaan Islam yang terkuat di rantau itu. Penggabungan kerajaan Islam Pereulak dengan kerajaan Islam Samudera Pasai terjadi setelah Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat wafat pada tahun 692 H./1292 M.95 Ibnu Batutah, musafir Islam dari Maroko, bercerita tentang kerajaan Samudera Pasai. Pada tahun 1345/1346 M beliau singgah di sana, dan berkesempatan menghadap Sultan Malik Al-Zahir. Hatinya sangat tertarik pada sikap baginda yang sangat mencintai agama Islam, dan suka berdebat serta membahas hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam mazhab Syafi’i. Pada hari Jumat baginda shalat Jumat dengan memakai jubah seperti seorang ahli agama. Hubungan kerajaan Samudera Pasai dengan negeri di Tanah Melayu sudah tidak asing lagi. Pemerintahannya bukan saja terhadap wilayah Samudera Pasai sendiri tetapi berkuasa dan berhak sampai ke negeri Kedah di Utara Tanah Melayu yang berbatasan dengan selat Malaka. Oleh karena itu jelaslah bahwa kerajaan Samudera Pasai tidak terbatas pada pesisir Sumatera, tetapi juga Tanah Melayu. Tentang penyebaran agama Islam ke Trengganu di timur Tanah Melayu 95

94

Yusuf Abdullah Puar, Masuknya Islam ke Indonesia, (Indrajaya: Dep. P. dan K. RI., 1985), hal. 38

Aceh: Relasi Lokal dan Global

yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, juga mempunyai pengaruh dari Samudera Pasai. Mungkin Samudera Pasai juga mengislamkan Trengganu itu karena tarikh pada batu bersurat yang dijumpai di Kuala Barang lebih sesuai dengan zaman kerajaan Samudera Pasai daripada kerajaan Melayu Malaka. Dengan demikian alasan yang mengatakan Malaka memeluk agama Islam melalui kerajaan Samudera Pasai juga dapat diterima. Rajanya menggunakan politik persemendaan (kawin mengawini antara dua keluarga) untuk mengembangkan dakwah islamiyah di Malaka. Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan beberapa raja pertamanya sesudah Sultan Muhammad Syah sibuk mengokohkan kedudukannya, terutama terhadap ancaman dari Siam. Malaka mengadakan hubungan dengan Cina. Setelah kekuasaan Siam tidak menjadi ancaman lagi terhadap keamanan Malaka, maka mulailah ia meluaskan kekuasaannya bukan saja ke negerinegeri Tanah Melayu, tetapi juga ke negeri Pesisir Sumatera seperti Rokan, Siak, Kampar, Indragiri dan sebagainya. Samudera Pasai pada ketika itu masih merupakan sebuah negara yang merdeka, dan tidak ada percobaan dari Malaka untuk menaklukkannya. Namun setelah Malaka bertambah kuat dari segi politik dan ekonomi, ia menarik perhatian ulama-ulama dari luar negeri untuk menjadikan Malaka sebagai pusat perkembangan dakwah islamiyah di kawasan tersebut. Peranan yang dahulu dimainkan oleh Samudera Pasai waktu itu diambil alih oleh Malaka. Dalam masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1456-1477 M) datang seorang ulama dari Makkah yang bernama Maulana Abu Bakar. Beliau membawa kitab Darul Mazlum, sebuah kitab sufi (ilmu suluk/tasauf), karangan gurunya yang bernama Maulana Abu Isyak. Maulana Abu Bakar disambut dengan penuh hormat oleh Sultan Mansyur Syah dan para pembesar-pembesarnya yang kemudian berguru kepadanya. Beliau amat memuji Sultan itu karena amat mudah menerima segala pelajaran yang diajarkannya. Kemudian raja Malaka dan rakyatnya telah mengamalkan ajaran tarikat (aturan hidup dalam keagamaan). Walaupun Malaka sudah menjadi pusat dakwah islamiyah pada masa itu tetapi peranan Samudera Pasai sebagai sebuah negara yang pernah menjadi pusat tamaddun (peradaban dan kemajuan) Islam di kawasan tersebut sebelum Malaka, tidak diabaikan oleh raja-raja Malaka. Hubungan antara Malaka dengan Samudera pasai dalam bidang keagamaan terus berlangsung. Bukan saja dari golongan rakyat dan ulama yang meminta pelajaran agama tetapi juga dari pihak para raja.96 Eksistensi Aceh sebagai sumber sejarah dan pusat tamaddun Islam di Nusantara tidak dapat disangkal, apalagi ketika bukti-bukti pendukung dapat dikemukakan. Secara stereotipe sejarah Islam di Indonesia bermula di Aceh, yaitu di daerah Pereulak. Kemudian dari Aceh berkembang ke berbagai penjuru Melayu Nusantara. Wilayah Melayu Nusantara terbentang dari Tanah Malaya sampai ke wilayah Timur Indonesia dan daerah di sekitarnya. Oleh karena itu peranan Aceh dalam pengembangan Islam di Semenanjung Tanah Malaya, khususnya di Patani, Kelantan dan Trengganu tidak boleh diabaikan. Ketiga wilayah itu terletak berdampingan yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Kini Patani termasuk Thailand (muangthai, dulu Siam), sedangkan Kelantan dan Trengganu menjadi dua negara bagian di timur laut Malaysia bagian semenanjung Tanah Melayu. Patani merupakan pusat kegiatan Islam yang terkenal di zaman silam. Juga merupakan salah satu kesatuan kebudayaan dan sejarah dengan Kelantan. Sejak tahun 1909 Patani dipisahkan 96

Yusuf Abdullah, Masuknya Islam….., hal. 40-41.

Aceh Serambi Mekkah

95

oleh penjajah Inggris dari Kelantan, dan seterusnya diserahkan kepada Thailand. Patani sebagai pusat kegiatan Islam menunjukkan adanya pertalian yang istimewa dengan kerajaan Islam Aceh. Pertalian itu dapat ditinjau dari dua aspek; pertama, dari sudut hubungan sejarah Islam Patani dengan kerajaan Islam Samudera Pasai, kedua, dari sudut pengaruh pemikiran Islam para ulama Aceh terhadap beberapa ulama di Patani dalam abad ke-17 M.97 Sejarah masuknya Islam ke semenanjung Tanah Melayu masih tetap samar-samar karena bukti-bukti yang berkaitan dengannya tidak cukup jelas untuk mengungkapkan hakikat yang sebenarnya. Tetapi, walaupun kerajaan Melayu Malaka tidak banyak meninggalkan bukti sejarah keislaman pada zaman permulaannya, daerah-daerah di pantai timur semenanjung meninggalkan kesan-kesan dan berita-berita yang lebih menarik dalam sejarah keislamannya tersebut. Hal ini dapat dihubungkan dengan pendapat beberapa sarjana Barat yang mengatakan Patani pernah menjadi pusat Islam yang tertua di Asia Tenggara. Seorang dosen dari Universitas Songkhla, Patani, yang bernama Sha’rani, menyatakan bahwa Islam masuk ke Patani sekitar abad ke-10 atau ke-11 M. Sebagai buktinya di lingkungan pekuburan tua di Kota Narhum, bekas kota Patani zaman dulu, yang letaknya lebih kurang tiga kilometer dari kota Patani yang sekarang, ditemui sebuah makam. Batu nisannya bertuliskan “dari raja Paya Tu Naqpa” atau “Raja Merkah Dada”. Disebut demikian karena penyakit yang dideritanya menimbulkan pecahpecah di dada raja. Penyakit itu disembuhkan oleh Syekh Sa’id dari Samudera Pasai setelah baginda menepati janjinya akan memeluk agama Islam. Setelah menganut agama itu baginda digelarkan sebagai Sultan Ismail Syah. Menurut hikayat Patani baginda raja pertama memeluk agama Islam, namun tanggal lahir, masa penerintahan dan wafatnya tidak diketahui dengan jelas. Baru pada masa pemerintahan para putranya, mulai tercatat dalam sumber sejarah, misalnya Sultan Mudhaffar Syah memerintah sampai tahun 1564 M. Kemudian digantikan oleh saudaranya, Sultan Mansyur Syah yang memerintah pada tahun 1564-1572 M. Berdasarkan masa pemerintahan para putra Sultan Ismail Syah maka jelas menunjukkan bahwa agama Islam berdiri teguh di Patani sekitar abad ke-15 atau awal abad ke-16. Ini bukan berarti sebelum abad tersebut Islam tidak ada atau belum masuk ke Patani, karena daerah Kelantan yang selalu dianggap sebagai daerah yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang sama dengan Patani menunjukkan bahwa Islam telah lama masuk ke daerah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya ditemukan mata uang di Kelantan yang menjelaskan kesan sejarah Islam yang tertua di wilayah itu. Pada kepingan uang itu tertulis kata-kata al-Julus Kelantan 577 H. Di sebelahnya tertulis pula al-Mutawakkil yang artinya orang yang tawakkal, yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan, yang lurus hatinya. Kata al-julus lazim diartikan sebagai duduk atau bertempat tinggal. Kalau kata itu dikaitkan satu sama lain, bisa diartikan sebagai “bertempat tinggal atau duduk di Kelantan tahun 577 H (1181 M) seorang yang lurus hatinya kepada Tuhan”. Di Trengganu juga terdapat kesan sejarah Islam yang tertua, yaitu batu Trengganu atau prasasti (piagam tertulis di batu, tembaga dan sebagainya) tertanggal pada 1386-1387 M, terletak di sungai Tresat di dekat Kuala Berang. Prasasti itu pada dasarnya memproklamasikan suatu

97

96

Yusuf Abdullah, Masuknya Islam….., hal. 42-43

Aceh: Relasi Lokal dan Global

undang-undang Islam kepada rakyat Trengganu dan memerintahkan raja supaya memegang keimanan dalam Islam serta melaksanakan ajaran yang disampaikan oleh Utusan Allah. Prof. S.Q. Fatimi mengemukakan pendapatnya berkenaan dengan tulisan pada prasasti yang ditemukan di Trengganu. Ia menyatakan bahwa penulisan pada prasasti itu ada hubungannya dengan peristiwa raja Kertanegara yang kalah perang dalam tahun 1292 M. Penggantinya raja Wijaya yang resmi dinobatkan sebagai raja Majapahit yang pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana yang juga disebut Prabu Brawijaya I (1294-1309 M). Baginda memerintah kerajaan Majapahit dengan cara lebih ditumpukan kepada konsolidasi dan kekuatan dalam negeri di pulau Jawa. Dalam masa pemerintahan yang mengutamakan konsolidasi ini diberi peluang kepada orang Islam di sebelah utara yang berada di bawah pengaruh kerajaan Hindu-Budha Majapahit mendirikan kekuatan politiknya sendiri-sendiri. Demikian Pereulak dan Samudera Pasai mengambil keuntungan dari situasi ini untuk membentuk kerajaan yang selanjutnya berkembang sebagai dasar kerajaan Islam Aceh yang sangat berpengaruh di abad-abad kemudian. Hal yang sama juga terjadi terhadap Trengganu. Di sana memerintah seorang raja (Mandalika) yang telah memeluk agama Islam. Tetapi baginda terlalu emosional dalam memperkenalkan undang-undang Islam kepada para penganutnya yang baru. Raja memerintahkan hukuman yang keras menurut undang-undang Islam bagi siapa yang berani melanggarnya. Perintah yang ekstrim dan keras itu telah menyebabkan rakyat kurang bersimpati dengan pelaksanaan hukum tersebut. Pelaksanaan undang-undang Islam di Trengganu sezaman dengan masa pemerintahan raja keempat Majapahit Hayam Wuruk dengan gelar Sri Rajasanagara (13501389 M). Oleh karena pelaksanaan dakwah Islamiyah yang terlalu keras, maka Trengganu dengan rajanya yang telah memeluk agama Islam itu dihancurkan oleh raja Majapahit yang ekspansionis. Sedangkan daerah Islam di bagian utara Sumatera yang tidak mengambil sikap ekstrim, dan menerima kedaulatan Majapahit, tidak dihancurkan oleh kerajaan Majapahit. Akan tetapi sebaliknya permakluman tersebut harus dikaitkan dengan rasa kebanggaan para penganut Islam di Trengganu atau rajanya terhadap nilai serta norma hidup secara Islami yang tidak mengenal kelas, berlaku adil terhadap semua rakyatnya. Oleh karena itu mereka sangat bersemangat untuk melaksanakan undang-undang Islam itu. Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa daerah-daerah yang berdekatan dengan Patani mempunyai bukti bahwa Islam sudah bertapak dengan teguhnya kira-kira sejak abad ke12 M. Jika di daerah Kelantan Islam sudah ada pada abad tersebut maka tidak ada alasan kenapa Islam tidak terdapat di Patani pada abad itu atau sebelumnya. Mengenai dari mana masuknya Islam ke Patani juga menjadi masalah bagi para sarjana dan peminat sejarah setempat. Ada yang berpendapat Islam di Patani itu datangnya dari Campa, di pesisir Annam (Vietnam), daerah pinggir laut Cina Selatan. Di sana sudah terdapat sejenis tulisan pada batu nisan bertanggal 1039 M. yang terletak di daerah Phang Rang atau Pandurangga, suatu kota pelabuhan yang penting bagi Campa pada zaman silam. Namun demikian soal bukti tulisan tua saja tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa Islam di Patani itu datangnya dari Campa. Aliran kepercayaan atau mazhab orang Islam di Campa ialah Syi’ah, sedangkan di Patani menggunakan mazhab ahli’sunnah wal jamaah mazhab Syafi’i. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam sudah mulai berdiri di beberapa daerah yang penting di Nusantara sekitar abad ke-10 atau ke-11 M. atau jauh sebelumnya. Oleh karena itu juga kita tidak perlu

Aceh Serambi Mekkah

97

heran jika dikatakan Islam di Patani sudah berada pada abad-abad tersebut. Sebab Patani juga merupakan salah satu daerah pelabuhan yang penting di zaman silam. Ada berita-berita yang menyebutkan Islam sudah lama terdapat di Kanton di tenggara Cina tetapi tidak berarti Islam di Patani masuknya melalui negeri cina. Sampai sekarang belum dapat ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan Islam di Patani ada pertaliannya dengan Islam di Kanton. Banyak pula sarjana Barat yang menganggap Islam di Patani Kelantan dan Trengganu datangnya dari Malaka tetapi pendapat itu bertentangan dengan fakta. Kerajaan Melayu Malaka baru berdiri di awal abad ke-15 M, sedangkan keterangan di kepingan uang di Kelantan dan prasasti Trengganu menyatakan dengan jelas bahwa Islam masuk di kedua daerah tersebut jauh lebih awal dari jaman lahirnya kerajaan Malaka. Dan dalam cerita yang berunsurkan sejarah seperti Sejarah Melayu, menggambarkan ketika penaklukan Kelantan oleh Malaka di masa pemerintahan Sultan Mahmud, Islam sudah berdiri teguhnya di sana. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kedatangan Islam di Patani itu harus dihubungkan dengan kerajaan tertua di Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai, jauh sebelumnya dikenal sebagai Pasai yang tumbuhnya menjadi negeri dan kerajaan yang penting, yang mempunyai pengaruh besar terhadap daerah di sekelilingnya. Pengaru ini dapat dilihat dari persamaan mazhab yang dianut oleh orang Islam di Patani dan samudera Pasai. Masyarakat Islam Patani bermazhab Syafi’i yang serupa dengan anutan keislaman rakyat Samudera Pasai. Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam tahun 1345-1346 Masehi menggambarkan keadaan mazhab yang, menjadi amalan orang Islam di sana. Di ceritakan rajanya, Sultan Malik Az-Zahir dikelilingi oleh pembesar dalam bidang hukum seperti Syarif Amir Sayid Asy-Syirazi dan Tajuddin Al-Asyfahani dan para ulama fikih yang lain. Sultan itu seorang Islam yang bermazhab Syafi’i, dan demikian juga penduduk negerinya. Lagi pula secara tradisi dalam pandangan orang Islam di Patani selalu menganggap sumber kerohaniannya berasal dari Samudera Pasai. Demikian juga dalam cerita berunsur sejarah seperti Hikayat Patani yang mengisahkan dengan jelas bahwa Islam di Patani disebarkan oleh Syekh Sa’id yang berasal dari Samudera Pasai. Beliau yang mengislamkan raja Melayu Patani. Selama menjalankan dakwah islamiyah di Patani beliau bertempat tinggal di Kampung Pasai yang masih terdapat sampai sekarang di Patani. Demikian sebuah kuburan yang menurut cerita orang-orang Patani adalah kuburan Tok Pasai; maksudnya Syekh Sa’id. Sewaktu hidupnya, Syekh Said setelah mengislamkan raja Patani tiada diketahui kemana perginya; mungkin ke Kelantan. Menjadi kepercayaan orang-orang Kelantan bahwa Islam dinegerinya berasal dari Patani. Dikatakan, penyiarnya seorang Syekh dari Patani yang datang ke Kelantan membawa agama Islam yang suci yaitu Syekh Sa’id dari Samudera Pasai dan dialah yang dimaksudkan oleh kata-kata al-Mutawakkil, orang yang tawakkal atau menyerahkan dirinya kepada Tuhannya. Dan dari Kelantan Islam tersebar ke Trengganu. Meskipun Islam di Patani dipercaya sudah berdiri sekitar abad ke-10 atau ke-11 M. Namun Patani baru muncul dan terkenal sebagai pusat kegiatan Islam dan perniagaan antar bangsa pada abad ke-16 dan ke-17 M. Zaman kegemilangan Patani hanya lebih kurang dua abad, sebab pada zaman berikutnya Patani menuju ke zaman suram. Faktor yang menyebabkan kedudukan Patani menjadi semakin terdesak dan tidak penting lagi adalah karena pengaruh perdagangan asing (barat) yang menguasai selatan semenanjung Tanah Melayu. Bertambahnya pengaruh kekuasaan Siam juga merupakan faktor yang sangat

98

Aceh: Relasi Lokal dan Global

berpengaruh bagi kehancuran Patani. Akibatnya timbul beberapa gerakan perlawanan oleh orangorang Melayu Patani terhadap kekuasaan Siam, tetapi satu demi satu gerakan perlawanan itu dapat ditindas olehnya. Kelantan sendiri sebagai saudara kandungnya tidak mampu memberikan perlindungan, tidak berdaya merintangi pendesakan pengaruh kekuasaan Siam yang makin kuat menguasai orang-orang Melayu Patani. Keadaan yang kacau dan politik kekuasaan tidak menentu di Patani dan Kelantan diselesaikan oleh Inggris dengan jalan menyerahkan Pantani serta wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Siam pada permulaan abad ke-20 M. Dengan demikian penjajah Inggris dapat menguasai Kelantan sepenuhnya tanpa diganggu oleh para penguasa Siam lagi. Akibat pergolakan politik di Patani, banyak ulama yang merangkap sebagai pengarang kitab agama, berhijrah ke tempat lain seperti Makkah, Kelantan, Trengganu dan daerah-daerah di Semenanjung Malaysia. Di sekitar abad ke-10 M Islam sudah muncul dibeberapa daerah penting di Nusantara, termasuk Semenanjung Tanah Melayu. Diakui, pada permulaan abad-abad tersebut Islam belum berkesan dan bertradisi serta belum mempunyai pengaruh yang besar terhadap daerah-daerah besar Islam lainnya. Keadaan ini jauh berbeda dengan kerajaan Islam Samudera Pasai yang telah berhasil dengan gemilang melanjutkan tradisi keislaman hingga ke beberapa abad kemudian. Tradisi ini mencapai puncaknya melalui kerajaan Islam pada abad ke-17 M. Pada abad itu kerajaan Islam Aceh tidak hanya berhasil mencapai kejayaan dalam bidang politik kekuasaan, tetapi juga mampu mengembangkan tradisi intelektual dan pemikiran Islam yang luar biasa dalam sejarah tamaddun Islam di Nusantara. Aceh abad ke-16 dan ke-17 M dapat melahirkan ulama yang mempunyai kebolehan dan prestasi yang istimewa, dan sanggup menjelajahi semua bidang keilmuan dalam Islam. Mereka adalah Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani, Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdur Rauf Teungku Syiah Kuala, menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam bidang pemikiran Islam melalui karya-karya mereka dalam bahasa Melayu. Mereka berkarya kira-kira empat abad yang lalu, menciptakan dan membincangkan masalah-masalah Islam dengan berani dan mendalam. Kejayaan mereka sebenarnya memperkuat kedudukan dan kewibawaan Aceh di kalangan masyarakat Islam di Nusantara. Kesan tamaddun Islam Aceh terhadap daerah Islam tertentu di Nusantara amat luas dan cukup mendalam. Hal ini dapat dihubungkan dengan daerah-daerah seperti Patani, Kelantan dan juga tempat-tempat lain di semenanjung Tanah Melayu. Di sana terdapat beberapa aspek Islam yang dengan sengaja dihubung-hubungkan dengan sejarah kegiatan Islam di Aceh. Misalnya latar belakang keilmuan para ulama Patani abad ke-19 M. yang dikatakan berguru langsung kepada para ulama Aceh. Cerita mengenai hubungan seperti ini tentu banyak dipengaruhi oleh tradisi dan kewibawaan itu.98 Demikianlah hubungan Patani dengan Aceh, meskipun ada juga unsur-unsur hubungan semata-mata karena kewibawaan dan kebesaran Aceh di zaman silam tetapi unsur-unsur itu tidak dapat menolak hakekat bahwa Patani dan Aceh mempunyai pertalian, baik dalam aspek sejarah Islam, maupun dalam aspek pemikirannya.

98

Yusuf Abdullah, Masuknya Islam…., hal. 52.

Aceh Serambi Mekkah

99

100

Aceh: Relasi Lokal dan Global

BAB TIGA ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA: SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN DAN PERADILAN MASA KERAJAAN ACEH Pada masa kejayaannya, Kerajaan Aceh menjadi pusat penyebaran Islam untuk kawasan nusantara, bahkan untuk Asia Tenggara. Disamping itu, Aceh juga menjadi pusat pendidikan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Hal ini disebabkan sultan-sultan Aceh suka sekali kepada para ulama. Apabila datang orang-orang ‘alim dari luar negeri, tanpa memandang dari bangsa manapun, mereka mendapat tempat terhormat di Aceh. Seperti Syekh Abdullah Arif yang datang dari Arab, salah seorang pembawa ajaran Islam ke Negeri Aceh. Muridnya, Burhanuddin yang menyebarkan Islam di Pariaman, Sumatera Barat. Kemudian terkenal juga ulama dari Ranir, Gujarat yaitu Maulana Syekh Nuruddin Muhammad Jailany bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Qurasyi, paman dari Syekh Nuruddin ar- Raniry. Selain itu, ada juga ulama-ulama yang datang dari Mekkah, seperti Syekh Ibrahim al-Syami, Syekh Abul Khair, Syekh Muhammad al-Yamani dan Syekh Aminuddin Abdurrauf Ali al-Fansuri.1 Pada abad ke 17 Masehi, muncul beberapa ulama besar yang berkiprah di Kerajaan Aceh. Mereka telah mewariskan karya monumental dalam perjalanan sejarah intelektual Islam di Indonesia. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Samsuddin Sumatrani (w. 1661 M), Nuruddin arRaniry (w. 1658 M) dan Abdurrauf al-Singkili / Syiah Kuala (w. 1693 M). Aceh pada abad ke 17 Masehi ini adalah masa keemasan (golden age) Kerajaan Aceh, dengan sultannya yang sangat terkenal waktu itu adalah Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah, memerintah tahun 1016-1045 H / 1607-1636 M.2 Sejak berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, pengaruh Islam sudah tampak pada sistem hukum dan pemerintahan. Islam dipergunakan sebagai ideologi negara, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Bentuk pemerintahannya mengikuti kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Istilah-istilah lembaga negara banyak yang diadopsi dari istilah di kerjaan

1

Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia Dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1999), hal. 9-10. 2 Ibid, hal. 11. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 166 dan 189. Dan Buku Objek Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Aceh, Cab Sikureueng, (Banda Aceh: Diterbitkan oleh Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKAS), 1995), hal. 41.

Aceh Serambi Mekkah

101

Islam Timur Tengah, seperti: menteri digelar dengan wazir, Kepala Mahkamah Agung dinamakan dengan qadhi malikul adil, menteri keuangan dengan nama wazir dirham, Kas Negara dengan nama baitul mal dan lain-lain. Ideologi Islam juga tercermin pada sistem pengendalian pemerintahan Kerajaan Aceh. Ulama sebagai simbol keislaman mendapat perhatian khusus dari sultan dengan ditempatkan dalam susunan Dewan Penasehat Sultan. Bahkan sultan membentuk tiga lembaga khusus, yaitu Bale Rong Sari, Bale Gadeng dan Bale Mahkamah Rakyat, sebagai balai musyawarah pengambilan keputusan peraturan Kerajaan Aceh, yang anggotanya terdiri dari tujuh orang ‘alim ulama besar dari seluruh Aceh di setiap balai tersebut. Para ulama memegang peranan kunci terhadap penegakan ideologi Islam di dalam masyarakat. Usaha ini dilakukan melalui pendidikan Islam, seperti dayah (pesantren), meunasah, madrasah dan lain-lain. Sistem pendidikan seperti itu masih terus berkembang sampai sekarang di seluruh pelosok Aceh. Islam sebagai ideologi negara juga tercermin pada berbagai produk hukum Kerajaan Aceh, seperti tertera dalam Adat Meukuta Alam, Kanun Syarak Kerajaan Aceh, Sarakata (fatwa/surat keputusan sultan) dan peraturan perundangan lainnya. Bahkan adat Aceh-pun tidak bisa lepas dari nilai Islam, sebagaimana bunyi peribahasa Aceh: “Hukom ngon adat han jeuet cre lagee zat ngon sifeuet” (hukum syara’ tidak bisa dipisahkan dengan adat, seperti zat Tuhan dengan sifat-Nya). Dan dalam ungkapan lain dikatakan: “Hukom ngon adat lagee mata itam ngon mata puteh” (hukum syara’ dengan hukum adat, seperti biji mata hitam dengan mata putih). Islam sebagai pandangan hidup dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Kerajaan Aceh juga tercermin pada persyaratan seseorang untuk dapat diangkat pada jabatan tertentu dalam pemerintahan Kerajaan Aceh, baik pada tingkatan tertinggi, yaitu sultan (raja) sampai pada jabatan terendah keuchik (kepala kampung/gampong). Hal ini sebagaimana tergambar dalam rincian penjelasan berikut ini. SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN PEMERINTAHAN KERAJAAN ACEH 1. Dasar, Hukun, Kaedah, Lambang dan Bentuk Negara serta Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh Dalam Kanun al-Asyi (Kanun Syarak Karejaan Aceh) ditetapkan bahwa dasar (ideologi) Kerajaan Aceh adalah Islam, dengan sumber hukumnya adalah: 1. Al-Qur‘an (firman) 2. Al-Hadits 3. Ijma’ ulama 4. Qiyas.3 3

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, ( Jakarta: Penerbit Beuna, 1983), hal. 69. A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 72. dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hal. 21. Ijma’ ulama adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid kaum muslimin disuatu masa sepeninggalan Rasulullah Saw. terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa. Sedangkan qiyas adalah mempersamakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan konkrit dalam nash (al-Qur‘an dan hadits) dengan suatu peristiwa yang sudah ada ketentuan dalam nash, dengan cara membandingkan illat hukum dari kedua peristiwa tersebut, jika ada kesamaan illatnya, maka hukumnya sama. Yang dimaksud dengan illat yaitu suatu sifat yang diduga kuat

102

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Rukun negara (rukun kerajaan) ada empat perkara: 1. Pedang keadilan. Jika tidak ada pedang, maka tidak ada kerajaan. 2. Qalam. Jika tidak ada “kitab undang-undang”, tidak ada kerajaan. 3. Ilmu. Jika tidak mengetahui ilmu dunia-akhirat, tidak bisa mengatur kerajaan. 4. Kalam. Jika tidak ada bahasa, maka tidak bisa berdiri kerajaan. Untuk dapat terlaksananya ke-empat rukun tersebut, maka kanun menetapkan empat hal, yaitu: 1. Ilmu yang bisa memegang pedang. 2. Ilmu yang bisa menulis. 3. Ilmu yang bisa mengetahui bagaimana cara mengatur negeri. 4. Ilmu bahasa.4 Dalam Kanun al-Asyi ditetapkan ada lima kaedah kerajaan, yaitu: 1. Kaedah yang pertama, bahwa diperbolehkan bagi raja jaga (waspada) pada perintah, dan juga pada memerintahkan rakyat, dan mengatur negeri dan perintah kerajaan. 2. Kaedah yang kedua, yaitu baik adabnya. 3. Kaedah yang ketiga, baik akalnya. 4. Kaedah yang ke-empat, yaitu adil. 5. Kaedah yang kelima, yaitu berani, dan benar dalam kalam dan ikhlas.5 Lambang Kerajaan Aceh yang dipegang oleh sultan sebagai kekuasaan tertinggi di kerajaan ada dua, yaitu “keris”6 dan “cap sikureueng” (cap sembilan). Tanpa “keris” tak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah raja, dan tanpa “cap sikureueng” tak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.7 Cap sikureueng merupakan stempel kerajaan, yang hanya dipakai untuk menguatkan surat-surat penting kerajaan, seperti surat keputusan sultan, surat kuasa, dan surat perjanjian antar negara. Cap sikureueng ini berbentuk bulat dan di tengahnya tertera nama sultan yang berkuasa, sedangkan sekelilingnya tertera nama delapan orang sultan yang memerintah sebelumnya. Delapan nama sultan yang tertera di sekeliling cap sikureueng melambangkan empat jenis sumber hukum Islam (al-Qur‘an, hadits, ijma’ dan qiyas) dan empat jenis nama hukum (hukom, adat, reusam dan kanun). Sehingga sultan yang berkuasa, yang namanya tertera di tengah cap sikureueng, berarti dikelilingi oleh hukum, yang bermakna bahwa ia harus tunduk kepada hukum dan tidak boleh mengingkarinya. Inilah filsafat dari cap sikureueng.8

menjadi alasan penetapan hukum oleh syâri’ (Allah dan Rasul). Mukhtar Yahya dan Fathhurrahman, DasarDasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hal. 58,66 dan 83. 4 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh... hal. 67-68. dan A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 70-71. 5 A. Hasjmy, 50 tahun Aceh..., hal. 30. 6 Menurut penulis, “keris” yang dimaksudkan itu adalah “rencong”. Sebab Aceh terkenal dengan rencongnya, bukan keris. 7 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Terj. Winarsih Arifin), (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 104. 8 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 73-74. Dan A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 72. Dalam Adat Meukuta Alam disebut dengan “cap halilintar”, tetapi umumnya disebut cap sikureueng, karena ada sembilan lingkaran dalam cap tersebut. Dan menurut keterangan Tuanku Abdul Jalil, nama-nama sultan

Aceh Serambi Mekkah

103

Sebagai contoh “cap sikureueng” pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M): di bagian tengah cap tertera nama Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Di sekeliling cap tertera nama sultan yang pernah berkuasa sebelumnya (jika dibaca dari atas ke kanan cap): Sultan Alaidin Riayat Syah, Sultan Firman Syah, Sultan Muthafar Syah, Sultan Inayat Syah, Abdullah Malikul Mubin, Sultan Iskandar Muda, Johan Berdaulat, dan Sultan Ali Ri`ayat Syah.9 Nama-nama yang tertera di sekeliling cap sikureueng di atas sebagiannya tidak dikenal, seperti Abdullah Malikul Mubin dan Johan Berdaulat. Mungkin karena kedua sultan ini merupakan nama lain atau gelar yang tidak populer dan hanya terdapat dalam literatur tertentu yang belum penulis temukan. Sedangkan sebagiannya yang dikenal adalah Sultan Firman Syah (1309-1354 M), Sultan Inayat Syah (1480-1490 M), Sultan Mudhafar Syah (1490-1497 M), 10 Sultan Alaidin Ri‘ayat Syah (1589-1604 M), Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dan Sultan Ali Ri‘ayat Syah (1604-1607 M). Adapun bentuk negara dan struktur pemerintahan Kerajaan Aceh sebagai berikut: 1. Negara berbentuk kerajaan, kepala negara diangkat turun temurun. Tapi dalam keadaan dari turunan tertentu tidak ada yang memenuhi syarat, maka boleh diangkat dari yang bukan turunan raja. 2. Kerajaan bernama Kerajaan Aceh Darussalam dengan Ibukota Negara Banda Aceh Darussalam. Struktur pemerintahan terdiri dari Pemerintahan Pusat (Kerajaan), Pemerintahan Daerah (Uleebalang dan Kemukiman) dan Pemerintahan Desa (Gampong). Di daerah Aceh Besar terdapat tiga federasi yang terdiri dari beberapa buah Pemerintahan Daerah, yang dinamakan “Sagoe”. 3. Kepala Negara bergelar “Sultan Imam Adil”, sebagai orang pertama dalam kerajaan. Dan dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh sekretaris negara yang bergelar “Rama Seutia Keureukon Katibul Muluk”. 4. Orang kedua dalam kerajaan adalah Kadhi Malikul Adil yang merupakan seorang ulama besar dengan gelar Syeikhul Islam yang bertanggungjawab dalam masalah keagamaan. Ia memiliki empat orang pembantunya yang bergelar Mufti Empat, bertugas membantu kadhi malikul adil dalam mengeluarkan “fatwa”. Mufti empat itu terdiri dari Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. 5. Untuk membantu sultan dalam menjalankan roda pemerintahan, kanun menetapkan beberapa pejabat tinggi yang bergelar “Wazir” (perdana menteri dan menteri-menteri).11 Dalam kanun ditetapkan juga adanya beberapa lembaga negara pada tingkat Pemerintah yang telah almarhum itu ditulis menurut kehendak sultan yang memerintah, seperti yang tertera pada cap sikureueng Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991), hal. 7. 9 Tuanku Abdul Jalil, Op.Cit, hal. 45. 10 Sultan Firman Syah (1309-1354 M), Sultan Inayat Syah (1480-1490 M), Sultan Mudhafar Syah (1490-1497 M), merupakan tiga nama Sultan Kerajaan Aceh masa Kerajaan Darussalam, bukan masa Kerajaan Aceh Darussalam. Lebih jelasnya lihat footnote nomor 5 dan 10. Sedangkan tiga nama sultan lainnya, yaitu Sultan Alaidin Ri‘ayat Syah (1589-1604 M), Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dan Sultan Ali Ri‘ayat Syah (1604-1607 M), adalah Sultan Kerajaan Aceh masa Kerajaan Aceh Darussalam. 11 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 77. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 70-71. dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh..., hal. 130.

104

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Pusat, yaitu 1. Balai Rong Sari, yaitu Majelis Kerajaan yang dipimpin oleh Sultan, beranggotakan menterimenteri inti dengan gelar “Uleebalang Empat” dan “Ulama Tujuh”. Lembaga ini bertugas membuat perencanaan dan penelitian (semacam BAPPENAS sekarang). 2. Balai Imam Malikul Islam (Kantor Sultan). 3. Balai Kadhi Malikul Adil (Kantor Kadhi Mu’adham). 4. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu semacam Dewan Perwakilan Rakyat, dipimpin oleh Kadhi Malikul Adil, beranggotakan 73 orang, yang masing-masing mewakili satu mukim dalam Daerah Federasi Aceh Besar. 5. Balai Gading (Bale Gadeng), yaitu Majelis Perdana Menteri yang dipimpin oleh Wazir Mu’azzam Orangkaya Perdana Menteri, beranggotakan menteri-menteri kabinet dengan gelar ‘Uleebalang Delapan” dan “Ulama Tujuh”. 6. Balai Furdhah, yaitu kantor pusat perdagangan dalam dan luar negeri, di bawah pimpinan seorang wazir yang bergelar Menteri Sri Paduka (Departemen Perdagangan). 7. Balai Laksamana, yaitu kantor pusat Angkatan Laut dan Darat, di bawah pimpinan Orangkaya Laksamana Amirul Harb (Departeman Pertahanan). 8. Balai Majelis Mahkamah, yaitu kantor Mahkamah Agung, yang beranggotakan 10 orang ulama fiqh (fuqaha‘), di bawah pimpinan seorang wazir yang bergelar Sri Raja Panglima Wazir Mizan (Departemen Kehakiman). 9. Balai Baitul Mal, yaitu kantor pusat Perbendaharaan Negara di bawah pimpinan OrangKaya Sri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham (Departemen Keuangan).12 Di samping itu, ada sejumlah wazir yang mengurus urusan tertentu yang tergabung dalam Menteri Negara, yaitu: 1. Wazir Sri Maharaja Mangkubumi (Menteri Dalam Negeri), yaitu pejabat yang mengurus segala uleebalang (pamongpraja). 2. Wazir Badlul Muluk (Menteri Luar Negeri), yaitu pejabat yang mengurus perutusan dari dan ke luar negeri. 3. Wazir Kun Diraja, yaitu pejabat yang mengurus urusan Dalam Darud Dunia (Keraton Darud Dunia), sekaligus merangkap Syahbandar (Walikota) Banda Aceh. 4. Wazir Rama Setia (Menteri Perpajakan), yaitu pejabat yang mengurus urusan cukai pekan seluruh daerah kerajaan. 5. Wazir Sri Maharaja Gurah (Menteri Kehutanan), yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil dan pengembangan hutan. 6. Katibul Muluk (Sekretaris Negara), yaitu pejabat yang mengurus urusan Sekretaris Negara, yang bergelar Wazir Rama Setia Keurukun Katibul Muluk. 7. Maharaj Garut, yaitu lembaga yang mengurus urusan Istana Darud Dunia, dipimpin oleh Keujrun Maharaja Purba Wazir Paduka Raja.13 12

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 77-78. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 73. A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 131-132. Dan A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh ..., hal. 32-33. 13 A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 73. A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 132-133. Dan A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 32-33.

Aceh Serambi Mekkah

105

Lembaga-lembaga pemerintahan lain yang lebih rendah kedudukannya, semacam “jawatan pusat”, yang juga bernama “balai” dan pejabat yang memimpinnya disebut “Tuha”14, yaitu: 1. Balai Setia Hukama, yaitu lembaga perkumpulan para ulama, ahli pikir dan cendikiawan. 2. Balai Ahli Siyasah (Kantor Urusan Politik). 3. Balai Musafir (Kantor Urusan Pariwisata/Turisme). 4. Balai Safinah (Kantor Urusan Pelayaran Kapal-Kapal). 5. Balai Baitul Fakir Miskin (Kantor Urusan Sosial).15 Adapun lembaga-lembaga pemerintahan lainnya yang ada dalam pemerintahan Kerajaan Aceh, yaitu: 1. Balai Malikul Habib . 2. Balai Sri Suara 3. Balai Setia Ulama 4. Balai Setia Purba 5. Balai Kadhi Malikul Mahmud. 6. Balai Sri Purba Wangsa. 7. Balai Sri Setia Salih. 8. Balai Sri Purba Setia . 9. Balai Silaturrahmi 10. Balai Baitur Rijal 11. Balai Baitur Rahim 12. Balai Taubah . 13. Balai Darul Asyikin.16 Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Aceh secara resmi mengakui bahwa ideologi negara adalah Islam. Dan menjadikan Al-Qur‘an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber hukum negara. Itu artinya peraturan yang dihasilkan atau dibuat oleh Kerajaan Aceh tidak terlepas dari tuntunan sumber hukum tersebut. Di samping itu, Islam sebagai ideologi negara (kerajaan) juga tergambar dalam pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan Kerjaan Aceh. Semua lembaga-lembaga Negara itu berciri khas keislaman, baik dari segi nama maupun syarat pejabat yang menduduki ketua lembaga tersebut. Hal ini akan terlihat lebih jelas dalam pembahasan berikutnya. 2. Pembagian Kekuasaan Negara Istilah pembagian kekuasaan negara seperti yang dikenal sekarang ini, mungkin belum terjadi pada masa kesultanan Aceh. Namun prinsip-prinsip pembagian dalam bentuk kekuasaan yang semi-otonom sudah tergambar pada masa tersebut, khususnya masa pemerintahan Iskandar Muda. Pada waktu itu, sudah ada lembaga pemerintahan (eksekutif), peradilan (yudikatif)

14 Dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, A. Hasjmy menyebutnya dengan gelar “Imam”. A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 78. 15 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 79. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 74. dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 133. 16 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 78-79.

106

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

dan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga yudikatif Majlis Mahkamah Agung terbentuk pertama sekali pada masa Sultan Iskandar Muda. Pada masa Sultan Iskandar Muda banyak terjadi reformasi ketatanegaraan, di antaranya dibentuk Majlis Mahkamah Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Majlis Mahkamah Agung. Adapun yang mempelopori terbentuknya Majlis Mahkamah Rakyat ini adalah seorang wanita, yaitu Puteri Pahang (permaisuri Sultan Iskandar Muda dari Istana Pahang). Anggota-anggota Majlis Mahkamah Rakyat tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan diangkat diantara cerdik-pandai dari tiap-tiap mukim di Daerah Federasi Aceh Besar.17 Sedangkan Majlis Mahkamah Agung dipelopori sendiri oleh Sultan Iskandar Muda, dan Kadhi yang menjadi ketua Majlis Mahkamah Agung ini adalah Kadhi Malikul Adil18, yang pertama sekali dijabat oleh Ja Bangka.19 Sejak terbentuknya Majlis Mahkamah Rakyat, anggota-anggotanya sudah terdiri dari pria dan wanita, sekalipun jumlah wanita masih sedikit. Pada masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, usaha penyempurnaan lembaga majlis ini terus dilakukan, antara lain dengan menambahkan jumlah anggota wanita, dan pembentukan sebuah badan yang terdiri dari 9 orang anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang dipilih dari 73 orang anggota majlis, yang langsung di bawah pimpinan Orangkaya Laksamana Sri Perdana Menteri (semacam badan pekerja).20 Ketua Majlis Mahkamah Rakyat ditunjuk Kadhi Malikul Adil, dan ketua Badan Pekerja Majlis ditunjuk Orangkaya Laksamana Sri Perdana Menteri. Adapun susunan anggota Majlis Mahkamah Rakyat pada masa Sultanah Safiatuddin, sebagaimana terdapat dalam sebuah naskah tua yang merupakan catatan Said Abdullah Teungku Dimeulek adalah: (1) Sahil. (2) Bujang Jum’at. (3) Ahmad Bunsu. (4) Abdul Yatim. (5) Abdur Rasyid. (6) Kimir Said. (7) Iskandar Arsyad. (8) Ahmad Dewan. (9) Mayor Thalib. (10) Sinyak Bunga (wanita). (11) Amarullah. (12) Si Halifah (wanita). (13) Almudal. (14) Abdul Ghani. (15) Abdul Majid (16) Wasiasah (wanita). (17) Khawaja Hamid. (18) Isya. (19) Haidah (wanita). (20) Sinyak Bunga (wanita). (21) Si Minia (wanita). (22) Siti Cahaya (wanita). (23) Si Makhiyah (wanita). (24) Si Bukyah

17

A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 122-124. Dan A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 78. Syarat seseorang diangkat sebagai kadhi malikul adil ada enam belas syarat sebagaimana juga yang berlaku pada imeum mukim dan uleebalang, yaitu (1) Calon bukan bekas hamba sahaya. (2) Telah berumur 40 tahun. (3) Mengetahui hukum syarak Allah syari’at Nabi Saw. (4) Berasal dari keturunan orang yang baik. (5) Tidak mempunyai musuh di dalam gampong. (6) Bersifat berani pada yang benar. (7) Takut pada perkara yang salah. (8) Dapat menahan amarah. (9) Mengetahui hukum syarak Kerajaan Aceh. (10) Bersifat pemurah dan penyayang kepada fakir miskin. (11) Mengerti melaksanakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. (12) Mampu menjadi imam shalat Jum’at di mesjid. (13) Mampu menjadi khatib Jum’at di mesjid. (14) Bijaksana. (15) Mempunyai sifat malu dan tidak tamak. (16) Penyabar dan rendah hati. Disamping itu, ia juga harus mempunyai syarat-syarat tambahan, yaitu (1) ‘Alim ilmu saraf. (2) ‘Alim ilmu nahu. (3) ‘Alim ilmu fikah. (4) ‘Alim ilmu tauhid. (5) ‘Alim ilmu tasawuf. (6) ‘Alim ilmu hadits. (7) ‘Alim ilmu tafsir. (8) ‘Alim ilmu sejarah. (9) ‘Alim ilmu balaghah. (10) ‘Alim ilmu bayan. (11) ‘Alim ilmu ma’ani. (12) ‘Alim ilmu isti’arah. (13) ‘Alim ilmu mantik. (14) ‘Alim ilmu hisab dan handasah. Dan (15) ‘Alim ilmu adab. Abdullah Sani Usman, Nilai Sastra Ketatanegaraan dan Undang-Undang dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin, (Bangi: Penerbit University Kebangsaan Malaysia, 2005), hal. 30, 31 dan 33. 19 K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 53-55. 20 A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 124-125. 18

Aceh Serambi Mekkah

107

(wanita). (25) Si Saman. (26) Ahmad Jamil. (27) Ben Muhammad. (28) Si Nyak Ukah (wanita). (29) Khawaja Nasir. (30) Si Nyak Puan (wanita). (31) Abdul Majid. (32) Malik Salih Samir. (33) Khathib Mu’adham. (34) Imam Mu’adham. (35) Abdur Rahman. (36) Baday. (37) Bujang Arfasah. (38) Nadinasah (wanita). (39) Mayor Muhammad. (40) Zalmudamasah (wanita). (41) Penghulu Mu’alim. (42) Sri Diwa (wanita). (43) Si Sahat. (44) Si Manyak (wanita). (45) Si Sahit. (46) Sinyak Rihi (wanita). (47) Ahmad Ratib. (48) Si Madijan (wanita). (49) Si Habibah (wanita). (50) Si Mustafa. (51) Si Syadin (wanita). (52) Si Raju (wanita). (53) Si Aman Khan. (54) Zamzami Raja Megat. (55) Abu Gasiah. (56) Khawaja Rahsia. (57) Bada Maktuk. (58) Uli Puan (wanita). (59) Siti Awan (wanita). (60) Si Nyak Anggah (wanita). (61) Si Amana. (62) Si Nyak Tumpli (wanita). (63) Abdul Mukim. (64) Si Mawar (wanita). (65) Si Maneh (wanita). (66) Abdul Majid (67) Ibrahim. (68) Abdullah. (69) Umar. (70) Abdur Rahim. (71) Muhyiddin. (72) Harun. (73) Abdul Muththallib. Sedangkan sembilan anggota Badan Pekerja Majlis masa Sultanah Ratu Safiatuddin adalah: (1) Sinyak Tampli (wanita). (2) Ibrahim. (3) Abdullah. (4) Umar. (5) Abdur Rahim. (6) Muhyiddin. (7) Si Mawar (wanita). (8) Harun. (9) Abdul Muththalib.21 Dari gambaran perbandingan jumlah wanita dengan laki-laki dalam keanggotaan Majlis Mahkamah Rakyat yaitu 26 wanita dan 47 laki-laki, serta dalam Badan Pekerja 2 wanita dengan 7 laki-laki, menunjukkan persoalan gender ketika itu tidak merupakan masalah dalam tata pemerintahan Kerajaan Aceh. Di sisi lain, dengan jumlah wanita yang tergolong besar, memudahkan bagi Ratu Safiatuddin meloloskan undang-undang (peraturan) yang berkaitan dengan perbaikan nasib dan peningkatan kedudukan wanita dalam masyarakat Aceh. Karena Puteri Pahang yang mempelopori pembentukan Majlis Mahkamah Rakyat ini, maka nama Puteri Pahang diabadikan dalam sebuah hadih maja (kata-kata hikmah orangorang tua), yang berbunyi: Adat bak Poteu Meureuhom Hukom bak Syiah Kuala Kanun bak Putrou Phang Reusam bak Lakseumana. Terjemahan harfiyah: Hukum adat di tangan raja Hukum agama di tangan ulama Hak membuat undang-undang di tangan Majlis Mahkamah Rakyat Kekuasaan darurat/dalam keadaan perang di tangan laksamana. Hadih maja ini menggambarkan ajaran tentang pembagian kekuasaan negara Kerajaan Aceh ke dalam empat bentuk kekuasaan, yaitu: 1. Kekuasaan eksekutif atau kekuasaan politik (pemerintahan) berada di tangan sultan sebagai kepala negara, yang dilambangkan dengan Putroe Meureuhom (Sultan Iskandar Muda), 21

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 29. Keterangan ini berbeda dengan yang terdapat dalam buku “ 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu” yang juga dikarang oleh A. Hasjmy, yang mana nama-nama anggota Majlis Mahkamah Rakyat ini berbeda sebahagiannya dan jumlah wanita hanya 22 orang. A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 124-125.

108

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

sebagai pelopor lahirnya Adat Meukuta Alam (peraturan dalam Negeri Aceh). Adat bak putroe Meureuhom , artinya semua ketentuan yang berkaitan dengan adat atau tata aturan pemerintahan dipegang oleh sultan. 2. Kekuasaan yudikatif atau penyelenggaraan peradilan dan hukum syari’at berada di tangan ulama yang menjadi kadhi malikul adil (Ketua Mahkamah Agung), yang dilambangkan dengan Syiah Kuala (Abdurrauf as-Singkili), sebagai salah seorang ulama besar Kerajaan Aceh yang dikagumi oleh rakyat karena keilmuanya dan dianggap keramat, dan ia pernah menjabat kadhi malikul adil pada masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Safiatuddin (16421675 M). Hukom bak Syiah Kuala, artinya pemegang kekuasaan hukum adalah ulama. 3. Kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembuat undang-undang berada di tangan rakyat, yang diwakilkan pada lembaga Majlis Mahkamah Rakyat, dengan dilambangkan kepada Puteri Pahang, sebagai pelopor terbentuknya majlis tersebut. Kanun bak Putrou Phang, artinya pemegang kekuasaan pembuat undang-undang (kanun) adalah Majlis Mahkamah Rakyat. 4. Kekuasaan keamanan nageri berada di tangan laksamana (panglima tertinggi angkatan bersenjata). Reusam bak Lakseumana, (reusam artinya segala peraturan yang dibuat oleh pimpinan angkatan bersenjata yang berkaitan dengan bidang-bidang diplomatik, keprotokolan dan etika).22 Dalam Kanun al-Asyi ditetapkan ada empat jenis hukum yang melambangkan pembagian kekuasaan tersebut, yaitu: 1. Kekuasaan hukum (yudikatif) dipegang oleh Kadhi Malikul Adil. 2. Kekuasaan adat (eksekutif) dipegang oleh Sultan. 3. Kekuasaan qanun (legislatif) dipegang oleh Majlis Mahkamah Rakyat. 4. Kekuasaan reusam (hukum darurat) dipegang oleh Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang (tetapi pelaksanaannya ada di tangan laksamana).23 Dalam pelaksanaan ke-empat jenis hukum tersebut, Kanun al-Asyi menetapkan bahwa sultan dan ulama harus padu, harus menjadi dwi tunggal, tidak boleh terpisah, karena jika berpisah maka binasalah negeri. Sebagaimana tergambar dalam ungkapan berikut: “Barangsiapa mengerjakan hukum Allah dan meninggalkan adat, maka bersalahlah dia kepada dunianya. Barangsiapa mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, maka bersalahlah dia dengan Allah. Hendaklah dianggap bahwa hukum dan adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”.24 Hal ini juga tergambar dalam hadih maja “Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeuet” (hukum syara’ dengan adat, seperti zat Tuhan dengan sifat-Nya). Maksudnya bahwa kekuasaan politik (adat) dengan hukum Islam adalah seperti zat dengan sifat”Hukom ngon adat han jeuet cree lagee zat ngon sifeuet” (hukum syara’ tidak bisa dipisahkan dengan adat, seperti zat Tuhan dengan sifat-Nya; menjadi satu, tidak boleh dipisahkan, sehingga antara pemegang kekuasaan 22

A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 122-123. Muhammad Umar (EMTAS), Darah dan Jiwa Aceh; Mengungkap Falsafah Hidup Masyarakat Aceh, ( Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), hal. 20. Dan Cap Sikeuereng, Op.Cit, hal. 16. 23 Muhammad TWH, Heroiknya Syuhada Aceh, ( Medan: Yayasan Pelestarian Fatwa Perjuangan Kemerdekaan RI, 2002), hal. 18. 24 Ibid, hal. 18-19.

Aceh Serambi Mekkah

109

politik (sultan) dengan pemegang kekuasaan hukum (kadhi malikul adil) haruslah selalu ada kerjasama, harus menjadi zat dengan sifat. Hadih maja tersebut dalam kedudukannya sebagai filsafat hidup rakyat Aceh berarti: 1. Segala cabang kehidupan negara dan rakyat, haruslah berjiwa dan bersendikan Islam. 2. Wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh masyarakat dan negara telah menjadi satu. 3. Sifat gotong royong yang menjadi ciri khas Islam, telah menjadi landasan berpijak bagi rakyat dan kerajaan Aceh Darussalam, yang dalam bahasa Aceh disebut “meuseuraya”.25 Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pemisahan kekuasaan negara di Kerajaan Aceh belumlah berlaku secara mutlak. Hal ini tergambar pada ikut campurnya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman (yudikatif), seperti: 1. Wewenang untuk mengangkat hakim berada di tangan sultan, sehingga hakim itu dinamakan dengan “Kadhi Raja”. 2. Terlibatnya secara langsung pihak pemerintah dalam majlis hakim dari tingkatan terendah, yaitu keuchik sebagai ketua sidang Hukom Peujroh (pengadilan perdamaian) di tingkat gampong, hingga Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi, dimana sultan merupakan ketua majlis hakim.26 Hal serupa juga terjadi pada lembaga legislatif, seperti tergambar di atas, di mana ketua dari Badan Pekerja Majlis Mahkamah Rakyat adalah Orangkaya Laksamana Sri Perdana Menteri (eksekutif) dan Ketua Majlis Mahkamah Rakyat adalah Kadhi Malikul Adil (yudikatif). Itu artinya, pembagian kekuasaan negara di masa Kerajaan Aceh dulu masih bercampur aduk diantara ketiga kekuasaan negara; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ini tidak terlepas dari tuntutan zaman dan kondisi realitas sosio-cultural dan sosio-politik ketika itu yang mungkin menghendaki demikian. Apalagi Kerajaan Aceh yang menjadikan Islam sebagai ideologi negara, menghendaki jabatan kadhi malikul adil yang dijabat oleh mufti besar kerajaan yang merupakan seorang ulama besar yang disegani oleh seluruh masyarakat Aceh, dilibatkan dalam seluruh kekuasaan negara, baik pada lembaga yudikatif yang memang menjadi tanggungjawabnya, juga menjadi ketua pada lembaga legislatif dan menjadi penasehat pada lembaga eksekutif. Ini dimaksudkan supaya hukum yang berjalan di lembaga yudikatif harus sesuai dengan syari’at Islam, produk hukum yang dihasilkan di lembaga legislatif juga harus sesuai dengan syari’at Islam, dan roda pemerintahan (lembaga eksekutif) berjalan tetap di atas rel Islam. Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Kerajaan Aceh telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dari segi tata pemerintahan untuk ukuran di masa itu. Bahkan sistem ketatanegaraannya telah menyerupai bentuk pemerintahan modern. Sehingga pantas terukir dalam sejarah bahwa Kerajaan Aceh pernah menjadi Negara Adikuasa lima terbesar di dunia pada masa Sultan Iskandar Muda. 3. Struktur Pembagian Wilayah Kerajaan Aceh Wilayah kerajaan Aceh dapat dibagi kepada tiga daerah, yaitu Daerah Inti, Daerah Pokok dan Daerah Takluk. Daerah Inti adalah daerah yang dimiliki Kerajaan Aceh pada awal berdirinya kerajaan ini. Daerah ini terdiri dari daerah-daerah yang terletak di Aceh Besar dan ditambah 25

A. Hasjmy, Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 9,10 dan 11, 26 K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal . 56. Dan A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 96-97.

110

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

dengan Daya di daerah Aceh Barat. Daerah Pokok ialah daerah-daerah yang diduduki kemudian sesudah berdirinya Kerajaan Aceh. Daerah ini berhasil diintegrasikan dengan Daerah Inti sehingga terbentuklah sebuah kerajaan yang kokoh. Daerah-daerah Inti ditambah dengan Daerah-daerah Pokok inilah yang kemudian dinamakan Daerah Aceh. Daerah-daerah tersebut meliputi; Pidie, Samudera, Pase, Perlak, Tamiang, Gayo, Alas, Daerah Barat, Singkil, Teureumon dan Barus. Sedangkan Daerah Takluk adalah kerajaan-kerajaan yang terletak di luar Daerah Inti dan Daerah Pokok yang takluk kepada Kerajaan Aceh. Daerah ini tetap sebagai sebuah negara (kerajaan) yang merdeka, hanya dalam beberapa hal saja harus tunduk kepada Kerajaan Aceh, seperti dalam bidang ekonomi, perhubungan luar negeri dan sikap terhadap negara-negara lain. Antara Daerah Takluk dengan Daerah Inti dan Daerah Pokok tak pernah berhasil diintegrasikan meskipun bermacam-macam usaha dilakukan, misalnya melalui perkawinan, pemindahan penduduk, bahkan sampai pada pengangkatan sebagai Sultan Kerajaan Aceh. Di antara Sultan Kerajaan Aceh yang berasal dari Daerah Takluk ini adalah Sultan Mansur Syah (1579-1585 M) berasal dari Kerajaan Perak dan Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M) berasal dari Kerajaan Pahang. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), Aceh memiliki Daerah Takluk yang paling luas dalam sejarahnya. Daerah-daerah tersebut ialah Kerajaan Aru, Deli, Siak, Asahan, Tanjung Balai, Panai, Rokan Kampar, Indragiri, (Palembang dan Jambi dalam beberapa hal tunduk kepada Aceh, terutama dalam monopoli lada), Johor, Pahang, Kedah, Perak, Patani, Nias, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang, Salida, Indrapura dan Selebar. Namun pada akhir pemerintahan Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1677 M), hampir semua daerah-daerah tersebut lepas dari kekuasaan Kerajaan Aceh.27 Berdasarkan susunan pemerintahan, wilayah Kerajaan Aceh dibagi atas: gampong, mukim, nanggroe, sagoe dan kerajaan.28 3.1 Gampong Gampong adalah daerah hukum yang paling bawah. Pemerintahan gampong sebagai tingkat pemerintahan terendah dipimpin oleh seorang Keuchik yang dibantu oleh Tuha Peuet. Dan di setiap gampong terdapat Meunasah yang dipimpin oleh seorang ketua yang disebut dengan Teungku Meunasah (Imam Rawatib).29 K.F.H. Van Langen menjelaskan bahwa gampong merupakan daerah yang luas dengan penduduk yang banyak sehingga kesulitan bagi warganya untuk menjalankan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu, pengajian bagi anak-

27

Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Penerbit Monora, t.t),

hal. 85-86. 28

A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 133-134. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 74-75. Dan A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 31-32. Dalam buku Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, Zakaria Ahmad menyatakan bahwa wilayah Kerajaan Aceh dibagi atas: Gampong, Mukim, Nanggroe dan Kerajaan. Pembagian wilayah ini hanya terdapat di Daerah Inti dan Daerah Pokok. Di Daerah Takluk, struktur dan susunannya mempunyai corak sendiri-sendiri dan tidak pernah dicampuri oleh pemerintah pusat Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1677 M), diadakan tambahan atau sisipan dalam susunan wilayah Kerajaan Aceh yang berlaku khusus di Daerah Inti saja. Penambahan tersebut adalah diadakannya federasi dari Nanggroe yang dinamakan Sagoe. Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 86 dan 90. 29 A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 133. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 74. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 31. Dan A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 80.

Aceh Serambi Mekkah

111

anak dan sebagainya, maka gampong dibagi lagi kedalam meunasah-meunasah (binasah) atau lorong-lorong. Dan seorang Teungku Meunasah bukan saja sebagai imam rawatib dan pembimbing masalah-masalah keagamaan, tetapi juga berperan dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian, sehingga ia menjadi wakil Keuchik Gampong. Oleh karena itu, meunasah menjadi kesatuan rakyat terkecil dalam sebuah gampong. Khusus dalam Sagoe 22 Mukim, kepala gampong disebut Waki dan kepala lorong disebut Keuchik.30 Jadi di setiap gampong di Aceh memiliki satu atau lebih meunasah. Meunasah ini mempunyai banyak fungsi, di antaranya; tempat mufakat (musyawarah), tempat bermalam ureung tamong (musafir) yang kemalaman di gampong tersebut dan juga tempat tidur anak-anak muda di malam hari. Adapun fungsi meunasah yang paling penting adalah fungsi keagamaan, yaitu tempat anak-anak belajar agama, seperti; “beuet Qur`an” (belajar membaca/mengaji al-Qur`an), “meurunoe seumayang” (belajar shalat) dan tempat penduduk gampong shalat berjama’ah terutama di waktu maghrib. Waktu-waktu shalat itu biasanya ditandai dengan bunyi tambo (beduk) sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat, yang kemudian diiringi dengan azan.31 Fungsi lainnya adalah tempat pelaksanaan kenduri (makan bersama) dalam rangka peringatan maulid Nabi Muhammad Saw, kenduri memperingati Hasan Husen, kenduri nuzul al-Qur`an, kenduri peutamat daruh (khatam/tamat al-Qur`an) dan tempat penerimaan zakat fitrah di bulan Ramadhan.32 Kepala gampong atau Keuchik dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh seorang wakil yang disebut Waki. Disamping itu, Keuchik juga dibantu oleh korp pamong dari gampong yaitu Teungku Meunasah dan Ureung Ttuha (cerdik pandai dan orang-orang yang berpengalaman).33 Keuchik disamping berkewajiban memimpin jalannya roda pemerintahan gampong, ia juga berkewajiban untuk menjaga agar adat dan hukum berjalan dengan baik dan dipatuhi oleh warga gampong. Sedangkan Teungku Meunasah berkewajiban mengurus soalsoal yang berhubungan dengan masalah keagamaan, seperti: 1. Mengajar masyarakat agar mengenal dan taat kepada agama Islam. 2. Membina pengajian anak-anak di meunasah. 3. Menuntun dan membimbing calon pengantin, baik pria maupun wanita sebelum menikah. 4. Mengurus masalah nikah, thalak, fasakh dan rujuk 5. Menyelesaikan krisis rumah tangga bersama Keuchik dan Tuha Peut. 6. Mengurus kematian, seperti memandikan jenazah, mengkafani, menyembahyangkan, membuka kubur, memimpin upacara penguburan, pembacaan talqin/do’a. 7. Memberi nasihat-nasihat keagamaan yang diperlukan masyarakat. 8. Mengurus masalah peurae (pembagian harta warisan) bersama Keuchik dan Tuha Peut. 9. Selain itu, Teungku Meunasah juga diserahi tugas pelaksanaan pembayaran zakat fitrah dan zakat harta serta pembagiannya. Dan terhadap pelanggaran atau dalam istilah Aceh “adat

30

K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 12-13 dan 24-25. Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 87. Dan K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 24. 32 Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Adat dan Budaya Aceh, ( Banad Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2000), hal. 5. 33 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 87. Di sini nampaknya ada kontradiksi antara pendapat A. Hasjmy dengan Zakaria Ahmad. Sebagaimana dijelaskan di atas, menurut A. Hasjmy bahwa Keuchik dalam menjalankan 31

112

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

meulangga” yang kecil-kecil menjadi tanggung jawab Keuchik bersama Wakinya dengan dibantu oleh Teungku Meunasah.34 Penjelasan yang lebih rinci lagi sebagaimana terdapat dalam buku “Adat dan Budaya Aceh” dikatakan bahwa pimpinan pemerintahan gampong berada pada Keuchik yang dibantu oleh Waki (wakil) selaku pemelihara adat serta Imeum (teungku) Meunasah sebagai pemelihara agama. Dalam sistem pemerintahan gampong ini terdapat dua orang pemimpin sederajat yang mempunyai bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Keuchik bertanggungjawab atas roda pemerintahan, sedangkan Teungku bertanggungjawab dalam bidang kehidupan yang berkaitan dengan keagamaan dan kemashlahatan umat. Jadi di sini tergambar bahwa Keuchik sebagai kepala gampong, dalam melaksanakan tugasnya memimpin masyarakat dan gampong, ia bekerjasama dengan Teungku Meunasah atau disebut juga Teungku Gampong. Kedudukan Teungku Meunasah ini lebih stabil bila dibandingkan dengan kedudukan Kkeuchik. Di mana Keuchik mudah untuk diganti, sedangkan Teungku Meunasah tidak, sehingga ada teungku yang bertugas mulai diangkat sampai akhir hayatnya.35 Dalam bidang yang berkaitan dengan mata pencaharian hidup penduduk gampong, Keuchik dan Teungku dibantu oleh Keujruen Blang, bila penduduk bermata pencaharian petani di Sawah. Bila penduduk bermata pencaharian berkebun, dibantu oleh Peutua Seuneubok. Bila penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan, dibantu oleh Pawang Laot. Bila penduduk bermata pencaharian berladang atau berburu dan memungut hasil hutan, dibantu oleh Pawang Glee. Demikian pula dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, Keuchik dan Teungku dibantu oleh bermacam-macam tenaga ahli, seperti Seulangkee dalam masalah perjodohan dan perkawinan, Peunganjo dalam kegiatan acara perkawinan, Dukon atau Tabib dalam bidang pengobatan, Mabideun dalam bidang persalinan.36 Persyaratan umum seseorang dapat diangkat sebagai Keuchik bukan saja mampu memimpin sebuah gampong, tetapi harus juga mengetahui sekedarnya tentang hukum agama Islam. Lebih dari itu, seorang Keuchik harus mengetahui dengan baik hubungan kekerabatan antara penduduk dalam gampong yang dipimpinnya. Di samping itu, seorang Keuchik juga harus mengetahui sekedarnya tentang sejarah asal usul penduduk gampong, luas gampong dan luas tanah yang dimiliki oleh masing-masing penduduk. Dan yang paling penting, ia mengetahui serta menguasai benar adat-istiadat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat gampong itu. Keharusan memenuhi persyaratan tersebut oleh seorang Keuchik sehubungan dengan tugasnya sebagai pihak penyelesaian perkara/sengketa dalam gampong. Disamping persyaratan umum

roda pemerintahannya dibantu oleh Tuha Peuet, bukan Ureung Tuha sebagaimana dijelaskan oleh Zakaria Ahmad. Penulis menilai bahwa tidak ada kontradiksi di antara kedua mereka, dimana istilah Tuha Peuet itu sudah termasuk ke dalam istilah Urueng Tuha. Namun dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh istilah yang digunakan adalah Tuha Peuet. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 30. 34 Ibid. Dan Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Op.Cit, hal. 6. 35 Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Op.Cit, hal. 43. 36 Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Op.Cit, hal. 41.

Aceh Serambi Mekkah

113

itu, seorang keuchik juga harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu: 1. Orang laki-laki yang telah kawin atau pernah kawin dan telah bercucu. 2. Penduduk asli atau orang yang telah menetap di gampong tersebut sekurang-kurangnya dua generasi. 3. Berasal dari keluarga berada dan terhormat. 4. Berkelakuan baik dan tidak pernah tercela. 5. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kemampuan untuk memimpin. 6. Bersedia dengan tanpa imbalan untuk memimpin masyarakat gampong.37 Dari persyaratan khusus ini dapat digambarkan bahwa jabatan Keuchik merupakan jabatan pengabdian, bukan jabatan untuk mencari kekayaan. Orang yang dipilih menjadi Keuchikpun haruslah orang yang mempunyai kekayaan, sehingga tidak perlu mengharapkan imbalan dari tugasnya. Dan karena itu masyarakat menganggapnya sebagai jabatan mulia, sehingga orang yang memangku jabatan Keuchik merupakan orang yang dimuliakan. Disamping itu disyaratkan bahwa orang yang dipilih sebagai Keuchik adalah orang yang telah kawin dan bercucu. Itu artinya bahwa ia haruslah orang yang sudah dewasa, bahkan dapat dikatakan sudah tua. Ini dimaksudkan supaya orang yang dipilih sebagai Keuchik benar-benar orang yang matang pemikiran dan cukup pengalaman serta benar-benar mengetahui segala seluk beluk gampong. Sehingga jika timbul masalah atau sengketa, maka diharapkan ia dapat menyelesaikannya secara baik dan dapat diterima oleh semua pihak. Adapun Teungku Meunasah atau disebut juga Teungku Gampong merupakan orang yang bertanggungjawab dalam masalah keagamaan. Dan ia selalu dilibatkan oleh Keuchik dalam setiap rapat (musyawarah) untuk pengambilan suatu keputusan. Jika ada suatu keputusan yang diambil oleh Keuchik tanpa persetujuan Teungku Meunasah, maka akan mengalami berbagai hambatan dalam penerapannya. Dalam melaksanakan tugas, Teungku Meunasah dibantu oleh Saphai Baho Imeum (orang kepercayaan/wakil imam) dan Teungku Inong (teungku wanita) serta beberapa orang Teungku Cut, yaitu orang yang mengajar anak-anak mengaji al-Qur‘an di meunasah.38 Sedangkan Tuha Peuet adalah suatu lembaga musyawarah gampong yang terdiri dari empat unsur orang-orang yang dituakan dalam gampong tersebut. Unsur-unsur itu adalah unsur pemerintahan, unsur ulama, unsur cerdik pandai dan unsur pimpinan adat. Setiap pengambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan umum atau penyelesaikan perkara (perdata/ pidana) selalu dimusyawarahkan dengan lembaga ini. Secara harfiah, Tuha Peuet mengandung arti bahwa orang yang diangkat dalam lembaga ini harus memiliki empat syarat: 1. Tuha tuho, maksudnya ia mengerti dan tahu seluk beluk kemasyarakatan, tahu tentang hukum

37

T. Gazali (et.al), Lembaga Hukum Adat di Aceh; Kedudukan dan Peranannya Masa Kini, Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1990, hal. 22. Dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh ditetapkan bahwa syarat-syarat sebagai calon keuchik gampong adalah (1) telah berumur 40 tahun. (2) mengetahui hukum syarak syari’at Nabi Saw. (3) mengetahui hukum syarak Kerajaan Aceh. (4) berasal dari keturunan yang baik. (5) tidak mempunyai musuh di dalam gampong. (6) bersifat berani pada yang benar. dan (7) takut pada perkara yang salah. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 30 38 Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Op.Cit, hal. 43-44.

114

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

adat dan hukum Islam, tahu asal usul penduduk gampong, tahu luas tanah yang dimiliki oleh masing-masing penduduk, dan lain-lain. 2. Tuha turi droe, maksudnya ia memiliki kepribadian yang sudah matang, dan ia merupakan orang yang dituakan oleh penduduk gampong, sehingga ia bisa menjadi teladan dan tidak melakukan perbuatan tercela. 3. Tuha meupro, maksudnya ia harus mampu menjadi pengayom, dan mampu memberikan bimbingan serta mampu menyelesaikan persoalan dan memutuskan sesuatu keputusan secara bijaksana. 4. Tuha gaseh ngon keu nanggroe dan keu agama. Artinya ia harus setia kepada negara dan agama Islam.39 3.2 Mukim Perkataan mukim berasal dari Bahasa Arab “muqim” artinya “bertempat tinggal di suatu tempat”. Oleh orang Aceh diterjemahkan sebagai suatu wilayah tempat menetap yang terdiri dari beberapa perkampungan. Menurut keterangan K.F.H. Van Langen, mukim dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda. Ini merupakan suatu bentuk reformasi terhadap sistem ketatanegaraan Aceh, yaitu pembagian ketatanegaraan Aceh dalam bentuk kemukiman yang dipimpin oleh seorang Imeum mukim. Sebelumnya hanya dikenal dengan gampong yang merupakan satu kesatuan masyarakat dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah oleh seorang ketua (kepala) yang dinamakan Keuchik. Kemukiman ini dibentuk dalam rangka memperkuat persatuan masyarakat dalam hal keagamaan. Setiap mukim memiliki sebuah mesjid yang dijadikan sebagai tempat shalat Jum’at, serta ibadat-ibadat lainnya, tempat musyawarah, tempat belajar agama dan pusat segala kegiatan umat lainnya bagi orang-orang yang ada di gampong-gampong dalam kemukiman tersebut.40 Dan pada mulanya pembentukan mukim didasarkan pada jumlah penduduk laki-laki yang mampu bertempur melawan musuh sebanyak 1.000 (seribu) orang.41 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mukim merupakan federasi dari beberapa gampong. Setiap mukim paling kurang terdiri dari delapan gampong. Pada masa Sultan Iskandar Muda, di seluruh kerajaan Aceh hanya terdapat 7 buah mesjid, yaitu: · Mesjid Baiturrahim, terletak di Kutaraja (Keraton) · Mesjid Baiturrahman, terletak di Pusat Kota Banda Aceh · Mesjid Indrapuri, terletak di Sagoe 22 Mukim · Mesjid Indrapura, terletak di Kuala Neujid atau Pancu dalam VI Mukim Sagoe 25 · Tiga buah mesjid di Ladong, Cadek dan Kreung Raya dalam Sagoe 26 Mukim.42

39

Ibid, hal. 45-46. A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 133-134. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 75. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 31. Dan A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 80-81. 41 K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 11 dan 13. 42 Ibid, hal. 11-12. Menurut penulis, pendapat K.F.H. Van Langen yang menyatakan bahwa di seluruh Aceh hanya ada tujuh mesjid saja, maksudnya mesjid yang ada dalam kawasan Daerah Inti (Aceh Besar), tidak termasuk di luarnya, baik mesjid yang terdapat di Daerah Pokok maupun di Daerah Takluk. 40

Aceh Serambi Mekkah

115

Adapun syarat-syarat calon imeum mukim sebagaimana tertera dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh adalah sebagai berikut: 1. Bukan bekas hamba sahaya. 2. Telah berumur 40 tahun. 3. Mengetahui hukum syarak Allah syari’at Nabi Saw. 4. Berasal dari keturunan orang yang baik. 5. Tidak mempunyai musuh di dalam gampong. 6. Bersifat berani pada yang benar. 7. Takut pada perkara yang salah. 8. Dapat menahan amarah. 9. Mengetahui hukum syarak Kerajaan Aceh. 10. Bersifat pemurah dan penyayang kepada fakir miskin. 11. Mengerti melaksanakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. 12. Mampu menjadi imam shalat Jum’at di mesjid. 13. Mampu menjadi khatib Jum’at di mesjid. 14. Bijaksana. 15. Mempunyai sifat malu dan tidak tamak. 16. Penyabar dan rendah hati.43 Syarat calon Imeum Mukim lebih sempurna dibandingkan dengan syarat calon Keuchik, karena Imeum Mukim dapat dinaikkan jabatannya menjadi Uleebalang, yaitu panglima perang, bahkan menteri dalam Kerajaan Aceh. Imeum Mukim itu pada awalnya hanyalah berfungsi sebagai imam shalat Jum’at dan masalah-masalah keagamaan. Namun dalam perkembangannya, ia juga mengurus masalah-masalah keduniawian, sehingga lambat-laun para Imeum Mukim itu menyerahkan urusan-urusan agama kepada orang lain (pegawai khusus: Imeum mesjid, khatib dan bilal), supaya mereka (para Imeum Mukim) lebih dapat berkonsentrasi pada masalah pemerintahan mukim. Oleh karenanya, ketua yang memerintah sesuatu mukim kadangkala dinamakan Imeum Mukim atau Imeum Adat, ini untuk membedakan dengan imam shalat di mesjid. Hal ini juga menyebabkan para Keuchik dari gampong yang melebur dalam suatu mukim menjadi bawahan Imeum Mukim tersebut.44 Imeum Mukim bertugas menjalankan roda pemerintahan mukim bersama-sama pembantunya, yaitu Kadhi Mukim dengan beberapa orang Waki. Secara umum, tugas Imeum Mukim adalah: · Bertindak sebagai wakil Uleebalang untuk mengumumkan segala perintahnya serta membantu pelaksanaan perintah itu di wilayah kekuasaannya. · Mengkoordinasikan pemerintahan gampong. · Menyelesaikan perkara (perdata/pidana) di wilayah kekuasaannya yang tidak sanggup diselesaikan oleh pemerintahan gampong.45

43

Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 30-31. Ibid, hal. 12. Dan Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 88-89. 45 Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Op.Cit, hal. 47. Dan A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 31. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 31. 44

116

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Pada permulaan pembentukan mukim, seseorang yang dapat diangkat sebagai Imeum Mukim adalah orang yang memiliki pengetahuan agama (malem), tetapi sesudah urusan agama dan urusan mesjid diserahkan kepada pegawai khusus, maka Imeum Mukim kebanyakan diangkat dari cerdik pandai dan lambat-laun akhirnya secara turun temurun. Pada awalnya Imeum Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Uleebalang setelah mendengar pertimbangan dari Keuchik dan pemimpin sosial setempat. Jika Imeum Mukim berhalangan atau tidak mampu membela kepentingan mukimnya, maka Uleebalang akan menunjuk orang lain sebagai penggantinya.46 Dalam melaksanakan tugasnya, Imeum Mukim dibantu oleh beberapa aparat mukim, yaitu Imeum Mesjid, Keujruen Muda, Panglima Laot, Peutua Seuneubok, Panglima Uteun dan Tuha Peuet Mukim. Imeum Mesjid (imam mesjid) merupakan pembantu Imeum Mukim dalam bidang keagamaan. Dia diangkat atas pertimbangan dari para Imeum Meunasah serta tokoh-tokoh masyarakat dari mukim yang bersangkutan. Ia dibantu oleh seorang khatib dan seorang bilal (bileue). Adapun tugas Imeum Mesjid adalah: 1. Memimpin dan mengurus berbagai kegiatan dan bertanggungjawab terhadap kemakmuran mesjid. 2. Memimpin dan mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan dan peribadatan dalam wilayah mukimnya. 3. Memberi saran-saran serta pertimbangan, termasuk fatwa hukum kepada Imeum Mukim, dalam hal yang berkaitan dengan hukum Islam. 4. Mengawasi dan mengurus seluruh harta agama yang termasuk dalam wilayah mukimnya. 5. Melaksanakan berbagai kegiatan lain yang berhubungan dengan pendidikan agama dan syiar Islam.47 Keujruen Muda merupakan pembantu Imeum Mukim dalam bidang pertanian. Dia diangkat atas pertimbangan dari para Keujruen Blang dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, serta mempunyai keahlian dalam bidang pertanian, termasuk dalam hal menentukan waktu yang cocok untuk turun ke sawah (kalon keutika). Keujruen Muda mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Memimpin pekerjaan dalam membuat dan memperbaiki sumber-sumber air/waduk, tali air dan lain-lain. 2. Bekerjasama dengan para Keujruen Blang di wilayahnya dalam hal penggunaan air untuk sawah, pemeliharaan bangunan sumber air, penyelesaian perselisihan yang timbul antar petani, penentuan waktu-waktu turun ke sawah, pengaturan penggunaan air, penaburan bibit serta berbagai upacara adat yang berhubungan dengan persawahan 3. Mengatur penentuan waktu yang diperbolehkan untuk melepas hewan di sawah, serta menyelesaikan perselisihan antara pemilik ternak dengan petani sawah ketika hewan ternak memakan padi.

46

Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 88-89. Dan Marjasin (et.al), Lembaga-Lembaga Adat di Pedesaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Hasil Penelitian, Kerjasama Bandes, Unsyiah dan APDN, 1991), hal. 23. 47 Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Op.Cit, hal. 48-49.

Aceh Serambi Mekkah

117

4. Mengatur dan memimpin pemberantasan hama. 5. Memberi saran dan membantu Imeum Mukim dalam hal usaha perbaikan untuk peningkatan hasil pertanian, guna meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan para petani.48 Panglima Laot merupakan pembantu Imeum Mukim dalam bidang laot (nelayan). Seseorang yang dipilih sebagai Panglima Laot harus memiliki keahlian dalam bidang nelayan dan memiliki kharisma dalam kepemimpinannya. Pemangku jabatan ini dipilih oleh warga nelayan pemukiman wilayah hukum adat laut. Mereka yang tergolong dalam warga nelayan adalah Pawang Laot, Pawang Pukat, Aneuk Pukat dan Aneuk Jalo Kawe. Jabatan Panglima Laot biasanya tanpa ada batas waktu tertentu. Seorang Panglima Laot akan tetap dipertahankan jabatannya, selama ia masih dipercayakan untuk memimpin para nelayan. Dalam mengkoordinator kegiatan para nelayan, Panglima Laot dibantu oleh Pawang Laot. Jabatan Panglima Laot tidak selalu dapat dikaitkan dengan batas-batas mukim, karena batas kawasan kewenangan seorang Panglima Laot lebih didasari pada batas pantai antara muara dengan sungai. Di masing-masing wilayah, Panglima Laot merupakan ketua adat laot. Seorang Panglima Laot mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan adat yang berlaku dalam hal penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur tempat penangkapan ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan sengketa bagi hasil.49 Peutua Seuneubok adalah pimpinan adat yang mengatur ketentuan tentang pembukaan lahan untuk pertanian/perkebunan. Wewenang Peutua Seuneubok lebih terpusat pada kegiatan membagi dan menentukan batas lahan untuk masing-masing petani, menggerakkan petani bergotong-royong membangun prasarana perkebunan, dan menyelesaikan perselisihan diantara petani kebun. Sedangkan Panglima Uteun merupakan petugas kehutanan yang bertugas mengelola pemanfaatan hasil hutan dan melestarikannya.50 Tuha Peuet mukim adalah sebuah lembaga musyawarah mukim yang berfungsi untuk pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat dalam kemukiman tersebut, baik dalam perkara perdata maupun pidana yang tidak sanggup diselesaikan pada tingkat gampong. Demikian juga terhadap perkara yang terjadi antar gampong, seperti masalah batas wilayah, perkelahian antar gampong, jual beli yang terjadi antar gampong dan sebagainya.51 Ada empat unsur yang duduk dalam Tuha Peuet mukim, yaitu: 1. Imuem Mukim, sebagai wakil pemerintah. 2. Imeum Mesjid, mewakili unsur ulama. 3. Ureung Tuha, mewakili cerdik pandai yang dituakan. 4. Ureung Teumeupeu, mewakili keahlian tertentu, seperti keujreun blang, panglima laot dan lain-lain, sebagai unsur pemuka adat. Dan dalam hal tertentu, Tuha Peuet ini berkembang menjadi Tuha Lapan. Lembaga ini terdiri dari delapan unsur yang duduk di dalamnya, yaitu: 1. Unsur Uleebalang atau yang mewakilinya. 2. Unsur Imeum Mukim, sebagai kepala pemerintahan setempat.

48

Ibid. Ibid, hal. 50. 50 Ibid, hal. 51. 51 Ibid, hal. 51-52. 49

118

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

3. Unsur ulama, biasanya diwakili oleh salah seorang Teungku Chik. 4. Unsur Ureung Tuha (cerdik pandai). 5. Unsur Uereung Teumeupeu (pimpinan adat). 6. Unsur Ureung Meuso (wakil orang yang dihormati). 7. Unsur Ureung Inong (wakil perempuan). 8. Unsur Ureung Muda (wakil pemuda).52 3.3 Nanggroe Wilayah nanggroe (negeri) kira-kira sama dengan daerah kecamatan sekarang. Nanggroe dipimpin oleh seorang Uleebalang (hulubalang) dan dibantu oleh seorang Kadhi Nanggroe. Seorang Uleebalang memperoleh kedudukannya secara turun temurun. Mereka terdiri dari kaum bangsawan (feodal). Panggilan terhadap seorang Uleebalang ialah “Teuku Ampon”. Keluarga atau keturunan uleebalang disebut “Teuku” untuk laki-laki dan “Cut” untuk perempuan. Uleebalang mempunyai gelar khusus yang berbeda, menurut nanggroenya masing-masing; umpamanya ada yang bergelar Teuku Laksamana, Teuku Bentara, Teuku Bendahara, dan sebagainya. Seorang Uleebalang mempanyai hak otonomi yang luas terhadap daerah kekuasaannya. Satu daerah Uleebalang ada yang terdiri-dari tiga mukim, empat mukim, lima mukim, enam mukim, tujuh mukim, delapan mukim dan sembilan mukim.53 Di Gayo dan Alas, Uleebalang ini dinamakan Keujruen dan menerima kekuasaannya sebagaimana Uleebalang lainnya dari sultan. Seseorang yang memangku jabatan Uleebalang menerima surat pengangkatannya dari sultan yang berupa sarakata (surat putusan sultan) dengan dibubuhi “cap sikureung” (cap sembilan) yang merupakan lambang dari kekuasaan Sultan Aceh. Uleebalang yang mendapat hak-hak istimewa dan tugas-tugas istimewa dari sultan dinamakan “Uleebalang Potue”.54 Kekuasaan Uleebalang sangat besar, karena nanggroe sebagai daerah kekuasaannya merupakan daerah otonomi yang luas. Banyak urusan pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu diserahkan sepenuhnya kepada Uleebalang. Sering pula Uleebalang itu bertindak sebagai penguasa daerah yang merdeka, sehingga kekuasaan sultan hanya sebagai formalitas saja. Ini terjadi pada saat Kerajaan Aceh mengalami kemunduran, kira-kira sesudah abad ke-17 M. Uleebalang di Daerah Inti (Aceh Besar) ada yang berada di bawah Panglima Sagoe dan ada yang langsung di bawah sultan. Sedangkan Uleebalang di luar daerah Aceh Besar langsung di bawah sultan. 55

52

Ibid, hal. 52. A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 134. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 75. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 31. A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 81. Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 89. Dan Abdullah Ali (et.al), Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, t.t, hal. 17. Dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh ditetapkan bahwa wilayah yang diperintahkan oleh seorang uleebalang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga buah mukim dan sebanyak-banyaknya enam belas buah mukim. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 31. 54 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 89. 55 Ibid, hal. 90. Dan H.M. Zainuddin, Op.Cit, hal. 334. 53

Aceh Serambi Mekkah

119

Tata cara pemilihan Uleebalang sebagaimana tertera dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dilakukan oleh Imeum Mukim, Keuchik dan pendampingnya. Pemilihan Uleebalang hendaklah sesuai dengan mufakat anggota pemilih dari wakil tiap-tiap gampong. Adakalanya pemilihan dilakukan oleh dua belas gampong. Ini hendaklah disetujui oleh mufakat ‘alim ulama dengan anggota pemilih yang lain. Pemilihan Uleebalang yang khusus yaitu sebagai panglima perang, harus dilakukan karena setiap mukim harus ada seorang panglima perang yang bertindak sebagai pegawai besar kerajaan. Untuk menjadi calon Uleebalang atau panglima perang yang merupakan kaki tangan kerajaan mestilah memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1. Uleebalang haruslah memiliki syarat yang dimiliki Imeum Mukim, yaitu enam belas syarat, serta membebankan dan menyuruh amar makruf dan nahi mungkar. 2. Berdasarkan hasil rapat mufakat dengan rakyat. 3. Senantiasa memelihara kehormatan rakyat. 4. Tidak merampas harta rakyat secara zalim. 5. Harus berpandukan hukum syarak Allah syari’at Nabi Muhammad Saw. 6. Serta juga berpandukan hukum syarak Kerajaan Aceh.56 Adapun tugas Uleebalang itu antara lain, yaitu memimpin pemerintahan nanggroe, menjalankan perintah-perintah sultan yang tercantum dalam surat keputusan sultan (sarakata), adat dan hukum, serta menyediakan prajurit-prajurit bila dibutuhkan yang direkrut dari penduduk nanggroe dengan dipimpin oleh seorang panglima perang yang diberi gelar “Pang” di belakang namanya.57 3.4 Sagoe Pembagian wilayah Kerajaan Aceh dalam bentuk federasi beberapa nanggroe yang disebut Sagoe merupakan bentuk reformasi ketatanegaraan yang dilakukan oleh Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1677 M). Federasi ini hanya dibentuk di Daerah Inti (Aceh Besar) dalam tiga federasi, sehingga disebut dengan Aceh Lhei Sagoe (Aceh tiga sagi). Daerah Aceh Besar yang tidak termasuk dalam tiga sagi itu adalah Kutaraja dan Mesjid Raya, yang merupakan Pusat Pemerintahan Kerajaan Aceh yang langsung berada di bawah perintah sultan. Kepala pemerintahan di daerah sagoe ini dinamakan Panglima Sagoe. Kedudukan Panglima Sagoe adalah sebagai koordinator dari nanggroe yang tergabung dalam sagoe. Bila kerajaan dalam keadaan bahaya, maka seluruh kekuasaan pemerintahan sipil dan militer berada di tangan Panglima Sagoe yang menjalankan kekuasaannya atas nama sultan.58 Federasi Aceh Lhei Sagoe terdiri dari Sagoe Duaplooh Dua di sebelah Selatan Aceh Besar, Sagoe Teungoh Lheiplooh di sebelah Barat Aceh Besar dan Sagoe Duaplooh Nam di sebelah Timur Aceh Besar. Sagoe Duaplooh Dua, yang terdiri dari 22 mukim, dipimpin seorang panglima sagoe yang bergelar Panglima Polem Sri Muda Perkasa, dan dibantu seorang 56

Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 31-32. Ibid. 58 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 90. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh ..., hal. 31. dan K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 14. 57

120

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

kadhi sagoe yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil. Sagoe Teungoh Lheiplooh, yang terdiri-dari 25 mukim, dipimpin seorang Panglima Sagoe yang bergelar Kadhi Malikul Alam Sri Setia Ulama, dan dibantu seorang kadhi sagoe yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil. Dan Sagoe Duaplooh Nam, terdiri dari 26 mukim, dipimpin oleh seorang panglima sagoe yang bergelar Sri Imam Muda ‘Oh dan dibantu seorang kadhi sagoe yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil.59 Pada awalnya, pengangkatan para Panglima Sagoe itu tidaklah dimaksudkan untuk penyelenggaraan pemerintahan sendiri-sendiri terhadap suatu negeri, tetapi lebih untuk tugas pengawasan terhadap perintah-perintah sultan (pemerintah pusat) yang disampaikan kepada para Uleebalang, apakah benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya atau tidak. Panglima Sagoe pertama tidak dipilih dari kalangan pejabat pemerintah seperti Uleebalang, melainkan dari kalangan sultan sendiri. Diriwayatkan bahwa seorang putera Sultan Iskandar Muda yang dilahirkan oleh seorang budak wanita Habsyi di daerah Sagoe 22 Mukim, diangkat menjadi Panglima Sagoe di Sagoe 22 Mukim itu.60 Kedudukan ketiga Panglima Sagoe itu sangat kuat, antara lain berfungsi sebagai pemberi kata akhir dalam hal pengangkatan dan pemberhentian seorang Sultan. Sebagaimana diatur dalam Kanun al-Asyi yang telah disempurnakan, yang ikhtisarnya: 1. Yang berhak memilih dan memakzulkan sultan adalah: a. Seri Imeum Muda Panglima Cut ‘Oh, Panglima Sagoe 26 Mukim. b. Seri Setia Ulama, Panglima Sagoe 25 Mukim. c. Seri Muda Perkasa Panglima Polem, Panglima Sagoe 22 Mukim d. Kadhi Malikul Adil, mufti besar kerajaan. 2. Seorang sultan yang akan diangkat berkewajiban membayar: a. 32 kati emas murni sebagai jinamee. b. 16.000 ringgit uang tunai sebagai dapha. Jinamee dan dapha tersebut dibagi kepada: a. Panglima Sagoe 26 Mukim, Panglima Sagoe 25 Mukim dan Panglima Sagoe 22 Mukim, masing-masing 10 kati emas dan 5.000 ringgit. b. Kadhi Malikul Adil, 2 kati emas dan seribu ringgit.61 3.5 Kerajaan Kerajaan adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di Ibukota Negara yaitu Banda Aceh Darussalam, yang kadang-kadang disebut Bandar Darussalam dan Darul Makmur. Kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil. Sultan ini oleh orang Aceh sendiri biasanya dipanggil “Raja” atau “Poteu”, sehingga panggilan “Sultan Aceh” biasanya disebut “Raja Aceh”, dan turunannya memakai gelar “Tuanku”. Sultan dalam menjalankan roda pemerintahan pusat dibantu oleh perdana menteri, wazir (menteri) dan lembaga-lembaga negara lainnya.62

59

Ibid. A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 75. Dan A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 81. K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 14-15. 61 A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka...., hal. 189-190. 62 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 91. Dan A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 32. 60

Aceh Serambi Mekkah

121

Pada masa Sultan Iskandar Muda dikenal adanya lembaga yang bernama: · Balai Rong Sari yang beranggotakan empat orang Uleebalang terbesar di Aceh Besar. · Balai Gadeng yang beranggotakan 22 orang ulama besar di Aceh. · Balai Majlis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73 orang yang merupakan wakil dari 73 Mukim. Pada masa Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1677 M), Balai Majelis Mahkamah Rakyat ini disempurnakan dengan menambah 15 orang anggota wanita.63 Jabatan-jabatan lainnya yang dikenal di pemerintahan pusat Kerajaan Aceh yaitu jabatan semacam protokol istana yang bertugas mengatur upacara dan pertemuan di istana. Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ri‘ayat Syah al-Mukammal (1589-1604 M), jabatan ini pernah diserahkan kepada seorang wanita yang berpangkat Laksamana Angkatan Laut Malahayati.64 Di Daerah Takluk, sultan menempatkan wakilnya untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah tersebut, seperti di daerah Pantai Barat Sumatera, Pantai Timur Sumatera dan Semenanjung Malaya. Misalnya, pada masa pemerintahan Al-Qahhar (1539-1571 M), ditempatkan anaknya yaitu Raja Mughal dan Raja Abdullah di Pariaman dan Aru sebagai wakil sultan. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda menempatkan wakilnya di Johor yaitu Orangkaya Raja Lelawangsa. Penempatan wakil sultan itu kadangkala diikuti dengan pengiriman bala tentara, jika keadaan di daerah tersebut tidak aman.65 Adapun persyaratan menjadi Sultan Kerajaan Aceh ada 21 syarat pokok, yaitu: 1. Islam. 2. Merdeka. 3. Seboleh-bolehnya laki-laki. 4. Akal-baligh. 5. Keturunan baik-baik. 6. Berani, lapang tiada khianat. 7. Adil mengerjakan hukum Allah dan Rasul. 8. Memelihara sekalian perintah agama Islam. 9. Membela rakyat dengan insaf, kasih sayang orang teraniaya. 10. Sanggup memelihara negeri. 11. Sanggup melengkapi laskar. 12. Sanggup menjaga para menteri, uleebalang, para perwira dan saudagar/pengusaha agar jangan menyeleweng dari rel kanun. 13. Sanggup mengumpulkan zakat fitrah. 14. Sanggup memelihara harta baitul mal. 15. Sanggup menghukum segala orang yang bersalah, melanggar hukum. 16. Sanggup menyuruh sembahyang Jum’at dan sembahyang berjama’ah. 17. Sanggup menyelesaikan perkara-perkara, selang-sengketa antara rakyat. 18. Sanggup menerima saksi dalam perkara-perkara.

63 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 92. Dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dijelaskan bahwa di setiap Balai itu (Rong Sari, Gadeng dan Majlis Mahkamah Rakyat) terdapat tujuh orang ‘alim ulama yang bermazhab ahli sunnah wal jama’ah. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 42. 64 Ibid. 65 Ibid, hal. 93.

122

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

19. Sanggup memelihara kanak-kanak laki dan perempuan yang tiada walinya. 20. Sanggup membagi harta ghanimah kepada yang mustahak. 21. Sanggup membagikan pekerjaan para menteri dan pejabat-pejabat lainnya.66 Tatacara pemilihan sultan dan pengganti sementara jika sultan mangkat, sebagaimana tertera dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh adalah sebagai berikut: Jika sultan mangkat, maka Kadhi Malikul Adil yang menjabat sebagai wakil sementara sultan. Kemudian dilakukan pemilihan sultan yang baru dengan anggota pemilihan sultan terdiridari: 1. Keuchik, Wakil Keuchik, Imam Rawatib Meunasah Sagoe dan Tuha Peuet yang berjumlah tujuh orang pada tiap-tiap gampong seluruh Aceh. 2. Seluruh Imeum Mukim. 3. Seluruh Uleebalang pada tiap-tiap daerah. 4. Kadhi Malikul Adil. 5. Syeikh, imam, mufti empat mazhab. 6. Kadhi Mu’adham. 7. Kadhi-kadhi daerah uleebalang. 8. Mangkubumi empat orang. 9. Menteri mizan empat orang. 10. Perdana menteri dua orang. 11. Keurukun katib al-muluk. 12. Laksamana menteri peperangan. 13. Menteri dalam negeri. 14. Menteri luar negeri. 15. Menteri keadilan sekalian hakim. 16. Menteri dirham (keuangan). 17. Menteri harta wakaf. 18. Menteri binaan. 19. Menteri jual beli bale furzah. 20. Menteri rimba. 21. Menteri pertanaman. 22. Menteri purba. 23. Uleebalang empat sekalian Majlis Mahkamah Bale Rong Sari. 24. Uleebalang delapan sekalian majlis anggota Bale Gadeng.

66

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 82. Dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 135. Kutipan A. Hasjmy ini berbeda dengan yang terdapat dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh, yang menetapkan 23 syarat, tetapi berbeda syaratnya, yaitu (1) Beragama Islam. (2) Berketurunan baik-baik. (3) Berakal-baligh. (4) Warga Negara Aceh. (5) Berani. (6) ‘Alim. (7) Pandai, cerdik dan bijaksana. (8) Adil. (9) Pengasih dan lembut hati. (10) Mengetahui lughah. (11) Menepati janji. (12) Tidak safih. (13) Baik anggota. (14) Sempurna panca indera. (15) Benar berbicara (bukan penipu). (16) Kasih sayang. (17) Sangat penyabar. (18) Dapat menahan amarah. (19) Sangat pemaaf. (20) dapat memelihara hawa nafsu jahat. (21) Teguh dan selalu bertawakal kepada Allah. (22) Selalu bersyukur kepada Allah. (23) Bersifat adil. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 38.

Aceh Serambi Mekkah

123

25. Semua anggota Bale Mahkamah Rakyat. 26. Semua ‘alim ulama syara’ ahli sunnah wal jama’ah dan cerdik pandai di seluruh Kerajaan Aceh. Barangsiapa diantara anggota pemilihan sultan berhalangan menghadiri pemilihan, maka ia boleh menunjuk wakil untuk mewakilinya dengan menyertakan tanda atau cap dan persembahan khas sebagai bukti dari yang diwakilinya. Apabila seluruh anggota pemilihan telah hadir, maka mereka bermusyawarah dengan kesepakatan ‘alim ulama, kemudian barulah dibuat pilihan siapa yang layak diangkat menjadi “Sultan Aceh” dengan semua syaratnya. Keputusan pemilihan ini merujuk kepada suara terbanyak dari anggota pemilihan sultan 4. Peraturan Perundang-undangan Kerajaan Aceh Kerajaan Aceh dibangun atas dasar ajaran Islam, dan Kerajaan Aceh mengaku sebagai Negara Hukum. Dalam Kanun al-Asyi termaktub ungkapan: “Bahwa Negeri Aceh Darussalam adalah Negeri Hukum yang mutlak sah, dan bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali rakyat”.67 Adapun jenis-jenis hukum yang berlaku di Kerajaan Aceh, dalam Kanun al-Asyi termaktub: 1. Hukum syar’i, adat syar’i, kanun syar’i dan reusam syar’i. Yaitu hukum dasar atau undang-undang pokok yang mengatur keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketentaraan, sumbernya al-Qur‘an, hadits, ijma’ dan qiyas. 2. Hukum aridli, adat aridli, kanun aridli dan reusam aridli. Yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah (sultan atau para wazir) untuk mengatur masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketentaraan. 3. Hukum dharuri, adat dharuri, kanun dharuri dan reusam dharuri. Yaitu undang-undang atau peraturan-peraturan darurat yang langsung dibuat/dijalankan oleh sultan sebagai Penguasa Tertinggi Angkatan Perang, untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketentaraan, bila kerajaan dalam keadaan perang. 4. Hukum nafsi, adat nafsi, kanun nafsi dan reusam nafsi. Yaitu peraturan-peraturan istimewa yang khusus dibuat oleh sultan untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketentaraan. 5. Hukum urfi, adat urfi, kanun urfi dan reusam urfi. Yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penguasa daerah untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan dan ketentaraan.68 Berkaitan dengan adat, menurut H.M. Zainuddin, masyarakat Aceh membagikannya kepada tiga macam, yaitu: 67

A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 25. Dan A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 69-70. Ibid, hal. 25-26. Kutipan A. Hasjmy ini berbeda dengan yang terdapat dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh yang menetapkan ada 10 (sepuluh) jenis hukum yang berlaku di kerajaan Aceh, yaitu (1) syar’î, (2) ‘arîdl, (3) dharûrî, (4) nafsî, (5) nazarî, (6) ‘uruf, (7) ma’ruf, (8) muqâbalah, (9) mu’âmalah, dan (10) ijmâ mahkamah jam’iyah. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 42-43. 68

124

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

1. Adat tullah, ialah aturan dan ketentuan yang berdasarkan Kitabullah (al-Qur‘an). Adat tullah tidak boleh diubah-ubah, dan harus disyi’arkan dalam masyarakat. 2. Adat mahkamah, ialah aturan dan ketentuan yang dibuat Mahkamah Rakyat atau yang diputuskan oleh pemerintah, seperti Adat Meukuta Alam. Termasuk juga adat perkawinan, adat blang, adat laot, adat glee, adat peukan, adat kuwala, adat seuneubok, adat memelihara hewan dan lain-lain. 3. Adat tunah, ialah adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan harus sesuai dengan adat tullah dan adat mahkamah. Apabila adat tunah tersebut tidak sesuai dengan adat tullah dan adat mahkamah, maka adat tersebut tidak boleh dijadikan adat (tidak sah). Adat tunah ini dibuat (disusun) oleh masing-masing negeri daerah (panglima sagoe, uleebalang dan badan-badan masyarakat hukum) demi kelancaran berjalannya adat tullah dan adat mahkamah .69 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Aceh tentang adat, hukum dan kanun adalah sama. Hal ini dikarenakan semua peraturan yang berlaku di Kerajaan Aceh harus berlandaskan syari‘at Islam, sehingga aturan yang berlaku, baik dalam bentuk hukum syar’i, adat dan kanun, semuanya sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Ini sesuai dengan ungkapan peribahasa Aceh: “Hukom ngon adat han jeuet cre lagee zat ngon sifeuet” (hukum syara’ tidak bisa dipisahkan dengan adat, seperti zat Tuhan dengan sifat-Nya. Dan dalam ungkapan lain dikatakan: “Hukom ngon adat lagee mata itam ngon mata puteh” (hukum syara’ dengan hukum adat, seperti biji mata hitam dengan mata putih). 4.1 Adat Meukuta Alam Diantara hukum adat yang sangat terkenal di Aceh adalah Adat Meukuta Alam, disusun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah (16071636 M). Adat Meukuta Alam ini dijadikan sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh dan merupakan salah satu bentuk reformasi terhadap hukum ketatanegaraan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda.70 Menurut keterangan A. Hasjmy, peraturan yang dibuat oleh Sultan Iskandar Muda itu bukanlah Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh yang disebut dengan Adat Meukuta Alam, melainkan dinamakan dengan Kitab Undang-Undang Adat Aceh, yang sebenarnya dibuat oleh Balai Majlis Mahkamah Rakyat atas permintaan Sultan Iskandar Muda. Sedangkan yang dinamakan dengan Adat Meukuta Alam itu adalah Kanun Al-Asyi (Undang-Undang Dasar Aceh) yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Ri‘ayat Syah II yang bergelar “AlQahhar” (945-979 H / 1539-1571 M), yang disempurnakan pada masa pemerintahan Iskandar

69

H.M. Zainuddin, Op.Cit, hal. 313. Dan Muhammad Umar (EMTAS), Op.Cit, hal. 14-15. Sultan Iskandar Muda di kalangan orang Aceh lebih dikenal dengan gelar “Meukuta Alam” (Mahkota Alam), yang merupakan gelar keagungannya, sehingga peraturan yang dibuatnya itu-pun disebut dengan Adat Meukuta Alam, artinya undang-undang Sultan Iskandar Muda. Setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda, Adat Meukuta Alam disebut juga dengan Adat Poteu Mereuhom. Poteu (Sultan) dan Mereuhom (almarhum), jadi yang dimaksudkan dengan Adat Poteu Meurehom adalah undang-undang almarhum Sultan Iskandar Muda. Adat Meukuta Alam merupakan Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh yang dipedomani secara turun temurun oleh sultan-sultan Kerajaan Aceh. Menurut riwayat, pada masa 70

Aceh Serambi Mekkah

125

Muda, yang bergelar “Darma Wangsa Perkasa Alam Syah” (1016-1045 H / 1607-1636 M). Kemudian disempurnakan lagi pada masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Berdaulat (1050-1086 H / 1641-1675 M). Kanun Al-Asyi yang dipedomani oleh A. Hasjmy adalah sebuah naskah tua yang berasal dari Said Abdullah Teungku Di Meulek, yang pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1286-1290 H / 1870-1874 M) ia menjadi Wazir Rama Setia Katibul Muluk (menteri sekretaris negara).71 Pendapat A. Hasjmy ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad” sebagaimana dikutip juga oleh A. Hasjmy, yang menyatakan bahwa “Iskandar Muda telah mengadakan perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Meukuta Alam, yang disadur dan dijadikan batu dasar ketika puterinya Tajul Alam Safiatuddin dan raja-raja seterusnya memerintah”. Pendapat ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh K.F.H. Van Langen, H.M. Zainuddin dan Tuanku Abdul Jalil, bahwa yang dinamakan dengan Adat Meukuta Alam itu adalah peraturan yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda, bukan Kanun Al-Asyi yang dibuat pada masa Sultan Alaidin Riayat Syah II.72 Adat Meukuta Alam ditulis dalam aksara Arab bahasa Melayu, yang merupakan bahasa resmi Kerajaan Aceh. Banyak negeri tetangga yang mengambil peraturan-peraturan hukum dari Aceh untuk teladan, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Sebuah kerajaan yang jaya di masa lampau di Kalimantan yang bernama Brunei, ketika dipimpin oleh Sultan Hasan, seorang yang keras, pemeluk agama Islam yang setia, telah mengambil pedoman untuk peraturan negerinya dengan berterusterang mengatakan mengambil teladan undang-undang Meukuta Alam Aceh.73 Menurut yang tertera dalam buku K.F.H. Van Langen “Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan” dan buku Tuanku Abdul Jalil “Adat Meukuta Alam”, Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Adat Meukuta Alam ini terdiri dari 106 Pasal yang terbagi kepada lima bagian, yaitu: 1. Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Darussalam disalin dari Daftar Paduka Sri Sultan Makota Alam Iskandar Muda, berisi 46 pasal. 2. Peraturan hari besar Sultan Aceh memberi karunia dan kehormatan kepada Uleebalang dan rakyatnya, berisi 12 pasal. 3. Peraturan Panglima Sagoe jikalau meninggal atau ahli warisnya dan Uleebalang dalam

Sultanah Nurul Alam Naqiyuddin (1675-1677 M), diadakan tambahan beberapa pasal yang berkaitan dengan pemerintahan panglima sagoe dan uleebalang. Hal ini dikarenakan pada masa itu diadakan suatu reformasi susunan pemerintahan Kerajaan Aceh khusus untuk Daerah Aceh Besar, dengan dibentuknya wilayah sagoe sebanyak tiga sagoe, sehingga dikenal dengan Aceh Lhei Sagoe. K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 15. Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, (alih bahasa. Teuku Hamid), Departemen Pendidikan Proyek Pengembangan Permeseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982/1983, hal. 8-9. Muhammad Said, Op.Cit, hal. 209. Dan Tuanku Abdul Jalil, Op.Cit, Seri Informasi Aceh Seri XIV No. 1,(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991), hal.xiii. 71 A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 218-219. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 22. Dan AlChaidar, Op.Cit, hal. 33. 72 Muhammad Said, Op.Cit, hal. 174. K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 15, H.M. Zainuddin, Op.Cit, hal. 319. Dan Taunku Abdul Jalil, Op.Cit, hal. Xiii. 73 Muhammad Said, Op.Cit, hal. 174. Dan Taunku Abdul Jalil, Op.Cit, hal. xiv.

126

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Sagoe atau ahli warisnya dan Uleebalang dalam tanggungan Sultan Aceh Bandar Darussalam, berisikan 16 Pasal. 4. Peraturan yang jadi makanan Panglima Sagoe dan Uleebalang dalam Sagoe atau Uleebalang dalam tanggungan raja yang ada duduk dalam daerah Negri Aceh Besar, berisi 30 Pasal. 5. Peraturan Panglima Sagoe atau Uleebalang dalam Sagoe atau Uleebalang dalam tanggungan raja yang mendapat anak, berisi 2 Pasal.74 Sedangkan dalam buku H.M. Zainuddin “Tarikh Atjeh dan Nusantara” Adat Meukuta Alam itu terdiri dari 104 Pasal yang terbagi kepada enam bagian, yaitu: 1. Angkatan Panglima Sagoe dan Uleebalang, berisi 45 Pasal. 2. Adat kehormatan kepada Panglima Sagoe, Uleebalang dalam Sagoe serta ahli warisnya dan kurnia Sultan Aceh, Bandar Darussalam, berisi 8 Pasal. 3. Ahli waris Uleebalang, berisi 7 Pasal. 4. Peraturan hari besar sultan Aceh memberi karunia dan kehormatan kepada Uleebalang dan rakyatnya, berisi 12 pasal. 5. Peraturan yang jadi belanja Panglima Sagoe dan Uleebalang dalam Sagoe atau Uleebalang dalam tanggungan raja yang ada duduk dalam daerah Negeri Aceh Besar, berisi 30 Pasal. 6. Peraturan Panglima Sagoe atau Uleebalang dalam Sagoe atau Uleebalang dalam tanggungan raja yang mendapat anak, berisi 2 Pasal.75 Adapun isi lengkap Adat Meukuta Alam sesuai dengan yang termaktup dalam buku “Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan” dan buku “Adat Meukuta Alam”, yaitu: Bagian Pertama: Peraturan Di Dalam Negeri Aceh Bandar Darussalam Disalin Dari Daftar Paduka Sri Sultan Makota Alam Iskandar Muda 1. Jikalau juga siapa yang hendak diangkat jadi Panglima Sagi atau Hulubalang dalam sagi di mana tempat yang biasa dalam tiga sagi Aceh atau ta’aluk jajahannya, maka adalah ahli waris hulubalang yang meninggal itu mupakat dengan segala orang tuha-tuha yang berakal pada tempat itu seperti Keuchik, wakil dan imam serta ulama mesyuarat. 2. Jikalau sudah tetap dapat dalam ahli warisnya, maka berkanduri, berkumpul segala hulubalang yang hampir padanya diangkat serta ditaroh gelarnya sudah mu’tamad. 3. Maka dibawa menghadap raja serta membawa satu dalung terisi dalamnya dengan persembahan, tetapi ditilik hal keadaan hulubalang itu jikalau Panglima Sagi atau Orangkaya Sri Maharaja Lela Hulubalang dalam sagi atau yang sama derajatnya Hulubalang Anam atau yang sama derajatnya Hulubalang Dua Blas atau yang sama derajatnya. 4. Dipersembahkan ke bawah Duli Hadlerat Paduka Sri Sultan di atas Balai Bait ul-Rahman, menyambut serta memberi peraturan yang biasa adat yang melazamah dalam negri Aceh Bandar Darussalam dengan memberi kehormatan. 5. Panglima Sagi atau Orangkaya Sri Maharaja Lela dipasang meriam 21 kali, Hulubalang dalam sagi atau yang sama derajatnya dipasang meriam 12 kali. Adapun Sri Maharaja Indra Laksamana dan Raja Udahna Lela dipasang meriam 9 kali. Adapun Hulubalang Anam Bintara 74 75

K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 74-90. Dan Taunku Abdul Jalil, Op.Cit, hal. 1-37. H.M. Zainuddin, Op.Cit, hal. 319-331.

Aceh Serambi Mekkah

127

Gighen (Gigieng) dipasang meriam 9 kali yang lagi lima dipasang meriam 5 kali. Adapun Hulubalang Dua Blas atau sama derajatnya dipasang meriam 7 kali. 6. Adapun Panglima Sagi atau Hulubalang dalam sagi tiada memakai cap halilintar, karena ia menerima pusaka ahli warisnya boleh bertanya melainkan lain jabatan dikurniakan oleh raja, maka ia memakai cap halilintar. 7. Adapun Hulubalang di dalam ta’aluk jajahannya atau di dalam tanggungan sultan memakai cap halilintar seperti tersebut di bawah ini, kami beri tahu kepada sekalian Hulubalang, Datu, Imam, Kejuruan, Panglima, Keuchik, Wakil dan segala Peutuha76, kecil-besar, tuha dan muda rakyat sekalian. Maka adalah seperti panglima dita’aluk jajahannya sudah kami memberi jabatan hulubalang kurnia Allah dan rasul, kemudian menjadi wakil kami menggantikan pekerjaan inilah yang perbuat pekerjaan kami di dalam negari. Pertama mengambil hasil kami dan perintah berniaga laut dan darat dan memberi kupang dan busuk akan segala peutuha yang telah ada menerimanya dan akan kami pun hendaklah dibawanya segenap tahun lepas berniaga jual lada, hendaklah dipelihara akan meramaikan negeri, pertama diperbuat jalan segala hamba Allah berjalan dan diperbuat mesjid yang runtuh atau yang belum ada dahulunya patut diperbuat, hendaklah memperbuatkan dan zawiyah dan madrasah dan serta hendaklah disuruh sembahyang jum’at dan sembahyang berjamaah lima waktu dan mengeluarkan zakat dan fitrah dan hendaklah pelihara akan negeri dengan keadilan mengikut syara’ Nabi Muhammad dan perintah kami yakni rukun Islam dan menjauhkan segala larangannya dan larangan kami dan hendaklah jangan disukakan pada perbuatan haru-hara, maksiat dan durhaka dan jikalau diperbuatnya maksiat, pekerjaan yang tiada patut, maka atsilah durhakanya ia dari pada pekerjaan jabatannya serta gugurlah sendirinya, maka janganlah kamu mengikut jua adanya. 8. Hamba raja bersama hulubanganya Rama Setia yang berjaga di Balai Kota Daral-Dunya yang dititahkan oleh raja periksa dalam kampung, mukim atau sagi dan ta’aluk jajahannya melihat hal keadaan peraturan dalam adat negri. 9. Jikalau hulubalang itu dapat celaka mati teraniaya pada suatu kampung, mukim atau sagi atau negri, maka raja bertitah menyuruh OrangkayaSri Maharaja Lela atau wakilnya dengan membawa alat senjata, pergi periksa serta meminta orang jahat itu kepada hulubalang mukim itu atau sagi telah wajiblah mencari orang jahat itu, melawan dibunuh, tiada melawan ditangkap. 10. Satu orang hamba raja mati, tujuh orang gantinya diambil daripada ahli waris orang yang jahat itu diputuskan melainkan berpindah ahli warisnya kepada raja buat apa yang suka. 11. Hulubalang mukim itu atau sagi tiada suka mencari orang jahat itu karena ahli warisnya atau sebab lain, maka hulubalang itu jatuh kepada kesalahan, kena denda atas kadarnya dari lima ratus reyal sampai lima ribu reyal. 12. Hulubalang mukim itu atau sagi tersangkal tiada menurut hukuman itu, maka raja memanggil Tungku Chik Sri Muda Pahlawan Raja Negri Merdu menyuruh pukul hulubalang mukim itu atau sagi dengan diperangi dan diusir, segala pohon tanaman dipotong, sumur dirubuh, harta dirampas, rumah dibakar habis.

76

Peutua adalah ketua daerah perladaan (perkebunan) di Pidie, Aceh Utara dan sebagainya. K.F.H Van Langen, Op.Cit, hal. 75.

128

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

13. Hamba raja seorang atau banyak tiada bersama dengan hulubalang, disuruh oleh raja memanggil orang atau pergi mengambil harta, di mana dia berhenti atau bermalam hendaklah ia memberitahu dan mendapatkan kepala kampung di tempat itu, seperti keuchik atau imam wajiblah memelihara hamba raja itu atas kadarnya supaya jangan dibinasakan oleh orang jahat. 14. Jikalau hamba raja itu binasa dalam kampung atau mukim, mati atau luka, raja menuntut belanya hamba itu kepada hulubalang mukim itu seperti yang telah tersebut dalam Pasal 9, 10, 11, 12. 15. Hamba raja yang disuruh sampai pada suatu kampung yang kecil, sedikit orangnya, lagi jauh daripada kampung orang banyak, tiba-tiba binasa di tempat itu, mati atau luka, jikalau orang kampung itu tiada campur atau tiada terlawan sebab banyak orang jahat, maka disuruh bersumpah dan buat jadi saksi dan menurut hulubalang yang punya pemerintahan serta Rama Setia mencari orang jahat itu, jikalau sudah nyata orang jahat itu sudah keluar dari tiga sagi negri Aceh atau orang luaran yang jahat itu, maka adalah raja bersabda memberi perintah kepada panglima sagi dan hulubalang dalam sagi tiada boleh orang durhaka itu berbalik masuk ke dalam tiga sagi negri Aceh melainkan dibunuh hukumnya, jikalau ada ahli warisnya, didenda atas kadarnya mengikut apa suka raja saja. 16. Jikalau ada panglima sagi atau hulubalang dalam sagi negri Aceh sembunyikan orang jahat atau tiada dikhawatirkannya ada di dalam kampung, mukim pemerintahannya, tiada peduli menjaga negri, kiranya sampai kabar keterangannya kepada raja, menyuruh OrangkayaSri Mahareja Lela atau wakilnya minta kepada hulubalang sembunyikan orang jahat itu supaya ditangkapnya dan jatuh kepada hulubalang itu kesalahan, didenda dari lima ratus reyal sampai lima ribu reyal. 17. Jikalau ada orang jahat dari pada bangsa Aceh atau lain bangsa, lari daripada satu mukim kepada lain mukim atau sagi di dalam tiga sagi Aceh atau ta’aluk jajahannya, maka sekalian hulubalang tiada boleh terima duduk di dalam pemerintahannya masing-masing melainkan ditangkap dan boleh dia menghukumkan sendiri dengan adat yang melazamah dalam negri Aceh yang keadilan menurut hukum Allah dan rasul atas kesalahannya, tiada lagi dibawa menghadap raja, melainkan memberi tahu saja kepada raja perbuatannya yang telah diperlakukannya. 18. Adapun orang luaran yang Islam, lain daripada bangsa orang Aceh seperti orang Arab, Benggali, Kling, Melayu dan Jawa atau seumpamanya masuk ke dalam negri Aceh Bandar Darussalam, pekerjaannya berniaga, tetapi ketika dia baru datang ada menghantarkan persembahan kepada raja supaya boleh kenal dengan raja. 19. Jikalau dia pergi jualan di mana tempat juga pun dalam tiga sagi negri Aceh, tiba-tiba datang celaka dibunuh orang, teraniaya, mati atau luka atau dirampas hartanya, maka adalah raja menuntut belanya seperti tersebut dalam Pasal 9, 10, 11, dan 12. 20. Jikalau orang luaran datang menuntut ilmu ke dalam tiga sagi negri Aceh, duduknya dalam mesjid atau zawiah atau madrasah, kiranya dapat celaka kena teraniaya sampai mati, maka hulubalang yang punya tempat pemerintahan jadi ahli warisnya, akan menuntut bela yang mati dan menyempurnakan kematiannya dengan kenduri atas kadarnya, tiada raja campur atas hal ini, sebab dia tiada menghadap raja melainkan mengikut peraturan hulubalang di tempat itu, tetapi wajiblah hulubalang itu memberi tahu saja kepada raja. Aceh Serambi Mekkah

129

21. Jikalau orang luaran yang lain agama daripada agama Islam yang lain daripada orang Hindi, tiada boleh diterima oleh orang negri tinggal duduk di dalam kampungnya, melainkan disuruh balik ke luat ke dalam tempatnya. 22. Jikalau orang lain agama itu hendak tinggal juga duduk di darat ke dalam kampung orang Islam, kalau dapat celaka mati atau luka atau kena rampas hartanya dalam kampung itu tempat dia bermalam, sama ada orang kampung itu yang buat aniaya atau lain orang jahat, kalau mati-mati saja, luka-luka saja, kalau dirampas hartanya habis saja, tiada diterima pengaduannya oleh raja atau hulubalang, sebab daripada taksirnya sendiri punya salah. 23. Adapun orang yang menerima pada orang yang lain agama itu tinggal duduk bermalam pada kampungnya jatuh kesalahan kepada ulama kena kafarat denda kenduri memberi makan sidang Jum’at. 24. Jikalau orang yang kena kafarat itu tiada menurut peraturan, ulama boleh mengadu kepada hulubalang yang punya pemerintahan di tempat itu menghukumkan menurut timbangan kesukaannya yang adil. 25. Adapun rakyat dalam sagi atau mukim yang pergi kepada lain sagi atau mukim, pekerjaannya berniaga atau menuntut ilmu, kiranya datang celaka dibunuh orang dengan teraniaya atau dirampas hartanya, maka ahli waris orang yang teraniaya itu minta timbangan dan pertolongan kepada hulubalang, dia sendiri itu berbicara kepada hulubalang tempat orang aniaya itu, musapat dan mesyuarat dengan segala peutuha dan ulama supaya dibayar diat yang mati atau ganti harta yang kena rampas. 26. Adapun bangun (diat) orang yang merdhika dengan seratus unta dibayar kepada ahli waris orang yang mati, demikianlah banyak bangun orang yang merdhika. 27. Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang aniaya itu, karena sudah taubat dan berdamai. 28. Jikalau ahli waris yang mati tiada suka terima diat itu, hendak dibunuh juga yang aniaya. 29. Maka kedua belah hulubalang itu wajib memperkenankan permintaan ahli waris yang mati. 30. Jikalau hulubalang sebelah orang yang aniaya tiada suka beri dibunuh yang aniaya itu sebab ahli warisnya dia hendak bayar juga bangun, maka hulubalang orang yang mati titah wajib membawa ahli waris yang mati, maka telah wajiblah raja menyelesaikan. 31. Maka yang berkhusumat dua hulubalang serta dua belah ahli waris yang tersebut telah wajib menurut timbangan raja dengan ulama menurut hukum Allah dan Rasul. 32. Adapun bangun (diat) abdi (budak) mengikut harganya dengan aras (tingkat). 33. Dari harta yang kena rampas telah wajiblah hulubalang tempat orang yang aniaya itu menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyamun itu serta dengan ahli warisnya memulangkan harta yang diambilnya atau gantinya. 34. Yang merampas itu telah lari keluar dari dalam tiga sagi negri Aceh, maka tiada boleh berbalik ke dalam tiga sagi negri Aceh. 35. Jikalau yang merampas berbalik masuk ke dalam tiga sagi negri Aceh, maka wajib hulubalang menangkap dan memotong tangannya. 36. Maka yang merampas katika hendak ditangkap dia melawan, sah dibunuh. 37. Raja tiada mencampur atas ini hal rampas dan rebut dalam sagi atau mukim, melainkan menurut timbangan musapat segala peutuha serta ulama mesyuarat dengan hulubalang memberi keputusannya.

130

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

38. Jikalau ada satu kumpulan atau banyak orang yang berniat hendak membuat kejahatan kepada raja atau hendak membuat huru-hara dalam kampung dan mukim atau sagi, jikalau diketahui oleh satu orang atau banyak, telah wajiblah atas orang melihat kumpulan itu memberitahu dengan segera kepada hulubalangnya. 39. Hulubalang itu telah wajiblah dengan segeranya pergi periksa kumpulan itu serta diundurkan supaya jangan jadi perbuatan yang kejahatan. 40. Seoarang rakyat atau banyak sudah tahu melihat suatu kumpulan orang yang berniat kejahatan, tiada dia memberi tahu kepada hulubalangnya, kiranya kumpulan itu telah berangkat hendak menjalankan kejahatan, maka dapat kabat keterangannya oleh hulubalang yang punya pemerintahan satu kumpulan telah berangkat hendak membuat kejahatan, tetapi ia punya rakyat si anu atau keuchik ada melihat kumpulan itu, tiada memberitahu kepada hulubalangnya yang mendapat tahu sendiri, maka jatuh kesalahan kepada rakyat, tsubahat dihukum menurut kesukaan hulubalang itu saja, tetapi dengan musapat dan mesyuarat dengan segala peutuha serta ulama menilik keadaannya. 41. Jikalau kumpulan itu hendak melakukan kejahatannya tiada peduli nasihat hulubalang yang mesyuarat kepadanya, maka wajiblah atas hulubalang itu pukul dengan perang kumpulan itu hingga habis binasa, yang melawan dibunuh, tiada melawan ditangkap diserahkan kepada raja, dia punya suka saja memperbuatkan. 42. Siapa saja hulubalang dalam sagi atau panglima sagi telah mengetahui ada kumpulan orang yang berniat kejahatan kepada raja telah musapat dan mesyuarat dalam pemerintahanya tiada dikhawatirkan, kiranya mendapat kabar keterangan oleh raja, ia menyuruh OrangkayaSri Maharaja Lela atau wakilnya pergi periksa hal itu. 43. Jikalau perbuatan kumpulan itu belum jadi sekalipun, jatuh kesalahan kepada hulubalang itu tsubahat, tetapi ditimbang dan dipikir oleh raja dengan keadilan memelihara rakyatnya. 44. Adapun panglima sagi kuasa menjatuhkan hukuman kepada rakyat yang bersalah dalam dia punya sagi lain daripada hamba raja atau sagi yang lain, tetapi wajib memberitahu kepada raja perbuatan yang sudah diperlakukan. 45. Panglima sagi tiada kuasa menjatuhkan hukuman hamba raja yang berbuat salah dalam saginya, melainkan ditangkap diserahkan kepada raja buat apa dia punya suka. 46. Hamba raja itu ketika hendak ditangkap, dianya melawan harus dibunuh saja, tetapi wajib memberitahu kepada raja adanya. Bagian Kedua: Peraturan Hari Besar Sultan Aceh Memberi Karunia dan Kehormatan Kepada Hulubalang dan Rakyatnya 1. Ketika akhir kesudahan hari Jum’at dari bulan Sya’ban, maka adalah Teuku Panglima Mesjid Raya, Teuku Kadhi Malikul Adil dan Teuku Imam Leuong Bata musapat pada mesjid raya, bertanya kepada ulama apabila kita pertama hari yang dipegang masuk bulan puasa. 2. Sudah tetap mesyuarat, maka pergi Rama Setia menghadap raja mempersembahkan hari anu permulaan berpegang masuk puasa. 3. Maka raja bersabda kepada Raja Udah Na Lela menyuruh memberi satu kerbau kepada Teuku Panglima Mesjid Raya, satu Teuku Kadhi Malikul Adil, satu Teuku Rama Setia, satu Teuku Imam Leuong Bata, satu Teuku OrangkayaSri Maharaja Lela, satu sapi pada orang

Aceh Serambi Mekkah

131

kawal dari Kora Raja, satu kerbau pada orang jaga di Balai Baiturrahman, satu pada orang jaga di pintu besar, dua kerbau Teuku Enjung. 4. Raja menyuruh pasang meriam 21 kali pada pukul lima setengah akhir waktu atsar kesudahan hari bulan Sya’ban. 5. Jikalau hari raya fitrah dipasang meriam 21 kali pada pukul lima pagi-pagi awal dari satu hari bulan Syawal. 6. Jikalau hari raya haji dipasang meriam 21 kali pada pukul lima sepuluh dari hari itu bulan. 7. Hari raya puasa, panglima sagi dan hulubalang dalam sagi berkumpul musapat di mesjid raya mesyuarat menentukan apabila hari menghadap raja. 8. Hari yang ketiga dari bulan Syawal, panglima sagi dan hulubalang yang tersebut pergi menghadap raja di atas balai Baiturrahman. 9. Maka panglima sagi dan hulubalang dalam sagi yang datang menghadap raja itu mendapat salinan pada satu orang yaitu satu lembar kain dikarunia oleh raja tanda selamat hari raya. 10. Adapun kain yang dikarunikan oleh raya kepada orang besar-besar itu menurut kesukaan raja serta menilik pangkat orang besar itu. 11. Jikalau hari raya haji bagaimana aturan hari raya puasa juga. 12. Raja sudah ditetapkan berangkat ke mesjid raya pada hari raya puasa atau hari raya haji sembahyang hari raya bersama dengan hulubalang yang ada. Bagian Ketiga: Peraturan Panglima Sagi Jikalau Meninggal atau Ahli Warisnya dan Hulubalang Dalam Sagi Atau Ahli Warisnya dan Hulubalang Dalam Tanggungan Sultan Aceh Bandar Darussalam 1. Panglima sagi jikalau meninggal, wajib atas hulubalang dalam sagi itu mempersembahkan kepada raja. 2. Jikalau telah mendapat itu kematian panglima sagi, maka raja bersabda kepada OrangkayaSri Maharaja Lela atau wakilnya menyuruh pergi mambawa belanja berapa yang cukup buat kanduri dan setelah pada satu hari dikubur lain dari satu hari raja tiada campur ikut kesukaan ahli waris yang mati saja. 3. Jikalau ahli waris panglima sagi mati, maka harus hulubalang dalam sagi itu memberitahu kepada raja. 4. Maka raja bersabda kepada Rama Setia atau Panglima Paduka Sinara menyuruh mengunjung anak Panglima Sagi itu dengan membawa belanja seberapa yang cukup kanduri pada hari kematian itu. 5. Jikalau tiada memberitahu kepada raja ketika mati anak panglima sagi itu, maka raja tiada keluar belanja satu apa. 6. Hulubalang dalam sagi jikalau tiada memberi tahu kepada raja ketika panglima sagi itu mati, maka jatuh kesalahan kepada hulubalang itu. 7. Hulubalang yang durhaka itu hendak menghadap raja tiada terima, melainkan sudah membayar kesalahannya kepada raja serta meminta ampun daripada taksirnya, maka boleh menghadap raja. 8. Jikalau raja ada bermaksud hendak disuruh atau ada lain hajat, maka raja memanggil hulubalang yang durhaka itu tiada membayar kesalahannya kepada raja memberi aman saja kepadanya. 9. Hulubalang dalam sagi jikalau dia meninggal, maka wajib pada imam di mukim itu memberitahu kepada panglima sagi harus menyuruh imam di mukim itu memberitahu kepada raja.

132

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

10. Raja sudah tahu ketika hari matinya hulubalang dalam sagi, maka raja bersabda kepada Raja Udah Na Lela menyuruh mengunjung hulubalang yang mati serta membawa belanja secukupnya buat kanduri atau sedekah pada satu hari matinya hulubalang dalam sagi itu. 11. Ketika hulubalang dalam sagi itu meninggal, tiada memberitahu kepada raja, tiada keluar belanja satu apa. 12. Hulubalang dalam tanggungan raja yang ada duduk dalam kota Daral-Dunya bersama dengan raja OrangkayaSri Maharaja Lela, Panglima Raja Udah Na Lela, Rama Setia, Panglima Paduka Sinara, Teuku Imam Leuong Bata, Teuku Kadhi Malikul Adil, Teuku Panglima Mesjid Raya dan Teuku Nanta Setia dengan Teuku Lamgugop. Adapun Teuku Nek Raja Muda Setia termasuk juga dalam tanggungan raja dan masuk juga ke dalam hulubalang dalam sagi. Adapun hulubalang yang tersebut jikalau dia meninggal, tiada boleh dikubur oleh ahli warisnya, melainkan yang menanggung atas segala hal kematiannya itu seperti belanja mengkuburkan dan kanduri dan lain-lainnya belanja pada satu hari matinya itu raja, pada lain hari saja tiada campur melainkan bagaimana kehendak ahli warisnya saja. 13. Jikalau anak hulubalang yang tersebut mati ada memberitahu kepada raja menyuruh hantar kain putih empat puluh kayu atau tiga puluh kayu, jikalau tiada kain raja suruh hantar lima puluh real atau tiga puluh real kepada bunda yang mati. 14. Sampai tiga hari mati anak hulubalang itu, raja menyuruh hantar satu kerbau kepada ayahandanya yang mati. 15. Anak hulubalang yang dalam tanggungan raja mati tiada memberitahu kepada raja ketika hari matinya itu, kena murka hulubalang itu oleh raja. 16. Tambahan lagi jikalau hulubalang dalam sagi meninggal terkadang raja suruh Rama Setia atau Paduka Sinara membawa empat puluh kayu kain putih atau tiga puluh kayu, jikalau tiada kain putih, raja suruh hantar lima puluh real buat belanja hari mengkuburkan hulubalang itu atau buat kanduri. Bagian Keempat: Peraturan Yang Jadi Makanan Panglima Sagi dan Hulubalang Dalam Sagi atau Hulubalang Dalam Tanggungan Raja Yang Ada Duduk Dalam Daerah Negri Aceh Besar 1. Panglima XXII mukim itu mantri yang terutama besar dalam negri Aceh Bandar Darussalam, dia punya makanan mengikut kesukaan raja mengkaruniakan. 2. Jikalau raja mangkat sebelumnya ada yang patut atau ada sebab lain, panglima XXII mukim jadi raja menerima sekalian hasil yang dapat dalam negri Aceh serta ta’aluk jajahannya. 3. Jikalau ada yang patut sudah diangkat jadi raja dalam negri Aceh Bandar Darussalam, maka perbendaharaan itu berpindahlah sendirinya kepada raja. 4. Panglima XXII mukim dalam tahun satu atau dua kali hari besar menghadap raja mengkaruniakan harta kepadanya mengikut kesukaan raja. 5. Dalam satu tahun, dapat dua kali cap sembilan oleh panglima XXII mukim buat perahu suruh pergi berlayar apa juga muatannya perahu itu keluar atau masuk tiada memberi hasil kepada raja, melainkan bebas. 6. Panglima XXV mukim seperti tersebut dalam pasal 4. 7. Dari Teluk Paroi berapa banyak dapat hasil pada tempat itu, setengah dipersembah kepada raja yang setengah dia ambil sendiri dengan izin raja. Aceh Serambi Mekkah

133

8. OrangkayaSri Maharaja Lela tiada mendapat hasil pada lain tempat, melainkan dia memegang perbendaharaan raja. 9. Panglima Raja Udah Na Lela tiada mendapat hasil satu apa-apa, melainkan dikaruniakan oleh Raja satu surat cap halilintar buat kuasa memerintah serta menerima hasil apa juga benda yang berhasil keluar dan masuk dalam negri Daya, Kluwang, Dua Sungai Lima Mukim dengan menurut bunyinya perkataan dalam cap halilintar itu. 10. Panglima Mesjid Raya seperti tersebut dalam pasal 4. 11. Panglima Mesjid Raya mendapat hasil dari opium, satu dari 16 bagian yang raja kurnia kepadanya, lagi hasil padi dalam daerah Mesjid Raya satu dari dua bagian. 12. Teuku Kadhi Malikul Adil mendapat hasil segala benda yang berhasil yang naik timbangan barang keluar dan masuk ke dalam negri Aceh Besar. 13. Teuku Kadhi Malikul Adil kuasa mengambil hasil kepada nahkoda kapal yang membawa orang pergi haji yang keluar dari kuala Aceh Besar, dua real dalam satu orang nahkoda kapal wajib membayar. 14. Teuku Imam Leuong Bata mendapat hasil dari rotan dalam 10 ikat satu ikat dan hasil papan Aceh dalam 10 keping dia terima dan hasil ikan kering dalam 10 kati satu kati atau 10 ekor satu ekor dia terima, lain daripada ikan yang datang dari tanah Arab dan hasil dari opium 3 dari 16 bahagian. 15. Raja terima dari hasil opium 12 dari 16 bahagian. 16.Teuku Nek Raja Muda Setia mendapat hasil segala barang dagangan yang berhasil dari perahu yang masuk-keluar dari kuala Tangkul yang lain daripada hasil kapal dan jong. 17. Teuku Nek Raja Muda Setia mendapat juga seperti tersebut dalam pasal 4. 18. Teuku Nek Raja Muda Setia mendapat juga pemberian dari kepala di pulau. 19. Teuku Nanta Setia mendapat seperti tersebut dalam pasal 4. 20. Teuku Nanta Setia mendapat hasil dari pulau. 21. Teuku Lamgugop mendapat hasil dari segala barang dagangan perahu yang keluar dan masuk dari kuala Gighieng, tetapi wajib Teuku Lamgugop mempersembahkan setengah daripada itu atas sekadarnya kepada raja. 22. Teuku Lamgugop mendapat juga seperti tersebut dalam pasal 4. 23. Teuku Baid mendapat seperti dalam pasal 4. 24. Teuku Baid mendapat satu dalam dua bahagian hasil lada yang keluar dari negri Teluk Krut. 25. Teuku Imam Atuh mendapat seperti tersebut dalam pasal 4. 26. Teuku Imam Mukim Silang mendapat hasil yang keluar dari Teluk Pulau Wai. 27. Teuku Imam Mukim Cadek mendapat hasil yang keluar dari Teluk Pulau Wai. 28. Teuku Imam Lamnga mendapat hasil yang keluar dari Teluk Pulau Wai. 29. Teuku Nek Purba Wangsa mendapat seperti tersebut dalam pasal 4. 30. Teuku Nek Purba Wangsa mendapat hasil padi yang dalam daerah 9 mukim, satu dari dua bahagian. Bagian Kelima: Peraturan Panglima Sagi atau Hulubalang Dalam Sagi atau Hulubalang Dalam Tanggungan Raja Yang Mendapat Anak 1. Panglima sagi jikalau dia mendapat anak, tiada meminta izin kepada raja ketika hari lahir

134

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

anaknya itu kuasa menyuruh pasang 9 kali bunyi suara meriam itulah alamat panglima sagi mendapat anak baru lahir. 2. Hulubalang dalam sagi atau hulubalang dalam tangungan raja mendapat anak, 7 kali pasang meriam seperti tersebut pada Pasal 1. Perbedaan dan persamaan isi antara Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil dengan kutipan H.M. Zainuddin dalam buku “Tarich Atjeh dan Nusantara” adalah: 1. Pada bagian pertama Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil, terdapat 46 Pasal, sedangkan versi H.M. Zainuddin hanya 45 Pasal. Ternyata isinya sama, tetapi Pasal 17 Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil tidak tercantum pada versi H.M. Zainuddin. Ini mungkin hanya sebuah kesilapan saja. 2. Isi bagian kedua dan ketiga Adat Meukuta Alam versi H.M. Zainuddin merupakan pecahan isi bagian ketiga Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil. Tetapi pada bagian ketiga isi Adat Meukuta Alam versi H.M. Zainuddin tidak tercantum isi Pasal terakhir Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil, ini mungkin juga hanya sebuah kesilapan. Hal ini juga terjadi pada isi Adat Meukuta Alam versi Taunku Abdul Jalil yang tercampur antara Pasal 15 dengan Pasal 16, sehingga jumlah Pasal yang sebenarnya 16 menjadi hanya 15. 3. Isi Adat Meukuta Alam bagian keempat versi H.M. Zainuddin sama dengan isi bagian kedua Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil. 4. Isi Adat Meukuta Alam bagian kelima versi H.M. Zainuddin sama dengan isi bagian keempat Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil. 5. Isi Adat Meukuta Alam bagian keenam versi H.M. Zainuddin sama dengan isi bagian kelima Adat Meukuta Alam versi K.F.H. Val Langen dan Taunku Abdul Jalil. Secara umum, muatan dari hukum Adat Meukuta Alam, baik menurut versi K.F.H. Val Langen dan Tuanku Abdul Jalil, berkaitan dengan bebarapa hal tentang peraturan pemerintahan Kerajaan Aceh, yaitu: 1. Hukum ketatanegaraan, yaitu masalah pengangkatan Panglima Sagoe dan Uleebalang, diatur pada bagian pertama Pasal 1-7. 2. Hukum publik, baik yang bersifat materil maupun formil, yaitu yang bertautan dengan masalah kepolisian, kehakiman, perdagangan dan izin masuk orang asing, jaminan keamanan perjalanan, bentuk hukuman pidana, dan pemberontakan, terdapat pada bagian pertama Pasal 9-46. 3. Peraturan tentang perayaan hari-hari besar Islam, diatur pada bagian kedua Pasal 1-12. 4. Peraturan tentang kematian Panglima Sagoe dan Uleebalang serta ahli warisnya, diatur pada bagian ketiga Pasal 1-16. 5. Peraturan tentang penghasilan pejabat kerajaan, diatur pada bagian keempat Pasal 1-30. 6. Peraturan tentang kelahiran anak Panglima Sagoe dan Uleebalang, diatur pada bagian kelima Pasal 1-2. 4.2 Hukum Ahwal asy-Syakhsiyah (Hukum Keluarga) Peraturan perundang-undangan lainnya yang pernah dibuat pada masa Kerajaan Aceh Aceh Serambi Mekkah

135

adalah peraturan yang berkaitan dengan hukum Ahwal asy-Syakhsiyah (hukum keluarga). Peraturan perundang-undangan ini dibuat pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin. Ia tertarik untuk melahirkan undang-undang tersebut, karena realita sosial ketika itu menunjukkan bahwa kaum wanita (para isteri) sering teraniaya ketika terjadi perceraian. Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat waktu itu, bahwa si isteri setelah akad nikah langsung dibawa ke rumah suaminya. Dan ketika terjadi sengketa yang berakhir dengan perceraian, maka si isteri terusir dari rumah suaminya, dan si isteri harus pulang ke rumah orang tuanya kalau masih ada, atau menjadi terlunta-luta. Atas usulan Ratu safiatuddin, Majlis Mahkamah Rakyat di bawah pimpinan Kadhi Malikul Adil, berhasil membuat undang-undang tentang hukum keluarga tersebut, yang intinya memuat tentang: 1. Tiap-tiap orang tua haruslah menyediakan sebuah rumah (menurut kadarnya) kepada anaknya yang perempuan, kalau ia telah dipersuamikan, dan rumah itu diserahkan menjadi milik si anak. 2. Kecuali rumah, juga harus diberi barang sepetak Sawah, sebidang kebun dan seutas emas. 3. Si suami harus membawa sepetak Sawah (umong peuneuwo) kepada isterinya dan menjadi hak milik si isteri dan sekedar perhiasan emas. 4. Si suami harus tinggal bersama isteri di rumah isterinya. 5. Selama mereka masih tetap hidup rukun-damai, amak segala harta itu (rumah, Sawah, kebun yang berasal dari kedua pihak) menjadi milik bersama. 6. Harta kekayaan yang didapatinya selama masa dalam perkawinan adalah menjadi milik bersama. Artinya 50 % menjadi milik suami dan 50 % menjadi milik isteri. 7. Apabila terjadi perceraian, maka suami harus pergi dari rumah isterinya, dan harta-harta pembawaannya (sawah, kebun dan sekedar perhiasan emas) waktu dia mula-mula kawin, haruslah tinggal menjadi hak milik isteri, sementara harta yang didapatinya selama masa dalam perkawinan (hareuta sihareukat) dibagi dua, yaitu 50 % boleh dibawanya. 8. Selama masa iddah setelah perceraian, segala nafkah hidup isteri menjadi tanggung jawab bekas suami.77 Undang-undang ini menggambarkan perjuangan Ratu Safiatuddin untuk meningkatkan taraf hidup dan kedudukan wanita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan rakyat Aceh. Ketentuan yang ada dalam undang-undang ini telah menjadi adat dan kebiasaan dalam masyarakat Aceh hingga sekarang ini, khususnya yang berkembang di daerah Aceh Besar dan Pidie. 4.3 Sarakata Paduka Sri Sultan Syamsul Alam Pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1726 M), ia membuat sebuah surat keputusan (fatwa) yang dikenal dengan “Sarakata Paduka Sri Sultan Syamsul Alam”, isinya sebagai berikut78: Sabda duli yang mahamulia kepada Kadhi Malikul Adil dan orangkaya Sri Paduka Tuwan dan orangkaya Raja Bandhara dan segala fakih. Adapun yang kamu kerjakan di balai panjang pada menghukumkan segala rakyat kita,

77 78

136

A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 126-128. K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 91-94. Dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 239-243.

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

jangan kamu menyalahi hukum Allah seperti yang tersebut dalam kitabullah, kamu iring dengan adat karena yang lagi kita bahwa kita serahkan pekerjaan kita itu kepada Allah ta’ala supaya ditolongnya kita pada pekerjaan yang adil selama kita menjunjung khalifatullah seperti diat luka atau diat nyawa, maka kamu kerjakanlah seperti yang berlaku pada hukum Allah, jangan kamu kerjakan diat yang berlaku pada adat. Bahwa diat nyawa yang mughaladlah itu 342 thail dirham, diat nyawa mukhaffafah itu 220 thail dirham, dan apabila hadlir kadhi dan orangkaya-kaya dan fakih, maka kamu surat sarakata. Demikian lagi pada menyudahi hukumpun, mudah-mudahan tiada hadlir orangkaya-kaya karena mengerjakan pekerjaan kita atau pekerjaan dirinya, maka itupun hendaklah kamu surat jua sarakatanya dan kemudahkan jua hukumnya hadlir jua kadhi seperti yang diadatkan paduka marhum Saidil Mukamal dan paduka marhum Makota Alam dan paduka marhum Tajul Alam, tetapi jika hukum yang besar hendak jua kamu bersama-sama kamu sekalian. Adapun segala pekerjaan siasat negeri yang telah diadatkan paduka marhum Makota Alam dan Tajul Alam, maka yang lagi kitapun tiadalah kita salahi, hanya karena berbaik negeri dan melanggar akan segala rakyat dan lebih kamu kerja-kerjakan hukum Allah jua supaya kita peroleh nama yang baik dalam negeri dunia ini dan pahala yang besar di negeri akhirat itu. Dan barangsiapa dipanggil ke Balai Allah, jika tiada ia datang, kamu suruh hela akan dia, jika barangsiapa sekalipun karena durhaka ia akan Allah dan akan rasulullah dan akan raja yang berwakil hukum itu, dan apabila jika perempuan diberinya wakilnya. Dan apabila datang kamu suruh keduanya berdiri di tanah, kamu surat sarkatanya, jangan kamu beri orang lain menempuh dia berkata-kata, dan jangan kamu beri kejuruannya atau penghulunya menceritai dia, dan jika ia hendak menceritakan dia jarak ia berdiri dan kamu beritahu orang pintu, supaya jangan diberinya masuk ke dalam belum putus hukumannya, dan jangan lain daripada sagi kadhi dan sagi orang kaya-kaya memanggil orang berhukum baik sabda raja OrangkayaMerah Blang hendak jua sagi kadhi dan sagi orangkaya-kaya jika pada pekerjaan amar sekalipun hendak jua sagi kadhi dan sagi orangkaya-kaya memanggil dia. Sebermula barangsiapa masuk ke kampung orang lain daripada mengikut saginya atau sagi gajah, tiada dengan sagi kadhi dan sagi orangkaya-kaya, jika ditetak (bacok) orang atau dipalu orang, janganlah kamu hukumkan akan dia. Bermula lagi segala pekerjaan pada zaman marhum Muda dan marhum hilang di Kandang dan pada zaman marhum Saidil Mukamal, tiada didakwanya, maka orang yang mendakwa dan yang didakwa itu ada hadlir tempatnya diketahui, maka pada zaman kita hendak didakwanya, janganlah kamu dengarkan, melainkan saja lari tiada ketahuan tempatnya baru sekarang didapatnya, maka kamu dengarkan dakwanya, itupun kamu periksa baik-baik supaya jangan teraniaya rakyat kita. Sebermula lagi jika orang mendalangi orang kampungnya berkelahi tiada dengan sebab madunya, maka yang mendalangi itu mati dalam matinya, luka dalam lukanya, janganlah kamu hukumkan, dan jika seorang kamu suruh indahkan sebab didakwa orang pada pekerjaan lain daripada munoh (bunuh), seperti melukai atau mencuri atau lainnya, setelah ia terindah, maka tiada datang yang mendakwa ia ke balai, apabila lepas tiga hari, sebanyaknya lima hari, kamu suruh rayah akan dia, jika tiada ia datang jua atau tiada ketahuan tempatnya, maka lepaskanlah akan dia, dan yang tiada harus dipergaweikan pada hukum Allah seperti meminum arak dan zina Aceh Serambi Mekkah

137

dan orang mencuri, dan yang tiada dapat dipergaweikan pada hukum adat seperti munoh orang dan menetak dan mempalu perempuan dengan mekarnya dan sahaya mempalu mardhika (merdeka) atau sahaya mendakwa ia dirinya mardhika, jangan kamu perkemaskan (selesaikan), itupun jika tiada taksir tuannya seperti diperlambatkan dirinya datang atau saksinya, maka janganlah kamu perkemaskan. Dan jika seorang berdakwa pada pekerjaan arat yang banyak, tiada saksi keduanya, biarlah berjilat besi kamu kabulkanlah berjilat besi, jika tiada tunu kamu berikanlah harta itu akan dia, dan lawannya kau ta’zirkan. Jika seorang berdakwa pada pekerjaan nyawa dan tiada saksi yang berdakwa dan tiada karenapun, kamu sumpah ia. Sebermula jika laki-laki mendakwa perempuan helat pada yang tiada layak berlihat dengan lakilaki, kamu suruh bersumpah di rumahnya dan jangan diterima ikrar wakilnya dan kamu suruh saksi bersyahadat, jika tahu bersyahadat, kamu terima akan saksi dan jika dibawanya saksi seorang jua, periksa saksinya itu. Dan jika sudah kamu surat sarakatanya, jika belum pi (juga) sudah hukumnya pada hari itu, kamu perwa’ad (janji) perjanjikan datang ia pada hari lain, dan jika tiada datang pada hari wa’adnya itu, kamu alahkan dia, jika menang sekalipun hukumnya, maka demikian itu lama-lama sekali kamu kerjakan. Adapun jika belum tersurat sarkatanya, maka kamu perwa’adkan keduanya, jika tiada ia datang pada hari itu, kamu ta’zirkan akan dia. Dan jika seorang mendakwa sahaya, ia mengata dirinya mardhika, suruh berjilat besi orang yang didakwanya seperti yang harus, jika tunu kamu sungguhkan ia sahaya, jika tunu tsabitlah (tetaplah) ia mardhika, maka kamu ta’zirkan yang mendakwa dia. Sebermula barangsiapa taruh sahaya orang lari, jika semalam juga ditaruhnya, didenda seperti denda ta’zir, itupun jika tsabit didapat sagi hakim di rumahnya atau ada saksinya yang mendakwa itu. Sebermula yang menjual sahaya yang sudah diterima samusyteri, maka mati sahaya itu pada tangannya, sahlah tebusnya dan dirhamnya kamu suruh bayar. Sebermula hukum yang kamu dengarkan itu pada masa kerajaan paduka marhum Muda yang hilang di Kandang Medan dan pada zaman kita menjunjung kurnia Allah, dahulu itu janganlah didengarkan dakwanya. Sebermula barangsiapa mendakwa ia milik yang bercap halilintar, janganlah kamu dengarkan dakwanya dan kamu ta’zirkan akan orang itu, karena ia serasa durhaka akan Allah dan akan Rasulullah dan akan kita. Sungguhpun sedikit dalam fatwa sepeti yang telah diadatkan paduka marhum Saidil Mukamal dan paduka marhum Makota Alam dan paduka marhum Tajul Alam, maka lagi kitapun tiada menyalahi hukum Allah itu, supaya kita peroleh pahala yang maha besar. Sebermula lagi akan orang yang mentalak isterinya, janganlah dikembalikan perempuan itu depannya yang dibawanya akan dia seemas jua pun. Sebermula akan orang yang berhutang, apabila dizinai atau ditetak atau dipalu oleh yang tempatnya berhutang itu akan dia, kamu hukumkan orang itu seperti hukum Allah. Sebermula adat yang diadatkan paduka marhum Makota Alam dan paduka marhum Tajul Alam, bahwa yang duduk di balai panjang Baitul Rijal itu hanya kadhi dan orang kaya-kaya dan segala fakih

138

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

dan segala orang yang menyurat sarkata jua, jangan kamu beri orang yang lain, jika hulubalang sekalipun dan janganlah kamu salahi akan titah yang tersebut dalam fatwa ini, jika kamu salahi niscaya salahlah kamu. Demikian isi sarakata (fatwa/surat keputusan) yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Syamsul Alam. Di mana isi dari sarakata tersebut lebih banyak berkaitan dengan hukum pidana (jinayah), sedikit yang berhubungan dengan mu’amalah dan munakahat. 4.4 Sarakata Sultanah Tajul ‘Alam Safiatuddin Syah Sarakata Kerajaan Aceh lainnya, yaitu yang dikeluarkan oleh Sultanah Tajul ‘Alam Safiatuddin Syah, berbunyi:79 “Pada hijrat Nabi Sallallahu ‘alahi wassallam seribu dua puluh tahun, tujuh belas hari Rabiul awwal yaum al-Jum’ah ba’dal shalat pada zaman Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat zlill Allah fiil ‘alam tatkala itu insya Allah ta’ala dengan berkat mu’jizat segala ambiya walmursalin dan dengan berkat karamat sahabat yang keempat dan berkat ‘Izzat Sulatan al-‘Arifin Sayyid Muhyi al-Din ‘Abd al-Qadir al-Jilani dan dengan berkat segala qutb al-rabbani wag haw th al-samadani80 dan dengan berkat do’a Paduka Marhum sekalian dan dengan berkat Apuah Marhum Sayyid al-Mukammal, maka adalah Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat ziil Allah fiil ‘alam tatkala semayam atas tahta kerajaan yang atas kursi daripada emas kartas itu yang sepuluh mutu yang bertepikan ra’na mutu ma’nikam yang berumbai-rumbai di karang dewasa itulah sabda hadrat Syahi ‘Alam kepada Orangkaya Tuh Bahra dan kepada Penghulu Karkun Katib al-Mulk (sekretaris kerajaan) Seri Indra Sura dan kepada Karkun Seri Indera Muda yang dibalai besar serta surat tanda akan seperti dalam sarakata yang dibalai besar. Maka datang Orangkaya Tuh Bahra berhendaklah suruh salin ditaruh kepada hadrat Syahi ‘Alam. Maka kemudian daripada itu pada zaman Paduka Seri Sultan Taj al-‘Alam Safiyyat al-Din Syah Berdaulat ziil Allah fiil ‘alam pada masa itulah Orangkaya Tuh Bahra itu Seri Paduka Tuan Sabrang, maka mohon hadrat Syahi ‘Alam kehendak bersalin daftar sarakata Majlis Negeri Samar Langa negerinya serta dengan peringatannya, u Barat Krueng Ulim u Baroh habeh, u Timu Krueng Jeumpa, u Tunong habeh. Inilah pringan Negeri Samar Langa Enam Mukim”. Nampaknya isi sarakata dari Sultanah Sri Tajul ‘Alam Safiatuddin adalah mengenai penjelasan tentang batas Negeri Samar Langa Enam Mukim. Mungkin Sarakata ini merupakan jawaban atas permohonan dari Orangkaya Tuh Bahra Seri Paduka Tuan Sabrang tentang batas negerinya Samar Langa. 4.5 Kanun Syarak Kerajaan Aceh Khusus dalam masalah hukum ketatanegaran, Kerajaan Aceh memiliki sebuah kanun yang dikenal dengan “Kanun Syarak Kerajaan Aceh”. Kanun ini disusun atau ditulis pada tahun 1270 H, masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mansur Syah, oleh Said Abdullah ibn Ahmad ibn Ali ibn Abdul Rahman ibn Usman ibn Hasan ibn Wandi Meulek Said Laila Habib Syarif

79

Tuanku Abdul Jalil, Op.Cit, hal. 43-44. Qutb dan ghaw th merupakan tingkatan-tingkatan tertinggi dalam urutan jenjang dunia mistik. Ibid, hal. 43. 80

Aceh Serambi Mekkah

139

Abdullah ibn Sultan Jamalul ‘Alam, Badrul Munir Jamalullail, yang berlakab “Teungku di Meulek”81. Kanun Syarak Kerajaan Aceh ini membicarakan masalah tatacara (aturan) tentang pemilihan pejabat kerajaan, dari pimpinan terendah Keuchik sebagai kepala gampong, hingga sultan sebagai raja Kerajaan Aceh. Kanun Syarak Kerajaan Aceh merupakan saduran dari kitab Tazkirah Tabakah yang ditulis pada masa Sultan Alaiddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah.82 Kanun Syarak Kerajaan Aceh terdiri dari 15 fasal bab83, memuat tentang hukum ketatanegaran Kerajaan Aceh yang berpandukan pada ketentuan syari’at Islam. Fasal bab dalam kanun ini meliputi hal-hal sebagai berikut: fasal bab pertama adalah memilih raja, fasal bab kedua memilih Wazir (menteri), fasal bab ketiga memilih Kadhi Malikul Adil, fasal bab keempat memilih panglima perangan (Uleebalang), fasal bab kelima memilih Imuem Mukim, fasal bab keenam memilih Keuchik (kepala gampong), fasal bab ketujuh memilih wakil keuchik, fasal bab kedelapan memilih imam rawatib, fasal bab kesembilan Tuha Peuet, fasal bab kesepuluh memilih Syeikhul Islam Mufti Empat Mazhab, fasal bab kesebelas memilih hakim, fasal bab keduabelas memilih Kadhi Mu’azzam, fasal bab ketigabelas memilih laksamana kepala urusan sifael (tentara) darat dan laut, fasal bab keempatbelas menerima jadi sifael, dan fasal bab kelimabelas memilih Keurukoun Katib Al-Muluk. Namun dalam muatan lengkap isi Kanun Syarak Kerajaan Aceh itu berdasarkan Tranliterasi Kanun Syarak Kerajaan Aceh Pada Zaman Sultan Alaiddin Mansur Syah sebagaimana terdapat dalam buku yang berjudul “Nilai

81

Said Abdullah Di Meulek adalah anggota kabinet perang Kerajaan Aceh. Ia merupakan seorang pengarang, sastrawan, ulama, politikus dan negarawan. Syarif Hasyim Jamulullail, poyangnya Said Abdullah Di Meulek adalah Sultan Aceh pertama dari Dinasti Syarif yang menggantikan Dinasti Wanita. Syarif Hasyim adalah salah seorang anggota delegasi Syarif Mekkah yang diutus ke Aceh pada masa pemerintahan Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H / 1678-1688 M). Ketika delegasi tersebut kembali ke Mekkah, Syarif Hasyim memilih tetap menetap di Aceh dan diangkat sebagai penasehat kerajaan, sampai pada masa Ratu Kamalat Syah, dimana kemudian Syarif ini berhasil menjatuhkan Ratu Kamalat Syah dari tahta kerajaan dengan alasan bahwa wanita tidak boleh menjadi raja. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Alaiddin Ali Iskandar Syah, Said Abdullah Di Meulek yang masih remaja telah aktif dalam politik dan pemerintahan sebagai pejabat teras/ diplomat yang ditugaskan pada Wazir Badlul Muluk (menteri luar negeri). Pada tahun 1271 H / 1855 M, ia menjadi anggota delegasi Aceh ke Padang untuk mengadakan perundingan dengan Belanda, yang telah menduduki wilayah-wilayah Aceh di pesisir barat dan pesisir timur pulau Sumatera. Pengalaman dan karir Said Abdullah Di Meulek pada departemen luar negeri selama beberapa tahun, mengantarkannya kepada jabatan menteri (wazir), dimana pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah, ia diangkat sebagai Wazir Ramasetia Kerukun Katibal Muluk (menteri sekretaris negara). Jabatan ini terus dipeganggnya sampai pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 H / 1870-1874 M) dan dalam kebinet perang, ia juga diangkat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jenderal, disamping jabatannya sebagai Wazir Ramasetia Kerukun Katibal Muluk. A. Hasjmy, Peran Islam...., hal. 36-39. 82 Menurut penulis, Kanun Syarak Kerajaan Aceh inilah yang dimaksud oleh A. Hasjmy, yang dinamakan dengan Adat Meukuta Alam, atau yang terkenal dengan Kanun Al-Asyi (Undang-Undang Dasar Aceh). Dan menurut A. Hasjmy, kanun ini disusun bukan pada masa Sultan Alaiddin Mansur Syah, seperti yang tertera dalam buku “Nilai Sastera Ketatanegaraan dan Undang-Undang dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin”. Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 18, tapi disusun pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah II yang bergelar “Al-Qahhar” (945 -979 H / 1539-1571 M), yang

140

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Sastera Ketatanegaraan dan Undang-Undang dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh dan Bustanus Salatin” tidak berurutan seperti yang tersebut pada bagian pendahuluan dari kanun itu, bahkan dalam muatan isi kanun itu hanya terdapat 13 fasal bab, di mana fasal bab 13 dan 14 tidak tertera. Isi fasal bab yang termuat dalam kanun itu adalah fasal bab pertama sampai fasal bab keduabelas dan diakhiri dengan fasal bab kelimabelas, tanpa tertera fasal bab 13 dan 14.84 Adapun isi kandungan fasal bab Kanun Syarak Kerajaan Aceh ini sebagai berikut85: Fasal Bab Pertama Fasal bab ini berisikan tentang kewajiban kepada seluruh rakyat Aceh guna memilih Keuchik sebagai kepala pemerintahan di tingkat gampong. Tata cara pemilihan Keuchik ini ditetapkan melalui mufakat masyarakat gampong yang diselenggarakan di meunasah gampong. Dengan persyaratan calon keuchik sebagai berikut: 1. Telah berumur 40 tahun. 2. Mengetahui hukum syarak syari’at Nabi Saw. 3. Mengetahui hukum syarak Kerajaan Aceh. 4. Berasal dari keturunan yang baik. 5. Tidak mempunyai musuh di dalam gampong. 6. Bersifat berani pada yang benar. 7. Takut pada perkara yang salah. Keuchik yang terpilih berhak memilih enam orang sebagai pendampingnya (pembantu) dalam menjalankan tugas sebagai pemerintah gampong, yaitu: 1. Imam shalat rawatib di meunasah. 2. Wakil Keuchik. 3. Tuha Peuet (empat orang yang dituakan). Syarat kelayakan enam orang pembantunya Keuchik itu sama dengan syarat kelayakan calon keuchik, kecuali imam rawatib yang diharuskan fasih membaca fatihah dan mengerti pelaksanaan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sedangkan kelima orang pembantu yang lainnya diharuskan mengenal keseluruhan penduduk gampong (sebagai syarat khusus). Fasal Bab Kedua Fasal bab ini membicarakan masalah tata aturan pemilihan Imeum Mukim. Pemilihan

disempurnakan pada masa pemerintahan Iskandar Muda, yang bergelar “Darma Wangsa Perkasa Alam Syah” (1016-1045 H / 1607-1636 M). kemudian disempurnakan lagi pada masa pemerintahan Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Berdaulat (1050-1086 H / 1641-1675 M). A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 218-219. A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh..., hal. 22. Dan Al-Chaidar, Op.Cit, hal. 33. 83 Fasal bab merupakan istilah yang tersebut di dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh. 84 Abdullah Sani Usman, Op.Cit, hal. 21. 85 Ibid, hal. 29-43.

Aceh Serambi Mekkah

141

Imeum Mukim ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban Keuchik dan enam orang pendampingnya. Tata aturan ini berlandaskan pada kesepakatan mufakat dari ‘alim ulama ahli sunnah wal jama’ah yang dibentuk sekurang-kurangnya terdiri-dari tiga meunasah (gampong) dan sebanyak-banyaknya delapan meunasah (gampong). Syarat-syarat calon Imeum Mukim adalah: 1. Calon bukan bekas hamba sahaya. 2. Telah berumur 40 tahun. 3. Mengetahui hukum syarak Allah syari’at Nabi Saw. 4. Berasal dari keturunan orang yang baik. 5. Tidak mempunyai musuh di dalam gampong. 6. Bersifat berani pada yang benar. 7. Takut pada perkara yang salah. 8. Dapat menahan amarah. 9. Mengetahui hukum syarak Kerajaan Aceh. 10. Bersifat pemurah dan penyayang kepada fakir miskin. 11. Mengerti melaksanakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. 12. Mampu menjadi imam shalat Jum’at di mesjid. 13. Mampu menjadi khatib Jum’at di mesjid. 14. Bijaksana. 15. Mempunyai sifat malu dan tidak tamak. 16. Penyabar dan rendah hati. Lebih sempurnanya syarat calon Imeum Mukim dibandingkan dengan calon keuchik, karena Imeum Mukim dapat dinaikkan jabatannya menjadi Uleebalang, yaitu panglima perang, bahkan menteri dalam Kerajaan Aceh. Fasal Bab Ketiga Fasal bab ini berkenaan dengan tatacara pemilihan Uleebalang (panglima perang). Pemilihan dilakukan oleh Imeum Mukim, Keuchik dan pendampingnya. Wilayah yang diperintahkan oleh seorang uleebalang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga buah mukim dan sebanyak-banyaknya enam belas buah mukim. Pemilihan Uleebalang hendaklah sesuai dengan mufakat anggota pemilih dari wakil tiaptiap meunasah (gampong). Adakalanya pemilihan dilakukan oleh dua belas meunasah (gampong). Ini hendaklah disetujui oleh mufakat ‘alim ulama dengan anggota pemilih yang lain. Pemilihan Uleebalang yang khusus yaitu sebagai panglima perang, harus dilakukan karena setiap mukim harus ada seorang panglima perang, bertindak sebagai pegawai besar kerajaan. Untuk menjadi calon Uleebalang atau panglima perang yang merupakan kaki tangan kerajaan mestilah memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1. Uleebalang haruslah memiliki syarat yang dimiliki Imeum Mukim, yaitu enam belas syarat, serta membebankan dan menyuruh amar makruf dan nahi mungkar. 2. Berdasarkan hasil rapat mufakat dengan rakyat. 3. Senantiasa memelihara kehormatan rakyat.

142

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

4. Tidak merampas harta rakyat secara zalim. 5. Harus berpandukan hukum syarak Allah dan syari’at Nabi Muhammad Saw. 6. Serta juga berpandukan hukum syarak Kerajaan Aceh. Fasal Bab Keempat Fasal bab keempat ini berkenaan dengan tata aturan pemilihan Kadhi Malikul Adil. Tata aturan pemilihannya seperti syarat yang berlaku pada Imeum Mukim dan Uleebalang, yaitu enam belas syarat. Disamping itu, ia juga mempunyai syarat-syarat tambahan. Syarat-syarat tambahan sebagai calon Kadhi Malikul Adil adalah: 1. ‘Alim ilmu saraf. 2. ‘Alim ilmu nahu. 3. ‘Alim ilmu fikah. 4. ‘Alim ilmu tauhid. 5. ‘Alim ilmu tasawuf. 6. ‘Alim ilmu hadits. 7. ‘Alim ilmu tafsir. 8. ‘Alim ilmu sejarah. 9. ‘Alim ilmu balaghah. 10. ‘Alim ilmu bayan. 11. ‘Alim ilmu ma’ani. 12. ‘Alim ilmu isti’arah. 13. ‘Alim ilmu mantik. 14. ‘Alim ilmu hisab dan handasah. 15. ‘Alim ilmu adab. Fasal Bab Kelima Fasal bab ini menguraikan tata aturan pemilihan Syeikhul Islam yang berperan sebagai mufti mazhab empat yang muktabar. Tata aturan pemilihan syeikhul Islam sebagai mufti adalah dengan mengundang seluruh ‘alim ulama yang ada di seluruh negeri bermusyawarah di hadapan paduka Sultan Alaiddin di bale khadam syari’ah Islamiyah. Kemudian dipilih seorang ‘alim ulama setiap mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sebelum pemilihan wakil dari masing-masing mazhab, terlebih dahulu dibentuk kumpulan menurut mazhab masing-masing. Wakil dari setiap mazhab merupakan seorang ulama yang dianggap ‘alim di kalangan mereka. Pemilihan syeikhul Islam dilakukan oleh wakil-wakil yang memenuhi untuk menjadi calon syeikhul Islam, sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Syarat-syarat tambahan86 yang mesti dimiliki oleh calon syeikhul Islam mufti empat mazhab: 1. Syeikhul Islam ialah ulama yang dipikirkan ‘alim pada masa tersebut. 2. Syeikhul Islam bukan ulama jagung 86

Syarat utama yang harus ada adalah sama dengan syarat-syarat calon uleebalang.

Aceh Serambi Mekkah

143

3. Telah memenuhi syarat-syarat sebagai uleebalang. 4. Ahli dalam hukum syarak. 5. Memiliki intelektual yang tinggi. 6. Mengetahui seluruh qawl (pendapat) ulama dalam mazhabnya. 7. Mengetahui semua bidang ilmu syarak yang muktamad. 8. Mengetahui lima belas macam ilmu yang disyaratkan kepada kadhi malikul adil. 9. Syeikhul Islam cerdik dan bijaksana. 10. Syeikhul Islam kuat ingatannya. 11. Berwawasan dan memahami sesuatu secara terperinci. 12. Syeikhul Islam seorang yang shalih. 13. Syeikhul Islam seorang yang warak. 14. Syeikhul Islam seorang yang tidak tamak. Fasal Bab Keenam Fasal bab ini menjelaskan tentang tata aturan pemilihan hakim. Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang untuk menjadi hakim. Syarat-syarat yang ditentukan oleh Kanun Syarak Kerajaan Aceh adalah sebagai berikut: 1. Calon hakim mesti memenuhi syarat-syarat untuk menjadi Imeum Mukim. 2. Hakim bukanlah seorang perempuan. 3. Mengetahui bahasa asing. 4. Seorang yang menjadi hakim, hendaklah memeriksa tertuduh, menanyakan terlebih dahulu serta menjalankan tugasnya dengan lemah lembut. 5. Hanya menerima saksi yang kuat, yaitu dengan sumpah yang adil. 6. Tidak menerima risywah (suap). 7. Tidak melambatkan perkara yang akan disidangkan dan dalam memutuskan hukum. 8. Hukum dilaksanakan sesuai dengan hukum syarak Allah Swt syari’at Nabi Muhammad Saw. Siapa yang bersalah harus dilaksanakan hukuman ke atasnya sesuai dengan hukum yang ada. Fasal Bab Ketujuh Fasal bab ini menerangkan tentang tata aturan penerimaan Sifael, yaitu syarat-syarat ketentuan yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Syarat-syarat yang mesti dipunyai oleh seorang yang hendak menjadi sifael, adalah: 1. Mestilah memenuhi syarat untuk menjadi Keuchik. 2. Calon bukan orang yang menzalimi. 3. Calon bukan orang yang khianat. 4. Calon bukan orang yang lalai. 5. Calon bukan orang yang merampas harta milik orang. 6. Taat setia pada hukum syarak Allah Swt, syari’at Nabi Saw dan hukum Kanun Syarak Kerajaan Aceh. 7. Taat setia kepada sultan, negeri dan rakyat. 8. Calon mendapat izin dari kedua orang tuanya. 9. Calon memiliki surat keterangan dari keuchik yang dialamatkan kepada Laksamana mengenai

144

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

kelakuan dan akhlaknya. 10. Jika syarat yang kesembilan , yaitu surat keterangan keuchik gampong tempat ia tinggal tidak didapati, maka calon tidak dapat diterima menjadi calon sifael. Untuk menjadi imam sifael, calon mestilah memiliki syarat tambahan, yaitu syarat-syarat imam rawatib. Fasal bab ini juga menerangkan tentang pakaian sifael daerah (darat) dan laut. Pakaian sifael daerah (darat), ialah tengkulok (tidak disebutkan warnanya) dengan baju hitam, celana hitam dan kain pinggang hitam. Sedangkan pakaian sifael laut ialah tengkulok merah, baju putih, celana hitam dan kain pinggang hitam. Fasal Bab Kedelapan Fasal bab ini menerangkan tata aturan untuk memilih Keurukon Katib al-Muluk, dengan ketentuan memenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat yang mesti dipunyai oleh calon keurukon katib al-muluk adalah: 1. Memenuhi syarat yang ditentukan untuk menjadi Uleebalang, enam belas syarat. 2. Mengetahui bahasa Arab, Turki, Jawi, Urdu dan Hindustan. 3. Kuat ingatan dan tidak pelupa. 4. Ahli qalam, yaitu ahli dalam tata cara surat-menyurat. 5. Ahli kalam, yaitu ahli dalam tata cara bertutur bahasa atau seorang pemidato (orator). Fasal Bab Kesembilan Fasal bab ini menerangkan tentang tata aturan untuk memilih Kadhi Mu’azzam, dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Syarat-syarat yang mesti dipunyai oleh calon kadhi mu’azzam adalah: 1. Kadhi Mu’azzam mencukupi syarat yang ditentukan kepada Kadhi Malikul Adil. 2. Menjaga semua kadhi yang berada dalam daerah kekuasaan setiap Uleebalang. 3. Menasihati semua kadhi yang berada dalam daerah kekuasaan setiap uleebalang. 4. Kadhi Mu’azzam juga tidak ragu-ragu memecat kadhi yang menghukum secara zalim. Pemecatan dibuat setelah siasatan dilakukan dan terlebih dahulu bermusyawarah dengan mufti syeikhul Islam. 5. Cerdik dan bijaksana. 6. Dapat menyembunyikan rahasia. Fasal Bab Kesepuluh Fasal bab kesepuluh mengatur tentang tatacara pemilihan Laksamana, sebagai menteri peperangan angkatan perang Kerajaan Aceh. Syarat-syarat (termasuk kewajiban/tugas) yang mesti dipunyai oleh calon laksamana adalah: 1. Memenuhi syarat enam belas, seperti syarat menjadi Uleebalang. 2. Mengetahui peperangan, maksudnya dapat berperang melawan musuh jika perlu. 3. Mengerti strategi peperangan. 4. Mengetahui ilmu peperangan. 5. Mengetahui tertib darjah Sifael secara keseluruhan. 6. Setia pada sultan, negeri dan rakyat. Aceh Serambi Mekkah

145

7. Menguruskan senjata. 8. Menguruskan makanan dan pakaian sifael. 9. Mengajar sifael cara mempergunakan senjata. 10. Mengajar sifael cara bermain silat. 11. Semua sifael diperintahkan menuntut ilmu kebal. 12. Saling kasih mengasihani kepada semua sifael. 13. Memberi tadah untuk setiap seorang dalam sebulan lima tahil. 14. Tadah diantara mereka yang diberikan tidak mesti sama, tetapi sebanyak-banyak pemberian tadah ialah lima tahil. 15. Memberi nasihat kepada semua sifael. Fasal Bab Kesebelas Fasal bab ini menyatakan tentang kewajiban kerajaan memilih calon untuk menjadi menteri Kerajaan Aceh, yang terdiri dari: 1. Mangkubumi empat orang. 2. Perdana menteri dua orang. 3. Menteri dalam negeri. 4. Menteri luar negeri. 5. Menteri pertanaman (pertanian). 6. Menteri jual beli (perdagangan). 7. Menteri harta wakaf. 8. Menteri rimba (kehutanan). 9. Menteri binaan. 10. Menteri purba. 11. Menteri dirham (keuangan). 12. Menteri keadilan. 13. Menteri mizan empat orang. Menteri-menteri Kerajaan Aceh harus dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Kanun Syarak Kerajaan Aceh, yaitu: 1. Memenuhi syarat enam belas seperti syarat menjadi Uleebalang. 2. Ahli dalam bidang pekerjaan yang diserahkan. 3. ‘Alim ilmunya seperti Kadhi Malikul Adil. 4. Setia kepada kerajaan. 5. Setia kepada sultan. 6. Setia kepada negara. 7. Setia kepada rakyat. 8. Setia kepada pekerjaan yang telah dibebankan kerajaan. 9. Kuat pikiran, yaitu sanggup memikirkan hal-hal yang pelik dan sukar. 10. Memelihara adab, sopan santun dan mempunyai keteguhan dan kesetiaan. 11. Benar, apabila menuturkan perkataan. 12. Semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur.

146

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

13. Sabar dalam menghadapi segala permasalahan. 14. Tiada sebarang fitnah ditimpakan. 15. Menjalankan pekerjaan, baik urusan kerajaan, negeri maupun rakyat dengan sungguh-sungguh dan yakin. Fasal Bab Kedua Belas Fasal bab ini menerangkan tata aturan pemilihan Sultan dan pengganti sementara, jika sultan mangkat. Hasil pemilihan haruslah sesuai dengan keputusan dan ketetapan Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Jika sultan mangkat, maka Kadhi Malikul Adil yang akan menjabat sebagai wakil sementara sultan, ditabal dengan syarat yang ditetapkan seperti dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh “Sultan Alaiddin” dengan kesepakatan Mahkamah Kanun Syarak. Kadhi Malikul Adil dapat memegang jabatan sementara sebagai wakil sultan, karena Kadhi Malikul Adil ialah Jaksa Agung yang berpegang teguh pada hukum syarak Allah Swt, syari’at Nabi Saw. Anggota pemilihan sultan terdiri-dari: 1. Keuchik, wakil keuchik, Imam Rawatib Meunasah Sagoe dan Tuha Peuet Yang berjumlah tujuh orang pada tiap-tiap gampong seluruh Aceh. 2. Seluruh Imeum Mukim. 3. Seluruh Uleebalang pada tiap-tiap daerah. 4. Kadhi Malikul Adil. 5. Syeikh, imam, mufti empat mazhab. 6. Kadhi Mu’adham. 7. Kadhi-kadhi daerah Uleebalang. 8. Mangkubumi empat orang. 9. Menteri mizan empat orang. 10. Perdana menteri dua orang. 11. Keurukun katib al-muluk. 12. Laksamana menteri peperangan. 13. Menteri dalam negeri. 14. Menteri luar negeri. 15. Menteri keadilan sekalian hakim. 16. Menteri dirham (keuangan). 17. Menteri harta wakaf. 18. Menteri binaan. 19. Menteri jual beli bale furzah. 20. Menteri rimba. 21. Menteri pertanaman. 22. Menteri purba. 23. Uleebalang empat sekalian Majlis Mahkamah Bale Rong Sari. 24. Uleebalang delapan sekalian majlis anggota Bale Gadeng. 25. Semua anggota Bale Mahkamah Rakyat. 26. Semua ‘alim ulama syarak ahli sunnah wal jama’ah dan cerdik pandai di seluruh Kerajaan Aceh Serambi Mekkah

147

Aceh. Barangsiapa di antara anggota pemilihan sultan berhalangan dan tidak dapat menghadiri pemilihan agung ini, maka ia boleh menunjuk wakil untuk mewakilinya dengan menyertakan tanda atau cap dan persembahan khas sebagai bukti dari yang diwakilinya. Apabila seluruh anggota pemilihan sultan telah hadir, maka mereka bermufakat dan bermusyawarah dengan kesepakatan ‘alim ulama, kemudian barulah dibuat pilihan siapa yang layak diangkat menjadi “Sultan Aceh” dan “ditabalkan di atas batu tabal” dengan semua syaratnya. Keputusan pemilihan ini merujuk kepada suara terbanyak dari anggota pemilihan sultan. Syarat-syarat sebagai calon yang dilantik Sultan Aceh adalah: 1. Beragama Islam. 2. Berketurunan baik 3. Berakal-baligh. 4. Warga Negara Aceh. 5. Berani. 6. ‘Alim. 7. Pandai, cerdik dan bijaksana. 8. Adil. 9. Pengasih dan lembut hati. 10. Mengetahui lughah. 11. Menepati janji. 12. Tidak safih. 13. Baik anggota. 14. Sempurna panca indera. 15. Benar berbicara (bukan penipu). 16. Kasih sayang. 17. Sangat penyabar. 18. Dapat menahan amarah. 19. Sangat pemaaf. 20. Dapat memelihara hawa nafsu jahat. 21. Teguh dan selalu bertawakal kepada Allah. 22. Selalu bersyukur kepada Allah. 23. Bersifat adil. Kemudian Kanun Syarak Kerajaan Aceh mengungkapkan “syahdan tidak dapat Adil Sultan melainkan wajib mengerjakan sepuluh perkara”. Sepuluh perkara yang wajib dijalankan sultan adalah: 1. Meninggikan agama Allah Ta’ala, yaitu agama Islam Syari’at Nabi Muhammad Saw. 2. Beramal dengan amalan yang baik yang memberi manfaat pada dirinya, negara dan rakyat secara keseluruhan dunia-akhirat. 3. Memakmurkan negara, gampong, dusun dan bandar dengan menggalakkan perdagangan luar negeri.

148

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

4. Memerhati dan selalu waspada terhadap seluruh pegawai-pegawai kerajaan, baik besar maupun kecil. 5. Memeriksa apa yang ditangguhkan dalam jual beli, jika terlambat pembayarannya, yaitu gubernur, nazir, syahbandar dan semua saudagar agar terhindar dari tersangkut hutang piutang perdagangan luar negeri Aceh. 6. Sultan yang duduk di singgahsana memperhati dan mengamati semua perkara yang membawa kepada dakwa-dakwi dan perbalahan sesama mereka, mendamaikan diantara mereka yang berdakwa-dakwi sesuai menurut hukum Allah Swt, syari’at Nabi Muhammad Saw dan hukum Kanun Syarak Kerajaan Aceh. 7. Mengira atau menghitung harta wakaf dan mengeluarkan terhadap yang perlu dikeluarkan. Jangan mengambil kesempatan atau merampas sedekah wajib, yaitu zakat dan fitrah yang ada dalam setiap gampong. Karena zakat dan fitrah ialah hak fakir-miskin. 8. Berani menghukum siapa yang bersalah, yaitu mereka yang melakukan perbuatan menyalahi syarak Allah, syarak Rasul dan syarak kerajaan. 9. Memberhentikan dan memecat siapa yang bersalah dari jabatannya dan memilih yang lain sebagai ganti. 10. Meluluskan atau memaafkan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh pegawai-pegawai kerajaan. Maka setiap “Sultan Aceh” atau raja-raja Islam yang berupaya mengerjakan sepuluh perkara tersebut, maka “raja adil” inilah yang dinamakan yang berada di bawah panji-panji Nabi Muhammad Saw dan mendapat syafa`at baginda di hari kiamat nanti. Kemudian Kanun Syarak Kerajaan Aceh menguraikan “syahdan bahwa kerajaan, sultan dan raja-raja Aceh tidak boleh dipusakai sesuai dengan pendapat mazhab ahli sunnah wal jama’ah. Keterangan ini berpandukan pada ayat al-Qur`an, hadits dan perkataan Imam Ghazali Hujjatul Islam:

Sabda Nabi Muhammad Saw:

Perkataan Imam Ghazali Hujjatul Islam ialah “apabila ada dua atau lebih sebagai calon untuk menjadi Sultan Aceh, maka yang layak dan sah adalah yang paling banyak mendapat suara sokongan dari rakyat”. Selanjutnya Kanun Syarak Kerajaan Aceh membicarakan tentang tanya jawab yang dimulai dengan soal mengapa Sultan Aceh bergelar “Sultan Alaiddin”. Jawabnya ialah: 1. Raja Aceh beragama Islam. 2. Mentadbir atau memerintah negara sesuai dengan tuntunan agama Islam. 3. Kerajaan Aceh bernaung di bawah agama Islam yang mulia. 4. Raja Aceh mentadbir atau memerintah negara mengikut hukum syarak Allah, syari’at Nabi Saw, yaitu terdiri dari; Aceh Serambi Mekkah

149

- Hukum syarak Islam. - Adat syarak Islam. - Reusam syarak Islam. - Kanun syarak Islam. Keempat-empat fakta di atas dihimpun menjadi tiga fakta syarak, yaitu: - Syarak Allah Swt. - Syarak Rasul Saw. - Syarak Kerajaan Aceh Sultan Alaiddin. Kemudian Kanun Syarak Kerajaan Aceh menguraikan susunan pertangungjawaban setiap jabatan, yaitu: 1. Semua Keujrun Blang dan Panglima Meugoe, takluk di bawah hukum menteri pertanaman. 2. Semua Bintara Semesat dan Bintara Sidek (bintara sidek sasat atau intelijen) takluk di bawah hukum laksamana menteri peperangan. 3. Semua Panglima Laot takluk di bawah hukum laksamana. 4. Semua Hariya Pekan (pengutip pajak) takluk di bawah hukum syahbandar. 5. Syahbandar takluk di bawah hukum menteri dagang bale furzah. 6. Keuchik-keuchik takluk di bawah hukum Imeum Mukim. 7. Imeum Mukim takluk di bawah hukum Uleebalang. 8. Uleebalang takluk di bawah Amil, yaitu gubernur. 9. Amil atau gubernur takluk di bawah hukum menteri dalam negeri. 10. Kadhi-kadhi takluk di bawah hukum Kadhi Mu’azzam, bekerjasama dengan mufti empat. 11. Semua Imam Rawatib Meunasah Sagoe takluk di bawah hukum kadhi. 12. Tuha Peuet dan wakil keuchik takluk di bawah hukum Keuchik Sagoe. Apabila dalam gampong ada rakyat berkelahi, maka yang bertanggungjawab dalam hal tersebut, pertama sekali Keuchik, kedua wakil keuchik, ketiga Tuha Peuet, keempat imam rawatib. Maka kalau tidak dapat diselesaikan perkara tersebut di tingkat gampong, baik karena besarnya perkara atau tidak puasnya yang bertikai, kedua-duanya yang berkelahi dibawa kepada hakim atau ke badan hukum yang lebih tinggi. Syarat membawa perkara tersebut ke pihak yang lebih tinggi mestilah mendapat izin atau surat pengantar dari Keuchik Sagoe dalam gampong. Sebab hal ikhwal kelakuan orang dalam gampong, hanya Keuchik yang sangat mengetahuinya. 13. Semua hakim takluk di bawah Kadhi Malikul Adil. 14. Semua menteri takluk di bawah hukum perdana menteri. 15. Mengkubumi yang empat dan menteri mizan yang empat adalah tempat raja bermusyawarah pada tingkat akhir. 16. Hukum syarak agama Islam semuanya di bawah urusan Syeikhul Islam mufti empat dengan Kadhi Mu’azzam. 17. Hukum kanun, adat syarak yang mempunyai sangkut paut dengan syarak Kerajaan Aceh, semuanya di bawah urusan perdana menteri dengan Kadhi Malikul Adil. Kemudian Kanun Syarak Kerajaan Aceh menguraikan pernyataan hukum adat yang berdaulat. Ia merupakan hasil musyawarah anggota Majlis Bale Mahkamah Rakyat yang terdiri

150

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

dari 73 wakil rakyat Aceh serta tujuh orang ‘alim ulama ahli sunnah wal jama’ah. Kemudian hasil keputusan musyawarah tersebut dibawa ke tempat anggota Majlis Mahkamah Bale Gadeng yang di dalamnya beranggotakan delapan uleebalang dan tujuh orang ‘alim ulama ahli sunnah wal jama’ah. Kemudian setelah selesai di Mahkamah Bale Gadeng, keputusan tersebut diajukan lagi ke Mahkamah Bale Rong Sari yang beranggotakan empat uleebalang dan tujuh orang ‘alim ulama ahli sunnah wal jama’ah. Maka jumlah kesemua ulama di tempat tersebut ialah dua puluh satu orang. Mereka berperan sebagai penasehat agar tidak terburu nafsu dan tergopohgopoh dalam menetukan keputusan mengikut syarak kerajaan. Kemudian setelah keputusan akhir dihasilkan, maka keputusan tersebut dibawa ke hadapan majlis yang maha mulia Paduka Sri Sultan Alaiddin, yaitu majlis yang beranggotakan empat orang mangkubumi dan empat orang menteri mizan yang merupakan Majlis Pertimbangan Agung. Fasal Bab Kelima Belas Fasal bab ini menerangkan pembagian hukum syarak Allah Swt, syari’at Nabi Muhammad Saw. Hukum Syarak Allah, Syari’at Nabi Muhammad Saw terdiri dari: 1. Hukum syar’î. 2. Hukum ‘arîdl. 3. Hukum dharûrî. 4. Hukum nafsî. 5. Hukum nazarî. 6. Hukum ‘uruf. 7. Hukum ma’ruf. 8. Hukum muqâbalah. 9. Hukum mu’âmalah. 10. Hukum ijmâ mahkamah jam’iyah. Kanun Syarak Kerajaan Aceh terdiri dari: 1. Adat. 2. Reusam. 3. Kanun. Adat terdiri dari: 1. Adat syar’î. 2. Adat ‘arîdl. 3. Adat dharûrî. 4. Adat nafsî. 5. Adat nazarî. 6. Adat ‘uruf. 7. Adat ma’ruf. 8. Adat muqâbalah. 9. Adat mu’âmalah. 10. Adat ijmâ mahkamah jam’iyah. Aceh Serambi Mekkah

151

Reusam terdiri dari: 1. Reusam syar’î. 2. Reusam ‘arîdl. 3. Reusam dharûrî. 4. Reusam nafsî. 5. Reusam nazarî. 6. Reusam ‘uruf. 7. Reusam ma’ruf. 8. Reusam muqâbalah. 9. Reusam mu’âmalah. 10. Reusam ijmâ mahkamah jam’iyah. Kanun terdiri dari: 1. Kanun syar’î. 2. Kanun ‘arîdl. 3. Kanun dharûrî. 4. Kanun nafsî. 5. Kanun nazarî. 6. Kanun ‘uruf. 7. Kanun ma’ruf. 8. Kanun muqâbalah. 9. Kanun mu’âmalah. 10. Kanun ijmâ mahkamah jam’iyah. Kemudian Kanun Syarak Kerajaan Aceh menguraikan mengenai penegasan dan tekanan serta pemberitahuan secara resmi tentang apa yang berlaku sepanjang masa di seluruh dunia Islam, dan jika ada perubahan karena pengaruh perubahan zaman, itu hanyalah tambahan atau penyesuaian zaman. Lalu ditutup dengan ungkapan: “Insyâ Allah Ta’âlâ bi ‘awni-Llâh al-Mâlik al’âlim bi jâhi al-Nabî sallaLlâhû ‘alaihi wa sallam”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa isi fasal bab Kanun Syarak Kerajaan Aceh secara umum terdiri dari: - Fasal bab pertama berisikan tentang kewajiban kepada seluruh rakyat Aceh untuk memilih Keuchik sebagai kepala pemerintahan di tingkat gampong, disertai dengan ketentuan tentang tatacara pemilihan Keuchik dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Keuchik. - Fasal bab kedua adalah tata aturan pemilihan Imeum Mukim dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Imeum Mukim. - Fasal bab ketiga berkenaan dengan tatacara pemilihan Uleebalang (panglima perang) dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Uleebalang. - Fasal bab keempat mengatur tata aturan pemilihan Kadhi Malikul Adil dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Kadhi Malikul Adil. - Fasal bab kelima mengenai tatacara pemilihan Syeikhul Islam yang berperan sebagai mufti mazhab empat yang muktabar dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Syeikhul Islam.

152

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

- Fasal bab keenam adalah tentang tatacara pemilihan hakim dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang hakim. - Fasal bab ketujuh adalah tentang tatacara penerimaan sifael dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang sifael. - Fasal bab kedelapan tentang tata aturan untuk memilih Keurukon Katib Al-Muluk dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Keurukon Katib Al-Muluk. - Fasal bab kesembilan menerangkan tentang tata aturan pemilihan Kadhi Mu’azzam dan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang Kadhi Mu’azzam. - Fasal bab kesepuluh mengatur tentang tatacara pemilihan laksamana, sebagai menteri peperangan angkatan perang Kerajaan Aceh, serta syarat yang mesti dimiliki oleh seorang laksamana. - Fasal bab kesebelas menyatakan tentang hak-kewajiban kerajaan untuk memilih para menteri Kerajaan Aceh, serta persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang menteri. - Fasal bab keduabelas mengatur tentang tatacara pemilihan sultan dan pengganti sementara jika sultan mangkat dan yang dapat ditabal untuk menjadi sultan, tatacara pemilihan dan persyaratan yang mesti dimiliki oleh seorang sultan. - Terakhir, langsung fasal bab kelimabelas (tidak ada fasal bab 13 dan 14). Fasal bab kelimabelas ini menerangkan tentang pembagian hukum syarak Allah, syari’at Nabi Muhammad Saw, dan Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Dari lima buah peraturan perundang-undangan87, termasuk sarakata (surat keputusan sultan) yang diproduksi pada masa Kerajaan Aceh tersebut, tergambar bahwa hukum Kerajaan Aceh didasari pada ketentuan syari’at Islam. Hal ini sebagaimana terlihat dalam beberapa pasal dari Adat Meukuta Alam, yang secara tegas menyatakan hal tersebut. Seperti termuat dalam Pasal 7 bagian pertama, yang intinya adalah seorang Uleebalang berkewajiban memperbaiki mesjid yang rusak atau membangun mesjid yang diperlukan oleh masyarakat, menyuruh shalat jum’at dan shalat berjamaah lima waktu, mengeluarkan zakat dan menjalankan pemerintahan dengan keadilan berdasarkan syara’ Nabi Muhammad Saw, melaksanakan rukun Islam dan menjauhkan segala larangannya. Pernyataan yang serupa juga terdapat dalam bagian pertama Pasal 17 Adat Meukuta Alam, yang menyatakan bahwa seorang Uleebalang wajib menghukum orang yang berbuat kejahatan sesuai dengan adat yang berlaku di Negri Aceh secara adil menurut hukum Allah dan rasulNya. Demikian juga yang terdapat dalam bagian pertama Pasal 31 yang berbunyi: “Maka yang berkhusumat dua hulubalang serta dua belah ahli waris yang tersebut telah wajib menurut timbangan raja dengan ulama menurut hukum Allah dan rasul”. Disamping itu, nilai-nilai syari’at Islam secara kental juga terdapat dalam beberapa pasal lainnya dalam Adat Meukuta Alam, antara lain: 1. Bagian pertama Pasal 25, menyatakan bahwa seorang pembunuh harus membayar diyatt kematian. 87

Hanya lima buah peraturan perundang-undangan yang dapat ditemukan oleh penulis. Itu artinya masih banyak lagi peraturan lainnya yang telah diproduk oleh Kerajaan Aceh yang belum penulis temukan literaturnya.

Aceh Serambi Mekkah

153

2. Bagian pertama Pasal 26, menyatakan bahwa diat kematian orang merdeka adalah 100 ekor unta. 3. Bagian pertama Pasal 28 dan 29, menyatakan bahwa jika ahli waris yang mati tidak mau menerima diyat, maka pembunuh itu dihukum mati (qishash). 4. Bagian pertama Pasal 35, manyatakan bahwa seorang pencuri dihukum potong tangan. 5. Bagian kedua Pasal 1- 12, mengatur tentang perayaan hari-hari besar Islam. Kemudian dalam undang-undang tentang hukum ahkwal al-syakhsiyah masa Ratu Safiatuddin, juga disusun sesuai dengan ketentuan syari’at Islam, seperti dalam masalah harta bersama (hareuta seuharekat) dan masalah tanggung jawab bekas suami terhadap nafkah isteri yang diceraikan. Perberlakuan syari’at Islam di Kerajaan Aceh juga tergambar dalam sarakata (fatwa/surat keputusan) Paduka Sri Sultan Syamsul Alam. Secara khusus dalam paragraf kedua sarakata itu berbunyi: “Adapun yang kamu kerjakan di balai panjang pada menghukumkan segala rakyat kita, jangan kamu menyalahi hukum Allah seperti yang tersebut dalam kitabullah, kamu iring dengan adat karena yang lagi kita bahwa kita serahkan pekerjaan kita itu kepada Allah ta’ala supaya ditolongnya kita pada pekerjaan yang adil selama kita menjunjung khalifatullah seperti diyat luka atau diyat nyawa, maka kamu kerjakanlah seperti yang berlaku pada hukum Allah, jangan kamu kerjakan diyat yang berlaku pada adat”. Selain itu, nuansa nilai-nilai Islam juga tergambar dalam isi Sarakata Sultanan Tajul ‘Alam Safiatuddin Syah yang dimulai dengan ungkapan : “Pada hijrat Nabi Sallallahu ‘alahi wassallam seribu dua puluh tahun, tujuh belas hari Rabiul awwal yaum al-Jum’ah ba’da shalat pada zaman Paduka Sri Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat zdill Allah fiil ‘alam tatkala itu insya Allah ta’ala dengan berkat mu’jizat segala ambiya walmursalin dan dengan berkat karamat sahabat yang keempat...” Demikian juga dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh ditegaskan bahwa semua pejabat kerajaan Aceh harus memiliki persyaratan bahwa mereka adalah orang Islam dan ta’at melaksanakan syari’at Islam. Adanya persyaratan ini menunjukkan bahwa syari’at Islam menjadi pertimbangan utama dalam masalah hukum ketatanegara Kerajaan Aceh. Dan dalam ketentuan Kanun Syarak Kerajaan Aceh terlihat peran ulama sangat besar dalam pengambilan keputusan kerajaan, dimana di setiap Bale (balai) Majlis Mahkamah ditetapkan harus ada anggota dari kalangan ‘alim ulama (khusus bermazhab ahli sunnah wal jama’ah) sebanyak tujuh orang. Sehingga dari tiga Majlis Bale Mahkamah pengambil keputusan, yaitu Bale Mahkanah Rakyat, Bale Gadeng dan Bale Rong Sari, jumlahnya menjadi dua puluh satu orang. Mereka berperan sebagai pengawal musyawarah, supaya hukum yang dihasilkan tidak bertentangan dengan hukum syarak Allah dan syari’at Nabi Muhammad Saw. Disamping itu, adat, reusam dan kanun yang berlaku di Kerajaan Aceh harus didasari pada sepuluh hukum syarak Allah dan syari’at Nabi Muhammad, yaitu (1) hukum syar’î. (2) hukum ‘arîdl. (3) hukum dharûrî. (4) hukum nafsî. (5) hukum nazarî. (6) hukum ‘uruf. (7) hukum ma’ruf. (8) hukum muqâbalah. (9) hukum mu’âmalah. (10) hukum ijmâ mahkamah jam’iyah.

154

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah menjadi ideologi/pandangan hidup Kerajaan Aceh, sehingga hukum yang berlaku di Kerajaan Aceh adalah hukum yang berdasarkan syari’at Islam. Namun demikian, ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam hukum tersebut, khususnya yang termuat dalam Adat Meukuta Alam. Kelemahan dimaksud adalah adanya beberapa pasal yang menyatakan bahwa seorang raja (sultan) dapat bertindak sesukanya, tanpa ada batasan hukum tertentu dalam memutuskan hukumnya. Hal ini sebagaimana terlihat dalam bagian pertama Adat Meukuta Alam, sebagai berikut: 1. Pasal 10, menyatakan bahwa jika seorang hamba raja mati terbunuh, maka raja boleh berbuat sesukanya terhadap ahli waris pembunuh. 2. Pasal 15, menyatakan bahwa jika seorang hamba raja mati terbunuh, maka raja boleh menentukan denda kepada ahli waris pembunuh menurut kadar sesukanya. 3. Pasal 41, menyatakan bahwa jika sekelompok orang bermaksud melakukan suatu kejahatan tidak mau mengurungkan niatnya untuk berbuat jahat, sekalipun telah diberi peringatan oleh uleebalang, maka raja dapat berbuat sesukanya terhadap mereka. 4. Pasal 45, menyatakan bahwa jika seorang hamba raja berbuat kesalahan, maka raja boleh berbuat apa saja terhadapnya. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa, nampaknya Adat Meukuta Alam sebagai hukum tertinggi Kerajaan Aceh, memberi peluang bagi raja (sultan) untuk bertindak otoritatif dalam hal tertentu. Ini merupakan suatu bentuk negatif dari pelaksanan hukum di Kerajaan Aceh waktu itu. Namun demikian, keberadaan Adat Meukuta Alam sebagai konstitusi negara, khususnya pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan suatu bentuk reformasi hukum Kerajaan Aceh, yang sebelumnya tidak mengenal adanya konstitusi tersebut. Di sisi lain, keberadaan Adat Meukuta Alam yang didasari pada nilai-nilai hukum syara’, telah dapat mempersatukan rakyat Aceh, sehingga Sultan Iskandar Muda (pencetus Adat Meukuta Alam) memperoleh martabat yang tinggi di dalam dan di luar negeri. Hal ini juga telah menjadikan negeri Aceh sebagai stasiun perkembangan Islam ke seluruh nusantara, dan karena tersebut negeri Aceh mendapat julukan “Serambi Mekkah”.88 Aturan-aturan hukum yang Islami ini tetap berlaku dan dipertahankan selama Kerajaan Aceh Darussalam ini ada. Bahkan setelah Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Aceh masih mempertahankan beberapa aturan hukum itu sebagai bahagian dari adat yang hidup dalam masyarakat, seperti hukum kekeluargaan yang diatur pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan aturan hukum tentang keuchik dan imeum mukim yang terdapat dalam Kanun Syarak Kerajaan Aceh. SISTEM PERADILAN KERAJAAN ACEH 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman pada masa Kerajaan Aceh bukanlah kekuasaan yang mandiri. Pihak penguasa/pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif juga ikut terlibat di dalamnya.

88

H.M. Zainuddin, Op.Cit, hal. 336.

Aceh Serambi Mekkah

155

Namun demikian, ini bukanlah merupakan hal negatif untuk ukuran masa itu. Karena kondisi sosio-cultural dan sosio-politik ketika itu yang menghendaki tidak adanya pemisahan mutlak kekuasaan negara kepada tiga kekuasaan seperti yang dikenal pada zaman modern sekarang ini, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kerajaan Aceh merupakan negara yang mengakui atau menjadikan dirinya sebagai Negara Hukum. Oleh karena itu, pembinaan dan penegakan hukum menjadi masalah penting yang mendapat perhatian khusus. Agar pelaksanaan hukum berjalan sesuai ketentuan (baik menurut hukum adat maupun syari’at Islam), maka dibentuklah lembaga-lembaga pelaksana sekaligus sebagai lembaga pembinaan hukum yang bertugas mengawasi dan/atau melaksanakan hukum, yaitu: 1. Balai Majlis Mahkamah Agung, yaitu lembaga tertinggi dalam bidang kehakiman yang dipimpin oleh Wazir Mizan (Menteri Kehakiman) dan dibantu oleh 10 orang Faqih (Hakim Agung). Balai Majlis Mahkamah Agung ini bertugas mengurus segala perkara dan memeriksa semua masalah kehakiman negeri dan sekalian perkara negeri seluruhnya (umumiyah). 2. Kadhi Malikul Adil, disamping sebagai orang kedua dalam kerajaan (tangan kanan sultan), juga merangkap sebagai Penuntut Umum (Jaksa Agung), yang tugasnya melakukan penuntutan hukum bagi yang berbuat kesalahan melanggar kanun negara, walaupun si-pai’/sifael (tentara). 3. Mufti Empat, yang masing-masing mereka bergelar Syaikhul Islam, seorang mufti itu untuk satu mazhab. Hal ini karena Kerajaan Aceh memberikan hak kepada hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Meskipun mazhab yang dianut hampir seluruh masyarakat Aceh adalah mazhab Syafi’i. Ini menunjukkan bahwa toleransi antar mazhab dan keyakinan terhadap pemahaman keagamaan masyarakat mendapat perhatian dan dilindungi oleh Kerajaan. 4. Kadhi Panglima Sagoe dan Kadhi Uleebalang, yang tugasnya selain sebagai pembantu Panglima Sagoe dan Uleebalang dalam menjalankan roda pemerintahan, juga menjadi hakim pada wilayah kekuasaannya. 5. Kadhi Mukim, disamping berfungsi sebagai pembantu Imeum Mukim, juga sebagai kadhi nikah, hakim Mukim dan Imam Jum’at. 6. Imam Rawatib (Imeum Meunasah), bertugas selain sebagai pembantu Keuchik, juga sebagai imam shalat, saksi nikah dan pembantu hakim damai di gampong.89 Adapun tingkatan peradilan yang dikenal pada masa Kerajaan Aceh adalah sebagai berikut: 1. Hukum Peujroh, yaitu pengadilan damai yang ada pada setiap gampong, yang diketuai oleh Keuchik, wakil Imeum Meunasah (Imam Rawatib) dan anggota-anggotanya Tuha Peuet. Tugasnya untuk mendamaikan antara pihak yang bersengketa, khusus masalah perdata atau pidana ringan. 2. Mahkamah Mukim, yaitu pengadilan tingkat rendah (pengadilan tingkat pertama). Ketuanya

89

156

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 95-96.

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Imeum Mukim, wakil Kadhi Mukim dan anggota-anggotanya Keuchik dan ulama terkemuka di dalam kemukiman tersebut. Pengadilan ini bertugas mengadili segala perkara. Dan kalau tidak bisa diselesaikan, diserahkan kepada pengadilan lebih tinggi (pengadilan Uleebalang). 3. Mahkamah Uleebalang, yaitu pengadilan menengah (pengadilan banding tingkat pertama), yang bertugas mengadili perkara-perkara yang tidak bisa atau tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Mukim, atau yang bersengketa tidak menerima hasil putusan Mahkamah Mukim, sehingga mengajukan banding ke Mahkamah Uleebalang. Ketuanya Uleebalang, dibantu wakil Kadhi Uleebalang dan anggota-anggotanya para Imeum Mukim dan Kadhi Mukim. 4. Mahkamah Panglima Sagoe, yaitu pengadilan tinggi (pengadilan banding tingkat tinggi), yang bertugas mengadili perkara-perkara banding dari Mahkamah Uleebalang. Ketuanya Panglima Sagoe dibantu oleh wakil Kadhi Panglima Sagoe dan anggota-anggotanya para Uleebalang dan Kadhi Uleebalang. 5. Mahkamah Agung, yaitu pengadilan tertinggi kerajaan, yang bertugas mengadili perkaraperkara kasasi dari Mahkamah Panglima Sagoe, serta mengadili perkara-perkara besar yang ditentukan dengan dekrit sultan. Ketuanya sultan, dibantu Kadhi Malikul Adil, anggotaanggotanya, Wazir Mizan, ulama-ulama faqih dan mufti empat.90 Menurut keterangan Moehammad Hoesin, Mahkamah Uleebalang dan Mahkamah Panglima Sagoe merupakan pengadilan adat yang ada di wilayah Aceh Besar, yang dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda. Sedangkan di luar wilayah Aceh Besar, hanya ada pengadilan (Mahkamah) Uleebalang.91 Uraian di atas menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Aceh terdapat lima jenjang tingkatan peradilan. Tingkatan terendah, yaitu Hukom Peujroh bukanlah peradilan formal yang dapat menghasilkan suatu putusan, melainkan hanya lembaga perdamaian di tingkat gampong. Sedangkan pengadilan tingkat pertama sebagai lembaga peradilan formal ada di Mahkamah Mukim, dan di atasnya terdapat dua pengadilan tingkat banding, yaitu pengadilan tingkat banding pertama di Mahkamah Uleebalang dan pengadilan tingkat banding tinggi di Mahkamah Panglima Sogoe. Sedangkan Mahkamah Agung merupakan pengadilan tingkat kasasi sebagai pengadilan tertinggi kerajaan. 2. Peradilan Dalam bidang peradilan, menurut catatan sejarah bahwa lembaga peradilan resmi baru ada pada masa Sultan Iskandar Muda. Kadhi pertama dalam kerajaan Aceh bernama Ja Bangka dari kaum Cut Sandang, berasal dari Lam Panaih Leungah, sebuah kampung yang terletak di perbatasan Pidie dengan Aceh Besar. Kadhi kerajaan yang merupakan Kadhi pada tingkat Mahkamah Agung, pada waktu itu diberi gelar dengan Kali Malikul Ade (Kadhi Malikul Adil).92 90

Asss. Hasjmy, Kebudayaan Aceh..., hal. 96-97. dalam keterangan lainnya, dikatakan bahwa Ketua Mahkamah Agung adalah Kadhi Malikul Adil, bukan Sultan. Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 93. 91 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Istimewa Aceh, 1970), hal. 210. Keterangan Moehammad Hoesin ini penulis ragukan, karena pada masa Sultan Iskandar Muda belum terbentuk wilayah kekuasaan di bawah panglima sagoe. Wilayah ini baru dibentuk pada masa Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1677 M). 92 K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 53-55.

Aceh Serambi Mekkah

157

Sejak diangkatnya Kadhi pertama pada masa Sultan Iskandar Muda, ada pendapat yang mengatakan bahwa peradilan di Kerajaan Aceh dipisahkan antara peradilan keduniaan dengan peradilan agama. Pendapat ini berasal dari Beaulieu93, yang mengatakan bahwa ada 4 macam kekuasaan yang melakukan peradilan di Aceh, yaitu perdata, pidana, agama dan niaga.94 Pendapat ini tidak didukung oleh literatur yang memadai untuk mengklarifikasinya, sehingga penulis menganggap ini hanya pendapat pribadi Beaulieu saja. Lebih lanjut, menurut keterangan Dennys Lombard, dengan mengutip beberapa sumber, ia mengatakan bahwa pengadilan perdata itu diadakan setiap pagi, kecuali hari Jum’at, yang diadakan di Balai Besar dekat mesjid utama (Mesjid Raya Baiturrahman), diketuai oleh salah seorang dari Orangkaya yang paling berada. Sedangkan di Balai lain ke arah gerbang istana terdapat tempat peradilan pidana. Beberapa Orangkaya bergantian menjadi ketuanya. Hukuman yang dijatuhkan di pengadilan pidana ini sangat mengerikan, yang lazim adalah pukulan rotan (cambuk) yang “bisa dihindari dengan tebusan uang emas”, yaitu dengan membayar denda atau dengan menyogok algojo. Jika kesalahan lebih besar, maka akan dijatuhi hukuman fisik lainnya yang sangat mengerikan, seperti mencungkil mata, hidung, pemotongan telinga, tangan dan kaki. Dan jika dijatuhi hukuman mati, maka si terhukum disulakan (kalau orang kecil/masayarakat biasa), sedangkan orang terkemuka dihukumkan dengan lebih “sopan”. Mereka ditempatkan di padang luas yang tertutup, diberi semacam sabit besar sebagai senjata untuk membela diri dengan melawan segerombolan penyerang, biasanya terdiri dari sanak saudara keluarga korban (terutama dalam kasus zina). Kemudian pada bagian kutipan, Dennys Lombard mengutip pendapat Niemann, yang menyatakan tentang hukuman bercelup minyak (panas) dan berjilat besi (panas), dan pendapat Snouck hurgronje yang menyatakan hal yang sama, yaitu “peuklo minyeu’” (dicelupkan dalam minyak panas) dan “peulieh beusaoe” (menjilat besi panas). Hukuman ini disebut dengan “Ujian Tuhan” yang baru dihapus pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani.95 Sedangkan peradilan agama yang dipimpin kadhi (ulama) meliputi mereka yang melanggar agama (main judi dan minum minuman keras), serta di dekat pelabuhan ada balai tempat menyelesaikan segala perselisihan

93

Nama lengkapnya Laksamana Augustin de Beaulieu adalah seorang warga kebangsaan Perancis, lahir di Rouen 1612. Ia pertama sekali berkunjung ke Aceh pada tahun 1619. Ketika itu ia merupakan pemimpin (jenderal) dari rombongan orang Perancis yang terdiri dari dua kapal. Ia menulis buku yang berjudul “The Expedition of Commodore Beaulieu to the East Indies”. 94 K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 55. Pendapat Beaulieu ini dikutip oleh Dennys Lombard, Op.Cit, hal. 106. Dan Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeenth-Century Aceh,( LeidenBoston: Brill, 2004), hal. 163. 95 Dennys Lombard mengatakan bahwa ia tidak tahu hukum apa yang diterapkan di Aceh yang seperti itu. Dennys Lombard, Op.Cit, hal. 107-108. Penulis menilai ia terlalu melebih-lebihkan, namun bukan berarti hukuman seperti itu tidak terjadi di Aceh waktu itu. Sangat mungkin hukuman yang seperti disebutkannya itu memang ada, karena hukum yang berlaku di Aceh ketika itu adalah hukum Islam, yang mengenal adanya istilah qishash dalam kasus pembunuhan, dan penganiayaan, dan rajam dalam kasus perzinaan muhsan (sudah kawin). Sedangkan hukuman dicelup dalam minyak panas, mungkin yang dimaksudkan adalah pencuri yang dipotong tangan untuk tujuan mempercepat penghentian darah atau dicelup dalam air dingin untuk tujuan yang sama, dan hukuman menjilat besi panas ada diatur dalam sarakata Paduka Sri Sultan Syamsul Alam, yang berbunyi “jika seorang berdakwa pada pekerjaan arat (?) yang banyak, tiada saksi keduanya, biarlah berjilat besi kamu kabulkanlah berjilat besi...., Dan jika seorang mendakwa sahaya, ia mengata dirinya mardhika (merdeka), suruh berjilat besi....

158

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

antar pedagang, baik asing maupun pribumi, pengadilan ini diketuai oleh Orangkaya Laksamana.96 Jabatan kadhi dalam sistem peradilan Kerajaan Aceh bukanlah merupakan hakim tunggal, melainkan terdiri dari anggota majelis hakim. Seperti pengadilan Hukum Peujroh (pengadilan damai) di tingkat gampong, hakimnya terdiri dari Keuchik, wakil Imeum Meunasah (Imam Rawatib) dan anggota-anggotanya Tuha Peuet. Pengadilan Mahkamah Mukim (pengadilan tingkat pertama), hakimnya terdiri dari Imeum Mukim, wakil Kadhi Mukim dan anggota-anggotanya Keuchik dan ulama terkemuka di dalam kemukiman tersebut. Pengadilan Mahkamah Uleebalang (pengadilan banding tingkat pertama), hakimnya terdiri dari Uleebalang, dibantu wakil Kadhi Uleebalang dan anggota-anggotanya para Imeum Mukim dan Kadhi Mukim. Pengadilan Mahkamah Panglima Sagoe (pengadilan banding tingkat tinggi), hakimnya terdiri dari Panglima Sagoe yang dibantu oleh wakil Kadhi Panglima Sagoe dan anggota-anggotanya para Uleebalang dan Kadhi Uleebalang. Dan pengadilan Mahkamah Agung (pengadilan tertinggi kerajaan), hakimya terdiri dari sultan, dibantu Kadhi Malikul Adil, anggota-anggotanya; Wazir Mizan, ulama-ulama faqih dan mufti empat. Adapun kadhi yang bergelar Kadhi Malikul Adil merupakan orang yang dipercayai sebagai pimpinan atau Ketua sidang Mahkamah Agung Sultan. Diantara para Kadhi Malikul Adil yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Aceh adalah Nuruddin ar-Raniry pada masa Sultan Iskandar Thani dan Abdurrauf al-Singkili pada masa Sultanah Tajul ‘Alam Safiatuddin Syah. Perkara-perkara yang diselesaikan oleh lembaga peradilan ini (Mahkamah Agung Sultan) adalah perkara-perkara kejahatan (pidana) dan perdata berat serta perkara-perkara kejahatan dan perdata tingkat ringan. Namun dalam perkara-perkara tingkat ringan, baik pidana maupun perdata, diputuskan oleh kadhi dan para ulama tanpa keikutsertaan angota-anggota majelis sultan lainnya. Sedangkan dalam perkara tingkat berat (hukuman berat), maka dalam rangka keabsahan vonis, dihadiri oleh semua anggota majelis sultan.97 Pada masa pemerintahan Sultan Syamsul ‘Alam (1723 M) anggota majelis hakim Mahkamah Agung terdiri dari Kadhi Malikul Adil, OrangkayaSri Paduka Tuan, OrangkayaRaja Bendahara dan para ulama, mereka bersidang di Baitul Rijal atau Balai Panjang. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim ‘Alaiddin Mansur Syah (18361870), anggota majelis hakim diperbanyak lagi, yang terdiri dari Teuku Nek Raja Muda Seutia, Teuku Panglima Mesjid Raya, Teuku Imam Lueong Bata dan Teuku Maharaja Lela. Wewenang untuk mengangkat hakim berada di tangan sultan. Oleh sebab itu, para hakim itu dinamakan dengan “Kadhi Raja”. Keputusan-keputusan hukuman majelis hakim ini dilaksanakan oleh Panglima Sultan Teuku Duratab. Sementara denda-denda yang dijatuhkan dibagi-bagikan kepada para anggota majelis hakim sesuai dengan jabatannya.98 Gambaran di atas memperlihatkan tentang eksistensi lembaga peradilan pada masa kejayaan kesultanan Kerajaan Aceh sebagai sebuah lembaga resmi yang dibentuk oleh sultan dengan aturan-aturan konkrit yang menjadi pedoman bagi hakim. Di masa itu lembaga peradilan

96

Ibid, hal. 108-109. Ibid, hal. 53. 98 Ibid, hal. 50, 54 dan 56. 97

Aceh Serambi Mekkah

159

juga dibantu oleh angkatan bersenjata kerajaan atau kepolisian (waktu itu belum ada pemisahan antara angkatan bersenjata kerajaan dengan lembaga kepolisian) yang berfungsi untuk mengusut perkara-perkara kejahatan. Pada masa kemunduran, lembaga kepolisian ini sudah tidak berfungsi lagi, setiap orang harus mencari dan mengadukan keadilan sendiri. Jika diketahui terjadi suatu kejahatan, yang bersangkutan melakukan “tuntutan bela” sendiri. Dimana perkara-perkara perselisihan atau kejahatan yang terjadi ketika itu, jika bersifat ringan, maka diselesaikan oleh Teugku Binasah (Imeum Meunasah) bersama orang-orang tua kelompok tersebut. Perselisihan itu diselesaikan dalam bentuk perdamaian, tanpa ada suatu vonis hukuman tertentu, yang disebut dengan hukuman kebaikan atau perdamaian (Hukom Peujroh). Termasuk yang diselesaikan lewat lembaga perdamaian ini adalah masalah pencurian kecil, yaitu dengan cara menyuruh pelaku pencurian untuk mengembalikan barang curian kepada pemiliknya, atau menggantikan harganya serta meminta maaf kepada pihak yang dirugikan dan memberikan sedikit upah kepada Teungku. Dalam kasus perkelahian kecil yang terjadi diantara sesama penduduk gampong, sekiranya kedua belah pihak menginginkan cara damai, maka hal itu dianggap sudah selesai ketika pihak yang bersalah menyerahkan sirih kepada pihak yang dihina. Dan dalam kasus penganiayaan tanpa sengaja, kepada pihak yang melakukan penganiayaan diharuskan membayar seringgit dan sebotol minyak kepada pihak teraniaya untuk memperoleh penyelesaian.99 Proses penyelesaian sengketa pada tingkat Hukom Peujroh berpedoman pada 4 (empat) perkara, yaitu: 1. Diyat 2. Maaf 3. Rujuk 4. Bela.100 Jika pihak yang bersengketa tidak menginginkan penyelesaian secara damai lewat Hukom Peujroh, maka ia boleh membawa perkaranya kepada Keuchik (kepala gampong) untuk diselesaikan lewat peradilan. Dalam hal ini, Keuchik atau wakilnya mengundang para ulama di dalam gampong tersebut untuk mengatur sidang. Pengadilan ini hanya berhak mengadili perkaraperkara perdata yang nilai objek perkara tidak lebih seratus ringgit.101 Sebelum sidang perkara perdata itu dilakukan, pihak-pihak yang mengajukan perkara harus menyerahkan uang jaminan (yang disebut hak ganceng), sebagai ongkos perkara (hak bale) dengan besarannya untuk setiap empat ringgit yang dipersengketakan, satu sukee (1/4) dibagikan kepada para majelis hakim. Ongkos itu dipotong dari uang jaminan, atau diganti dengan uang lain, jika barang jaminan itu berupa perhiasan atau senjata. Dalam perkara pelangaran atau kejahatan kecil, pengadilan tersebut tidak boleh bertindak selain menasihati kedua belah pihak yang bersengketa, hal ini dapat dilaksanakan jika yang bersalah bersedia mengakui dan menerima untuk membayar denda yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut. Kejahatan dan perkara-perkara berat lainnya tidak boleh diselesaikan secara demikian, tetapi

99

K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 47-48. H.M. Zainuddin, Op.Cit, hal. 318. 101 K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 48. 100

160

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

harus diajukan kepada pengadilan mukim. Pengadilan mukim ini terdiri-dari Imeum Mukim, Waki (wakil Kadhi Mukim), Keuchik, beberapa Teungku dan orang-orang tua dalam kemukiman tersebut.102 Pengadilan mukim ini dibolehkan mengadili dan menjatuhkan hukuman terhadap perkaraperkara pidana, bahkan sampai hukuman mati. Dalam kasus penjatuhan hukuman denda karena melakukan kejahatan yang berupa penganiayaan berat atau pemukulan sampai mati, denda (diyat) yang dijatuhkan itu diserahkan kepada pihak keluarga korban, sementara biaya perkara dibagikan kepada para hakim. Dan jika dijatuhkan hukuman denda karena pelanggaran atau kejahatan yang di dalamnya tidak ada pihak yang dirugikan, seperti kasus seorang pemuda mengadakan pergaulan tidak wajar (mesum) dengan seorang gadis, maka dendanya dibagikan kepada anggota majelis hakim, yaitu Waki, Keuchik dan Teungku, sedangkan hak bale diserahkan kepada Imeum Mukim.103 Pengadilan mukim ini dapat melakukan banding kepada pengadilan Uleebalang dan pengadilan Uleebalang dapat melakukan banding kepada pengadilan Panglima Sagoe. Sekiranya sebuah perkara diajukan kepada Uleebalang dan oleh pejabat tersebut tidak diinginkan untuk diputuskan, misalnya karena orang-orang yang hendak diadili sangat berpengaruh atau berkuasa, sehingga ia menjadi musuhnya ataupun karena ia tidak memiliki sarana untuk melaksanakan keputusan yang akan dijatuhkan itu, maka Uleebalang tersebut meminta bantuan Panglima Sagoe untuk memutuskan perkara itu, setelah memperoleh nasihat dari para ulama. Ataupun sekiranya Uleebalang sudah menjatuhkan vonisnya, maka permintaan bantuan kepada Panglima Sagoe hanya untuk memperkuat atau membatalkannya keputusan Uleebalang tersebut. Dan sekiranya Panglima Sagoe tidak pula dapat memutuskan perkara tersebut, maka ia mengajukannya kepada sultan yang akan menyampaikan perkara tersebut kepada Mahkamah Agung.104 Proses peradilan pada masa kemunduran Kerajaan Aceh lebih merupakan peradilan yang bersifat informal, karena dalam perkara-perkara kejahatan lembaga kepolisian sudah tidak berfungsi, masyarakat harus mengusut dan mengajukan sendiri ke pengadilan. Dan dalam proses berperkara, jarang sekali terjadi permintaan banding kepada peradilan yang lebih tinggi, karena akan dikenakan biaya perkara dan uang jaminan yang lebih tinggi. Disamping itu, peradilan tingkat banding (tingkat Uleebalang atau Panglima Sagoe) bukanlah lembaga peradilan tetap, melainkan lembaga peradilan yang dibentuk sesaat untuk menyelesaikan perkara yang timbul ketika itu. Pedoman yang menjadi pegangan hakim di pengadilan adalah hukom dan adat. Yang dimaksud dengan hukom dalam perudang-undangan Kerajaan Aceh ialah Syari’at Islam yang berpedoman pada al-Qur‘an, Hadits, ijma’ dan qiyas, dan umumnya bermazhab Syafi’i sebagai mazhab terbanyak penganutnya, dan mazhab-mazhab lainnya, yaitu Hanafi, Maliki dan Hanbali. Sedangkan adat adalah semua peraturan yang tidak tertulis yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, termasuk peraturan-peraturan yang dibuat sultan (adat bak Poteu Meureuhom).105 Adapun hukum adat yang menjadi pedoman utama hakim adalah hukum yang ditetapkan oleh

102

Ibid. Ibid. 104 Ibid, hal. 49-50. 105 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 94. 103

Aceh Serambi Mekkah

161

Sultan Iskandar Muda yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam. Namun pada masa kemunduran Kerajaan Aceh sekitar abad ke 18 Masehi, dimana para Uleebalang telah memperoleh kekuasaan besar atas Sultan, maka ketentuan itu kurang sekali dipatuhi. Bahkan pada waktu itu, Panglima Sagoe 22 Mukim telah menyalahgunakan wewenang Sultan dengan mengangkat hakim sendiri.106 Selain Adat Meukuta Alam yang menjadi pedoman hakim di pengadilan, para hakim juga berpegang kepada kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para ulama Aceh ketika itu atas permintaan Sultan. Seperti kitab Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam as-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab karya Abdurrauf al-Singkili (Syiah Kuala)107 yang ditulis atas perintah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M); yang memuat aturan-aturan dalam bidang

106

K.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 47 dan 56. Syaikh Abdurraûf ibn ‘Ali Al-Fanshuri As-Singkili (selanjutnya disingkat dengan Syaikh Abdurraûf As-Singkili) atau terkenal dengan Tgk. Syiah Kuala adalah seorang ulama besar pada abad ke-17 M, yang berilmu dalam memberi fatwa dan dipandang keramat oleh masyarakat Aceh. Beliau dilahirkan (berasal) dari Singkil, Aceh Selatan (sekarang Singkil telah menjadi kabupaten tersendiri, yang disebut dengan Kabupaten Aceh Singkil). Sebagai seorang ulama yang berpengetahuan luas, beliau banyak berjasa untuk kerajaan Aceh, yaitu dalam meletakkan dasar hukum Islam dalam kerajaan Aceh. Beliau adalah sebagai Kadhi Malikul Adil (Al-Waliyul Mulki) pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, dari tahun 1641–1675. Atas fatwa-fatwa beliau yang mengagumkan, ia terkenal baik dalam wilayah kerajaan Aceh maupun di laur Aceh, malah sampai ke luar negeri. Ratu Safiyatuddin (1641–1675) pernah mengirim beliau ke Kudus, Malaka (Malaysia), India, Baghdad, Turki, Mekkah dan Madinah untuk menambah ilmu pengetahuannya. Sekembalinya dari perjalanannya, ia menulis sebuah kitab hukum bernama “Mir‘at Ath-Thullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam as-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab “ atas permintaan dari Ratu Safiyatuddin sendiri. Kitab ini lalu dikirim ke berbagai negara yaitu ke Semenanjung Malaysia, Johor, Kedah, Patani Thailand, Perak, Pahang dan Serawak. Selain itu juga dikirim ke Sumatera Barat, Ulakan, Pariaman, Kerinci, Banjar, Indragiri, Jawa, Banten, Jepara, gersik, Makasar (Bugis), Tidore dan lain-lain. Diantara kitab-kitab karangannya adalah (1) Turjuman al-Mustafid (kitab tafsir terlengkap pertama dalam bahasa melayu), (2) Mir‘at AthThullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam as-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab (kitab fiqh yang memuat aturanaturan dalam bidang mu’amalah), (3) Hidayat al-Balighah ‘ala Jum’at al-Mukhasamah (kitab fiqh yang isinya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian dan sumpah), (4) Al-Faraidh (risalah tentang hukum warisan Islam), (5) Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin (kitab tasawuf), (6) Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qailin bi Wahdat al-Wujud (kitab tasawuf) (7) Daqa’iq al-Huruf (kitab yang berisi penafsiran terhadap beberapa bait sya’ir Ibn Arabi), (8) Bayan Tajalli (berisikan penjelasan tentang zikir yang utama dibaca ketika sakarat al-maut) (9) Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq alQusyaisy (berisikan perjalanan tasawuf Syaikh Abdurraûf As-Singkili dengan gurunya Ahmad al-Qusyaisy) (10) Al-Tarikat al-Syatariyah (berisikan pokok-pokok ajaran Syatariyah), (11) Mawa’iz al-Badi’ah (risalah yang berisikan tiga puluh dua hadis beserta syarahnya) (12) Bayan al-Arkan (pedoman tentang ibadah, khususnya shalat) (13) Risalah Adab Murid akan Syeikh dan (14) Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut al-Syeikh wa al-Murid (keduanya berisi kewajiban-kewajiban murid terhadap guru) (15) Shams al-Ma’rifat (mengenai tasawuf), (16) Majmu’ Masa‘il (mengenai tasawuf), (17) Bayan Aghmad al-Masa‘il wa al-Sifat al-Wajiba li Rabb al-Ardh wa al-Samawat (isinya mengenai al-a’yan al-sabitah), (18) Lubb al-Kasyf wa alBayan lima Yarahu al-Muntadhar bi al-‘Iyan (isinya tentang sakarat al-maut), Dan (19) Sullam al-Mustafidin (penjelasan tentang bahasa Melayu). Syaikh Abdurraûf As-Singkili telah menjalankan tata hukum kerajaan Aceh dengan sempurna. Ia mengatur adat istiadat dan kedudukan hukum dalam kerajaan, dan hukum Islam merupakan hukum tertinggi dalam kerajaan Aceh. Cab Sikureueng, Op.Cit, hal. 16. Syahrizal, Syeikh Abdurraûf Syiah Kuala dan Corak Pemikiran Hukum Islam (Kajian Terhadap Kitab Mir’at al-Tullab Tentang Hakim Wanita), Tesis, Tidak diterbitkan, Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, 1995, hal. 43. A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 115. Dan Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 122-125. 107

162

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

mu’amalah. Kitab Mir’at al-Thullab ini tidak memuat aturan-aturan tentang ibadah sebagaimana biasa yang menjadi bagian pertama kitab fiqh. Jadi nampaknya kitab Mir’at al-Thullab ini adalah lanjutan dari kitab Shirath al-Mustaqim yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry108, yang berisi tentang aturan-aturan ibadah dan tasawuf. Kitab karya Abdurrauf al-Singkili lainnya yang mungkin menjadi pedoman hakim di pengadilan adalah kitab Hidayat al-Balighah ‘ala Jum’at alMukhasamah, yang berisikan masalah pembuktian dalam peradilan, kesaksian dan sumpah. Kitab ini mungkin merupakan kitab hukum acara di pengadilan Kerajaan Aceh waktu itu. Kemudian kitab lain yang menjadi rujukan adalah Safinat al-Hukkam yang ditulis oleh Jalaluddin al-Tursani atas perintah sultan Alaiddin Johan Syah (1735-1760 M). Kitab Safinat al-Hukkam ini lebih merupakan sebuah kitab panduan yang mungkin juga sebagai kitab rujukan hukum acara dan juga sebagai pelengkap serta “juklak” (petunjuk pelaksana) terhadap kitab sebelumnya.109 Selain itu, kitab Hujjahal-Balighah ‘ala Jama’ah Mukhasamah, ditulis tahun 1158 H 108

Nuruddin ar-Raniry dilahirkan di Gujarat dari keturunan campuran. Ibunya berasal dari Malaya dan ayahnya berasal dari turunan Arab Hadramaut. Tempat kediamannya di Gujarat terletak di daerah Ranir. Pada tahun 1628, yaitu 9 (sembilan) tahun sebelum ia tiba di Aceh, ia telah menyelesaikan karyanya yang pertama yang berjudul “Siratul Mustaqim”. Ia tiba di Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H atau 31 Mei 1637. Pada tanggal 17 Syawal 1047 H ia mulai menyusun kitab Bustanussalatin atas permintaan Sultan Iskandar Thani. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat tahun 1641, ia kembali ke Ranir dan konon ia kembali lagi ke Aceh pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Bukti ia kembali ke Aceh adalah karangannya yang berjudul “At Tabjanu fi makrifati Adyan” yang siap pada tahun 1664. Sesudah itu ia kembali ke Ranir dan tidak pernah kembali lagi ke Aceh. Di antara kitab-kitab karangannya adalah (1) Shirath al-Mustaqim (kitab fiqh dalam masalah ibadah), (2) Dar al-Faraidl bi Syarh al-Aqaid (kitab yang membahas masalah tauhid/filsafat), (3) Bustan al-Salatin fi Zikr al-Auwalin wa al-Akhirin (kitab sejarah yang meriwayatkan tentang kerajaan-kerajaan sebelum Islam, sesudah Islam, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam), (4) Akhbar al-Akhirah fi Auwali Yaum al-Qiyamah (kitab yang membahas masalah harit bangkit), (5) Hidayah alHabib fi al-Targhib wa al-Tarhib (kitab hal ikhwal tasawuf/akhlak), (6) Al-Tibyan fi Makrifat al-Adyan (kitab hal ikhwal aliran-aliran agama), (7) Asrar al-Insan fi Makrifat al-Ruhi wa al-Rahman (kitab masalah ruh dan Tuhan), (8) Lathaif al-Asrar (kitab masalah rahasia-rahasia alam), (9) Nubzah fi Da’wazil ma’a Shahibihi, (10) Maul Hayati li Ahli al-Mamati (kitab masalah filsafat hidup dan mati), (11) Hiluz Zil (kitab masalah pembebasan manusia dari jalan-jalan sesat), (12) Syifa` al-Qulub (kitab tasawuf), (13) ‘Umdat alI’tiqad (kitab hal ikhwal kepercayaan), (14) Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma’lum (kitab mengenai filsafat ketuhanan), (15) Bad-u Khalqi al-Samawati wa al-Ardli (kitab tentang kejadian langit dan bumi), (16) Hujjat al-Shadiq li Daf’i al-Zindiq (kitab yang mengupas kasalahan-kesalahan kaum Zindiq), (17) Fath al-Mubin ‘ala al-Mulihidin (kitab yang membantah pendapat kaum Mulhid/atheis), (18) Al-Lam’u fi Tafkiri Man Qala bi Khalqi al-Qur`an (kitab yang menolak paham orang yang mengatakan bahwa al-Qur`an itu makhluk), (19) Tambihu al-Awamili fi Tahqiqi al-Kalami fi Nawafil, (20) Shawarinush Shadiq li Qath’iz Zindiq (kitab tasawuf), (21) Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariqish Shufiyah (kitab tasawuf), (22) Kissah Iskandar Zulkarnain, (23) Hikayat Raja Badar (sya’ir perang Badar), (24) Babun Nikah (kitab masalah perkawinan), (25) Saqyu al-Rasul (kitab tentang Nabi Muhammad), (26) Mu’ammad al-I’tiqad (kitab masalah kepercayaan), (27) Hidayat al-Mubtadi bi Fadl al-Muhdi (kitab masalah kehidupan manusia), dan (28) Hidayah al-Iman bi Fadl al-Manan (kitab yang ditulis atas permintaan Ratu Safiatuddin yang digunakan untuk kepentingan rakyat). Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 118-122. Dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 99,106, 107 dan 110. 109 Zakaria Ahmad, Op.Cit, hal. 124. Dan A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 110. Kitab Safinat al-Hukkam disistematisir isinya oleh Jalaluddin al-Tursani menjadi beberapa bagian, yaitu pertama: bagian muqaddimah berisikan terminologi (manyatakan makna yang sukar-sukar) dan seputan hakim (bertakuttakut atas hakim yang zalim pada hukumnya serta sedikit daripada qawa’idnya), kedua: bagian isi yang

Aceh Serambi Mekkah

163

oleh Syeikh Kamaluddin bin al-Qadhi Khatib, yang berbahasa Melayu Jawi (terdiri 60 halaman), juga merupakan kitab pedoman hakim di pengadilan, yang berisikan tentang tatacara peradilan. Kitab ini diduga dikarang atas permintaan Sultan Alaiddin Johan Syah. Kitab ini menerangkan tentang hukum acara perdata dan pidana yang dirinci dalam tiga bab, yaitu: - Bab pertama membahas tentang qadhi (hakim), seperti bentuk-bentuk qadhi, syarat-syarat menjadi hakim (ada 10 macam); dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim, seperti memandang sama terhadap semua orang tanpa membeda-bedakan seseorang atas yang lain, dan juga kewajiban tidak menerima uang sogok/korupsi. - Bab kedua membahas mengenai segala bentuk pengaduan dan bukti-bukti. Diuraikan panjang lebar tentang bentuk-bentuk tuduhan yang harus diterima, bentuk tuduhan yang harus ditolak, syarat-syarat pengaduan, dan sebagainya. Di sini dijelaskan bahwa pengaduan yang diterima ada 30 macam, termasuk pengaduan seorang buruh kepada majikannya, tuduhan dan pengaduan seorang isteri atau kerabat yang kurang mendapat perhatian nafkah, ataupun hak-haknya yang lain. Disamping itu, diuraikan juga bentuk persoalan yang muncul dalam peradilan, seperti kasus pengadilan “in absentia”, dan lain-lain. - Bab ketiga membahas hal yang berkaitan dengan saksi, seperti syarat-syarat saksi, rukunrukun suatu kesaksian dan tatacara pengangkatan sumpah. Di sini juga dijelaskan beberapa studi kasus dan persoalan yang berkembang di masyarakat tentang kesaksian seseorang. Dalam kitab ini juga diuraikan tentang seseorang yang amoral, seperti berani mencium perempuan di muka umum, maka ia tidak boleh menjadi saksi. Demikian juga dalam hal pelaksanaan hukum pidana, kitab ini memuat secara rinci sebagaimana disebutkan bahwa seseorang yang menampar orang lain, hukumannya adalah setiap tamparan ia harus didera 5 (lima) kali cambuk/dera . Seseorang yang memegang kepala/rambut orang lain, maka diberi hukuman 10 (sepuluh) kali cambuk/dera. Malahan jika seseorang melukai binatang, seperti kuda, lembu atau kerbau, maka ia harus didera sebanyak 30 (tiga puluh) kali.110 Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa sistem hukum dan peradilan pada masa kesultanan Kerajaan Aceh sudah tertata dengan baik. Namun hal ini hanya berlaku pada masa kejayaan Kerajaan Aceh. Pada saat Kerajaan Aceh mengalami kemunduran, sistem hukum dan peradilanpun ikut terkena imbasnya, yang pada akhirnya lembaga peradilan menjadi tidak

memuat tentang hukum jual beli (menyatakan berniaga dan barang yang bergantung dengan dia), nikah, dan hukum pidana (menyatakan luka dan barang yang bergantung dengan dia), ketiga: bagian penutup berisikan masalah hukum faraidh. Adapun kitab rujukan Safinat al-Hukkam, sebagaimana disebut oleh Jalaluddin alTursani dalam muqaddimahnya yaitu Mahalli, Fath al-Wahhab, Asybah wa al-Nazha‘ir, Fath al-Rahman, Tanqih al- Lubab, Nihayat, Tuhfat, Syarh Rauh, Iqnaq, Bikr, Mizan dan lain-lain, tanpa menyebutkan nama pengarangnya. Kemudian dibagian pembahasan terdapat bebarapa nama kitab yang ditulis lengkap dengan nama pengarangnya yaitu Tuhfat dan Fath al-Jawwad (Ibnu Hajar), Mizan (Sya’rani), Ihya‘ ‘Ulumuddin (alGhazali), Tahrir (Abu Zara’ah), al-Asybah wa al-Nazha‘ir (Imam Sayuthi), Majmu’ (an-Nawawi), dan Safinat Syarif Wajiduddin (Abdurrahman Ibnu Ali). Selain itu, Jalaluddin al-Tursani banyak merujuk ke kitab-kitab lainnya tanpa menyebutkan nama kitab, tetapi hanya menyebutkan pengarangnya saja, yaitu Abu Tsur, Syaikh Ishak, Asnawi dan Tahawi. Ali, Safinat al-Hukkam: Hukum Acara Kerajaan Aceh Yang Terlupakan, Mimbar Hukum, No. 54 Thn. XII, 2001, al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam, hal. 110-114. 110 M. Arifin Ismail, Naskah Klasik Karya Ulama Aceh, (Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Aceh, t.t.)

164

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

jelas lagi fungsinya, malah yang berjalan adalah lembaga-lembaga peradilan informal pada tingkattingkat gampong. Hal ini disebabkan kondisi kerajaan ketika itu yang disibukkan oleh perebutan kekuasaan, dimana para Uleebalang dan Panglima Sagoe sebagai elit politik di kala itu saling menjatuhkan sultan yang tidak mereka senangi dan mengangkat sultan yang disenanginya. Jadi persoalan yang hangat ketika itu adalah persoalan politik, sedangkan persoalan-persoalan lainnya termasuk hukum menjadi terabaikan. 3. Hukum Pidana Islam (Jinayah) Dalam sistem hukum peradilan yang berlaku di Kerajaan Aceh, dikenal dengan hukum pidana Islam (jinayah). Diantara hukum jinayah yang pernah dipraktekkan di Kerajaan Aceh adalah had zina. Had zina ini ada dua macam: 1. Perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang belum kawin (bikir), disebut ghairu muhshan, dikenakan had 100 kali jilid (pukul) dan diasingkan tempat tinggalnya selama satu tahun. 2. Perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang sudah kawin (muhshan), dikenakan had rajam sampai mati. Dalam adat Aceh, hukuman rajam ini diganti dengan hukuman dibenamkan dalam sungai sampai mati yang dinamakan “boh trieng doe bak takue” (artinya dilehernya diikat bambu yang tidak kosong).111 Suatu peristiwa yang pernah terjadi di Banda Aceh pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah (1836-1870 M), diceritakan bahwa: seorang laki-laki berbuat zina dengan seorang perempuan di Banda Aceh sampai hamil. Karena takut ketahuan, perempuan tersebut kemudian bunuh diri dengan cara mengikat lehernya dengan tali ijuk yang terikat pada sebuah guci air hingga ia meninggal dunia. Perkara ini diketahui masyarakat, sehingga diperiksa oleh pihak berwajib. Laki-laki tersebut mengakui dengan terus terang segala perbuatannya itu. Akhirnya perkara ini diserahkan kepada pengadilan sultan (Mahkamah Agung) di Kraton Daruddunia. Perkara ini diperiksa dengan teliti dan laki-laki itu tetap mengakui kebenaran peristiwa tersebut. Lalu pengadilan memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada laki-laki itu dengan dibenamkannya dalam Krueng Daroj (sungai Daroj) dan dilehernya diikat bambu yang tidak kosong. Sebelum hukuman itu dijalankan, laki-laki tersebut mengajukan permohonan grasi (ampun) kepada Sultan. Setelah dipertimbangkan dengan mendalam, permohonan grasi itu diterima oleh sultan, dengan syarat ia sanggup meloloskan diri dari tahanan. Maka kepadanya diberi kesempatan pada malam hari untuk dilepaskan dari tahanan dalam Kraton Daruddunia dengan cara melarikan diri tidak melalui pintu jaga, dan harus lari ke tempat pemeliharaan “sigeupoh”, yaitu suatu tempat penampungan orang-orang yang semestinya dibunuh, tetapi karena mendapat ampunan, maka mereka dididik di tempat ini sampai menjadi seorang rakyat yang baik. Tempat ini dipimpin oleh Teuku Keujruen Ujong Aron Lamnga, Sagoe 26 Mukim. Menurut riwayat, pada suatu malam yang telah ditentukan, laki-laki tersebut dilepaskan dari tahanan dan disuruh melarikan diri ke tempat penampungan sigeupoh. Karena malam itu sangat gelap gulita, sehingga ia kesulitan menemukan lorong untuk melarikan diri. Semalaman ia mencoba terus mencari jalan keluar, tanpa melalui pintu jaga, tapi tetap tidak ditemukan jalan keluar. Sehingga ketika waktu shubuh (pagi hari), ia kembali ditangkap oleh penjaga dan

111

Moehammad Hoesin, Op.Cit, hal. 182-183.

Aceh Serambi Mekkah

165

dihadapkan kepada sultan. Laki-laki itu menceritakan apa yang dialaminya pada malam hari itu, tetapi sultan memutuskan supaya ia dihukum mati sesuai dengan keputusan pengadilan.112 Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Sultan Iskandar Muda di akhir pemerintahannya menghukum mati puteranya sendiri dari salah seorang isteri yang bukan permaisuri, yaitu putera tersayang yang bernama Meurah Peupoh, yang ternyata ia berzina dengan isteri orang lain. Perkara ini bermula salah seorang perwira muda waktu pulang ke rumah dari tempat latihan (Blang Peurade), didapati isterinya sedang berzina dengan Pangeran Meurah Peupoh. Ketika itu Pangeran Meurah Peupoh sempat melarikan diri, sedangkan perwira muda ini yang sedang kalap dalam amarahnya langsung menghunus pedangnya ke arah isterinya sampai mati. Kemudian ia bersama-sama dengan ayah isterinya (mertuanya) pergi ke istana untuk melapor kepada Sultan Iskandar Muda. Mendengar cerita itu, Sultan Iskandar Muda segera memerintahkan Sri Raja Panglima Wazir Mizan (menteri kehakiman) untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan kasus tersebut. Dalam waktu yang amat singkat, para pejabat kepolisian dan kehakiman selesai melakukan tugasnya, dan dinyatakan bahwa Pangeran Meurah Peupoh bersalah atas pengakuannya sendiri. Hasil pemeriksaan itu dilaporkan oleh wazir mizan kepada Sultan Iskandar Muda. Berdasarkan hasil laporan pemeriksaan dari wazir mizan itu, kemudian Sultan Iskandar Muda memutuskan untuk dilakukan hukuman mati (hukum bunuh) terhadap puteranya Pangeran Meurah Peupoh di depan umum.113 Dalam riwayat ini tidak diceritakan bagaimana bentuk hukuman yang diterapkan kepada Pangeran Meurah Peupoh, apakah dirajam seperti ketentuan fiqh (hukum Islam), ataukah dibenam dalam sungai seperti yang dipraktekkan pada masa Sultan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah. Pengadilan Kerajaan Aceh juga pernah menghukum potong tangan dan kaki.114 Ini merupakan bentuk had terhadap pelaku sirqah (pencurian), yaitu jika seseorang mencuri untuk pertama kalinya maka dipotong tangan kanannya, dan jika ia mencuri untuk kedua kalinya maka dipotong kaki kirinya. Pencurian yang ketiga kalinya dipotong tangan kirinya, dan yang keempat kalinya dipotong kaki kanannya. Hukuman pencurian ini dijatuhkan oleh pengadilan Kerajaan Aceh, apabila memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Barang yang dicuri itu tersimpan di tempat yang terpelihara. 2. Barang yang dicuri itu sampai nisab seharga sekurang-kurangnya seperempat dinar.115 Pemberlakuan hukuman potong tangan terhadap pencuri, sesuai dengan ketentuan Adat Meukuta Alam, bagian pertama Pasal 35, yang menyatakan bahwa jika pelaku perampasan kembali ke Tiga Sagi Negeri Aceh, maka wajib uleebalang menangkap dan memotong tangannya.

112

Ibid, hal. 185 H.M. Zainuddin, Singa Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957, hal.185-188. Lihat juga, A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 101. Setelah pelaksanaan hukum bunuh terhadap puteranya yang tercinta itu, Sultan Iskandar Muda jatuh sakit, dan dari hari ke hari sakitnya semakin bertambah parah. Dalam keadaan sakit itu, para pembantunya menanyakan mengapa sampai hati beliau melakukan hukum bunuh terhadap puteranya. Dengan tenang dan penuh rasa tanggung jawab beliau berkata: “Mate aneuk na jirat, mate adat ho tamita” (mati anak ada makamnya, tetapi kalau mati hukum ke mana akan dicari). A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka..., hal. 45. 114 Dennys Lombard, Op.Cit, hal. 107-108. 115 Moehammad Hoesin, Op.Cit, hal. 187. 113

166

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

Dalam kasus had qishash/diyat, sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa peradilan Kerajaan Aceh pernah menerapkan hukuman potong telinga, hidung, mencongkel mata dan lain-lain. Ini mungkin yang dimaksudkan adalah hukuman qishash karena melakukan penganiayaan terhadap orang lain dalam bentuk pemotongan telinga,hidung dan menghilangkan mata. Dan dalam kasus pembunuhan, penganiayaan atau pemukulan, atas pemaafan dari pihak korban, pengadilan menjatuhkan hukuman denda (yang dimaksudkan adalah diyat) yang diserahkan kepada pihak korban atau keluarganya.116 Dan dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Sultan Alaiddin Riayat Syah II “Abdul Qahhar” (1539-1571 M), pernah menjatuhkan hukuman mati (hukum bunuh) terhadap puteranya sendiri yaitu Pangeran Abangta, karena melakukan kezaliman membunuh orang lain secara melawan hukum/adat yang berlaku.117 Dalam Adat Meukuta Alam diatur tentang had qishash/diyat ini pada bagian pertama Pasal 26-28, yang intinya: 1. Pasal 26: Diyat orang merdeka seratus ekor unta, yang dibayar kepada ahli waris korban. 2. Pasal 27: Jika pelaku pembunuhan telah membayar diyat, maka tidak boleh lagi dibunuh orang itu, karena sudah taubat dan berdamai. 3. Pasal 28: Jika ahli waris korban tidak mau menerima diyat, maka pelaku pembunuhan dihukum bunuh (qishash). Hal yang sama juga termuat dalam sarakata Paduka Sri Sultan Syamsul Alam, yang berbunyi: “...diyat luka atau diyat nyawa, maka kamu kerjakanlah seperti yang berlaku pada hukum Allah, jangan kamu kerjakan diyat yang berlaku pada adat” Dari gambaran penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengadilan di Kerajaan Aceh sudah menerapkan hukum pidana Islam (jinayah) sesuai menurut ketentuan hukum Islam. Disamping itu, Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh “Adat Meukuta Alam” telah menjadi contoh konkrit bahwa hukum Islam merupakan hukum yang berlaku di Kerajaan Aceh. Itu artinya bahwa sistem dan tata aturan hukum yang berlaku di Kerajaan Aceh, baik pada tataran hukum ketatanegaraan maupun peradilan, didasari pada nilai-nilai syari’at Islam. Itu dikarenakan, Kerajaan Aceh telah menjadikan Islam sebagai pandangan hidup (ideologi) dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Kenyataan inilah yang menyebabkan Aceh mendapat gelar “Serambi Mekkah”. Sebuah sebutan yang diberikan oleh orang luar kepada negeri Aceh yang telah menjadikan Islam sebagai pandangan hidup masyarakat, bangsa dan negara.

116

Dennys Lombard, Op.Cit, hal. 107-108. Moehammad Hoesin, Op.Cit, hal. 181-182. Dan KK.F.H. Van Langen, Op.Cit, hal. 49. 117 H.M. Zainuddin, Singa Aceh, hal.185. Lihat juga, A. Hasjmy, Iskandar Muda..., hal. 100-101.

Aceh Serambi Mekkah

167

168

Islam Sebagai Ideologi Negara: Sistem Hukum Ketatanegaraan ....

BAB EMPAT ISLAMISASI SERAMBI MEKAH: DARI ACEH BERSEMI

AKSEPTABILITAS MASYARAKAT ACEH ATAS ISLAM Mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Aceh lebih disebabkan oleh sifat ajaran Islam yang mengajarkan nilai-nilai persamaan, toleransi, dan keadilan. Selain itu, ikut berpengaruh juga perilaku para penyiar (da‘i) yang mengedepankan gaya kooperatif dalam melakukan pendekatan mau‘idhah kepada para penguasa. Mereka juga mau menyatukan diri dengan masyarakat lokal melalui proses perkawinan, sehingga membentuk nucleus komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Teori lain1 menyebutkan bahwa mudahnya masyarakat lokal menerima Islam disebabkan motif ekonomi dan politik. Teori ini menyatakan bahwa karena para penguasa pribumi ingin meningkatkan kegiatan-kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan masing-masing, mereka menerima Islam. Dengan menerima Islam dan memberi perlindungan dan konsensi-konsensi dagang, para penguasa pribumi mendapat dukungan pedagang-pedagang muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Dengan demikian, para penguasa pribumi dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang mencakup wilayah mulai dari Laut Merah hingga Laut Cina. 1. Karakter Orang Aceh Ada sejumlah analisis mengapa Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat dan menyebar cepat ke segenap lapisan masyarakat Aceh sejak masa-masa awal kehadirannya sampai dengan sekarang. Di antara analisis dimaksud adalah: pertama, karena Islam lebih dahulu diperkenalkan melalui jalur kekuasaan, kedua, adanya kepentingan yang sama antara pendatang dan masyarakat lokal, ketiga, penyebaran Islam dilakukan melalui pendekatan persuasif, bukan pemaksaan, dan keempat, sifat inklusif ajaran Islam dengan watak sufistiknya yang dominan. Hal ini cukup relevan untuk kondisi masyarakat saat itu, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa 1

Azyumardi Azra, Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.,12.

Aceh Serambi Mekkah

169

setelah Islam diterima para penguasa (raja) dan kalangan “istana” lainnya, baru kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok Nusantara seperti pulau Jawa dan semenanjung Malaka (Malaysia). Aceh yang dijuluki Serambi Mekah tidaklah lahir dalam waktu singkat, melainkan melalui perjalanan panjang yang kompleks sehingga menjadi Aceh sebagaimana hari ini. Sejarah panjang tersebut bermula dari pergumulan antara para pendatang dari kawasan Timur Tengah (jazirah Arab) dan Asia Selatan, terutama dari India dan daratan Cina, dengan penduduk setempat. Para pendatang itu umumnya adalah pedagang yang menggunakan jalur transportasi laut antar benua menuju kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja, dan Nusantara. Awalnya mereka membawa misi dagang (ekonomi) dengan menggunakan sistem barter. Ketertarikan mereka kepada kawasan Asia Tenggara adalah karena produksi rempah-rempah yang berlimpah dari kawasan ini merupakan komoditi yang dibutuhkan di negeri mereka. Kontak bisnis tersebut telah mengantarkan Selat Malaka menjadi jalur yang sangat popular di tengah-tengah kepentingan dagang yang sibuk. Para pedagang dengan leluasa memasuki kawasan Asia Tenggara sampai ke pulau Sumatera, tepatnya di wilayah pesisir utara pulau ini. Wilayah Nusantara (archipelago) yang mereka kenal tidak hanya Sumatera, bahkan para pedagang ini pun sudah mendarat di pulau Jawa dan kepulauan Maluku. Namun di antara sejumlah kawasan di Nusantara, Aceh memiliki posisi yang lebih strategis. Posisi di pesisir Selat Malaka memberi keuntungan tersendiri bagi Aceh untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Disamping sebagai jalur pelayaran dan tempat transit, Aceh juga menjadi tempat yang diincar oleh para pedagang dunia karena memiliki hasil alam yang melimpah, terutama rempah-rempah. Dua potensi inilah yang mengantarkan kawasan Aceh hingga dikenal oleh para pelaku ekonomi kala itu. Sembari melakukan interaksi ekonomi semacam ini, misi perantara lain pun dijalankan oleh para pedagang tersebut. Salah satu misi tersebut adalah penyebaran agama (Islam), terutama oleh para pedagang Gujarat (India) dan Arab, yang dilakukan dengan jalan damai. Islamisasi kawasan pesisir pulau Sumatera bagian utara berlangsung relatif cepat, damai, dan penuh persahabatan. Para pedagang, sambil melakoni usahanya, memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat. Pola islamisasi ini ditempuh melalui cara penyebaran dan pengenalan verbal atau dari mulut ke mulut (dakwah bil lisan) dan perilaku keseharian para pedagang da‘i itu sendiri dalam praktek perdagangan (dakwah bil hal). Pendekatan persuasif dan keteladanan nampaknya menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat lokal kala itu. Pengenalan Islam kepada masyarakat setempat dimulai dari kalangan atas, yakni kalangan pemerintahan atau kerajaan. Artinya, Islam mengalir dari atas ke bawah (top-down) sehingga lebih kuat karena telah mendapat pengukuhan politik sebelumnya. Sejumlah catatan sejarah dan analisis para sejarahwan menunjukkan bahwa perdagangan melalui pelayaran laut dari jazirah Arab, Gujarat (India), dan daratan Cina ke kawasan Asia Tenggara telah dirintis sejak awal-awal abad I Hijriyah atau 7 Masehi. Sejak awal abad Masehi (fase peralihan dari zaman prasejarah akhir di wilayah Nusantara) telah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar daerah. Barang perdagangan yang popular ialah nekara perunggu yang berasal dari daerah Dongson (Vietnam sekarang). Jangkauan perdagangan nekara perunggu tersebut cukup luas dan merata ke seluruh Nusantara, tidak hanya bagian barat tetapi juga menjangkau hingga wilayah Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Reportase Cina dari permulaan abad Masehi telah melaporkan adanya kegiatan perdagangan di wilayah Nusantara ini. Berita itu

170

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

menyebut daerah-daerah Nusantara dengan lafal Cina yang diperkirakan adalah nama tempattempat di Sumatera, Jawa, serta Kalimantan. Hasil bumi dari kawasan ini merupakan komoditi yang menarik bagi para pedagang, sehingga kawasan ini menjadi lintasan penting antara Cina dan India. Ternyata komoditi hasil kepulauan maupun barang-barang dari luar diangkut sebagai barang perdagangan ke wilayah timur oleh para pedagang lokal. Rempah-rempah seperti pala dan cengkeh dari Maluku merupakan barang hasil bumi yang laku sebagai komoditi dagang masa itu. Rempah tersebut dipasarkan oleh para pedagang dari perairan timur kepulauan Indonesia ke pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Sumatera untuk kemudian dijual kepada pedagang luar negeri atau asing. Pedagang asing ini kemudian membawa barang-barang hasil pembelian itu ke negeri asalnya. Para pedagang Cina maupun Arab kemudian menyatakan bahwa pala dan cengkeh yang dibawanya tersebut berasal dari Jawa dan Sumatera dengan tujuan untuk menyembunyikan daerah penghasil sebenarnya, yaitu kepulauan Maluku. Sejak permulaan abad Masehi hingga abad ke-7 Masehi telah berkembang beberapa pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa. Beberapa kota pelabuhan yang sering disinggahi pedagang asing saat itu di Sumatera antara lain Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang; sedangkan di Jawa antara lain Sunda Kelapa dan Gresik. Sebagai bandar, Barus telah berkembang cukup lama. Hal ini dapat dilihat dari peta-peta Yunani kuno yang meletakkan nama Barosai (menurut Claudius Ptolemaus 165 M) pada salah satu pulau dari himpunan pulau di sebelah selatan India, yang sangat mungkin adalah Indonesia. Selain itu, dari cerita-cerita perjalanan, diperkirakan sejak tahun 674 M telah ada koloni-koloni Arab di pulau Sumatera bagian barat. Besar kemungkinan yang dimaksud dengan pantai barat Sumatera tersebut adalah Barus. Pelabuhan ini sangat penting dalam perniagaan pada masa itu berkat hasilnya yang terkenal, yaitu kapur barus. 2. Metode yang Dibangun Dari rekonstruksi sejarah perdagangan di atas dapat diperkirakan bahwa penganut Islam telah hadir di kepulauan Indonesia sejak abad pertama Hijriyah. Namun, besar kemungkinan pada masa awal itu Islam hanyalah merupakan agama yang dianut oleh musafir muslim yang singgah di perairan dan bandar-bandar penting Nusantara. Pada abad-abad pertama Hijriyah ini belum terdapat bukti adanya pengakuan pribumi yang beragama Islam di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim, padahal kapal-kapal dagang Arab sudah berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7 M. Dari literatur Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Meski tidak ada bukti yang sahih, tetapi bukan tidak mungkin kalau dalam periode abad ke-1 sampai dengan ke-4 Hijriyah (7-10 M) telah mulai terbentuk komunitas-komunitas muslim, khususnya di daerah pesisir. Kemungkinan ini diperkuat oleh beberapa bukti yang ditemukan di Gresik, berupa batu nisan seseorang bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H (1082 M), yang mempunyai pola hias makam khas abad ke-16 Masehi dan bentuk tulisan huruf Kufi. Dengan kata lain, penyebaran Islam ke dalam kehidupan sosial masyarakat setempat dapat dikatakan telah bermula2 dalam periode tersebut. 2

Muhammad Djamil bin Mukmin, Sejarah Perkembangan Islam,(Kuala Lumpur: Nurin Interprise, t.t.,), hal., 303.

Aceh Serambi Mekkah

171

Dalam kaitan ini, teori lama tentang perkawinan antara para pedagang dan atau mubaligh muslim dengan anak negeri bukanlah suatu kemustahilan. Jalan dagang yang jauh dan berbahaya, tingkat teknologi pelayaran yang masih tergantung kepada angin (musim), serta pengenalan yang telah lebih baik dengan situasi kota-kota dagang di perairan Nusantara adalah pendorong bagi terbentuknya komunitas Islam ini. Berdasarkan suatu naskah, dikatakan bahwa kesultanan Perlak (Aceh) telah berdiri sejak tahun 225 H atau 840 M. Ketika para pedagang muslim mulai berkelana ke kota-kota pelabuhan di Nusantara dan komunitas-komunitas Islam mulai terbentuk (abad ke-1-5 H atau ke-7-13 M), Sriwijaya, suatu kerajaan maritim yang berpusat di daerah Palembang (sekarang), sudah berjaya. Dalam periode ini, para pedagang dan muballigh Islam mulai membentuk komunitas-komunitas Islam. Secara perlahan dan bertahap tanpa menolak dengan keras situasi sosio-kultural dari masyarakat sekitar komunitasnya, Islam telah memperkenalkan berbagai hal, antara lain toleransi dan persamaan derajat di antara sesama makhluk. Di dalam masyarakat Hindu-Jawa, yang menekankan perbedaan derajat manusia, maka panggilan Islam ini sangat menarik perhatian. Apalagi bagi kalangan para pedagang, yang memang cenderung mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan para penguasa yang masih kafir3. Pada akhir abad ke-13, saat kerajaan Pasai secara pasti dapat diketahui mulai berdiri, kerajaan-kerajaan Islam di luar Nusantara justru sedang mengalami kemunduran yang luar biasa. Dinasti-dinasti Islam dari Andalusia sedang terdesak, dinasti Fatimi sedang mengalami kemunduran, dan bahkan dinasti Abbasiyah yang ibukotanya cemerlang, Baghdad, pada tahun 1258 M diporakporandakan oleh orang-orang Tartar di bawah pimpinan Hulagu Khan. Dari perspektif hubungan antar bangsa, munculnya kekuasaan Pasai, dapat dilihat sebagai akibat pedagang muslim yang melihat kemunduran kekuasaan Islam di Timur Tengah dan mulai mengalihkan aktivitas perdagangannya ke daerah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Dengan berdirinya kerajaan Islam ini, maka fase ketiga dari sejarah awal perkembangan Islam di kepulauan Nusantara dimulai. Jika pada fase pertama kita hanya mendapat berita dari sumber luar negeri tentang singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, kemudian pada fase kedua kita telah bertambah pasti tentang adanya komunitas-komunitas Islam, antara lain dengan ditemukannya makam-makam, maka pada fase ketiga ini sumber sejarah telah lebih beragam dan teruji. Snouck Hourgronye dalam tulisannya “De Islam in Nederlandsc Indie” dalam Syamsul Wahidin dan Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Ajid Thohir4 mengemukakan bahwa agama Islam yang diterima oleh rakyat Aceh khususnya dan Nusantara pada umumnya itu sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian dengan agama Hindu, sehingga dengan mudah dapat menyelaraskan dirinya dengan agama Hindu campuran yang ada di Sumatera dan Jawa. Dengan demikian tampak bahwa Islam di Indonesia lebih banyak menonjol aspek mistiknya daripada aspek hukum sebagai corak aslinya. Ini dapat dimaklumi mengingat peranan mistik dan ajaran Hindu Budha sangat besar pengaruhnya sebelum datangnya Islam. Namun, justru dengan warna

3

Majlis Ulama Indonesia, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI Pusat, t.t.,), hal. 35. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Raja grafindo, 2004), hal., 290. 4

172

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Islam yang sudah bercampur dengan mistik inilah, menurut Syamsul Wahidin, Islam lebih sesuai dengan kondisi Indonesia dan Aceh pada khususnya sehingga dapat cepat tersebar. Hal ini bisa dilihat dari para penyebar Islam seperti Wali Songo di Jawa yang menggunakan media yang komunikatif dalam dakwahnya, misalnya dengan menggunakan wayang, meskipun pada akhirnya menimbulkan efek yang sifatnya seolah-olah melestarikan nilai-nilai tradisional pra-Islam. Demikian juga hal yang sama terjadi dalam Islamisasi sisa-sisa praktek Hindu Budha dalam masyarakat Aceh di awal-awal kedatangan Islam, seperti tradisi tepung tawar dan perayaan kenduri laut. Di samping Islam yang kental dengan muatan mistik, faktor yang mendorong Islam cepat tersebar ke tengah-tengah masyarakat lokal, baik di Aceh maupun daerah lain di Nusantara, adalah masuknya Islam dengan cara damai, jiwa toleransi, dan saling menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan penganut-penganut agama lama (Hindu-Budha). Di daerahdaerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah Aceh, agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial, dan politik penganut-penganutnya, sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni. Walaupun pada awalnya pencerminan nilai tradisional pra-Islam itu diterima, namun hanyalah untuk memperlancar proses islamisasi saja. Sementara itu, menurut Azyumardi Azra5, hubungan antara kaum muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan muslim di Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Para pedagang muslim dari Arab, Persia, dan Anak Benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penetrasi Islam ini di masa lebih belakangan tampaknya kemudian dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa mereka dalam penyebaran Islam lebih memilih pendekatan damai dan evolusioner. Hal ini berbeda dengan masuknya Islam ke negara-negara di bagian dunia lainnya yang menggunakan kekuatan militer. Lebih jauh Azra, mengutip pendapat Marrison tentang asal muasal Islam di Aceh dan Nusantara, mengatakan bahwa pada masa islamisasi Samudera Pasai yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699/1298), Gujarat dan Cambay ditaklukkan kekuasaan muslim. Jadi, menurut Marrison, Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Sedangkan teori lain yang dikemukakan oleh al-Attas menekankan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab. Al-Attas memperkuat argumentasinya, mengutip Hikayat Pasai (ditulis setelah 1350), dengan menyatakan bahwa seorang Syaikh Ismail telah datang menggunakan kapal laut dari Makkah via Malabar ke Pasai dan membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau adalah raja Samudera Pasai pertama yang masuk Islam antara tahun 669 dan 674 H (1270-1275) dan bergelar Malik al-Shalih6. Hal ini menunjukkan bahwa kepulauan Nusantara sebelum Islam datang telah berabadabad lamanya dipengaruhi secara mendalam oleh kebudayaan Hindu dan Budha. Walaupun

5

Azyumardi Azra, Jaringan…, hal.., xix-xxiii. P. A. Hoesein Djajadiningrat, Islam di Indonesia, dalam Panitia Penyelenggara MTQ Tingkat Nasional, Dari Sini Ia bersemi, (Banda Aceh: 1881), hal., 1. 6

Aceh Serambi Mekkah

173

sekarang ini Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan jumlah penduduk beragama Islam lebih dari seratus juta muslim atau yang terbesar di dunia. Secara lebih spesifik, hegemoni politik menunjukkan adanya pengaruh Hindu Budha pada budaya Islam di Sumatera terutama di Aceh seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” yang dikutip oleh Abu Bakar Atjeh dalam Ismail Sunny. Dalam berita-berita mengenai Samudera atau Samadra, yang oleh orang Arab dikatakan Syamatera (Syamtalira dalam Hikayat Noen Parisi) suatu nama yang bentuknya kemudian diubah oleh para pelaut Eropa menjadi Sumatera, nama Sumatera kemungkinan menunjuk nama-nama Sanskrit di Aceh, seperti Indrapatra, Indrapoerwa dan Indrapoeri. Hal ini memperkuat anggapan bahwa Hindu pernah mempunyai pengaruh dalam peradaban dan bahasa Aceh sehingga anggapan tersebut tidak dapat disangkal7. Setelah masa berjaya kerajaan-kerajaan Hindu yang megah seperti Indrapatra, Indrapurwa dan Indrapuri, tidak lama kemudian baru berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pase, Pidie, dan Aceh. Ilustrasi tentang Aceh pra-Islam lebih jauh diungkapkan oleh Prof. Osman Raliby. Ia menulis bahwa sejarah lama Aceh belum begitu dikenal atau lengkap ditulis. Namun menurutnya, pada kira-kira permulaan tarikh Masehi atau sebelumnya, Aceh merupakan suatu bagian dari apa yang disebut Suvar Nabhumi (tanah emas), tanah tujuan para pedagang Hindu datang berlayar dalam jumlah yang besar. Rempah-rempah seperti merica, lada, cengkeh, pala, kapur barus, dan kayu yang berbau harum menjadi daya tarik mereka. Orang-orang India yang beragama Hindu dan Budha inilah telah lebih dahulu meramaikan kepulauan Nusantara khususnya Aceh berabad-abad sebelum kedatangan para pedagang Arab yang beragama Islam. Karena kedudukan geografisnya, Aceh berperan dalam pelayaran antara India, Arab, dan Eropa di satu pihak, serta Kamboja dan Cina di pihak lain. Pada periode tersebut, Aceh sering dikunjungi kapal-kapal yang berlayar di dua jurusan antara bagian dunia ini. Dalam hal ini, menurut Osman Raliby, tiada yang dapat menerangkan dengan pasti apakah ada bangsa Hindu atau kerajaan yang bersifat Hindu tinggal dan menetap di Aceh pada permulaan abad Masehi. Akan tetapi berdasarkan sebuah cerita Aceh, sarjana-sarjana Belanda sering membicarakan tentang seorang raja Hindu bernama Rawana yang memerintah di Indrapuri, sebuah kampung terpencil yang terletak sekitar 30 km dari Banda Aceh8. Pada zaman pemerintahan kerajaan Budha Sriwijaya di Sumatera Selatan, sumber-sumber Cina dan Arab menyebutkan adanya suatu kerajaan yang sangat berkuasa di Aceh bernama Law-wu-li atau Lamuri dan dalam bahasa Aceh sekarang ini mungkin dimaksudkan dengan Lambarih, sebuah kampung yang tidak jauh dari Banda Aceh. Kerajaan Budha Aceh inilah yang membantu Sriwijaya ketika tahun 1025 armada laut Cola datang menyerang dari Pantai Coromandel. Iringan-iringan kapal Cola ini tiba-tiba muncul di sungai Musi dan siap merebut kota Palembang, menangkap rajanya, dan melarikan harta kekayaan kerajaan. Dalam gerakannya ke utara, mereka tidak hanya menyerang seluruh pantai Sumatera, tetapi juga pantai barat Malaysia

7

Abu Bakar Atjeh, Tentang Nama Aceh, dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal., 18. 8 Osman Raliby, Aceh, Sejarah dan Kebudayaannya, dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal., 28.

174

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

tanpa perlawanan berarti. Hanya di Lamuri (Aceh) angkatan laut Cola itu mendapat perlawanan sengit. “Ilamuiri-decam yang kekuatannya bangkit menyala-nyala di masa perang”, demikian bunyi sebuah prasasti tua Tanjaroe dari tahun 1030. Dalam konteks ini, Raliby nampaknya menekankan fakta bahwa meskipun Aceh pernah berada di bawah kemaharajaan Sriwijaya yang untuk beberapa lama menguasai seluruh perairan di Selat Malaka dan Sunda, namun Sriwijaya belum pernah secara efektif berkuasa di seluruh Aceh9. Sejauh menyangkut kedatangan Islam di nusantara, terjadi diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah utama, yaitu tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya yang belum tuntas. Karena itu banyak teori kemudian gagal memberi penjelasan akurat tentang kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses islamisasi yang terlibat di dalamnya. PENGUKUHAN IDENTITAS ISLAM Tidak diragukan lagi bahwa identitas Islam dalam masyarakat Aceh dari aspek manapun tinjauannya akan memperlihatkan suatu sinergi yang berkelindan. Terlebih bila ditelusuri rentang sejarah yang sangat panjang dari perjalanan Islam (napak tilas) selama pembumiannya di Aceh. Bahkan sampai-sampai lahir suatu ungkapan yang padu dan apik guna mengapresiasikan identitas tersebut. Bunyi ungkapan yang demikian popular dalam masyarakat Aceh itu lebih kurang adalah Agama ngen adat lage Zat ngen Sifet. Kira-kira maksudnya adalah bahwa artikulasi Islam sebagai agama yang dianut masyarakat Aceh dalam kehidupan berbudaya masyarakat seharihari telah demikian menyatu sehingga sulit untuk dibedakan lagi. Keterpaduan itu sedemikian uniknya sehingga tidak ada perumpamaan lain selain bagaikan antara Zat Allah dengan sifat-Nya. Islam di Aceh adalah Islam historis, Islam yang telah mengakar kuat dalam sendi-sendi kehidupan orang Aceh itu sendiri. Relatif sulit memisahkan antara unsur budaya dengan ajaran agama dalam sebuah rutinitas kultural orang Aceh. Karena budaya atau adat-istiadat masyarakat Aceh terformat secara bersahaja dengan muatan ajaran Islam, sementara ajaran Islam mewarnai segenap ritme dan ritual hidup orang Aceh. Satu identitas lain yang juga lahir dari rahim sejarah Islam di Aceh adalah penyematan nama daerah, wilayah, dan kawasan teritorial Aceh sebagai Serambi Makkah. Gelar historis ini tidak terlepas dari posisi strategis daerah Aceh yang berada di ujung Pulau Sumatera yang notabene berhadapan dengan Selat Malaka, jalur transportasi laut tersibuk pada zamannya. Letak menguntungkan inilah yang kemudian mengharuskan para musafir, terutama umat Islam dari nusantara yang telah menempuh jarak cukup jauh menuju Makkah (Timur Tengah), harus singgah sementara di Aceh (baca: Sabang atau Pulau Weh). Aceh sebagai kawasan persinggahan lalu lintas laut membawa kemaslahatan tersendiri bagi masyarakat Aceh dan juga keharuman nama Aceh. Tidak hanya karena posisi geografis yang strategis, melainkan juga kapasitas intelektual warganya yang memadai khususnya dalam membimbing para jamaah mempersiapkan bekal wawasan keagamaan, terlebih dalam masalah ibadah haji. Aceh menyimpan sejumlah ulama besar yang handal dan memiliki pengaruh kuat untuk menarik mereka dan “memaksa” singgah

9

Osman Raliby, Aceh, Sejarah dan …, hal., 29.

Aceh Serambi Mekkah

175

sementara di Aceh untuk mempelajari Islam. Kalau Makkah sebagai pusat dan asal-muasal agama Islam, maka Aceh adalah satu sisi di samping pusat itu. Sisi samping tempat itulah yang dinamakan serambi. Menurut penulis, inilah dua ikon yang dapat mewakili identitas keislaman masyarakat Aceh. Kedua dimensi ini sarat dengan muatan sejarah heroisme orang Aceh yang telah begitu panjang dan dinamis. Sifat Islam yang universal dan kosmopolit dengan berkiblat (sumber asal) kepada Makkah dan sekitarnya, telah melengkapi pencitraan masyarakat Aceh terhadap Islam. Sementara identitas periferal lainnya dapat ditelusuri dari berbagai pernik budaya Aceh yang nyaris semuanya bernafaskan Islam. Bentuk dan performa rencong khas Aceh mengilustrasikan Asma Allah (Bismillah), sedangkan rumah adat Aceh dengan konstruksi, interior, dan tata letaknya menunjukkan relevansi dengan pengejawantahan syariat Islam. Keapikan dua contoh khazanah budaya lokal Aceh yang Islami ini kiranya cukup mewakili sejumlah item budaya lainnya. Semua unsur yang ada pada masing-masing representasi ini bermuara pada satu alur utama, yaitu Islam. Barangkali dapat dikatakan bahwa Islam telah lebih mampu membumi dalam diri orang Aceh dan alam budayanya yang khas dibandingkan dengan pembumian Islam di kawasan lain. 1. Islam Sebagai Identitas Masyarakat Aceh. Jika ditanyakan, banggakah orang Aceh dengan keislamannya? Paling kurang pertanyaan tersebut dapat ditemukan jawabnya pada sifat atau karakter kefanatikan orang Aceh terhadap simbol-simbol Islam yang diyakini. Memang benar orang Aceh sangat fanatik terhadap Islam terutama pada tataran simbolik. Sebut saja sebagai contoh, jika ada orang luar yang mengatakan kepada orang Aceh bahwa dia telah menjadi kafir karena suatu sebab yang memang diklaim dalam syariat Islam termasuk kufur, seperti meninggalkan shalat, maka amat sedikit di antara orang Aceh yang menerima begitu saja tuduhan tersebut. Malah akan marah besar, kendatipun semua orang Aceh sedikit banyak mengetahui hukum bahwa kalau meninggalkan shalat tanpa alasan syar’i berdosa besar, dan nyaris semua dosa besar menyeret pelakunya sebagai kufur (ingkar) kepada perintah Tuhan. Akan tetapi secara emosional hal itu sangat sulit diterima oleh akal sehat orang Aceh. Ia akan malu sekali jika identitas keislamannya dinilai orang lain, seakanakan terkesan sebuah maksud bahwa biarlah Tuhan saja yang menghakimi dan menilai keislaman saya. Gejala seperti ini merupakan sebuah pengakuan bertahap terhadap Islam sebagai sebuah keyakinan yang permanen. Artinya, orang Aceh adalah muslim, hanya saja masih dalam proses panjang menuju keislaman yang kaffah atau paripurna. Sementara sedang menuju ke arah itu, penampakan ke arah kekamilan Islam pada diri orang Aceh jangan diusik di tengah jalan. Seolaholah begitulah suara dan hati kecil orang Aceh hendak berkabar kepada saudara lain yang kebetulan minat mengamati keberagamaan Islam orang Aceh. Walaupun agak aneh, proses mengutuhkan Islam ke dalam jiwa raga orang Aceh tersebut bagai jalan di tempat saja semenjak dari dahulu sampai sekarang, belum ada perubahan berarti. Di sinilah uniknya, sehingga para pengamat lebih tergoda dan bersemangat mengintip aplikasi ajaran Islam dalam masyarakat Aceh yang konon kabarnya muslim sejati. Diperkirakan, penyebab kefanatikan simbolik dan kebanggaan semu terhadap Islam adalah karena orang Aceh merasa diri aman dan terhormat bersama Islam. Ironis, Islam yang

176

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

dipahami oleh kebanyakan orang Aceh adalah Islam dalam artian kulit luar. Terlebih dalam menerima Islam dari satu generasi ke generasi sesudahnya berlangsung melalui tradisi pewarisan apa adanya (taken for granted), tanpa ada proses pengayaan berarti, apalagi melalui sebuah proses intelektual. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemahaman Islam yang kaku, sempit, dan tidak cerdas. Seandainya transmisi yang berlangsung mengandung muatan pencerahan, maka diyakini dampak buruk itu tidak akan terjadi. Hal demikian diperparah oleh elit agamawan (ulama) di Aceh yang memegang otoritas penyebaran Islam dengan cara memaksakan sistem satu pintu. Pengkajian Islam dilakukan dari sumber terbatas melalui satu mazhab saja, yaitu syafi‘iyah semata. Di luar mazhab tersebut dianggap telah berada di luar mainstream Islam sesungguhnya, dan boleh jadi kufur menjadi vonis yang mematikan bagi siapa saja yang mencoba-coba menawarkan alternatif lain. Terlepas dari dampak buruk ini, di sisi lain kita masih bisa menarik aspek positif darinya. Karena, boleh jadi kebanggaan dan fanatisme hanyalah modal awal dalam mengenal dan memperlakukan Islam dalam tahapan selanjutnya yang lebih menjanjikan. Kedua hal itu tidak salah, hanya saja perlu dijaga agar tidak terjadi kemandekan di tengah-tengah dinamika umat Islam di Aceh. Praktek Islam simbolik dalam keseharian orang Aceh bukan tidak beresiko. Salah satu akibat buruk tersebut adalah tumbuhnya sikap primordial keagamaan yang cukup mengganggu ruang introspeksi diri orang Aceh. Pengultusan secara berlebihan terhadap romantisme kejayaan masa lalu justru kemudian berbuntut pada stagnasi pencapaian transformasi masa kini. Sesuatu yang dibanggakan pada masa lalu ternyata masih saja sulit direkonstruksi ulang pada masa sekarang, sebabnya adalah faktor mentalitas orang Aceh yang belum mampu membaca realitas kekinian yang telah jauh berbeda dengan kenyataan masa lalu. Harus diakui sekarang bahwa pewarisan laqab Serambi Makkah untuk daerah ini telah mengalami kesulitan mendapatkan justifikasinya dalam irama hidup mayoritas orang Aceh. Gezah Aceh, sebagai salah satu kawasan intelektual dan spiritual sebagaimana dahulu, kini gaungnya telah meredup. Berbagai upaya pemerintah daerah, akademisi, ulama, dan elemen masyarakat lainnya terus dilakukan untuk memulihkan dan menggairahkan kembali citra yang telah terlanjur melekat dan teramat sakral itu dengan harapan-kalaupun tidak dapat kembali sama, paling kurang mendekati-gelar kehormatan tersebut dapat dilestarikan dalam ruang gerak dan perilaku orang Aceh yang islami. 2. Islam Sebagai Ideologi Masyarakat Aceh Islam sebagai sebuah ajaran agama tidak mengandung dimensi ritual semata, melainkan aspek ideologi pun adalah bagian inheren dari substansi ajaran Islam. Setidaknya, hal ini telah berhasil diterjemahkan oleh para pendahulu (endatu) masyarakat Aceh melalui sebuah momentum paling heroik dalam sejarah perjuangan dalam mempertahan jati diri orang Aceh, yaitu peperangan di jalan Allah (fi sabilillah) melawan kaum kufar kolonial Belanda dalam perang Aceh (1873 M). Menurut S. M. Amin, perjuangan ini senantiasa diilhami oleh unsur-unsur agama Islam yang menghendaki setiap Muslim, dalam hidupnya di dunia yang fana ini, senantiasa mentaati segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Kuasa. Di samping cinta agama ini rakyat Aceh pun cinta kemerdekaan, yang kedua cinta tersebut bertautan satu dengan yang lain sehingga sulit dipisahkan. Unsur-unsur ini saling berpengaruh dan, pada saat dan suasana tertentu, dapat Aceh Serambi Mekkah

177

meledak dalam bentuk perlawanan yang gigih dan penuh kepahlawanan terhadap objek yang berniat hendak menghancurkan perlawanan itu. Sejarah Aceh menggambarkan betapa gigihnya rakyat mempertahankan segala sesuatu yang sangat berharga baginya, baik anasir rohaniah maupun jasmaniah10. Lebih jauh S.M. Amin menilai bahwa cinta agama mengandung pengertian taat pada agama. Ketaatan rakyat Aceh pada agama mungkin dapat dianggap sebagai akibat dari kenyataan bahwa daerah ini telah berabad-abad lamanya hidup dalam dunia Islam dan menganut agama Islam yang telah memasuki Indonesia sejak puluhan abad lampau melalui daerah Aceh. Pertautan antara dua cinta (agama dan kemerdekaan) pada diri rakyat Aceh dalam setiap bidang inilah yang telah menjadi pendorong bagi rakyat dalam menantang setiap usaha kaum kolonialis Belanda menanamkan kekuasaannya di bumi Aceh. Tiga puluh tahun lamanya Belanda berperang dengan tujuan menguasa Aceh. Dalam kurun waktu 1873-1904, berkecamuk peperangan dahsyat yang mengambil korban puluhan ribu nyawa manusia. Sampai tahun 1904 peperangan berakhir secara resmi, namun rakyat Aceh masih tetap dalam hatinya tidak mengakui kekuasaan Belanda di tanah airnya. Penyerahan hanya secara lahiriah, penyerahan sungguh-sungguh tidak berlangsung. Di setiap pelosok Aceh terus terjadi perlawanan dengan senjata tanpa henti. Perlawanan terhadap Belanda barulah berakhir pada bulan Maret 1942, karena Belanda yang terpaksa meninggalkan Aceh akibat serbuan Jepang ke kawasan ini11. Prang Sabi (perang membela agama Allah), begitu orang Aceh menyebutnya, adalah sebuah tragedi kemanusiaan terbesar yang dialami orang Aceh. Perang ini telah tertulis dengan tinta emas dalam catatan sejarah, dan tidak mungkin dilupakan oleh orang Aceh sampai hari ini. Heroisme perang sabil tersebut telah mengilhami seorang ulama-pujangga kenamaan Aceh, yaitu Tengku Chiek di Pante Kulu, untuk menulis sebuah hikayat (syair) yang diberi nama Hikayat Prang Sabi. Hikayat tersebut mampu menggugah dan memompa semangat jihad (membela) harkat, martabat, dan agama Islam dari rongrongan penjajah bangsa Belanda yang ingin menguasai Aceh kala itu. ACEH SEBAGAI SENTRAL PENDIDIKAN DI NUSANTARA Aceh merupakan daerah yang pertama menerima agama Islam di antara sebelum agama ini berkembang dan tersebar luas ke berbagai daerah di Indonesia lainnya. Dalam sejarah perkembangan Islam di nusantara, kerajaan Islam Perlak merupakan kerajaan Islam yang pertama, baru kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang berperan sangat besar dalam mengembangkan agama Islam khususnya di wilayah Asia Tenggara. Setelah Perlak, dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kejayaannya. Kemegahan, kemakmuran serta kedamaian selalu tercipta dalam kehidupan sehari-hari di kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Sultan ini telah menjadikan Aceh sebagai pusat berbagai kegiatan kerajaan Aceh, baik yang berhubungan dengan kegiatan dalam negeri maupun luar negeri. 10 Mr. S.M Amin, Sejenak Meninjau Aceh; Serambi Mekkah, dalam Ismail Sunny (Editor), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhrata Karya Aksara, 1980), hal., 45. 11 Mr. S. M Amin, Sejenak…, hal., 46.

178

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Masa Sultan Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang telah diabadikan dalam lembaranlembaran sejarah, adat, dan ilmu pengetahuan berkembang dengan cukup pesat. Sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain: pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, pendidikan seni budaya, pendidikan militer, dan olah raga. Di saat Sultan Iskandar Muda memegang kekuasaan, Aceh merupakan pusat pendidikan, sehingga Aceh dapat mencapai puncak kejayaan dengan pesat. Ketenteraman, kedamaian, dan kemakmuran meliputi kehidupan masyarakatnya; agama Islam benar-benar meresap dalam jiwa pemeluknya, sehingga tidak berlebihan kiranya kalau Aceh mendapat julukan Serambi Mekkah. Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis, dalam karya mereka tentang sejarah Aceh, bahwa pada masa pemerintahan Iskandar Muda daerah Aceh merupakan daerah pusat pendidikan, dan kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang masyhur di antara kerajaankerajaan lain. Masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan puncak kejayaan dan kebesaran kerajaan Aceh. Dari semua sultan yang pernah memerintah Aceh, Iskandar Muda adalah sultan yang paling agung dan satu-satunya Sultan yang sangat terkenal, yang senantiasa hidup dalam ingatan orang Aceh. Kemajuan bidang pendidikan, ekonomi, dan Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda diraih antara lain melalui pendirian meunasah di tiap-tiap kampung. Meunasah ini sebenarnya bukan saja tempat ibadah dan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga yang multifungsi dalam masyarakat gampong. Di sinilah orang mengaji, berjama’ah, bermusyawarah, mengadili pencuri, mengadakan dakwah, mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Lembaga ini juga memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual, dan terpadu kepada anak-anak. Agama Islam mempunyai peranan yang besar sekali dalam pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Aceh. Sifat militan dari rakyat Aceh dan kerajaan Aceh diperolehnya dari agama Islam. Dasar ideologi rakyat dan negara ialah Islam. Raja-raja Aceh sangat mementingkan pendidikan dan mendakwahkan Islam secara terang-terangan. Raja Aceh dengan giat menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok hingga ke luar daerah Aceh. Perlu diingat juga bahwa daerah Aceh merupakan daerah pertama yang memegang peranan dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara dan Malaka, sebagaimana yang ditulis oleh Zakaria Ahmad dalam bukunya Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, bahwa pusat agama Islam yang mula-mula di Indonesia ialah di Samudra Pasai. Malaka menerima agama Islam pun dari Samudra Pasai, namun dalam perkembangan selanjutnya Malaka menjadi pusat pendidikan Islam bagi seluruh Indonesia menggantikan Samudra Pasai. Waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, kemudian pusat pendidikan Islam pindah ke daerah Aceh dan Jawa12. Kemajuan dan kejayaan yang telah dicapai oleh kerajaan Aceh tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pendidikannya, karena pendidikanlah yang menentukan kecerdasan dan kemajuan suatu bangsa. Untuk meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama dalam

12

Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Menara, tt.), hal. 216

Aceh Serambi Mekkah

179

wilayah Kerajaan Aceh, para Sultan Aceh telah menempuh berbagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut antara lain seperti yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda sebagaimana termaktub dalam Qanun Meukuta Alam, yakni menyusun lembaga-lembaga pendidikan dalam tiga bidang dengan tugas khusus: masalah pendidikan, pengajaran, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain: 1) Balai Setia Hukama, yakni lembaga ilmu pengetahuan tempat berkumpulnya para sarjana (hukama) dari berbagai bidang keahlian masing-masing untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan; 2) Balai Setia Ulama, yakni jawatan pendidikan atau pengajaran yang bertugas mengurus masalah pendidikan; 3) Balai Jami’ah Himpunan Ulama, yakni semacam study club atau tempat para ulama/sarjana berkumpul dan mendiskusikan masalah-masalah pendidikan/pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan13. Dalam rangka mencerdaskan rakyat, Kerajaan Aceh Darussalam membangun saranasarana pendidikan untuk semua tingkatan pendidikan: Meunasah (SD atau madrasah ibtidaiyah), Rangkang (SLTP atau madrasah tsanawiyah), Dayah (SMU atau madrasah aliyah), Dayah Teungku Chik (perguruan tinggi/akademi), Jami’ah Baiturrahman (fakultas). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam telah cukup sistematis dan baik. Sekitar abad ke-16 dan ke-17 M. Aceh Darussalam bukan saja berkembang sebagai kota tempat kegiatan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai kota pusat kegiatan dan perkembangan ilmu pengetahuan, atau dalam istilah sekarang disebut kota universitas. Di zaman kerajaan Aceh Darussalam, ibukota Banda Aceh merupakan pusat kegiatan pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Pada masa itu, ada tiga tempat yang menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dalam kota Banda Aceh Darussalam, yaitu Mesjid Baiturrahim, Mesjid Baitul Musyahadah dan Mesjid Jami’ Baitur Rahman. Banyak pelajar datang menuntut ilmu ke Aceh, baik dari Minangkabau maupun dari serantau Asia Tenggara. Sebuah qanun yang mengatur para pelajar dari luar Aceh dibuat dengan membubuhkan sebuah pasal yang khusus mengatur hal tersebut. Bidang pendidikan bahasa di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda telah banyak mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan masa pemerintahan raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan penetapan bahasa resmi kerajaan Aceh, pembentukan lembagalembaga pendidikan bahasa dan sastra, serta pencetakan tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang bahasa dan sastra. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa resmi rakyat Aceh adalah bahasa Aceh. Bahasa Aceh ini banyak sekali dialeknya, hal ini erat hubungannya dengan dengan keadaan sebelum terbentuknya kerajaan Aceh. Penduduk di Gayo Alas, Singkil, Hulu, dan Kluet di Aceh Selatan mempergunakan bahasa yang dapat digolongkan dalam dialek bahasa Batak Utara. Penduduk Tamiang mempergunakan dialek Melayu, sedangkan sebagian besar penduduk Aceh Selatan dan sebagian kecil penduduk Aceh Barat mempergunakan dialek Minangkabau. Penduduk yang bertempat tinggal di pulau-pulau sebelah barat Aceh mempergunakan bahasa Pulo yang mirip dengan dialek Nias dan Mentawai. Setelah daerah ini

13

A. Hasjny, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No. 63, Agustus 1975), hal. 13

180

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

diintegrasikan ke dalam wilayah kerajaan Aceh, maka mereka mempergunakan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari, tetapi dengan variasi bentuk dialek bercampur dalam ragam dialek seperti yang sudah penulis sebutkan diatas. Sampai sekarang dialek-dialek tersebut masih terus dipergunakan sebagai kekayaan dialek bahasa Aceh, dan disebut dengan dialek Banda. Sejalan dengan perkembangan pendidikan pada masa Iskandar Muda, berkembang pula kebudayaan di kerajaan Aceh, terutama dalam bidang kesusastraan. Di bidang ini, Aceh telah menjadi pusat kegiatan pengembangan kesusastraan Melayu pada umumnnya. Berbagai buku ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang di hasilkan, dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, terdiri dari buku-buku yang berbahasa Aceh, Melayu, dan atau berbahasa Arab. Bukubuku tersebut memuat beragam bidang kajian, seperti sejarah, agama, dan sastra. Buku-buku sastra yang dihasilkan dari masa ini antara lain merupakan tulisan yang memiliki nilai-nilai sejarah, misalnya Hikayat Malem Dagang, sebuah epos yang menceritakan tentang kehidupan Iskandar Muda: penyerangannya ke Johor, kegiatannya dalam pemerintahan, keadaan istana kerajaan, dan kemajuan kerajaan Aceh secara umum pada saat itu. Dari sekian banyak buku-buku agama dan buku-buku sastra yang sampai sekarang naskahnya masih dijumpai, sebagian besar berasal dari zaman keemasan kerajaan Aceh. Berdasarkan buku-buku sejarah yang penulis baca, dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terdapat tiga bahasa resmi yang berlaku di seluruh tanah Aceh, yakni: 1) Bahasa Aceh; 2) Bahasa Melayu; 3) Bahasa Arab14. Walaupun demikian, ketiga bahasa tersebut tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Bahasa Aceh merupakan Bahasa Nasional kerajaan Aceh Darussalam dan lazim dipergunakan oleh rakyat dalam pergaulan sehari-hari. Pada umumnya, produk kesusastraan Aceh yang berbentuk puisi diucapkan atau dituliskan dalam bahasa Aceh dan bersifat hikayat, sedangkan sastra Aceh yang berbentuk prosa bersifat mantera. Salah satu hikayat Aceh yang ditulis oleh para ahli hikayat Aceh menceritakan tentang bunda Iskandar Muda yang sedang membuai putra kesayangannya, dengan nazam-nazam dibawah ini: La ilaha illallah Kalimah thaibah payong page Muhammad Rasul Allah Kalimah syahadah pangkai mate Beurayek aneuk lon beu bagah Tueng bila mbah jipoh le kafe Menyo nabagi deugen tuwah Allah neu peuhah jalan meusampe Neng-neng bo, neng-neng bo Peuraho pawang jih hana

14

Panitia penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur‘an Tingkat Nasional ke 12, Dari sini ia bersemi, (Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh 1981), hal. 269.

Aceh Serambi Mekkah

181

Keunoe aneuk eh lam dodo Ateuh kaso geuayon lema Do ida idang, do ida idang Geulayang blang ka putoh taloe Beurijang rayeuk perkasa alam Jak puga prang peuaman naggroe. Terjemahannya: La ilaha illallah Kalimah thaibah pelindung nanti Muhammad Rasul Allah Kalimah syahadah pengantar mati Lakaslah dewasa anakku sayang Ayahanda syahid dibunuh kafir Belalah ayah turun berjuang Allah lapangkan jalan ke hilir Bobok-boboklah intan Layang-layang putus talinya Lakaslah gendang perkasa alam Pemimpin perang, bela Negara15 Bahasa Melayu adalah bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi di kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda. Bahasa ini dipergunakan sebagai: 1. Bahasa istana 2. Bahasa sarakata 3. Bahasa ilmu pengetahuan 4. Bahasa pengantar pengajaran 5. Bahasa pengucapan pasaran 6. Bahasa perhubungan antara wilayah kerajaan 7. Bahasa media dawah 8. Bahasa diplomasi 9. Bahasa surat menyurat16 Salah satu catatan sejarah tentang perkembangan bahasa Melayu masa Sultan Iskandar Muda ditulis dalam bentuk syair yang menggambarkan tentang seseorang pahlawan yang syahid

15 16

182

M. Yunus Jamil, Gajah Puteh, Lembaga Kebudayaan Aceh, (Kuta Raja: t.t.), hal. 18. Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur‘an ke 12, Loc. cit.

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

namun belum akan rubuh tubuhnya ke bumi sebelum dara-dara surga sampai untuk memangku badannya yang terkapar berlumuran darah, seperti diceritakan dalam syair berikut: Menurut kata pesuruh Allah Tubuhmu yang tertembak berlumuran darah, Tidak akan terkapar Kecuali dalam pengakuan Ainul Mardhiah Sebelum datang dara rupawan, Tubuh pahlawan rubuh tiada Dara senyum mengulur tangan Barulah jasad terhantar bahagia Dara berlomba menadah tangan Jemput junjungan kekasih hati Dalam pengakuan gadis rupawan Nyawa di badan keluar sendiri. Bahasa Arab dinyatakan sebagai bahasa resmi, karena bahasa ini merupakan bahasa agama, yaitu bahasa al-Qur‘an, Hadits, bahasa bacaan dalam shalat, dan bahasa azan (panggilan melakukan shalat). Selain itu, bahasa Arab juga berfungsi sebagai bahasa perhubungan antar ulama, bahasa pengantar pada dayah-dayah (lembaga-lembaga pendidikan islam) di tingkat menengah dan atas, bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa perhubungan antar negara-negara islam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dalam kerajaan Aceh Darussalam telah muncul sejumlah ulama dan pengarang yang menyusun berbagai kitab dalam bermacam bidang ilmu pengetahuan, baik dalam bahasa melayu maupun dalam bahasa Arab. Kitab-kitab karangan mereka meliputi bidang ilmu fiqh (hukum Islam), tauhid/filsafat, tasawuf, akhlak, ilmu falak/ ilmu bintang, manthiq, sejarah Islam, dan bahasa Arab. Kitab-kitab karangan para ulama Aceh ini dipergunakan menjadi buku bacaan di sekolah-sekolah dari berbagai jenjang pendidikan di Aceh, baik di meunasah, rangkang, dayah, teungku chik, atau pun di jami‘ah Baiturrahman. Kitabkitab mereka juga dipakai sebagai buku pelajaran agama Islam di seluruh kepulauan nusantara yang berbahasa Melayu. Bidang pendidikan ilmu hukum bukanlah merupakan hal baru bagi Sultan Iskandar Muda, sebaliknya merupakan wujud hasil pembinaan cita-cita orang tuanya sendiri. Iskandar Muda sejak kecil telah dibina dan dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. Dan khusus untuk mengajarkan ilmu hukum kepada Sultan Iskandar Muda, ayahnya telah mendatangkan seorang guru, yaitu Hakim Mahmud hukuma indra17. Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pembinaan bidang ilmu hukum ini mendapat perhatian tersendiri dari pemuka-pemuka kerajaan Aceh. Iskandar Muda mendirikan Fakultas

17

A. Hasymy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 27.

Aceh Serambi Mekkah

183

Hukum (Daru ‘I-Ahkam) yang kemudian bergabung dalam jami‘ah Baiturrahman. Peranan jami‘ah Baiturrahman sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi Islam sangat menentukan dalam membina Aceh, menjadi suatu kerajaan Islam yang maju, kuat, bersatu. Hal ini dapat dipahami mengingat universitas Baiturrahman di samping mengajarkan ilmu hukum Islam (fikh), juga mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan lain seperti yang diajarkan di Perguruan Tinggi Islam di Kairo, Kordova, Baghdad, Kairawan, Istambul, dan negara-negara Islam lainnya. Jami‘ah Baiturrahman telah banyak menghasilkan ulama-ulama (ahli-ahli hukum Islam) yang kemudian ditugaskan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi pendidik di berbagai lembaga pendidikan dalam wilayah kerajaan Aceh Darussalam. Ahli-ahli hukum Islam yang terkenal di masa Sultan Iskandar Muda antara lain: 1. Sri Fakih Zainal Abidin Ibnu Zain Mansur Abdullah Malikul Amin Syah. 2. Syaikh Nurdin Ahmad Jaulany Ibnu Ali ar-Raniry 3. Syaikh Kamaluddin Bin Yusuf 4. Syaikh Alaudin Bin Ahmad 5. Syaikh Muhyiddin Bin Ali 6. Syaikh Taqiyuddin Bin Ali 7. Syaikh Saifuddin Abdul Qahhar 8. Syaikh Syamsuddin Bin Musa 9. Syaikh Abdul Hakim 10. Syaikh Abdul Mu‘in Bin ja‘far 11. Syaikh Abdul Fattah al-Amin18 Seni budaya merupakan penjelmaan iman dan amal shaleh seorang muslim atau segolongan kaum muslimin. Pendidikan seni budaya yang penulis maksudkan di sini adalah penjelmaan pendidikan hasil karya seni rakyat Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yang merupakan bagian materi pendidikan yang dibina secara khusus dan dilestarikan, baik di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda maupun di masa sekarang. Seni budaya tersebut merupakan salah satu wujud keagungan rakyat Aceh, karena di dalamnya mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang besar manfaatnya bagi umat manusia, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Penjelmaan hasil seni budaya yang dikembangkan dan dilestarikan di masa Sultan Iskandar Muda, masih dapat kita jumpai sampai sekarang dari peninggalan-peninggalan sejarah, baik yang telah disusun secara sistematis dalam buku-buku sejarah maupun berbagai jenis bentuk kebudayaan lain yang masih berkembang sampai sekarang seperti seni tari, seni bangunan, dan seni ukir. Al-Qur‘an dan hadits merupakan sumber hukum bagi kerajaan Aceh; akibat logis dari kenyataan ini ialah bahwa kerajaan Aceh mengambil Islam sebagai dasar pembangunan bidang pendidikannya. Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Iskandar Muda dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan melestarikan kebudayaan selalu dijiwai ajaran agama

18

184

A. Hasymy, Bunga Rampai Revolusi Dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulang Bintang, 1978), hal. 69.

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Islam. Pembangunan bidang pendidikan ditujukan untuk membina manusia-manusia yang sanggup mengamalkan ajaran Islam. Demikian juga dalam hal pembinaan seni budaya kerajaan Aceh, dilakukan sejalan dengan tuntunan agama Islam. Iskandar Muda di samping seorang Raja yang sangat terkenal, juga merupakan pemimpin angkatan perang Aceh yang sangat disegani dan ditakuti musuh. Beliau sangat giat dalam membina dan mendidik para pemuda untuk menjadi angkatan perang Aceh yang siap tempur di medan pertempuran untuk membela dan mempertahankan kerajaan Aceh. Sebagai langkah awal untuk memperkuat angkatan perang Aceh, Sultan Iskandar Muda telah memanggil para pemuda untuk dididik menjadi prajurit (Si Pai). Pemanggilan ini ada yang langsung dilaksanakan oleh Iskandar Muda sendiri, ada juga yang dipanggil melalui hulubalang-hulubalang sultan yang ada di daerah. Para hulubalang tersebut diperintahkan untuk mencari para pemuda yang berbadan sehat untuk dibawa menghadap Sultan guna dididik menjadi prajurit atau syarikai raja. Pemuda-pemuda yang dipanggil diajari ketrampilan menembak, bermain pedang, menggunakan lembing, dan panahan di suatu lapangan yang telah ditetapkan sebagai tempat berlatih yang dinamakan dengan blang si pai. Di blang si pai ini selain diajarkan cara mempergunakan senjata-senjata perang, juga diajarkan taktik dan strategi berperang. Kemudian, di setiap kampung tempat tinggal para pemuda yang sedang di berikan pendidikan militer disediakan para ahli senjata dan strategi peperangan yang senantiasa yang mengawasi dan melatih mereka setiap pagi dan sore. Para ahli tersebut terdiri dari bangsa Arab, Turki, Melayu (Perak), Minangkabau, Jawa, Bugis, dan lainlain19. Tentang ketangkasan cara berlatih angkatan perang Aceh pada Sultan Iskandar Muda, H.M. Zainuddin mengabarkan : Setiap pagi dan sore para pemuda diberikan ketrampilan menembak dengan kaki, berdiri diatas kelapa kosong (boh lupieng), kemudian dipeganglah pedang dengan tegap dan kuat sehingga pedang itu gemetar dalam genggaman, seakan berdegung. Setiap siap pedang dikunci lalu dicincang lidi dengan sekali cincang sampai lima atau tujuh batang lidi yang terputus, ada juga yang sekali cincang sampai dua belas lidi yang terpotong, hal itu tergantung pada kepandaian masing-masing. Demikian pula latihan mencincang batang pisang yang khusus ditanam berbaris20.

Selain di blang si pai, pendidikan dan pelatihan kemiliteran di masa Iskandar Muda juga dilakukan di tempat lain yang diberi nama dengan kusaran. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat berparade bagi prajurit-prajurit raja, inilah sebabnya masih kita dengar sampai sekarang sebutan orang blang parade. Selain itu Sultan Iskandar Muda juga mengumpulkan para ahli besi untuk membuat alat-alat perlengkapan berperang seperti: pedang, lembing, pisau, rencong, keris, dan senapan. Kepada para prajurit, selain diberikan pendidikan fisisk juga diadakan pembinaan mental oleh Sultan Iskandar Muda. Latihan mental ini adakalanya diberikan melalui pembinaan secara

19 20

Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal. 158. H. M. Zainuddin, Singa Aceh, (Medan: Pustaka Iskandar Muda 1957), hal. 79.

Aceh Serambi Mekkah

185

kekeluargaan dengan para prajurit, dengan harapan mereka memiliki sifat keberanian dan rasa optimis menghadapi segala rintangan, hal ini sebagaimana yang ditulis oleh H.M.Zainuddin : Sultan sering mengadakan makan bersama dengan para pembesar, hulubalang-hulubalang, dan para perajurit-perajurit, setelah itu beliau memberi nasehat-nasehat yang dapat membangkitkan semangat juang para perajuritnya, dengan harapan mereka tidak akan gentar menghadapi musuh dan takkan mundur sebelum mereka menang21.

Pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam kerajaan Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tidak hanya dibidang pendidikan agama saja, akan tetapi selaras dengan perkembangan zaman pada saat itu. Lembaran sejarah telah mengabadikan bahwa pada masa tersebut Aceh merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan; yang bisa dilihat dari jenjang-jenjang pendidikan yang cukup teratur dan ditandai dengan lahirnya ulamaulama (sarjana terkemuka) yang disegani dunia luar. Bidang pendidikan olah raga di masa pemerintahan Iskandar Muda juga tidak diabaikan begitu saja, sebaliknya mendapat perhatian khusus dari pimpinan kerajaan Aceh melalui penyediaan sarana prasarana yang memadai. Adapun jenis-jenis olah raga yang digemari dan sering dipertandingkan serta mendapat pembinaan khusus dari Sultan Kerajan Aceh meliputi: 1. Gedee-gedee (gulat) 2. Silat (silet) 3. Bekuda 4. Menembak 5. Cabang22 ad. 1. Gedee-gedee Olah raga ini semacam olah raga gulat yang kita kenal sekarang yang biasa dipertandingkan dalam olahraga internasional dewasa ini. Pemainnya terdiri dari dua orang (satu lawan satu) yang berbadan sehat dan tegap, saling berhadapan dengan mengandalkan tangan, kaki atau badan untuk menjatuhkan lawan. Seorang wasit bertugas memimpin dan memberi penilaian kalah menang pemainnya. ad. 2. Silet Olah raga ini sama dengan olah raga silat yang kita kenal sekarang. Pola permainannya ada yang satu lawan satu, satu lawan tiga, dan ada juga orang yang pandai main silat dengan satu lawan sepuluh, tergantung pada tingkat kepandaian masing-masing. Untuk menjatuhkan lawan, olah raga ini mempergunakan tangan atau kaki, ada juga yang mempergunakan senjata tajam seperti pisau, rencong, atau keris. ad. 3. Berkuda Olah raga ini dipertandingkan untuk melihat ketangkasan berkuda sambil mempermainkan pedang seakan sedang menyerang musuh. Olah raga berkuda ada yang diperlombakan secara

21 22

186

Ibid., hal. 80. Amri. S. dkk, Sejarah Olah Raga Klasik, (Bandung: Biro Ilmu Pengetahuan IKIP, 1964), hal. 23.

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

perorangan dan ada juga yang secara beregu. Melalui perlombaan ini dilakukan seleksi prajurit yang paling terampil untuk diangkat sebagai pimpinan pasukan berkuda guna memimpin satu pasukan perang. ad. 4. Menembak Ada dua macam olah raga menembak yang sangat digemari dan dibina di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu menembak dengan menggunakan senapan dan dengan menggunakan panahan. Olah raga ini dipertandingkan dengan tujuan untuk membina kader penembak yang tangguh dan bisa diandalkan di medan pertempuran menghadapi musuh. ad. 5. Cabang Cabang merupakan olah raga para pembesar istana yang sering dipertandingkan pada acara tertentu seperti hari-hari ulang tahun kerajaan. Olah raga ini dipertandingkan untuk melihat kecerdasan seorang pemain dalam mengatasi lawannya. Permainan cabang sangat digemari Sultan Aceh pada saat itu. Karena kegemarannya pada olah raga ini, sampai-sampai pada tempat istirahat raja (yang sekarang menjadi koleksi Museum Aceh) pun dapat kita jumpai ukiran rumusan olah raga cabang ini. Dalam bab-bab sebelumnya penulis telah memberikan uraian panjang lebar mengenai sejarah pendidikan Islam berdasarkan fakta-fakta sejarah yang telah ditulis oleh para ahli sejarah kita, khususnya tentang Aceh sebagai pusat pendidikan di masa Sultan Iskandar Muda. Selanjutnya, penulis akan meringkaskan beberapa hal yang dapat memudahkan para pembaca dalam memahami sejarah pendidikan Islam di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya, sebagai berikut: 1. Sejak tahun 1607-1636 M, atau tepatnya sejak kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, telah diukir dalam lembaran sejarah bahwa pada rentang masa tersebut daerah Aceh merupakan pusat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan adanya sarana pendidikan yang memadai mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi serta munculnya ulama-ulama terkemuka, seperti: Hamzah Fansury, Syamsuddin as-Sumatrany, Syeh Nuruddin ar-Raniry, dan Syeh Abdurrauf. 2. Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan kerajaan yang disegani dan ditakuti oleh negara-negara lain. Pada kurun waktu tersebut wilayah Kerajaan Aceh terdiri dari tiga bahagian utama, yaitu: daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk. Pada masa itu juga Aceh digambarkan sebagai daerah yang mempunyai struktur kerajaan yang cukup teratur, sistem perekonomian yang mantap, pertahanan keamanan yang cukup terjamin, serta hubungan internasional dan politik luar negeri yang menguntungkan. 3. Demi tujuan Kerajaan Aceh, Iskandar Muda telah membawa angin segar melalui upaya memajukan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, baik pendidikan agama, bahasa, ilmu hukum, seni budaya, pendidikan militer, dan olah raga. Sayangnya, kejayaan di atas harus hilang dan kehilangan itu harus diterima dengan dada lapang. Perang kolonial yang berpuluh-puluh tahun lamanya telah menghancurkan pusat-pusat pendidikan dengan terbakarnya perpustakaan-perpustakaan Islam bersama dengan puluhan ribu kitab/ buku koleksinya. Hanya sebagian koleksi saja yang berhasil diselamatkan dengan jalan Aceh Serambi Mekkah

187

menyembunyikannya dalam gua-gua dan di tempat-tempat lain, seperti dalam perpustakaan Islam Dayah Tanoh Abey. Selain itu, pada saat terjadi perang kolonial, banyak ulama yang bergerilya di hutan-hutan untuk berjihad sambil mempelajari ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama, sehingga meskipun sebagian tanah Aceh diduduki tentara Belanda, mereka tetap dapat membangun kembali dayah-dayah lain sebagai pusat pendidikan Islam, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Pada akhir tahun dua puluhan, para pemuda Aceh mulai merantau ke Minangkabau untuk menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Islam yang ada di sana. Mereka memperoleh ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, dari para guru alumni luar negeri, seperti India, Irak, Mesir, dan Saudi Arabia Mereka pula yang kemudian menjadi pelopor bagi gerakan Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Minangkabau, yang menyebabkan wilayah nusantara itu menjadi wilayah pertama yang melaksanakan Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, sehingga kemudian ia menjelma menjadi Pusat Kegiatan dan Ilmu Pengetahuan Islam di Rantau Asia Tenggara pada awal abad ke-20. Berdirilah di sana sekolah-sekolah Islam moderen, seperti Madrasah Thawalib, Madrasah Diniyah Putera/ puteri, Normal Islam, Perguruan Muslim, Islamic College, Al Jami’ah al Islamiyah, Modern Islamic College, M.I.K. (Moderne Islamic Kwekschool), Darul Mu’allimin, dan sebagainya. Ketika tiba waktu kembali ke Aceh, para pemuda tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh. Alumnus berbagai lembaga pendidikan dari tanah rantau tersebut kemudian mempelopori pembaharuan sistem pendidikan Islam di Aceh, tepatnya di Montasiek. Lembaga pendidikan di Montasiek inilah yang kemudian menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terkenal di tanah Aceh karena banyak melahirkan ulama-ulama muda yang sekaligus menjadi pemimpin rakyat. Madrasah Islam tersebut kemudian terkenal dengan nama JADAM (Jami’ah Diniyah Montasiyah). 1. Sejarah Pendidikan di Aceh Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang mereka menyiarkan dan memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam kepada orang yang mengelilingi dan membeli barang mereka. Didikan dan ajaran Islam yang mereka contohkan (uswah al-hasanah) membuat penduduk negeri tertarik dan hendak memeluk agama Islam23. Sistem pendidikan Islam informal berjalan dalam lingkungan keluarga dan telah diakui sukses mendidik umat. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan. Islam mulai masuk ke Indonesia dalam akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar nusantara dalam abad ke-16. Tujuan diberikannya pendidikan agama Islam pada masa kerajaan Islam Indonesia (abad 13-18 M) adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengajak manusia berbuat baik, yakni amar ma’ruf dan nahi mungkar; 2) Untuk menjaga tradisi yang dianggap penting dan diperlukan. Sedangkan

23

M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal.

116-117

188

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

metode yang digunakan oleh para penyebar agama Islam pada masa diantaranya adalah melalui: 1) Ceramah atau nasihat langsung; 2) Teladan yang baik; 3) Media kesenian dan permainan 24. Dalam masa perkembangan selanjutnya, pusat-pusat pendidikan Islam yang bertempat di surau, langgar, masjid, atau bahkan di serambi rumah sang guru adalah cikal-bakal (embrio) terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam formal yang berbentuk madrasah atau sekolah (yang berdasar) keagamaan. Sistem pondok pesantren, yang tumbuh dan berkembang di mana-mana, ternyata mempunyai peranan sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan fisik dan mental kaum penjajah yang berlangsung beberapa abad lamanya25. Pendidikan Islam tradisional adalah penyelenggaraan pendidikan Islam di nusantara yang berlangsung selama abad ke-14 M. Pada awal masuknya, Islam tidak dilaksanakan secara terpusat, tetapi banyak diupayakan secara individu, biasanya oleh para ulama dalam rangka penyebaran agama Islam dan pembinaan umat Islam di suatu wilayah tertentu. Penyebaran dan pembinaan yang terkoordinasi dilaksanakan oleh para wali di Jawa, terutama Wali Songo26. Apabila ditelusuri sejarah perkembangan pembangunan pendidikan di Aceh secara seksama dari masa jayanya, jelaslah bahwa pendidikan di Aceh dimulai dengan pembangunan pendidikan agama27. Menurut Prof. Ibrahim Husein, perkembangan pendidikan di Aceh dapat dibagi dalam empat masa, sebagai berikut: pertama, pendidikan pada masa kesultanan (1297-1910), kedua, pendidikan pada masa kolonial Belanda (1910-1942), ketiga, pendidikan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), keempat, pendidikan pada zaman Republik Indonesia (1945sekarang)28. Jika kita sejenak berbalik ke belakang sembari membuka lembaran sejarah awal masuknya Islam ke Aceh, maka diketahui bahwa sesaat setelah berdirinya Kerajaan Islam Pertama di nusantara pada tanggal 1 Muharram 225 H, yaitu Kerajaan Islam Perlak (Aceh Timur sekarang), langkah pertama yang diambil oleh Kerajaan Islam tersebut ialah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di tiap-tiap kampung dengan nama Madrasah (lambat-laun lidah Aceh menyebutnya Meunasah). Di tiap-tiap mukim didirikan lembaga pendidikan lanjutan yang bernama Zawiyah, kira-kira seperti SLTP sekarang (lambat-laun lidah Aceh menyebutnya Dayah). Dalam lembaga tingkat Zawiyah ini sudah mulai diajarkan ilmu pengetahuan umum dan bahasa Arab. Pada tempat-tempat tertentu didirikan sebuah lembaga pendidikan lanjutan atas, yang bernama Zawiyah Teungku Chiek. Dalam Dayah Teungku Chiek semua pelajaran sudah diajarkan dalam bahasa

24

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: (Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 46-47 25 M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif ..., hal. 118-119 26 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 228 27 Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal. 153 28 Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal. 47

Aceh Serambi Mekkah

189

Arab. Demikianlah, selanjutnya di seluruh tanah Aceh didirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti nama tersebut di atas29. Sejarah juga telah mencatat, bahwa dalam kerajaan Aceh Darussalam, telah berdiri sebuah lembaga perguruan tinggi, yang hampir sama dengan universitas sekarang, bernama Jami’ Baiturrahman, dengan daar (fakultas) yang banyak, seperti Daar asy-Syari’ah (hukum), Daar al-Zira’ah (pertanian), Daar Al-Adab wal Al-Tarikh (fakultas sastra dan sejarah), Daar alTijarah (perdagangan), Daar al-Shana’ah (teknologi), Dar al-Tafsir wa al-Hadits (ilmu tafsir dan hadits), Ma’had Baital Maqdis (akademi militer), dan sebagainya30. Dalam sejarah awal perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam, istilah zawiyah memang dipakai untuk sejenis lembaga pendidikan yang selanjutnya berkembang menjadi madrasah. Akhirnya, istilah zawiyah menjadi dayah dan madrasah menjadi meunasah lebih menonjol dipakai di Aceh, meskipun masih dapat dipastikan bahwa istilah tersebut dibawa ke Aceh oleh ulama-ulama Aceh yang belajar di Mekkah, Kairo, atau Damaskus pada zawiyahzawiyah dan madrasah-madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i. Disamping itu, banyak ulama dari Arab, Mesir, Persia, Gujarat, dan Malabar yang datang ke Aceh sejak zaman kerajaan Pasai, termasuk nenek moyang dari Syekh Abdurrauf al-Singkili dan Teungku Syiah Kuala. Ulama-ulama ini yang dipastikan mengembangkan pendidikan dayah di Aceh dan menggunakan istilah zawiyah seperti yang digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Timur Tengah pada waktu itu31. Lembaga pendidikan yang bernama madrasah/ meunasah dan zawiyah/ dayah telah dibangun di Aceh sejak era Islam dan jumlahnya ribuan. Para murid/ siswa yang telah menamatkan pendidikanya di Zawiyah Manyang (semacam SLTA) juga diwisuda dengan cara memegang tasbih raksasa/ tasbih wisuda, kemudian Teungku Chiek dan para hadirin sama-sama berzikir dan membaca do’a-do’a tertentu. Setelah selesai upacara tersebu, murid bersangkutan berarti telah diakui menjadi seorang teungku/ ulama dan berhak membuka dayahnya sendiri32. Di Aceh, seperti halnya di tempat-tempat lain yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, pada hakekatnya hanya ada satu jenis ilmu atau pengetahuan (Aceh: èleumèë, dari kata Arab ilmu), meliputi segala sesuatu yang harus dipercayai dan dilaksanakan orang (sesuai dengan kehendak Allah) seperti yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ilmu tersebut diarahkan untuk mencapai cita-cita yang tinggi, mulia, serta praktis, yakni memungkinkan manusia hidup sedemikian rupa hingga menyenangkan Tuhan dan selanjutnya Tuhan mau membukakan kepadanya pintu menuju keselamatan yang abadi. Semua ilmu lainnya dianggap mempunyai derajat yang lebih rendah dan hanya berfungsi untuk mencapai cita-cita duniawi, baik yang dibenarkan maupun yang dilarang oleh Hukum Yang Maha Suci33.

29

A. Hasjmy, Keistimewaan Aceh dalam Bidang Pendidikan, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh,, 1995), hal. 41 30 A. Hasjmy, Keistimewaan Aceh …, hal. 42 31 Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan…, hal. 62-63 32 A. Hasjmy, Keistimewaan Aceh …, hal. 42-43 33 C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 1.

190

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Hikayat Pocut Muhammad termasuk karya yang paling terkenal dari sastra Aceh. Dalam tradisi Aceh, salinan dari sesuatu karya tidak harus merupakan salinan yang persis sama, tetapi boleh ditambah atau atau dikurangi menurut keperluan zaman. Oleh karena itu redaksi final hikayat Pocut, seperti diterbitkan dan diterjemahkan oleh Drewes (1979) yang memberikan gambaran tentang sebuah tempat pendidikan Islam di Aceh dalam abad yang lalu, juga boleh saja dipercayai34. Hikayat Pocut Muhammad, karya salah seorang ulama sastrawan-kemungkinan Teungku Lam Rungkam, adalah salah satu sumber tertulis yang sampai kepada kita tentang pendidikan di Aceh pada masa kerajaan atau kesultanan Aceh. Keseluruhan isi buku itu sebenarnya menceritakan kisah perang saudara antara Pocut Muhammad dengan Sultan Jamalul Alam Badrul Munir, yang terjadi sekitar tahun 1735 M. Namun, beberapa bagian isinya memuat keterangan tentang pendidikan di Aceh35. Dalam syair-syair buku tersebut (pada halaman 134) dapat disimpulkan beberapa hal tentang sistem pendidikan di Aceh pada masa kesultanan. Pertama, murid belajar di beunasah (meunasah), dan sekitar beunasah terdapat beberapa rangkang yang jumlahnya tergantung kepada tingkat dan cabang ilmu yang dipelajari. Kedua, pimpinan pendidikan terdiri dari teungku meunasah yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Untuk menjalankan pendidikan di sejumlah rangkang, teungku dibantu oleh wakil-wakilnya, sesuai dengan tingkatan ilmu yang diajarkan kepada murid36. Ketiga, para murid terdiri dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi, bahkan tingkat spesialisasi dalam suatu ilmu agama. Tidak ada keterangan yang jelas apakah apakah mereka itu tinggal (mondok) di tempat belajar. Keempat, para murid terdiri dari kelompok yang belum cakap membaca al-Qur’an (yang masih menghija/ mengeja) sampai kepada para murid yang mempelajari ilmu-ilmu khusus, seperti: tasawuf, bahasa Arab, dan bahasa Jawi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila para murid bisa berjumlah enam ratus orang37. Kelima, jenjang pendidikan tersebut terdiri dari: 1. Tingkat rendah, tingkat ini mempunyai rangkang sendiri dan dikepalai oleh seorang teungku yang berdudukan sebagai wakil Teungku Syik. Pelajaran yang diajarkan adalah kemampuan membaca al-Qur’an, yang dimulai dengan pengenalan huruf terlebih dahulu, kemudian mengeja, dan selanjutnya meningkat kepada cara membaca al-Qur’an38. Awal dari semua pengajaran bagi setiap pengikut Muhammad yang terdidik adalah pengajian Al-Qur’an (Aceh: beuet Kuru’an). Pada tahap ini lafal bacaan bahasa Arab lebih ditekankan dibandingkan pemahaman isinya sendiri. Pengajaran dasar ini hanya memberikan praktek kepada alat dengar, ingatan, dan lidah; aturan pengajian seperti termuat dalam pamflet tentang ilmu tajwid dan dikesankan secara lisan kepada para murid oleh para guru ngaji

34

Dr. Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 162-163. 35 Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan…, hal. 47 36 Ibid…, hal. 48 37 Ibid…, hal. 49 38 Ibid…, hal. 49

Aceh Serambi Mekkah

191

secara terinci39. Semua anak laki maupun perempuan yang merasa puas dengan tambahan pelajaran sekedarnya kemudian mempelajari pokok-pokok terpenting saja dari cerita-cerita keagamaan dari sebuah buku tanya jawab kecil. Mereka juga berlatih sembahyang lima waktu, yang diwajibkan bagi semua pengikut Muhammad, dengan bimbingan lisan maupun tertulis oleh orang tua maupun kepala sekolah40. Kita telah melihat peranan yang dimainkan pengajaran dasar ini dalam pendidikan masyarakat Aceh. Lidah orang Aceh, seperti halnya orang Jawa, mengalami kesulitan besar mereproduksikan bunyi-bunyi bahasa Arab. Oleh sebab itu, semua guru-guru Aceh asli yang belum terlatih betul dalam seni baca Al-Qur’an dibawah bimbingan yang ketat dari orang asing, cukup banyak menyimpang dari bunyi bahasa Arab yang sebenarnya. Seperti halnya masyarakat Indonesia lainnya, mereka memiliki pengucapan sengau atas kata ‘ain. Tetapi pengucapan u atau au bertekanan sebagai ee adalah khas ucapan Aceh. walaupun demikian, karena telah banyak guru-guru agama terkemuka hasil pendidikan di Makkah yang pulang, seperti halnya di Jawa, kelainan-kelainan bacaan seperti ini juga telah mulai berkurang di Aceh. Para pemuka agama yang lebih kecil belajar dari guru-guru tersebut atau pembaca Al-Qur’an profesional dari Mesir yang sering mengadakan perlawatan ke Aceh41. Sebagian besar dari mereka di tingkat dasar menguasai pengetahuan membaca AlQuran yang sangat berguna tersebut semata-mata karena meniru apa yang mereka lihat dan dengar. Pada umumnya, yang dapat membaca tidak merasa puas dengan dokumen-dokumen yang berbahasa Aceh. Dengan bimbingan yang baik, mereka membaca buku-buku pegangan berbahasa Melayu seperti Masailah dan Bidayah yang memuat kupasan ringkas tentang prinsip-prinsip pokok doktrin keagamaan maupun tentang kewajiban-kewajiban keagamaan kaum muslimin. Tetapi guru agama (laki-laki ataupun perempuan) harus menerangkan semua itu dalam bahasa Aceh karena penguasaan bahasa Melayu boleh dikata masih jarang terdapat di Aceh. Suatu karya seperti pedoman berpantun untuk mempelajari Bahasa Melayu (lihat karya-karya berbahasa Aceh) berfungsi memudahkan menghafal kata-kata yang paling diperlukan42. 2. Tingkat menengah, tidak ada penjelasan tentang pelajaran apa saja yang diberikan sesudah murid mampu membaca Al-Qur’an. Akan tetapi, menurut kebiasaan dalam pendidikan agama di Aceh, sesudah mampu membaca al-Qur’an, para murid tersebut mempelajari bahasa Jawoe (Melayu) dan bahasa Arab. Pada tingkat ini murid mempelajari kitab Masailal Muftadin dan kitab Al-Ajrumiyah (ilmu nahwu)43. Metode dalam mempelajari tata bahasa Arab, yang pertama adalah ilmu imbuhan sarah atau teuseurèh (Arab: sarf atau tasarf). Untuk ini digunakan buku-buku pedoman yang terutama berisi paradigma-paradigma, khususnya yang dikenal dengan nama Midan (Arab: Mizan). Pelajaran ini disusul dengan sejumlah buku tata bahasa Arab (nahu) yang 39

Ibid,hal. 2 Ibid…, hal. 3-4 41 Ibid…, hal. 2-3. 42 Ibid…, hal. 4 43 Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan…, hal. 49-50 40

192

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

dikenal luas dan umumnya dipelajari dengan urutannya. Dalam bahasa Aceh disebut sebagai berikut: Awamè, Jeurumiah, Matamimah, Pawakèh, Alpiah, Ebeunu Akè44. Peranan Bahasa Melayu di Aceh dalam pengajaran agama dapat disamakan dengan bahasa Jawa pada masyarakat Sunda. Orang Aceh yang ingin mengetahui lebih banyak dari sekedar elemen-elemen dasar doktrin dan hukum agama harus memahami Bahasa Melayu. Bahkan buku-buku pedoman dalam Bahasa Aceh banyak memuat kata-kata Melayu, sementara salinan karya-karya berbahasa Arab yang banyak terdapat dalam Bahasa Melayu, tidak ada sama sekali yang disalin ke dalam Bahasa Aceh. Oleh sebab itu, mereka yang masih suka menambah pengetahuan mereka tentang agama, sepanjang keadaan dan waktu memungkinkan, secara sambil lalu memperoleh penguasaan Bahasa Melayu tanpa mengabdikan diri untuk belajar agama semata-mata. Hal ini harus mereka lakukan agar dapat memahami isi “kitab”, walau untuk kitab yang paling sederhana sekalipun. Kitab berbahasa Melayu adalah karya yang diambil atau dihimpun dari sumbersumber berbahasa Arab; biasanya, hanya pendahuluan, kesimpulan dan beberapa keterangan saja yang merupakan karya “pengarang”, sedang selebihnya adalah terjemahan45. Banyak sekali kitab berbahasa Melayu seperti ini. Salah satu diantaranya adalah kitab Sirat alMustaqin yang ditulis di Aceh oleh pemuka agama keturunan Arab dari Gujarat pada masa kemakmuran Aceh sebelum pertengahan abad ke-17. Kitab ini masih banyak dipakai sampai sekarang, walaupun sudah mulai tergeser oleh karya-karya berbahasa Melayu yang memuat tentang hukum Islam46. 3. Tingkat tinggi, sesudah menguasai bahasa Arab, para murid (mahasiswa) mulai mempelajari ilmu agama yang lebih tinggi, terutama ilmu tasawuf. Walaupun dalam hikayat Pocut Muhammad tidak disinggung masalah proses belajar, namun kita harus mengakui hasil pendidikan mereka pada masa itu telah berhasil mencetak kader-kader ulama yang terkenal47. Dalam bidang ilmu pengetahuan agama (teologi)-khususnya Islam-pada masa Iskandar Muda terkenal namanama ulama maupun pujangga seperti Hamzah Fansury, Sjamsuddin Pasai, Syeh Nuruddin Ar-Raniry dan Syeh Abdurrauf as-Singkily (Teungku di Kuala) adalah nama-nama yang tidak asing lagi hingga kini. Kegiatan orang Aceh untuk mempelajari ilmu agama secara lebih mendalam dan sempurna ini telah mengarahkan Kerajaan Aceh menjadi lebih banyak pula memusatkan perhatian dalam bidang pendidikan. Syamsuddin Pasai yang juga dikenal bernama Syamsuddin ibn Abi Abdullah al-Sumatrani (wafat 24 Februari 1630) pertama kali telah dimasyhurkan namanya oleh kitab karangannya yang sudah disiapkan pada masa AlMukammal, di tahun 1601, berjudul Mir’atul Mukmin48. Snouck Hurgronje dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa, dalam proses belajar, bila para murid sudah menguasai huruf Arab yang diajarkan dengan mempergunakan papan

44

Ibid,hal. 7 Ibid…, hal. 4 46 Ibid…, hal. 4-5 47 Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan…, hal. 50 48 Muhammad Said, Atjeh Sepandjang Abad, jilid I, (Medan: Muhammad Said, 1961), hal. 174-175 45

Aceh Serambi Mekkah

193

tulis kecil dari kayu (loh), mereka diberikan bagian terakhir dari 30 juz (Aceh: Juih) AlQur’an yang ditulis dan dicetak secara terpisah, serta dibacanya di bawah bimbingan guru pengajian (ureueng peumubeut atau guree). Bagian ini disebut juih amma dari kata awalnya, dan bagian berikutnya juih taba dari dua suku kata pada kata awalnya. Dalam susunan kurikulum, juih taba mendahului juih amma. Setelah guru merasa puas atas pengejaan dan pengajian kedua bagian ini, barulah murid belajar membaca seluruh isi Al-Qur’an, sejak AlFatihah (do’a Tuhan menurut Islam) sampai akhir surat ke-114 (surat terakhir)49. Walaupun banyak penekanan pada pembelajaran ilmu agama, bukan berarti masyarakat di Aceh hanya mengenal ilmu pengetahuan agama saja, melainkan semua bidang ilmu telah terintegrasi di dalamnya, misalnya ilmu geografi, ilmu hisab, ilmu falak, ilmu alam, ilmu manthik, dan lain sebagainya. Sehingga pada masa kejayaan Aceh, hasil renungan atau pikiran para pakarnya telah mampu melahirkan suatu filosofi pedoman hidup masyarakat Aceh dengan semboyan: Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana. Filosofi ini menjadi pandangan masyarakat dalam mengatur ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan atas dasar keadilan dan kemakmuran. Berbagai bangsa di dunia sangat menghormati Aceh dan tertarik menjalin hubungan-hubungan politik, ekonomi, perdagangan, dan militer. Hasil pengamalan filosofi ini telah membudayakan masyarakat Aceh untuk melandasi pendidikan hidupnya terutama dengan pendidikan membaca Al-Qur’an bagi anak-anaknya. Melalui pembelajaran Al-Qur’an-lah manusia mendapat petunjuk bahwa menuntut ilmu bertujuan mendapatkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Pendidikan yang berpijak pada landasan agama Islam tersebut telah memberikan wawasan dan pola pikir masyarakat yang demikian luas sehingga mampu melakukan hubungan-hubungan internasional, baik antar bangsa, antar suku, maupun antar masyarakat berlainan agama. Secara umum, pada masa sebelum perang pada tahun 1873 seluruh sistem pendidikan di Aceh adalah sistem pendidikan dayah. Pendidikan dayah ini meliputi pendidikan di meunasahmeunasah, rangkang, dayah Teungku Chik, sampai pendidikan pada Al-Jami’ah seperti Al-Jami’ah Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh yang pada masa Iskandar Muda memiliki 44 orang guru besar yang berasal dari Arab, Turki, Persia, dan India50. Keberadaan lembaga pendidikanlembaga pendidikan dayah sebelum perang Aceh dapat ditelusuri dari berbagai situs sejarah lembaga-lembaga tersebut. Situs peninggalan dayah bermacam-macam bentuknya sesuai dengan sarana lembaga pendidikan dayah yang pernah dibangun pada waktu itu. Sampai sebelum bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004, beberapa situs yang masih dipelihara dengan baik yang dapat dijumpai, misalnya: makam Teungku Syiah Kuala di Kuala (muara) Krueng Aceh, Dayah Teungku Awe Geutah di Peusangan Aceh Utara, Dayah Teungku Chik Tanoh Abee di Seulimum Aceh Besar, Dayah Teungku di Anjong Planggahan Banda Aceh, dan lain-lain. Dari jejak-jejak pendidikan dayah Aceh zaman kesultanan Aceh sebelum diperangi oleh Belanda pada tahun 1873, dapat kita ketahui bahwa pendidikan dayah pada waktu itu sangat

49 50

194

Ibid,hal. 3 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), hal 191

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

metropolitan. Yakni, bahwa pendidikan dayah itu tidak hanya bergantung kepada sumber daya lokal dan tradisi saja, serta tidak bersifat eksklusif51. Tidak sedikit warga Aceh, yang kedudukannya mengharuskan mereka banyak belajar, merasa puas dengan hanya sekedarnya saja mempelajari kitab-kitab Bahasa Melayu tersebut karena hal itu sudah cukup untuk memegang jabatan tertentu, seperti teungku meunasah atau bahkan sebagai kali. Kendati demikian, walau mereka dapat disebut sebagai leube atau malem, atau bahkan alem pada waktu dan tempat yang jarang adanya guru-guru agama, mereka tidak pernah dikenal sebagai ulama karena gelar tersebut khusus disediakan bagi doktor yang dapat memberi penjelasan meyakinkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan doktrin agama52. Untuk mendapat gelar doktor paling tidak harus mempelajari, di bawah bimbingan pembimbing-pembimbing yang kompeten, sejumlah karya berbahasa Arab yang bermutu tentang hukum dan doktrin. Guna mencapai tujuan tersebut, orang Aceh menggunakan metode yang berbeda dari metode yang digunakan oleh orang Jawa dan Sunda sejak zaman dahulu kala; metode tersebut nampaknya lebih rasional tetapi banyak mengandung kesulitan, sehingga banyak orang Aceh menjadi patah semangat jauh sebelum tujuan mereka tercapai53. Ulama-ulama pemimpin dayah banyak yang merupakan pendatang dari luar negeri dan menetap di Aceh di berbagai lembaga pendidikan dayah. Meskipun demikian, sebenarnya ulama Aceh sendiri juga merupakan ulama besar dengan pengalaman akademis yang banyak, serupa dengan yang dialami oleh kolega-kolega mereka di Arab, Persia, Mesir, dan negara-negara Islam lainnya. Sejak Islam pertama kali datang ke Aceh, ulama memang telah memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Aceh. Dalam hal ini, sejumlah ahli memandang bahwa faktor jaringan ulama dari Haramayn telah memberikan warna intelektual di Aceh. Kehadiran ulama-ulama di saat itu sangat diharapkan oleh masyarakat guna mengajari mereka ajaran-ajaran Islam. Selain itu, para ulama pun banyak yang menjadi penasehat raja54. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak ulama dari Malaka yang lari dan menetap di Aceh. Peristiwa ini menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan dan peradaban Islam di Aceh. Sebaliknya pada waktu Aceh diserang oleh Belanda, ulama-ulama lari ke Keudah (Malaysia) dan melanjutkan tradisi pendidikan mereka. Setelah beberapa lama mereka di Keudah, mereka pulang dan mendirikan dayah-dayah, serta mengajarkan berbagai macam ilmu agama. Sedangkan tokoh-tokoh ulama yang pulang dari Mekah dan yang bertahan di tanah Aceh banyak yang menjadi pemimpin perang melawan Belanda. Selama pendudukan, sebagaimana ditulis Teuku Ibrahim Alfian dalam bukunya Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah, Belanda menjalankan pemerintahan kolonialnya melalui lembagalembaga adat. Namun, untuk mengikutsertakan lembaga-lembaga ini dalam struktur birokrasi

51

Lihat, Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal. 79 52 Ibid,hal. 5 53 Ibid 54 Lihat, M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhokseumawe: Nadia Foundation, 2003), hal. xi-14

Aceh Serambi Mekkah

195

yang dirasionalkan, diperlukan uleebalang yang berpendidikan modern. Maka, rakyat pun perlu ditingkatkan kecerdasannya melalui sekolah desa untuk dapat menulis, membaca huruf Latin, dan berhitung. Melalui pendidikan ini, Belanda yakin bahwa rakyat tidak akan mengikuti seruan beberapa orang dari elite agama untuk melawan pemerintah55. Sesuai dengan maksudnya, bahwa pendidikan agama harus dihapus dan diganti dengan sekolah bercorak Belanda, pemerintah kolonial mendirikan dua macam sekolah bagi rakyat Aceh, yaitu sekolah untuk rakyat biasa dan sekolah untuk golongan elit. Sekolah untuk rakyat biasa bernama Sekolah Desa (Volkschool). Sekolah ini mulai didirikan pada tahun 1907 dengan masa belajar tiga tahun. Mata pelajaran yang diajarkan berkisar membaca dan menulis huruf Latin dalam bahasa Melayu. Kemudian pada tahun 1938, Kolonial Belanda membuka sekolah lanjutan bagi lulusan Volkschool, yakni Vevolgschool yang masa belajarnya 5 tahun56 57. Sekolah untuk golongan elite diberi nama HIS (Hollands Inlandsche School). Di seluruh Aceh, sekolah ini pada tahun 1938 telah berjumlah 8 buah dengan total murid 1.500 orang. Semua murid yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak yang diyakini oleh Belanda akan menjadi pendukung politik mereka di kemudian hari. Mereka yang cakap akan dikirim ke Bukit Tinggi untuk meneruskan pendidikan di sana. Pemerintah kolonial Belanda juga mendirikan sekolah MULO di Kutaraja pada tahun 1930 sebagai tempat pendidikan bagi tamatan HIS di Aceh.58 Sejak kerajaan Aceh terlibat perang dengan penjajah Belanda dalam periode tahun 18731910, pendidikan pesantren atau dayah pada masa penjajahan Belanda terhenti sama sekali, karena pimpinannya ada yang berperang dan ada juga yang hijrah ke negeri lain. Baru setelah perang berakhir, para ulama dan pemimpin agama yang hijrah tersebut kembali ke kampung dan mengaktifkan kembali pendidikan dayah59 yang mereka tinggalkan. Dalam masyarakat yang nilai agamanya sangat menonjol seperti dalam masyarakat Aceh, perang yang dilancarkan oleh kekuatan asing menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dan ditafsirkan sebagai bahaya yang merusak nilai-nilai masyarakat, dan sebagai akibatnya, lahirlah interpretasi situasional berdasarkan nilai agama. Keadaan sosio-kultural masyarakat Aceh telah melahirkan interpretasi dalam peribahasanya yang berbunyi “Hukom ngon adat han jeuet cre, lage dzat ngon sifeut”, artinya hukum agama tidak dapat dipisahkan dari adat, seperti tidak dapat dipisahkannya antara zat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya. Dimensi keagamaan dapat terlihat pula pada bendera kerajaan Aceh yang bergambar dua bilah pedang dengan warna putih di atas dasar merah yang diberi nama zu’lfaqar60. Pada masa pendudukan Jepang di Aceh yang berlangsung dalam kurun waktu tiga setengah tahun, pemerintah Jepang mempunyai rencana besar, yaitu memasukkan Indonesia ke dalam

55

Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999, hal. 194 56 Secara umum Pemerintah Kolonial Belanda hanya mendirikan dua macam sekolah bagi rakyat Aceh, yakni sejumlah sekolah dasar dan satu sekolah tingkat menengah yaitu MULO 57 Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan…, hal. 50-51 58 Ibid 59 Ibid…, hal. 53 60 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta: (Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 17-18

196

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Asia Raya ciptaan Jepang. Ada beberapa catatan penting yang dilakukan tentara Jepang selama tiga setengah tahun itu, antara lain menghapus semua sekolah yang berbau Belanda dan dijadikan sebagai sekolah rakyat atau sekolah biasa. Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Jepang diajarkan pada tiap-tiap sekolah, lagu Kimigayo (yang merupakan lagu kebangsaan Negara Jepang) wajib dipelajari dan diajarkan di semua sekolah tanpa kecuali61. Sekolah agama diperbolehkan menyelenggarakan proses belajar mengajar sebagaimana lazimnya dan dianjurkan mempelajari bahasa Jepang bagi sekolah-sekolah yang ada gurunya. Pada waktu itu terdapat dua sekolah guru, yaitu Sihan Gakko (sekolah guru) di Kutaraja dan Sekolah Normal Islam di Bireun. Salah satu gejala sosial yang berkenaan dengan pendidikan pada masa pendudukan Jepang adalah sebagian dari pemuda Aceh memperoleh kesempatan untuk masuk pendidikan militer Jepang dengan cara mendaftarkan diri sebagai Giyugun yang dipusatkan di Lhokseumawe dan beberapa tempat lainnya di Aceh. Banyak pemuda Aceh yang memanfaatkan kesempatan ini, antara lain Syamaun Gaharu, Hasan Shaleh, Hasballah Haji, dan lain-lain62. Sedangkan pendidikan di Aceh pada masa Republik Indonesia tidak perlu dibahas di sini, karena secara umum setelah kita memperoleh kemerdekaan, pendidikan di seluruh tanah air diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Bab XIII, pasal 31, khususnya ayat (1). Bila diamati dari aspek metode pengajaran, maka ada beberapa perbedaan antara metode pengajaran di Jawa dan di Aceh. Di Jawa, pengetahuan persiapan, seperti tata bahasa Arab dan sebagainya yang secara teoritis sangat penting, dilangkahi saja dan sering tidak dilakukan sampai menjelang akhir pendidikan. Setelah diperkenalkan dengan beberapa buku pedoman yang bersifat elementer, kemudian murid segera dijejali buku pegangan yang lebih besar. Hal ini akan memerlukan daya ingat murid yang tajam63. Metode pengajaran lain yang selama tiga atau empat puluh tahun terakhir ini semakin lama semakin memperoleh keunggulan di bawah pengaruh Makkah dan Hadramit terasa lebih logis, tetapi justru memerlukan kesabaran dan kegigihan yang lebih besar dalam penerapannya. Orang Indonesia umumnya memerlukan waktu beberapa tahun belajar bahasa Arab baru mulai mampu membaca karya ilmiah yang sederhana secara relatif baik. Persiapan ini sangat memeras otak, padahal hasilnya belum tentu dapat dinikmati dalam jangka waktu yang panjang64. Orang Sunda menggunakan sistem yang sama dengan sistem belajar di kalangan masyarakat Jawa, tetapi mereka mengalami kesulitan tambahan karena bahasa sasaran terjemahan (bahasa Jawa) tidak mereka pahami dan hanya penjelasannya (murad) yang disampaikan dalam bahasa Sunda65. Metode ini bisa dikatakan masih baru di Jawa, meskipun nampaknya sudah lama dipakai secara luas di Aceh. Hanya saja, orang Aceh tidak betul-betul memusatkan perhatian mereka untuk belajar menggunakan buku-buku berbahasa Melayu, seperti halnya orang Sunda memakai buku-buku bahasa Jawa, ataupun yang ditulis dalam bahasa Aceh sendiri. Para siswa di Aceh harus memulainya dengan mempelajari segunung masalah tata bahasa66. 61

Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan…, hal. 58 Ibid…, hal. 58-59 63 Ibid,hal. 5 64 Ibid …, hal. 6 65 Ibid …, hal. 7 66 Ibid. 62

Aceh Serambi Mekkah

197

Harus dicatat bahwa orang Aceh menghadapi kesulitan yang sama dengan orang Sunda karena bahasa sasaran terjemahan yang asing bagi mereka, yakni bahasa Melayu. Dengan demikian, mudahlah bagi kita untuk memahami mengapa kebanyakan para murid di Aceh gagal menyelesaikan studi pendahuluan mereka (yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai âlât) yang dapat dimanfaatkan untuk menguasai pokok-pokok ajaran agama bila ditangani secara benar67. Di samping tata bahasa ada pula alat-alat lain, yakni cabang-cabang pendidikan yang menunjang studi hukum dan doktrin agama. Namun, seperti halnya di masyarakat Islam lainnya, di Aceh, penguasaan cabang-cabang pendidikan ini tidak dianggap sebagai keharusan untuk mempelajari subyek-subyek yang lebih tinggi, seperti misalnya: berbagai cabang gaya dan retorik, ilmu hitung (yang mutlak perlu untuk mempelajari hukum warisan), astronomi yang berguna untuk menetapkan kalender dan qiblah, dan sebagainya. Subyek-subyek ini memang diajarkan di Aceh, tetapi tidak diberi porsi yang pasti dalam kurikulum yang umum digunakan, sebaliknya waktu yang dipakai untuk pengajaran pengetahuan-pengetahuan tersebut sangat tergantung pada kebetahan para pelajar dan pengetahuan guru mereka68. Tujuan pokok pengajaran seharusnya adalah pengetahuan tentang hukum Allah seperti yang diajarkan dalam al-Qur’an, teladan yang diberikan Muhammad (as-Sunnah), dan seiring dengan perkembangan waktu, dengan bantuan Qiyas atau penalaran dengan analogi yang telah dikukuhkan dan dibuktikan oleh kesepakatan umum (Ijma) masyarakat Islam. Namun, bagi para pelajar dan guru-guru dewasa ini, pengetahuan tentang hukum tersebut tidak dapat diperoleh langsung dari pelajaran al-Qur’an dan tafsirnya, maupun dari tradisi mulia perbuatan (Sunnah) Nabi. Agar materi hukum agama dapat langsung dipelajari dari sumber-sumber asli tersebut diperlukan suatu tingkat pengetahuan yang dianggap belum terjangkau oleh para pelajar. Karena itu, seorang pelajar harus membatasi diri mempelajari karya-karya otoritatif yang menyajikan materi pelajaran menurut subyeknya terlebih dahulu. Dengan pendekatan ini, tiap subyek belajar harus mengikuti buku hukum mazhab (madhab) yang bersangkutan, meskipun si pelajar seyogyanya mengakui hak penuh ketiga mazhab lainnya untuk membuat interpretasi sendiri atas hukum termaksud69. Dengan menerapkan prinsip tersebut bagi masyarakat Aceh, kita sampai pada kesimpulandengan didukung fakta-fakta yang ada-bahwa materi pengajaran Islam utama di Aceh adalah karya-karya Syafi’i tentang pelajaran hukum agama (bahasa Arab: Fiqh, bahasa Aceh: pikah). Karena buku-buku tersebut sama di semua masyarakat yang menganut aliran Syafi’i, dan pemilihan buku tertentu tidak mempengaruhi pokok soal pengajaran, saya menganggap tidak penting menyertakan daftar kepustakaan pikah tersebut. Saya sekedar ingin menyampaikan pengamatan bahwa Minhaj at-Thalibin karangan an-Nawawi (Aceh: Mènhòt) dan berbagai kupasannya seperti Fath al-Wahhab (Aceh: peuthòwahab), Tuhfah (Aceh: Tupah) dan Mahalli (Mahali) sangat populer70.

67

Ibid …, hal. 7-8 Ibid …, hal. 8 69 Ibid …, hal. 8-9 70 Ibid …, hal. 9 68

198

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Usuy (usul atau tauhid), yakni doktrin, adalah materi pelajaran yang terpenting setelah pikah. Kedua cabang ilmu ini dipelajari serentak. Tauhid bahkan bisa didahulukan bila keadaan memerlukan demikian. Perbedaan keempat mazhab tidak membawa pengaruh apa-apa dalam hal ini, seperti halnya dalam tafsir hukum agama. Dengan demikian, bahkan dalam masyarakat penganut mazhab Syafi’i, preferensi tidak selamanya dijatuhkan pada karya-karya usuy, walaupun pengarangnya pada umumnya kaum Syafi’i71. Di Aceh, karya yang dipakai untuk cabang studi ini sama dengan karya yang dipakai di kepulauan nusantara lain, terutama karya-karya aliran Sanusi dengan tafsir-tafsir yang melengkapinya72. Tokoh besar Islam al-Ghazali menggambarkan pendidikan hukum agama sebagai pegangan penting bagi kehidupan umat beragama, sedangkan ajaran dogmatik (usuy) sebagai obat yang digunakan umat manusia yang sedang terancam berbagai macam ketahyulan dan ketidakpercayaan. Di sini, ajaran dogmatik menjadi alat pencegahan maupun penyembuhan bagi keimanan seseorang. Ia menganggap mistisisme (bahasa Arab: tasawwuf; bahasa Aceh: teusawoh) sebagai unsur tertinggi dan terpenting dalam pendidikan spiritual umat manusia, karena elemen tersebutlah yang mencernakan pangan kehidupan dan obat, dan bahwa pengetahuan yang sejati mengenai Tuhan dan umat manusia dapat muncul daripadanya73. Banyak karya tentang hukum dan dogma di sana-sini memuat pandangan mistik, walaupun demikian, karya-karya ortodoks bercorak mistik tersebut masih juga dipelajari di Aceh74. Hanya saja, karya tentang mistisme ini memang tidak dapat dikatakan populer di Aceh. Seperti kita ketahui, mistisme heretikal (bertentangan dengan kepercayaan umum tahyul) masuk ke nusantara bersamaan dengan diperkenalkannya agama Islam, dan masih tetap memegang kedigdayaan/ kemenangan atas pikiran manusia meskipun ada pengaruh-pengaruh langsung atau tidak langsung yang berasal dari Arab. Sejumlah dokumen tertulis membuktikan bahwa mistisme ini dibawa masuk oleh perintis-perintis Islam dari India. Karya-karya terpenting yang dikenal di nusantara tentang mistisme adalah karya tulis para pengarang India, atau merupakan karya yang berisi kumpulan mistik yang berkembang subur di Madinah dalam abad ke-17 dan yang sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran India. Dalam kelompok penganut mistisme ini tergabung nama Ahmad Qushashi, yang pengikut-pengikutnya menjadi guru bagi para pemeluk Islam di Jawa dan masyarakat Melayu75. Banyak pengarang dari India, termasuk Qushashi serta para pengikutnya mewakili suatu mistisme, meskipun dinilai para doktor agama yang waspada sebagai tidak terlepas dari adanya kandungan bahaya nasib bebas dari ketahyulan. Menyusul mistisisme ortodoks ini timbul mistisme lainnya, yang meskipun secara lahiriah kebencian tidak dapat dibedakan dengan yang pertama tetapi menimbulkan (?) di kalangan pengikut Muhammad yang ortodoks karena phanteisme yang dianutnya secara tegas maupun pandangannya yang meremehkan berbagai upacara dan unsur-unsur ortodoks Islam76.

71

Ibid. Ibid. 73 Ibid …, hal. 9-10 74 Ibid …, hal. 10 75 Ibid,hal. 10 76 Ibid, hal. 10 72

Aceh Serambi Mekkah

199

2. Mistisme Ketahyulan dan Antagonisnya Seperti halnya di India, mistisme ketahyulan yang banyak ragamnya menemukan tanah subur di Aceh. Bentuk mistisisme pantheistik ini mempunyai persamaan dengan yang ortodoks dalam hal menemukan hubungan umat manusia dan penciptanya sebagai hakekat dan obyek agama, serta memandang upacara ritual, hokum, dan doktrin semata-mata merupakan alat untuk mencapai tujuan77. Pandangan yang pantheistik ini dapat dibatasi ruang geraknya berkat upaya ulama-ulama ortodoks yang kadang kala terpaksa mengandalkan pengaruh penguasa dalam menentang pandangan yang menyimpang ini78. Pengaruh corak mistisme yang boleh dikata universal di masa lampau ini terlihat dari banyaknya manuskrip, di kalangan umat Islam Indonesia, yang mengumandangkan ajaran ini dengan bantuan penjelasan-penjelasan pantheistik dari rumusan-rumusan ortodoks, figur-figur alegoris dengan catatan-catatan marginal, argumen, dan sebagainya. Dapat ditambahkan, bahwa semua rumusan itu memiliki tujuan utama yang sama, walaupun nampaknya sangat bervariasi dalam tujuan-tujuan terperincinya79. Kerangka filsafat universal ini pada zaman dulu (dan sekarang juga walau dalam tingkat yang lebih kecil) diwakili oleh mereka yang memusatkan daya dalam pelajaran dan pengajaran hukum agama, seperti halnya oleh para filsuf desa dan penasehat-penasehat spiritual yang dimiliki para penguasa. Kini menjadi jelas bahwa para guru agama ini tidak pernah mempermasalahkan ketidak-absahan dan kemubasiran hukum Allah dipandang dari kesatuan mistik antara Yang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya. Mereka berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Allah merupakan suatu keharusan, walaupun pada prakteknya, adalah tak bermamfaat bagi sebagian besar orang yang menamakan dirinya pemeluk agama, karena mereka tidak dapat menangkap makna mistik yang mendalam dari pematuhan-pematuhan ritual dan hukum itu pada umumnya80. Masyarakat Jawa mendapat filsafat serupa ini dari pemuka agamanya yang paling akbar, dan di kalangan orang Melayu dan Aceh juga, mendapatkan pandangan serupa itu dari guru-guru agama yang pada umumnya sangat dihormati sejak dahulu kala81. Dari kronik Aceh, yang beberapa bagiannya pernah diterbitkan Dr. Niemann, kita dapat mempelajari beberapa aspek kehidupan regili-filosofi di Aceh dalam abad ke-16 dan ke-17. Dalam kronik tersebut kita melihat bahwa para pemuka agama yang menguasai daerah itu bukan orang Aceh, melainkan orang Suriah atau Mesir yang datang ke Aceh dari Mekkah, atau keturunan India seperti Raniri dari Gujarat. Kita juga mencatat, bahwa yang sangat diinginkan orang Aceh dari guru-guru berkebangsaan asing itu adalah penjelasan mengenai masalah-masalah mistisme yang dulunya banyak dipertengkarkan82. Tokoh mistisme pantheistik yang paling terkenal adalah Syeh Shamsuddin dari Sumatera (=Pasai), yang nampaknya sangat dihormati di Istana Raja

77

Ibid, hal. 11 Ibid, hal. 11 79 Ibid, hal. 12 80 Ibid,hal. 12 81 Ibid,hal. 13 82 Ibid,hal. 13 78

200

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Besar Meukuta Alam (1607-1636 M), yang meninggal pada tahun 1630, dan pendahulunya bernama Hamzah Fansury83. Dari penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan di atas kiranya sudah dapat diketahui, bahwa selama lebih dari tiga abad, ketiga cabang pelajaran Islam (Fiqh, Usul dan Tasawwuf; Aceh: Pikah, Usuy dan Teusawoh), tata bahasa Arab sebagai salah satu alat untuk mencapainya, dan unsur-unsur penunjangnya, telah dipraktekkan di Aceh. Boleh dikata, dulu dan sekarang, jumlah orang yang telah mencapai tingkat sedang dalam pendidikan ketiga bidang itu adalah kurang lebih sama. Sedangkan cabang yang paling didalami adalah Fiqh/Hukum, yang juga paling besar kegunaan praktisnya. Sebagian orang menuntut ilmu di daerah mereka sendiri, tetapi ada juga yang belajar di Malaka atau bahkan di Mekah84. Apakah tingkat pendidikan berkembang atau menurun dalam kurun sejarah yang kita ketahui sekedarnya, tidak dapat dikatakan dengan pasti. Banyaknya tulisan berbahasa Melayu yang beredar di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 tentang ajaran Islam adalah semata-mata merupakan akibat keadaan politik di wilayah itu, yaitu karena pada masa tersebut kemakmuran raja-raja pelabuhan mencapai puncaknya. Di antara pengarang-pengarang karya tersebut ataupun tokoh-tokoh mistik paling kenamaan, heretik maupun ortodoks, tidak terdapat nama orang Aceh, melainkan para guru berkebangsaan/suku asing. Para pengikut Muhammmad yang terdidik sejak dahulu selalu mencari negara/daerah di mana prestasi mereka meraih keuntungan di samping kemuliaan dan kehormatan. Kegiatan tokoh-tokoh ini, yang melancarkan perang pendidikannya di ibukota, tidak banyak artinya sejauh yang menyangkut pembangunan keilmuan atau keagamaan di kalangan rakyat Aceh85. Patut diduga, baik di masa lalu maupun masa kini, adanya beberapa guru agama keturunan Aceh yang memberikan penerangan kepada warga sedaerahnya melalui tulisan-tulisan berbahasa Melayu atau Aceh. Tetapi kemasyhuran karya-karya kelas tiga serupa itu biasanya tidak bertahan lama setelah pengarangnya meninggal. Perlu ditambahkan pula fakta bahwa tulisan-tulisan tersebut biasanya dikumpulkan untuk memenuhi kebutuhan masa atau kelompok masyarakat tertentu. Pamflet-pamflet seperti yang dikeluarkan oleh Teungku Tiro atau Teungku Kuta Karang, dan buku-buku dan risalah-risalah karya Syeh Marhaban tidak akan seberapa dibicarakan lagi setengah abad kemudian86. Ada sebuah risalah dalam bahasa Melayu, yang nampaknya ditulis oleh orang Aceh bernama Malem Itam atau Pakeh Abdulwahab, yang didalamnya berisi rangkuman aturanaturan tentang perkawinan. Tulisan aslinya sudah berumur satu abad penuh. Seorang Aceh lainnya bernama Mohammad Zain bin Jalaluddin pernah menghasilkan esei berbahasa Melayu yang sederhana tentang suatu bagian dari upacara. Dari salah satu dari sekian banyak edisi pedoman kecil tentang dogma yang dirangkum Sanusi, agaknya nama tersebut juga menjadi penulis suatu uraian berbahasa Melayu tentang hukum perkawinan menurut Islam. Karya ini mendapat kehormatan dicetak litografi di Konstantinopel pada tahun 1304 H dengan judul “Bab an-Nikah” (Bab tentang perkawinan). Saya tidak tahu ada pertalian apa penulis ini dengan 83

Ibid,hal. 14 Ibid,hal. 21 85 Ibid,hal. 21 86 Ibid,hal. 21-22 84

Aceh Serambi Mekkah

201

Jalaluddin (Teungku di Lam Gut yang dalam tahun 1242 H (tahun 1826-1827M) menulis Tambihô Rapilin). Mungkin kebetulan saja bahwa pekerjaannya tidak dibiarkan hilang begitu saja seperti karya yang lain-lain. Karya-karya ini tidak diberi tanda secara khusus dengan corak-corak penembusan dan juga lepas dari adanya warna lokal, dengan kekecualian lampiran sepanjang dua halaman pada “Bab an-Nikah” karya Mohammad Zain yang memuat ajaran yang dirancang khusus untuk memenuhi keperluan hidup masyarakat Aceh87. Yang paling khas dari ajaran ini adalah yang menyangkut taqlid (Aceh: teukeulit), yakni mengandalkan wewenang iman aliran Hanafi mengenai perkawinan seorang gadis di bawah umur yang tidak lagi mempunyai ayah atau kakek. Obyek pengarang dalam hal ini adalah memberi keabsahan hukum bagi adat Aceh yang disebut bale meudeuhab88. Studi ajaran Islam, yang secara umum digambarkan sebagai hukum Muhammad, tidak merosot di Aceh, walaupun agak terhambat pada masa pergolakan selama 30 tahun belakangan ini. Namun, pendidikan serupa ini tak banyak artinya sebagai persyaratan memangku jabatan seperti kali dan teungku meunasah, hal ini antara lain disebabkan adanya adat yang menetapkan jabatan-jabatan itu dipegang secara turun-temurun, sebagian lagi karena fakta bahwa para penguasa tidak suka pejabat-pejabat kali tampil sebagai penegak hukum agama yang terlalu bersemangat, dan juga karena keengganan semua tokoh agama yang sejati untuk mengukuhkan kedudukan para penguasa dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan ptaktek-praktek penguasa yang bengkok sebagai hal yang benar89. Cabang-cabang studi seperti Tafsir al-Qur’an (Aceh: Teupeuse) atau tradisi yang mulia (Hadist; Aceh: Hadih) yang pada masa-masa awal perkembangan Islam merupakan piece de resistance dari semua pelajaran karena daripadanya orang memperoleh pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hukum, kini boleh dikata menjadi hiasan/pelengkap belaka berhubung studi hukum telah dibuat menjadi independen. Tetapi cabang-cabang studi pelengkap ini sangat dihargai, walau di Aceh sekalipun. Para guru yang kawakan kadang-kadang memberikan pelajaran tentang cabang-cabang studi ini, tetapi tak seorangpun terpikir untuk mempelajarinya sebelum menguasai dasar-dasar Pikah dan Usuy90. 3. Sekolah dan Perikehidupan Siswa Kesalahan pokok yang sering terjadi dalam ulasan tentang sekolah agama Islam di daerahdaerah nusantara adalah anggapan bahwa sekolah-sekolah tersebut ditujukan untuk menghasilkan kader-kader pengembang agama. Anggapan ini sungguh tidak benar, bukan saja karena tidak ada sekolah “pendeta” Islam, tetapi karena pesantren bukanlah semacam lembaga pendidikan dan latihan untuk menghasilkan penghulu, naib, modin, lebe, dan semacamnya di Jawa, andaipun kita memberlakukan istilah “pendeta” bagi pejabat-pejabat tersebut. Tidak seperti pemuka agama desa, kebanyakan para penghulu dan naib memang pernah belajar di pesantren, tetapi sebenarnya tak sedikit yang tidak mengecap pendidikan serupa itu. Yang lebih menyolok lagi, adalah fakta bahwa kebanyakan siswa pesantren tidak pernah berpikir akan bersaing untuk memperoleh

87

Ibid,hal. 22 Ibid,hal. 23 89 Ibid,hal. 23 90 Ibid,hal. 23 88

202

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

jabatan keagamaan tersebut, sebaliknya dapat dikatakan bahwa sembilan puluh persen para santri atau siswa pesantren tidak suka diberi jabatan serupa itu, dan bahkan sebagai kelompok mereka memandang orang-orang yang memangku jabatan itu dengan sikap melecehkan atau membenci91. Di Aceh, seperti halnya di Jawa, ada siswa yang berasal dari keluarga yang taat beribadah, putra orang kaya dan terhormat, anak muda yang belajar karena cinta dan dorongan hatinya untuk belajar, serta siswa yang berharap memperoleh kecakapan duniawi dan keselamatan di dunia baka. Sejumlah kecil di antara mereka kelak mungkin akan menjadi penghulu, naib, teungku meunasah atau kali, walau jumlahnya lebih kecil di Aceh daripada di Jawa, karena jabatan tersebut biasanya bersifat turun-temurun di Aceh92. Walaupun dalam sikap malèm dan ulama melecehkan pemegang jabatan keagamaan karena menganggap mereka budak harta, mereka sendiri bukan tak menghargai kekayaan duniawi, dan tidak lamban untuk merebut kesempatan memperoleh kekayaan tersebut untuk diri mereka sendiri93. Walaupun harus memberi bekal hidup seperlunya, orang kaya sering lebih suka mengawinkan putri mereka kepada para literati ini. Akibatnya, kaum literati ini dibenci para tokoh penguasa, baik di Jawa maupun di Aceh. Walau demikian, semua pihak ada saatnya menggunakan ilmu mereka atau doa mereka pada masa-masa musibah. Permintaan bantuan serupa itu selalu diiringi dengan tawaran hadiah. Dalam semua acara keagamaan, dan kita tahu jumlahnya banyak dalam kehidupan sosial pribumi, kehadiran mereka merupakan keharusan, dan kesediaan mereka untuk datang sering dibeli dengan uang. Oleh sebab itu, banyak kesempatan bagi para ulama atau malèm untuk memperoleh uang di luar kegiatan mereka memberikan pelajaran agama, yang meskipun tidak digaji toh banyak diberi imbalan oleh orang-orang yang mampu. Di samping itu, perlu disebutkan pula kehormatan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepada para guru agama ini oleh masyarakat yang merasa takut pada jabatan keagamaannya mengingat pengaruhnya dalam perkara-perkara yang menyangkut hak milik dan kehidupan rumah tangga94. Seperti halnya orang Israel mengatakan seorang nabi tidak dihormati di negaranya sendiri, orang Aceh menyatakan bahwa tidak ada orang yang menjadi alèm, apalagi ulama, di kampung asalnya. Untuk memperoleh kehormatan serupa itu di tempat kelahirannya, ia harus menuntut ilmu di tempat lain. Hal ini dapat dijelaskan terutama dengan sifat prasangka yang wajar bagi manusia. Perlu pula dicatat bahwa orang yang sejak kecil tinggal di kampungnya, bersama-sama rekan sepermainannya, biasanya merasa lebih sulit melakukan kerja yang serius daripada bila ia dikirim ke tempat lain untuk belajar di kalangan orang-orang yang asing baginya95. Demikianlah terjadi, kebanyakan orang terpelajar di Aceh Besar menghabiskan sebagian besar masa pendidikan mereka di Pidie, sebaliknya dari Pidie dan Pantai Timur memperoleh perbendaharaan ilmu mereka di Aceh Besar96.

91

Ibid,hal. 25 Ibid,hal. 26 93 Ibid,hal. 25 94 Ibid,hal. 26-27 95 Ibid,hal. 27 96 Ibid,hal. 27-28 92

Aceh Serambi Mekkah

203

Di daerah Pidie, dalam pengertian yang lebih luas dari kata itu, ada beberapa tempat sebelum kedatangan Belanda ke Aceh yang boleh dikata merupakan pusat pendidikan. Di sini terdapat banyak pelajar (Aceh: murib, berasal dari bahasa Arab murid) baik dari daerah itu sendiri maupun dari Aceh yang mempertanyakan studi mereka. Yang termasuk seperti itu adalah Langga, Langgò, Sriweòé, Simpang, Ie Leubeòé (ayer labu). Tirò, yang hari-hari ini makin dikenal luas berkat kedua teungku yang berperan besar dalam melawan Belanda, sudah sejak lama dikenal bukan karena pengajarannya, melainkan karena banyaknya orang terpelajar yang berasal dari sana dan tinggal di sana. Tirò tampil terhormat karena kehadiran sekian banyak ulama dan makam keramat tokoh-tokoh pendahulunya. Tak ada orang yang berani membawabawa senjata di kampung ini, walaupun pada masa perang sekalipun, dan hukôm (hukum agama) diberlakukan lebih kuat di kampung ini daripada di tempat lain, sedangkan musuhnya-adat-lebih lemah. Dibesarkan dalam lingkungan serupa itu, mudah dipahami banyak orang yang merasa sudah ditakdirkan untuk mendalami hukum agama yang mulia97. Syekh Saman, yang pada tahun-tahun belakangan menonjol di Aceh Besar sebagai seorang pemimpin perang syahid sampai akhir hayatnya, adalah putra seorang leubè biasa dari Tirò. Anggota paling terkemuka dari sebuah keluarga tokoh-tokoh agama yang turun-temurun adalah Teungku di Tirò par excelence, kadang-kadang juga disebut Teungku Chi’ di Tirò. Demikianlah sampai wafatnya dalam tahun 1886, ia dibantu oleh Teungku Muhammad Amin, dan kerabatnya, Syeh Saman, sebagai tangan kanan. Syeh Saman tampil sebagai penggantinya karena ketika Muhammad Amin meninggal, putranya yang tertua masih terlalu muda untuk menggantikan si ayah. Seorang putra Muhammad Amin yang lebih muda kini adalah seorang panglima di bawah bimbingan Teungku Mat Amin, putra Syeh Saman. Mat Amin ini dan sekitar seratus pengikutnya gugur dalam tahun 1896 karena sergapan serdadu Belanda di Aneu’Galòng98. Sebelum perang, pusat utama pendidikan di Aceh terletak di sekitar ibukota dan di sagi XXVI Mukim99. Teungku di Lam Nyong, yang nama sebelumnya adalah Nya’ Him (singkatan dari Ibrahim), mendapat pengikut yang lebih banyak dibanding ayahnya maupun kakaknya. Ratusan orang datang ke Lamnyong karena ingin mendengarkan ajarannya. Ia sendiri belajar di Lam Baèt (VI Mukim) pada seorang guru bernama Teungku Meuse (dari Miser = Mesir) yang memperoleh gelarnya karena pernah belajar di Mesir, dan di Lam Bhu’ di bawah bimbingan seorang Melayu, Abdussamad. Sangat banyak ulama Aceh, dan hampir semua guru agama di Pantai Utara dan Timur pernah berguru padanya100. Setelah meninggalnya Muhammat Amin yang dikenal dengan gelar Teungku Lam Bhu’, dan keturunannya yang keturunan Melayu, Abdussamad, yang kawin dengan saudara perempuan Teungku Lam Bhu’, masa giat belajar disusul dengan masa kelesuan. Semua ini berubah dengan tampilnya Syeh Marhaban. Ayah Syeh Marhaban seorang yang kurang terpelajar dari Tirò, yang belakangan menetap di Pantai Barat. Marhaban pernah belajar di Pidie (antara lain di Simpang) dan kemudian melanjutkan ke Mekkah, di mana ia bertindak sebagai Syeh-haji (pemandu dan pelindung para calon naik haji ke Mekkah dan Medinah) bagi rekan senegaranya. Ia kembali 97

Ibid,hal. 28 Ibid,hal. 28-29 99 Ibid,hal. 29 100 Ibid,hal. 29 98

204

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

dari Arab dengan maksud menetap kembali di Pidie, tetapi di ibukota itu ia terbujuk dan membiarkan kegiatan pengajarannya diatur oleh Teungku Kali Malikon Ade dan pejabat-pejabat kali yang tidak begitu terpelajar di XXVI Mukim. Dalam periode waktu itu ia menjadi guru dan penulis yang produktif101. Suatu ketika muncul seorang murid yang pintar di bawah didikan Abdu Samad yang keturunan Melayu, yang mendapat gelar Teungku di Lam Gut berdasarkan nama kampung Lam Gut102. Nama yang sebenarnya adalah Jalaluddin. Ia bukan saja seorang guru yang populer tetapi juga menjadi kali di XXVI Mukim. Putranya, seorang pintar yang walaupun tidak begitu terpelajar, mewarisi gelar dan kemuliaan ayahnya, dan dengan senang hati mendelegasikan tugastugas jabatannya kepada menantunya, yakni Marhaban yang baru saja disebutkan di atas. Cucu Teungku di Lam Gut ini, yang juga merupakan wakilnya yang masih hidup, memang bergelar kali, tetapi tidak pernah ada orang datang untuk meminta nasihatnya dan ia sendiri tidak pernah berfungsi sebagai guru103. Di Krueng Kale ada seorang guru kenamaan yang menggantikan ayahnya pada jabatan itu. Di Cot Paya, para siswa yang ingin meningkatkan kemahirannya membaca al-Qur’an daripada yang dapat diperoleh dari sekolah-sekolah desa, berkumpul di bawah bimbingan Teungku Deuruih, seorang keturunan India Selatan104. Keadaan negara yang tidak menentu selama 26 tahun terakhir tentu saja mengocarngacirkan pengajaran agama. Di Lam Seunong, pengajaran agama masih dilanjutkan seorang teungku berusia lanjut yang memakai gelar menurut nama kampung itu. Seperti halnya Teungku Lam Seunong, Teungku Tanoh Mirah, yang disamping guru juga kali IV Mukim (segi XXVI) memperoleh pendidikan di Lam Nyong. Demikian pula halnya Teungku Krueng Kale alias Haji Muda, yang pernah belajar di Mekkah. Di Seulimeum (XII Mukim) berdiam seorang guru bernama Teungku Usen, yang ayahnya-Teungku Tanoh Abee-terkenal karena pendidikannya dan sikapnya yang independen, memegang posisi sebagai kali XXII Mukim105. Para pelajar, yang kebanyakan orang asing di tempat ia belajar, tentu saja perlu diberi tempat tinggal. Walaupun jumlahnya tidak sampai ratusan, sulit menampung mereka semua di meunasah (tempat ibadah desa dan asrama bagi para pria yang istrinya tidak tinggal di kampung itu). Pergaulan dengan para pemuda kampung itu sebagai akibat bernaung di bawah satu atap, juga dipandang sebagai faktor minus bagi pelajar mereka. Oleh sebab itu, atas permohonan guru, dulu itu ada kebiasaan mendirikan bangunan-bangunan sederhana yang disebut rangkang, menyerupai pondok pelajar di pesantren Jawa106. Para ulama biasanya menyampaikan pengajaran kepada para siswa melalui salah satu dari dua cara. Yang pertama, satu demi satu pelajar mendatangi guru dengan membawa satu buku yang sedang dipelajari. Guru membaca salah satu bab, memberikan penjelasan lalu menyuruh siswa membaca ulang teks bersangkutan dan mengulangi atau menuliskan penjelasan yang tadinya

101

Ibid,hal. 29 Ibid,hal. 29-30 103 Ibid,hal. 30 104 Ibid,hal. 30 105 Ibid,hal. 30 106 Ibid,hal. 30-31 102

Aceh Serambi Mekkah

205

telah disampaikan. Yang kedua, para pelajar duduk melingkar di sekeliling guru yang membaca dan menjelaskan teks seperti guru besar menyampaikan pelajaran di kelas, lalu memberi kesempatan kepada para siswa untuk bertanya107. Metode pertama biasanya diikuti dengan membaca salah satu buku pedoman berbahasa Melayu yang tadi sudah disebutkan di atas dengan bimbingan dari guru kampung atau teungku rangkang, sedangkan metode kedua dipakai untuk mempelajari buku-buku berbahasa Arab. Masyarakat Aceh tidak membuat istilah untuk metodemetode pengajaran ini108. Yang telah membaktikan diri pada studi dan semua yang punya alasan menuntut gelar teungku, dianggap orang banyak bukan saja sebagai memiliki pengetahuan agama yang lebih luas daripada mereka sendiri, tetapi juga-sampai batas tertentu-kontrol atas karunia Allah. Do’a mereka diyakini akan mendatangkan berkah atau malapetaka, mereka dianggap mengetahui resep-resep dari Allah untuk berbagai keperluan, dan cara hidup mereka cukup saleh untuk memberi kekuatan kepada ucapan-ucapan mereka. Bahkan bila ada leubè yang cukup jujur mengaku bodoh sehingga terpaksa menolak permohonan sang ibu agar memberikan resep obat bagi anaknya yang sakit, si leubè tidak boleh menolak permohonan sang ibu agar leubè “meniup penyakit si anak”. Bagi orang kebanyakan, orang yang mempunyai ilmu dan secara teratur melaksanakan kewajiban ritualnya, napasnya saja sudah mengandung kekuatan menyembuhkan penyakit109. 4. Cabang Pengetahuan Seperti yang telah kita lihat, èleumèë yang paling tinggi adalah ketiga cabang ajaran agama (Pikah, Usuy dan Teusawoh) dengan cabang pendahuluan (Nahu dan seterusnya), dan cabang pelengkap seperti Teupeusé dan Hadih. Secara sepintas telah kita singgung pula suatu èleumèë yang, terutama karena ketahyulan yang dikandungnya, dianggap sebagai berada di luar ilmu yang benar, yakni èleumèë salé’. Di samping itu ada sejumlah “ilmu” lain yang tidak dapat dianggap sebagai bagian dari “ilmu yang sejati” (ilmu yang benar)110. Sebagaimana padanannya di kalangan masyarakat Melayu dan Jawa (ilmu, ngelmu), èleumèë-èleumèë ini, bila dipandang dari cara pikir modern, tak lebih dari sekedar metode tahyul untuk mencapai berbagai tujuan, yang baik maupun yang terlarang. Pengetahuan mengenai ilmu-ilmu ini dianggap betul-betul perlu dimiliki untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan pribadi dan sukses mengemban segala macam tugas dan jabatan. Bagi pembuat senjata atau tukang emas, panglima perang atau arsitek, pengetahuan mengenai hocus-pocus yang misterius itu, yakni èleumèë yang dianggap berkaitan dengan tugasnya, dipandang sama pentingnya dengan keterampilan tehnis di bidangnya yang diperoleh melalui pengajaran dan praktek. Dengan demikian, orang yang menggunakan ilmunya dapat merebut hati orang yang dicintainya, membuat lawan tidak berdaya, menabur pertikaian antara pasangan suami isteri, atau meraih yang diidam-

107

Ibid,hal. 31-32 Ibid,hal. 32 109 Ibid,hal. 34 110 Ibid,hal. 35 108

206

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

idamkannya. Kalau seseorang tidak memiliki ilmu serupa itu, ia dapat mencari bantuan dari orang yang berilmu111. Salah satu sumber informasi penting mengenai ilmu mistik yang banyak dipraktekkan di Aceh adalah sebuah karya yang diberi judul “Tij-ul-mulk”, yang dicetak di Kairo dalam tahun 1891 (1309 H) dan di Mekkah tahun 1893 (1311 H). Karya tersebut ditulis dalam bahasa Melayu oleh seorang ulama keturunan Aceh, Syeh Abbas, yakni Teungku Kuta Karang pada masa Sultan Mansô Shah (= Ibrahim, 1838-1870 H). Tidak ada atau sedikit sekali dari isi buku ini yang tidak dapat ditemukan dalam buku-buku berbahasa Arab ataupun berbahasa Melayu lainnya, tetapi di sini ditambahkan hasil pengamatan atas cara-cara menghitung musim dan hari baik, ramalan dan seni pengobatan pribadi, maupun metode menghitung bulan yang banyak dipermasalahkan di kalangan terpelajar di Aceh112. Karena penulisnya seorang ulama, tentu saja ia tidak mau mengomentari cabang ilmu yang ada pertanda jelas tentang asal-usulnya yang animistis113. Salah satu cabang èleumèë yang sangat penting bagi semua orang Aceh, terutama untuk penguasa, panglima dan serdadu adalah èleumèë keubay, yakni ilmu kebal. Prinsip-prinsip yang mendasari ilmu ini adalah: 1) kerangka filsafat pantheistik; 2) teori tentang pengetahuan esensi, atribut, dan nama sesuatu zat/ barang yang memberikan penguasaan penuh atas zat/ barang itu sendiri114. Kombinasi kedua pandangan ini menimbulkan pengetahuan tentang sifat hakiki dari besi (ma’ripat beusòë) untuk membentuk faktor terpenting dalam memberikan kepada seseorang kekuatan untuk menolak logam tersebut dari berbagai senjata115. òleumèë yang mengajarkan cara membedakan senjata yang baik dan yang buruk di Aceh dianggap sangat penting. Seni ini sebagian besar diperoleh dari orang-orang Melayu. Orang Aceh menganggap orang Melayu di Trengganu dan orang Bugis sebagai ahli bidang ini116. Pembuat senjata mempunyai èleumèë khusus, yang menurut orang Eropah sedikit sekali menambah nilai senjatanya, tetapi orang Aceh berpendapat sebaliknya117. òleumèë phay juga digarap dengan bantuan buku-buku. Kadang-kadang al-Qur’an yang digunakan, kadang-kadang buku pedoman peramal nasib, terutama yang ditulis oleh Alide Ja-far Shadiq (Aceh: Ja’pa Sade’)118. Pengobatan berbagai penyakit, sebagian secara insidental sebagian lagi secara langsung, menunjukkan bahwa ilmu pengobatan pribumi Aceh, seperti halnya di seluruh kepulauan nusantara, sangat banyak didasarkan pada ketahyulan. Pada kenyataannya, pemakaian obat alamiah saja tanpa hocus-pocus atau embel-embel tahyul/ mantera merupakan kekecualian yang jarang ditemukan walau untuk mengatasi penyakit paling sederhana sekalipun, dan sejumlah penyakit diobati dengan hocus-pocus semata119. 111

Ibid,hal. 35 Ibid,hal. 36 113 Ibid,hal. 36 114 Ibid,hal. 36 115 Ibid,hal. 36-37 116 Ibid,hal. 41 117 Ibid,hal. 41 118 Ibid,hal. 44 119 Ibid,hal. 50 112

Aceh Serambi Mekkah

207

Sampai di sini kita dapat mengakhiri uraian kita tentang èleumèë Aceh. Kita sering membaca tentang para tokoh hikayat atau cerita dan kadang-kadang mendengar orang banyak memuji para tokoh itu sebagai telah berhasil mempraktekkan “ilmu empat belas” (èleumèë peut blaih). Bahwa angka tersebut bukan ditetapkan oleh orang Aceh sendiri dapat disimpulkan dengan mudah dari keragaman yang ditemukan pada rekapitulasi cabang-cabang pengetahuan ini. Tiap pengarang mempunyai sistem penomeran sendiri-sendiri. Salah seorang menganggap ilmu empat belas itu terdiri dari berbagai cabang dengan satu cabang par excellence, yakni agama, dan cabang-cabang termaksud dapat digolongkan mencapai jumlah cabang yang lebih besar maupun lebih kecil dari empat belas. Pengarang lain lagi memasukkan ke dalam empat belas cabang tersebut berbagai èleumèë seperti yang telah kita uraikan di atas. Tidak ada ketentuan yang ketat ataupun pembagian tradisional120. Dalam karya-karya berbahasa Arab tentang hukum Islam, prestasi ilmiah yang disyaratkan bagi calon qadhi atau hakim sering digambarkan sebagai penguasaan atas 15 cabang ilmu. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam beberapa karya seperti ini angka yang disebut adalah 14, bukan 15, karena dalam hal inipun, angka sebenarnya sangat tergantung pada selera pribadi. Mungkin hal ini yang menyebabkan diterimanya 14 sebagai angka tradisional di Aceh, mula-mula di kalangan terpelajar dan kemudian menyebar kepada masyarakat umum. Tetapi sekarang tiap orang merasa bebas memutuskan sendiri èleumèë- èleumèë apa saja yang dimasukkan dalam ilmu empat belas itu121. Istilah teuseuréh peut blaih, yang sesungguhnya berarti 14 bentuk yang dalam suatu bentuk (tense) kata kerja bahasa Arab berfungsi untuk menandai semua pembedaan jumlah, jenis gender, dan orang, telah memperoleh popularitas di luar lingkungan orang-orang terpelajar. Mungkin teuseuréh ini (yang arti sebenarnya hanya diketahui orang yang menguasai tata bahasa Arab) dianggap sebagai suatu cabang ilmu yang tersendiri122. 5. Seni Kita tidak mencantumkan kata seni dalam judul bab ini karena nampaknya, sejauh yang kita ketahui, seni belum seberapa dikembangkan di Aceh123. Di dataran rendah, dan terutama di Meura’sa, tadinya ada tukang batu kenamaan yang pekerjaan utamanya adalah membuat hiasan batu nisan (nisam, batèë jeurat). Kemampuan mereka dalam pembuatan batu nisan telah terbukti cukup tinggi124, walaupun ternyata seni ukir batu ini praktis sudah punah sekarang. Memang ada sejumlah monumen batu megah pada kuburan para bangsawan di atau dekat kota-kota besar, tetapi diragukan apakah ini semua merupakan karya asli orang Aceh125.

120

Ibid,hal. 63 Ibid,hal. 63-64 122 Ibid,hal. 64 123 Ibid,hal. 65 124 Ibid,hal. 65 125 Ibid,hal. 65 121

208

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Seni bertenun sutera terus berkembang, dan cukup tinggi selera orang Aceh yang diperagakan melalui pola-pola sutera aneka warna maupun yang diberi berbenang emas, untuk ikat pinggang (ija pinggang) dan selendang (ija sawa’) serta bahan untuk celana (lueue atau silueue)126. Seni kerajinan emas dan perak di Aceh tidak mencapai tahap yang tinggi. Kemampuan membuat gagang senjata dari tanduk kerbau, kayu, dan logam mulia bukannya tak mempunyai nilai artistik, tetapi keterampilan tersebut kini cepat merosot127. Secara keseluruhan kita mendapat kesan bahwa jiwa seni orang Aceh belum seberapa berkembang, kecuali pada tenun sutera yang terlihat dari selera tingginya dalam pewarnaan maupun pola hias. Pada masa kejayaan raja-raja kota pelabuhan, pergaulan dengan orang asing, dan keinginan para bangsawan untuk bersaing dengan orang lain dalam hal pamer dan kemewahan, menyebabkan masuknya nilai seni untuk sementara, akan tetapi hal ini cepat menghilang karena kemerosotan stabilitas politik. Peradaban asing yang pengaruhnya paling lama berlangsung bagi masyarakat Aceh, yakni agama Islam, tidak banyak membantu kebangkitan atau pengembangan nilai artistik128. 6. Tokoh Ulama dan Sarjana di Kerajaan Aceh Darussalam Kerajaan Aceh Darussalam yang mementingkan ilmu pengetahuan dan pendidikan telah melahirkan para ulama dan sarjana terkenal yang berukuran internasional, sehingga ibu kota negaranya Banda Aceh Darussalam menjadi Kota Sarjana. Di bidang pengetahuan agama (teologi), khususnya agama Islam, nama ulama maupun pujangga seperti Syekh Hamzah Fansury, Syekh Syamsuddin Sumatrani, Syekh Nuruddin ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf Teungku Syiah Kuala adalah nama-nama yang sangat terkenal sampai kini. Sejak masuknya Islam ke Aceh, pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh dengan subur, terutama sekali setelah berdiri Kerajaan Pasai. Waktu itu banyak ulama di Pasai membangun pesantren seperti Teungku Di Geudong, Teungku Cot Mamplam, dan lain-lain. Banyak pelajar datang ke Pasai dan daerah lain untuk mendalami agama Islam. Dengan bantuan pemerintah dan masyarakat, pesantren, surau, dan langgar tersebar dari kota sampai dusun. Sejarah pesantren di Aceh pada zaman Iskandar Muda Meukuta Alam berada dalam zaman keemasan sehingga masyhur ke mana-mana, karena banyak alim ulama dan ahli sastra Islam. Di antara ulama dan sarjana yang terkenal di Banda Aceh Darussalam adalah: 6.1 Syekh Hamzah Fansuri Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan pujangga besar, penyair sufi yang hidup dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil, Sultan Muda Ali Riayat Syah V, sampai permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Beliau hidup pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 M. Beliau pengarang empat buku tentang masalah ilmu suluk dan tauhid, tharikat, syariat, hakikat dan makrifat, dan wihdatul wujud.

126 127

Ibid,hal. 66 Ibid,hal. 66

Aceh Serambi Mekkah

209

Hamzah Fansuri hidup di sekitar pertengahan abad-16 dan pertengahan abad-17 yaitu dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil dan permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Tidak diketahui secara tepat kapan tahun kelahirannya dan kapan tahun meninggalnya. Tempat kelahiran beliau pun sering menjadi masalah mengenai letaknya, namanya, dan sebagainya. Ada yang berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus yang terletak di pantai barat Sumatra bahagian utara, yang pada masa itu termasuk dalam wilayah Kerajaan Atjeh. Orang Arab menamakan negeri Barus itu dengan Fansur. A. Hasjmi, seorang penulis yang banyak menulis tentang sejarah Aceh, berpendapat: Menurut peyelidikan kami, Hamzah Fansuri lahir bukan di Barus, tetapi dikampung “Pansur” dekat dengan Singkel, yaitu sekampung dengan Abdurrauf Syiah Kuala jadi asli Atjeh. Pansur kemudian oleh lidah arab disebut “Fansur”, namanya dibangsakan kepada kampung kelahirannya itu, maka menjadi Hamzah Fansuri, seperti halnya dengan Abdurrauf Fansuri. Hamzah Fansuri meninggal dan dikuburkan di daerahnya sendiri, yaitu di Kecamatan Simpang Kiri (Singkel), kira-kira satu jam dengan motor dari Rundeng. Kami telah pernah dua kali berziarah ke makam Syeh Hamzah Fansuri, dimana sampai sekarang masih sangat dihormati oleh penduduk disekitar Rundeng dan Singkel, dengan bukti-bukti yang kami peroleh di Singkel dan kampung Pansur, maka yakinlah kami Syeh Hamzah Fansuri adalah asli Atjeh, lahir di kampung Fansur dekat Singkel, yang setelah dewasa lama tinggal di Barus, yang pada waktu itu menjadi daerah kerajaan Atjeh Darussalam129.

Penelitian melalui karya-karya Hamzah Fansuri sendiri hanya dapat memperjelas nama tempat kelahiran dan ciri-ciri khas dari tempat itu saja. Baiklah kita kutip sebait dari kumpulan syair perahu: Hamzah nin asalnya Fansuri, mendapat wujud di tanah syahr Nawi, beroleh clafat ilmu yang ali, daripada Abdul Qadir Sajid Djailani130

Dalam karya beliau yang berjudul “Syair jawi fasar fi bajan ilmu al suluk wal tauhid”, sebait dari syair beliau berbunyi: Hamzah gharib unggas quddusi, akan rumahnya baitul makmuri, kursinya sekalian kapuri, di negeri fansuri minal asjjari131

Yang jelas dan tak dapat disangsikan lagi, bahwa beliau dilahirkan di negeri yang bernama Fansur dengan ciri-ciri khas negeri tersebut penghasil kapur harus yang sangat terkenal di dunia pada saat itu. Oleh karena negeri Barus merupakan bandar utama yang mengekspor kapur

128

Ibid,hal. 67 Tjatatan Red. Pada Artikel Drs. Zakaria Achmad, “Sjeeh Hamzah Fansuri Ulama Penja`ir Terbesar”,( Banda Aceh: Sinar Darussalam, No.36 Djuli 1971), hal. 44. 130 Syed Muhammad Naguid Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), hal 9. 131 Ibid., hal. 3. 129

210

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

barus tersebut, barang kali itu pula sebabnya kapur tersebut dinamakan kapur barus. Inilah barang kali beberapa alasan orang sarjana untuk menyatakan bahwa fansur itu adalah barus. Kenyataan sebenarnya, desa Fansur yang sampai sekarang masih ada itu, termasuk dalam daerah yang menghasilkan kapur. Tepatlah alasan A. Hasjmi untuk mengatakan bahwa fansur itu bukan barus yang sekarang ataupun yang dahulu, tetapi desa Fansur yang masih ada sampai sekarang. Letaknya pun tidaklah begitu jauh dari Barus yang sekarang ini. Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan pengarang besar pada zaman itu. Winstedt dalam bukunya A History of Classical Malay Literatur mengatakan: “Hamzah Fansuri in sumatra is the earliest and the greatest of acheh’s group of writers on heretical mysti cism”132. Hamzah Fansuri di duga hidup sebagai seorang fakir, ia telah merantau ke berbagai tempat, diantaranya Pahang, Banten, Kudus, Siam, Mekkah, dan kemudian kembali ke Barus dan seterusnya ke kampung halamannya di Pansur. Tujuan perantauannya ke berbagai negeri itu di samping untuk mencari ilmu, adalah untuk meyebarkan agama Islam dan faham yang di anutnya. Pendidikan yang di perolehnya pertama kali ialah di tempat kelahirannya, dan kemudian di berbagai tempat yang dikunjunginya, terutama di Kerajaan Atjeh. Sesudah itu, ilmunya bertambah pula selama ia melakukan perantauan ke berbagai tempat itu. Hal ini jelas disebut dalam syair-syairnya yang sudah kita sebutkan di atas. Dalam karyanya Syarabut Asyikin kita petik dua baris syairnya yang berbunyi sebagai berikut: Syekh Al-Fansuri terlalu ‘Ali Beroleh ghilafat dibenua Baghdadi133

Dari baris-baris selanjutnya, dengan jelas pula disebutkan gurunya yang sangat dihormatinya, yaitu Sjeeh Abdul Qadir Djalaini. Hamzah nin ilmunya zahir, Ustaznya Sjeeh Abdul Qadir134

Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh tempat di Indonesia dan Malaya, terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama perantauan ke berbagai tempat itu, dan yang paling penting lagi ialah melalui karya-karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar di mana-mana. Disamping itu, perlu pula kiranya dikemukakan disini, bahwa akibat dari perantauannya itu pula, disamping bahasa Djawi (bahasa Melayu) dan Arab yang dikuasainya dengan baik, ia fasih pula berbahasa Persia dan berbagai bahasa daerah di Indonesia dan Malaya lainnya. Hamzah Fansuri seperti telah kita kemukakan di atas adalah seorang ulama sufi yang terkenal. Ia ialah pengikut (penganut) Tharikat Qadiriah. Aliran yang dianutnya tercermin dari hasil-hasil karya yang ditulisnya. Dalam dunia kaum sufi dan ilmu tasawuf, tharikat beliau ini

132

R.O. Winstesdt. Op. cit., hal. 116. Syed Muhammad Nguid Al-Attas Op. cit. hal. 11 134 Loc. Cit. 133

Aceh Serambi Mekkah

211

terkenal dengan istilah wihdatulwujud yang mirip dengan pengertian pantheistis. Beliau sendiri secara pribadi mengakui pengikut Ibn Arabi dan Abdul Qadir Djalaini, tetapi dari tulisan-tulisanya dapat dilihat bahwa ia terpengaruh pula oleh buah pikiran-buah pikiran ulama sufi lainnya, seperti Al-Hallaj, Al-Djuneid, Djaluddin Rumi, dan Syahru Tabriz. Di samping itu, jelas pula kita lihat pengaruh dari Abdul Karim Djilli, Al-Bustami, Al-Ghazali, Mas‘ud, dan Syah Nikmatullah. Hasil-hasil karya beliau ditulis dalam bentuk syair dan ada pula dalam bentuk prosa. Syair-syairnya banyak sekali, dan yang terkenal di antaranya ialah: syair dagang, syair si burung pingai, syair perahu dan syair sidang fakir. R.O. Winstedt mengatakan syair-syair dari Hamzah Fansuri kebanyakan memakai irama pantun, meskipun urutan sajaknya mengikuti urutan sajak syair. Mengenal syair-syair Hamzah Fansuri ini, Dr. C. Hoykas dalam bukunya Perintis Sastera mengemukakan pendapat antara lain bahwa karangan-karangan Hamzah Fansuri itu bukan saja memakai nama Arab, tetapi juga banyak mempergunakan kosa kata Arab. Oleh karena itu dan karena banyaknya, maka karangan-karangannya itu tidak mudah dapat dipahamkan oleh orang biasa. Memang bukanlah maksudnya untuk pelipur lara dan pelipur hati, akan tetapi untuk menyuruh berfikir, sebagai pembentuk budi dan penyiar agama. Kesungguhannya dan kerajinanya memudahkan Hamzah Fanzuri mendapatkan kata-kata yang tepat dalam melukiskan perasaannya135. Di bawah ini kami terakan beberapa bait dari syairnya itu. Satukan hangat dengan dingin, Tinggalkan loba dan ingin, Hanturkan hendak seperti lilin, Maka dapat kerjamu litin Hapuskan akal dan rasamu, Leyapkan badan dan nyawamu, Petjahkan hendk kedua matam, Disanalah lihat permai rupamu, Haguskan pedang bakarkan sarung, Izbatkan Allah, napikan patung, Laut tauhid jogja kau harung, Disanalah engkau tempat bernaung136

Betapa lancarnya Hamzah Fansuri mengemukakan perasaannya dan buah pikiranya dapat kita lihat pada beberapa baik syairnya yang sengaja penulis kutip seperti tertera di atas. Dalam pertumbuhan bahasa dan kesusteraan di Indonesia dan Malaya, Hamzah Fansuri adalah seorang bintang yang cemerlang di langit-langit kehidupan bahasa dan kesusteraan. Kalau di kemudian hari dalam abad 20 orang berbicara tentang unsur-unsur rasionalisme dan lepasnya kekangan-kekangan yang bersifat tradisionil sebagai ciri-ciri kesusteraan modern Indonesia, sebenarnya dari zaman Hamzah Fansurilah kurun itu dimulai. Unsur-unsur rasionalisme seperti yang diartikan sekarang dan bebasnya pikiran-pikiran Hamzah Fansuri dari ikatan-ikatan tradisionil

135

Ibid., hal. 14. C. Hooykaas, Perintis Sastera, Terjemahan Raihul Amar Gelar Datuk Besar, Cetakan Kedua, J.B. Wolters, (Jakarta: Groningen, 1953), hal. 145. 136

212

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

tercermin dalam seluruh karyanya. Jasa yang terbesar dari Hamzah Fansuri khususnya dan ulama-ulama Islam umumnya pada zaman itu ialah usaha memperkaya perbendaharaan bahasa Melayu (bahasa Djawi) dengan kosa kata bahasa Arab, sehingga bahasa Melayu mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan mampu pula mengungkapkan buah pikiran-buah pikiran yang sukar dan pelit. Kalau bahasa Melayu berhasil menjadi lingua franca dalam dunia niaga di Asia Tenggara pada zaman kejayaan Malaka, maka pada zaman kejayaan Aceh, Hamzah Fansuri sebagai pelopornya beserta dengan ulama-ulama dan pengarang Islam lainnya, telah berhasil membawa bahasa Melayu menjadi lingua franca dalam pengajian dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Karya Hamzah Fansuri dalam bentuk prosa yang dapat diketahui sampai sekarang berjumlah dua buah. Pengaruh filsafat dari Ibn ‘Arabi dari Spanyol itu dengan jelas terlihat dalam karangannya itu. Yang pertama ialah buku Syarb al-Asyikin dengan nama tambahannya Zinatul Muwahhidin. Dalam buku tersebut Hamzah Fansuri membicarakan masalah tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat, sebuah perbincangan yang lazim di kaum sufi dan pengikut-pengikutnya. Buku kedua dengan judul Asrar Al-Arifin fi Bayan Ilmu al-suluk Wal Tauhid. Dari kedua bukunya ini Hamzah Fansuri dengan jelas sekali menunjukkan pendiriannya yang bersifat Wihadatul Wujud. Di bawah ini kita kutip sebahagian dari pendirian yang menunjukkan wihadatulwujud tersebut: Jika seorang bertanya: “jikalau zat Allah kepada semesta sekalian lengkap, kepada najis dapatkah dikatakan lengkap? Maka jawab: “Seperti pada panas lengkap pada sekalian alam, kepada busuk pun lengkap kepada baik pun lengkap, kepada jahat pun lengkap, kepada ka`bah pun lengkap, kepada rumah berhala pun lengkap, kepada semesta sekali pun lengkap, kepada najis tiada ia akan najis, kepada busuk tiada ia akan busuk, kepada baik tiada ia akan baik, kepada jahat tiada ia akan jahat, daripada Ka`bah tiada ia beroleh kebaikan, daripada rumah berhala tiada ia beroleh kejahatan. Sedangkan panas demikian, istimewa Allah subhanahu wa ta`ala suci daripada segala suci, di mana ia akan najis dan busuk 137?

Murid beliau yang terkenal ialah Syekh Samsyudin bin Abdullah as-Samathrani yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Kerajaan Aceh, terutama pada masa pemerintahan Al Mukammil dan Iskandar Muda. Pendirian muridnya Syekh Samsyudin as-Samathrani itu merupakan cerminan dari pendirian Hamzah Fansuri. Hal ini tidak saja dapat kita lihat dari seluruh karya Samsyudin as-Samathrani, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. Salah satu pandangan dan uraian Syamsudin as-Samathrani atas karya Hamzah Fansuri berjudul Syarah Ruba‘i Hamzah Fansuri. Pengaruh Hamzah Fansuri tidak saja dapat kita lihat dalam kehidupan keagamaan di kerajaan Aceh, tetapi hal ini terlihat juga di Jawa dan Malaysia. Di kemudian hari, terutama sesudah Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Samathrani mendapat serangan hebat dari ulama besar Aceh lainnya, yaitu

137

R.O. Wiinstedt, Op.cit., hal. 118.

Aceh Serambi Mekkah

213

Syekh Nuruddin ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf Singkel. Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran di dalam ilmu tasawuf yang memang sukar untuk dikompromikan. Aliran pertama seperti yang telah kita sebutkan di atas bernama wihadatulwujud atau kesatuan wujud. Teori ini merupakan monisma (serba esa) atau pantheisma (serba dewa). Menurut ahli tasawuf dari aliran ini, dunia adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran yang kedua bernama Wihdatusy Syuhud atau kesatuan persaksian. Pada zaman pemerintahan Iskandar Muda sebenarnja telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut diatas, tetapi berkat kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda, pertentangan ini tidak sampai menimbulkan kekacauan di lapangan kehidupan keagamaan. Sesudah Iskandar Muda, maka Sjekh Nuruddin ar- Raniry berhasil pula mengajak Sultan Iskandar Muda Thani untuk memberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Sjamsuddin as-Samatharani yang beliau anggap sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Sjamsuddin as-Samatharani dibakar dan dimusnahkan. Rakyat Aceh dilarang menganut faham kedua ulama besar tersebut. Dan sejak itu dijatuhkan vonis di atas kedua pundak ulama itu sebagai orang yang sesat. Akhir-akhir ini, para ulama dan ahli sejarah mulai meneliti dan mempelajari kembali ajaranajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatharani serta sumbangan sangat besar yang telah diberikan oleh kedua ulama ini bagi dunia Islam. Di antara karya-karya para ahli yang penting tentang kedua orang tersebut, kita catat karya J. Doorenbos dengan judul De Geschruften van Hamzah Fansuri yang diterbitkan di Leiden pada tahun 1921. Karya paling baru ditulis oleh Prof. Syed Muhammad Naguib al-Attas, M.A., Ph.D, Vice Chancelor dari The National University of Malaysia dalam satu edisi yang cukup tebal berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri dan diterbikan oleh University of Malaya Presss, Kuala lumpur pada tahun 1970. Karya-karya Hamzah Fansuri yang masih bisa kita jumpai sekarang umumnya disimpan di luar daerah Aceh, dan sebahagian besar daripadanya berada di museum-museum di luar negeri. Memang benarlah kiranya perkataan Dr. C. Hooykaas, bahwa karya Hamzah Fansuri banyak yang sukar dipahami, oleh karena itu telah mengakibatkan pula penafsiran-penafsiran yang salah terhadap buah pikirannya seperti terbukti dalam uraian para ahli pada akhir-akhir ini. Baiklah pada akhir uraian tentang Hamzah Fansuri ini, kita kemukakan kesimpulan Professor Monteil yang meminjam sebahagian tulisan Professor P. Zeetmulder sebagai berikut: “Mungkin Professor P. Zeetulderlah yang benar, kalau menulis, bahwa ar-Ranirylah yang merupakan muslim terbaik. Bagaimana kita tidak boleh mengagumi sya`ir Perahu dari Hamzah Fansuri bila wujud Allah nama perahunya?” Sesudah menjelajah ke berbagai negeri, Hamzah Fansuri, fakir yang menggemparkan pada masa itu, kembali ke kampung halamannya. Di sanalah barangkali beliau menghabiskan sisa hidupnya di dunia dan di sana pula beliau memperoleh ketentraman batin yang sejati, seperti tertulis dalam sebait sya‘irnya di bawah ini: Hamzah Fansuri di dalam Makkah, Mencari Tuhan di Baitul Ka‘abah, Dari Barus ke Kudus terlalu payah, Akhirnya dapat di dalam rumah138

138

214

Mohd. Said, Op., hal. 175.

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Risalah tasawuf dan puisi-puisinya Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup di antara pertengahan abad ke-16 sampai abad ke-17. Nama gelaran atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak diantara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16, kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad ke-2 SM, menyatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abadabad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi, begitu pula rombongan kapal Fir‘aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus, antara lain untuk membeli kapur Barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi139. Beberapa ahli sejarah masa kini juga telah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di Sumatraseperti Peureulak dan Samudera Pasai- sekitar abad ke-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim nusantara dengan kehidupan yang cukup mapan140. Tidak mustahil melalui pelabuhan Barus-lah para pendakwah Islam menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kepulauan nusantara, dan baru kemudian dari sana menyebar ke tempattempat lain mengikuti aktivitas pelayaran pada pedagang-pedagang muslim Arab dan Persia. Prapanca, seorang pujangga Majapahit abad ke-14 yang masyhur, mengatakan di dalam Nagara Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri Melayu yang penting di Sumatra. Tampaknya sejak zaman Sriwijaya kota ini telah mempunyai hubungan politik dan dagang dengan beberapa kerajaan Hindu di Jawa. Pada permulaan abad ke-16, seorang pengembara Portugis yang terkenal bernama Tomo Pires mengunjungi Barus dan mencatat di dalam bukunya Suma Oriental bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur, dan ramai didatangi para pedagang asing. Di antara barang-barang perniagaan penting yang dijual dalam jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis, dan aneka rempah-rempah141. Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis didalam bukunya Al-‘Ulum Al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia, dan India. Barus, tulis al-Muhiri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai barat Sumatra. Pada pertengahan abad ke-16, seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi ‘Ali Syalabi juga berkunjung

139

Takhallus adalah sejenis nama gelaran yang biasanya diambil dari nama kota kelahiran atau negeri asal seorang tokoh. Lihat Edward G.A. Browne, A Literary History of Persian II, (Cambridge: Cambridge University Press, 1957), hal. 27-38 140 Lihat tulisan Dada Meuraxa tentang masuknya Islam di Barus pada abad ke-8 di dalam Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997) 141 Lihat Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, Nindeln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd., 1967, hal. 161-162

Aceh Serambi Mekkah

215

ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatra142. Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam laporannya mengatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang bermutu tinggi bisa didapatkan di dalam jumlah besar. Begitu pula kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana, gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang di bawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga dapat diperoleh di Barus, dan biasanya dibawa ke Makkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kampar, Pedir, dan Lampung. Dapat dipastikan bahwa di kota yang ramai dengan masyarakat kelas menengah seperti Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Di kota ini, orang dapat mempelajari berbagai bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Persia, dua bahasa penting pada abad ke-16 yang sangat dikuasai oleh Syekh Hamzah Fansuri. Mungkin di kota kelahiran inilah Syekh Hamzah Fansuri mula-mula mempelajari ilmu agama, termasuk tasawuf dan kesusastraan. Sudah pasti pula, di situ telah berkembang kegiatan tarekat sufi yang sangat digemari oleh lapisan luas masyarakat Muslim Timur, termasuk para saudagar dan keluarga raja-raja. Sebagai bagian penting dari dunia Melayu dan sebagai pusat perdagangan serta kebudayaan, bukan tak mustahil di kota ini pernah berkembang sebuah dialek bahasa Melayu yang unggul, disamping dialek Malaka dan Pasai. Bahasa Melayu yang dipakai Syekh di dalam karya-karyanya mungkin merupakan contoh karya terbaik dari ragam bahasa Melayu Barus. Barus mengalami perubahan yang menyedihkan pada permulaan abad ke-17. Pamor kota ini agaknya mulai merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi penguasa mutlak di seluruh pesisir Sumatra. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh berhasil menaklukkan kerajaan Barus dan memasukkannya ke dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaaan143. Pada awal abad ke-18, kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan kecil yang sunyi dan hanya pantas dihuni oleh para nelayan kecil. Kemegahannya selama berabad-abad telah musnah dan yang tinggallah hanya puing-puing. Valentijn, seorang sarjana Belanda yang mengunjungi Barus pada 1706, menulis di dalam sebuah bukunya: Seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur...yakni seorang yang sangat terkemuka di kalangan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat lahir sang penyair bilamana di dalam puisi-puisinya yang agung dia mengangkat naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan mencipta kembali masa-masa gemilang dan kebesarannya144. 142

Jane Drakard, An Indian Ocean Port: Sources from the Eirlier History of Barus, Archipel No. 3738, 1999 dan L.F Brakel, The Birthplace of Hamzah Pansuri, JMBRAS 42,2, 1969, hal. 206-213 dan L.F Brakel, Hamzah Pansuri, JMBRAS vol. 52, 1979 143 Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Hasan Muarif Ambary, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986), hal. 110-111 144 Lihat A. Teeuw, The Malay Sha’ir-Problems of Origin and Tradition, BKI, 122, 1966, hal. 429447 (h. 439)

216

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Melalui catatan Valentijn, dan tentunya juga melalui syair-syair Syekh sendiri, kita memperoleh kesan bahwa pada masa hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri masih mengalami dan menikmati zaman terakhir kegemilangan kota Barus dan menyaksikan pula maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam. Syair-syair Syekh banyak yang secara tersirat menggambarkan keramaian dan kesibukan kota pelabuhan tersebut dengan pasar-pasarnya, pandai emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi ashrafi, kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor bila berjalan malam, gadis-gadis Melayu dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah. Pada bagian lain syair-syairnya, Syekh juga memperlihatkan kekecewaan terhadap perilaku politik sultan Aceh, para bangsawan, dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim. Berdasarkan bukti-bukti ini, sebenarnya telah cukup memadai untuk mempercayai bahwa Syekh hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Bukti lain ialah fakta bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah guru Syamsyudin Pasai, seorang sufi dan penasihat agama Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 1630. selisih usia antara Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya itu paling-paling hanya sepuluh tahun145. Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang menyatakan kapan sebenarnya Syekh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, dimana dilahirkan, dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan ditanam, tak dijumpai sampai sekarang. Satu masalah lagi sebagai akibat adanya pelarangan dan pemusnahan kitab karangan penulis wujudiyah pada 1637, baik memenuhi perintah Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) maupun fatwa Syekh Nurdin al-Raniry, ulama istana Aceh ketika itu. AlRaniry menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Syekh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Ribuan buku karangan wujudiyah di hadapan Masjid Raya Kutaraja dibakar sampai musnah146. Hanya sedikit kitab-kitab karangan penulis yang dapat diselamatkan dari kemusnahan pada waktu itu. Oleh karena itu, bukannya tidak mungkin bahwa selain tiga teks risalah tasawuf Syekh yang berhasil diselamatkan dan telah dijumpai, masih terdapat beberapa karangan Syekh yang tak sempat diselamatkan, dan karena itu tak pernah sampai kepada kita sekarang ini. Di antara karya-karya Syekh Hamzah Fansuri yang telah dijumpai ialah tiga (3) risalah tasawuf dan 33 ikat-ikatan syair (setiap ikat-ikatan terdiri dari 13, 15 atau 19 bait syair). Naskah yang memuat ikat-ikatan syair Syekh paling banyak ialah Manuskrip Jakarta (MS Jak. Mal. No.83). Sayang, separuh teks naskah ini mengalami kerusakan dan hanya sepertiga atau 31 ikat-ikatan syair saja yang dapat dibaca. Selebihnya, kurang lebih 50 ikat-ikatan, tak dapat dibaca lagi. Adapun tiga risalah tasawuf Syekh yang telah dijumpai dan telah pula ditransliterasi

145

Lihat G.W.J. Drewes and L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, (Dordrecht-Holand/ Cinnaminson-USA: Foris Publications, 1989), hal. 2-3 46 Lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hal. 41

Aceh Serambi Mekkah

217

ialah Syarab Al-‘Asyiqin (Minuman Orang-orang Berahi), Asrar Al‘Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), dan Al-Muntahi. Hamzah Fansuri sebagai Pembaharu Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor kebudayaan. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di rantau ini, khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaharu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan orang-orang kaya telah menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena itu tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah bahwa baik dalam Hikayat Aceh maupun Bustan Al-Salatin, dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah kata pun menyebut namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupun sastra. Di bidang keilmuan, Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang sangat sistematis dan ilmiah. Sebelum karya-karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisipuisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan, Syekh adalah juga orang pertama yang memperkenalkan syair puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Syair sebagai suatu bentuk pengucapan sastra, seperti halnya pantun sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai abad ke 20. Dilihat dari sudut strukturnya, syair yang diperkenalkan oleh Syekh seolah-olah merupakan perpaduan antara ruba‘i Persia dan pantun Melayu. Seperti halnya pantun dan ruba‘i, syair adalah puisi empat baris yang terdiri dari dua misra‘ atau dua pasangan. Tetapi syair berbeda dari pantun, sebab syair tidak terdiri dari sampiran dan isi. Di samping itu, Syekh telah berhasil pula meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruh puitika dan estetika yang diasaskan oleh Syekh Hamzah Fansuri di dalam kesustraan Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20, khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah, dan sastrawan-saatrawan Indonesia Angkatan 70-an seperti Danarto dan Sutardji Calzum Bachri yang berada di dalam satu jalur estetik dengan Syekh Hamzah Fansuri. Di bidang kebahasaan pun, sumbangan Syekh sukar untuk diingkari apabila kita mau jujur. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syekh telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekadar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa nusantara lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh berkembang. Tak mengherankan jika pada abad ke-17 bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk

218

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

menyebarkan agama, dan kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang telah memberi peluang besar kepada bahasa Melayu bukan saja untuk berkembang maju, tetapi juga untuk dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syekh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syekh di dalam proses islamisasi Melayu, karena pada pokoknya, islamisasi bahasa adalah sama saja dengan islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab, yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya Melayu. Syekh telah melakukan destruksi radikal terhadap bahasa Melayu lama yang beku dan tak lagi berkembang, dan dari kreatifitasnya lahirlah bahasa Melayu yang benar-benar baru, dengan ciri-ciri asas dan system linguistiknya tetap bertahan sampai abad ke20. Membaca karangan-karangan Syekh Hamzah Fansuri, terlepas dari banyaknya ambilan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan Arab, adalah seperti membaca karangan yang baru ditulis sekitar 70-an tahun yang lalu, tak lama sebelum sumpah pemuda diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Dari sini, tampak bahwa dinamika dan kemodernan bahasa Melayu tak perlu menunggu datangnya pengaruh pemikiran barat. Di bidang filsafat, ilmu tafsir, dan telaah sastra, Syekh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika sebagaimana terlihat di dalam kitabnya Asrar Al-‘Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Dalam kitab ini, Syekh memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, theology, logika, epistimologi, dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya. Dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri, Syekh berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya. Teks Risalah Tasawuf Buku ini memuat dua teks karya Syekh Hamzah Fansuri hasil transliterasi dari tiga naskah yang berbeda. Teks pertama ialah risalah tasawuf Syekh yang berjudul Zinal Al-Wahidin, yang juga dikenal dengan nama Zinat Al-Muwahidin (Hiasan Para Ahli Tauhid) dan Syarab Al‘Asyiqin. Teks kedua adalah ikat-ikatan atau untaian syair-syair Syekh Hamzah Fansuri yang lazim dikenal sebagai Syair-syair tauhid dan makrifat atau “Syair Jawi fasal fi bayan `Ilm AlSuluk wa Al-Tauhid” sebagaimana dinyatakan di dalam manuskrip-manuskrip yang ada. 1. Zinat Al-Wahidin dipercaya ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang filsafat wujudiyah (wahidat al-wujud) sedang berlangsung di Sumatra, khususnya di Aceh, yang melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuluddin, dan ilmu fiqh terkemuka pada waktu itu. Perdebatan tentang faham wujudiyah ini lebih dikenal sebagai perdebatan a‘yan thabitah (esensi segala sesuatu), yang merupakan persoalan sentral di dalam Aceh Serambi Mekkah

219

ajaran wujudiyah. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syekh Nuruddin ar-Raniry di dalam Bustan Al-Salati. Sudah dapat dipastikan bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan beberapa pengikutnya, mungkin termasuk Syekh Syamsudin Pasai, terlibat di dalam perdebatan yang berlangsung sangat lama dan tegang itu. Sebelum Zainat Al-Wahidin ditulis, tak ada bukti yang menyatakan bahwa telah ada kitab lain yang ditulis di dalam bahasa Melayu. Itulah sebabnya mengapa para pengkaji menyakini bahwa karya-karya Syekh Hamzah Fansuri merupakan kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Zinat Al-Wahidin ditujukan kepada mereka yang baru mulai menapak di jalan tasawuf. Uraiannya ringkas dan sederhana, tidak terlalu rumit. Bahasanya jelas dan penyajiannya cukup menarik. Melalui risalah ini, kita mengetahui bahwa pada akhir abad ke-16 bahasa Melayu telah tumbuh menjadi bahasa modern yang cukup canggih, dan mampu menjadi wadah pengungkapan gagasan-gagasan filsafat dan keilmuan yang rumit. Risalah ini sebenarnya lebih dikenal dengan nama lain yakni syarah Al-‘Asyiqin (minuman orangorang berahi). Kita tak tahu judul yang mana yang mula-mula diberikan oleh pengarangnya. Sebagai teks, risalah ini dijumpai di dalam beberapa manuskrip. Di antaranya, yang paling terkenal ialah teks yang terdapat di dalam Ms Leiden Cod. Or. 2016. Teks yang terdapat di dalam manusrip Leiden ini telah ditransliterasi oleh Doorenbos untuk disertasi doktornya De Geschripften van Hamzah Pantsoeri (1933), dan oleh al-Attas, juga untuk lampiran disertasi doktornya, The Mysticism of Hamzah fansuri (1970). AtAttas menyatakan pula di dalam bukunya itu adanya terjemahan tiga risalah Syekh di dalam bahasa Inggris. Asal usul manuskrip Leiden Cod. Or. 2016 sangat jelas. Mula-mula manuskrip tersebut dijumpai di dalam perpustakaan pribadi Sultan Banten Abu Mahasin Zainal Abidin (wafat 1730). Sultan ini adalah seorang pencinta tasawuf dan murid dari Syekh Yusuf alMengkasari, seorang sufi dan pejuang anti kolonial yang menghabiskan tahun-tahun terakhir hayatnya di dalam buangan di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Di perpustakaan pribadi Sultan ini pula dijumpai naskah yang memuat teks Syarab Al-‘Asyiqin dan Al-Muntahi di dalam bahasa Jawa. Teks karya Syekh di dalam bahasa Jawa ini telah ditransliterasi oleh Drewes dan Brakel (1986) disertai terjemahannya ke dalam bahasa Inggris. Adapun teks yang dimuat di dalam buku ini merupakan hasil transliterasi dari naskah yang terdapat di perpustakaan Prof. Ali Hasyimi di Banda Aceh. Prof. Ali Hasyimi telah memberikan foto kopi naskah tersebut kepada penulis pada tahun 1986 tanpa menceritakan asal usulnya, selain mengharapkan supaya naskah tersebut ditransliterasi kedalam huruf latin dan agar hasilnya segera di terbitkan. Melihat jenis kertas yang dipakai dan keadaan naskah yang secara fisik cukup baik, dapat diperkirakan bahwa risalah ini disalin pada awal atau pertengahan abad ke-19 berdasarkan perbandingannya dengan naskah yang lebih tua. Sayang penyalin naskah melakukan banyak kesalahan, seperti tampak pada kekeliruan yang terjadi pada pengutipan ayat-ayat al-Qur‘an, Hadits Qudsi, dan istilah-istilah teknis tasawuf wujudiyah. Naskah yang di peroleh dari Prof. Ali Hasyimi itu kemudian saya berikan kepada Edward Djamaris. Karena pekerjaannya memang di bidang filologi, tidak sukar baginya untuk mentransliterasi naskah tersebut kedalam tulisan latin, walaupun hasilnya tidak memuaskan disebabkan banyaknya

220

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

kesalahan yang dibuat oleh penulis naskah. Untuk sampai kepada khalayak pembaca dalam keadaan yang lebih utuh dan untuk disajikan sebagai wacana masa kini, hasil transliterasi masih perlu penyuntingan secara menyeluruh dengan membetulkan ayat-ayat al-Qur‘an, hadist, ucapan para sufi terkemuka, sejumlah nama tokoh sejarah, dan istilahistilah teknis tasawuf wujudiyah yang salah tulis atau tidak lengkap, dan oleh karena itu juga harus diberi banyak catatan. Hasil akhirnya ialah teks seperti yang tersaji dalam buku ini. 2. Teks kedua ialah ikat-ikatan syair Syekh Hamzah Fansuri yang ditransliterasi dari MS Jak. Mal. No. 83, sebuah manuskrip yang mula-mula disimpan di Musium Jakarta dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Tidak semua syair di dalam MS Jak. Mal. No. 83 kami sajikan disini. Dan oleh karena bait-bait syair yang terdapat di dalam beberapa ikat-ikatan tak lengkap, maka kami mengambil kebijaksanaan melengkapinya dengan memasukkan beberapa syair yang terdapat di dalam Ms Leiden Cod. Or. 2016. Mungkin cara ini tidak terlalu ilmiah, akan tetapi dapat memberi keuntungan, sebab dengan demikian para pembaca akan dapat menikmati secara agak lengkap masing-masing ikat-ikatan yang telah ditulis oleh Syekh dengan segala jerih payah keruhanian dan pengetahuannya. Ajaran Wujudiyah Banyak orang mengira bahwa ajaran wujudiyah yang berkembang di Indonesia sampai saat ini hampir semuanya adalah ajaran martabat tujuh. Pendapat demikian tidak benar, sebab ajaran martabat tujuh baru berkembang pada awal abad ke-17 dengan Syekh Syamsudin Pasai sebagai penganjurnya yang pertama. Syekh Hamzah Fansuri dan juga para wali di pulau Jawa abad ke-16, seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, tidak pernah menjadi penganjur ajaran martabat tujuh. Memang ajaran martabat tujuh termasuk ajaran wujudiyah, namun telah menempuh perkembangan agak lain dan ke dalamnya telah masuk pengaruh India, seperti praktik yoga di dalam alam zikirnya, suatu hal yang dikritik oleh Syekh Hamzah Fansuri. Maklum, pengasas pertama ajaran martabat tujuh ialah Muhammad Fadhlullah Al-Burhan Puri (w. 1620), yang berasal dari India, khususnya pada zaman Sultan Akbar dan dar Sukoh. Sebagai seorang ahli tasawuf, Syekh Hamzah Fansuri tidak pernah memperlihatkan di dalam karya-karyanya bahwa Syekh mempunyai hubungan dengan tasawuf yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syekh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16, terutama Bayazid Bisthmi, Junaid Al-Baghdadi, Ahmad Ghazali Ibn‘Arabi, Rumi, Maghribi, Mahmud Shabistari, ‘Iraqi, dan Jami. Sementara Bayazid dan Al-Hallaj merupakan tokoh idola Syekh Hamzah Fansuri di dalam cinta (‘Isyq) dan makrifat, di pihak lain Syekh sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn ‘Arabi serta ‘Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya. Di bagian lain lagi, khususnya di dalam puisi-puisinya, Syekh banyak memperoleh ilham dari karya ‘Attar mantiq Al-Thayr (musyawarah burung), karya ‘Iraqy Lama‘an dan karya Jami Lawa‘ih. Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan para penulis wujudiyah yang telah disebut, selain Ibnu ‘Arabi tentu saja, jarang sekali memperoleh perhatian para sarjana ilmu tasawuf di Indonesia. Padahal selain Ibn ‘Arabi, pemikir sufi yang banyak Aceh Serambi Mekkah

221

memberi warna kepada pemikiran wujudiyah Syekh ialah Fakhruddin ‘Iraqi. Seringnya Syekh menyebut dan mengutip Lama‘at, karya ‘Iraqy, memperlihatkan adanya pertalian istimewa antara pandangannya dengan pandangan ‘Iraqi. ‘Iraqi (w.1289) adalah seorang sufi dari Kamajan, Persia, yang pernah tinggal lama di Multan (masuk wilayah Pakistan sekarang). Dia adalah murid Sadruddin Qunawi (w. 1274), seorang penafsir ulung ajaran Lbn ’Arabi yang hidup sezaman dan satu kota dengan Jalaluddin Rumi (w. 1273) di Konya, Turki. Walaupun pemikiran wujudiyah telah berakar lama dalam pemikiran para sufi sebelum abad ke-13, seperti Hallaj, Imam Al-Ghazali, dan Ibn ’Arabi, namun pemakaian istilah wahdat al-wujud sebagaimana kita kenal sekarang ini bukan berasal dari Ibn ’Arabi. Istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir-tafsir yang mendalam atas karya-karya Ibn ’Arabi. Istilah wahdat al-wujud (dari mana istilah wujudiyah berasal) dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang berbagai-bagai di alam fenomena (’alam al-khalq). Tuhan sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi, karena menampakkan wajahnya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian. Kalau tidak demikian, maka Dia bukan yang Zahir dan Yang Batin, sebagaimana al-quran mengatakan, dan kehampiran-Nya kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuanNya yang berbagai-bagai dan penampakan-Nya yang zahir dan batin, maka disamping transenden Dia juga immanen (tashbih). Dasar-dasar wujudiyah semacam inilah yang dikembangkan ’Iraqi. Dia memadukan ajaran Ibn ’Arabi yang diterima dari gurunya dengan ajaran Ahmad al-Ghazali (w. 1126), adik kandung Imam al-Ghazali, tentang ’isyq (cinta). Menurut ’Iraqi, asas penampakan Tuhan melalui pengetahuan-Nya, yakni wujud-Nya, ialah melalui cinta. Dengan perkataan lain, cinta adalah hakikat wujud Tuhan, yang melalui itu penampakan sebagian dari pengetahuan-Nya atau harta-Nya yang tersembunyi (kanz makhfi) dimungkinkan. Itulah sebabnya, apabila kaum wujudiyah seperti ’Iraqi dan Jami berbicara tentang cinta (’isyq), yang dimaksud adalah wujud Tuhan, dan wujud-Nya tak lain adalah sifat-sifat-Nya yang tampak melalui segala pekerjaanNya. Para sufi menemukan dasar pandangannya, selain didalam beberapa ayat al-Quran, juga didalam hadist qudsi. Misalnya hadist yang menyatakan, “Aku pembendaharaan tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta dan dengan demikian Aku dikenal”. Menurut ’Iraqi, juga menururt al-Jili dan Jami, sifat-sifat Tuhan yang pada hakikatnya adalah cinta, telah terkandung di dalam kalimat suci bismi Allah al-Rahman al-Rahim. Di dalam perkataan bismillah itu terdapat dua macam cinta tuhan, yaitu rahman dan rahim. Rahman dan rahim berasar dari perkataan yang sama yaitu rahma (rahmat). Rahman adalah rahmat tuhan yang bersifat esensial (dzatiyah) dan rahim adalah rahmat tuhan yang bersifat wajib (wujud). Dikatakan esensial karena sifat rahmat tuhan atau wujud rahmatnya berlaku atas segala ciptaannya dan atas segala manusia. Segala ciptaan di alam semesta tidak terbebas dari rahman-Nya. Semua memperoleh kewujudan karena rahman-Nya, dan diliputi oleh pengetahuan-Nya yang termanifestasikan karena dorongan cinta. Di lain pihak, rahim di sebut rahmat-Nya yang wajib, sebab rahmat ini wajib dilimpahkan kepada orang-orang tertentu yang mencintai-Nya dengan penuh kesungguhan, yakni orang-orang mukmin dan muttaqin yang saleh, ber-amar makruf nahi mungkar dan sungguh-sungguh melakukan mujahadah, sehingga akhirnya musyahadah

222

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

dan mukasyafah. Gagasan ini diekspresikan dengan jelas oleh Syekh Hamzah Fansuri di dalam syair didaktisnya : Tuhan kita yang bernama qadim Pada sekalian makluq terlalu karim Tandanya qadir lagi hakim Menjadikan alam dari Al-rahman Al-Rahim Rahman itulah yang bernama sifat Tiada bercerai dengan kunhi zat Di sana perhimpunan sekalian ibarat Itulah hakikat yang bernama ma’lumat Rahman itulah yang bernama wujud Keadaan tuhan yang sedia ma’bud Kenyataan Islam, Nasranidan Yahud Dari rahman itulah sekalian maujud Ma’bud itulah yang terlalu byan Pada kedua alam kull qawm huwa fisy’n Ayat ini9 daripada surah Al-Rahman Sekalian alam disana hairan Ma’bud itulah yang bernama haqiq Sekalian alam di dalamnya ghariq Olehnya itu sekalian fariq Pada kunhi-Nya tiada beroleh tariq Haqiqat itu terlalu ’iyan Pada rupa kita sekalian insan Ayna-ma tuwallu suatu burhan Fa tsmma wajhu Allah pada sekalian maqan Insan terlalu ’ali Hakikat rahmat yang mahabaqi Ahsanu taqwimi itu rabbani Akan kenyataan tuhan yang bernama subhani Subhani terlalu ’ajib Dari habl al-warid pun ia qarib Indah sekali qadi dan khatib Demikian hampir tiada bernasib

Aceh Serambi Mekkah

223

Aho segala kita yang ’asyiqi Ingat-ingat akan ma’nn insani Jika sunguh engkau bangsa ruhani Jadikan dirimu rupa sultani Kenal dirimu hai anak ’alim Supaya engkau senantiasa salim Dengan dirimu yogya kau qa’im Itulah hakikat salat dan sa’im Dirimu itu bernama khalil Tiada bercerai dengan Rabb Al-Jalil Jika dapat ma‘na dirimu akan dalil Tiada berguna madzhab sabil Kullu man‘alay-ha fanin ayat min Rabbihi Menyatakan insan irji‘i illa asliki Akan insan yang beroleh tawfiqihi Supaya karam di dalam sirru sirrihi Situlah wujud sekalian fanum Tingggallah engkau darpada ma wa‘l-banun Engkaulah ‘asyiq terlalu junun Inna li‘Llahi wa inna ilayhi raaji‘un Hamzah gharib unggas quddsi Akan rumahnya Bait Al-ma‘muri Kursinya sekalian kapuri Min al-asjari di negeri fansuri (Cod. Or. 2016) Dikatakan bahwa rahman merupakan perhimpunan sekalian ibarat, artinya hakikat dari sekalian ma‘lumat (yang diketahui) yakni segala ciptaan-Nya. Tanpa rahman-Nya tak mungkin segala sesuatu itu memperoleh kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan bahwa wujud rahmanNya merupakan hakikat segala barang ciptaan. Menurut Ibn‘Arabi, sebelum bermulanya penciptaan, di dalam kesendirian-Nya, Tuhan merenung dan melihat (syuhud) ke dalam DiriNya dan tampaklah pengetahuan-Nya yang tak terhinggga dan masih merupakan pembendaharaan yang tersembunyi (kanz Makhfi). Didorong oleh cinta-Nya, terbitlah kehendak-Nya untuk dikenal, maka Dia mencipta dan dengan demikian Dia dikenal. Ciptaan-Nya adalah pemakluman (ma‘lumat) dari pengetahuan-Nya, yang melalui mereka Dia dikenal. Al-Jili mengatakan rahman mencakup tujuh Sifat Tuhan yang utama, yakni Hayy (Hidup), ‘Ilm (Pengetahuan), Iradat (Kehendak), Qudrat (Kuasa), Sami‘ (Mendengar), Basir (Melihat), dan Kalam (Kata). Di dalam ikat-ikatan yang lain, Syekh Hamzah Fansuri juga mengatakan hal

224

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

yang serupa: “Aho segala yang menyembah ‘kan nama/Yogya diketahui Yang Pertama/Kerana Tuhan kita yang Sedia Lama/Dengan ketujuh Sifat bersama-sama/Tuhan kita yang Empunya Dzat/Awwalnya Hayy pertama bilang Sifat/Keduanya ‘Ilmu dan Rupa Ma‘lumat/Ketiga Murid ‘kan sekalian Iradat/ / Keempat Qadir dengan Qudrat-Nya tamam/Kelimanya Sifat bernama Kalam/Keenamnya sami‘ dengan adanya dawam/Ketujuhnya Basir akan halal dan haram”147. Ketujuh sifat Tuhan ini menurut Hamzah qadim dan merupakan isti‘dad-Nya yang sempurna ‘Alim. Sifat Tuhan inilah yang dikandung di dalam bacaan Bismi Allah Al-Rahman Al-Rahim. Telah dikatakan bahwa rahma, yakni rahman dan rahim, sinonim dengan Cinta, dan Cinta sinonim dengan Wujud. Ini ditegaskan oleh penyair: Rahman itulah yang bernama Wujud Keadaan Tuhan yang sedia ma‘bud Kenyataan Islam Nasrani dan Yahud Dari rahman itulah sekalian maujud Didalam bait ke-5 ikat-ikatan tersebut Syekh Hamzah Fansuri mengutip ayat al-Qur‘an, “Kul yawm huwa fi sya‘n (QS 55:29), maksudnya,”setiap hari Dia berada dalam banyak urusan”. Dengan pernyataan ini, kita mengerti apabila penyair memandang bahwa Wujud Tuhan tak pernah bercerai dari alam semesta dan sekalian ciptaan-Nya. Di dalam bait ke-6 penyair menyebut Tuhan sebagai haqiq, perkataan yang berasal dari al-Qur‘an surat Al-A‘raf ayat 105. Di dalam ayat ini diceritakan bahwa nabi Musa a.s. mengumumkan diri sebagai utusan Allah, dan menyatakan bahwa beliau tidak mengatakan sesuatu yang sia-sia kecuali kata-kata yang benar (haqiq) tentang Tuhan. Karena Tuhan adalah yang benar, maka Dialah yang patut dipuja. Di dalam bait yang sama dikatakan bahwa sekalian alam karam atau tercelup (ghariq) oleh keberadaan Yang Benar, sehingga semua itu tidak ada yang bebas dari Wujud aktual-Nya. Ketransendenan (tanzih) yang satu dengan demikian tidak merintangi partisipasi keberadaan-Nya (tasybih) di dalam ‘yang banyak‘. Dua baris pertama bait ke-6 mengemukakan arti yang dikandung oleh istilah kesatuan transenden wujud (wahdat al-wujud). Di dalam dua baris terakhir dinyatakan bahwa mereka yang memisahkan diri (fariq) dari Yang Benar, tidak beroleh jalan (tariq) pulang kepada Wujud Rahmat-Nya yang asal, yakni Cinta-Nya. Mengenai penampakan (tajali) Yang Satu dinyatakan pada bait ke-7: Haqiqat itu terlalu ‘iyan Pada rupa kita sekalian insan Ayna-ma tuwallu suatu burhan Fa tsamma wajhu‘Llah pada sekalian makan Penyair mengutip al-Qur‘an surat Al-Baqarah ayat 115 “ayna-ma tuwallu fa tsamma wajh allah” (Ke mana pun engkau memandang akan tampak wajah Tuhan ). Ayat ini sering dikutip oleh para Sufi di dalam puisi-puisi mereka, dan mereka menerjemahkan wajh sebagai 147

Lihat risalah Syekh Hamzah Fansuri Asrar Al-‘Arifin di dalam buku J. Doorenbos, De Geschriften van Hamzah Pansoeri, Leiden: NV v.h. Batteljee & Terpstra, 1933, hal. 120-175

Aceh Serambi Mekkah

225

wujud, yaitu Sifat-sifat Tuhan. Imam al-Ghazali, berdasarkan perumpamaan bahwa Tuhan adalah “Cahaya di atas cahaya‘ di dalam Surah al-Nur, menerjemahkan perkataan wajah Allah sebagai Cahaya tuhan. Wajah-wajah lain yang ada di alam ini semuanya merupakan cahaya-cahaya yang beroleh pinjaman dari-Nya dan memberi isyarat akan Wajah-Nya. Sesunggguhnya, menurut Imam al-Ghazali, yang hakiki hanyalah Cahaya-Nya saja: Kesimpulannya, tak ada cahaya kecuali Dia. Segala cahaya adalah cahaya dari arah yang datang dari-Nya dan tidak sekali-kali dari zatnya sendiri. Wajah segalanya tertuju dan menunjukan diri mereka kepada-Nya. Seperti firman Allah, “ke mana pun kamu memandang di sana tampak wajah Allah.” (QS 2:115). Dengan demikian, la ilaha illa huwa (tidak ada ilah kecuali Dia)148.

Karena Wajah Tuham merupakan asal dari segala wajah yang ada di alam semesta maka dikatakan oleh penyair bahwa “haqiqat Tuhan terlalu nyata (`iyan) pada rupa sekalian insan”. Baris selanjutnya “pada rupa sekalian insan”, di dalamnya ada hakikat Tuhan itu dikatakan terlalu nyata, mengingatkan kita kepada hadist yang menyatakan , “Allah mencipta Adam menyerupai surah (rupa) al-Rahman”. Kata surah memang bermakna `rupa`, `gambar`, `citra` atau wujud zahir dari pengetahuan atau kebenaran kreatif-Nya yang hendak dimaklumkan. Menurut Imam al-Ghazali, ungkapan di dalam hadist ini dapat diberi makna bahwa di dalam rupa insan kita jumpai tuangan Sifat Rahmat Ilahiyah. Sebab mendapatkan rahmat yang demikian, maka Adam diberi rupa yang di dalamnya segala sesuatu yang ada di alam ini terangkum, setelah diringkas dan dipadatkan, sehingga seakan-akan Adam adalah rekaman alam yang telah diringkas149. Itulah sebabnya, manusia disebut alam shagir atau microcosmos sedangkan alam semesta dipanggil alam kabir atau macrocosmos. Berdasarkan ini dapat dipahami apabila di dalam bait ke-9 dikatakan: Insan itu terlalu ‘ali Haqiqat Rahman yang mahabaqi Ahsanu taqwini itu rabbani Akan kenyataan Tuhan yang bernama subhani (L, II, 9)

Perkataan Ahsani taqwimi (kejadian paling baik) diambil dari al-Qur‘an surat At-Tin ayat 4, “Laqad khalaqa‘I-insana fi ahsani taqwimi, tsuma radadnahu asfala safilin” (Sesungguhnya Kami cipta manusia di dalam keadaan paling rendah). Karena merupakan kejadian yang paling baik, manusia pantas dipanggil makhluk yang berkedudukan tinggi (ali) di dalam hierarki penciptaan. Ketinggian martabatnya itu memperlihatkan besarnya Cinta Tuhan kepada manusia. Perkataan “subhani” berasal dari ucapan mistis Bayazid yang bermakna “Terpujilah Aku”. Penyair juga mengutip ayat al-Qur‘an yang menyatakan bahwa Tuhan lebih hampir (qaribi) kepada manusia berbanding urat leher manusia (halb al-warid). Kehampiran Tuhan itu bukan 148

Lihat Imam al-Ghazali, Miyskat Cahaya-cahaya, terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1985),

149

Ibid ..., hal. 35

hal. 47

226

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

kehampiran di dalam ruang dan masa, melainkan kehampiran di dalam arti hierarki spiritual ciptaan. Di dalam Zinat Al-Wahidin dinyatakan : Karena ini maka kata Ahlul-Suluk (ma‘na) hampir kepada Allah Ta‘ala itu Anbiya‘ dan awliya‘ dan Shalihin dan Musyrikin dan Kafirin dan Asiyyin sama di kita Ia hampir. Kepada sekalian makhluk sama (Ia hampir), tetapi fardu hampir-Nya kepada Ahlul-Suluk dan ’Abidin terlebih; yakni barang siapa berma’rifat dan banyak berbuat ’ibadat itu hampir hukumnya; barang siapa tiada berma’rifat dan berbuat maksiat ia itu jauh, bukan hampir ...

Di dalam bait ke-13 Syekh mengutip ayat, Kullu man ’alay-ha fanun (QS 89:28) yang artinya, “segala sesuatu akan binasa (kecuali wajah-Nya)”, dan Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un “ yang artinya “dari Tuhan kembali jua kepada Tuhannya”. Tetapi insan yang memperoleh taufik-Nya berupaya karam (fana) di dalam “sirru sirri” (rahasia-Nya yang paling dalam), sebab hanya jalan itulah yang dapat membawa ia kembali ke asalnya (irji’i ila asliki). Ikatanikatan ini ditutup dengan bait yang indah: Hamzah gharib unggas quddusi Akan rumahnya Bait Al-Ma’muri Kursinya sekalian kapuri Min al-asyjari di negeri Fansuri

Di sini Syekh Hamzah Fansuri mengumpamakan dirinya sebagai seorang yang asing (gharib) di dunia ini, kata-kata yang memiliki pengertian sama dengan “anak dagang”, yang berarti seseorang yang tinggal sementara di suatu tempat (maksudnya dunia) untuk mengumpulkan bekal yang akan dibawa pulang nanti ke kampung halamannya (akhirat). Di dalam baris yang sama penyair mengumpamakan dirinya sebagai burung suci (unggas quddusi), simbol yang digunakan oleh banyak Sufi di dalam menggambarkan perjalanan ruh manusia mencapai hakikat dirinya. Bait Al-Ma’muri (rumah yang makmur) adalah sebutan yang diberikan oleh al-Qur’an terhadap Ka’bah (QS 52:4), dan beberapa ahli tafsir mengartikannya sebagai tempat di langit ke tujuh yang setiap hari dikunjungi 70.000 Malaikat. Bait penutup ikat-ikatan ini dapat dikaitkan dengan bait penutup ikat-ikatan syair Syekh yang lain: Hamzah Fansuri di dalam Makkah Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah Di Barus ke Qudus terlalu payah Akhirnya dijumpa di dalam rumah (Cod. Or. 2016)

Terdapat citra simbolik yang berpadanan makna di antara dua syair penutup ini, yaitu Bait al-Ma’muri, Bait al-Ka’bah dan “rumah”, kemudian quddusi pada ungkapan “unggas quddusi” dan Qudus. Citra Bait al-Ma’muri kecuali merujuk kepada Ka’bah sudah pasti yang dimaksud adalah pusat kesadaran terdalam manusia, tempat penyair musyahadah. Begitu pula citra simbolik “rumah” yang dimaksud adalah rumah diri, yakni kalbu. Di dalam kovensi puisi sufi pula, sebagaimana diperkenalkan oleh Khwaja Abdullah Ansari pada abad ke-11, citra simbolik Bait al-Ka’bah tidak hanya dimaksudkan sebagai rumah Tuhan yang didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. di Makkah, melainkan juga Ka’bah yang ada di dalam diri manusia. Qudus yang dimaksud Aceh Serambi Mekkah

227

penyair di dalam sajak tersebut ialah Yerussalem, tempat awal Nabi Muhammmad SAW. memulai mikrajnya ke langit lapis tujuh untuk menjumpai Tuhannya. Di dalam mikrajnya itulah, Nabi mendapat perintah shalat lima waktu. Sebagai tiang syariat, ternyata perintah shalat diperoleh melalui pengalaman makrifat Nabi, oleh karena itu syariat sebenarnya merupakan buah daripada makrifat, dan syariat pula adalah tangga naik (mikraj) menuju makrifat. Itulah sebabnya hadits mengatakan bahwa shalat adalah mikrajnya orang Islam. 6.2 Syekh Syamsuddin as-Sumatrani Nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Sumatrani, murid dan khalifah utama dari Syekh Hamzah Fansuri. Seperti gurunya dia juga menguasai bahasa Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Urdu. Ulama ini mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang ilmu, menjadi Kadi Malikul Adil dalam masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Selain sebagai ulama, dia juga seorang politikus dan negarawan yang besar bahkan seorang pengarang yang berkaliber internasional. Syekh telah mengarang 16 kitab yang meliputi berbagai bidang ilmu, diantaranya yang ditulis dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab. Syamsuddin as-Sumatrani di lahirkan di Samudra-Pasai. Tahun kelahirannya tidak jelas. Syamsuddin as-Samatrani adalah salah seorang murid dan pendukung terkenal dari Hamzah Fansuri. Wintedt mengatakan bahwa Syamsuddin as- Sumatrani adalah murid juga dari ulama dari Jawa, Pangeran Bonang150. Nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin bin Abdullah asSamatrani. Meninggal pada 12 Rajab 1039 H (1630 M). Ia seorang pembesar dalam istana Kerajaan Aceh, menduduki posisi penasehat yang sangat dihormati sejak dari Sultan al-Mukammal sampai pada saat wafatnya pada zaman Sultan Iskandar Muda. Perannya sangat besar bagi kerajaan Aceh, hal ini dikatakan juga oleh orang-orang barat yang mengunjungi Aceh pada waktu itu, yaitu John Davis dan James Lancaster. Hasil karyanya berupa buku-buku banyak yang musnah juga akibat tindakan pembakaran dalam rangka pembasmian ajaran-ajaran pada masa Sultan Iskandar Thani. Di antara bukubukunya yang naskahnya masih ada sampai sekarang dikenal dengan judul “Miratul Mukminin” yang bertahun 1601. Buku tersebut dijumpai di Sunda dan Malaysia, sedangkan di Aceh sendiri tidak dijumpai lagi. Dalam buku ini jelas sekali bahwa aliran sufi yang dianutnya, dalam garis besarnya, sama dengan gurunya Hamzah Fansuri. Winstedt mengatakan: “His mysticism, standing midway between Indian forms, Islam of the speculative rather than the emotional type and centres round doctrine of the unity of existence and the Perpect Man”151. Bukunya yang dituliskan dalam bahasa Arab antara lain: Djauhar al-Haqaiq Risalatun Bajjin Mulahazat Al-Muwahidina alal Mulhidifi Dizkrillah, kitab Al-Harakah dan Nurul Daqaiq. Karyanya yang lain yang dapat dicatat oleh para penyelidik dan para ahli adalah Miiratul imam, Zikaru Dairah Qausani ad-Adna, Miratul Qulub, Syarah Miratul Qulub, kitab Tajzim,

150 151

228

R,O. winstedt, Op.cit, hal. 118. Ibid., hal. 119.

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Syir‘ul Arifin, Kitab Usulut Tahqiq, Miratul Haqiqah, Kitabul Martabah, Risaratul Wahhab, Miratul Muhaqqiqin, Syarah Ruba‘I Hamzah Fansuri dan Tanbihullah152. Melihat hasil karyanya berupa buku-buku ilmu pengetahuan, kesibukannya dalam pemerintahan sebagai penasehat sultan dan pemimpin dari ulama-ulama seluruh Aceh dan memimpin sidang-sidang majelis ulama di balai Gadeng, dijelaskan bahwa ia ialah seorang yang luar biasa kepada negaranya. Kemegahan kerajaan Aceh pada masa Iskandar Muda pada hakikatnya telah turut ditentukan olehnya. Lawannya di kemudian hari terutama lawan yang menentang dengan gigih faham-faham yang dianutnya pun, yaitu Syekh Nuruddin ar-Raniry, masih juga mengakui kebesarannya. Dalam bukunya yang berjudul “Bustanussalatin” Nuruddin arRaniry menulis: Syahdan pada masa itulah wafat Syekh Syamsuddin Ibn Abdullah As Samathrani pada malam Senin dua belas hari bulan Radjab pada hijrah 1039 tahun. Adalah Syekh itu alim pada segala ilmu dan ialah yang masyhur pengetahuannya pada ilmu tasawuf dan beberapa kitab yang ditaklifkannya153.

Meskipun beliau telah lama meninggal, berbilang abad dan tahun telah berlalu, kenangkenangan terhadapnya tetap masih hidup. Studi tentang pribadinya, ajaran, dan aliran yang dianutnya masih dilakukan oleh para ahli sampai sekarang. Beberapa buku yang membicarakan tentang pribadinya ataupun fahamnya perlulah kiranya kita catat disini, diantaranya ialah: Muhammadan Mysticism in Sumatera oleh Raymond le Roy Archer, Malays Sufism as Illustrated in Anonymouse Collection of Seventeenth Century Tracts oleh Dr. A.H. John dan Syamsu‘din van Pasai, Bijdrage tot de Kennis van der Semateraan Mystiek oleh C.A,O, van Nieuwenhuise dan lain-lain sebagainya. 6.3 Syekh Nuruddin Ar-Raniry Syekh Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama, pengarang, pujangga, ahli sufi, ahli hukum, politikus, dan negarawan ternama. Ia menjadi Kadi Malikul Adil pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Safiatuddin. Syekh menguasai dengan baik serta mampu mengarang dalam bahasa-bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Melayu. Sampai saat ini, diketahui Syekh telah menulis 26 kitab yang meliputi berbagai bidang kajian ilmu pengetahuan. Ia dilahirkan di Gujarat dari keturunan campuran. Ibunya berasal dari Malaya dan ayahnya berasal dari turunan Arab Hadramaut. Tempat kediamannya di Gujarat didiami oleh orangorang asing seperti Persi, Arab, Birma, Malayu, Cina, dan Siam. Menurut Ismail Yakub seorang pengarang Aceh, Raniry itu ialah nama sebuah dusun di Aceh Rani, karena itu pengarang tersebut menyakinkan bahwa ulama ini berasal dari Aceh. Ia anak Aceh asli. Sedangkan Prof. Dr. G.W.J. Drewes menyatakan bahwa ar-Raniry berasal dari Ranir yang teletak di Gujarat, India, sekarang daerah tersebut disebut Rander154. Nama lengkapnya adalah Syekh Nuruddin ibn 152

Zuber Usman, Kesusteraan Lama Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1963), hal. 121-122 G.K. Nieman (Ed), Op. cit., hal. 126. 154 Tamar Djaja “Syekh Nuruddin Ar-Raniry”, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No. 31, Februari 1971), hal. 53. 153

Aceh Serambi Mekkah

229

Hasany ibn Muhammad ar-Raniry. Ia pernah belajar di Hadramaut dan pada tahun 1621 ia berada di Mekkah dan di sanalah ia menerima pendidikan selengkapnya. Dari buku-buku hasil karyanya sendiri, baik buku-buku agama maupun ilmu pengetahuan, ternyata ia bukan saja seorang ulama besar, melainkan juga ahli pikir dan sejarawan yang terkenal. Pengarang-pengarang Barat, yang menilai buku-bukunya, mengakui keahliannya. Banyak penyelidikan telah dilakukan atas dirinya, pahamnya, dan hasil karyanya. Yang terkenal ialah karya G.W.J . Drewes dengan judul De Herkomst van Nuruddin ar-Raniry155. Sarjana lain yang turut menulis tentang ar-Raniry antara lain P. Voorhoeve, Ph.S. van Ronkel, Neuwenhuijze, H. Kratemer, Snough Hurgronye. Dr. Tujimah malahan telah mencapai gelar kesarjanaan dengan thesisnya yang berjudul Nuruddin ar-Raniry156. Pada tahun 1628, yaitu sembilan tahun sebelum tiba di Aceh, Syekh Raniry menyelesaikan karyanya yang pertama berjudul Siratul Mustaqim (Jalan yang lurus), sebuah uraian tentang pokok-pokok agama Islam. Nuruddin ar-Raniry telah menyalin pula sebuah kitab pelajaran agama, Sarah al-Aqaid an-Nafsiah, buah tangan pengarang terkenal, Saaduddin Mas‘ud alTaftazani yang pernah diminta oleh raja Timurlenk supaya tinggal di kota Sabakand. Kitab salinan itu dinamainya Durrat al-Faraid bi Syarhil Aqaid dan, menurut keterangan R.O. Winstedt, mungkin kitab ini sama dengan naskah yang tersimpan di Leiden yang berjudul Kitab Nabi, yang ternyata di tulis dalam tahun 1635 dan rupa-rupanya disalin dari naskah berbahasa Arab yang bernama Durrat Al-Faraid bi Syarhil Aqaid. Isinya ialah tentang puasa, haji, zikir, soal minum anggur, riba, dengki, soal meratapi orang yang meninggal, dan masalah perang suji157. Ia tiba di Aceh pada 6 Muharram 1047 H atau 31 Mei 1637, dan beberapa bulan kemudian yaitu pada tanggal 17 Syawal tahun itu juga atas permintaan Sultan Iskandar Thani ia mulai menyusun karyanya yang termasyhur berjudul Bustanussalatin (kebun Raja-raja)158. Isi buku tersebut pada pasal yang pertama hanya mengenai sejarah terjadinya dunia, bumi, dan langit menurut kepercayaan Islam. Pasal yang kedua berisi riwayat nabi-nabi mulai dari Nabi Adam sampai Muhammad, dari zaman raja-raja Persia sampai kepada zaman Umar bin Khattab, dari zaman Kaisar Zidantio sampai kepada masa Muhammad, dari zaman raja-raja Mesir sampai kepada zaman Iskandar Zulkarnain, dari zaman raja-raja Arab sebelum Islam sampai kepada zaman Nejed, Hijaz, dan zaman Nabi Muhammad, pemerintahan zaman Nabi Muhammad sampai kepada khulafaurrasyidin yang empat jumlahnya, sejarah bangsa Arab di bawah pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasyiah hingga riwayat pangeran-pangeran Islam di Delhi, sejarah rajaraja Malaka, Pahang, dan raja-raja Aceh dalam abad ke-16 dan 17. Pada akhir pasal kedua mulai ia membicarakan pemerintahan Aceh sesudah meninggalnya Iskandar Muda sampai dengan wafatnya Iskandar Thani pada tahun 1641. Dalam naskah yang masih ada hingga sekarang itu sudah diselipkan pula sebuah peringatan kepada Inajat Syah yang memerintah Aceh dari tahun 1678 sampai tahun 1688. Pasal ketiga menceritakan tentang raja-raja yang adil, pegawai yang baik dan jujur. Pasal keempat tentang raja-raja yang shaleh dan orang-orang yang keramat.

155

R.O. Winstedt, op. cit, hal. 256. Tamar Djaja, lot. Cit. 157 R.O. Winstedt, op. cit, hal. 120. 158 R.O. Winsteds, “Bustanussalatin its date and author, J.M.B.R.A.S., No. 81, March, 1920, hal. 38. 156

230

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Dalam pasal kelima tentang raja-raja yang zalim dan pegawai-pegawai yang jahat. Dalam pasal keenam tentang orang-orang yang bersifat mulia dan tentang pahlawan-pahlawan dalam perang Badar dan Uhud serta perperangan yang lain yang disertai oleh Nabi Muhammad. Dalam pasal ketujuh atau yang terakhir, diterangkanya tentang kelebihan akal dan kemuliaan segala macam ilmu pengetahuan termasuk ilmu filsafat dan ilmu obat-obatan. Atas permintaan Sultan Iskandar Thani juga Nuruddin ar-Raniry memulai sebuah polemik tentang roh, terutama sesudah roh keluar dari tubuh. Polemik ini disusun dalam sebuah buku yang berjudul Asrar al-Insan Ma‘rifaturruhi war Rahman (gunanya manusia mengetahui Roh dan Tuhan). Kitab ini merupakan suatu penyataan terhadap pendapat Hamzah Fansuri. Pada tahun 1642, ditulisnya sebuah buku yang sangat terkenal, yaitu Akbiratur Akhirah fi Awalil Qiyamah (berita-berita akhirat dalam peristiwa kiamat). Isinya rupanya diambil dari kitab Daqaiq wal Haqaiq (saat yang penting dan hakikat-hakikatnya) dan dari kitab Daratul Ma‘firah min Kasfilau wamil Akhirah (mutiara yang berharga dalam membukakan rahasia akhirat) karangan Imam al-Ghazali dan dari kitab Ajaibul Malakis Samawat (keajaiban kerajaan langit) karangan Syekh ibn Jakfar Muhammad bin Abdillah dan dari kitab al Bustan (taman) karangan Abdulais159. Buah pikiranya selalu terpengaruh oleh faham-faham tasawuf (sufi) terutama faham-faham tasawuf dari aliran yang dinamakan wahdatul sujud, sebuah pikiran tasawuf yang bertentangan sangat dengan aliran wahdatul wujud yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Assamathrani. Di sini pulalah letak pokok pangkal pertentangan antara ulama-ulama tersebut diatas. Ar-Raniry menganggap usaha kedua ulama itu sangat bertentangan dengan Islam sejati, dan karena itu ia menganjurkan kepada Sultan Iskandar Thani supaya buku-buku mereka dibakar dan pengikut-pengikutnya dihukum. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini dinukilkan kembali pokokpokok pikiran kedua aliran tersebut, terutama faham kedua pihak ulama Aceh itu. Syamsuddin berfaham dan mengajarkan: “bahwa Allah itu roh dan wujud kita ini adalah roh dan wujud Tuhan”. Hamzah Fansuri berpendapat dan mengajarkan: “bahwa asal roh itu qadim yakni roh Muhammad SAW. Karena ia dijadikan Allah Ta`ala daripada nur zat-Nya yang paling tersebut”. Man arafa nafsahu, fakad arafa rabbahu, barang siapa yang mengenal dirinya berarti dia mengenal Tuhannya, oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan. Ar-Raniry mengartikan lain, yaitu siapa yang mengenal dirinya sebagai makhluk maka ia mengenal Tuhannya sebagai yang baqa160. Maka, dalam tahun 1642 ditulisnya pula suatu uraian tentang faham sufi yang dinamainya Djawahirul Ulumfi Kasjfil Maklun (pokok-pokok pengetahuan untuk membukakan yang maklun). Bukunya yang lain adalah Fathul mu bin alal Mulhidi (keterangan yang nyata bagi orang yang kafir), Hudjatussidiq li daf‘il Zinzik (dalil yang benar untuk menolak keterangan orang yang tiada bertuhan) dan Lataiful Asrar (kehalusan yang tersembunyi atau rahasia-rahasia yang halus). Dalam bukunya Tabjalu fi Makrifatil Adyan (kenyataan untuk mengenali agama), ditulis dalam tahun 1664, dirangkainya ajaran suluk syamsuddin yang dipandangnya sesat.

159

R.O. Winstedt, “A. History of Classical Malay literature”, J.M.B.R.A.S., Vol. XXXI Part 3, 1958. hal. 120-121. 160 Tamar Djaja, op. cit., hal. 54.

Aceh Serambi Mekkah

231

Uraiannya lagi yang lebih berani adalah Hilluzil, merupakan sari dari sebuah karyanya yang lebih luas dengan judul Annadatul fi Dakwatidilli ma‘a Sabihi (penolakan atas seruan orang-orang yang sesat kawan-kawannya)161. Buku-bukunya yang mengenai masyarakat ialah Asrarul Insan (rahasia manusia) dan alBustan (taman). Dari buku-bukunya yang terakhir ini dapat dilihat betapa besar perhatiannya kepada masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Aceh khususnya, serta betapa pula luas pengetahuan yang dimilikinya. Winstedt mengatakan bahwa Nuruddin ar-Raniry adalah seorang terpelajar yang dalam dan luas pengetahuannya, bahkan lebih dari itu, dia adalah seorang ahli fikir pada zaman itu162. Dia mempelajari tasawuf Ghazali, Fahkruddin Syihabuddin alSyukrawardi, Abu Thaleb al-Makki, Abdul Kasim, al-Hujairi, ibnu ‘Arabi dan Abdul Karim alJailani. Menurut pendapat Nuruddin, roh itu bukanlah bersifat qadim tetapi baharu sebagai makhluk yang diciptakan. Dia menolak adanya persamaan sifat-sifat manusia dan alam dengan sifat-sifat Tuhan. Dibandingkannya pemikiran tersebut dengan panthaisme Hamzah Fansuri dengan teori Vedanta dan teori Budha Mahayana di Tibet163. Menurut Dr. Tudjima, karangan-karangan ar-Raniry berjumlah 23 buah, melulu mengenai Islam, tentang ibadat, hukum, tauhid, dan lain sebagainya. Sebagai seorang penulis, ar-Raniry begitu tekunnya, sehingga ada bukunya yang dikarang sampai 10 tahun lamanya baru selesai164. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal tahun 1641, ia kembali ke Raniri dengan menulis buku Jawahirul Ulum fi Kasfil Maklun seperti tersebut di atas. Kemudian, konon ia pernah kembali ke Aceh di zaman Sultanah Syafiatuddin, terbukti dengan karanganya yang berjudul Atabjanul fi Makrifati Adyan yang siap dalam tahun 1664. Sesudah itu, ia kembali lagi ke Raniri dan tidak pernah kembali lagi ke Aceh. Demikianlah, ar-Raniry seorang ulama dan pejuang Islam yang besar, seorang penegak tauhid yang hakiki dan telah turut memberi andil yang besar bagi kemajuaan agama Islam di Aceh, sehingga kerajaan ini mendapat julukan “serambi Mekkah” yang mashur itu. Ia berpulang ke rahmatullah di Ranir, bumi tempat pertama dia dilahirkan pada hari Jum`at 22 Dzulhijjah 1068, bertepatan dengan tanggal 21 September 1658. Sejarah Hidup Penulisan tentang sejarah hidup ulama besar ini telah banyak dilakukan orang, terutama oleh para sarjana bangsa Belanda, antara lain P. Voohoeve165. G.W.J. Drewes166, C.A.O. Van Nieuwenhuijze167, dan lain-lain. Dari kalangan para ahli bangsa Indonesia dapat saya sebutkan R.H. Djajadiningrat168 dan Tujimah169. Namun begitu, sejarah hidupnya yang jelas dan lengkap 161

Ibid., hal. 121. Loc. Cit. 163 Ibid, hal. 122. 164 Tamara Djaja, op. cit. hal. 54. 165 P. Voorhoeve, “Van en Over Nuruddin Ar-Raniry”, BKI 107, 1951; “Korte Mededelingen”, BKI 115, 1959; Twee Maleische Geschriften van Nuruddin Ar-Raniry, (Leiden: E.J. Brill, 1955). 166 G.W.J. Drewes, “De Herkomst van Nuruddin Ar-Raniry”, BKI 111, 1955. 167 C.A.O.Van Nieuwenhuize, “Nur al-Din Ar-Raniry als Bestrijder der Wujudija”, BKI 104, 1948. 168 R.H Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Malaische Werken Vervatte Gegevens van het Sultanaat van Atjeh”, BKI, 1911. 169 Tujimah (ed), Asraru‘I-Insan fi Ma‘rifati‘-Ruh wa‘l-Rahman, (Jakarta: 1961). 162

232

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

sampai sekarang belum lagi diketahui, terutama tahun kelahirannya, pendidikan dan guru-gurunya, serta sebab-sebab ia datang ke Aceh. Hal ini disebabkan oleh karena ia sendiri tidak meninggalkan sejarah hidupnya, baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis oleh murid-muridnya. Selain itu, juga karena ia sendiri bermukim hanya beberapa tahun saja di kawasan ini, sehingga peranannya selama itu tidak banyak dicatat dan diperhatikan orang. Dari kitab-kitab karangannya, kita hanya mengetahui nama dan peranannya yang berhubungan dengan usahanya menyanggah paham Wujudiyyah yang diajar oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani di daerah Aceh. Lain dari itu, kita tidak banyak mengetahui. Sarjana Belanda, P. Voorhoeve adalah salah seorang yang sangat berjasa dalam meneliti dan menulis sejarah hidup Syekh Nuruddin ar-Raniry. Untuk sementara ini, penulisannya itu dianggap paling lengkap. Nama lengkapnya, ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisyi al-Syafii. Ia adalah sarjana India keturunan Arab, dilahirkan di Ranir (Rander) yang terletak dekat Surat di Gujarat. Di tempat ini pula ia mula-mula belajar ilmu agama. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya ke Tarim, Arab Selatan, yang merupakan pusat studi ilmu agama Islam pada waktu itu. Pada tahun 1030 H (1621 M), ia menuju ke Mekah dan Madinah untuk melakukan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi. Setelah itu ia pulang kembali ke India. Nuruddin ar-Raniry adalah seorang syekh dalam Tarikat Rifa‘iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rafa’iy dan meninggal pada tahun 578 H (1182 M). Ia diterima masuk dalam tarikat ini melalui seorang guru tarikat keturunan Arab Hadramaut kelahiran India, yaitu Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban dari Tarim. Sebelum itu Syekh Ba Syaiban tersebut telah pergi ke negeri Arab untuk belajar ilmu agama. Setelah selesai studinya,ia pulang kembali ke India untuk mengajar agama. Melalui Syekh Muhammad al-Aidarus, Ba Syaiban diterima masuk kedalam Tarikat Rifa’iyyah dan kemudian dia menggantikan Syekh-nya dalam menerima kedatangan murid-murid baru yang ingin masuk ke dalam tarikat tersebut. Syekh Muhammad al-Aidarus tersebut (kakek ruhani Nuruddin) lahir di Tarim pada tahun 1561 Masehi, dan dalam usia yang masih muda. (19 tahun), ia merantau ke Gujarat dan kemudian ia menggantikan kakeknya sebagai guru agama dan Syekh Tarikat Rifa’iyyah di daerah itu. Yang lebih terkenal dalam keluarga ini adalah pamannya, Abdul Kadir al-Aidarus (men.1628), karena banyak menulis kitabkitab dalam ilmu agama dan mistik. Kota Ranir adalah sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh berbagai bangsa pada abad ke-16 Masehi, antara lain bangsa Mesir, Turki, Arab, Persia, Indonesia, di samping bangsa India sendiri. Dari kota ini, para pedagang berlayar dengan dagangannya menuju pelabuhan-pelabuhan yang terletak di Semenanjung Melayu dan Sumatra. Karena persaingan dagang antara Portugis dengan orang-orang Islam yang mendiami kota pelabuhan ini, ditambah lagi dengan kebencian agama, maka pada tahun 1530, portugis menyerang kota Ranir. Setelah jatuh kota tersebut, kegiatan dagang berpindah ke kota Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat. Seperti saya sebutkan diatas, bahwa pada tahun 1511 Masehi, kota Malaka, yang dulunya merupakan pusat dagang dan kebudayaan Melayu, telah jatuh kedalam kekuasaan Portugis. Maksud Portugis mengalahkan kota ini adalah untuk menghancurkan perdagangan orang-orang Islam di kawasan ini sehingga diharapkan dapat melumpuhkan kekuatan negara-negara Islam di Timur Tengah, sebagai lanjutan dari perang salib. Kejatuhan kota Malaka betul-betul menyulitkan

Aceh Serambi Mekkah

233

kedudukan orang Islam. Banyak pedagang-pedagang Islam yang akhirnya meninggalkan kota mencari tempat atau kota pelabuhan lain bagi kelanjutan perdagangannya. Kebanyakan mereka menyeberangi Selat Malaka pergi pindah ke Aceh. Bersamaan dengan mereka turut juga pindah para ulama dan pujangga. Dalam waktu yang relatif singkat, yaitu kira-kira 50 tahun kemudian, Aceh telah berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik, serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, Aceh bukan saja telah dapat menggantikan Malaka, tetapi juga telah muncul sebagai suatu negara yang kuat lagi berpengaruh pada waktu itu. Karena itu, ke daerah Aceh ini banyak berdatangan orang-orang dari berbagai bangsa: Arab, India, China, Eropa, dan lain-lain. Kecuali para saudagar, juga para sarjana dan ulama datang berkunjung daerah ini, dan di antara mereka adalan paman Syekh Nuruddin sendiri, yaitu Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Amin ar-Raniry yang tinggal di Aceh pada tahun 1588 Masehi. Kira-kira 50 tahun sesudah itu, dan setelah membekali diri dengan pengalaman-pengalaman para ulama yang sebelumnya, Syekh Nuruddin ar-Raniry mengikuti jejak mereka untuk merantau ke Aceh ini. Ia tiba di Aceh pada tanggal 6 Muharram, tahun 1047 H (31 mei 1637 M), yaitu pada zaman Sultan Iskandar Thani. Walaupun bukti-bukti dokumenter/ tertulis tidak ada, akan tetapi dapat diduga bahwa Syekh Nuruddin telah pernah menginjakkan kakinya di bumi Aceh sebelum tahun 1637 Masehi. Hal ini didasarkan pada kemahirannya mempergunakan bahasa Melayu seperti yang dapat kita saksikan pada berbagai kitab karangannya. Kitabnya yang berjudul Al-Shirata ‘I-Mustaqim mulai ditulis pada tahun 1044 Hijjriah (1633), yaitu sebelum ia menetap di Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa ia telah mahir bahasa Melayu sebelum tahun tersebut. Di samping itu, jumlah karangannya yang telah diketahui pada waktu ini ada sebanyak 29 judul. Ini tidak mungkin ditulis semuanya dalam waktu tujuh tahun ia berada di Aceh, karena di samping menulis, ia juga bertugas sebagai mufti kerajaan, penasihat, dan juga sebagai ulama yang selalu memberi kuliah dan berdiskusi dengan pengikut wujudiyyah. Akan tetapi, kedatangannya pada kali pertama nampaknya tidak mendapat sambutan dan penerimaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Karena itu, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana diketahui, pada waktu Iskandar Muda berkuasa di Aceh, ulama yang sangat berpengaruh adalah Syekh Syamsuddin Sumatrani yang bertindak sebagai mufti dengan gelar Syekh Islam. Karena jabatan ini, ia merupakan orang kedua sesudah sultan. Paham atau ajaran wujudiyyah yang dianutnya merupakan ajaran resmi yang direstui sultan. Karena itu, kita dapat mengerti apabila faham atau ajaran baru yang dibawa oleh Syekh Nuruddin tidak mendapat pasaran dalam kerajaan Aceh. Dan barulah setelah Syekh Syamsuddin meninggal dunia, dan tidak lama setelah itu meninggal pula Iskandar Muda, Syekh Nurruddin mendapat peluang untuk datang ke ibu kota kerajaan pada tahun tersebut di atas. Pada waktu Syekh Nurruddin berada di Aceh untuk kedua kalinya (1637 M), yang menjadi sultan adalah menantu Iskandar Muda, yaitu Iskandar Thani. Sultan ini memberi kedudukan yang sangat baik kepada Syekh Nurruddin dalam istana kerajaan Aceh. Karena kepercayaan dan perlindungan sultan, Syekh Nuruddin mendapatkan kesempatan yang baik untuk menyanggah ajaran wujudiyyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumathrani. Dari bukti-bukti yang ada dapat diketahui bahwa Syekh Nuruddin adalah seorang mufti kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Karena jabatan ini, ia sering diminta oleh

234

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang mistik dalam rangka membantah ajaran Wujudiyyah yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Ini jelas dapat dibuktikan dari beberapa pengantar kitab yang ditulisnya. Demikian pula dalam hubungan dengan suatu fatwa yang dikeluarkan untuk menghukum kafir pengikut Wujudiyyah dan membolehkan mereka dibunuh, nampaknya Syekh Nuruddinlah yang mengambil inisiatif untuk mengumpulkan 40 orang ulama besar pada waktu itu170 untuk bersidang guna membahas ajaran Wujudiyyah. Dari sidang majelis ulama ini, keluarlah fatwa tersebut di atas. Selain itu, ada fatwa Syekh Nuruddin dan para ulama Aceh yang memperingatkan orang untuk tidak terpengaruh dengan orang-orang dan ajaran Syi‘ah yang mencaci Mu‘awiyah dan anaknya, Yazid171. Selain sebagai mufti, Syekh Nuruddin juga seorang penulis dan penyanggah wujudiyah. Seringkali ia mengadakan perdebatan dengan pengikut ajaran ini, dan kadang-kadang diskusi majelis itu diadakan di istana di mana sultan sendiri juga menyaksikannya. Dalam perdebatan itu, Syekh Nuruddin telah berkali-kali memperlihatkan kelemahan dan penyimpangan ajaran Wujudiyyah dalam ajaran Islam, serta meminta agar mereka itu bertobat dan kembali kejalan yang benar. Akan tetapi, himbauanya tidak dihiraukan mereka, dan akhirnya mereka dihukum kafir yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman Masjid Raya Baitur-Rahman172. Rupanya pembunuhan kaum Wujudiyyah ini ada kaitannya dengan kegiatan suatu kelompok lain yang mengarah kepada perebutan kekuasaan. Karena itu, Sultan Iskandar Muda Thani bertindak keras dengan membunuh mereka dengan cara yang sangat kejam dan merugikan173. Peristiwa penting ini ada disinggung oleh Nuruddin dalam kitabnya Bustanu‘l-salatin174. Akan tetapi ia tidak sedikit pula menulis dalam isi kitab tersebut tentang pembunuhan yang dilakukan oleh sultan ini akan anak kandung mertuanya, Iskandar Muda. Sudah tentu Nuruddin tidak akan menulis hal-hal yang tidak menyenangkan Iskandar Thani yang telah bertindak sebagai patronnya di Aceh. Akan tetapi hukum kafir yang difatwakan oleh Nuruddin terhadap ajaran pengikut Wujudiyyah dan tindakan Sultan Iskandar Thani membunuh mereka rupanya telah menjadi suatun peristiwa yang menjalar sampai ke negeri Arab. Sarjana Belanda, P.Vooroeve, dalam suatu

170

Nuruddain ar-raniry, al-fathu‘l-mubin ‘ala‘milhidin (naskah), hal 295; selanjutnya disebut : nuruddin ar-Raniry, Al-fathu‘l-mubin. 171 9 fatwa ini sangat dikenal di Aceh pada waktu itu, dan telah dituangkan dalam syair Acehberikut ini: 172 . peristiwa ini dilukiskan oleh Nuruddin sebagai berikut: ‘‘….dan lagi kata mereka itu,: bahwa alam itu Allah dan alam itu Allah. Setelah sudah demikian itu, Maka disuruh raja akan mereka itu membawa taubat dari pada i‘tikad yang kufur itu. Maka enggan mereka itu, tiada ia mau bertaubat dari mpada i‘tikad yang kufur itu. Maka dengan beberap kali disurh raja jua akan merka itu membawa taubat, maka sekali-kali tiada ia mau bertaubat, hingga berperang lah mereka itu dengan pesuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan meraka itu, dan disuhnya himpunkan segala kitab karangan guru mereka itu di tengah medan masjid yang bernama Baitur Rahman maka disuruh oleh raja tunukan kitab itu.“ (Nuruddan ar-Raniry, Al-Fathu‘l-Mubin, hal. 3-4). 173 The travel of peter mundy, vol III, part 2, (London: 1919),hal. 330. Ia tiba di Banda Aceh pada pertengahan febuari 1638, dalam pejalanan pulang ke inggris. 174 Lihat, pada nuruddin ar-Raniry, Bustanu‘l-salatin, hal. 46 .

Aceh Serambi Mekkah

235

tulisannya175 mengatakan bahwa pada tahun 1086 H (1675 M) ada seorang penulis, yang tidak menyebutkan namanya, menulis suatu karangan sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang datang dari kepulauan Melayu. Pertanyaan ini diawali dari suatu laporan tentang kedatangan seorang ulama dari atas angin ke negeri Aceh. Ukama tersebut telah menghukum seorang kafir seorang ahli sufi176 yang menganut Tarikat Wujudiyyah. Di sini ulama tersebut menuntut agar ahli sufi itu bertaubat dari fahamnya yang sesat itu. Akan tetapi, ia menolak dengan alasan bahwa ajarannya benar, hanya ia tidak dimengerti oleh kebanyakan orang, dan karena itu ia tidak mungkin bertaubat. Akan tetapi, alasannya tidak dihiraukan, dan akhirnya Sultan memerintahkan agar ahli sufi itu dibunuh bersama pengikutnya. Kemudian, mereka itu dilemparkan ke dalam api. Mengapa ahli sufi itu dihukum kafir dan dibakar? Pengarang naskah tersebut menjelaskan betapa besar bahayanya menyampaikan sesuatu ajaran kepada orang-orang awam yang tidak mampu memahami. Perkataan ahli sufi tersebut bahwa ajarannya tidak dapat dimengerti orang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu adalah suatu ayat yang sesuai dengan paham lama, hanya saja ia tidak sanggup menjelaskan kepada ulama yang mengkafirkannya itu. Hukuman mati yang dijatuhkan ke atas ahli sufi itu beserta para pengikutnya adalah salah sekali. Selanjutnya, pengarang menjelaskan bahwa semua tuduhan itu didasarkan pada pengertian lahiriyah dari ajaran dan ucapan kaum Wujudiyyah. Sedangkan berpegang pada penafsiran yang seperti itu tidak dibolehkan. Nabi mengajarkan bahwa perkataan seseorang muslim tidak boleh dipandang salah selagi masih ada jalan menafsirkannya dengan cara yang benar. Setelah naskah tersebut diteliti, maka Dr. P. Voorhoeve, dalam tulisanya itu, telah dapat membuktikan bahwa pengarang naskah tersebut adalah Ibrahim Ibn Hasan Al-Kurani yang juga dengan nama Mulla Ibrahim, pengganti Ahmad Al-Qusyasyi, guru Syekh Abdurrauf dari Singkel dan Syekh Yusuf dari Makassar pada waktu kedua ulama ini belajar di Madinah. Ulama yang mengafirkan ternyata Syekh Nuruddin dan Sultan Thani. Diduga pertanyaan tersebut datang dari Syekh Abdurrauf yang pada waktu itu bertindak sebagai mufti kerajaan Aceh. Sebagai seorang Syekh dan pengembang Tarikat Syattariyyah di kawasan ini, nampaknya ia tidak setuju terhadap sikap Syekh Nuruddin dalam menghadapi kaum Wujudiyyah, sehingga ia mengirimkan pertanyaan itu kepada gurunya di Madinah, seperti yang lazim terjadi antara murid dengan Syekhnya pada waktu itu177. Isi surat tersebut dapat dibaca di lampiran buku ini. Nampaknya, Syekh Syekh Abdurrauf cukup lama bersabar menahan diri untuk tidak mempertanyakan masalah tersebut pada waktu Sultanah Safiatuddin masih hidup, karena peristiwa pembunuhan kaum Wujudiyyah itu terjadi pada zaman suaminya, Sultan Iskandar Thani menjadi sultan di Aceh. Sesudah Safiatuddin meninggal (1675 M), maka terbukalah kesempatan baik baginya untuk mempersoalkan apa yang tersebut di atas.

175

P. Voorhoeve,“ van en Over Nuruddin ar-raniry“, Op.Cit, hal.365-368. Diduga ahli sufi tersebut adalah Syekh Maldin (Jamaludidn?) guru saifulrrijal atau salah seorang pengikutnya, seperti yang akan dijelaskan nanti. 177 Dalam Kitab yang bertajuk (Syathat al-Sufiyyah), kairo, 1949, hal 151-158, Dr Abdurrahman Badawi Telah Menerbitkan suatu risalah jawaban mula Ibrahim tentang pertanyaan yang diduga berasal dari surat Syekh Abdurrauf yang dikirim kepada gurunya itu. 176

236

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Namun, peristiwa itu sendiri merupakan petunjuk yang jelas tentang perbedaan watak dan sikap antara Syekh Nuruddin dengan Syekh Abdurrauf terhadap orang atau ajaran yang menyimpang dari doktrin ahlulsunnah waljamaah. Terhadap penyimpangan yang seperti ini, Syekh Nuruddin bersikap sangat keras tidak ada toleransi, dan malah ia selalu menganjurkan para sultan atau raja untuk bertindak tegas terhadap kaum Wujudiyyah dan ajarannya, seperti yang telah dilakukan oleh Sultan Iskandar Thani178. Kebencian itu sudah sangat mendalam, bukan saja pada waktu ia berada di Aceh, malah juga setelah ia pulang ke India. Kitabnya yang berjudul Al-Fathu‘I-Mubin ‘ala‘I-Mulhidin, yang di tulis di India setelah ia kembali dari Aceh, memuat berbagai kemurkaan dan tuduhan terhadap ajaran kaum tersebut. Agaknya sikap dan watak Syekh Nuruddin yang demikian itu sudah menjadi pembawaannya sejak ia masih di India, sebelum merantau ke daerah Aceh. Suasana kehidupan keagamaan di India pada waktu itu juga turut mendukung sikap tersebut. Pertentangan yang tajam antara umat Islam dengan umat hindu, di samping adanya usaha yang sungguh-sungguh daripada sementara para Sultan Mogul untuk menggabungkan anasir-anasir yang terbaik dari dua agama itu dalam suatu agama baru, seperti yang dilakukan oleh Sultan Akbar (1573-1605) dengan Din Ilahi yang bercorak agama sinkretis, dan kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Sultan Jahangir (1605-1627), yang selalu ambil bagian dalam setiap upacara agama Hindu,179 telah menciptakan semacam kebencian yang mendalam dalam kalangan umat Islam India terhadap agama Hindu pada umumnya dan ajaran-ajaran heterodoks yang menyelinap ke dalam agama Islam. Hal ini terungkap dengan jelas pada pendirian Syekh Nuruddin yang telah sengaja memberi contoh tentang kebolehan mempergunakan lembaran kertas hikayat yang berbau Hindu, seperti hikayat Sri Rama, sebagai alat penghapus kotoran (istinja).180 Suasana yang demikian ini tidak dialami oleh Syekh Abdurrauf, sehingga sikapnya sangat lunak terhadap ajaran Wujudiyyah yang berkembang pada waktu itu, dan enggan menuduh penganutnya sebagai orang-orang kafir, walaupun bertentangan dengan ajaran tarikat yang dianutnya181. Setelah tujuh tahun Syekh Nuruddi bermukim di Aceh, sebagai ulama, Mufti, penulis dan penyanggah ajaran wujudiyyah, maka dengan tiba-tiba ia meninggalkan Serambi Mekkah ini berlayar kembali ketanah tumpah darahnya, Ranir, untuk tidak kembali lagi. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M), seperti yang dicatat oleh seorang muridnya pada akhir kitabnya yang terakhir ditulis di Aceh, yaitu Jawahirul‘I-Ulum fi Kasyf al-Ma‘lum). Nampaknya, kepergiannya yang mendadak itu disebabkan oleh kekalahan yang dialaminya dari serentetan diskusi keagamaan yang terjadi dengan Saifulrijal, seorang ulama Wujudiyyah yang baru kembali dari surat, India. 178

Nuruddin Ar-Raniry, “Ma`ul-Hayah li Ahl al-Mamat”, Edisi Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin ArRaniry, (Jakarta; Bulang Bintang, 1978), hal. 47-48. Selanjutnya disebut; Nuruddin Ar-Raniry, “Mau`u`IHayah li Ahli-Mamat”. 179 A.H. Jonhs, “Malay Sufism”, op. cit, hal. 34. 180 Nuruddin Ar-Raniry, “Al-Sirata`I-Mustaqim”, di pinggir kitab Sabilu`I-Muhtadin, karangan Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kairo, I, hal. 39. (Harus istinja` dengan kitab yang tiada berguna pada syara` seperti Hikayat Sri Rama dan Indra Patra dan barang sebagainya). Lihat juga, J.R. Winstedt, A. History of Classical Malay Literature, Kuala Lumpur, 1969, hal. 145. 181 Abdurrauf Singkel, (Daqaiqu‘I-Huruf), edisi, A.H. Johns, JRAS, 1900, hlam. 143) mengatakan. “Bermula yang mengafirkan itu bahayanya, karena jikalau ada ia kafir, maka tiadalah perkataan dalamnya, dan jika tiada ia kafir maka kembali kata itu kepada diri kita.”

Aceh Serambi Mekkah

237

Ulama ini berasal dari Minangkabau dan pernah tinggal beberapa lama di Aceh untuk belajar pada Syekh Maldin (Jamaluddin?). seorang ulama Wujudiyyah dari kalangan murid Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan kemudian ia melanjutkan studinya ke India. Dalam zaman Sultan Iskandar Sani, Syekh Maldin telah diusir dari Aceh karena suatu kesalahan yang dibuatnya dan diganti oleh Syekh Nuruddin yang baru tiba. Setelah Saifulrijal berada kembali di Aceh, diskusidiskusi keagamaan muncul kembali dalam bentuk yang lebih seru dan menegangkan, di mana dua tokoh ulama besar itu, yang mewakili dua aliran yang bermusuhan, turut terlibat dan berhadapan langsung. Rupanya para pembesar istana lebih cenderung kepada Saifurrijal, sehingga akhirnya Syekh Nuruddin menderita kekalahan yang memaksanya kembali ke India. Jabatan mufti istana dipegang kembali oleh ulama Wujudiyyah, Saifurrijal182 Tidak henti-henti terjadinya terjadi pembicaraan tentang masalah ulama baru dan lama antara Orang Kaya Maharajalela dengan pendatang baru yang bernama Saifurrijal , seorang Minangkabau (yang telah mendapat tempat yang kokoh dan dekat dengan rakyat karena kealimannya). Yang disebut terakhir ini telah belajar pada Syekh Maldin (Jamaluddin?) di Aceh yang karena dituduh bersalah pada masa kerajaan Raja yang terdahulu telah diusir dengan datangnya (ulama) Syekh Nuruddin. Setibanya kembali ditanah airnya, Ranir, Syekh Nuruddin telah menulis sekurangkurangnya dua buah kitab lagi. Pertama, kitab Al-Fathu‘I-Mubin ‘ala‘I-Mulhidin yang selesai ditulisnya pada 12 Rabiul Awal, 1069 H (1657 M), dan kedua, kitab (Rahiqul‘I-Muhammadyyah

182

Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry Leave Atjeh in 1054 A.H.?, BKI 134, 1978, hal. 489491. Dokumen yang diterbitkah olehnya berasal dari buku harian “opperkoopman” Pieter Sourij yang diutus VOC pada tahun 1643 ke Jambi dan Aceh. Dokumen yang berbahasa Belanda itu diterjemahkan oleh Ito ke dalam bahasa Inggris, dan terjemahan beberapa bagian yang penting adalah sebagai berikut (terjemahan Abukakar dalam Dari Sini Ia Bersemi,( Banda Aceh: Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an, 1981), hal. 138-139. Tidak henti-henti terjadinya terjadi pembicaraan tentang masalah ulama baru dan lama antara Orang Kaya Maharajalela dengan pendatang baru yang bernama Saifurrijal , seorang Minangkabau (yang telah mendapat tempat yang kokoh dan dekat dengan rakyat karena kealimannya). Yang disebut terakhir ini telah belajar pada Syekh Maldin (Jamaluddin?) di Aceh yang karena dituduh bersalah pada masa kerajaan Raja yang terdahulu telah diusir dengan datangnya (ulama) Syekh Nuruddin. Gabungan dewan kerajan bersama para bentara mengusulkan agar masalah antara dua orang ulama yang disebut itu dapat diputuskan dengan kekuasaan ratu. Dalam hal ini ratu menjawab bahwa karena ia dapat tahu menahu tentang masalah utama agama dan masih sangat kurang pengertiannya tentangperselisihan diantara mereka itu, maka terlebih baik jikja tentang mamu itu dimintakan pendapat para hulubalang. Singkatnya, seluruh negeri tampaknya menjadi bingung sehingga lebih memperlambat urusan kita. Ulama islam baru, bernama Saifurrijal, dipanggil oleh ratu ke istana dan diberikan penghargaan, sehingga dengan demikian diharapkan kedudukan Ruhaniyah Syekh Nuruddin yang terdahulu akan hilan sama sekali. Peristiwa diskusi dengan Saifurrijal, juga disebut sendiri oleh Syekh Nuruddin: “kemudian dari itu maka datanglah Saifurrijal, maka berbahaslah ia dengan kami seperti bahas mereka itu yang terdahulu jua. Maka jawab kami, betapa kau benarkan akan kaum yang berkata: Wa Allah bi Allah ta Allah, insan itu Allah dan Allah itu insan…”, maka sahutnya: “Inilah I’tikadku dan I’tikad segala ahli Mekkah dan Madinah… Maka berlanjudlah perkataannya, maka kembalilah kebanyakan orang kepada i’tikad yang sesat itu jua.. “ (Nuruddin ar-Raniry, Al-Fathu’l-Mubin, hal. 4).

238

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

fi Tariqi‘I-Sufiyyah). Kitab ini tidak selesai ditulisnya karena ia meninggal dunia pada 12 Zuhijjah, 1069 H (21 September, 1658). Kemudian salah seorang muridnya, Salahuddin Ibrahim, menyelesaikan kitab tersebut dengan menulis sebuah khotbah sebagai pengantar183. Setelah Iskandar Tsani mangkat, amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Lalu seorang Ulama Besar, Nuruddin Ar-Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumenargumen kaum ulama, sehingga Ratu Safiatuddin diangkat menjadi sultanah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun, bagaimanapun kenyataan yang menjadi rujukan ahli sejarah telah mengingatkan kita bahwa Aceh pada masa dulu telah memberi perhatian yang besar bagi kaum perempuan, analisis yang lebih menarik bahwa Aceh ketika itu telah menempatkan dirinya sebagai salah satu negara yang benar-benar demokratis di permukaan bumi. Aceh dalam lintas historis dikenal sebagai kerajaan yang sangat memperhatikan sosok ulama, artinya ulama dan umara (sultan) itu berjalan sinergis dalam mewujudkan berbagai program yang akan dilakukan sultan. Bahkan dalam Qanun al Asyi atau Adat Meukuta Alam ditetapkan bahwa sultan dan ulama harus menjadi Dwi Tunggal. Artinya, sultan dan ulama tidak boleh jauh atau bercerai, sebab jikalau bercerai maka binasalah negeri.184 Di samping itu, ulama dalam pandangan masyarakat sangat dihormati bahkan diikuti setiap hukum yang difatwakan. Karena adanya sikap kerjasama ini, maka berbagai hal yang berkenaan dengan kebijakan kerajaan tidak pernah luput dari perhatian ulama untuk memberikan pengarahan pada masyarakat. Keadaan ini masih terlihat sampai dengan era Snouck Hurgronje185. Pada masa Iskandar Tsani, salah seorang ulama yang cukup berpengaruh adalah Nuruddin Ar-Raniry, ketika sultan mangkat Ar-Raniry masih hidup. Jadi pergantian kepemimpinan dari sultan ke sultanah ketika itu dalam pengawasan dan dukungan dari Ar-Raniry itu sendiri. Penulisan tentang sejarah hidup ulama besar ini telah banyak dikerjakan orang, terutama oleh para sarjana Bangsa Belanda, antara lain: P. Voorhoeve, G.W.J. Drewes, C.A.O. van Nieuwenhuijze dan lain-lain. Dari kalangan para ahli sejarah Indonesia, seperti R. Hoesin Djajdiningrat dan Tujimah186. Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang sarjana agama, ulama dan sejarawan. Daerah asalnya adalah Ranir, Gujarat, India, datang ke Aceh pada tahun 31 Mei 1637, yaitu pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Walaupun bukti-bukti dokumentasi tidak ada, akan tetapi dapat diduga bahwa Ar-Raniry telah pernah datang ke Aceh pada masa pemerintah Iskandar Muda. Hanya karena

183

P. Vooehoeve, Korte Mededelingen”, op. cit, hal. 90. J.R. Winstedt, A History of Classcal Malay literature, op. cit., hal. 147. Nuruddin Ar-Raniry, Asraru‘I-Insan, hal. 7-8. 184 Ali Hasjmy, dkk. (ed), 80 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: Majelis Ulama IndonesiaAceh, 1995), hal. 45 185 Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, dkk., (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 176 186 Ahmad Daudy, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry: Sejarah, Karya dan Sanggahan terhadap Wujudiyah di Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), hal. 9

Aceh Serambi Mekkah

239

tidak ada penerimaan dari pihak sultan ia melanjutkan perjalanannya ke Semenanjung Tanah melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai tempat menetap187. Sebagaimana diketahui, pada waktu Iskandar Muda berkuasa di Aceh, ulama yang sangat berperan dan menonjol adalah Syamsuddin Sumatrani yang merupakan orang kedua setelah sultan dan bertindak sebagai penasehat dan mufti kerajaan. Sedangkan paham wujudiyah merupakan ajaran resmi dan direstui oleh sultan, di mana paham ini bertentangan dengan pemikiran Ar-Raniry. Hal ini terlihat pada masa-masa berikutnya, ketika Ar-Raniry kembali ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani, dan dipercayakan sebagai mufti terjadi pertentangan pemikiran yang tajam dengan paham wujudiyah. Tentang bagaimana dukungan atau peranan Ar-Raniry untuk meligitimasi kepemimpinan seorang perempuan atau sultanah bisa dilihat dari sebuah kitab yang ditulisnya, yaitu “Bustanul Salatin”, dalam kitab ini Ar-Raniry memberi dukungan yang cukup besar bagi Safiatuddin untuk menjadi sultanah bagi kerajaan Aceh. Ini bisa dilihat dari pujian-pujian yang disampaikan ArRaniry dalam Bustanul Salatin –sebagaimana dikuti Mohammad Said- yaitu: 188 Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad saw dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulah dan sa’adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang saleh dan sembahyang menuntut ilmu. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung khalifahnya. Dari kutipan di atas, tergambar dengan jelas bagaimana dukungan yang diberikan oleh Ar-Raniry untuk Safiatuddin, ketika itu Ar-Raniry benar-benar sebagai seorang ulama yang terpandang dan menjadi panutan masyarakat. Walaupun pada awalnya ada pro dan kontra terhadap naiknya tahta seorang wanita, pada akhirnya keadaan sangat stabil bahkan semua panglima-panglima sagoe serta masyarakat patuh terhadap kepemimpinan Safiatuddin. Ar-Raniry berada di Aceh hingga tahun 1644, yang berarti ia hanya berada di Aceh sekitar 3 tahun pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Pada masa tiga tahun tersebut ia senantiasa berada dalam kedudukan penting dalam pemerintahan, mendampingi sultanah di bidang agama189. Tentang sebab musabab kembalinya Ar-Raniry ke kampung halamannya tidak diketahui secara pasti, padahal Safiatuddin ketika itu masih mempercayai jabatan bidang agama kepadanya. Tentang hal ini bisa saja menjadi suatu hal menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sampai sekarang, inilah sejarah hidup Syekh Nuruddin Ar-raniry yang dapat diketahui, dan tentunya masih banyak hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan ilmiah dan perjuangannya yang memelukan penelitian dan penulisan lebih lanjut. Kitab-Kitab Karangannya Selain sebagai ulama dan mufti istana, Syekh Nuruddin juga seorang penulis yang sangat produktif. Ia seorang sarjana yang sangat banyak membaca. Hampir dalam setiap karangannya, 187

Ibid..., hal. 13 Mohammad Said, Aceh Sepanjang…, hal. 378 189 Ibid..., hal. 372-374 188

240

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

ia menunjukkan sejumlah kitab-kitab yang dijadikan sumber kutipan untuk menunjang alasan dan pendiriannya tentang sesuatu masalah yang ingin dipertahankan, ataupun untuk menunjukkan kelemahan atau kekeliruan alasan lawannya. Kitab-kitab yang ditulisnya terdiri dari berbagaibagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fiqih, hadist, aqidah, sejarah, mistik, filsafat, perbandingan agama dan lain-lain. Sebagian besar ditulis untuk menyanggah ajaran WujudiyyahHamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. P. Voorhoeve190 dan Tujimah191 telah meneliti dan menulis kitab-kitab karangan Syekh Nuruddin serta menunjukkan tempat-tempat dimana naskah-naskah karangan itu tersimpan. Tulisan saya ini merupakan petikan dari hasil penelitian mereka, ditambah dengan beberapa karangan Syekh Nuruddin yang saya temukan dalam penelitian di Aceh. Sampai sekarang, kitab-kitabnya yang sudah diketahui berjumlah 29 buah dengan judul sebagai berikut: 1. (Al-Sirath‘aI-Mustaqim; jalan lurus) Judul yang asli tidak ada artikel “al” pada sirath, sering artikel itu dibuang dalam penulisan bahasa Melayu, dan ini mungkin untuk memudahkan ucapan. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu, dan isinya membahas tentang ibadat, salat, puasa, zakat, haji, dan juga tentang hukum kurban, berburu, hukum halal dan haram dalam hal makanan. Kitab ini ditulis sebelum Nuruddin bermukim di Aceh, yaitu pada tahun 1044 H (1634 M) dan selesai pada tahun 1054 H (1644 M). Sekarang kitab ini dicetak pada pinggir kitab Sabilu`l-Muthadin karangan Muhammad Arsyad al-Banjari. {Tujimah (ed), Asraru`i-Insan fi Ma`rifatil-Ruh wa`l-Rahman, hlm. 9, no.1}, naskah lain tersimpan pada Museum Banda Aceh dan Pustaka Tanoh Abee, Aceh Besar. Untuk pertama kali kitab ini dicetak di Mesir pada tahun 1937. 2. (Durratu‘l-Fara‘id bi Syarhi‘l-‘Aqa‘id; permata berharga tentang uraian akidah). Kitab bahasa Melayu tentang akidah. Kitab ini merupakan saduran dari kitab Syarhul‘l‘Aqad‘id al-Nasafiyyah, karangan Imam Sas‘duddin al-Taftazani terhadap Mukhtasar ‘Aqa‘id dari Imam Najimuddin Umar al_Nasafi. Syekh Nuruddin tidak hanya sekadar menyadurkan, akan tetapi juga banyak hal-hal yang dimasukkan kedalamnya. Kitab ini ditulis sebelum tahun 1405 H (1635 M). Sampai sekarang kitab ini masih berbentuk naskah. Selain dari naskah yang disebut oleh Tujimah (no.2), juga terdapat naskah lain pada pustaka Tanoh Abee. Syekh Nuruddin menyebut kitab ini dalam “Tibyan fi Ma‘rifati‘l-Adyan”192. 3. (Hidayatu’l-Habib fi’lTargib wa’l-Tarhib; petunjuk Kekasih dalam hal yang mengembirakan dan menakutkan)

190

P. Voorhoeve, “Lijst der Geschriften van Raniry en Apparatus Criticus biy de Teks van Twee Verhandelinge”, BKI 111, 1955. 191 Nuruddin Ar-Raniry, Asraru‘I-Insan. 192 Nuruddin ar-Raniry, “Tibyan fi Ma`rifati`l-Adyan”, dalam Twee Maleische Geschriften Van Nuruddin, P. Voorhoeve (ed), (Leiden: Brill, 1955), hal.54; selanjutnya disebut: Nuruddin ar-Raniry, “Tibyan fi Ma`rifati`l-Adyan”.

Aceh Serambi Mekkah

241

Kitab ini di tulis dalam bahasa Arab dan Melayu pada tahun 1045 H (1635 M), dan berisi 831 hadist. Sekarang kitab ini telah dicetak dengan kepala (Al-fawaidu’lBahiyahfi’l-Ahadis al-Nabawiyyah) dalam kitab (Hasaiyyatu’l-jam’i’l-fawa’id, karangan Daud ibn-Abdillah al-Fatani (Mekkah, 1311 H dan Singapura). Menurut Dr. T. Iskandar, kedua kitab ini (no.2 dan3) di tulis di semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan Iskandar Sani193. 4. (Bustanu’l-Salatin fi Zikri’l-Awwalin wa’l-Akhirin; taman para sultan tentang riwayat orang-orang dahulu dan kemudian). Kitab sejarah yang merupakan karangan syekh Nuruddin yang terbesar yang pernah di hasilkan orang dalam bahasa Melayu. Kitab ini di tulis setelah Syekh Nuruddin berada di Aceh tujuh bulan lamanya, yaitu pada tanggal 17 syawal, tahun 1047 H (1637 M), memenuhi permintaan Sultan Iskandar Sani. Kitab ini terdiri dari tujuh bab dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa pasal. Bab pertama, yang terdiri dari sepuluh pasal, menerangkan kejadian tujuh petaka langit dan tujuh petaka bumi. Bab ini telah dicetak pada tahun 1311 H di Mekkah pada tepi kitab Taju’l-Muluk karangan Haji Ismail Aceh dengan judul Bad’u Khalqi’l-Samawat wa’l-Ard, juga telah dieditkan oleh R.J. Wilkinson di Singapura pada tahun 1899. Bab kedua, yang terdiri dari 13 pasal, menerangkan sejarah para nabi dan raja-raja. Yang terpenting dalam bab ini adalah pasal 12 dan pasal 13. Dalam kedua pasal ini, Nuruddin menerangkan sejarah negara-negara Melayu, terutama sejarah Malaka dan Pahang, serta sejarah kerajaan Aceh sampai zaman penulisnya. Pasal 2 dan 10 serta permulaan pasal 13 telah dicetak di Singapura pada tahun 1900. T. Iskandar telah membuat transliterasi pasal 13 ini ke dalam huruf latin dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, tahun 1966. Bab ketiga, yang terdiri dari enam pasal, menerangkan tentang raja-raja yang adil dan menteri-menteri yang berakal lagi bijaksana. (naskah bab ini tersimpan pada Malay Studies Department di Kuala Lumpur). Bab keempat menerangkan raja-raja yang bertapa dan para aulia yang saleh. Bab ini terdiri dari dua pasal. Pasal pertama telah ditransliterasikan kedalam huruf Latin dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh Dr. Russel Jones, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, tahun 1974. Bab kelima, yang juga teriri dari dua pasal, menerangkan raja-raja dan menteri-menteri yang zalim. Bab ini masih dalam bentuk naskah. Bab keenam, yang terdiri dari dua pasal, menerangkan orang-orang pemurah lagi mulia dan orang-orang yang berani. Bab ini juga belum diterbitkan. Bab ketujuh, yakni bab terakhir, menerangkan tentang akal, ilmu firasat, ilmu ketabiban, sifat-sifat perempuan serta hikayat-hikayat ajaib yang jarang terjadi. Bab ini terdiri dari lima pasal dan belum diterbitkan (Yujuma, no. 4). 5. (Nubzah fi da’wa ‘I-Zill ma’a Sahibihi; uraian singkat tetang dakwaan bayangbayang dengan kawannya).

193

242

Nuruddin ar-Raniry, Bustanu’l-Salatin, hal. 3.

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Kitab ini ditulis oleh Nuruddin dalam bahasa Arab, tetapi ia tidak menyebut tahun penulisannya. Ia menyebut kitab ini dalam “Tibyan fi Ma’rifati’l-Adyan”. Isinya tentang kesesatan ajaran wujudiyyah yang dipaparkannya melalui soal jawab. Kitab ini masih dalam naskah. Selain naskah yang disebut Tujimah (n0.5) juga terdapat pada pustaka pribadi Tgk. M. Junus Djamil (alamarhum), Banda Aceh. 6. (Lata’ifu’l-Asrar, kehalusan rahasia). Kitab ini tentang tasawuf, dan Nuruddin menyebutnya dalam “Tibyan fi Ma’rifatil’lAdyan” dan Jawahiru’l-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Naskahnya tersimpan pada Pustaka Tanoh Abee (Tujimah, No. 6). 7. (Asraru’l-Insan fi Ma’rifati’l-Ruh wa’l-Rahman, rahasia manusia dalam mengetahui ruh dan Tuhan). Kitab ini merupakan terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Melayu yang dilakukan oleh Nuruddin untuk memenuhi permintaan Sultan Iskandar Sani dan diselesaikan pada zaman penggantinya, Sultan Safiatuddin. Syekh Nuruddin menyebut kitab ini dalam kitab Jawahiru’l-Ulum fi Kasyf al-Ma’lim. Isinya tentang manusia, terutama tentang halihwal ruh, sifat dan hakikatnya, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Saya mempergunakan kitab ini, sebagai sumber pertama, dalam penulisan disertasi ini tentang konsepsi Nuruddin mengenai manusia. Kitab ini terdari dari dua bab, bab pertama terdiri dari enam pasal dan bab kedua terdiri dari lima pasal. Tujimah telah menerbitkan kitab ini sebagai disertasi pada tahun 1961. Naskahnya tersimpan di pustaka Tanoh Abee. (Tujimah, No. 7). 8. (Tibyan fi Ma’rifati’l-Adyan, penjelasan dalam mengetahui agama-agama). Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu untuk memenuhi permintaan Sultanah Safiatuddin. Pada pengantarnya, Syekh Nuruddin menjelaskan tentang perdebatan yang terjadi dengan kaum Wujudiyyah di hadapan Sultan Iskandar Sani, di mana ia telah menunjukkan kesesatan ajaran tersebut sehingga para uluma telah mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang halal dibunuh. Kitab ini terdiri dari dua bab, bab pertama tentang agama yang pernah lahir di duina sejak dari Nabi Adam sampai dengan Nabi Isa, bab kedua menerangkan sekitar timbulnya mazhab-mazhab atau aliran-aliran teologi dalam kalangan umat Nabi Muhammad. P. Voorhoeve telah menerbitkan naskah ini dalam bukunya Twee Maleische Geschriften van Nuruddin ar-Raniri dengan isi yang ringkas dan apparatus criticus. Naskah lain dari kitab ini tersimpan pada pustaka pribadi Tgk. Aman Jakfar, Aceh Tengah. (Tujimah no. 8). Syekh Nuruddin menyebut kitab ini dalam (Ma’ul-Hayah li Ahli’l-Mamat, hlm. 23). 9. (Akhbaru’l-Akhirat fi Ahwali’l-Qiyamah, berita akhirat tetang hal-ihwal kiamat). Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Safiatuddin. Dahulu kitab ini sangat terkenal dan banyak orang membacanya. Kitab ini terdiri dari tujuh bab, dan menerangkan tentang nur Muhammad, kejadian Nabi Adam, peristiwa kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Juga tersimpan naskahnya di Pustaka Tanoh Abee. (Tujimah, no. 9). Aceh Serambi Mekkah

243

10. (Hill al-Zill, Syekh Nuruddin menerjemahkan dengan “menguraikan perkataan zill”, yakni uraian lanjutan tentang apa yang disebut dalam kitab Zill (no. 5). Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu atas permintaan sahabatnya, sedangkan tahun penulisannya tidak disebut. Syekh Nuruddin menyebut kitab ini dalam “Tibyan fi Ma’rifati’l-Adyan” (hlm. 108), dalam Jawahiru’l-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum (hlm. 59 dan 122), juga dalam Ma’ul-Hayah li Alhli’l-Mamat (hlm. 86). Naskahnya juga tersimpan pada Tgk. Aman Jakfar dan Tgk. Junus Djamil tersebut diatas. (Tujima, No. 10). 11. (Ma’u’l-Hayat li Ahli’l-Mama,; air kehidupan bagi orang-orang mati). Kitab ini ditulis untuk memenuhi permintaan Sultanah Safiatudin, ditulis dalam bahasa Melayu pada tahun yang tidak disebutkan. Isinya menyanggah ajaran Wujudiyyah tentang kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan, kekadiman jiwa manusia dan perbedaan syariat dan hakikat. Tujimah menyebutkan bahwa naskah kitab ini sudah hilang, tetapi saya telah menemukannya pada pustaka pribadi Tgk. M. Junus Djamil dan telah saya transliterasikan ke dalam huruf Latin dan menerbitkannya sebagai buku saya yang berjudul Syaikh Nuruddin ar-Raniry pada tahun 1978. Syekh Nuruddin menyebutkannya dalam Jawahiru’l-Ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum (hlm. 165). Naskah lain juga terdapat pada Pustaka Tanoh Abee, (Tujimah, No. 11). 12. (Jawahiru‘l-‘ulum fi Kasyfi‘l-ma‘lum, permata ilmu dalam menyingkat sasarannya). Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu, dan Syekh Nuruddin mulai menulisnya pada tahun 1052 H (1642 m). Kitab terakhir di tulis di Aceh menjelang ia pulang ke India. Saya mempergunakan kitab ini sebagai sumber utama dalam menulis konsepsi Syekh Nuruddin tentang Tuhan dan alam. Memang kitab ini berisi filsafat-mistik Syekh Nuruddin secara lengkap dan mendalam. Kitab ini terdiri dari pengantar, lima bab isi, dan penutup. Pada bagian pengantar, ia menjelaskan tentang kemuliaan dunia hakikat. Bab pertama membahas tentang Wujud (Ontologi), bab kedua tentang sifat Allah, bab ketiga tentang asma Allah, bab keempat tentang a‘yan sabitah, dan bab kelima tentang a‘yankharijioyah. Pada bab terakhir disebutkan bahwa kitab ini selesai disalin pada hari Senin, 28 Zulhijjah 1076 H, dan dijelaskan bahwa Syekh Nuruddin pulang kembali ke negerinya, Ranir, pada tahun 1054 H (1644 M), yakni setelah selesai menulis kitab sampai dengan bab lima. Kemudian seorang muridnya menyelesaikan penulisan bagian penutup (Khatimah). Naskah kitab ini juga tersimpan pada pustaka almarhum Tgk.M. Junus Djamil. (Tujimah no. 120) 13. (Ainu‘l-Alam Qabil khakihil) Kitab ini ditulis dalam bahasa melayu, dan Syekh Nuruddin hanya mernyebut dirinya sebagai penulis kitab, sedangkan nama kitab itu diberikan. Begitu juga tahun penulisnya. Nama kitab saya yang berikan, sedangkan Tujimah memberikan judul “sebuah tulisan tentang dunia sebelum diciptakan“. Akan tetapi Syekh Nuruddin tidak biasa membuat

244

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

judul kitabnya dalam bahasa melayu, walaupun isinya dalam bahasa ini. Naskahnya tersimpan pada pustaka Tgk.M. Junus Djamil. (Tujimah, no. 14) 14. (Syifal‘ul-Qulub; obat hati). Kitab dalam bahasa melayu, tahun penulisannya tidak disebutkan. Isinya tentang pengertian Kalimah Syahadah dan cara-cara berzikir kepada Allah. Naskahnya terimpan pada Tgk.M. Junus Djamil. (Tujimah, no.15) 15. (Hujatu‘l-siddiq li daf‘I al-zindiq, Dalil orang benar intuk menolak iktikat orang zindiuk). Kitab ini dalam bahasa melayu, ditulis atas permintaan sahabatnya tanpa menyebut tahun penulisannya. Isinya tentang akidah dan mazhab-mazhab mutkalimin, ahli sufi, ahli filsafat dan kaum wujudiyyah. Tujuannya untuk menunjukkan kesesatan golongan terakhir ini dengan memperbandingkan ajran dengan ajaran atau akidah dengan golongan yang lain. Naskah kitab ini telah diterbitkan oleh P. Voorhoeve dalam Twee Maleische Geschriften van Nuruddin ar-raniri, leiden 1955 kemudian S.M.N. Al-Attas telah mentransliterasikan dan menerbitkan dengan terjemahan inggris sebagai lampiran bukunya :“Raniri and The Wujudiyyah of 17th Centu7ry Aceh“, MMBRAS,111, Kuala Lumpur, 1966. Naskahnya adpula pustaka Tanoh Abee dan Tgk.M. Junus Djamil. (Tujimah, no.16). 16. (Al-Fathu‘l- ‘ala‘l-mulhidin. Kemenangan nyata atas orang-orang atheis) Kitab tebal ini (298 halaman) ditulis oleh Syekh Nuruddin dalam bahasa Melayu, setelah ia berada kembali di India. Pada halaman terakhir disebutkan bahwa kitab ini selesai ditulis pada tanggal 12 Rabiul Awal, tahun 1068 H (1068 M). Pada halaman-halaman permulaan, Syekh Nuruddin meriwayatkan kembali peristiwa pembunuhan kaum Wujudiyyah dalam bentuk yang lebih lengkap, dan juga peristiwa pembakaran kitabkitab yang ditulis oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Kecuali itu, juga disebutkan dalil-dalil tentang kesesatan ajaran kaum itu. Pada halaman terakhir, Syekh Nuruddin menyatakan bahwa kitab ini ditulis untuk dikirm kepada: Segala saudaraku yang ada di pulau Aceh, dan yang di Negeri Keudah, dan yang di pulau Banten, dan yang di Negeri Petani, dan yang di pulau Makasar, dan yang di Negeri Johor, dan yang di Negeri Pahang, dan yang di Negeri Singgora dan pada segala negeri yang di bawah angin. Mulanya orang menyangka bahwa naskah ini sudah hilang, akan tetapi dalam suatu penelitian di Aceh, saya telah menemukan naskah kitab ini dalam keadaan yang sangat baik, lengkap dan mudah dibaca. Sekarang naskah tersebut tersimpan pada pustaka Universiti Brunei Darussalam (Tujimah, no. 17) 17. (Al-Lama‘an fi Takfir man qala bi Khalqi-Qur‘an; Cahaya terang pada mengafirkan orang yang berkata Qur‘an itu makhluk). Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab sebagai suatu risalah jawaban terhadap pertanyaan yang datang dari Sultan Banteng, Abu al-Mafakhir Abdul Kadir al-‘Ali yang meninggal Aceh Serambi Mekkah

245

pada tahun 1640. Isinya mengandung sanggahan terhadap ajaran Hamzam Fansuri bahwa Al-Qur‘an itu makhluk, seperti yang dikutip olehSyekh Nuruddin dari kitab (Asraru‘lArifin).194 Syekh Nuruddin menyebut kitab ini dalam Al-Fathu‘l-Mubin ‘ala‘l-Mulhidin (hlm. 60). Naskahnya tersimpan pada pustaka Tgk. M. Yunus Djamil. (Tujimah, no. 21). 18. (Sawarimu‘l-Siddiq li Qat‘I al-Zinziq; pedang orang benar untuk memotong kaum zindik). Kitab ini ditulis untuk membantah ajaran Wujudiyyah seperti yang dapat dipahami pada waktu Syekh Nuruddin menyebut kitab ini dalam Al-Fathu‘l-Mubin ‘ala‘l-Mulhidin, (hlm. 23, 287 dan 297). Diduga naskah kitab ini sudah hilang. (Tujimah, no. 22). 19. (Rahiqu‘l-Muhammadiyah fi Tariqi‘l-Sufiyah; Minuman Umat Muhammad pada jalan orang-orang sufi). Kitab tentang tasawuf yang belum selesai dan merupakan kitab terakhir yang ditulis oleh Syekh Nuruddin di India menjelang ia meninggal dunia (lihat halaman 45 pada buku ini), diduga naskahnya sudah hilang. (Tujimah, no. 23). 20. (Bad‘u khalqi‘l-Samawat wa‘l Ard; permulaan penciptaan langit dan bumi). Kitab ini adalah petikan dari bab pertama kitab Bustanu’l-Salatin. Ia ditulis dengan nama dan pengantar tersendiri, dan sekarang dicetak pada pinggir kitab Taju’l-Muluk (lihat no. 4). 21. (Kaifiyatu’l-Salat; Cara melakukan shalat) Kitab ini juga petikan dari kitab al-Sirath’l-Mustaqim. Karena kandungan isinya yang penting, kitab ini ditulis tersendiri dengan judul tersebut. (Tujimah no 18)

22. (Hiddayatu’l-Iman bi fadli’l-Mannan, bimbingan iman dengan karunia Tuhan) Kitab ini dalam bahasa Melayu dan tidak disebut tahun penulisannya. Isinya menjelaskan tentang pengertian istilah-istilah agama yang terdiri dari iman, Islam, makrifat, dan tauhid. Naskah nya tersimpan pada pustaka Tgk. M. Junus Djamil. 23. (‘Alaqatu’l-lah bi’l-‘Alam, hubungan ALLAH dengan Alam) Kitab ini adalah terjemahan bahasa Arab dari kitab bahasa Persia yang ditulis oleh Syekh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Tahun terjemahannya tidak disebut, dan isinya tentang hubungan Allah dengan alam dalam pandangan ahli sufi. Judulnya saya berikan, karena Syekh Nuruddin hanya menyebut dirinya sebagai penulis tanpa menyebut judul. Naskahnya tersimpan pada pustaka Tgk. M. Junus Djamil.

194

Nuruddin Ar-Raniry, Al-lama‘an fi takfir man qala bi Khalqil-Qur‘an, hal. 22-24 (naskah). Cf. Hamzah Fansuri, “Asraru‘l-‘Arifin” dalam S.M.N. Al-Attas, The Mysticism of hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: 1970), hal. 248; selanjutnya: Hamzah Fansuri “Asrarul‘l-‘Arifin”.

246

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

24. (‘Aqa’idul-Suffiyah al-muwahhidin, akidah ahli sufi yang mengeesakan Tuhan) Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan Syekh Nuruddin hanya menyebut dirinya sebagai penulis, sedangkan nama kitab dan tahun penulisan tidak disebut. Nama kitab saya berikan setelah membaca kandungannya. Isinya tentang akidah dan pengalaman keruhanian orang-orang sufi dalam berzikir dengan la ila-hailla‘l-Lah. Naskahnya juga tersimpan pada Tgk. M. Junus Djamil. Selain dari kitab-kitab yang tersebut di atas, Syekh Nuruddin menyebut lima buah kitabnya dalam Al-Fathu‘l-Mubin ‘ala‘l-Mulhidin195, sebagai berikut: ƒ (Al-Fathu‘l-Waduh fi Bayan Wahdati‘l-wujud) ƒ {‘Ainu‘l-Jud (Al-Jawwad?) fi Bayan Wahdati‘l-Wujud} ƒ (Awdahu‘l-Sabil wa‘l-Dalillaisa li Abatili‘l-Wujud) ƒ Awdahu‘l-Sabil laisa li Kalami’lmulhidin taa’wil ƒ Syazaru’lmazid. Inilah kitab-kitab karangan Syekh Nuruddin yang dapat saya ketahui pada waktu ini, sedangkan Hikajat Zul Qarnaini bukanlah karangannya, tetapi sudah diterjemahkan orang sebelumnya ke dalam Bustanul Salatin. Adapun kitab Undatul I’tiwat dan Muhammad al-Itiqat yang disebut oleh Tujimah pada no. 13 dan 20, tidak dapat dipastikan karangan Syekh Nuruddin atau bukan, lebih-lebih karena yang terakhir ini judulnya salah. Akan tetapi P. Voorheove menjelaskan bahwa kedua kitab ini adalah satu dan serupa, dan kitab ini adalah buah karya Syekh Nuruddin196. Jika ini benar maka karangan Syekh Nuruddin berjumlah 30 buah. Kealimannya Melihat kepada kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Nuruddin ar-Raniry. Apabila setelah membacanya, maka tidaklah berlebih-lebihan pernyataan kita bahwa syehk nuruddin adalah seorang serjana dan ulma besar dalam ukuran zamannya. Berbangai cabang ilmu pengatahuan yang berkembang dalam zaman itu telah dimiliki dan dikuasai dengan baik. Kecuali itu, ia juga menguasai berbagai bahasa, seperti Persia, Arab, Urdu, Melayu dan Aceh. Akan tetapi adanya suatu pernyataan dari Tujimah bahwa Syekh ini tidak pandai mempergunakan bahasa Arab dengan baik, seperti dapat disaksikan pada mukadimah kitabnya Asraru’l-Insan fi Ma’rifati’l-Ruh wa’lRahman, nampaknya pernyataan itu tidak didasarkan pada dalil yang kuat. Kesalahan tersebut berasal dari penyalin, bukan dari Syekh Nuruddin, seperti kesalahan harakah (baris teks) yang banyak sekali. Tamabahan lagi, kesalahan itu hanya satu saja tidak lebih, dan itupun tidak bersumber pada naskah asli yang ditulis oleh Syekh kita ini. Naskah asli sampai sekarang tidak diketahui. Kecuali itu, Syekh ini banyak menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab yang membahas masalah ketuhanan dan filsafat mistik yang rumit, dan kita tidak menemukan kesalahan yang mencolok, kecuali pada harakah yang memang berasal dari penyalin. Selain dari itu, sebagai seorang mufti 195 196

Lihat hal. 58,85, 291 dan 297. Pada hal. 25 disebut ‘Ainu‘l-Wujud, bandingkan no. 26. P. Voorhoeve, “Supplement”, hal 481

Aceh Serambi Mekkah

247

dan ulama istana, Syekh ini tidak mungkin akan menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Arab, jika kemampuannya dalam bahasa ini tidak ada. Karena, sebagai seorang ulam yang hidup dalam zaman itu, kesalahan bahasa Arab dalam penulisan kitab-kitab Agama akan berakibat fatal karena dapat menghilangkan kepercayaan orang akan kealimannya sebagai ulama. Gagasan Nuruddin Ar-Raniry dan Pengaruhnya pada Perkembangan Ajaran Mistik Mistisme ketahyulan yang banyak ragamnya menemukan tanah subur di Aceh seperti halnya di India, dan mendapat ancaman ulama-ulama ortodoks yang kadang kala terpaksa mengandalkan penguasa, dapat membatasi ruang gerak pandangan yang menyimpang yang pantheistik ini197. Bentuk mistisisme pantheistik ini mempunyai persamaan dengan yang ortodoks dalam hal menemukan hubungan umat manusia dan penciptanya sebagai hakekat dan obyek agama, serta memandang upacara ritual, hukum dan doktrin semata-mata merupakan alat untuk mencapai tujuan itu. Pengaruh corak mistisme ini yang boleh dikata universal di masa lampau terlihat dari banyaknya manuskrip di kalangan umat Islam Indonesia, yang mengumandangkan ajaran ini dengan bantuan penjelasan-penjelasan pantheistik dari rumusan-rumusan ortodoks figur-figur alegoris dengan catatan-catatan marginal, argumen, dan sebagainya. Dan dapat ditambahkan bahwa semua itu sama tujuan utamanya walaupun sangat bervariasi tujuan-tujuannya yang terperinci. Kerangka filsafat universal ini pada zaman dulu (dan sekarang juga walau dalam tingkat yang lebih kecil) diwakili oleh mereka yang memusatkan daya dalam pelajaran dan pengajaran hukum agama, seperti halnya oleh para filsuf desa da penasehat-penasehat spiritual dari para penguasa. Kini menjadi jelas bahwa para guru agama ini tidak pernah mempermasalahkan ketidakabsahan dan kemubasiran Hukum Allah dipandang dari kesatuan mistik antara Maha Pencipta dan ciptaan-Nya. Mereka berpendapat bahwa pelaksanaan Hukum Allah merupakan suatu keharusan walaupun pada prakteknya adalah tak bermamfaat bagi sebagian besar orang yang menamakan dirinya pemeluk agama karena mereka tidak dapat menangkap makna mistik yang mendalam dari pematuhan-pematuhan ritual dan hukum itu pada umumnya. Masyarakat Jawa mendapat filsafat serupa ini dari pemuka agamanya yang paling akbar, dan di kalangan orang Melayu dan Aceh. Dari kronik Aceh, yang beberapa bagiannya pernah diterbitkan Dr. Niemann, kita dapat Mempelajari beberapa aspek kehidupan regili-filosofi di Aceh dalam abad ke-16 dan ke-17. Dalam kronik tersebut kita melihat bahwa para pemuka agama yang menguasai daerah itu bukan orang Aceh melainkan orang Suriah atau Mesir yang datang ke Aceh dari Mekkah, atau keturunan India seperti Raniri dari Gujarat. Kita juga mencatat bahwa yang sangat diinginkan orang Aceh dari guru-guru berkebangsaan asing itu adalah penjelasan atas masalah-masalah mistisisme yang dulunya banyak dipertengkarkan198. 197

Ibid,hal. 11 Seperti yang telah kita lihat, èleumèë yang paling tinggi adalah ketiga cabang ajaran agama (Pikah, Usuy dan Teusawoh) dengan cabang pendahuluan (Nahu, dan seterusnya), dan cabang pelengkap seperti Teupeusé dan Hadih. Secara sepintas lintas telah kita singgung pula suatu èleumèë yang terutama 198

248

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Tokoh mistisisme pantheistik yang paling terkenal adalah Syeh Shamsuddin dari Sumatera (Pasai), yang nampaknya sangat dihormati di Istana Raja Besar Meukuta Alam (1607-36) dan meninggal tahun 1630, dan pendahulunya Hamzah Fansuri. Dengan latar-belakang pengetahuan tasawuf; tauhid, puisi, atau syair—Hamzah Fansuri, pengembangan ilmu dan pengetahuan ajaran Islam mengalami kegagalan. Kita bahkan dapat menyimpulkan bahwa pengaruh ajarannya telah membawa tabir kegelapan bagi seantaro nusantara hingga akhir abad 17. Bagi pembahas, ada satu kecenderungan dengan praktek tasawuf yang dipraktekkan pada abad 16 adalah kecintaan masyarakat pada arus mistik, dan faktor tersebut yang barangkali (spekulatif) mampu hidup dalam berbagai kumpulan masyarakat. Tapi secara akademis, pandangan tasawuf hanya untuk membantu tingkat keimanan dan katauhidan pada Tuhan. Dikemudian hari, terutama setelah Iskandar Muda wafat, ajaran Hamzah Fansuri dan As-Sumatrani mendapat serangan hebat dari ulama besar Aceh lainnya, yaitu Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf As-Singkili. Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran di dalam ilmu tasawuf yang sukar dikompromikan. Aliran pertama -seperti telah disebutkan- bernama wahdatul wujud atau kesatuan wujud. Teori ini merupakan monisma (serba esa) atau pentheisma (serba dewa). Menurut ahli tasawuf dari aliran ini, dunia adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran kedua, bernama wahdatusy syuhud yakni kesatuan persaksian. Pada zaman Iskandar Muda sebenarnya telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut di atas, tetapi dengan kebijaksanaan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan dalam lapangan kehidupan keagamaan. Sesudah Iskandar Muda, maka Syekh Nuruddin Ar-Raniry berhasil mengajak Sultan Iskandar Tsani untuk memberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan As-Sumatrani yang dianggap oleh-nya sebagai ajaran sesat. Syakh Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama, pengarang, pujangga, ahli sufi, ahli hukum, politikus dan negarawan ternama. Daerah asalnya adalah Ranir, Gujarat, India, datang ke Aceh pada tahun 31 Mei 1637, yaitu pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Ar-Raniry telah

karena ketahyulan yang dikandungnya, dianggap sebagai berada di luar ilmu yang benar, yakni èleumèë salé’. Di samping itu ada sejumlah “ilmu” lain yang tidak dapat dianggap sebagai bagian dari “ilmu yang sejati” (ilmu yang benar). Sebagaimana padanannya di kalangan masyarakat Melayu dan Jawa (ilmu, ngelmu), èleumèëèleumèë ini –bila dipandang dari cara pikir modern- tak lebih dari sekedar metode tahyul untuk mencapai berbagai tujuan, yang baik maupun yang terlarang. Pengetahuan mengenai ilmu-ilmu ini dianggap betulbetul perlu dimiliki untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan pribadi dan melaksanakan secara sukses segala macam tugas dan jabatan. Bagi pembuat senjata atau tukang emas, panglima perang atau arsitek, pengetahuan mengenai hocus-pocus yang misterius itu, yakni èleumèë yang dianggap berkaitan dengan tugasnya, dipandang sama pentingnya dengan keterampilan tehnis bidangnya yang diperoleh melalui pengajaran dan praktek. Dengan demikian, orang yang menggunakan “ilmunya” dapat merebut hati orang yang dicintainya, membuat lawan tidak berdaya, menabur pertikaian antara pasangan suami isteri, atau meraih yang diidam-idamkannya; kalau seseorang tidak memiliki “ilmu” serupa itu, ia dapat mencari bantuan dari orang yang “berilmu”. Lihat,Ibid, hal. 12-13

Aceh Serambi Mekkah

249

pernah datang ke Aceh pada masa pemerintah Iskandar Muda. Hanya karena tidak ada penerimaan dari pihak sultan ia melanjutkan perjalanannya ke Pahang sebagai tempat menetap199. Sebagaimana diketahui, pada waktu Iskandar Muda berkuasa di Aceh, ulama yang sangat berperan dan menonjol adalah Syamsuddin Sumatrani yang merupakan orang kedua setelah sultan dan bertindak sebagai penasehat dan mufti kerajaan. Sedangkan paham wujudiyah merupakan ajaran resmi dan direstui oleh sultan, di mana paham ini bertentangan dengan pemikiran Ar-Raniry. Hal ini terlihat pada masa-masa berikutnya, ketika Ar-Raniry kembali ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani, dan dipercayakan sebagai mufti terjadi pertentangan pemikiran yang tajam dengan paham wujudiyah. Ar-Raniry memulai sebuah polemik tentang roh –atas permintaan Iskandar Tsani- terutama setelah keluar dari tubuh. Polemik ini disusun dalam sebuah buku yang berjudul Asrar al-ihsan fi makrifaturruhi war rahman (gunanya manusia mengetahui roh dan Tuhan). Kitab ini merupakan suatu pernyataan terhadap pendapat Hamzah Fansuri. Pada tahun 1642 ia menulis buku yang sangat terkenal yaitu Akbarul Akhirah fi awwalil qiamah (berita-berita akhirat dalam peristiwa kiamat, yang rujukannya diambil dari kitab-kitab karya ulama termasyhur200. Menurut Ar-Raniry, roh itu bukanlah bersifat qadim akan tetapi jadid (baharu) sebagai makhluk yang diciptakan. Dia menolak adanya persamaan sifat-sifat manusia dan alam dengan sifat-sifat Tuhan. Dibandingkannya pantheisme Hamzah Fansuri dengan teori Vedanta dan teori Buddha Mahayana di Tibet. Rujukan kitab tersebut di atas adalah kitab Daqaiq wal Haqaiq (saat yang penting dan hakekat-hakekatnya), dan dari kitab Duratul fakhirah min kasyfil awwamil akhirah (mutiara yang berharga dalam membukakan rahasia akhirat) karangan Imam al-Ghazali, dan dari kitab Ajaibul malakis samawat (keajaiban kerajaan langit) karangan Syekh Ibnu Jakfar Muhammad bin Abdillah, serta dari kitab Al-Bustan (taman) karangan Abdullais. Dalam tahun 1642 ditulisnya pula suatu uraian tentang paham sufi yang diberi nama Jawahirul ulum fi kasyfil maklun (pokok-pokok pengetahuan untuk membukakan yang maklum). Bukunya yang lain ialah Fatul mubin alal mulhidin (keterangan yang nyata bagi orang kafir), Hujjatussidik li daf’il Zindik (dalil yang benar untuk menolak keterangan orang yang tiada ber-Tuhan), dan Lathaiful asrar (kehalusan yang tersembunyi atau rahasia-rahasia yang halus). Dalam kitabnya At-tabjanu fi makrifatil adyan (kenyataan untuk mengenali agama) yang ditulis pada tahun 1664, diuraikannya ajaran-ajaran suluk As-Sumatrani yang dipandangnya sesat. Uraiannya yang lebih berani ialah dalam kitab Hilluzil, merupakan sari dari sebuah karyanya yang lebih luas dengan judul An-Nabdhatu fi dakwatizilli ma’Aceh sabihi (penolakan atas seruan orang-orang yang sesat dan kawan-kawannya)201.

199

Ar-Raniry menjadi Kadhi Malikul Adil pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Safiatuddin, menguasai dengan baik bahasa-bahasa Arab, Urdu, Persia, Melayu, dan juga mengarang dalam bahasa-bahasa tersebut. Ia telah menulis 26 kitab yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan. Lihat, Ibid..., hal. 13, dan Yusuf Abdullah Puar, Masuknya Islam…, hal. 61 200 Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan…, hal. 118-122 201 Tamar Jaya, Sjech Nuruddin Ar-Raniry, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, No. 31, February 1971, hal. 54

250

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Salah satu sumber informasi penting mengenai ilmu mistik yang banyak dipraktekkan di Aceh adalah sebuah karya yang diberi judul Tij-ul-mulk yang dicetak di Kairo dalam tahun 1891 (1309 H) dan di Mekkah tahun 1893 (1311 H). Karya tersebut ditulis dalam bahasa Melayu oleh seorang ulama keturunan Aceh, Syeh Abbas, yakni Teungku Kuta Karang pada masa sultan Mansô Shah (= Ibrahim, 1838-1870). Tidak ada atau sedikit sekali dari isi buku ini yang tidak dapat ditemukan dalam buku-buku berbahasa Arab ataupun berbahasa Melayu lainnya, tetapi di sini ditambahkan hasil pengamatan atas cara-cara menghitung musim dan hari baik, ramalan dan seni pengobatan pribadi maupun metode menghitung bulan yang banyak dipermasalahkan di kalangan terpelajar di Aceh202. Dalam karya-karya berbahasa Arab tentang hukum Islam, prestasi ilmiah yang disyaratkan bagi calon qadhi atau hakim sering digambarkan sebagai penguasaan atas 15 cabang ilmu. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam beberapa karya seperti ini angka yang disebut adalah 14, bukan 15, karena dalam hal inipun, angka sebenarnya sangat tergantung pada selera pribadi. Mungkin hal ini yang menyebabkan diterimanya 14 sebagai angka tradisional di Aceh, mula-mula di kalangan terpelajar dan kemudian menyebar kepada masyarakat umum. Tetapi sekarang tiap orang merasa bebas memutuskan sendiri èleumèë- èleumèë apa saja yang dimasukkan dalam ilmu empat belas itu203. 6.4 Syekh Abdur Rauf Syekh Abdur Rauf yang terkenal dengan julukan Teungku Syiah Kuala adalah seorang ulama yang dapat disebut sebagai khalifah utama dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Dia juga menguasai bahasa Arab, Urdu, Persia, Melayu. Seorang ulama besar yang sukar dicari tandingannya, politikus dan negarawan yang sangat ahli, pengarang yang amat subur. Sebagai negarawan dia juga menjadi Kadi Malikul Adil di zaman pemerintahan para ratu. Telah menulis 8 kitab tentang tafsir, hukum Islam, ketuhanan dan filsafat, akhlak dan tasawuf, dan puisi ketuhanan. Kitab-kitab yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan itu dikarangnya dalam bahasa Arab dan Melayu. Syekh Abdurrauf Singkel adalah ulama yang sangat terkenal dalam abad 17. ia dilahirkan lebih kurang pada tahun 1620 di Singkel bahagian dari daerah Aceh yang terletak dipantai Barat Sumatera yaitu Kabupaten Aceh Selatan Sekarang. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf bin Ali al Djawi al Fansuri al Singkili. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Teungku di Kuala atau Syiah Kuala. Karena ia mengambil tempat untuk mengajar ditepi muara (kuala) sungai (krueng) Aceh dan disana pula ia dikuburkan. Ia sangat dimuliakan oleh rakyat Aceh dari dahulu sampai sekarang. Banyak legenda mengenai Syekh Abdurrauf yang terus hidup dan dikenal rakyat turun-temurun. Archer dalam

202

Ibid,hal. 36-50 Istilah teuseuréh peut blaih, yang sesungguhnya berarti 14 bentuk yang dalam suatu bentuk (‘tense”) kata kerja bahasa Arab berfungsi untuk menandai semua pembedaan jumlah, jenis gender dan orang, telah memperoleh popularitas di luar lingkungan orang-orang terpelajar. Mungkin teuseuréh ini (yang arti sebenarnya hanya diketahui orang yang menguasai tata bahasa Arab) dianggap sebagai suatu cabang ilmu yang tersendiri. Lihat, Ibid…, hal. 63-64 203

Aceh Serambi Mekkah

251

bukunya Muhammadan Mysticism in Sumatra mengatakan: “Syekh Abdurrauf of Singkel, the great muslim saint of Aceh, now better known by the name of Teungku di Kuala”204 dan seterusnya Winstetd dalam bukunya A history of classical Malay Literature menyebutnya : …… “has survived in popular esteem as a saint”205 karena namanya tertancap sangat dalam pada lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada zaman itu, maka sebagai kenangkenangan untuknya, universitas negeri yang ada di Aceh telah mengambil namanya sebagai nama universitas tersebut sehingga menjadi Universitas Syiah Kuala, disingkat dengan UNSYIAH. Kebesaran Syekh Abdurrauf sebagai ulama serta keharuman namanya yang melampaui batas-batas kerajaan Aceh telah menjadikannya obyek studi bagi para sarjana, terutama berkaitan dengan pribadi dan ajaran-ajarannya. D.A. Rinkes pada tahun 1909 telah menulis buku yang berjudul Abdurrauf van Singkel. Begitu pula P. Voorhoeve dalam majalah T.B.G tahun 1952 No. 87 telah membahas karya-karyanya yang berjudul Bayan Tajalli dan beberapa pokok pendiriannya yang dikutip dari bermacam-macam karyanya yang lain. P. Vooehoeve juga telah menyusun riwayat singkat tentang Syekh Abdurrauf yang dimuat dalam Encyclopedia of Islam, volume I, tahun 1960. S. Kayser, Snouck Hurgronye, Winstedt, Archer, dan lain-lain telah pula menulis tentang pribadi dan ajaran Syekh Abdurrauf. Sesudah menerima pendidikan di kampung halamannya dan di ibukota kerajaan Aceh, ia meneruskan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 1642, ia berangkat ke Mekkah. Selama sembilan belas tahun di tanah Arab, Syekh Abdurrauf menetap beberapa tahun di Mekkah, Medinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Betalfakih, dan tempat-tempat lain. Sedangkan gurunya yang terkenal ialah Ahmad Qusyasy di Medinah. Ahmad Qusyasyi ini adalah seorang ulama terkenal di dunia Islam pada waktu itu dan merupakan pemimpin Tarekat Syatariah. Syekh Abdurrauf juga berhasil menyelesaikan studinya pada seorang ulama yang bernama Molla Ibrahim, salah satu pengikut Ahmad Qusyasyi yang terkenal. Baru pada tahun 1661 ia kembali ke Aceh. Sesampainya di Aceh kembali, Syekh Abdurrauf mendirikan rangkang di dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara, muridnya datang ke rangkang tersebut untuk belajar. Dengan demikian, Tarikat Syatariah tersebar ke seluruh Indonesia dan Malaysia adalah berkat usaha Syekh Abdurrauf dan murid-muridnya yang terkenal, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan, seorang ulama dan mubaligh terkenal dari Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara intensif hingga ke pedalaman Minangkabau. Disamping kegiatan Syekh Abdurrauf sebagai ulama dan mubaligh, ia juga terus menerus memperdalam ilmunya dalam bidang hukum dan bidang-bidang lain. Sebuah hasil karyanya yang terkenal di lapangan hukum adalah yang berjudul Hudayah Balighah ala Djum‘at al Muchasamah yang mengupas hukum Islam tentang bukti, persaksian, dan sumpah palsu. Pendapat-pendapat Syekh Abdurrauf di bidang hukum ini sangat dipatuhi oleh masyarakat Aceh, dan bahkan buah pikirannya tersebut terus hidup sampai sekarang dan melebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Karya lainnya yang sangat terkenal dan naskahnya masih tersimpan sampai sekarang antara lain berjudul Miratul Tullab fi Tasl Makhrifatu Ahkam Assyar‘iyah li Malikul Wahhab. 204

Raymond le Roy Archer, “Muhammad an Mysticism in Sumatra”, J.M.B.R.A.S; Vol XV Part 2, 1937, hal. 90. 205 R.O. Winstedt, Op.,Cit hal. 121

252

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Buku tersebut merupakan pengantar Ilmu Fikh menurut mazhab Syafi‘I dan isinya hampir sama dengan karya Nuruddin ar-Raniry yang berjudul Sirathul Mustaqim. Perbedaannya, ar-Raniry dalam Siratul Mustaqim hanya mengupas soal-soal peribadatan saja, sedangkan buku Syekh Abdurrauf juga membahas soal-soal muamalah206. Kupasan mengenai pokok-pokok ajaran tasawuf dan dasar-dasar pendirian Abdurrauf dalam bidang hukum termuat dalam karyanya yang berjudul Kifayat al Muhtahyin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli dan Umdat al Muhtadin207. Beliau juga telah menyusun tafsir al Qur‘an ke dalam bahasa Jawi (bahasa Melayu) dan menterjemahkan buku Mawaiz al Badi‘a yang antara lain berisi 32 hadist qudsi. Beliau juga membuat karya tulis dalam bentuk puisi yang diberi judul Sya‘ir Makrifat208. Seperti yang telah dikemukakan diatas, Syekh Abdurrauf adalah seorang sufi dari aliran Syatariah dan bemazhab Syafi‘i. Fahamnya dalam tasawuf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tiada berbeda dengan faham dan pendirian Nuruddin arRaniry. Ketika berpolemik menentang ajaran-ajaran Hamzah Fansury dan Syamsyudin asSamathrani, Abdurrauf cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan pertentangan agama tidak terjadi dalam masyarakat. Kesanggupan Abdurrauf dalam merumuskan hukum-hukum Islam dalam ungkapan yang mengagumkan dan fleksibel, telah menyebabkan syariat Islam dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh rakyat Aceh. Di sinilah letak kebesaran Abdurrauf, dan karena itu pula beliau memperoleh kehormatan yang luar biasa seperti ditulis P. Voorhoeve dalam Encyclopedia of Islam: “Abd al Rauf enjoyed such veneration that he was even accorded the Honour of having been the bearer of Islam to Achech”209. Kegiatan Abdurrauf sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Sultanah Safiatuddin adalah salah seorang sultan yang termasyhur dalam deretan nama-nama sultan Aceh yang kenamaan. Sultan Safiatuddin adalah sultan Aceh yang paling lama memerintah. Dalam kurun waktu 34 tahun pemerintahannya, sultan ini menghadapi masa yang cukup sukar dan sulit, karena penuh dengan luka-luka akibat hancurnya angkatan perang Aceh setelah menyerang Malaka pada tahun 1629, dan pertentangan agama, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Thani dalam membasmi ajaran-ajaran Hamzah Fansury dan Syamsyuddin as-Samathrani. Vleke dalam bukunya Nusantara A History of Indonesia menggambarkan Aceh pada masa itu sebagai sedang berada dalam suatu periode yang dinamakan: “a turning point periode in Aceh`s history”, terutama dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Tapi dalam lapangan agama, sosial, dan kebudayaan, Aceh terus memancarkan sinar yang gemilang. Semua itu tidak saja karena kecakapan Sulthanah Safiatuddin, melainkan juga berkat bantuan seorang ulama besar bernama Syekh Abdurrauf. Ulama yang telah turut membenarkan seorang wanita menjadi sultan inilah yang menandai pandangan Aceh menurut ukuran pada waktu itu sungguh telah sangat maju. Di Iran umpamanya, sampai pada abad ke-20 ini masalah hak pilih kaum wanita saja, masih dipertengkarkan di antara para alim ulama. 206

P. Vooehoeve, “Abd. Al Rauf”, The Encyclopaedia of Islam, Volume I, 1960, hal. 88 Loc.Cit. 208 Loc.Cit. 209 Loc.cit. 207

Aceh Serambi Mekkah

253

Pada hari Jum‘at, tanggal 4 Sya‘ban 1114 H atau 1639 M, Syekh Abdurrauf as-Singkel berpulang ke Rahmatullah dan dimakamkan dekat muara sungai Aceh di lingkungan rangkang yang didirikannya. Pada batu nisannya tertulis antara lain tulisan yang berbunyi Al Waliyul Maliki Syekh Abdurrauf bin Ali sebutan Walijul Mulki, menunjukkan betapa besarnya peranan Syekh Abdurrauf dalam kerajaan Aceh pada waktu itu. Sesudah beliau meninggal, namanya diabadikan dengan sebutan Syiah Kuala. Salah satu ulama besar–selain ar-Raniry-yang memberikan dukungan kepada para sulthanah adalah Abdul Rrauf. Nama lengkapnya adalah Abdur Rauf bin Ali al Jawi al Fansuri AlSingkili, lahir sekitar tahun 1620 di kota Singkil, Aceh Selatan210. Abdul Rauf menuntut ilmu ke tanah Arab pada usia 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661, berarti ia meninggalkan Aceh pada tahun 1642. Ketika ia kembali ke Aceh, kekuasaan telah dipegang oleh Sultanah Safiatuddin. Di mana kepemimpinan Safiatuddin telah dikukuhkan oleh pengakuan ar-Raniry sebelum Abdul Rauf berada di Aceh. Salah satu karya besarnya adalah Mir’at at Tullab, kitab ini dikarang atas permintaan Sultanah Safiatuddin. Dalam pendahuluan kitab tersebut, sebagaimana dikutip oleh T. Ibrahim Alfian, Abdul Rauf menggambarkan bagaimana kepemimpinan Safiatuddin: Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Sri Sultanah Taj al ‘Alam Safat al Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukmi daripda segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radiallahu ‘anhu…211

Dalam pengantar yang di tulis oleh Abdul Rauf, terlihat dengan jelas bagaimana seorang ulama memberikan penghargaan yang cukup besar dan tinggi kepada seorang sultanah. Bahkan dengan menggunakan kalimat puji-pujian “Hadarat yang Mahamulia”. Ini merupakan suatu bukti yang nyata bahwa Abdul Rauf as-Singkili dapat menjalin kerjasama dengan seorang sultanah tanpa melakukan diskriminasi sebagai yang telah diupayakan oleh golongan-golongan lain dalam menentang kepemimpinan seorang wanita. Bahkan pada masa-masa berikutnya pasca mangkatnya Safiatuddin, Abdul Rauf as-Singkili tetap mengambil peranan yang cukup besar dalam mempertahankan kepemimpinan sultanah di kerajaan Aceh. Hal ini terlihat ketika pada masa Naqiatuddin, Abdurrauf mengusulkan perombakan sistem pemerintahan di bagi dalam tiga sagoe. Kedudukannya sebagai Qadi sangat berpengaruh dan membuatnya terus-menerus melakukan upaya-upaya dan memutuskan kebijaksanaan tertentu dalam mewujudkan kehidupan beragama dalam kerajaan Aceh. Pada akhir abad ke-17 muncul keinginan golongan tertentu untuk mengakhiri kepemerintahan ratu wanita di Aceh.

210

Istilah al Jawi menurut pengertian masa lalu dimaksudkan Melayu. Tidak jelas apakah ayahnya seorang putera Melayu pendatangn ke Fansur. Nama Fansur yang dirangkai dengan as Singkil menunjukkan bahwa ada kampong bernama Fansur (bukan Barus) yang masuk bagian Singkil. Ibid., hal. 413 211 T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh…, hal.57

254

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Hal ini diakibatkan tidak adanya ulama yang kharismatik yang mendukung kepemimpinan wanita sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Rauf As-Singkili (w. 1690), sikap Abdul Rauf ketika itu telah menjadi pedoman oleh rakyat dalam menghadapi soal pro dan kontra terhadap pemerintahan wanita. Setelah 6 TahunAbdul Rauf meninggal, timbullah keinginan untuk mengakhiri pemerintahan ratu212. Yaitu, dengan dimakzulkan Kamalat Syah pada tahun 1699, Menurut data sejarah, Sultanah Kamalat Syah baru meninggal setahun setelah dimakzulkan yaitu pada tahun 1700. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kepemimpinan ratu wanita dalam sejarah kerajaan Aceh merupakan suatu hal yang menghadirkan decak kagum dunia dan kajian para peneliti sejarah. Hal ini dikarenakan pada masa itu kaum wanita dipandang tidak bisa menjadi pemimpin, kedudukannya lebih rendah daripada seorang laki-laki. Tetapi naiknya tahta wanita pada masa tersebut, juga tidak terlepas dari intrik-intrik pertentangan, di mana suatu pihak mendukung bahwa wanita dijadikan sebagai sultan, namun pihak lain menentang bolehnya wanita menjadi sultan. Pertentangan ini, terlihat didominasi oleh golongan pertama. Dalam hal ini, peranan yang telah “dimainkan” oleh Ar-Raniry pada masa-masa awal naiknya Sultanah Safiatuddin menjadi suatu faktor penentu, di samping kecakapan Safiatuddin yang telah berpengalaman dalam mengatur pemerintah, karena ia adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda, sekaligus sebagai permaisuri dari Sultan Iskandar Tsani. Sepeninggalnya Ar-Raniry, kembalinya Abdul Rauf as-Singkili dari Arab ke Aceh, menjadi faktor penentu kedua dalam proses bertahannya kepemimpinan ratu. Hal ini terlihat, karena setelah 6 tahun meninggalnya Abdul Rauf As-Singkili, golongan yang menentang kedudukan wanita sebagai sultan kembali mempunyai kedudukan yang kuat, sehingga Sultanah Kamalat Syah sebagai pewaris tahta terakhir dari kalangan wanita dapat dimakzulkan dan posisinya digantikan oleh kaum laki-laki.

Abdurrauf As-Singkili dan Pandangannya Pada Kedudukan Perempuan Sebagai Pemimpin Politik Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya Nabi, masa Khulafa’ Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam “genggaman” kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangat terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa’ ayat 34 telah mengakar dan menjadi landasan yang kuat213. Di mana laki-laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga.

212

Mohammad Said, Aceh Sepanjang…, hal. 419-420 Bunyi surat an Nisa’ ayat 34; dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. 213

Aceh Serambi Mekkah

255

Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang trasenden dan sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-laki214. Bahkan jumhur ulama sepakat tentang syarat tersebut, karena didukung oleh hadits Nabi215. Sistem ini diyakini dan dijadikan ideologi bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan berada pada posisi dipimpin oleh pria dan menjadi bagian dari property pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memposisikan perempuan di bawah kepemimpinan kaum lelaki. Secara historis, paparan di atas bila dikaitkan dengan suasana di Aceh pada abad ke-17 sesuatu yang lain dan berbeda dengan pemahaman keislaman yang berkembang ketika itu. Secara prinsipil, Aceh adalah bagian belahan dunia Islam yang menurut Ibnu Batuta dalam suatu ekspedisinya ke Aceh, bahwa ketika itu masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi’i bila dilihat dari konteks amalan keagamaan. Namun, realitasnya kesultanan Aceh tidak seluruhnya berada dalam dominasi kaum laki-laki tetapi dijumpai adanya kepemimpinan wanita (ratu) yang dapat eksis dan mendapat pengakuan dari semua pihak, baik ulama maupun mayoritas masyarakat Aceh.. Beranjak dari paparan di atas, di sini akan mengkaji tentang eksistensi kepemimpinan wanita (ratu) di Aceh sehingga mampu bertahan kurang lebih setengah abad lamanya, dan ini dianggap waktu yang lama. Di samping itu juga akan melihat bagaimana sikap dan peranan ulama-ulama Aceh pada era pemerintahan ratu, khususnya terhadap dua ulama besar yang mempunyai peranan penting dalam menggawangi kepemimpinan ratu dalam sejarah kerajaan Aceh, yaitu Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf as-Singkili. Untuk melacak data-data historis tersebut, bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal ini menjadi penting untuk di kaji dalam rangka melihat pergeseran-pergeseran pemahaman yang terjadi di Aceh pada masa tersebut. 6.5 Syekh Burhanuddin Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama, politikus, negarawan, dan pengarang yang ternama, serta murid utama dari Syekh Abdur Rauf Teungku Syiah Kuala. Dia kemudian dikirim ke wilayah pantai barat Sumatera (Minangkabau) dan berkedudukan di Pariaman yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan Syekh Burhanuddin Ulakar. Karangannya yang sangat terkenal berjudul Kasyful Muntadir yang berisi uraian yang berdalihkan ayat al-Qur’an dan Hadits untuk membantah ajaran ulama suluk. Masih ada lima nama yang lain dalam khazanah ulama-ulama terkemuka dalam zaman keemasan Aceh, yaitu Syekh Jalaluddin (ulama dan pengarang), Syekh Jalaluddin bin Muhammad Kamaluddin Tursani (ulama, pengarang terkenal dan negarawan yang ahli), Syekh Muhammad Zain (ulama dan pengarang turun temurun), Syekh Abdullah (ulama dan ahli hadits kenamaan), dan Syekh Jamaluddin bin Syekh Abdullah (ulama, pengarang dan ahli tasawuf). Itulah sekedar kebesaran Islam di zaman Kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874 M.)216. 214

Al Ghazali, Al Iqtishad fi Al I’tiqad, (Kairo: t.p., 1320) H, p. 152 Jumhur ulama memahami hadist ini secara tekstual, mereka berpendapat bahwa pengangkatan wanita menjadi kepala negara, hakim, dan berbagai jabatan lainnya dilarang, mereka menyatakan bahwa wanita menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Lebih lanjut, Baca: al Shan’ani, Subul al Salam, Juz IV, p. 123. Dan, Abdul Qadim Zallun, Sistem Pemeritahan Islam, Terj. M. Maghfur W, Bangil-Jatim: al Izzah, 2000, p. 56-58 216 Yusuf Abdullah Puar, Masuknya Islam ke Indonesia, (Jakarta-Bandung: Indradjaya, 1981)ss, hal. 62. 215

256

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

7. Pengaruh Para Ulama dan Sarjana Pada Pemikiran Islam di Aceh 7.1 Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dan Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Nusantara Tradisi pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara dan nusantara memberikan kita gambaran sejarah tentang peranan bangsa Arab, Persia, dan Gujarat dalam melakukan pelayaran dan perdagangan ke kawasan Asia dan nusantara. Kehadiran mereka setidaknya telah memperkenalkan kepada masyarakat pribumi tentang ajaran Islam, dan ini dapat dicermati dalam beberapa pandangan, di antaranya adalah; pertama, kehadiran para pedagang muslim. Hal ini ditandai dengan hadirnya berbagai kapal yang berlayar ke nusantara, khususnya ke daerah Aceh dan Malaka. Kedua, terbentuknya kerajaan Islam. Ketiga, pelembagaan Islam. Pengaruh Islam yang berpusat di Pasai telah merambah jauh hingga mencapai pesisir Sumatera, Semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, dan Lombok. Dasar pemahaman ini tentu saja dengan ditemukannya beragam peninggalan arkeologis, terutama batu nisan yang menyerupai bentukbentuk batu nisan di Aceh. Ada suatu kecenderungan di benak pembahas ketika membuka lembaran-lembaran sejarah masa lalu. Kecenderungan ini timbul hanya disebabkan oleh pengaruh emosional dan alam berpikir pembahas yang terkadang sangat mengutamakan nilai-nilai kontemporer ketimbang nilai-nilai klasik. Hal ini tampak dari penekanannya yang hanya tertuju pada pengaruh sejarah secara subtansial (abad 16), dan fenomena-fenomena pemikiran yang berkembang saat itu. Barangkali bagi kita akan sangat menarik bila sejarah kontemporer yang menjadi pembahasannya. Akhir abad 19 atau awal abad 20, seolah menjadi pertanda di mana fenomenafenomena berkembang begitu pesat, dan menjadikannya sebagai tradisi pengetahuan. Bahkan hampir-hampir semua orang, kalau tidak dikatakan mayoritas, menjadikan abad 20 dalam standar kemajuan pengetahuan, sehingga proses ini, di mata pembahas, melahirkan beragam pemikiran dalam memahami potret sejarah. Sejarah dalam konstelasi pemikirannya hanya menuntut perubahan. Suatu perubahan yang sifatnya elementer, di mana inti dan sasaran sejarah tetap sama, hanya saja perubahan tersebut tertuju pada pembangunan dan kesadaran pengetahuan. Ciri utama dalam gerakan pembangunan dan kesadaran adalah untuk mengikat kesinambungan yang dinamik antara hubungan tempo dulu dengan tuntutan perubahan ke arah kemajuan. Memang, perubahan yang kita rasakan terbentuk melalui transformasi sejarah tempo dulu. Dan di sini, bagi pembahas kepekaan ini (kesadaran pada nilai-nilai sejarah klasik) kurang disadari atau sangat sedikit merasakan bahwa transformasi sejarah hadir melalui gelombang besar, yakni revolusi. Oleh karena itu, pembahasan ini hanya berbentuk naratif. Pembahas bahkan tidak memiliki pondamen yang kuat untuk membicarakan sejarah pada abad ke 16 dalam ruang yang sehat. Artinya, ketidakmampuan untuk menghubungkan referensi-referensi yang ada dengan dinamika akademis menyebabkan pembahasan ini berada dalam ruang yang abstrak. Hal ini bukan berarti membiarkan sejarah, dengan topik “Islam dan Pemikirannya di Abad 16”, tanpa pendekatan yang akan ditawarkan. Pendekatan ini—akan dilihat dalam bentuk “sosial”, dengan mempertanyakan beberapa persoalan seputar peristiwa sejarah di abad 16, di antaranya adalah: bagaimana perkembangan Islam pada abad 16, dan model-model pemikiran (tradisi) apa yang

Aceh Serambi Mekkah

257

hidup saat itu, serta karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dan pengaruhnya pada pemikiran Islam nusantara. Masa Hamzah Fansuri adalah sekitar pertengahan abad ke-16 dan pertengahan abad ke-17, yaitu dalam masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil dan permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Tahun kelahiran dan meninggalnya yang tepat tidak jelas. Sedangkan Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Sumatrani yang merupakan salah seorang murid dan pendukung terkenal dari Hamzah Fansuri, meninggal 12 Rajab 1039 H (1630 M). As-Sumatrani adalah penasehat kerajaan Aceh sejak Sultan al-Mukammal sampai pada saat wafatnya pada zaman Sultan Iskandar Muda. Sejarah Singkat Islam di Abad 16 Perkembangan Islam pada abad 16 bisa dikatakan mencapai puncak penyebarannya di seluruh penjuru nusantara, dan ini bukan berarti bahwa pada abad sebelumnya, kira-kira abad 7-13 M, agama Islam belum dikenal. Lebih lanjut, ada beberapa catatan, seperti karya Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”, yang mengemukakan bahwa pada abad itu terlihat bagaimana kemajuan Islam di seantero nusantara begitu berperan dan dianggap masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial intelektual kaum Muslim217. Dalam hal ini, di mata pembahas, kesimpulan beliau hanya tertuju pada pengaruh jaringan ulama yang berpusat di Mekkah dan Madinah saja. Kedua kota besar Islam ini, bagi beliau, menjadi indikasi penyebaran Islam di Indonesia. Padahal bagi pembahas, jauh sebelumnya, perkenalan Islam sebagai agama telah berkembang di Indonesia, dan puncaknya adalah akhir abad 15 dan awal abad 16. Dengan merujuk catatan yang diketengahkan oleh beliau (Bapak Azra), menurut pembahas cenderung hanya sebagai kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, dengan berdasarkan pada pengembangan mentalitas Islami218. Untuk mengingatkan kita pada sejarah Islam klasik pada abad 16, tentu pembahas merujuk kembali pada catatan James T. Siegel, “the Rope of God”, yang menyebutkan bahwa kedatangan Marco polo pada tahun 1292 menjadi suatu indikasi, di mana kesultanan Islam pertama di Asia Tenggara memiliki jaringan dengan kerajaan-kerajaan di Asia Selatan melalui hubungan multilateral, yakni hubungan ekonomi dan budaya219. Kemudian diperkuat dengan sumber tertulis dalam 217

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 16 218 Lihat [ed.], Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. DR. Denys Lombard, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 72. Di samping juga, di mana pada abad 17 terjadi akulturasi budaya dengan bangsa-bangsa Eropa, yang sejalan dengan kolonialisme di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Sehingga hubungan internasional ini sangat berkembang, tatkala Aceh menjadi pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, antara lain semenanjung Melayu dan pesisir utara pulau Jawa. Lihat Biografi Seorang Guru di Aceh: Kisah Syamsuddin Mahmud, (Jakarta: Universitas Syiah Kuala, 2004), hal. 21 219 James T. Siegel, the Rope of God, (Barkeley and Angeles: University of California Press, 1969), hal. 4. Dengan adanya kerajaan Islam di Asia pertama, yakni kerajaan Pasai, secara tidak langsung dapat membantu penyebaran Islam ke pelosok Nusantara, dan ini dapat dilihat dengan ditemukannya makam pedagang seorang muslim pada abad 16 M di Leran Gresik, Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M.

258

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh yang digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai, walaupun di Barus telah ditemukan makam seorang wanita bernama Tuhar Amisuri220. Oleh karena itu, masuknya Portugis dan Cina pada akhir abad 15 dan awal abad 16 di dua tempat, seperti Basma dan Samara, dan diperkirakan masuk dalam kekuasaan kerajaan Pasai. Basma, yang disebut dalam berita Portugis hingga abad 16, adalah suatu tempat yang kini mungkin terletak di sekitar daerah Simpang Ulim. Sementara Samara sampai sekarang masih melekat dengan sebutan Samalanga221. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Pase dan Malaka, di kemudian hari berubah menjadi penyebaran Islam ke tempat-tempat lainnya. Pada waktu itu, mata uang emas, dirham, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Samudra Pasai dikenalkan pula kepada raja dan masyarakat Malaka. Sejak itu, diduga agama Islam berkembang dalam wilayah Malaka, atau pada masa Sultan Muhammad Iskandar Syah, raja kedua Malaka222. Semasa pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah, batas-batas, Malaka berkembang antara Kuala Linggi dan Kuala Kerang. Kemudian, perluasan Malaka lebih lanjut, dilakukan oleh Sultan Mudzafar Syah. Pinding, Selangor, Misar, Singapura, dan Bintan semuanya dimasukkan dalam kerajaan Malaka. Bahkan beliau mampu mengembangkan sayapnya ke daerah-daerah belahan Selat Malaka, seperti Indragiri, Kampar, dan kerajaan di pesisir Sumatera (Minangkabau, Sumatera Barat) yang kaya dengan lada dan emas. Perkembangan ini berlanjut pada masa Sultan Mansyur Syah. Tampaknya, Islam tidak hanya berada dalam kawasan Malaka tapi telah merambah jauh ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera dan semenanjung Malaka. Pengaruh ini ternyata membawa akibat agama Islam menyebar ke tanah Jawa, sehingga orang Jawa telah berinteraksi dengan ajaran-ajaran Islam, terutama di pesisir Utara. Hal ini terbukti dengan hadirnya makam-makam kuno di Troloyo dekat Trowulan, dan menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat Muslim di dekat kerajaan Majapahit. Bahkan pusat-pusat perdagangan mulai tumbuh di pesisir utara, seperti Gresik, Cirebon, Demak, dan Banten di akhir abad 15 dan permulaan abad 16, dengan praktekpraktek keagamaan mulai diperkenalkan kepada masyarakat223. Dengan demikian, kegiatan politik juga telah mulai berkembang dengan Demak sebagai pusat kekuatan Islam pertama di Jawa yang berhasil menyerang Kerajaan Majapahit. Sejak itu, perkembangan Islam di Jawa telah berperan secara politik dan masyarakat setidaknya telah diperkenalkan dengan cara-cara mempraktekkan amalan berdasarkan pengetahuan Islam. Kemudian, dilanjutkan oleh kerajaan Pajang dan Mataram ke daerah-daerah di luar Jawa secara spesifik, seperti Banjarmasin, Hitu, Ternate, dan Tidore serta Lombok224. Secara tradisi, barangkali kerajaan Pasai dengan mewariskan atau memperkenalkan ajaran Islam ke tangan Malaka, baik dilakukan secara politik maupun sosial-budaya (perdagangan), mampu merambah jauh ke luar pulau Jawa. Dari catatan yang ada, sampai abad 220 Hasan Muarif Ambary, [ed.], Jajat Burhanuddin, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 57 221 Ibid 222 Biografi Seorang Guru di Aceh…, hal. 23 223 Hasan Muarif Ambary, [ed.], Jajat Burhanuddin, Menemukan Peradaban…, hal. 58 224 Ibid

Aceh Serambi Mekkah

259

ke 16, Samudrai Pasai masih tetap menjadi persinggahan utama di kawasan barat nusantara yang ramai dikunjungi kapal-kapal pedagang Cina, Persia, Arab, dan sebagian negara-negara Eropa lainnya, termasuk dermaga-dermaga Portugis. Uraian-uraian di atas tentu saja menunjukkan adanya pengaruh islamisasi ke seluruh Indonesia yang berawal dari kerajaan Pasai, sebagai akibat pergumulan dan pendekatan para ulama dalam membawa misinya berdasarkan pengalaman pribadinya. Pembahas di sini mencoba membangun suatu pemikiran yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani, dengan mengambil beberapa peran dalam memahami ajaran Islam. Kedua ulama ini, di mata pembahas termasuk salah satu tokoh yang dianggap radikal saat itu, namun sulit dicari referensi yang jelas tentang bagaimana kehidupan sosio-kulturalnya, seperti kapan, di mana, dan siapa guru agamanya. Dalam hal ini, bukan berarti kita akan menempatkan kecurigaan ajaran-ajaran beliau di atas nilainilai ambiguitas. Dalam tulisan M. Hasbi Amiruddin, “Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik”, bahwa Hamzah Fansuri, seperti dilansir oleh A. Hasjmy pernah belajar agama dan bersifat nomaden dengan mengunjungi tempat-tempat seperti India, Persia, dan Arab225. Sehingga akhirnya, dengan tingkat kecerdesan dan pengalaman pribadinya, beliau telah menghasilkan beberapa ilmu pengetahuan, di antaranya adalah: 1. Syarh al- Sikin, Zinat al- Muwahidin (Minuman Orang-Orang yang Rindu kepada Allah, Hiasan Orang-Orang Mengesakan Allah). Kitab berbahasa Melayu ini yang membicarakan tentang thariqat, syariat, hakikat, dan ma’rifat. 2. Asra al- ‘Arifin fi Bayani ‘Ilmi al Suluk wa al- Tauhid (Rahasia Orang-Orang Bijak yang Menjelaskan Ilmu Tarikat dan Tauhid). Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu dalam bentuk gabungan puisi dan prosa. 3. Al-Muntahi (Ujung Pencaharian). Kitab ini berbahasa Melayu yang berisi kutipan-kutipan al-Qur’an, hadits dan kata-kata mutiara para wali (ahli tasawuf) dengan sedikit komentar dari Hamzah Fansuri. 4. Rubai Fansuri. Buku ini adalah kumpulan syair yang membicarakan beragam masalah, mulai dari tauhid, fiqih, dan akhlak/tasawuf. Bahkan terdapat beberapa syair, di antaranya adalah Syair Perahu, Syair Burung, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir, dan Syair Ikan Tongkol226. Kumpulan-kumpulan pengetahuan yang berkaitan langsung dengan idiom-idiom keagamaan menempatkan beliau dalam dataran yang lebih konkret atas perkembangan Islam di Indonesia. Abad 16 dapat dikatakan sebagai fase pertumbuhan paham tasawuf. Ajaran ini cenderung dikenal dengan nama wujudiyah, dan banyak kalangan yang berpijak pada pandangan ini menganggap paham dan ajaran yang sesat, sebab ajaran tersebut beranggapan bahwa dhat dan wujud Tuhan itu sama dengan dhat dan wujud alam. Oleh karena itu, pada umumnya, hasil penelitian menjelaskan bahwa paham tasawuf Hamzah Fansuri menyimpang dari akidah Islam yang murni, dan mengajarkan kepada masyarakat

225

M. Hasbi Amiruddin, [peng.], Ibrahim Alfian, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, (Yogyakarta: Ceninnet Press, 2004), hal. 24 226 Ibid, hal. 25

260

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

bahwa Tuhan itu pencipta alam, dan alam adalah ciptaan-Nya227. Begitu juga dengan puisi dan syair-syair yang dikembangkan oleh beliau, dalam hal ini, banyak kalangan dari sastra sepakat bahwa puisi dan syair beliau adalah referensi awal sastra yang berbentuk bahasa Melayu (satu bait empat larik yang bersajak aaaa). Ini dapat dilihat dalam syair Ikan Tongkol, seperti: Tinggalkan ibu dan bapai Supaya dapat air kaurasai Jalan mutu terlalu ‘ali Itulah ilmu ikan sultani228

Dengan latar-belakang pengetahuan tasawuf, tauhid, puisi atau syair Hamzah Fansuri, pengembangan ilmu dan pengetahuan ajaran Islam mengalami kegagalan. Kita bahkan dapat menyimpulkan bahwa pengaruh ajarannya telah membawa tabir kegelapan bagi seantero nusantara hingga akhir abad 17. Bagi pembahas, ada satu kecenderungan dengan praktek tasawuf yang dipraktekkan pada abad 16, yaitu adalah kecintaan masyarakat pada arus mistik, dan faktor tersebut yang barangkali (spekulatif) mampu hidup dalam berbagai kumpulan masyarakat. Tapi secara akademis, sebenarnya pandangan tasawuf hanya untuk membantu tingkat keimanan dan ketauhidan pada Tuhan. Masyarakat tertentu beranggapan bahwa ilmu tasawuf dapat memberi penjelasan secara tuntas mengenai kemahaesaan Tuhan, sehingga di mata pembahas, akhirnya terjebak dalam bentuk dogmatisme agama. Biasanya mereka melakukan praktek zikir dengan masyuknya melalui ibadahibadah sufistik, dan sering mengabaikan kebaikan dunia, atau masalah muamalah antara satu manusia dengan manusia lainnya. Dan, terkadang proses ini merupakan akibat kekecewaan tertentu dalam kehidupan mereka, yang kemudian menenggelamkan dirinya dalam pengembaraan dan pencaharian ruhaniah. Dalam kecenderungan ini terkandung anggapan bahwa tarekat atau tasawuf merupakan escapism belaka, bahkan kalau kita menghubungkan dengan teori Marxis cenderung dipahami sebagai candu, dan membuat seseorang lupa diri. Secara historis, dalam pertumbuhan bahasa dan kesusasteraan di nusantara dan Malaysia, Hamzah Fansuri adalah salah seorang perintis kehidupan bahasa dan kesusasteraan Indonesia dan Malaysia. Kalau di kemudian hari, dalam abad 20, para tokoh berbicara tentang unsurunsur rasionalisme dan lepasnya kekangan-kekangan yang bersifat tradisionil sebagai ciri-ciri kesusasteraan modern Indonesia, sebenarnya dalam zaman Hamzah Fansuri kurun itu dimulai. Sehingga saat itu, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Pada zaman kerajaan Aceh, Hamzah Fansuri beserta ulama-ulama dan pengarang Islam lainnya menjadi pelopor dalam menempatkan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam dunia niaga, dalam pengajian, serta dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Karya Hamzah Fansuri dalam bentuk prosa yang dapat diketahui sampai sekarang berjumlah dua buah. Karya

227

Editor Ibrahim Alfian, dkk, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan Kepada Prof. DR. Sartono Kartodirdjo, (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1992), hal. 1 228 Ibid, hal. 6

Aceh Serambi Mekkah

261

pertama, ialah Zinatul Muwahhidin, menjelaskan tentang tarikat, syariat, hakikat dan makrifat. Pengaruh Ibnu Araby dari Spanyol itu dengan jelas terlihat dalam karangannya. Karya yang kedua berjudul Asrar al-Arifin fi Bayan Ilmu al-Suluk wal Tauhid. Dari kedua bukunya ini dengan jelas sekali menunjukkan pendirian yang bersifat wahdat al-wujud. Murid beliau yang sangat terkenal ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Sumatrani yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kerajaan Aceh, terutama pada masa pemerintahan al-Mukammal dan Iskandar Muda. Dalam bukunya Miratul Mukminin, jelas sekali bahwa aliran sufi (pendirian) Syekh Syamsuddin as-Sumatrani secara garis besarnya merupakan cerminan dari pendirian Hamzah Fansuri. Hal tersebut di atas, dapat kita lihat dari seluruh karya as-Sumatrani. Bahkan karyanya tersebut dapat dianggap memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. Salah satu pandangan dan uraian as-Sumatrani atas karya gurunya tersebut, berjudul Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri. Pengaruh Hamzah Fansuri tidak saja dapat kita lihat dalam kehidupan keagamaan di kerajaan Aceh, tetapi juga di Jawa dan Melayu. Dewasa ini, para ulama dan ahli-ahli telah meneliti dan mempelajari kembali ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani serta karya-karyanya yang besar itu229. Hasil karyanya banyak yang musnah akibat tindakan pembakaran dalam rangka pembasmian ajaran-ajaran mereka pada masa Sultan Iskandar Thani. 7.2 Peranan ar-Raniry Dan Abdur Rauf Terhadap Kepemimpinan Sultanah Pada masa pemerintahan para sultanah di kerajaan Aceh, terjadi pertentangan mengenai tahta kesultanan bagi seorang perempuan. Pertentangan ini nampaknya dimenangkan oleh kalangan yang mendukung perempuan boleh menjadi seorang sultan, walaupun pada akhirnya Ratu Kamalat Syah dimakzulkan. Dalam hal ini, peranan dua ulama besar yang dimiliki kerajaan Aceh pada waktu itu, mampu memberikan solusi yang terbaik dalam mewujudkan perdamaian antara dua pihak yang saling bertentangan. Kedua ulama tersebut adalah Nuruddin ar-Raniry dan Abdul Rauf as-Singkili. Ketika Ratu Naqiatuddin yang memerintah kerajaan Aceh, yang menjadi mufti kerajaan adalah Abdul Rauf As-Singkili, yang sebelumnya memang telah pula menjadi mufti pada masa Sultanah Safiatuddin. Salah satu sumbangan penting Abdul Rauf As-Singkili bagi kepemimpinan Naqiatuddin adalah kontribusi dan sarannya agar ratu mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh, sebagaimana yang tercantum di dalam undang-undang dasar Kerajaan Aceh, Adat Meukuta Alam.230

229

Lihat, Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam TH. 1520-1675, (Medan: Monora, 1972), hal. 110-118 230 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, (Banda Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, 1979), hal. 22

262

Islamisasi Serambi Mekkah: Dari Aceh Bersemi

BAB LIMA ACEH: SUMBER ISLAMISASI NUSANTARA

ISLAM SEBAGAI PEMERSATU ETNIK/SUKU ACEH 1. Aceh dan Pemetaan Nusantara Nusantara secara geografis dalam pemetaan wilayah pada awalnya merupakan wilayah yang terdapat antara Siam, Malaka dan Irian (Papua)1. Sedangkan untuk memposisikan Aceh pada masa lalu dalam pemetaan ini merujuk kepada pemetaan Kesultanan Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatera dan merupakan bagian yang paling barat dan paling utara dari kepulauan nusantara. Pemetaan dengan mengambil wilayah kekuasaan kerajaan Aceh dilakukan untuk memudahkan melihat cakupan wilayah Aceh, karena pada masa kesultanan, wilayah Aceh sudah cukup luas sehingga meliputi wilayah kesultanan-kesultanan lain seperti Pereulak, Pasai, Daya dan lain-lain yang muncul sebelum kesultanan Aceh. Secara geografis Aceh berada di belahan barat pulau Sumatera berbatasan langsung dengan lautan Hindia, sementara di sebelah utara dan timurnya terletak Selat Malaka. Selat Malaka merupakan terusan penting dalam gerak migrasi bangsa-bangsa di Asia; dalam gerak ekspansi kebudayaan dari India dan Cina, baik menuju ke Eropa maupun negaranegara di Timur Tengah. Selat Malaka telah berperan sangat penting dalam menghubungkan negara-negara ini. Hal ini dapat dilihat dari jalur lintas bangsa Asia yang menuju ke negaranegara di Timur Tengah yaitu: dari Cina dan Indonesia, melalui Selat Malaka menuju ke India, dari India kemudian bisa diteruskan ke Teluk Persia melalui Suriah ke Laut Tengah, atau ke Laut Merah yang melalui mesir ke Laut Tengah (dengan ini dapat dilihat bahwa jalur laut dapat diperkirakan lazim dipergunakan pada abad pertama sesudah Masehi). Jalur perhubungan Cina, India dengan Eropa bahkan sudah ada semenjak tahun 500 SM dan merupakan jalur yang paling tua dalam lalu lintas perdagangan Internasional.. Dengan begitu, dapatlah dipahami bahwa Selat Malaka telah menjadi tempat bertemunya jaring-jaring lalu lintas Internasional, baik dari barat maupun dari timur. Sehingga menjadikan wilayah disepanjang perairan Selat Malaka, secara bergantian, sebagai pelabuhan transit atau sebagai pelabuhan tempat mengambil air minum dan perbekalan. Termasuk wilayah kerajaan 1

Salman Harun, Hakikat Tafsir Turjuman al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Singkel, Disertasi, (Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, 1988), hal. 12

Aceh Serambi Mekkah

263

Aceh. Posisi geografis yang sangat strategis ini, menjadikan wilayah kerajaan Aceh selalu dilintasi oleh bangsa-bangsa dari berbagai negara di belahan dunia dan menjadi pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia. Sehingga banyak bangsa asing yang ingin menguasai wilayah ini, bahkan sejak kerajaan-kerajaan Hindu masih berdiri, seperti kerajaan Hindu Lamuri2 yang diserang oleh Maharaja Chola I dari India, Majapahit, Sriwijaya dan Cina. Semua hal tersebut memberi pengaruh pada kemunculan dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Aceh yang berada disekitar kawasan lalu lintas Internasional ini Karena posisi geografisnya yang sangat strategis itu membuat Aceh telah dikenal sejak zaman awal terbentuknya jaring-jaring lalu-lintas internasional. Berita dinasti Han (abad 1-6 M) tentang Huangche, yang identik dengan Aceh. Begitu juga Barosai yang disebut oleh Claudius Ptolemaeus (465 M) sebagai negeri-negeri yang terletak di tepi jalan menuju ke Cina, yang dikenal dengan Barus sekarang, baik dari segi namanya maupun dari hasil yang dihasilkan oleh negeri tersebut. Selanjutnya dinasti Poli yang disebut-sebut oleh dinasti Leang (502-556 M), Dinasti Sui (584-617 M) dan yang terakhir Dinasti Tang (618-906 M). Pemberitaan-pemberitaan seperti ini berkaitan erat dengan dengan jalan lalu-lintas internal pada waktu itu dan tempattempat tersebut dapatlah dikatakan telah memegang pasisi-posisi tertentu pada jalan lalu-lintas yang sering dilalui oleh orang-orang Cina. Selanjutnya pada masa Kerajaan Sriwijaya, Selat Malaka dan daerah-daerah sekitarnya memegang peranan yang begitu penting. Sehingga pengawasan terhadap lalu-lintas Internasional berada sepenuhnya ditangan Sriwijaya. Aceh pada saat itu berada dibawah kekuasaan Sriwijaya, sehingga bandar di Aceh berperan sebagai bandar penghubung, bandar perbekalan dan pangkalan angkatan laut. Semua pelayaran keluar negeri untuk wilayah daerah barat Sriwijaya dimulai di Aceh. Semantara itu, pada abad 13 kekuatan Sriwijaya sudah melemah dan sudah sangat jauh berkurang. Satu per satu daerah-daerah kekuasaannya direbut oleh kerajaan lain ataupun memerdekakan diri. Kira-kira pada tahun 1300 mulai berkembang kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di pantai utara Aceh, antara lain Pereulak, Samudra Pasai dan Lamuri pada tahun 1325, sehingga peranan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan internasional telah berakhir. Karena itu, Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh dari luar. Salah satu yang terpenting diantaranya ialah pengaruh agama Islam. Wilayah kekuasaan Aceh demikian luas pada masa Sultan Iskandar Muda, mencakup sebagian besar pesisir pulau Sumatera, hingga ke Bengkulu dan sungai Indra Giri, juga wilayah semenanjung Malaka seperti Kedah, Perak, Pahang dan Trengganu.3 Dengan Wilayah kekuasaan yang begitu luas memyebabkan penyebaran masyarakat dan dinamikanya sangat tinggi. Kerajaan tersebut sangat maju bahkan pada saat itu telah mampu melakukan hubungan dagang dengan berbagai negara seperti Belanda, Inggris dan Perancis. Hubungan kerja sama juga dilakukan dengan kerajaan Turki yang pada saat itu menjadi dinasti sangat berkuasa di benua Asia dan Eropa.4 Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan bahwa 2

Beberapa catatan sejarah menyebutkan nama kerajaan Lamuri dengan nama Lamri, Ramni, dan Rami, lihat lebih lanjut dalam Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan : PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 135. 3 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 14. 4 Raliby, Bunga Rampai tentang Aceh, (Jakarta: Bharata, 1980), hal. 7.

264

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

kerajaan Islam yang pertama di Nusantara berada di daerah Aceh (Samudera Pasai). Disimpulkan pula, bahwa agama yang masuk ke daerah Aceh adalah Islam yang dalam batas tertentu telah tersebar dan teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaur dengan unsur budaya Persia dan India ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan agama di Aceh. 2. Etnis Aceh dan Perkembangannya Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia maupun dunia internasional pada masa yang lalu, saat ini ataupun mungkin pada masa yang akan datang. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog, seperti Snouck Hungronje. Perkembangan sejarah dan peradaban suku bangsa Aceh pun menjadi perhatian para ahli sejarah, karena suku Aceh mempunyai keunikan tersendiri, terutama integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya terjadilah suatu etnik Aceh. Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong ke dalam etnik melayu (ras melayu). Disamping itu etnik Aceh sering diidentikkkan dengan Arab, Cina, Eropa dan India ataupun Hindustan. Melihat dari segi fisik memang kebanyakan bentuk muka orang aceh cenderung mirip orang Arab atau India, walaupun kemungkinan, itu bisa saja terjadi mengingat letak Aceh di jalur perdagangan internasional sehingga pembauran dan akulturasi berbagai bangsa bisa dengan mudah terjadi. Akan tetapi, kalau dilihat dari segi kedekatan budaya dan geografis, Aceh memang terletak di Sumatera, maka etnis Aceh merupakan bagian dari etnis Melayu yang banyak tersebar di sekitar Selat Malaka. Aceh sejak dulu telah mempunyai kontak dagang dengan bangsa asing terutama India, Timur Tengah dan Cina. Keberadaan suku bangsa Aceh di ujung pulau Sumatera menjadi perhatian para saudagar yang menggunakan laut sebagai jalan transportasi di Selat Malaka. Adanya kontak bisnis dan interaksi sosial tersebut sekaligus menyebabkan terjadinya kontak budaya antara bangsabangsa yang singgah di Aceh. Kehadiran para saudagar tersebut dari hari ke hari semakin bertambah di Aceh, sehingga pada waktu tertentu para pendatang banyak menetap di Aceh. Para imigran yang datang ke Aceh merupakan suku bangsa yang tidak berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia, terutama di Sumatera. Dengan adanya kehidupan dan struktur masyarakat, maka diindikasikan sejarah kedatangan imigran ke Aceh terjadi ribuan tahun sebelum masehi. Dalam buku” Aceh Sepanjang Abad” Mohammad Said menyebutkan, bahwa dari sudut-sudut pengetahuan tentang jenis bangsa atau darah bisalah diyakini sepenuhnya sudah lama sebelum Isa As, sekitar 2500 atau 1000 tahun sebelum masehi wilayah Aceh telah dihuni oleh penduduk, mereka adalah golongan Melayu Tua, serupa dengan jenis suku bangsa lain dari kepulauan Sumatera. Selanjutnya disusul oleh Golongan Melayu Muda yang muncul 300 tahun sebelum Masehi. Akibat kedatangan Melayu Muda, maka Melayu Tua yang sudah duluan mendiami wilayah Aceh akhirnya menyingkir ke daerah pedalaman, sedangkan Melayu Muda mendiami wilayah pesisir.5 Menyingkirnya golongan Melayu Tua bukan saja karena mereka tidak survive dengan keadaan yang ada, tetapi juga disebabkan karena mereka enggan menerima pembaharuan sehingga mereka menetap di daerah daratan tinggi. Golongan Melayu Tua ini merupakan cikal 5

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan : PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 12.

Aceh Serambi Mekkah

265

bakal atau nenek moyang dari etnis yang ada di Aceh sekarang disebut dengan etnik Gayo, mereka mendiami wilayah Aceh Tengah dan suku Mante di Aceh Besar. Sehubungan dengan suku bangsa Aceh , Zainuddin dalam buku “ Tarich Aceh dan Nusantara” mengatakan bahwa bangsa Aceh termasuk ke dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (Orang Laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang menurut ethnologie, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia dan Babilonia dan bangsa Dravida di lembah Sungai Indus dan Gangga. Yang mungkin juga orang Batak atau Karo dimana mereka juga berhubungan erat dengan orang ini, dan ada kemungkinan pula ada perhubungan dengan bangsa Gayo dan Alas.6 Mengenai tentang suku Mante ini ada suatu keterangan lain yang mengatakan bahwa suku ini mendiami daerah Aceh Besar, yang bertempat tinggal di Kampong Seumileuk yang juga disebut kampong Rumoh Dua Blaih. Letak kampong tersebut diatas Seulimuem antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya daratan yang luas, dan dari sini suku Mante berkembang biak keseluruh lembah Aceh tiga segi dan selanjutnya menyebar ke berbagai tempat di Aceh. Lain pula halnya dengan suku bangsa Gayo yang akar katanya Kayo (takut) yang memiliki mitos atau cerita tersendiri, yakni bangsa Gayo berasal dari orang-orang yang melarikan diri ke pegunungan dari Aceh Timur dan Utara yang tidak mau masuk agama Islam ketika Peureulak diserang oleh Sriwijaya pada tahun 1271 M. Mereka ini disebut Gayo Seumamah dan Gayo Serbajadi di dekat Simpang Krueng Peunaron (Aceh Timur) sedangkan yang di Takengon berasal dari orang-orang Pasai dan Peusangan. Berikutnya ada lagi para pengungsi dari pesisir Aceh Utara karena merasa takut dibawa oleh Raja Aceh ke Malaya untuk berperang, maka mereka menyingkirkan diri ke hulu Sungai Peusangan (Laut Tawar) atau Takengon. Mengenai tentang suku Gayo ini dalam kitab “Bustanus Salatin” disebutkan sebagai berikut: “adapun diceritakan oleh orang yang empunya cerita ada suatu kaum orang yang dalam negeri itu tiada ia mau masuk agama Islam, maka ia lari ke hulu sungai Peusangan, maka karena itulah dinamai orang dalam negeri itu Gayo hingga datang sekarang ini”.7 Sedangkan Yunus Jamil yang dikutip oleh Nourouzzaman Shiddiqi merunut asal usul etnis Aceh dari syair yang diciptakan oleh Makhdum Johani, yaitu : Aceh Melayu datu sirungkom Teuka awai phon di nanggroe dewa Likot nibaknyan Arab dengan Rom Teuka meuron-ron u pulo Ruja8 Terjemahannya : Aceh Melayu moyang serumpun Datang bermula di negeri dewa Berikut tiba Arab dengan Rum 6

Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, (Medan : Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal. 20. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad….hal. 8 Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia, Disertasi, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987), hal. 122 7

266

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Berduyun-duyun ke Pulau Perca. Dari syair ini dapat dianalisis tentang asal usul nenek moyang Aceh Melayu yang berasal dari negeri dewa atau Asia Depan. Kemudian suku ini bercampur baur dengan pendatangpendatang dari Arab, Turki dan Persia. Menurut Teungku di Kuta Karang, sebagaimana pernah diceritakan oleh Snouck Hurgronje, dalam bukunya yang berjudul “The Achehnese” bahwa : “The Achehnese are composed of elements drived from three peoples, the Arabs, The Persians, and the Turk” (darah suku Aceh banyak bercampur dengan darah bangsa Arab, Persia dan Turki).9 Sebelum Islam masuk ke wilayah Aceh, penduduk yang mendiami wilayah ini menganut berbagai macam agama, namun yang dominan berdasarkan bukti-bukti yang dapat ditemukan, mereka menganut agama Hindu dan Budha. Namun setelah Islam masuk ke wilayah ini pengaruh ajaran Hindu dan Budha dapat direduksi. Bahkan kemudian pada masa berkuasanya Sultan AlQahhar di kesultanan Aceh Darussalam pengaruh Hindu dikikis habis terutama yang berkaitan dengan karya-karya berbentuk patung. Namun tak dipungkiri, bahwa pada awalnya pengaruh Hindu demikian melekat pada rakyat Aceh. Disamping itu pengaruh Hindu pada awalnya melekat erat karena raja-raja (meurahmeurah) yang memerintah di daerah-daerah memeluk agama Hindu sehinga rakyatnya memeluk ajaran yang serupa. Meskipun ini terjadi hanya di beberapa daerah di Aceh, secara keseluruhan bisa dikatakan walaupun bukan dalam skala yang besar, Aceh tetap dipengaruhi oleh dua ajaran tersebut. Namun lebih dominan Hindu. Karena sebelum Islam masuk pertama kalinya ke Samudra Pasai pada abad ke-13, Pasai berada di bawah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit pada abad 14, sementara mereka menganut ajaran Hindu dan Budha. Pengaruh-pengaruh tersebut jelas sekali terlihat dan merupakan bukti serta dapat dipelajari secara lebih mendalam dengan mengetahui beberapa nama daerah yang namanya hampir sama dengan nama yang ada di India. Seperti Indrapuri, Pantja (di atas Seulimuem), Indrapurwa (Sungai Kuala Pantju, Sagi XXV mukim), dan Indrapatra di atas Lam Nga dekat Kuala Gigieng (Sagi XXVI mukim). Juga pada tulisan batu-batu ataupun kuburan-kuburan yang di dapati orang di Tanoh Abee, daerah hulu sagi XXII mukim dan Reuengs, daerah-daerah XXII mukim (Aceh Besar). Bukti-bukti lain mengenai pengaruh ajaran tersebut, walaupun sedikit, sampai sekarang masih ada terutama di daerah pedalaman, dimana masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Namun ada juga budaya lama yang sampai sekarang masih dipertahankan dan telah berakulturasi dengan syariat Islam, seperti memberikan peusijuek, atau upacara adat pada walimatul urusy dan juga aqiqah untuk anak yang baru lahir. ISLAM DI ACEH DAN PENYEBARANNYA KE NUSANTARA Para sejarawan banyak sekali mengulas tentang awal masuknya Islam ke Indonesia. Aceh adalah daerah pertama di Indonesia yang dimasuki oleh Islam melalui syiar yang dilakukan

9

Mohammad Said, Aceh Sepanjang….hal. 50.

Aceh Serambi Mekkah

267

oleh pedagang Arab yang berdagang di Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatera.10 Bahkan Syed Naguib al-Attas menyatakan bahwa orang Arab bukan hanya berdagang di wilayah ini tapi juga sudah menetap dan membuat pemukiman di daerah ini.11 Pendapat ini sekaligus sebagai sanggahan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa Islam baru sampai ke Indonesia setelah berabad-abad berkembang di Mekkah dan Jazirah Arab umumnya, dan Islam masuk ke Indonesia melalui India, tidak langsung dari Arab.12 Pendapat Snouck ini tidak lebih dari sekedar untuk mereduksi peran pedagang Arab yang menyebarkan Islam dan pengaruhnya yang begitu besar terhadap perkembangan Islam di Aceh. Analisis-analisis yang timbul dengan berdasarkan pada temuan-temuan prasasti dan tulisan membuktikan bahwa Islam mula sekali masuk dan berkembang adalah di Aceh. Dalam analisis sejarah, prasasti-prasasti merupakan alat bukti yang tidak dapat disanggah dan tidak terbantahkan keakuratannya, demikian juga catatan-catatan kuno lainnya. Bukti yang paling dipercaya mengenai penyebaran Islam di Aceh adalah prasasti-prasasti Islam terutama yang paling banyak sekali ditemukan dalam bentuk batu nisan. Salah satu batu nisan yang menjadi bukti dan petunjuk pertama tentang Aceh sebagai daerah pertama sekali di Indonesia tempat masuk dan berkembangnya Islam yaitu batu nisan yang ditemukan di pemakaman Lamreh, nisan tersebut tertera nama Sultan Sulaiman Ibn Abdullah Ibn al-Basir, yang wafat pada tahun 608 H/1211 M. Ini merupakan petunjuk pertama tentang keberadaan kerajaan Islam di Aceh.13 Sedang sumber tulisan yang tercatat dalam sebuah jurnal tentang masuknya Islam di Aceh yang pertama sekali adalah catatan Marco Polo. Dalam perjalanannya kembali ke Venesia, Italia tahun 692 H (1291 M) Marco Polo ketika pulang dari Cina, lalu ia singgah di Pereulak yang ditulisnya Ferlec, sebuah kota di pantai utara Sumatera, dan menyebutkan Barus dengan Fansur.14 Menurut Marco Polo, Peureulak merupakan sebuah kota Islam, karena ketika itu penduduk yang mendiami kota tersebut telah diislamkan oleh pedagang-pedagang yang berdagang di kota tersebut yang diberi sebutan olehnya sebagai kaum Saraceen15. Menurut pemberitaannya lagi bahwa ada 2 wilayah perairan di sekitar Pereulak yang telah didiami penduduk setempat yaitu yang dinamainya Basma dan Samara16, penduduk yang berdomisili di daerah tersebut masih

10

G.E. Morrison dalam bukunya The Coming of The Islam to The Indies, menyatakan :”It is likely there for that Islam was known in the Indies as soon as there was moslim merchants on the seas” Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Cet. II, PT. (Medan: Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 61. 11 I b i d. 12 Ibid 13 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi Ketiga, (Terjemahan Satrio Wahono,dkk), (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), Hal. 28. 14 Kata Peureulak disebut Marco Polo menjadi Ferlec dan Barus menjadi Fansur sangat mengesankan bahwa ada dialek Arab dalam penyebutannya, hal ini memberi indikasi bahwa Marco mengenal nama tersebut bersumber dari penyebutan oleh orang Arab. 15 I b i d. 16 Kota Samara menurut pemberitaan Marco Polo merupakan tempat yang tak jauh dari Perlak, demikian juga kota yang dinamainya Basma, kemudian dikenal dengan nama Samudera dan Pasai, yang letaknya disebelah utara Perlak.

268

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

menyembah berhala dan bukanlah kota Islam17. Basma dan Samara sering diidentifikasikan sebagai sebagai Pasai dan Samudera, tetapi pengidentifikasian ini mengandung persoalan. Mungkin Samara bukanlah Samudra atau jika keduanya sama, berarti Marco Polo telah keliru dengan menyatakan kota ini bukan kota Islam, karena batu nisan penguasa pertama Samudra yang merupakanw seorang muslim yaitu Sultan Malik al-Shalih, telah ditemukan di Blang Me dan sampai saat ini masih berada ditempat ini bertarikh tahun 696 H (1297 M).18 Batu-batu nisan lain yang bertarikh setelah itu menegaskan bahwa wilayah yang merupakan bagian dari Aceh ini terus berada di bawah kekuasaan Islam. 19 Di kalangan sejarawan ada yang menganalisis antara pemberitaan Marco Polo dan prasasti batu nisan dengan menyatakan bahwa keadaan Samara dan Basma yang awalnya pemuja berhala segera berubah, karena beberapa tahun kemudian penguasa Samara (Samudra) dan Basma (Pasai) yang bernama Meurah Silu20 telah masuk Islam. Dan berdasarkan bukti yang terdapat di makamnya yang ditemukan kemudian terdapat tulisan yang menyebutkan, bahwa raja al-Mulakkab Sultan Malik Al-Saleh adalah raja yang tulus dan wafat pada tahun 696 H (1297 M). Namun analisis ini terlalu sulit untuk dicerna karena masa antara kedatangan Marco Polo dengan tarikh tahun meninggal Sultan Malik al-Shalih hanya berpaut 4 tahun. Namun sepertinya kutipan Mohammad Said lebih jelas bahwa Marco Polo sesudah dari Peureulak menuju ke Pasai yang disebutnya sebagai Basman dan penduduk yang menetap di sini masih liar, dari Pasai ia berangkat ke Samudra yang disebutnya Samara, di sini penduduknya sudah beradab, kerajaannya besar dan kaya.21 Ibnu Batuthah, seorang musafir berkebangsaan Marokko yang terkenal, mengunjungi Samudra dalam perjalanannya ke Cina pada tahun 1345 dan 1346 M. di masa pemerintahan Sultan Malik al-Zahir, Ibnu Batuthah menyatakan bahwa Islam telah hampir seabad lamanya disiarkan di sana. Dia juga mengatakan tentang kesalehan, kerendahan hati, semangat keagamaan dari raja tersebut, dan mereka mengikuti Mazhab Syafi’i. Hal ini menegaskan bahwa mazhab yang kelak mendominasi Indonesia itu sudah hadir sejak masa-masa sangat awal, walaupun ada kemungkinan bahwa ketiga mazhab Sunni lainnya yaitu Hanafi, Maliki dan Hanbali juga sudah

17

Di Samara Marco Polo menanti angin yang baik selama lima bulan. Di situ ia bersama rombongannya harus menyelamatkan diri dari serangan orang-orang biadab tersebut dengan mendirikan benteng yang dibuat dari pancang-pancang. Menurut Marco Polo penduduk pantai sudah memiliki budaya yang baik, sedangkan yang tingal di pedalaman masih biadab. Lihat dalam Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Cet. II,( Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 82. 18 RA. Kern dalam De Geschiedenis Van N I, yang dikutip oleh Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Cet. II, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 82. Ia mengatakan bahwa Basman bukan Pasai, karena Pasai terletak satu dengan samudera, Kern menyatakan bahwa basman mungkin suatu pelabuhan yang terletak antara Samudra dengan peureulak. 19 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi Ketiga, (Terjemahan Satrio Wahono,dkk), (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), Hal. 28. Lihat juga dalam Muhammad Ibrahim dan Rusydi Sufi, Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, (penyusun A. Hasjmy), Cet. III, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), hal. 400. 20 Meurah adalah gelar untuk seorang raja sebelum ada sultan, karena gelar sultan baru ada setelah penguasa Samudra itu memeluk Islam dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan yang menganut asas atau prinsip Islam.

Aceh Serambi Mekkah

269

ada sejak masa-masa awal itu.22 Dua buah batu nisan yang berasal dari akhir abad XIV dari Minye Tujoh tampaknya membuktikan terus berlangsungnya peralihan budaya di Samudra Pasai. Kedua batu nisan tersebut berbentuk sama, tetapi batu yang satu memuat prasasti dengan bahasa Arab dan batu yang lainnya memuat prasasti dengan bahasa Melayu Kuno tetapi sama-sama bersifat Islam. Keduanya menunjukkan tahun meninggalnya seorang putri almarhum Sultan Malik az-Zahir, walaupun tanggal, bulan dan hari yang sama, kedua batu nisan tersebut berbeda sepuluh tahun (781 H dan 791 H/ 1380 M dan 1389 M.)23 Dalam seminar Pekan kebudayaan Aceh pada tahun 1959, M. Yunus Jamil bersumber dari kitab Zubdatu al-Tawarikh karya Nur al-haq al-Masyriqiyal Dahlawy dan kitab Idhahu al-Haq fi Mamlatat al-Peureulak karya Abu Ishaq al-Makarany, mengungkapkan bahwa Islam telah masuk ke Peureulak, pada tahun 790 M, sedangkan berdirinya kerajaan Peureulak pada tahun 225 H atau 840 M dengan sultan pertamanya Sultan Alauddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.24 Selanjutnya mengenai tentang perkembangan agama Islam di Aceh pada masa-masa permulaan itu berjalan dengan baik. Di kerajaan Samudra Pasai dari masa pemerintahan Malikussaleh hingga datangnya Ibnu Batuthah, Islam telah berkembang dengan baik. Sedangkan petunjuk lain yang dapat dikemukan adalah “Kitab Sejarah Melayu” atau oleh pengarangnya disebut dengan “Sulalatus Salatin” (peraturan segala raja-raja dalam Kitab Hikayat Raja-Raja Pasai). Menurut kitab ini, seorang muballigh yang bernama Syeikh Ismail telah datang dari Mekkah dengan sengaja menuju ke Samudra untuk mengislamkan penduduk di sana. Kemudian singgah di Lamuri dan mengislamkan penduduk negeri tersebut. Seterusnya Pereulak dan kemudian barulah tiba di SamudraPasai dan bertemu dengan raja. Sesudah mengembangkan Islam seperlunya, lalu iapun kembali ke Mekkah. Berdasarkan keterangan di atas dapatlah dipahami bahwa sebahagian tempat di Aceh terutama di daerah pesisir pantai masyarakatnya telah memeluk agama Islam. Sumber-sumber berita Cina dalam “Ying Yen Sheng Lan” menyebutkan bahwa raja dan semua rakyat negeri Aru yang dikemudian hari menjadi bahagian dari Aceh adalah penganut-penganut agama Islam. Islam yang masuk ke Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya, pada mulanya mengikuti jalan-jalan dagang dan melalui kota-kota pesisir pantai, kemudian menyebar kepedalaman. Para pedagang dan para muballigh tersebut telah memegang peranan penting dalam penyebaran dan penyiaran Islam tersebut baik itu melalui rekan bisnis maupun perkawinan. Selain itu penyebaran Islam juga disebabkan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan rakyat Aceh, seperti Islamisasi kerajaan Hindu Lamuri. Pada saat kerajaan ini diserang oleh pasukan Cina pada tahun 1059-1069, ketika Maharaja Sakti berkuasa, sepasukan tentara Kerajaan Pasai meminta izin tinggal di wilayah kerajaan ini yang juga disertakan seorang ulama yang bernama

21

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Cet. II, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 83 22 I b i d. 23 Ibid 24 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, Cet. II, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 66.

270

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Syekh Abdullah Kan’an dan seorang anak pembesar kerajaan Lingga bernama Meurah Johan.25 Dalam pertempuran antara Lamuri dan Cina, pasukan dari Pasai membantu Kerajaan Lamuri sehingga pasukan Cina dapat dikalahkan. Sebagai rasa terima kasih Raja Lamuri tersebut memeluk Islam dan Meurah Johan dikawinkan dengan putri raja yang bernama Indra Kusuma, setelah raja Lamuri mangkat, Meurah Johan dinobatkan sebagai raja kerajaan Lamuri dan bergelar Sultan Alaiddin Johan Syah dan merobah nama kerajaan Lamuri menjadi kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa sultan inilah proses Islamisasi di seluruh kerajaan Aceh Darussalam dan daerah sekitarnya berjalan dengan baik.26 Pada masa kekuasaan dipegang oleh Sultan Aliddin Husein Syah (1465-1480 M), kerajaan ini berhasil menguasai beberapa kerajaan lain di sekitarnya seperti Kerajaan Syir Juli dan beberapa kerajaan kecil di Aceh Besar.27 Setelah kerajaan Aceh bertambah luas wilayahnya dan mempersatukan beberapa kerajaan kecil lainnya Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh Bandar Darussalam pada tanggal 12 Rabi’ alAwwal 913 H28 (1507 M).29 Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, Portugis berusaha memperluas kekuasaannya hingga ke Pasai dan Pedir. Kondisi riil yang tidak menguntungkan tersebut dilihat oleh sultan Kerajaan Aceh Darussalam saat itu yaitu Ali Mughayat Syah sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas kerajaan Aceh, sehingga sultan sebagai panglima tertinggi kerajaan Aceh harus mengambil langkah antisipasi sebagai upaya supaya Portugis tidak masuk ke wilayah kerajaannya. Langkah yang diambilnya antara lain dengan cara mempersatukan kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar wilayah kerajaan Aceh yang ada di Pantai Utara dan Pantai Barat Aceh. Setelah langkah yang diambil itu sukses, Islam dengan sendirinya terus menyebar ke kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengannya. Setelah Islam menyebar ke seluruh penjuru Aceh, kemudian Islam menjadi agama satusatunya bagi rakyat, dan tidak ada pilihan lain bagi rakyat. Bila ada di antara rakyat Aceh yang beragama selain Islam, maka ia tidak dapat lagi berdomisili di gampong dan mukim, karena gampong dengan meunasahnya dan mukim dengan mesjidnya merupakan parochie Islam. Upaya untuk mewujudkan parochie Islam di Aceh telah dirintis oleh Sultan Alauddin Ali Mughayat Syah. Pada masa pemerintahan Sultan al-Qahhar (1537-1571) untuk memurnikan parochie Islam, sultan memerintahkan untuk memusnahkan semua patung peninggalan agama sebelumnya baik Hindu maupun Budha.30

25

M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-raja Aceh, (Banda Aceh : Pustaka Iskandar Muda, 1968), hal.3. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hal. 6. 27 Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan…….hal. 43. 28 Sedangkan menurut Ali Hasjmy yang dikutip dari buku Tawarikh Raja-raja Aceh yang ditulis oleh M. Junus Djamil, Kerajaan Aceh Darussalam sebagai hasil peleburan Kerajaan Aceh di sebelah Barat dan kerajaan Islam Samudra-Pase di belahan Timur diproklamirkan pada tanggal 12 Zul Qaidah 916 H (1511 M), yang dilakukan oleh Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah, A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 3. 29 Tuanku Abdul Jalil, Sebab Aceh Dinamakan Serambi Mekkah, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 2. 30 I b i d. 26

Aceh Serambi Mekkah

271

Pada masa pemerintahan Sultan al-Qahhar penyiaran Islam difokuskan keluar dari Kesultanan dengan mengirimkan para muballigh ke wilayah Aru untuk mengislamkan tanah Batak dan sekitarnya.31 Husein Djayadinigrat mengatakan mengenai hal ini : “setelah sampai di Indonesia, Islam kemudian disiarkan luas lagi terutama oleh usaha-usaha pedagang Muslimin yang mengawini wanita-wanita ditepat mereka menetap atau tinggal sementara. Sebelum dilangsungkan perkawinan yang demikian, para wanita itu di Islamkan terlebih dahulu dan perkawinan itu menyebabkan para anggota keluarga si isteri itu memeluk Islam. Cara seperti itu sampai sekarangpun masih dijumpai di bahagian dunia yang belum sempurna diislamkan”. Sebagai konsekuensinya sifat-sifat militan dan solidaritas sesama Islam tumbuh dengan subur dalam masyarakat Aceh. Perkembangan Islam yang begitu menonjol selama dua setengah abad itu, merupakan salah satu faktor pendorong kebangkitan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada abad ke-16 dan ke-17 M. Sultan-sultan yang berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam sangat mementingkan pendidikan dan penyiaran Islam, sehingga para sultan sangat giat dalam kegiatan syiar keseluruh penjuru Aceh dan wilayah sekitarnya. Sebagai kerajaan besar dan tangguh, kerajaan Aceh Darussalam memiliki kemampuan yang cukup baik untuk melakukan tugas ini, bahkan sejak masa Kesultanan Samudra-Pasai kegiatan dakwah telah dilakukan hingga ke Semenanjung Malaya, bahkan terus melaju ke seluruh wilayah Indonesia sekarang ini. Dalam perkembangan agama Islam itu, peran mubaligh-mubaligh ini sangatlah besar. Mereka itu ada yang berasal dari India, Persia, Arab dan penduduk asli sendiri. Baik dalam Hikayat Raja-Raja Pasai maupun Sejarah Melayu telah menyebutkan hal tersebut. Pada waktu Pasai telah diduduki Portugis, seorang mubaligh yang berasal dari Pasai meninggalkan negerinya menuju ke Jawa (Demak). Ia bernama Fatahillah (Falatehan). Beliau adalah salah seorang wali songo yang menyebarkan Islam di Jawa. Pada saat menjelang abad ke-16, agama Islam sudah berusia dua setengah abad di Aceh. Selama masa itu maka dari Aceh agama Islam sudah menyebar keseluruh Indonesia. Agama Islam telah mempunyai akar yang kuat dalam masyarakat Aceh, dan ajaran tersebut telah menjadi “Way of Life” dalam masyarakat Aceh. 1. Rakyat Aceh Bersatu Karena Islam Bagi rakyat Aceh, Islam merupakan satu-satunya agama yang diyakini kebenarannya, yang dapat memberikan keselamatan dan ketenteraman hidup di dunia dan akhirat. Merupakan aib yang tak tertanggungkan bila ada di kalangan rakyat yang ingkar dari keislamannya. Keinginan untuk mempertahankan Islam sebagai agama utama dan tiada duanya bagi masyarakat Aceh bukan hanya keinginan individualisme masyarakat saja, tetapi juga menjadi kewajiban negara yang sangat disadari oleh para pemimpin Aceh sejak mulai muncul kerajaan Islam. Berdasarkan literatur-literatur sejarah tentang Aceh, setelah kerajaan Pasai berdiri, dan berkembang dari statusnya sebagai rute penghubung antara timur dengan barat berubah menjadi 31

Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, (Medan : Penerbit Momora,

tt), hal. 98.

272

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

pusat perdagangan, kerajaan ini telah membuat cemburu kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, di antara kerajaan yang berusaha menaklukkan Pasai adalah kerajaan Majapahit yang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melumpuhkan kekuatan Pasai.32 Setelah kerajaan Pasai kemudian berdiri Kerajaan Islam Peureulak, kemudian diikuti pula oleh kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Kerajaan Islam Samudra-Pasai, Kerajaan Islam Aceh yang berpusat di Lamno dan Kerajaan Islam Benua Tamiang. Melihat gelagat Portugis yang mulai mengincar Sumatera, akhirnya Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah berusaha membuat strategi dengan cara mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil tersebut dalam sebuah kerajaan besar yang kokoh dan berdaulat yang dinamai Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di kota Banda Aceh Darussalam.33 Adapun kerajaan pertama yang berhasil dipersatukan adalah kerajaan Daya di pantai Barat Aceh pada tahun 1520 M. langkah yang diambil oleh Ali mendapat reaksi keras dari kerajaan Pedir. Hal ini wajar saja karena pada saat itu Kerajaan Aceh masih berada di bawah kedaulatan kerajaan Pedir. Sehingga akibatnya Kerajaan Aceh berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Pedir, bahkan setahun kemudian Kerajaan Pedir ini pun berhasil ditaklukan. Karena upaya penyatuan yang dilakukannya berhasil, makanya Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan kerajaan Aceh Bandar Darussalam sebagai sebuah kerajaan yang besar pada tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 913 H34 (1507 M).35 Menurut J. Kreemer, Kepemimpinan Ali Mughayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kepemimpinan yang tangguh sehingga ia berhasil menetapkan pondasi yang kokoh bagi kerajaan Aceh Darussalam selanjutnya.36 Pendapat J. Kreemer ini sangat logis, karena strategi penyatuan kerajaan-kerajaan kecil menjadi sebuah kerajaan besar sangat efektif dalam membendung kehadiran bangsa asing yang ingin mengganggu stabilitas dan kedaulatan bangsa Aceh. Penyatuan tersebut memungkinkan dilakukan karena rasa persaudaraan yang kuat di kalangan rakyat Aceh yang diikat oleh keislaman. Islam menjadi alasan yang sangat kuat dan tepat untuk menyatukan rakyat Aceh dalam sebuah kedaulatan. Setelah menyatukan rakyat Aceh dalam sebuah kesultanan, kemudian untuk tetap

32

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta : Beuna, 1983), hal. 49. Lihat A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September 1980, hal. 3. dan lihat juga M. Ali Muhammad, Bagaimana cara Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 2. 34 Sedangkan menurut Ali Hasjimy yang dikutip dari buku Tawarikh Raja-raja Aceh yang ditulis oleh M. Junus Djamil, Kerajaan Aceh Darussalam sebagai hasil peleburan Kerajaan Aceh di sebelah Barat dan kerajaan Islam Samudra-Pase di belahan Timur diproklamirkan pada tanggal 12 Zul Qaidah 916 H (1511 M), yang dilakukan oleh Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah, A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 3. 35 Tuanku Abdul Jalil, Sebab Aceh Dinamakan Serambi Mekkah, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 2. Lihat juga Dennys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636,(Terj. Winarsih Arifin), (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 49. 36 Rusydi Sufi, Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, (Jakarta : Debdikbud, PDIA, 1995), hal. 13. 33

Aceh Serambi Mekkah

273

mempertahankan stabilitas kehidupan rakyat dan negara agar tetap langgeng, Sultan Alauddin Ali Mughayat Syah menetapkan beberapa ketentuan untuk masyarakatnya dalam sebuah kitab yang dinamai Tazkirat Thabaqat. Dalam kitab ini ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh rakyat Aceh dan kecakapan yang mesti dimiliki. Selain itu dalam kitab tersebut juga terkandung beberapa ketentuan dalam bidang keagamaan, karena sultan juga sangat memperhatikan kondisi keagamaan masyarakat agar tidak tercemar dan ternoda. Namun sayangnya isi kitab ini tidak diketahui secara keseluruhan karena kitab ini tidak dapat dijumpai lagi di Aceh, kecuali beberapa kutipan yang hingga saat ini dapat dibaca di perpustakaan Universitas Kebangsaan Malaysia.37 Selanjutnya dalam Peraturan di dalam Negara Aceh Bandar Darussalam disalin dari daftar Paduka Sri Sultan Meukuta Alam Iskandar Muda, dalam pasal : 1. Jikalau orang-orang luaran yang lain agama dari pada agama Islam yang lain dari pada orang hindu tiada boleh diterima oleh orang negeri tinggal negeri duduk di dalam kampungnya melainkan disuruh balek ke laut ke dalam tempatnya. 2. Jikalau orang lain agama itu hendak tinggal juga duduk di darat ke dalam kampung orang Islam, kalau dapat celaka, mati atau luka atau kena rampas hartanya dalam kampong itu tempat dia bermalam, sama ada orang dalam kampong itu yang buat aniaya atau orang lain yang jahat, kalau ia luka, mati atau hartanya dirampas maka raja atau hulubalang sebagai pihak yang memberi perlindungan terhadap rakyat tidak akan melindungi atau menerima pengaduan apapun darinya. 3. Adapun orang yang menerima kedatangan orang yang berlainan agama itu tinggal, duduk bermalam pada kampungnya jatuh kesalahan kepada ulama kena kafarat denda kenduri memberi makan sidang jum’at. 4. Jikalau orang yang kena kafarat itu tiada menurut peraturan, ulama boleh mengadu kepada hulubalang yang punya pemerintahan di tempat itu menghukum menurut timbangan kesukaannya yang adil.38 Setelah ditetapkan peraturan tersebut, maka semua para pedagang yang non-muslim setelah waktu berdagang selesai harus kembali dan bermalam di kapal yang berlabuh di laut. Mereka dilarang untuk tinggal bersama-sama dalam lingkungan orang Islam. Dari kutipan di atas maka dapat dianalisis bahwa rakyat Aceh pada pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah, dan Sultan Iskandar Muda telah menjadi pemeluk Islam semua, dan mereka konsisten terhadap agama yang mereka anut termasuk menerapkan hukum Islam. Peran ulama dan pemerintah dalam hal ini sultan dan yang mewakili sultan yaitu hulubalang saling mendukung pemberlakuan hukum Islam dan segala konsekwensinya dalam masyarakat Aceh. Relasi yang harmonis harus dibina di antara ulama dan sultan. Dalam Kanun Meukuta Alam ditetapkan :”Ulama dengan raja tidak boleh jauh atau bercerai, sebab jikalau cerai ulama dengan raja niscaya binasalah negeri”.39 Dengan demikian dalam sistem pemerintahan Aceh, 37

Tuanku Abdul Jalil, Sebab Aceh Dinamakan Serambi Mekkah, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur, 25-30 September 1980), hal. 3. 38 Ibid, hal. 3-4. 39 A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 6.

274

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

para ulama memegang peranan penting dalam memberi arah kekuasaan pemerintahan. Dengan persatuan yang kuat yang diikat oleh rasa persaudaraan dalam keislaman, ujian atas keutuhan kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam dapat dilalui sehingga upaya mempertahankan yang dilakukan oleh rakyat dan para pemimpinnya yaitu ulama dan umara selalu berhasil dengan baik. Beberapa peristiwa yang merupakan bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah Portugis dan Belanda menjadi bukti kuatnya persatuan rakyat Aceh dalam menentang penjajahan yang diikat oleh rasa persaudaraan dan cinta tanah airnya karena Islam. Perang yang berkepanjangan melawan orang kafir tidak akan terwujud bila tidak memiliki mentalitas dan semangat tinggi. Masyarakat Aceh dapat terus melancarkan serangan kepada pasukan kafir dan tidak pernah mengenal kata mundur apalagi menyerah karena memiliki pedoman yang kuat yaitu agama Islam. Perjuangan yang mereka lakukan akan diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah, bila mereka tetap hidup maka kemenangan dan kebebasan akan dapat diraih, dan bila nyawa yang harus terenggut dari jasad sehingga menjadi syuhada, mereka tidak akan menyesalinya, karena Allah telah menjanjikan balasan nikmat yang luar biasa kepada setiap syuhada, yang berjuang menegakkan agama Allah dan membela sesuatu yang diyakini benar berdasarkan tuntunan risalah melalui rasul-Nya. ULAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP NASIONALISME INDONESIA DI ACEH. Sebelum dibahas tentang pengaruh ulama dalam membentuk dan meningkatkan nasionalisme, maka kiranya kita bahas terlebih dahulu makna dari nasionalisme itu sendiri. 1. Makna Nasionalisme Nasionalisme disebut juga dengan wawasan kebangsaan yang diartikan sebagai sebuah ideologi yang memandang bahwa seluruh masyarakat memiliki keinginan untuk membangun masa depannya secara bersama sebagai suatu bangsa (nation). Siswono Yudohusodo menjelaskan bahwa nasionalisme adalah cara pandang yang dilingkupi oleh rasa kebangsaan yang dilandasi semangat kebangsaan dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional. Dalam pengertian ini suatu bangsa memiliki suatu keinginan bersama sebagai keinginan komunal bangsa, untuk mewujudkannya harus dilakukan secara bersama-sama yang melibatkan seluruh elemen bangsa.40 Lebih lanjut, masih dalam konteks yang sama, Ernest Renan berpendapat bahwa unsur dominan dalam kehidupan sosial politik suatu kelompok masyarakat adalah untuk mendorong terbentuknya suatu bangsa, yang didasari oleh kehendak untuk bersatu. Jelasnya kelompok masyarakat yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri harus mempunyai kehendak untuk bersatu. Tanpa keinginan untuk bersatu, sangat sukar untuk membentuk komunitas menjadi suatu bangsa, karena secara internal dalam masyarakat akan terjadi pertikaian dan perpecahan. Dengan demikian dapat ditegaskan menurut tokoh ini bahwa kunci dari nasionalisme adalah “le

40

Siswono Yudohusodo, …

Aceh Serambi Mekkah

275

desir d’etre ensemble” yaitu “kehendak untuk bersatu”. 41 Sedangkan Otto Beuer mengungkapkan bahwa unsur yang dominan yang menentukan dalam kehidupan sosial politik adalah suatu watak di kalangan kelompok yang bersangkutan. Watak manusia tersebut timbul karena adanya persamaan nasib dan persamaan pengalaman sejarah dari bangsa tersebut.42 Menurut kedua tokoh tersebut, yang dimaksud dengan nation adalah mereka yang mempunyai hasrat yang kuat untuk hidup bersama. Ini karena bangsa ialah jiwa atau suatu asas kerohanian dari suatu jumlah masyarakat. Identitas nasionalisme ini selalu merujuk kepada suatu bangsa yang majemuk dan kemajemukan ini merupakan gabungan dari beberapa unsur yang terdiri dari agama, kebudayaan, bahasa dan suku bangsa. Keberagaman ini dan faktor persamaan nasib dan persamaan pengalaman sejarah yang menjadi kesadaran untuk menjadi suatu bangsa dalam menentukan masa depan dan menjadi suatu perekat yang memberi dasar jati diri bangsa. Analisis pendapat pakar di atas, dengan memfokuskan pengalaman masyarakat Aceh dalam membentuk komunitas dan ketahanan serta ketangguhan mereka dalam mempertahankan eksistensi dan survivenya komunitas mereka dalam sebuah revolusi dengan menempuh waktu yang sangat lama dan menelan korban yang tak terhingga, semua dipertaruhkan demi untuk sesuatu yang diyakini sebagai cita-cita bersama. Pengalaman sejarah yang tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah sebagai peristiwaperistiwa yang heroik yang sepantasnya dilanggengkan dalam kehidupan berbangsa hingga kini. Bagi rakyat Aceh, faktor terpenting sehingga mendorong tumbuh dan berkembang rasa kebangsaan adalah sebuah tekad rakyat untuk bersatu menentang dan melawan imperialisme dan kolonialisme bangsa kafir atas tanah air yang mereka cintai. Dengan kata lain reactief verzet terhadap keinginan untuk mengusai tanah Aceh dan tindakan yang sewenang-wenang bangsa kafir itulah yang menumbuh kembangkan rasa persatuan dan jiwa kebangsaan serta patriotisme sebagai kekuatan dinamis untuk melawan orang kafir, hingga mereka tidak menjejakkan kaki di bumi pertiwi yang dicintai. Rakyat Aceh dengan dukungan ulama yang menjadi penasehat dan pemimpin, tidak pernah jemu untuk berjuang demi mempertahankan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka, bebas menentukan kehendak sendiri tanpa didikte atau diatur oleh bangsa lain. 2. Nasionalisme dan Pengaruh Ulama Ulama bagi masyarakat Aceh merupakan sosok yang sangat penting dan selalu dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan masyarakat. Hal ini terjadi karena ulama merupakan sosok yang terpelajar dan mampu berfikir secara bijak. Secara historis, keberadaan ulama dalam komunitas masyarakat Aceh, mempunyai hubungan-hubungan yang sangat baik dan intim dengan pemerintah dan masyarakat. Kebutuhan akan keberadaan ulama dalam masyarakat memang telah teruji, sejak awal penyebaran Islam di Aceh mereka telah menarik simpati masyarakat, demikian juga ketika berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di Aceh, kehadiran ulama semakin menonjol dan semakin dominan seiring dengan munculnya persoalan-persoalan masyarakat dan pemerintah

41 42

276

Hardi, Meningkatkan Kesadaran Nasional, (Jakarta : PT. Mufti Harun, 1988), hal. 52. Hardi, Meningkatkan Kesadaran,….. hal 52.

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

baik di bidang hukum, sosial maupun politik. Posisi ulama yang cukup strategis tersebut, tidak hanya disebabkan oleh anggapan masyarakat terhadap ulama sebagai orang yang memiliki ilmu tinggi, tetapi juga sebagai pemimpinpemimpin dan juga panglima perang, mereka selalu mampu membuat interpretasi situasional berdasarkan nilai agama.43 Ulama di Aceh sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan kecintaan yang begitu besar kepada tanah air, karena ulama pula maka semua lapisan masyarakat tergerak untuk berjuang bersama-sama bahu-membahu menghadang para agresor yang mencoba menguasai Aceh. Sebagaimana diketahui bahwa kedatangan Bangsa Portugis pada akhir abad ke-15, didahului dengan timbulnya nafsu apa yang mereka namakan “dunia baru” di Eropa. Perebutan untuk mendapatkan hasil-hasil bumi yang lebih murah harganya setelah berita dari para pedagang dan petualang yang telah berhasil menjelajahi wilayah luar Eropa. Pada masa itu pula wilayah Bandar-bandar dagang di Pasai, dan Aceh Darussalam juga sedang maju dan ramai dikunjungi oleh para pedagang yang datang dari berbagai negara. Hal ini tentu saja memancing minat bangsa Portugis untuk menguasai wilayah ini. Pada tahun 1511 di bawah komando D’Albuquerque pasukan Portugis dapat menguasai India dan Semenanjung Malaka. Ketertarikan Portugis menguasai Pasai dan Aceh karena sebelum menyerang Malaka D’Albuquerque sempat singgah di Pasai dan Pedir untuk mempersiapkan diri dan menyusun strategi, jadi mereka sudah mengetahui keadaan Pasai dan Aceh saat itu. Setelah menguasai Malaka upaya untuk menaklukkan Pasai agak mudah karena pada saat itu Portugis melancarkan politik devide at impera antara Sultan Kerajaan Pasai dengan saudaranya Zainal Abidin. Setelah menguasai Pasai dan selanjutnya Pedir, Portugis ingin menguasai Kesultanan Aceh Darussalam. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah (1589-1602) dengan gigih berjuang membentengi Aceh Darussalam dari penjajahan Bangsa Portugis tersebut. Dengan persatuan dan perjuangan rakyat Aceh yang dilandasi oleh semangat jihad Islam, Portugis bukan saja tidak dapat memasuki wilayah Aceh bahkan dapat diusir dari Pasai dan Pedir dan terus dikejar hingga ke wilayah Kerajaan Aru yang ingin bersekutu dengan Portugis.44 Dari paparan di atas, demikian besar semangat Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah yang dilandasi semangat Islam untuk mengusir dan mengakhiri penjajahan Portugis di Wilayah Aceh Darussalam dan sekitarnya, bahkan akhirnya Sultan kerajaan Aceh Darussalam tersebut dapat memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dalam wilayah kedaulatannya. Semua itu dilakukan bukan atas nafsu kekuasaan semata tapi dilandasi oleh semangat jihad untuk membebaskan tanah air dan bangsanya dari penjajahan bangsa kafir yang tentu saja tidak seiman dengannya, dan seluruh masyarakat Aceh Darussalam berada di pihaknya untuk melakukan perang suci. Hal ini tentu saja tidak lepas dari peran ulama yang sangat dominan dalam mengajarkan pengetahuan tentang Islam dan bahkan turut serta berjuang bersama-sama. Adapun ulama yang sangat berperan pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah adalah Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani. Berikut ini akan dideskripsikan profilnya. Al-Sumatrani

43

T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 17. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Cet. II, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 164. 44

Aceh Serambi Mekkah

277

(1575-1630) menjadi Qadhi Malik Al-Adil sebagai orang kedua setelah raja sejak masa Sultan Ali Mughayat Syah dan berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.45 Kemantapan posisinya dalam sistem pemerintahan dan di kalangan istana dalam jangka waktu yang cukup lama disebabkan karena beliau memiliki kapabilitas yang tinggi dibandingkan dengan ulama lainnya sehingga tetap dalam posisi tersebut sebagai orang kepercayaan sultan. Nama lengkap Syekh Syamsuddin al-Sumatrani adalah al-Arif Billah al-Syekh Syamsuddin al-Sumatrani.46 Al-Sumatrani merupakan murid dari Syekh Hamzah Fansuri dan sekaligus sebagai sahabatnya. Dari beberapa literatur yang ada, menjelaskan bahwa al-Sumatrani merupakan ulama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter keislaman masyarakat Kerajaan Aceh Darussalam, bahkan dia berhasil menancapkan pemahaman tasauf wahdat alwujud. Al-Sumatrani bukan hanya sekadar ulama yang hanya menyumbangkan fikirannya, tapi juga sekaligus prajurit yang gigih turut serta dalam peperangan, berjihad untuk mempersatukan masyarakat di Aceh dan Sumatera umumnya, bukan hanya pada masa Sultan Alaiddin Mughayat Syah bahkan berlanjut pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Beliau turut serta dalam penaklukan Wilayah Deli pada tahun 1612.47 Selanjutnya al-Sumatrani juga sebagai juru runding yang handal, berdasarkan tulisan Sir. James Lancaster seorang perunding yang dikirim oleh Ratu Elizabeth dalam rangka merundingkan perdamaian antara Aceh Darussalam dengan Inggris, ia juga menceritakan al-Sumatrani sebagai tokoh yang berwibawa, dihormati sultan dan segenap rakyat Aceh.48 John Davis seorang pelaut Inggris yang ikut rombongan Belanda pimpinan Cornelis de Houtman, juga memiliki informasi yang sama tentang al-Sumatrani sebagai uskup agung ketika itu di Aceh.49 Persatuan dan kesatuan masyarakat Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa Iskandar Muda, karena berhasil menaklukkan beberapa wilayah lain dalam kedaulatan Aceh Darussalam. Penaklukan yang dilakukan oleh Iskandar Muda bukan semata diwujudkan untuk membentuk hegemoni kekuasaan atas nafsu pribadi sebagai pemegang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang dimilikinya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan Portugis sehingga mereka tidak dapat mencaplok wilayah Aceh dan wilayah sekitarnya yang terbentuk dalam kerajaan-kerajaan kecil. Dengan meluasnya wilayah pemerintahan Iskandar Muda, beliau digelar dengan Meukuta Alam yang diartikan mahkota alam.50 Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh Iskandar Muda untuk meningkatkan keutuhan wilayah Aceh Darussalam antara lain: 1. Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di wilayah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri tersebut sehingga tidak akan muncul peluang dilakukannya politik

45

A. Hasjmy, Ruba’i Syekh Hamzah Fansuri, (Jakarta : Dewan Bahasa dan Pustaka, tt), hal. 13. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasauf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), hal. 3. 47 Dennys Lombard, Kerajaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (terj. Winarsih Arifin), (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 225. 48 James Lancaster, The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and East-Indies, (Ed. Sir William Foster), (London : The Hakluyt Society, 1940), hal. 96. 49 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. IV, (Jakarta : Mizan), hal. 167. 50 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Cet. II, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hal. 282. 46

278

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

2. 3.

4. 5.

devide et impera oleh para agresor barat. Usaha ini dijalankan dengan cara mufakat, bila tidak tercapai maka baru dilakukan penaklukan. Memukul dan menaklukan Johor supaya tidak dapat lagi dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Menaklukan negeri-negeri sebelah timur Malaya, seperti Pahang dan Patani, karena kekuasaan mereka sangat merugikan pedagang-pedagang Aceh dan upayanya untuk mencapai kemenangan dalam memerangi musuh. Mengusir Portugis dari Malaka dan menjadikan wilayah Malaka tersebut sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Pemusatan pelabuhan Samudra hanya di Aceh saja agar mudah mengontrol datangnya pasukanpasukan dan pedagang-pedagang asing.51

Ulama lainnya yang sangat berpengaruh pada masa kesultanan Aceh adalah Syekh Abdurrauf al-Singkili. Beliau juga ditetapkan sebagai mufti dan Qadhi Malik Al-Adil selama periode 4 ratu (1641-1699) memimpin kerajaan Aceh Darussalam.52 Al-Singkili merupakan ulama yang sangat berpengaruh di Aceh pada penghujung abad ke-17. Beliau lahir di Aceh Selatan pada tahun 1620. Beliaulah yang mempertahankan nasionalisme rakyat Aceh selama masa pemerintahan Ratu, ketika terjadi konflik internal yang mempertentangkan perempuan menjadi pemimpin. Sedangkan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, peran ulama terbesar dalam membangkitkan nasionalisme masyarakat Aceh juga dalam bentuk mengobarkan semangat jihad untuk berperang melawan penjajahan bangsa Belanda yang non-muslim. Para ulama bersamasama masyarakat berjuang secara fisik dan non fisik untuk mempertahankan Aceh dari Jajahan Belanda. Ketika perang rakyat Aceh melawan Belanda akan dilakukan, pemimpin-pemimpin Aceh yang terdiri dari para ulama dan pemimpin terkemuka masyarakat lainnya berkumpul di bawah pimpinan Imeum Lueng Bata dan Teuku Lamnga, mereka bermusyawarah dan mengikrarkan sumpah untuk setia dan turut berjuang dalam perang sabil sebagai sebuah kewajiban untuk mengusir kafir Belanda.53 Atas dasar wajib jihad yang diikrarkan bersama dalam musyawarah itu, maka ulama-ulama menjadi aktif dalam mengambil peranan penting, baik sebagai pemimpin perang maupun sebagai pengawas koordinasi pelawanan total rakyat terhadap Belanda. Ketentuan-ketentuan umum yang dirumuskan dan disepakati antara ulama dengan rakyat dalam musyawarah bersama itu sebagai berikut : 1. Sifat jihad, rakyat yang diwajibkan turut serta memanggul senjata dan turut dalam pertempuran hanyalah mereka yang telah mendaftarkan diri secara suka rela untuk berjuang. 2. Rakyat diwajibkan gotong royong untuk segera memperbaiki mesjid yang rusak akibat pertempuran, supaya kewajiban ibadah tetap terpelihara dan tidak mengganggu orang yang beribadah. 3. Rakyat diwajibkan bergotong royong untuk bersama-sama mengatasi akibat perang. 4. Dalam masa perang dilarang mengadakan pertemuan-pertemuan skaria yang tidak berkaitan 51 52

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad…hal. 264. A. Hasjmy, 59 Aceh Merdeka di Bawah Pemerintah Ratu, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal. 32.

Aceh Serambi Mekkah

279

samasekali dengan agama, seperti pementasan kesenian seudati dan lain-lain. 5. Setiap rakyat yang membutuhkan bantuan, wajib diberikan bantuan oleh penduduk yang lainnya, terutama jika mereka membutuhkan tempat hunian sementara atau tempat persembunyian untuk menghindar dari kejaran musuh 6. Apabila diperlukan untuk membuat benteng rakyat diwajibkan bergotong royong. 7. Ulama setempat berwenang memberikan bantuan dan menerima pengaduan-pengaduan rakyat dalam mengatasi kesulitan hidup yang diderita dan juga persoalan-persoalan keagamaan yang muncul.54 Selanjutnya di Lamsie, Aceh Besar juga diadakan rapat yang bersifat rahasia antara ulama dengan tokoh masyarakat. Adapun ulama dan tokoh masyarakat yang hadir saat itu antara lain Teuku Panglima Polem, Teungku Abdul Wahab Tanoh Abee, dan ulama-ulama Aceh lainnya serta para hulubalang yang masih gigih berjuang dan tidak menyerah pada serangan pasukan kafir Belanda. Topik yang menjadi pembicaraan dalam agenda musyawarah tersebut adalah upaya untuk mengobarkan jihad di kalangan rakyat Aceh untuk mengusir Belanda dari negeri mereka.55 Dalam rapat tersebut Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee menegaskan kembali bahwa tenaga perjuangan masih cukup kuat dan belum hancur sama sekali, namun ada yang masih sangat kurang dan perlu diperbaiki segera yaitu “kesucian batin dan kekuatan iman. Dalam kesempatan tersebut beliau memberikan suatu nasehatnya yang pada akhir nasehatnya beliau mengungkapkan bahwa : “Sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah dulu musuh batin, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita masing-masing mungkin telah terambil karena terlalu mengikuti hawa nafsu, serahkan kembali segera pada pemiliknya atau mereka-mereka yang lebih berhak. Janganlah rakyat selalu teraniaya, tegakkanlah keadilan ditengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita meminta keadilan pada orang lain. Dari itu, bertobatlah wahai teuku-teuku sebagai pemimpin rakyat terlebih dahulu sebelum mengajak rakyat untuk memerangi pasukan kompeni Belanda. Kalau tidak juga dikembalikan harta rakyat yang telah diambil dengan cara memaksa atau dengan cara ilegal lainnya, maka yakinilah bahwa rakyat akan membelakangi kita dan kita akan tersapu bersih dari Aceh ini selamanya melebihi hukuman-hukuman yang telah lalu dari Allah SWT. Kalau permintaan saya, teuku-teuku penuhi maka saya akan berada di barisan yang sama dengan teuku-teuku semua untuk menuju ke medan perang...56 Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Ucapan yang tegas dari Teungku Chik Tanoh Abee mendapat respon langsung dari Teuku Panglima Polem yang secara tegas pula menyatakan bahwa tidak ada pilihan lain bagi para 53

A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, tt). hal. 51. 54 A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan ....hal. 52. 55 Ibid, hal. 52 56 Teungku Ismail Yakob, Teungku Chik Ditiro Pahlawan Besar, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), hal. 22. Lihat juga A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan …. hal. 52-53.

280

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

hulubalang terutama yang telah membelot dan bergabung dengan Belanda agar segera kembali kepada ajaran agama Allah dan berjuang di jalan yang diridhai-Nya.57 Apa yang diucapkan oleh Teungku Chik Tanoh Abee dan Teuku Panglima Polem sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi rakyat yang terpecah. Perpecahan yang terjadi di kalangan hulubalang hanya disebabkan kepentingan pribadi untuk mempertahankan jabatan dan hartanya, merupakan kerugian yang sangat besar diderita oleh bangsa Aceh. Dan tentu saja hal itu merupakan peluang yang sangat bagus bagi Belanda untuk menerapkan politik devide et impera. Oleh karena itu Teungku Chik Tanoh Abee sebagai ulama yang jeli melihat kondisi yang terjadi saat itu berusaha mengembalikan persatuan seluruh lapisan rakyat Aceh dan bersama-sama berjuang membela bangsa dan negara dari cengkeraman kaum penjajah. Semangat nasionalisme dan cinta negara serta siap berjuang untuk membela rasa cintanya walaupun mengorbankan harta dan nyawa, terus dikumandangkan oleh para ulama. Jadi pada masa perang, ulama juga menjadi sosok yang handal untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan daya juang. Berbagai pertemuan terus dilakukan oleh para ulama dan tokoh masyarakat untuk mengobarkan semangat rakyat Aceh untuk maju berjihad di jalan Allah dan mengevaluasi keberhasilan dan kekurangan yang terjadi dalam perjuangan mereka membela negara. Di Tiro pertemuan antara para ulama dengan pemimpin rakyat yang terkemuka juga dilakukan, yang dipimpin oleh Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut. Dalam pertemuan tersebut diperoleh khabar dari delegasi Gunung Biram tentang kondisi terakhir di Aceh Besar. Perjuangan rakyat di wilayah Aceh Besar mengalami tekanan yang hebat dari pihak Belanda, sehingga dalam rapat tersebut diputuskan untuk membantu dan mengirim bantuan pejuang ke medan perang di Aceh Besar ini. Pejuang yang dikirim merupakan sejumlah ulama yang handal dan gigih berjuang yang dipimpin langsung oleh keponakan Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut sendiri yang bernama Teungku Haji Muhammad Saman yang baru saja kembali dari Makkah. Teungku Haji Muhammad Saman ini akhirnya sangat dikenal dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh dengan gelar Teungku Chik Ditiro.58 Teungku Chik Ditiro mendapat mandat bukan hanya dari pamannya sendiri yaitu Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut bahkan juga mendapat restu langsung dari Sultan Aceh yang saat itu telah meninggalkan meuligoe atau istana dan pindah menetap di daerah Keumala Dalam. Sultan memberi kuasa kepada Teungku Chik Ditiro untuk memimpin perang sabil melawan Belanda, dengan mengangkat beliau sebagai wazir atau menteri sultan dalam kabinet perang.59 Dalam perjalanan dari Tiro ke Aceh Besar, Teungku Chik Ditiro selalu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para ulama dan para pemimpin rakyat dalam rangka mengobarkan semangat jihad, seperti di Garut, Padang Tiji, Gunong Biram, Tanoh Abee, Ie Alang, dan Lamsie. Para ulama yang dijumpainya termasuk Panglima Polem, dan Teungku Chik Tanoh Abee, semuanya berjanji untuk ikut serta berjuang membantu usaha perang Teungku Chik Ditiro. Setelah mengunjungi beberapa tempat, akhirnya Teungku Chik Ditiro membuat markas para pejuangnya di wilayah Meureu dekat Indra Puri. Dari tempat inilah Teungku Chik Ditiro menyusun strategi 57

Teungku Ismail Yakob, Teungku Chik Ditiro Pahlawan….hal. 23. A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan …hal. 53. 59 Anthony Reid, The Contest for North Sumatera, Kuala Lumpur : The University of Malaya Press, 1969, hal. 251. 58

Aceh Serambi Mekkah

281

perjuangannya dan mengirim utusannya ke seluruh penjuru Aceh untuk menjumpai para ulama dan pemimpin rakyat yang selalu mengobarkan perang kepada kafir Belanda. Teungku Chik Ditiro mempunyai banyak putera dan cucu, semuanya berjuang. Melihat keteguhan hati para ulama inilah, Snouck Hungronje mengusulkan kepada pemerintah Belanda supaya “jangan memberi hati kepada para ulama Aceh, mereka tidak akan mau tunduk kepada pemerintah kafir, karena mereka sudah sangat memahami dan mengemban perintah Allah dengan jiwa raga menjalankan jihad fi sabilillah”.60 Snouck sudah mempelajari tentang ulama Aceh sehingga dia sangat yakin dengan pendapat yang dikemukakannya. Tentang keteguhan Teungku Chik Ditiro, Keuekenius seorang Menteri Belanda di Aceh, menyatakan di depan parlemen Belanda “Ketika Syekh Saman disuruh tunduk, ulama ini serta merta menjawab bahwa jalan lurus paling dekat untuk menarik orang Aceh ialah supaya orang Belanda masuk Islam saja, agar pemerintahannya menjadi pemerintah Islam.”61 Ulama sebagai sosok yang memiliki ilmu agama yang tinggi sehingga dapat menjadi figur yang mampu menyelesaikan persoalan kehidupan agama masyarakat, selain ilmu agama, ulama juga mengetahui ilmu-ilmu kemanusian lainnya yang memadai sehingga ia mampu dengan jeli mengatasi persoalan-persoalan yang timbul. Sebagai sosok yang complicated maka ulama sering menjadi figur sentral pengayom masyarakat. Ulama pada masa kesultanan Aceh hingga penjajahan Jepang merupakan tokoh yang inspirasional dan memiliki sense sosial yang tinggi.62 Sebagai sosok yang terdidik, ulama dalam berjuang menentang penjajahan kaum kafir Portugis dan Belanda tidak hanya semata-mata turut bertempur ke medan juang bersama rakyat dan tokoh masyarakat lainnya. Ulama juga memberi seruan-seruan yang menggugah dan membangkitkan semangat juang rakyat. Seruan tersebut bukan hanya bersifat oral atau verbal saja, tetapi juga dalam bentuk tulisan-tulisan sastra seperti syair-syair yang menggugah semangat juang dan bentuk tulisan-tulisan lainnya. Tema-tema tulisan sastra para ulama Aceh juga berkisar tentang sejarah para Nabi, terutama Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang dikenal memiliki semangat juang yang 60

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid II.…hal. 445. Ibid, hal. 445 62 Kondisi ulama sekarang sangat berbeda, sehingga terkesan ulama sekarang dikotomis dalam dua kelompok yaitu ulama yang berfikiran modern yang berusaha memahami segala persoalan masyarakat, mereka ini biasanya belajar di lembaga pendidikan yang memadukan ilmu agama dan ilmu kemanusiaan lainnya. Sedangkan ulama tradisional lebih menampilkan sosok yang yang bergelut di dayah-dayah pendidikan tradisional. Mereka lebih banyak menghiraukan persoalan yang menyangkut keagamaan (al-din). Sementara persoalan yang bersifat duniawi tidak menjadi penting untuk dipelajari. Bagi golongan ini seakan-akan Islam sama dengan fiqh sehingga mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Dalam proses pembelajaran di dayah tradisional, antara guru dan murid terjadi satu sikap tradisi dimana murid ta’zim (kepatuhan buta) kepada guru. Sikap ini terbentuk karena dalam fiqh dan tasawuf mengisyaratkan bahwa guru dianggap ma’sum (sunyi dari kesalahan). Ini mengakibatkan kepada fatwa seorang guru bersifat final dan tidak dapat dipertanyakan lagi. Proses pembelajaran secara tradisional ini berlangsung di pesantren (dayah kalau di Aceh) atau surau. Tempat-tempat ini tidak mempunyai organisasi, tidak mengenal sistem berkelas, tidak memiliki kurikulum yang teratur, tidak ada batas-batas pelajaran untuk masa tertentu. Pelajaran yang dipelajari tergantung kepada kemajuan atau kemampuan murid tanpa ada jaminan sejauhmana pelajarannya setelah masa tertentu. Eksistensi pesantren semata-mata bergantung kepada tengku. Apabila teungku meninggal, pesantren bisa saja akan hilang jika tidak ada pewaris langsung yang meneruskannya. Adapun kitab-kitab yang dipelajari di pesantren adalah kitab-kitab yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya dan semata-mata hanya pelajaran agama. 61

282

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

tinggi dalam memberantas kemungkaran dan menegakkan agama Islam. Syair-syair yang dikarang oleh para sahabat Nabi seperti Hasan Ibn Tsabit, Ka’ab Ibn Malik dan Abdullah Ibn Rawahah sangat menginspirasikan ulama Aceh untuk menyebarkan syair dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan untuk mengobarkan terus semangat juang mereka. Sehingga pada masa perang melawan penjajahan Belanda muncul banyak sekali ulama Aceh yang menjadi sastrawan yang tampil dalam sosok “penyair perang” yang sangat dikenal dalam khazanah kesusasteraan Melayu di Nusantara pada saat itu bahkan hingga sekarang. Para ulama yang cukup aktif dalam mengajarkan para pejuang Aceh dengan karyakarya sastra mereka antara lain : Teungku Chik Muhammad Pante Kulu, Abdul Karim (Do Karim), Teungku Chik Kuta Karang dan lain-lain63. Hingga pada saat dahsyatnya timbul perlawanan dengan Belanda, disebabkan oleh karya sastra para ulama Aceh selalu muncul “epicera” atau masa kepahlawanan yang tidak pernah padam di bumi Aceh. Melalui inspirasi ulama dan tangan mereka tercipta karya sastra yang sangat menggugah rakyat Aceh dan menggentarkan perlawanan para agresor yang kafir tersebut. Adapun karya sastra mereka antara lain : 1. Hikayat Perang Peringgi, yang diciptakan menjelang akhir abad ke-14. Hikayat ini merupakan karya sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh untuk melawan penjajah Portugis. 2. Hikayat Perang Kompeni, yang diciptakan oleh Abdul Karim (Do Karim) menjelang akhir abad ke-19, yang melukiskan perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajahan Portugis dan Belanda yang sangat heroic, dikenal dengan Perang Aceh. 3. Hikayat Perang Sabil, yang juga diciptakan menjelang akhir abad ke-19 oleh Teungku Chik Muhammad Pante Kulu. Hikayat ini seperti judulnya diciptakan juga untuk membangkitkan semangat Perang Sabil rakyat Aceh melawan Belanda. Perang Sabil adalah istilah dalam bahasa Aceh untuk jihad fi Sabilillah sebagai perang suci atas nama Allah untuk menegakkan kebenaran, membebaskan bangsa dan negara dari serangan bangsa asing yang ingin menguasai wilayah negara mereka.64 Hikayat Perang Sabil ini dipersembahkan oleh Teungku Chik Muhammad Pante Kulu untuk Teungku Chik Ditiro sebagai panglima angkatan perang sabil di Aceh. Pemberian tersebut tentu saja dengan tujuan untuk mengobarkan semangat rakyat Aceh agar tidak patah semangat berjuang walaupun cobaan sangat banyak, hanya Allah saja yang mampu membalas semua yang telah dikorbankan dalam perang di jalan Allah tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa hikayat-hikayat perang tersebut sumbernya adalah agama karena pengarangnya para ulama yang memiliki ilmu yang luas tentang agama. Isi hikayat tersebut tentu saja kebenaran yang bukan hanya sekadar cerita yang melenakan, sehingga seluruh rakyat Aceh percaya dan tergugah untuk terus berjuang. Dalam syair-syairnya para ulama menyerukan pentingnya kebersamaan dan rasa senasib sebagai bangsa yang cinta pada tanah air. Lebih jauh tentang pengaruh hikayat Perang Sabil terhadap rakyat Aceh, Anthony Reid menyatakan:

63

A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan ……………….hal. 54. A. Hasjmy, Ikhtisar sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Darussalam, Banda Aceh : Lembaga Penerbitan Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, 1976), hal. 45. 64

Aceh Serambi Mekkah

283

“karya sastra yang dihasilkan oleh para ulama sekitar tahun 1880 M yang berbentuk puisi kepahlawanan, sangat popular di kalangan rakyat Aceh dan mampu membangkitkan semangat rakyat untuk melakukan Perang Suci.”65 Perang melawan Belanda yang dimulai sejak agresi I pada tahun 1873 hingga agresi berikutnya tetap mengalami kegagalan, bukan hanya menghebohkan bahkan memberi dampak yang cukup besar bagi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan beberapa jenderal mereka tewas di Aceh termasuk JHR. Kohler pada tanggal 14 April 1873. Namun titik balik kemunduran pernah hampir terjadi dalam perjuangan rakyat Aceh yaitu ketika tentara Hindia Belanda berhasil menawan Sultan Muhammad Daud Syah, Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem dan kurang lebih 100 orang hulubalang lainnya pada tanggal 10 Januari 1903.66 Para ulama tetap bersikukuh untuk meneruskan peperangan melawan Belanda. Ulama Aceh tidak mengenal kompromi apalagi damai dengan orang kafir, bagi mereka hanya ada dua pilihan menang atau mati syahid. Di bawah pimpinan ulama, rakyat bangkit melawan agresi Belanda bukan hanya semata-mata bermotif membela negara sebagai wujud nasionalisme tapi lebih dari itu, membela agama Allah dari ancaman orang kafir. Karena itu perang Aceh melawan Belanda yang berlangsung selama 40 tahun tetap fokus pada perang sabi.67 Rakyat Aceh dan para ulamanya sangat benci pada orang kafir, K. van der Maaten mengatakan : “Satu-satunya peperangan rakyat yang pernah dialami oleh Belanda di seluruh nusantara hanyalah Perang Aceh. Pada masa itu benar-benar dapat disebut bahwa setiap laki-laki, perempuan dan anak-anak menjadi musuh kita, bukan karena mereka itu menaruh hormat atau mengagumi pemimpin-pemimpin mereka, melainkan karena keyakinan mereka yang begitu dalam dan benci kepada kafir”.68 Para ulama melanjutkan Prang Sabi hanya dengan mengandalkan semangat jihad tanpa dukungan persenjataan dan kemampuan militer yang baik. Habib Abdurrahman memang pernah berusaha mencari dukungan politik dan bantuan persenjataan dari luar negeri, khususnya negeranegara yang pernah menandatangani Traktat London pada tahun 1824 yang melarang bangsa asing melanggar kedaulatan Aceh. Akan tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Walaupun Turki mengaku negara Islam dan sedang mencanangkan Pan Islamisme juga tidak dapat berbuat banyak karena posisinya yang sangat lemah waktu itu. Sultan Abdul 65 Anthony Reid, The Contest for North Sumatera, (Kuala Lumpur : The University of Malaya Press, 1969), hal. 252. 66 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hal. 86. lihat juga, A. Hasjmy, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan ……………….hal. 58. 67 K. Van der Maaten, Watak Berperang Bangsa Indonesia di Berbagai Daerah (Suatu Perbandingan), (terj. Abu Bakar), Seri Informasi Aceh, Tahun II, No. 9, (Banda Aceh: Pusat dokumentasi dan Informasi Aceh, 1978), hal. 13. 68 K. Van der Maaten, Watak Berperang Bangsa Indonesia…hal. 13. lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia, Disertasi, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1987), hal. 99.

284

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Hamid yang menjadi Khalifah Dinasti Turki Utsmani waktu itu hanya mampu mengirimkan beberapa orang perwiranya ke Aceh secara diam-diam untuk instruktur militer pada tahun 1292-1293 H (1875-1876 M).69 Oleh karena misinya untuk memperoleh bantuan luar negera dalam perjuangan ini tidak berhasil, maka Habib Abdurrahman70 berusaha sendiri. Dalam perjalanan pulangnya dari Turki, Habib Abdurrahman singgah di Penang untuk membentuk “Dewan Delapan” yang bertugas untuk mengatur pengiriman bantuan dan penyeludupan persenjataan ke Aceh.71 Pada tahun 1885 Belanda memblokade semua pelabuhan di Aceh, akibatnya perekonomian dalam negeri tambah morat marit, rakyat semakin menderita. Situasi inilah yang lengkap direkam dalam hikayat prang Geumpeuni karangan Do Karim. Pada tahun 1896 perang Belanda di Aceh telah memasuki babak ke empat (18981912) yang merupakan fase baru politik kolonial Belanda yang sangat tajam. Sampai tahun 1896 perang Belanda di Aceh telah menelan biaya lima ratus juta gulden, sedangkan korban manusia sudah mencapai angka sekitar 10.000 tentara dan 5.000 pekerja paksa.72 Belanda sadar bahwa dengan hanya menguasai “dalam” atau meuligoe dan tunduknya para hulubalang tidaklah berarti seluruh rakyat Aceh telah tunduk, tidak seperti pengalamannya menghadapi wilayah lain di Nusantara. Belanda harus mampu menundukkan seluruh rakyat Aceh jika hendak menguasai Aceh. Namun sejak meuligoe ditaklukkan dan meninggalnya panglima perang yang sangat gigih seperti Teungku Chik Ditiro pada tanggal 25 Januari 1891 M (1309 H) dan Teungku Chik Kuta Karang pada tahun 1895 M (1313 H), perlawanan rakyat Aceh beralih ke wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur yang batasnya mulai dari Samalanga sampai ke perbatasan Sumatera Timur. Perjuangan di wilayah ini dipimpin oleh Teungku Tapa yang nama aslinya adalah Abdullah Pakeh berasal dari Talong, Aceh Tengah.Teungku Tapa ini mendapat banyak pendukung terutama dari para ulama seperti Teungku Bahrun Geudong, Teungku Harun Matang Ubi, Teungku Muda Tiro dan Teungku di Awe Geutah. Teungku Tapa menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia mendapat tugas dari para wali yang dimuliakan di Pasai, yaitu Teungku Chiek di Rumbia, Teungku Chik di Merbau, dan Teungku Chik di Buket Blang Ni untuk membersihkan Kaum Agresor dari Jambo Aye sampai ke Asahan dengan melakukan Prang Sabi.73 Hulubalang Julok Cut dan Idi Cut di Aceh Timur yang sudah berdamai dengan Belanda atas desakan Belanda mencoba membendung gerakan Teungku Tapa, namun tidak berhasil.

69

Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah… hal. 108. Habib Abdurrahman merupakan tokoh paling menonjol bila diberi tugas-tugas diplomasi yang mendesak. Seperti diberitakan oleh pers Turki, Abdurrahman adalah “seseorang yang dikaruniai intelektual yang menakjubkan, dan kemampuan membaca keadaan yang luar biasa”. Sebagai seorang Sayyid, ia masih mempunyai hubungan darah dengan syarif Makkah, dan karena itu dia dihormati di Turki. Pada bulan April 1873 Abdurrahman tiba di Makkah untuk memperbaharui hubungan dan menyampaikan surat dari Sultan Mahmud yang ingin menjalin hubungan erat antara Turki dengan Aceh. Ia tiba di Turki pada tanggal 27 April 1873. Lihat lebih lanjut dalam Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, (Terj. Masri Maris), (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 128. 71 Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy….hal. 109. 72 T. Ibrahim Alfian, Perang Aceh….hal. 246. 73 Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy ….hal. 112. 70

Aceh Serambi Mekkah

285

Rakyat Aceh tetap berpihak kepada para Ulama untuk meneruskan perjuangan membebaskan Aceh dari cengkeraman penjajah. Akibatnya Belanda sangat khawatir dan menjadi gusar, karena pengikut Teungku Tapa bertambah banyak, akhirnya Belanda terpaksa meminta bantuan dari Kutaraja, sepasukan kecil pengikut Teungku Tapa dapat disergap ketika meraka memasuki Pasar Idi, akan tetapi akibat dari tindakan ini, rakyat yang berdomisili di Peureulak, Sungai Raya, dan Simpang Alas di Aceh Timur berduyun-duyun bergabung dengan Teungku Tapa. Pada tanggal 4 Juni 1898, Belanda mencoba menghancurkan pasukan Teungku Tapa di wilayah Teupin Batee dalam pasukan yang jumlahnya sangat besar, namun Belanda juga gagal.74 Kemudian Belanda, atas saran dan prakarsa dari Snouck Hurgronje, memunculkan taktik baru dalam menghadapi pejuang-pejuang Aceh yaitu dengan menggunakan pemerasan. Disamping mengenakan denda sebesar 150.000 ringgit terhadap nanggroe di pantai Timur Aceh yang ikut mendukung perlawanan Teungku Tapa, yang jelas merupakan beban yang sangat berat yang harus dipikul oleh rakyat. Belanda juga menculik istri dan anak-anak para pejuang untuk memaksa mereka menyerah. Karena hal inilah akhirnya Sultan Muhammad Daud Syah yang berjuang di wilayah Aceh Utara menyerah kepada Belanda pada tanggal 10 Januari 1903 (1321 H) dan juga panglima Polem pada tanggal 6 September pada tahun yang sama.75 Memang gerakan Teungku Tapa dapat dihancurkan, namun perjuangan rakyat di bawah pimpinan para ulama terus berlangsung. Teungku di Barat dan Teungku di Cot Plieng76 melanjutkan perjuangan di Aceh Utara. Perlawanan terhadap penjajah terutama Belanda yang dilakukan melalui perlawanan bersenjata, ternyata belum memadai. Karena perang mengusir penjajah ini membutuhkan waktu yang sangat lama dan memakan korban yang banyak pula, sehingga dibutuhkan perubahanperubahan dalam lingkungan internal masyarakat Aceh. Perubahan tersebut sangat perlu dilakukan, karena bila semuanya terjun berperang maka dikhawatirkan rakyat Aceh akan tertinggal jauh dalam berbagai sektor kehidupan. Sehingga berbagai cara ditempuh agar maksud untuk mengusir bangsa penjajah dari bumi Aceh tercapai. Untuk mencapai maksud tersebut maka dilakukan 2 hal, yaitu : 1. Melanjutkan perang gerilya yang selama ini telah dilakukan dengan meningkatkan intensitas serangan dan memperbaharui strategi perang, sehingga Belanda angkat kaki dari Aceh. 2. Perang politik dengan menfokuskan pada peningkatan pendidikan masyarakat. Pendidikan rakyat harus dikembangkan kembali, yang selama ini agak terbengkalai karena terfokus pada perang fisik. Untuk mewujudkan strategi baru dalam bentuk peningkatan pendidikan masyarakat sebagai upaya pencerahan pemikiran, terutama dalam bidang ilmu agama, maka pada tanggal 18 74

Ibid, hal. 114. K. van der Maaten, Watak Berperang Bangsa Indonesia di Berbagai Daerah…hal. 305. 76 Cot Plieng terletak dibekas ibu kota kerajaan Pasai. Dalam masa pendudukan Jepang Cot Plieng tercatat pula sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang, yang terjadi pada tanggal 11 November 1942 (1361 H). Pemberontakan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil ini tercatat sebagai pemberontakan pertama dalam sejarah Indonesia dalam masa pendudukan Jepang, Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi AshShiddieqy ….hal. 500. 75

286

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Rajab 1327, Tuanku Mahmud, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem mengirim surat kepada Habib Abdurrahman, Teupin Wan, Teungku Mahyiddin, dan Teungku Buket77 serta beberapa ulama lainnya. Setelah berunding dengan para pengikut mereka, akhirnya mereka sepakat untuk membagi tugas. Sebagian ulama meneruskan perang gerilya di bawah pimpinan Teungku Mahyiddin dan Teungku Buket. Sedangkan sebagian ulama kembali ke wilayah pemukiman untuk membangun kembali lembaga-lembaga pendidikan sebagai upaya pencerdasan generasi muda, dan hal tersebut merupakan langkah paling mendasar dalam perjuangan secara politis untuk merebut dan mencapai kemerdekaan sepenuhnya. Dalam waktu singkat banyak lembaga pendidikan dalam bentuk dayah dan rangkang muncul di Aceh, dayah Lamdiran yang dibangun oleh Teungku Fakinah, Dayah Lamnyong didirikan oleh Teungku Abdussalam dan banyak dayah lainnya. Bahkan Tuanku Raja Keumala seorang ulama dan bangsawan yang sempat ditawan Belanda membuat sebuah lembaga pendidikan baru yang diberi nama Madrasah Khairiyah. Lembaga pendidikan ini didirikan di lingkungan Mesjid Baiturrahman.78 Ulama lain yang sangat berpengaruh pada modifikasi dan unifikasi kurikulum dayah dan madrasah adalah Teungku Ismail Yakob, beliau salah seorang pendiri Madrasah Darul Ma’arif di Blang Jruen, Lhoksukon, Aceh Utara.79 Lembaga pendidikan yang didirikan oleh para ulama tersebut merupakan upaya untuk menumbuhkan dan melestarikan nasionalisme dalam sanubari rakyat Aceh. Dengan mendirikan dan mempertahankan lembaga pendidikan agama diharapkan akan lahir generasi-generasi penerus yang memiliki ilmu pengetahuan luas, punya integritas tinggi terhadap perjuangan bangsa karena generasi penerus bangsa harus memiliki visi dalam menjalani kehidupan. Melalui upaya tersebut pencerahan pemikiran berhasil dilakukan, dengan demikian tokoh-tokoh ulama tetap banyak lahir di Aceh. Sehingga Aceh sebagai Serambi Mekkah tempat masyarakat muslim belajar Islam tetap bertahan. Salah seorang Ulama yang juga berhasil dalam membina pendidikan di Aceh terutama di Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara adalah Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap,80 beliau memberikan transformasi ilmu dan pendidikan untuk seluruh lapisan umat. Beliau salah seorang tokoh ulama yang mendirikan Institut Normal Islam Bireun81 dan lembaga pendidikan Al-Muslim Peusangan.82

77

A. Hasjmy, Peranan Islam…….hal. 59. Ibid, hal. 63. 79 Hamdiah A. Latif, Persatuan Seluruh Ulama Aceh (PUSA) Its Contributions To Educational Reforms In Aceh, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1996), hal. 33. 80 Hasanuddin Yusuf Adan, “Obat Mujarab Membangun Aceh”, dalam, Aceh Ekspres, (Banda Aceh: 4-10, Oktober 1999), hal. 4. 81 Dari Institut Normal Islam Bireun banyak lahir para intelektual dan ilmuan Aceh yang cukup dikenal hingga sekarang, seperti Teungku Hasan Muhammad Ditiro, Teungku Ismail Muhammad Syah (ISMUHA), Teungku Ismail Thaib, Teungku Zaini Bakri, Teungku AR. Hasyim, Teungku M. Daud Hasan, Hasanuddin Yusuf Adan, “Obat Mujarab Membangun Aceh…..hal. 4. 82 Walaupun pada akhirnya lembaga pendidikan agama agak terpinggirkan karena pengaruh kebijakan pemerintah kolonialis Belanda yang memunculkan lembaga pendidikan umum yang memfokuskan pada pengajaran pengetahuan yang bersifat duniawi semata. Sehingga akhirnya di Indonesia muncul dikotomis dalam dunia pendidikan, yaitu lembaga pendidikan Islam tradisional dan lembaga pendidikan sekuler. Lembaga pendidikan tradisional dibangun oleh ulama-ulama dengan sifatnya yang tradisional dan lembaga pendidikan moderen dibangun oleh pemerintah yang ketika itu adalah pemerintahan kolonial. 78

Aceh Serambi Mekkah

287

Selanjutnya untuk mengokohkan persatuan di kalangan para ulama agar tidak terjadi perpecahan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, atas inisiatif Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap juga Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Ismail Yacob mendirikan organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tanggal 12 Rabiul Awal 1358 H/ 3 Mei 1939 M Dengan ketuanya Teungku Muhammad Daud Beureueh. PUSA didirikan dengan tujuan utama untuk menyiarkan, menegakkan, dan mempertahankan agama Islam yang suci. Disamping itu, berusaha sedapat mungkin mempersatukan paham ulama-ulama Aceh dalam hal menerangkan hukum-hukum Islam guna menghindari perpecahan dalam masyarakat. Selain itu berusaha memperbaiki dan menyatukan program pendidikan dan pengajaran yang beraneka ragam pada seluruh madrasah yang ada di Aceh.83 Melalui lembaga ini para ulama mencoba mewadahi dan mempersatukan seluruh ulama, sehingga dengan persatuan yang kuat mereka dapat membuat berbagai terobosan untuk kemajuan umat, dan yang paling penting bagaimana mereka dapat mempersatukan dan meningkatkan nasionalisme umat bila mereka sendiri terpecah, jadi ini merupakan langkah yang baik untuk mereka bersatu. PUSA juga merupakan strategi baru yang dilakukan oleh ulama untuk dapat mengembangkan diri dalam berbagai organisasi lainnya seperti organisasi massa, organisasi politik dan organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammaddiyah, Syarikat Islam dan lain-lain. Jelasnya organisasi ini merupakan hasil perkembangan kesadaran di kalangan intelektual masyarakat Aceh, terutama golongan ulama karena kondisi mereka di bawah penjajahan. Ulama melihat perlunya organisasi yang kuat untuk menjalankan fungsinya sebagai pelaksana “amar makruf nahi munkar”. Dari uraian nasionalisme para ulama Aceh dan idealisme terhadap perjuangan yang mereka hadapi, secara patriotik mereka mengangkat senjata dalam segala keterbatasan dan tidak ada seorangpun yang mau menyerah hidup-hidup kepada musuh kafir. Semua para ulama tewas di medan perang atau hidup dalam perjuangan sampai tua. Ada juga ulama yang dihukum mati dihadapan regu tembak, tetapi keadaan ini tidak membuat hati mereka kecut, bahkan menambah semangat rakyat Aceh untuk terus berjuang.

Namun selanjutnya hadir pemikiran-pemikiran baru Islam di dalam lembaga pendidikan tradisional. Maka dapat dikategorikan kepada dua golongan dalam dinamika perkembangan pendidikan Islam, yaitu golongan tradisional dan gerakan pembaharuan pendidikan (golongan moderat). Lihat lebih lanjut dalam, Namun demikian tetap muncul dari kalangan ulama untuk mengupayakan gerakan pembaharuan pendidikan lebih memberi perhatian pada sifat Islam secara umum. Dalam pandangan mereka bahwa Islam sesuai dengan tuntunan zaman. Islam adalah agama universal, Islam juga berarti kemajuan. yang tidak pernah menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains, serta persoalan kaum perempuan. Gerakan pembaharuan pendidikan muncul di tengah-tengah sistem pendidikan di wilayah nusantara yang dualistik yaitu sistem Barat yang moderat dan sistem pesantren yang tradisional. Sistem Barat hanya mempelajari pelajaran umum sementara sistem pesantren hanya mengutamakan pelajaran agama. Gerakan pembaharuan hadir di tengah-tengah sistem pembelajaran tradisional dengan membawa warna baru. 83 M. Nur El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta : Gunung Agung, 1986), hal. 8.

288

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

3. Nasionalisme Masyarakat Aceh Aceh yang merupakan salah satu wilayah yang ada di Nusantara juga ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Peran Aceh dalam perjuangan ini diakui oleh siapapun. Sumbangsih Aceh telah melahirkan kemerdekaan Indonesia . Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bila ditinjau dalam perjalanan sejarah rakyat Aceh, rasa nasionalisme rakyat Aceh pada dasarnya sudah terbentuk sejak dahulu yaitu sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam lintasan sejarah peradabannya, Kerajaan Aceh Darussalam telah berupaya untuk merintis persatuan rakyat Aceh yang terpilah-pilah dalam beberapa kerajaan-kerajaan kecil dan suku-suku yang ada di Aceh ketika berada di bawah Pemerintahan Sultan Husain Syah yang berkuasa pada tahun 870-885 H/1465-1480 M84. Penguasaan sepenuhnya kerajaan-kerajaan kecil karena alasan stabilitas dan kedaulatan bangsa Aceh sebagai bangsa yang merdeka bebas dari penjajahan bangsa manapun dilakukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602 M). Sultan mempersatukan kerajaan Aceh menjadi sebuah kerajaan yang besar, megah dan tangguh sehingga mampu bertahan dari berbagai rongrongan, terutama upaya penjajahan Bangsa Portugis. Sehingga ketika itulah tercipta kesatuan Aceh yaitu satu agama, satu bangsa dan satu negara. Dengan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai masa gemilangnya di kemudian hari dibawah kesultanan Aceh selanjutnya. Sebelumnya, di wilayah Sumatera bagian Utara terdapat beberapa kerajaan kecil yang memiliki kedaulatan terhadap wilayahnya, kerajaan-kerajaan tersebut yaitu: 1. Kerajaan Pereulak. 2. Kerajaan Samudera - Pasai 3. Kerajaan Teumiang 4. Kerajaan Pidie 5. Kerajaan Indera Purba, bandarnya terkenal dengan “Lamuri” sehingga dikenal juga dengan kerajaan Lamuri. 6. Kerajaan Indera Jaya, bandarnya terkenal dengan “Kantoli” yang asalnya dari sebutan “Pan Ton Bie”.85 Ada yang perlu digaris bawahi, melihat pengalaman sejarah Aceh masa lampau dan latar belakang sosial budaya masyarakatnya. Masyarakat Aceh memiliki dinamika yang tinggi untuk melakukan respon yang kreatif dalam membangun dirinya. Masyarakat Aceh memiliki harga diri yang tinggi serta kemauan yang kuat untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini sangat berkaitan dengan nilai-nilai agama dan adatnya yang sudah menyatu. Sebuah hadih maja yang tidak asing lagi “hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”. Hadih maja ini bermakna; di dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh sudah menyatu nilai-nilai agama dengan nilai-nilai adat. Dengan kata lain hukum adat dan hukum Islam tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak masa lalu sampai hari ini dan esok. Ini diibaratkan seperti bagian mata yang hitam dan putih. Bersumber dari itu, masyarakat Aceh berhasil membudayakan nilai heroisme yang luar biasa melalui fanatisme agama yang tinggi seperti terlihat dalam peperangan mereka melawan Portugis, Belanda dan akhirnya melawan penjajahan Jepang. 84 85

A. Hasjmy, Sejarah dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. al-Maarif, 1981), hal. 16. Ibid, hal.189,

Aceh Serambi Mekkah

289

Kondisi sosial masyarakat Aceh seperti ini sangat dipengaruhi oleh kefanatikan terhadap agama. Dalam hal ini sejak dahulu, tentu saja karena faktor didikan ulama sangat mempengaruhi dalam pembentukan masyarakat Aceh. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Ulama di mata masyarakat Aceh adalah sosok yang sangat dijunjung tinggi, dihormati dan didengar tuturnya. Begitu pula di pemerintahan Aceh, ulama diberi tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Pada masa kesultanan Aceh, ulama dijadikan sebagai penasehat dan mufti (Syekh al Islam) yang bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Ulama juga dilibatkan untuk mengambil kebijakan dalam urusan politik dan ekonomi. Zainuddin dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa urusan yang diserahkan oleh sultan kepada ulama, yaitu: 1. Ulama menjadi penasehat sultan dalam hal yang bersangkutan dengan bidang agama dan memberikan penerangan kepada rakyat tentang keteguhan iman rakyat dalam negeri terhadap Tuhan dan kebajikan yang bersangkutan dengan agama. 2. Ulama menjadi qadhi sultan dalam hal memutuskan perkara-perkara (hukum) dalam negeri. 3. Ulama menerima wilayah dari sultan sebagai waki panglima sagi atau uleebalang untuk menikahkan orang yang tidak berwali dan memfasakh atau fasiq perempuan yang boleh difasah atau fasiq dan hal lain-lain yang bersangkutan dengan hukum agama.86 Ketika wilayah Aceh dijajah oleh bangsa Belanda, ulama sangat berperan dalam menggerakkan masyarakat Aceh untuk mengadakan perlawanan. Ulama menanamkan dalam diri masyarakat Aceh bahwa perlawanan terhadap penjajahan merupakan tugas kita untuk bersatu melakukan jihad. Ulama menggunakan kekuatan yang menjadikan perang itu sebagai salah satu aspek ibadah yang dianjurkan Islam yaitu jihad pada jalan Allah dengan perang suci. Sehubungan dengan ini, di dalam ajaran Islam menyatakan bahwa mereka yang memerangi Islam adalah kafir harbi karena itu mereka menyebut penjajah sebagai kafir harbi yang harus diperangi. Menurut ulama perang melawan penjajah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Berperang melawan penjajah disebut jihad fisabilillah. Siapapun yang gugur dalam pertempuran adalah syahid dan akan masuk syurga. Strategi ini sebagai cara yang dilakukan oleh ulama agar rakyat berkeinginan untuk berperang karena didasarkan pada perintah Allah SWT. Disamping itu, melalui penyebaran ideologi Prang Sabi (perang sabil), ulama mengajak rakyat untuk meningkatkan kekuatan mereka dalam berperang melawan musuh yang sangat berbahaya bukan hanya demi keselamatan negara tetapi juga demi eksistensi agama. Demikianlah ulama telah tampil mengatasi masalah pelik yang dihadapi oleh rakyat Aceh pada masa penjajahan. Masa perjuangan ini berlangsung sangat lama karena penjajah adalah pasukan yang sangat kuat dengan peralatan peperangan yang jauh lebih modern dibandingkan dengan peralatan peperangan rakyat Aceh yang masih tradisional. Rasa nasionalisme rakyat Aceh terhadap tanah airnya cukup teruji, walaupun dalam pertempuran-pertempurannya bangsa Portugis dan Belanda menerapkan politik devide et impera, namun rakyat Aceh tetap kokoh dalam satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan yang dikenal sebagai Proklamasi Gubernur Jenderal Belanda yang ditanda tangani di Bogor pada tanggal 7 Juni, yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin rakyat dalam wilayah Kesultanan 86

290

M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal. 333.

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Aceh dan juga untuk rakyat Aceh, isinya sebagai berikut : “Berkali-kali Pemerintah Hindia Belanda, demi kelancaran perdagangan dan lalu lintas kapal berupaya mengakhiri pertikaian dan permusuhan antara kerajaan Aceh dengan kerajaan-kerajaan kecil bawahannya maupun antara sesama kerajaan-kerajaan kecil itu sendiri. Namun upaya tersebut selalu dihambat dan bahkan tidak disetujui oleh pihak rakyat Aceh dan penguasa Kesultanan Aceh itu sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang menyesatkan dan menyakitkan. Sayangnya pemerintah Belanda tidak berhasil memperoleh penjelasan yang memadai tentang persoalan ini dari penguasa kesultanan Aceh, apalagi untuk mengadakan perundingan dengan pihak mereka, oleh karena itu pemerintah Belanda menyatakan perang. Namun akibat musim laut yang buruk dan tidak bisa berlayar, sehingga perang terpaksa ditunda sementara, hingga musim laut baik kembali dan memungkinkan untuk berlayar. Serangan pasukan Belanda hanya ditujukan kepada mereka yang memihak kesultanan Aceh dan kepada siapa saja yang menolong sultan kerajaan tersebut dalam bentuk apapun. Dan sebaliknya untuk kerajaan-kerajaan kecil dalam kawasan kesultanan Aceh yang tidak melibatkan diri dalam pertikaian tersebut maka tidak akan diserang. Bila diketahui ada orang yang membantu Aceh, maka ia akan dipandang sebagai musuh dan akan ditindak dalam pandangan tersebut. Sebaliknya jika menunjukkan sikap damai pada Pemerintah Hindia Belanda, maka orang tersebut akan dijamin keselamatan, kebahagian dan masa depannya. Bertentangan dengan berita-berita yang tersiar, disini ditegaskan kembali bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak memusuhi agama Islam, dan bagi pemeluknya diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya. Ku ulang : Siapa yang memihak sultan akan mengalami tangan besi pemerintah Hindia Belanda, akibat dari bencana tersebut tanggung sendiri. Komandan kapal perang yang membawa maklumat ini kepada tuan dan staf yang menemaninya adalah orang yang saya kuasakan untuk merundingkan persoalan ini kepada anda, dan akan melakukan tindakan sesuai dengan keadaan yang ada.” (Ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Loudon).87 Walaupun ancaman dan maklumat perang telah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, namun rakyat Aceh tidak gentar. Rasa cinta tanah air dan kerelaan mengorbankan apapun demi mempertahankan tanah dan bangsa yang dicintai merupakan kehormatan bagi rakyat Aceh. Ini membuktikan nasionalisme masyarakat Aceh begitu tinggi, dan sebaliknya pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengakui ketangguhan semangat dan perjuangan rakyat Aceh. Meskipun Belanda telah mengepung Kesultanan Aceh melalui laut dan lalu lintas perdagangan terpaksa dihentikan, bahkan sultan harus keluar dari istana namun rakyat tak bergeming, mereka tetap berada di belakang sultan, terutama rakyat Aceh yang berada di luar Aceh Besar, walaupun akibat blokade itu sangat pahit mereka rasakan. Semangat ulama dan rakyat Aceh yang demikian besar membuat Perang Aceh tetap berkobar dan tidak pernah berhenti hingga Belanda hengkang dari Aceh. Ketika Jepang masuk ke Sumatera, nasib wilayah ini ditentukan oleh politik tingkat tinggi pemerintah Jepang untuk kawasan selatan, karena Sumatera dan Malaya merupakan wilayah yang ingin dijadikan bagian dari daerah inti dari kemaharajaan kawasan Selatan. Menurut An87

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad……….hal. 806.

Aceh Serambi Mekkah

291

thony Reid, Jepang tidak memiliki persiapan yang memadai terhadap Sumatera sebagai suatu wilayah dalam hubungannya dengan Indonesia yang dikenal reputasinya sebagai benteng kekuatan Islam. Jepang tidak mengenal Aceh sesungguhnya, akibatnya beberapa kebijakan Jepang telah membangkitkan rasa tidak suka rakyat Aceh kepada Jepang, terutama budaya yang mengharuskan untuk membungkuk (keirei) ketika melewati kantor dan tangsi Jepang, sehingga menimbulkan perlawanan rakyat, pemberontakan Teungku Abdul Jalil di Aceh Utara, perlawanan rakyat di Pandrah pada bulan Mei 1945 dan banyak pemberontakan lainnya. 88 Dan sejak itu pula rasa nasionalisme rakyat Aceh bangkit terutama di kalangan kaum muda yang terpelajar dan menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Rasa nasionalisme menjelma menjadi suatu kekuatan baru dalam politik Aceh yang lebih meresapi kepentingan persatuan bangsa.89 Ketika Indonesia merdeka, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Aceh agak terlambat mengetahuinya, hal ini disebabkan karena sarana informasi yang hancur akibat perang yang berkecamuk di Aceh. Rakyat Aceh memaklumi keadaan tersebut. Bendera merah putih baru mulai berkibar di beberapa tempat pada bulan September 1945. Para pemimpin di Aceh masih curiga kepada Belanda yang akan membahayakan proklamasi kemerdekaan rakyat Indonesia, dan memperingatkan bahwa kemungkinan mereka akan kembali menjajah Indonesia.90 Kecurigaan tersebut ternyata terbukti, karena pada bulan September 1945, Belanda melakukan agresi I. Melihat kondisi yang berkembang agak mencemaskan, ulama dan pemimpin masyarakat mengambil tindakan untuk berkumpul dan memutuskan untuk memberi dukungan dan dorongan kepada Republik Indonesia terhadap proklamasi kemerdekaannya. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “Deklarasi Seluruh Ulama Aceh” yang ditandatangani oleh 4 orang ulama yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Ja’far Shiddiq, dan Teungku Hasan Krueng Kalee. Deklarasi tersebut telah mendorong rakyat Aceh untuk bersatu mendukung Pemerintahan Soekarno–Hatta dalam perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Keempat ulama tersebut berpendapat bahwa berjuang untuk kemerdekaan adalah tugas suci karena perjuangan tersebut adalah perang sabil.91 Apalagi ditambah dengan heroisme rakyat di beberapa daerah di Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan, telah menggerakkan para ulama Aceh untuk turut berjuang pula. Maka pada tanggal 17 November 1945 ulama dan rakyat berkumpul di Mesjid Baiturrahman untuk membentuk angkatan perang Islam yang dinamai lasykar mujahidin yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Organisasi pasukan militer ini dalam waktu singkat telah membangun lasykar dibeberapa tempat. Namun kemudian lasykar mujahidin ini berubah nama menjadi Divisi Teungku Chik Ditiro yang dipimpin oleh Teungku M. Daud Beureueh, Di Aceh Timur diberi nama Divisi Teungku Chik Paya Bakong dipimpin oleh Teungku Amir Husein Mujahid.92

88

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerjaan di Sumatera, (Terjemahan Tim Pustaka Sinar Harapan), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal.225. 89 I b i d, hal. 223. 90 M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh……..hal. 55. 91 M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh……..hal. 56 92 Ibid, hal. 56

292

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Didorong oleh semangat Perang Sabil, rakyat Aceh berjuang dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan mereka yaitu membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda yang ingin kembali bercokol di bumi pertiwi. Melihat kondisi perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan Indonesia tidak kendor sedikitpun membuat Belanda tidak jadi menduduki Aceh meskipun mereka telah membuat markas-markas di Medan. Karena kegigihan ulama dan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan akhirnya pemerintah yaitu Presiden Soekarno menetapkan Tgk. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer yang membawahi wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, beserta para pengikutnya yang juga dari kalangan ulama seperti Teungku Abdul Wahab Seulimum.93 Agresi Belanda II dilakukan pada tanggal 19 September 1945, Belanda berhasil menduduki ibu kota Republik Indonesia saat itu yaitu Yogyakarta, menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Kondisi ini membuat Pemerintah Republik Indonesia membentuk pemerintahan darurat di bawah kendali Syarifuddin Perwira negara dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Bukit Tinggi dan selanjutnya ke Aceh,94 alasannya, karena Aceh satu-satunya wilayah yang tidak diduduki oleh Belanda. Aceh pada saat itu berhasil menghimpun dan memobilisasi segala potensi dan kekuatan rakyat untuk menggelorakan semangat perjuangan dalam revolusi 1945. Mengikis habis unsur NICA-kontrarevolusioner dalam daerah Aceh. Membendung dan menahan serangan Belanda yang dilancarkan dari Medan, menjaga keamanan di seluruh Aceh, menyelenggarakan administrasi dan organisasi pemerintahan secara baik di seluruh Aceh. Menyatukan seluruh lasykar dan kelompok bersenjata di bawah TNI, bahkan menolak ajakan Teungku Masur untuk membentuk Negara Bagian Sumatera Timur. Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu mengalami problem keuangan yang serius, karena masa perjuangan yang berat, kondisi keuangan negara tidak memiliki sumber pemasukan. Pemimpin-pemimpin Aceh termasuk ulama berkumpul untuk mencari jalan keluar permasalahan ini. Dengan bantuan rakyat Aceh ketika itu berhasil dikumpulkan dana dari sumbangan rakyat untuk dana mobilisasi pemerintahan yang terkocar-kacir di dalam dan luar negeri. Dana ini juga dipergunakan untuk pembelian dua buah pesawat udara yang kemudian diberi nama Seulawah.95 ULAMA DAN PERSETERUAN POLITIK 1. Ulama dan Uleebalang Sebagai Tokoh Politik Pada masa Kesultanan Aceh Di dalam masyarakat Aceh dikenal ada dua jenis pemimpin, yakni pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat terdiri dari sultan dan para uleebalang atau raja-raja kecil serta kerabat-kerabat yang membantu mereka. Sedangkan pemimpin agama adalah ulama. Ulama tidak hanya sekadar guru agama yang mengajarkan agama Islam tetapi juga mendapatkan penghargaan atas keahlian yang berbeda-beda karena ulama merupakan tokoh yang kompleks yang memiliki kapasitas yang beragam. Sebagai seorang pejabat agama terkadang ulama harus turut mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan agama dan juga kelembagaan negara. Golongan ini selain para ulama besar terdapat juga guru-guru agama, guru-guru tarekat, para haji, teungku meunasah, dan imuem mesjid. Adapun orang-orang yang mempelajari kitab93

M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muham Daud Beureueh….hal. 43. Hasan saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Ed. Anzis Kleden dan Ignas Bethan), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 114. 94

Aceh Serambi Mekkah

293

kitab agama hanya sekedar cukup untuk memangku jabatan sebagai teungku meunasah atau kadhi disebut leube atau malem, tetapi tidak disebut ulama, sebab untuk yang terakhir ini diperlukan syarat-syarat yang lebih berat lagi. Selanjutnya sebagai pemimpin agama, ulama dikenal juga sebagai kelompok elit sosial politik dalam struktur masyarakatAceh, disamping sultan sebagai pemimpin tunggal yang memimpin kerajaan Aceh itu sendiri. Ulama merupakan satu kesatuan yang kokoh dalam menciptakan Aceh menjadi sebuah kawasan yang kuat dan disegani, baik dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Bahkan ulama saling beriringan bahu-membahu dalam menjalankan roda kepemerintahan. Seperti ketika masa Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602) dan masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), mereka berdua memilih dan mengangkat Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti (disebut Syeikh al-Islam) bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Meskipun demikian al-Sumatrani tidak hanya berfungsi sebagai penasehat agama, namun dilibatkan juga dalam urusan politik. Tentang posisi ulama dalam politik dapat dilihat dalam Qanun al-Asyi yaitu “ Orang kedua dalam kerajaan yaitu Qadhi Malikul Adil dengan empat pembantunya yang bergelar mufti empat”.96 Jadi ulama telah mendapat posisi yang sangat penting dalam sistem kerajaan Aceh Darussalam. Relasi yang harmonis harus dibina antara ulama dan sultan, dan ini merupakan suatu hal yang sangat penting. Dalam Kanun Meukuta Alam ditetapkan :”Ulama dengan raja tidak boleh jauh atau bercerai, sebab jikalau cerai ulama dengan raja niscaya binasalah negeri”.97 Jadi ulama bukan hanya tempat konsultasi dan pemutus perkara dalam bidang hukum tapi juga menjadi juru runding yang handal. Posisi sebagai Qadhi Malikul Adil bagi Syamsuddin as-Sumatrani membuatnya bisa berkiprah banyak bagi rakyat Aceh ketika itu. Kemantapan posisinya dalam sistem pemerintahan dan di kalangan istana dalam jangka waktu yang cukup lama disebabkan karena beliau memiliki kapabilitas yang tinggi dibandingkan dengan ulama lainnya. Para pelaku sejarah yang bertemu dengan As-Sumatrani mencatat dalam literatur tentang al-Sumatrani dan melukiskan sosoknya sebagai ulama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter keislaman masyarakat Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai juru runding yang handal, al-Sumatrani mendapat catatan tersendiri dalam tulisan Sir. James Lancaster seorang perunding yang dikirim oleh Ratu Elizabeth dalam rangka merundingkan perdamaian antara Aceh Darussalam dengan Inggris, ia juga menceritakan al-Sumatrani sebagai tokoh yang berwibawa, dihormati sultan dan segenap rakyat Aceh.98 John Davis seorang pelaut Inggris yang ikut rombongan Belanda pimpinan Cornelis de Houtman, juga memiliki informasi yang sama tentang al-Sumatrani sebagai uskup agung ketika itu di Aceh.99 Jadi sejak awal berdirinya kerajaan Aceh Darussalam ulama sudah berkiprah dalam sistem politik dan sangat berpengaruh dalam mengarahkan haluan negara. 95

M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh……..hal. 56 A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal. 71. 97 A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 6. 98 James Lancaster, The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and East-Indies, (Ed. Sir William Foster), (London : The Hakluyt Society, 1940), hal. 96. 99 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. IV, (Jakarta: Mizan), hal. 167. 96

294

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Selain As-Sumatrani pada periode selanjutnya ada lagi ulama yang paling berperan dalam struktur Kerajaan Aceh Darussalam yaitu Nuruddin Al-Raniry, ia dipilih sebagai Kadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan juga pada masa sultanah berikutnya, yaitu pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiatuddin. Nuruddin al-Raniry digambarkan sebagai figur yang luar biasa, karena dia pada dasarnya tidak hanya ahli dalam bidang agama saja, namun juga sebagai pengarang, penasehat dan juga politikus. 100 Selanjutnya ada lagi ulama besar yang tak kalah pentingnya dalam khazanah sejarah kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang ditetapkan sebagai Mufti dan Kadhi Malik al-Adil selama periode empat orang ratu (1641-1699) memimpin kerajaan. Adapun Sultanah yang mengambil dia sebagai mufti adalah Tajul Alam Safiatuddin (16411675). Sejak saat kerajaan Aceh didirikan, setiap raja yang memimpin kerajaan pasti didampingi oleh ulama sebagai Kadhi Malik al-Adil. Ini suatu kenyataan yang mungkin berbeda dengan daerah lain dimana raja tidak hanya menempatkan ulama sebagai penasehatnya, namun setiap negeri dan kepala kampung dibantu pula oleh ulama lokal. Mengenai hal ini, Syeikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang mengatakan dalam kitabnya “Tadhkirat al-Rakidin” (1889), antara lain sebagai berikut: “Adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama kembar; tatkala mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga”. Artinya: “Adat menurut adat, hukum syari’at menurut hukum syari’at, adat dengan hukum syari’at sama kembar, tatkala mufakat adat dengan hukum itu, negeri senang tiada huru-hara”. Beliau menambahkan: bahwasanya agama Allah dan raja-raja itu bersaudara keduanya yakni hana (artinya: tiada) hasil senang raja-raja yang jauh dari pada agama Allah dan hana hasil senang agama Allah yang jauh dari pada raja-raja. Inilah gambaran hubungan antara ulama, uleebalang dan sultan pada masa kejayaan Islam Aceh Darussalam, yang mencapai masa pencerahan (golden age) pada abad ke-17, dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Uleebalang di Aceh merupakan sebuah Istilah institusi pemerintahan yang sebenarnya sudah dikenal sepanjang sejarah Aceh. Uleebalang ini pada masa Belanda diistilahkan dengan zelfbestuurder. Pada awalnya terminologi uleebalang tidak berarti kepala pasukan, tetapi berkonotasi sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Sendiri atau Otonom. Oleh karena itu yang diangkat sebagai uleebalang adalah raja-raja dari kerajaan kecil yang ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan telah diberikan surat pengangkatan atau sarakata yang dibubuhi cap sikuereung dan mereka inilah yang menjadi uleebalang sesungguhnya101. Sebagai contoh, Sultan Deli yang diangkat menjadi uleebalang setelah kerajaan Aceh menaklukkannya, dalam melaksanakan tugasnya sultan Deli sebagai uleebalang kerajaan Aceh tetap memiliki otoritas dalam negerinya sendiri, demikian juga uleebalang Perak di Malaya.102 Sebagai sebuah struktur pemerintahan uleebalang merupakan kesatuan teritorial tertinggi, daerah uleebalang

100

Muhammad Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, (Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004), hal. 44 lihat juga dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah … hal. 167 101 A.J. Piekaar, Aceh dan peperangan dengan Jepang, (Terjemahan Abubakar), (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi Aceh, 1998), hal. 6. 102 A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 39.

Aceh Serambi Mekkah

295

terbagi dalam sejumlah mukim yang dikepalai oleh seorang imuem mukim, setiap mukim terdiri dari gampong atau meunasah yang dikepalai oleh seorang keuchik. Namun tidak seluruh Aceh mengenal istilah ini, karena ada daerah tertentu yang menggunakan istilah uleebalang cut, uleebalang lapan, uleebalang peut, dan lain-lain.103 Uleebalang merupakan perpanjangan tangan sultan dalam masyarakat, ia merupakan pemangku hukum adat di wilayahnya, oleh karena itu seorang uleebalang bertugas menjaga ketertiban umum yang diatur oleh syara’ dan adat. Kekuasaan uleebalang sangat besar karena daerah yang dikuasainya mempunyai otonomi luas. Oleh karena itu tidak jarang uleebalang bertindak sebagai penguasa tunggal di daerah, sedangkan kekuasaan sultan hanya formalitas belaka. Jabatan uleebalang diwariskan secara turuntemurun dengan memperoleh gelar bangsawan teuku bila ia seorang pria dan pocut, cut atau cut nya’ bila ia seorang wanita. Uleebalang yang sedang berkuasa di daerah otonom menggunakan gelar kebangsawanan teuku chik.104 Menurut Syeikh Abbas atau Teungku Chik Kutakarang, ada tujuh macam kerja yang dibebankan di atas bahu raja-raja dan/atau uleebalang yaitu : 1. Memelihara agama Islam dengan menolak orang yang memasukkan bid’ah dan menyuruh isi negeri mengamalkan ajaran Islam., 2. Mengawal agama Islam dan isi negeri agar tidak dibinasakan oleh musuh dan melindungi isi negeri daripada huru-hara, pencuri dan penyamun-penyamun 3. Membangun negeri, seperti membuat jalan 4. Menjaga atas segala hak pemindahan harta kaum muslimin semata-mata atas dasar hukum syara’ 5. Menentang kedhaliman dan memimpin dengan adil, 6. Menegakkan hukum adat dan hukum syara’ masing-masing menurut perlunya, dan 7. Memilih pegawai-pegawai termasuk panglima-panglimanya dan sahabat-sahabatnya yang berguna dan jujur. Ulama dan uleebalang pada masa kesultanan Aceh, sebelum Belanda memasuki wilayah ini, memiliki hubungan yang baik dan sangat harmonis, mereka saling membantu dalam menjalankan tugas dan fungsi. Masing-masing mereka saling melengkapi dalam mengayomi masyarakat, karena uleebalang menghadapi tugas yang sangat berat sebagai perpanjangan tangan sultan dalam masyarakat, dan ulama sebagai orang kedua setelah sultan harus selalu tampil bijak menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat dan juga yang dihadapi sultan dan uleebalang. 2. Ulama dan Uleebalang Pada Masa Belanda Pada fase ini ulama tidak berubah visinya, sebagaimana telah dijelaskan di atas, mereka tetap bertahan untuk berjuang mempertahankan prinsip yang mereka pegang, bahwa perang melawan kafir adalah jihad. Pada masa Belanda, ulama tidak memiliki kontribusi dalam politik untuk membantu pemerintahan Belanda di Aceh dan sistem yang dijalankannya. Ulama tetap berada di medan-medan gerilya melancarkan perang terhadap penjajahan Belanda. Sebaliknya, pada periode ini, menurut lembaran catatan-catatan sejarah, menjelaskan tentang keberadaan uleebalang dalam politik pemerintah Hindia Belanda. 103 104

296

A.J. Piekaar, Aceh dan peperangan….hal. 9. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang…….hal. 40.

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Berdasarkan analisis Anthony Reid, di tanah jajahan Belanda tidak ada seorang pejabat resmi bisa cepat naik pangkat atau cepat dicopot dari kedudukannya selain di Aceh. Belanda memberi gaji yang besar terhadap pejabat yang mau bekerja sama dengannya. Hal itu merupakan salah satu inti dari Atjeh-politiek, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Komisi Khusus Belanda yang bernama Liefrink pada tahun 1909. Gubernur Swart (1908-1918) sangat memegang prinsip ini, ia dengan senang hati memberikan imbalan yang setimpal kepada tokoh-tokoh atau kepala suku dalam hal ini yang dimaksudkan adalah uleebalang yang mau bekerja sama dengan Belanda. Oleh karena tergiur oleh imbalan yang menjanjikan ini banyak uleebalang dengan pangkat zelfbestuurder yang memiliki otonomi maupun sejumlah besar uleebalang kecil serta ada juga beberapa ulama yang dibeli oleh belanda dengan gaji yang sangat besar.105 Pada awal masa penjajahan Belanda ulama dan uleebalang masih memiliki hubungan yang sangat baik. Uleebalang sangat dihormati oleh rakyat sebagaimana halnya ulama juga. Namun seiring berjalannya waktu dimana tekanan Belanda dan juga peningkatan eskalasi serangan rakyat Aceh terhadap tentara Belanda, maka pemerintahan Belanda mulai menjalankan politik devide et impera, dengan memanfaatkan posisi uleebalang yang berada dalam sistem kekuasaan Belanda. Politik ini dijalankan untuk mengatasi kondisi yang berat dan pahit bagi Belanda dalam menghadapi rakyat Aceh. Para pejabat-pejabat tinggi Belanda, sudah kehabisan akal dalam menghadapi rakyat Aceh, sehingga tidak hanya pejabat yang bertugas di Aceh saja yang memikirkan bagaimana cara menghadapi pejuang-pejuang Aceh ini,tetapi juga pejabat-pejabat diluar Aceh. Seperti ada sepucuk surat rahasia yang menyatakan keprihatinannya yang luar biasa terhadap masalah ini sehingga Residen Ternate menyurati panglima Angkatan Darat dan Kepala Departemen Peperangan Hindia Belanda seraya mengusulkan agar dipakai pasukan-pasukan penolong dari Arafuru yang terdiri dari pemenggal-pemenggal kepala yang handal untuk bertempur di Aceh. Namun Gubernur Sipil dan Militer di Aceh tidak menyetujui usul ini, sehingga tidak jadi dilaksanakan. Pemerintah Belanda mencoba membujuk para uleebalang agar mau bekerja sama dengan pihak mereka. Yakni dengan memberikan sejumlah uang sumbangan. Untuk tercapainya tujuan ini, Menteri Jajahan Belanda memberikan kuasa kepada kepada Gubernur Jenderal Betawi agar mengusahakannya sesuai dengan keadaan anggaran Pemerintah Hindia belanda. Posisi uleebalang pada masa Belanda memang banyak diuntungkan karena mereka tetap memiliki penghasilan dari gaji yang mereka terima, sedangkan rakyat mengalami penderitaan luar biasa berat dalam kehidupan mereka, karena nilai pajak yang harus dibayarkan terlalu tinggi demikian juga kerja rodi yang harus mereka jalani. Oleh karena itu peranan dan kedudukan uleebalang pada masa penjajahan Belanda telah membuat rakyat semakin menjauhi uleebalang. Selain persoalan gaji, uleebalang di Aceh meskipun bukan administrator pemerintah dalam bentuk aristokrasi Belanda atau Jawa, mereka adalah usahawan yang diuntungkan oleh kondisi saat itu. Sebagai usahawan yang aktif, uleebalang memanfaatkan kekuasaannya atas pasar, uleebalang memakai kekuasaan Belanda yang memberinya izin untuk memajukan usaha ekonominya dan lebih menjamin kepentingan-kepentingannya.106 105

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, (Jakarta : Pustaka sinar harapan, 1987), hal. 39. 106 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat….hal. 42.

Aceh Serambi Mekkah

297

Sebagian uleebalang tidak memiliki mental kuat, sehingga berkhianat terhadap perjuangan bangsa. Ada beberapa catatan sejarah tentang pembelotan uleebalang terhadap misi perjuangan yang ditegakkan ulama dan masyarakat Aceh. Diantaranya adalah, Uleebalang Pidie yang meminta bantuan Belanda untuk menyediakan pasukan-pasukan militer untuk membuat rakyatnya lebih keras bekerja di persawahan. Namun tidak semua uleebalang menggunakan kesempatan yang ditawarkan pemerintah Belanda untuk kepentingan pribadi, karena masih ada uleebalang yang setia pada perjuangan. Pada saat kekuatan sultan sudah melemah dan tidak sanggup lagi memimpin perlawanan, dan para uleebalang pun sudah tidak mampu lagi menyatukan barisan aksi perlawanan rakyat, maka di sinilah ulama muncul untuk memimpin peperangan melawan penjajahan Belanda. Pada saat itu ulama mengumumkan “ini merupakan tugas kita untuk bersatu melaksanakan jihad”. Berpijak dari hal ini, maka para ulama menjadi salah satu instumen yang membawa konflik tersebut menjadi sebuah perang suci. Melalui penyebaran ideologi Perang Sabil (Prang Sabi), ulama mengajak rakyat untuk meningkatkan kekuatan mereka untuk berperang melawan musuh yang sangat berbahaya baik negara maupun agama. Menurut ulama, perang melawan Belanda merupakan kewajiban bagi setiap muslim, dan siapapun yang gugur dalam pertempuran adalah syahid dan masuk syurga. Strategi ini sangat mampu membangkitkan semangat rakyat Aceh dalam berjihad fisabilillah karena didasarkan pada perintah Allah Swt dan Hadits Nabi Saw. Demikianlah para ulama telah tampil dengan gagah berani dalam kancah peperangan dan mengatasi masalah pelik yang dihadapi rakyat Aceh pada saat itu. Pasukan Belanda juga bukanlah pasukan sembarangan, akan tetapi pasukan yang kuat dan tangguh sehingga perang rakyat Aceh dengan Belanda berlangsung cukup lama. Dalam perlawanan terhadap Belanda, pada awalnya sultan, uleebalang dan ulama saling bahu membahu berjuang mempertahankannya. Akan tetapi ketika perang antara bangsa Aceh dan Belanda sedang berkecamuk sebagian dari uleebalang mulai berpihak kepada Belanda. Mereka menandatangani perjanjian setia kepada Belanda yang dikenal dengan perjanjian kornte verklaring. Perjanjian ini terdiri dari 6 pasal yang berisi pengakuan kedaulatan Belanda atas kerajaan Aceh, pengakuan terhadap bendera Belanda sebagai satu-satunya bendera yang sah, pengakuan tidak akan memberikan bantuan kepada patriot yang sedang berjuang, dan sebagainya. Setelah itu uleebalang menjalankan kekuasaannya yang mencakup urusan pemerintahan, kepolisian, kehakiman dan kemakmuran.107 Perjanjian ini pada tahun 1898 diperbaharui dengan menambah bahwa musuh Belanda juga musuh uleebalang. Ini berarti ulama adalah musuh uleebalang. Berpihaknya uleebalang kepada Belanda menimbulkan reaksi yang sangat keras dari pihak ulama sehingga mereka menuduh uleebalang telah menyeleweng dari cita-cita perjuangan. Hal ini menyebabkan pertentangan yang sudah ada diantara kedua golongan semakin bertambah. Selanjutnya ulama maju ke muka mengambil alih pimpinan perjuangan yang sebenarnya dipegang oleh uleebalang. Maka berkobarlah kembali api peperangan yang sudah mereda. Rakyat Aceh mulai semangat lagi untuk perjuangan. Infak (sumbangan) pun semakin bertambah sehingga perjuangan dapat terus dilakukan. 107

M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh : Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 20. Lihat juga T.M. Hasan, Riwayat Hidup T. Bintara Pineung, (Naskah Ketikan), 1991, hal. 14.

298

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Jadi peranan ulama di bidang pemerintahan pada akhir masa kesultanan Aceh dapat dikatakan tidak ada lagi, karena mereka tidak bersentuhan dengan sistem pemerintah kolonial yang kafir tersebut. Ulama lebih banyak berjuang di medan perang untuk merebut kembali tanah air dari cengkeraman penjajah. Pada saat itu berarti ulama lebih sebagai sosok pemimpin perang yang mengatur strategi dan turut berjuang bersama rakyat. Sedangkan uleebalang tetap berada pada posisi semula, di daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda, uleebalang bekerjasama dengan pemerintah Belanda menjalankan sistem yang diatur oleh Belanda. Namun tentu saja tidak semua uleebalang bekerja sama dengan Belanda. Ada beberapa orang uleebalang yang dianggap gagal oleh Belanda, karena setelah menerima didikan Belanda bahkan memperoleh kedudukan sebagai Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia, tetapi malah melawan Belanda yaitu : Teuku Muhammad Thayeb (1918-1920) dari Peureulak dan Teuku Nya’Arif (1927-1930) Panglima Sagoe Mukim XXVI Aceh Besar.108 3.Ulama dan Uleebalang pada masa Penjajahan Jepang Timbulnya perang Pasifik antara Belanda dengan sekutunya di satu pihak, dan Jepang dengan sekutunya di pihak lain, memperbesar tekad ulama, pemimpin dan rakyat Aceh untuk mengusir Belanda. Pilihan itu harus dilakukan dan untuk mensukseskan rencana tersebut dibutuhkan pertolongan, rasanya sulit membedakan siapa penolong dan siapa musuh, yang terpenting sedikit beban dapat dihilangkan dan bisa bernafas dengan lega karena angin segar yang dihembuskan. Inilah gambaran yang mungkin sesuai dengan apa yang sedang dihadapi oleh ulama Aceh ketika penjajahan Belanda ingin menginjakkan kakinya lagi di daerah tercinta ini dan Jepang pun menawarkan bantuannya. Nur El-Ibrahimy menuliskan peristiwa ini : Dalam bulan Desember 1941, Teungku Muhammad Daud Beureueh, sebagai ketua PUSA, Teungku Abdul wahab Selimum anggota PUSA, Teuku Nya’Arif, Panglima Sagoe XXVI Mukim, Teuku Muhammad Ali, dan Panglima Polem, Panglima Sagoe XXII Mukim serta Teuku Ahmad uleebalang Jeunib, bertempat di rumah T. Nya’ Arif di Lamnyong bersumpah setia kepada agama Islam, bangsa dan tanah air seraya memutuskan untuk bekerjasama dengan Jepang melawan pemerintah Belanda.109 Akibat kerjasama dengan Jepang ini, maka pemerintah Belanda dan uleebalang semakin gencar mengejar dan menangkap ulama Aceh. Dan ulama yang sangat dicari saat itu adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua PUSA. Setelah Jepang mendarat di Ujoeng Batee pada tanggal 12 Maret 1942, ulama dan rakyat Aceh balas mengejar Belanda. Uleebalang melihat kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi mereka sehingga para uleebalang yang diwakili oleh uleebalang Glumpang Payong yang bernama T. Hasan Glumpang Payong menghadap Teungku Daud Beureueh untuk meminta maaf. Sebagai sesama saudara seiman dan sebangsa Teungku Daud menerima permohonan maaf para uleebalang.110 108

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat….hal. 49. Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, ……….hal. 19. 110 Ibid, hal. 27 109

Aceh Serambi Mekkah

299

Pada awalnya tujuan kerja sama yang dibentuk oleh ulama dengan Jepang itu adalah untuk mengusir penjajahan Belanda dari Aceh, karena pada saat itu kondisi rakyat Aceh sedang lemah dan butuh bantuan dalam perjuangannya, karena selain terdesak oleh pasukan Belanda di mana-mana, ulama banyak yang menjadi syuhada dan kerajaan Aceh telah runtuh dengan meninggalnya sultan Aceh terakhir yaitu Sultan Daud Syah yang menderita penyakit kolera yang mewabah di Aceh saat itu. Ulama Aceh yang tergabung dalam PUSA terbujuk dengan janji yang ditawarkan oleh orang Jepang. Janji yang diucapkan kepada ulama Aceh bahwa syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh masyarakat Aceh sebagaimana mestinya. Dengan berpijak pada landasan itu maka rakyat Aceh menerima pendudukan jepang meskipun mereka bukanlah orang yang tepat untuk diharapkan bantuan. Disamping Jepang dapat mengusir penjajahan Belanda, mereka berjanji kepada ulama akan diperbolehkan untuk menerapkan ajaran Islam secara kaffah. Juga janji Jepang yang tidak mendirikan sekolah sendiri sebagaimana halnya Belanda sehingga memungkinkan para ulama mendidik anak-anak Aceh dengan lembaga pendidikan sendiri. Dan merupakan satu keuntungan lagi dari pendudukan Jepang, mereka tidak mengawasi lembaga pendidikan dayah sebagaimana Belanda yang selalu membatasi kurikulum dayah dan madrasah. Di balik keuntungan-keuntungan diatas, ada lagi keuntungan lain yang tidak sengaja diambil oleh ulama di Aceh dari pendudukan Jepang adalah mengikuti latihan militer. Kesempatan ini dipergunakan oleh ulama Aceh untuk mengikuti Giyu Gun agar belajar ilmu kemiliteran dan perwira Jepang. Karena itu anggota Giyu Gun yang lebih kurang 5000 prajurit, kebanyakannya adalah para pemuda PUSA. Keberhasilan ini semakin nyata adanya ketika pada tahun 1945 para prajurit yang terdidik itu mengusir Jepang kemudian mempertahankan wilayah Aceh dari keinginan Belanda untuk menjajah kembali bumi Aceh tercinta. Bagi uleebalang zaman pendudukan Jepang di Aceh, tidak seindah dan sesenang pada masa penjajahan Belanda, dimana para uleebalang dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan, karena mengingat mereka adalah penguasa atau raja kecil di daerah. Mereka juga disubsidi oleh Belanda agar menjadi kaki tangannya dalam menjalankan roda penjajahannya di Aceh. Sehingga pada masa penjajahan Belanda para Ulama merasa kesulitan dalam menghadapi musuh-musuhnya. Musuh yang dihadapi tidak saja Belanda yang murni penjajah, namun juga musuh dalam kalangan interen sendiri yakni uleebalang. Sementara itu pada masa ini, ulamalah yang mendapat posisi-posisi penting dalam urusan kepemerintahan. Sedangkan uleebalang terpaksa bergabung dengan seterunya karena tidak ada alternatif lain. Meskipun kedudukan mereka di daerah masih tetap, namun semua itu dilakukan dengan sangat selektif. Dalam hal ini Jepang membagikan kaum bangsawan atas dua kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang tidak memperlihatkan permusuhan kepada Belanda. Ciri utama uleebalang dalam kelompok ini adalah bahwa mereka tidak mengambil bagian yang aktif dalam perlawanan terhadap Belanda, seperti Teuku Chik Peusangan. Yang kedua adalah kelompok-kelompok yang di dalamnya termasuk uleebalang-uleebalang seperti Nyak Arief, Muhammad Ali Panglima Polem, Ahmad Djeunib, Tjut Hasan dan lain-lain, yang secara terangterangan berpartisipasi dalam pemberontakan melawan penjajahan Belanda. Kategori pertama tidak dimasukkan dalam sistem pemerintahan Jepang. Meskipun begitu, untuk mencegah kelompok uleebalang memperoleh pengaruh yang lebih

300

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

besar, dan untuk mengurangi dendam terhadap mereka, maka Jepang menanggalkan sebagian kekuasaan uleebalang dan mengambil alih kekuasaan tersebut. Pada akhir 1942, beberapa bulan setelah para uleebalang merasa yakin kembali akan masa depan mereka dalam sistem pemerintahan Jepang, hak istimewa mereka dalam bidang kehakiman dan kepolisian ternyata dicabut oleh Jepang. Sistem Musapat atau pengadilan adat dihapuskan; kekuasaan ini kemudian ditempatkan di bawah kontrol Jepang, kendatipun masih banyak juga para bangsawan yang dipekerjakan Jepang di sana. Begitu juga Opas atau fungsi kepolisian tradisional yang selama ini melekat pada jabatan uleebalang, kini diambil alih oleh Jepang. Tindakan Jepang tidak berhenti sampai di situ saja, karena mereka ternyata menempatkan begitu banyak anggota pemuda PUSA di dalamnya. Pada masa tersebut terjadi hal yang sangat kontradiktif yang dilakukan oleh Jepang. Meski telah membantu mengusir Belanda dari Aceh, ternyata Jepang malah melakukan penindasan terhadap Aceh dan tindakan tersebut lebih kejam dan sadis dari yang dilakukan Belanda sebelumnya, kendati hanya berlangsung singkat dalam jangka waktu beberapa tahun saja. Namun kekejamannya betul-betul dirasakan oleh rakyat Aceh pada saat itu. Adalah suatu hal yang tak pernah terbayangkan oleh ulama Aceh bahwa suatu saat Jepang juga akan menjajah Aceh sebagaimana halnya dengan Belanda. Ini sesuai dengan pepatah Aceh yang mengatakan “ taharap keupagee, pagee pajoh padee” yang artinya: “kita harap sama pagar, justru pagar juga makan tanaman (padi)”. Oleh karena itu ketika mereka menyadari diperlakukan sebagai bangsa jajahan, seperti Jepang menyuruh rakyat untuk membungkuk sebagai penghormatan terhadap dewa matahari (keinrei), maka pada saat itu rakyat Aceh memberontak lagi. Akhirnya terjadilah dua pemberontakan yang dipimpin oleh ulama dalam menghadapi Jepang. Pemberontakan pertama, perang Bayu di Aceh Utara yang dipimpin oleh ulama dayah yang bernama Tgk. Abdul Jalil Cot Pling. Beliau sebenarnya telah menaruh curiga terhadap maksud dari kehadiran Jepang di bumi Aceh. Beliau mengadakan pemberontakan bersama murid di dayahnya. Pemberontakan kedua terjadi di Pandrah (sekarang masuk ke dalam kabupaten Bireun), yang dipimpin oleh pimpinan lokal. Pemberontakan ini bermula dari fatwa ulama Tgk. Abdul Jalil, yang menyatakan bahwa Jepang telah memperlakukan rakyat Aceh sebagai bangsa jajahan dan sekaligus telah menghina agama Islam dengan perbuatannya yang bertentangan dengan ajaran Islam.111 4.Gesekan Ulama dan Uleebalang dalam Politik Suasana saling curiga antar kelompok masyarakat sangat terasa ketika berita tentang kemerdekaan Indonesia sudah menyebar di Aceh. Jepang mengambil sikap diam dan tidak mengumumkan kemerdekaan Indonesia secara resmi. Hal ini membuat uleebalang Pidie tidak percaya pada berita tersebut sehingga mereka menganggap gerakan kemerdekaan yang saat itu santer dibicarakan tidak akan bertahan lama. Pada tanggal 27 Agustus 1945 lahir API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1945. Dalam barisan API ini terdapat tokoh-tokoh besar Aceh seperti Teuku Hamid Azwar dan T. Nya’Arif yang menjadi pempinan API yang kemudian berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Bersamaan dengan peresmian API terbentuk pula organisasi pertahanan lainnya yaitu Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian berganti nama 111 112

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat….hal. 188. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang….. hal. 304

Aceh Serambi Mekkah

301

menjadi PESINDO, yang dipimpin oleh Ali Hasjmy dan Tuanku Hasyim. Hasyim adalah anak Tuanku raja Keumala yang merupakan keturunan sultan Aceh.112 Selain API dan Pesindo ada organisasi lain yang berafiliasi dengan Pesindo antar lain PRI, PUSA dan pemuda PUSA. Kedua barisan besar pejuang ini lahir dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah melucuti senjata dari Jepang, karena senjata-senjata tersebut menjadi salah satu simbol kekuatan pasukan. Di lain pihak di daerah Pidie terdapat banyak barisan yang dilatih oleh mantan Giyu Gun dan dipimpin oleh Uleebalang, semua anggota pasukannya dilengkapi senjata. Tujuan dari kelompok ini sama dengan organisasi pertahanan lainnya yaitu melucuti senjata Jepang. Perundingan penyerahan senjata dilakukan pada tanggal 4 Desember 1945. Tetapi terjadi pertikaian antara pihak uleebalang dan PUSA. Masing-masing mereka merasa berhak untuk melucuti senjata Jepang. Pada saat surat perjanjian siap ditandatangi tiba-tiba terdengar letusan senjata diluar tempat pertemuan yang terjadi antara uleebalang dengan PUSA. Walaupun akhirnya bisa dihentikan namun berdampak pada tidak jadinya jepang menyerahkan senjata, sehingga para pihak yang bertikai saling menyalahkan kembali, membuat semakin timbul disharmoni dalam masyarakat Aceh saat itu. Pada tanggal 5 Desember 1945 merupakan tanggal perjanjian penyerahan senjata dari Jepang kepada API/TKR yang bertempat di Pidie. Dari pihak pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Wakil Residen Aceh Teuku Muhammad Ali Panglima Polem dan Teuku Johan Meuraksa mewakili Gubernur Sumatera. Rombongan tersebut sesampai di Sigli disambut oleh Bupati Piudie Teuku Cut Hasan dan Teuku pakeh Sulaiman mewakili uleebalang. Pihak uleebalang menyampaikan bahwa pihak Jepang mau menyerahkan senjata kepada pihak uleebalang tetapi dihalangi oleh pihak PUSA, Teuku Cut Hasan menjelaskan bahwa senjata tersebut selanjutnya akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Demikian juga alasan pihak BPI yang disampaikan oleh ketuanya Hasan Aly dengan mengatakan bahwa pihak dialah yang paling berhak untuk menerima senjata dari Jepang dan menyerahkannya kepada pemerintah Indonesia. 113 Jepang berhasil memanfaatkan situasi untuk memecah belah rakyat Aceh dengan tindakannya menyerahkan senjata yang disimpan di Titeu dan Leupeum kepada pihak uleebalang. Sedangkan pihak PUSA berhasil merampas senjata di Lingkok, sehingga masing-masing pihak memiliki senjata yang mematikan dan siap digunakan dalam Perang Cumbok. Pihak uleebalang dengan sembarangan menembaki rakyat yang dianggap berpihak pada PUSA. Akibatnya banyak sekali rakyat Aceh yang mati sia-sia akibat pertikaian antara ulama dan uleebalang.114 PERGULATAN ISLAM DALAM MENENTUKAN ARAH KEBIJAKAN NASIONAL INDONESIA Nusantara pada masa kesultanan Islam di Indonesia, hampir seluruhnya berada dalam kepemerintahan Islam, baik dalam bentuk kerajaan Islam maupun sedang dalam proses islamisasi. Dengan demikian, mayoritas penduduk nusantara pada saat itu sudah memeluk agama Islam dan mengamalkan ajaran agama dengan taat. Tantangan bagi Nusantara yang telah atau sedang mengalami proses Islamisasi berasal dari Belanda, sebagai penjajah yang berhasil mendirikan 113 114

302

Ibid, hal. 305 Ibid, hal. 310

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

pemerintahahnnya di negeri ini dan mempunyai misi zending yaitu menyebarkan agama Kristen, sehingga mereka membuat kebijakan-kebijakan pemerintahan untuk menghambat dan menghalangi penyebaran Islam di Nusantara. Mereka merasa Islam adalah penghalang dari tujuan mereka. Penduduk Nusantara yang mayoritas Islam tidak bisa menerima kehadiran bangsa penjajah dan mereka tidak membiarkan kondisi seperti ini terus berlanjut. Akibatnya banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan, tapi masih bersifat kedaerahan. Mereka terus berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran secara fisik dengan peralatan seadanya sehingga sulit bagi mereka untuk bisa menundukkan bangsa penjajah yang memiliki kekuatan besar dan peralatan perang yang modern. Tapi dengan semangat pantang menyerah, penduduk Islam nusantara bangkit dengan strategi baru, tidak dengan perlawanan fisik tetapi dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan yang bertujuan untuk memikirkan bagaimana cara supaya dapat mengakhiri pemerintahan kolonial. Maka muncullah organisasi-organisasi Islam yang melakukan pembaharuan-pembaharuan di berbagai bidang, seperti pendidikan, sosial, ekonomi serta politik. PENGARUH ISLAM TERHADAP IDEOLOGI NEGARA 1. Islam sebagai Agama masa Kesultanan Aceh Darussalam. Manusia dalam memaksimalkan perannya sebagai khalifah fil ard (pengelola/ pemimpin di muka bumi) membutuhkan sebuah negara untuk dipimpin. Karena negara merupakan organisasi teritorial yang berfungsi untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi bangsanya (rakyat), baik material maupun spiritual. Menurut Endang Saifuddin Ansari, bagi setiap muslim, negara merupakan alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai Abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai Khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan-Nya, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dalam lingkungannya.115 Dalam bahasa lain umat Islam bertanggung jawab untuk mewujudkan rahmatal lil’alamin. Visi yang demikian itu tentunya harus dilandasi oleh nilai-nilai yang telah tertanam dalam kehidupan umat Islam, dan negara harus memberi jaminan serta perlindungan terhadap penerapan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang telah mengakar dan menjadi identitas serta pandangan hidup suatu masyarakat disebut dengan ideologi. Umat Islam telah menjadikan Islam sebagai ideologi, dan setiap ideologi membutuhkan wadah atau negara agar eksistensinya dapat teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata.116 Kerajaan Islam Aceh Darussalam telah menjadikan Islam sebagai ideologi. Ini telihat dari semua kebijakan kerajaan yang berdasarkan Islam. Bahkan yang menjadi sumber hukum kerajaan Aceh adalah117: 1. Al-Quran 2. Al-Hadits 115

Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya, (Bandung: PUSTAKA Perpustakaan Salman ITB, 1983), h. 141. 116 Abdul Qadir Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, (Jakarta : Al-Izzah, 2002), hal. 9.

Aceh Serambi Mekkah

303

3. Ijma’ Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah 4. Qiyas Keempat dasar inilah yang digunakan oleh Mufti kerajaan untuk memutuskan suatu perkara dalam masyarakat. Keempat sumber tersebut jelas merupakan sumber hukum Islam. Undangundang negara yang disusun berdasarkan ke-4 dasar hukum di atas dinamakan dengan Qanun Al-Asyi, yang bersumberkan pada ajaran Islam.118 Seluruh tatanan kehidupan masyarakat Aceh sepenuhnya menurut aturan Islam, tatanan hidup yang mentradisipun identik dengan Islam. Sehingga adat dan budaya masyarakat Aceh yang terbentuk menyatu dengan ajaran Islam, antara adat dan Islam tidak dapat dipisahkan. Dalam sebuah ungkapan Aceh mengibaratkan “hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeuet” (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat). Artinya hukum dan adat tidak boleh diperlakukan dengan semena-mena, melainkan dengan hati-hati sekali. Hukum yang dimaksud dari ungkapan tersebut adalah hukum Islam. Dalam peribahasa Aceh yang lain menyebutkan: Adat meukoh reumbong Hukom meukoh purieh Adat hanjeuet beurangkaho takong Hukom hanjeuet beurangkaho takieh Terjemahan bebasnya: Adat seperti potongannya rembung Hukum seperti potongan bambu yang kering Adat tidak boleh perlakukan sembarang Hukum tidak boleh diqiaskan sembarangan Maksudnya walaupun adat lemas seperti rebung, tetapi tidak boleh ditolak begitu saja, demikian juga hukum yang begitu ketatnya seperti ujung bambu yang telah kering janganlah diqiaskan begitu saja tetapi harus berdasarkan Al-Quran dan Al-hadist.119 Bukti dari telah menyatunya hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh dapat dilihat dari banyaknya buku-buku atau kitab-kitab hukum yang dikarang oleh orang Aceh pada masa kerajaan. Hukum yang tertuang dalam buku tersebut mengatur hubungan antar masyarakat yang disebut dengan kitab fiqh. Rujukan hukum jelas, yaitu Al-Quran, Al-Hadits, Ijma’ dan Qias. Salah satu buku tersebut berjudul Sirathal Mustaqim yang dikarang oleh Syeikh Nuruddin ArRaniry pada Tahun 1628 M.120 Peraturan Negara Aceh Bandar Darussalam disalin dari daftar Paduka Sri Sultan Meukuta Alam Iskandar Muda. Dalam beberapa pasalnya dapat dianalisis bahwa Sultan Iskandar Muda 117

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), hal. 69 A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 50. 119 Ismail Suny, Prof., Dr., SH., M.C.L. (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratana, 1980), hal. 110-111. 120 M. Daud Ali, Hukum Islam di Indoensia, (Jakarta: Rajawali Press), hal. 208. 118

304

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

sangat protektif terhadap wilayah dan masyarakatnya yang telah memeluk Islam. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa non muslim dalam kehidupan sehari-hari boleh berbaur hanya sebatas untuk kebutuhan dagang, selain itu tidak diperbolehkan dan pemerintah kerajaan tidak akan melindungi orang kafir harbi yang berkunjung ke wilayah teritorialnya.121 Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui tentang konsepsi kewarganegaraan Kerajaan Aceh Darussalam hanya melindungi orang Islam saja. Untuk menjamin perlindungan hukum kepada seluruh warga negaranya, kerajaan juga membentuk lembaga-lembaga peradilan untuk menyelesaikan berbagai persoalan hukum dalam masyarakat, baik persoalan perdata Islam seperti nikah cerai, warisan dan lain-lain, maupun persoalan pidana Islam seperti jarimah, diyat maupun qishas. Adapun lembaga peradilan yang dibentuk berjenjang mulai dari Pengadilan Gampong, Mahkamah Mukim, Mahkamah Ulee Blang, Mahkamah Panglima Sagoe, dan Mahkamah Agung.122 Masyarakat Aceh menganut Hukum Islam secara formal sampai berakhirnya Kerajaan Aceh Darussalam pada akhir abad ke-19, yaitu sejak ditangkapnya Sultan yang terakhir, Sultan Muhammad Daud Alaidin Syah, oleh Belanda pada tanggal 10 Januari 1903. Setelah itu, Belanda menyerang Aceh, sehingga sedikit demi sedikit nilai-nilai Islam mulai terkikis. Aceh tidak lagi bisa menggunakan hukum Islam sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan dalam masyarakat secara resmi, karena institusi hukum sudah diobrak-abrik oleh penjajah Belanda. Namun tatanan sosial rakyat Aceh tetap tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Perjuangan masyarakat Aceh untuk mengembalikan legalisasi hukum Islam terus dilakukan dengan melawan penjajah Belanda. Sehingga perang Aceh melawan Belanda bukanlah semata-mata untuk mempertahankan tanah atau kedaulatan negara, melainkan untuk mempertahankan Islam agar tetap bertahan di bumi Aceh ini. Perang Aceh melawan Belanda dikenal dengan prang sabie (perang sabilillah), karena melawan kafir Belanda yang ingin menghancurkan Islam dalam kehidupan orang Aceh, sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya. Perjuangan rakyat Aceh untuk mengembalikan Islam sebagai tatanan hukum yang sah dan berlaku di Aceh, merupakan manifestasi dari sebuah ideologi yang terus berlanjut setelah Belanda terusir dari nusantara ini. Bahkan sampai Indonesia merdeka, rakyat Aceh terus berjuang untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. 2. Islam dan Pergulatan Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia Islam bagi masyarakat Aceh adalah agama yang harus diimplementasikan secara kaffah, tidak hanya parsial, misalnya hanya untuk beribadah saja, dengan melupakan bidang substansial lainnya. Keharusan melaksanakan syari’at Islam di Aceh secara kaffah merupakan kewajiban yang telah dilakukan turun temurun di bumi Aceh. PUSA dibentuk untuk mempersatukan ulama dan masyarakat agar tidak terpecah dan menjadi media untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah yang kafir agar dapat hidup mandiri sebagai bangsa dan hamba Allah yang 121

Tuanku Abdul Jalil, Sebab Aceh Dinamakan Serambi Mekkah, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, (Aceh Timur: 25-30 September 1980), hal. 3-4. 122 Din Muhammad, Himpunan Tulisan Tentang Sejarah Peradilan Agama di Aceh, (Seri Informasi Aceh Tahun VII, No. 1), (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh), 1984), hal. 33.

Aceh Serambi Mekkah

305

mematuhi aturan-Nya sepenuh hati. Ide tersebut kemudian tetap berkembang ketika Aceh bersamasama daerah lain bergabung menjadi sebuah wilayah teritorial baru yang dinamai Indonesia. Pemenuhan tuntutan agar dapat menjalankan syari’at Islam secara kaffah dengan leluasa dan sebaikbaiknya adalah suatu hal yang mutlak bagi rakyat Aceh dan hal tersebut hanya dapat terwujud dengan adanya sebuah negara merdeka yang dipimpin oleh orang Islam tanpa intervensi orang kafir. Kemerdekaan Indonesia yang dinantikan baru sampai ke Aceh setelah satu minggu diproklamirkan. Ketika pekikan kemerdekaan itu sampai ke Aceh, rakyat Aceh menyambut dengan suka cita. Mereka menganggap inilah saatnya kita kembali kepada ajaran Islam yang sudah lama hilang karena tekanan kolonialis Belanda, hukum Islam tegak kembali, bahkan berseru agar kesultanan Aceh di proklamirkan kembali. Dalam suasana kegembiraan itu, pada Tanggal 22 Agustus 1945, di Rumah Teuku Abdullah Jeunieb berkumpullah beberapa tokoh di antaranya: Teuku Nya‘ Arief, Teuku Ahmad Jeunieb, Teuku Nyak Hanafiah, Teuku Abdul Hamid dan Pak Ahmad Kepala Kontor Pos di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Mereka berbincang-bincang seputar kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada Tanggal 17 Aguatus 1945. Dari pertemuan itu disepakatilah salah satunya adalah ditugaskan Pak Usman Commis untuk segera mengundang 56 orang tokoh Aceh agar besok berkumpul di Kantor Gubernur/Residen Aceh (Shu Chokan). Namun Tgk. Muhammad Daud Beureueh tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Pada pukul sembilan lewat, Teuku Nya‘ Arief membuka rapat. Di sampingnya ada sebuah meja di antaranya terletak sebuah Al-Quran dan bendera merah putih, di samping meja berdiri isteri Teuku Nya‘ Arief dan Teuku Dahlan dengan sikap sempurna. Dengan langkah pasti Teuku Nya’Arief maju ke depan, beliau mengambil Al-Quran dengan tangannya sendiri sembari berkata, “Demi Allah, Wallah, Billah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir”. Kemudian diikuti seluruh para tokoh yang hadir.123 Setelah itu, di depan kantor Teuku Nya’ Arief dinaikkanlah bendera Merah Putih yang pertama di Aceh, yaitu pada Tanggal 24 Agustus 1945. Penaikan bendera dipimpin langsung oleh Teuku Nya’Arief, sedangkan yang menggerek benderanya adalah Husein Naim (mantan Kepala Polisi Pertama) dan Muhammad Amin Bugeh. Sebenarnya, mereka-mereka inilah yang telah “menjual” Negara Islam Aceh yang berdaulat penuh kepada Republik Indonesia Soekarno.124 Selanjutnya pengibaran bendera terjadi di beberapa tempat di seluruh Aceh. Selang beberapa bulan dari itu, dukungan kepada Republik Indonesia datang dari para pemimpin keagamaan yang lebih tua pada tanggal 15 Oktober 1945 berupa “Pernyataan Ulama Seluruh Aceh”125 yang ditandatangani oleh empat ulama terkenal: Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Ahmad Hasballah, keduanya pemimpin PUSA,126 Teungku Ja’far Sidik, seorang ulama yang menguasai dayah yang sudah lama berdiri, dan Teungku Hasan Kreung

123 Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka; Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press), hal. 109. 124 Ibid, hal.110 125 Tentang isi maklumat ulama seluruh Aceh ini lihat lampiran 3 dalam buku; “Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya dalam Pergolakan Aceh” karangan M. Nur El Ibrahimi, Jakarta, Gunung Agung, 1982, hal 243. 126 POESA; lebih popular ditulis “PUSA” (Persatuan Ulama Seluruh Aceh)

306

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Kale, ulama konservatif yang terkemuka. Pertanyaan ini menyerukan kepada rakyat agar bersatu di belakang “pimpinan besar kita Soekarno” dalam melawan kembalinya Belanda ke “tanah air kita Indoensia”. Karena Belanda sekali lagi akan “mencoba menghancurkan agama kita yang murni dan menindas serta merintangi keagungan dan kemakmuran rakyat Indonesia”. Maka keempat ulama itu menyatakan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan suatu tujuan yang suci yang biasanya dikenal sebagai Prang Sabi.127 Semua dukungan dan kesetiaan diberikan oleh tokoh-tokoh Aceh tersebut terhadap Negara Republik Indonesia dengan harapan syari’at Islam hadir kembali di Bumi Serambi Mekah, karena penjajah kafir telah pergi. Bahkan kesetiaan itu kembali dipertegas pada tahun 1949, dimana Pimpinan Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Gubernur Militer Jenderal Mayor Teungku Muhammad Daud Beureueh diajak oleh dr. T. Mansur untuk mendirikan Negara Sumatera Timur (NTS). Dr. T. Mansur merupakan antek Belanda yang ingin memecahbelahkan Negara Indonesia ke dalam bentuk negara federasi. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Teungku M. Daud Beureueh, penolakan itu dilakukan melalui koran Semangat Merdeka edisi 23 Maret 1949.128 Setelah Indonesia merdeka, diharapkan arah kepada pelaksanaan syariat Islam semakin mudah, ternyata sehari setelah proklamasi, mulai muncul perbedaan pendapat yang prinsipil antara kalangan agamis dan nasionalis di Indonesia. Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, dasar Negara Indonesia mulai dibicarakan secara resmi dalam sidang pertama Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Tanggal 29 Mei 1945.129 Hal ini menjadi masalah pertama yang dibahas. Dalam perdebatan panjang di antara anggota BPUPKI yang berjumlah 62 orang tersebut130, muncullah dua pemikiran sebagai tawaran atas Dasar Negara Indoensia, yaitu, pertama adalah negara berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan apapun dengan ideologi keagamaan dan yang kedua adalah kelompok yang mengajukan Islam sebagai dasar negara.131 Setelah sidang pertama BPUPKI berakhir, 38 anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang, yaitu Soekarno, Muhammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin.132 Kemudian tim ini disebut dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoensia yang diketuai oleh Soekarno. Di antara panitia 9

127

Al Chaidar, Ibid, hal. 111. (dikutip dari buku M. Nur El Ibrahimi, Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya …) Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). hal. 406-408. 129 Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar, Dari Patriot Hingga Pemberontak, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal. 257. 130 H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1960), hal. 119. 131 Meminjam istilah yang digunakan oleh Endang Saifudin Anshari; untuk kelompok yang mengusulkan Kebangsaan disebut Nasionalis “Sekuler” dan yang menginginkan dasar Islam disebut dengan Nasionalis Islami. Penggunaan istilah ini dianggap lebih tepat, karena bila digunakan hanya dengan istilah “Golongan Islam”, bisa jadi ada konotasi seakan-akan golongan Islam bukan nasionalis, padahal golongan inipun pastilah nasionalis dalam arti berjuang untuk bangsa dan negaranya, disamping agama Islam yang dipeluknya. 132 Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam Di Indonesia; Perkembangan dan Pembentukan (Tulisan Endang Saifuddin Anshari), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 37 128

Aceh Serambi Mekkah

307

tersebut Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim adalah orang yang mempertahankan Islam sebagai dasar negara. Ini terlihat dengan konsistensi mereka mempertahankan tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta; Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sementara dari kelompok yang menginginkan dasar negara kebangsaan, yang dipelopori oleh Soekarno, pada poin itu mengusulkan; Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan melewati berbagai proses panjang dalam perumusan dasar negara ini, akhirnya pada Tanggal 18 Agustus 1945 jam 13.45 mereka semua menerima teks perubahan Preambule (Piagam Jakarta) dengan kalimat “... berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Diterimanya hasil yang demikian tersebut merupakan kompromi yang terjadi setelah adanya keberatan dari orang-orang Protestan dan Katolik. Pertimbangan itu dikisahkan oleh Muhammad Hatta sebagai berikut: “Karena begitu serius, rupanya, esok paginya Tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku hasan dari Sumatra mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kita mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’”.133 Reaksi positif dari Teuku Hasan, yang merupakan orang aceh, atas usulan perubahan tersebut menurut Prawoto dapat dipahami. Karena dia sama sekali tidak tergolong kelompok nasionalis Islami. Sedangkan Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan itu, karena dia sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Jadi, keterwakilan kelompok Nasionalis Islami dalam pertemuan ini sepenuhnya ada pada pundak Ki Bagus Hadikusumo.134 Sejak itulah kata-kata Islam tidak adalagi dalam perdebatan ideologi Negara Indonesia. Rumusan Preambule yang telah disepakati dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” beserta beberapa kalimat berikutnya dirumuskan menjadi dasar Negara Indonesia dengan istilah Pancasila. Setelah persoalan Pembukaan Undang-undang dasar 45, keresahan rakyat Aceh lainnya terhadap ketidaksungguhan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan syari’at Islam adalah ketika pidato kenegaraan Presiden Soekarno di Amuntai. Pada saat itu Soekarno menyatakan bahwa ia tidak menyukai lahirnya negara Islam di Indonesia.135 Keraguan dan keresahan rakyat Aceh secara logika sangat wajar, karena sebelumnya pada tahun 1947 ketika ia berkunjung ke Aceh telah memberi harapan untuk rakyat Aceh dalam menjalankan ajaran agamanya. Dalam kunjungan tersebut Soekarno menyatakan agar rakyat Aceh tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Teungku Daud Beureueh saat itu menjabat sebagi Gubernur Militer, menyanggupinya. Soekarno menjamin bahwa setelah perang usai rakyat Aceh akan diberi kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam wilayahnya. Ketika Teungku Daud Beureueh meminta agar jaminan tersebut dinyatakan secara tertulis, sambil menyodorkan secarik kertas kepada Presiden. 133 134

308

Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta, 1969), hal. 57-59. Tjun Surjaman (ed.), hal. 42.

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

Soekarno langsung menangis terisak-isak karena merasa ucapannya tidak dipercaya. Akhirnya, presiden bersumpah untuk memberikan rakyat Aceh hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam dan untuk itu Soekarno akan mempergunakan pengaruhnya. Belum selesai masalah terhambatnya Aceh dalam melaksanakan syariat Islam, kekecewaan lainnya datang dengan dibubarkannya provinsi otonomi Aceh. Seluruh kabupaten di Aceh akan tunduk kepada provinsi Sumatera Utara. Menurut informasi yang diperoleh dari Jakarta, keputusan membubarkan provinsi Aceh itu akibat persetujuan antara RIS dengan RI untuk membentuk negara kesatuan, sehingga lahir PP No. 21 tahun 1950 yang menetapkan Indonesia hanya terdiri dari 10 provinsi, di Sumatera hanya tiga provinsi yaitu provinsi Sumatera Utara, Tengah dan Selatan.136 Kondisi ini menyebabkan keresahan rakyat semakin memuncak. Menghadapi kondisi yang semakin mencemaskan, M. Nasir yang ketika itu menjabat sebagai perdana menteri dan sekaligus ketua Partai Masyumi menghadapi dilema yang berat. Apakah ia ingin memenuhi tuntutan anggota Masyumi Aceh atau memilih kabinetnya bertahan dengan jalan menghindari partai lain yang berkoalisi dalam kabinetnya. Sebagai pernyataan sementara, Nasir menyatakan bahwa walaupun secara formal provinsi Aceh telah dilebur namun dalam prakteknya tetap boleh dijalankan. Namun akhirnya pada tanggal 23 Januari 1951 Perdana Menteri melalui RRI Kutaraja membubarkan provinsi Aceh. Sebagian besar rakyat Aceh sangat kecewa dan marah, bahkan ada yang mengatakan” itulah dulu kita sok tidak mau menuruti ajakan Teungku Mansur dari Negara Bagian Sumatera Timur untuk membentuk negara bagian sendiri”.137 Tindakan pemerintah pusat yang sangat mengecewakan rakyat Aceh, menyebabkan rakyat Aceh kehilangan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Karena kekecewaan tersebut Teungku Daud Beureueh mencari jalan lain untuk menuntaskan persoalan Aceh. Dalam Muktamar Alim Ulama di Medan pada bulan Mei, 1953, Teungku Daud Beureueh terbujuk untuk membentuk Darul Islam guna menegakkan dakwah Islamiyah. Pemberontakan demi menegakkan syariat Islam pun terjadi dan menyebabkan perang saudara serta menghilangkan kesempatan Aceh untuk berbenah dan hidup dalam damai, karena setelah perang yang satu, muncul lagi perang yang lain.. Pada akhirnya dilakukanlah gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Aceh, guna memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh, pemerintah menetapkan kembali status keresidenan Aceh menjadi daerah otonom provinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan masalah penyelesaian persoalan keamanan di Aceh adalah pemerintah pusat mengirimkan misi khusus di bawah pimpinan wakil perdana menteri yang memberi status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri republik Indonesia No. I/Missi/1959 yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Namun keputusan ini tidak berjalan efektif dalam menuntaskan persoalan Aceh, karena kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh di bidang agama Islam, Pendidikan dan adat tidak

135

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak……hal. 117. Ibid, hal. 127. 137 Ibid, hal. 135. 136

Aceh Serambi Mekkah

309

berjalan sebagaimana mestinya dan bahkan bertambah jauhnya aspirasi rakyat di Aceh dengan pemerintah pusat.138 Persoalan Aceh tidak selesai, karena pemberontakan terus berjalan dan telah banyak menelan korban, sehingga pada masa reformasi dibawah Presiden BJ. Habibie ditetapkannya UU NO. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi daerah Istimewa Aceh. Dua tahun berikutnya dikeluarkan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui UU ini rakyat Aceh sudah mulai memiliki kebebasan untuk melaksanakan syariat Islam, hingga dicanangkannya pelaksanaan syariat Islam di Aceh pada masa Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1 Muharram 1421 H bertempat di Mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh.

138

Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan UU, Kepres, Perda/ Qanun, Instruksi dan edaran Gubernur, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Prov. NAD, 2004), hal. 10.

310

Aceh: Sumber Islamisasi Nusantara

BAB ENAM ISLAM SEBAGAI SUMBER KEKUATAN ORANG ACEH

MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang perjuangan kemerdekaan Republik ini, dimana Aceh merupakan daerah yang berperan penting dalam mewujudkan cita-cita untuk mendirikan sebuah Negara Islam atau sebuah wilayah Islam dalam republik ini, perlu dilihat sejarah panjang perjuangan rakyat daerah ini. Sejarah perjuangan ini penting diperhatikan, dalam rangka melihat daerah Aceh sebagai basis dan modal kemerdekaan dalam upaya merintis penegakan syari‘at Islam sejak sebelum merdeka sampai perjuangan setelah kemerdekaan. Rentetan sejarah ini meliputi; sikap raja dan uleebalang terhadap Belanda, sikap sebagian uleebalang terhadap kedaulatan Negara Aceh dan perjuangan ulama dalam merebut kemerdekaan, kemudian upaya mengisi kemerdekaan ini dengan ajaran Islam. 1. Sikap Raja, Uleebalang dan Ulama dalam Menghadapi Belanda Atas persetujuan Traktat London, antara Inggris dengan Belanda,1 yang mengizinkan Belanda untuk menguasai Aceh di Sumatera, pemerintah Belanda di Batavia (sekarang Jakarta, pen.) pada tanggal 26 Maret 1873 mengirim ultimatum kepada raja Aceh untuk menyerah. Raja dengan tegas menolak ultimatum ini, lalu Belanda mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Ekspedisi ini gagal merebut Aceh bahkan Kohler sendiri tewas dalam pertempuran.2 Belanda telah lama menguasai daerah-daerah di Nusantara, kecuali Aceh, dan menjadikan Batavia sebagai markas pusat gerakannya. Karena mereka tidak dapat menguasai Aceh, timbul anggapan bagi mereka bahwa kerajaan Aceh Darussalam merupakan batu sandungan bagi praktik penjajahannya di Indonesia. Selanjutnya, mulai tahun tersebut 1

Agus Budi Wibowo dkk., Dinamika dan Peran Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) Dalam Kehidupan Sosial Bidaya Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajain Sejarah dan Nilai Tradisonal: 2005), hal 12 2 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Grafiti: 1992), hal-14-15,

Aceh Serambi Mekkah

311

terhitunglah awal perang Aceh-Belanda yang tidak pernah reda dalam kurun sejarah Aceh mengusir penjajah. Masyarakat Aceh berupaya dengan gigih mempertahankan daerahnya dari pendudukan kolonial Belanda yang mengantarkan kepada terjadinya perang yang kadangkadang berskala besar dan sering juga dalam skala-skala kecil untuk rentang waktu yang panjang dan melelahkan bagi kedua belah pihak. Memang Belanda mengklaim bahwa Aceh telah takluk kepada kerajaan Belanda dan perang berakhir pada tahun 1913 atau 19143. Belanda, melalui Van Sweiten, mengumumkan bahwa Aceh telah ditaklukkan setelah berhasil merebut istana dan menghancurkan masjid Baiturrahman4 dan telah merenggut nyawa pejuang Aceh sebanyak 21.865 jiwa antara kurun waktu 10 tahun (1899-1909), demikian dikemukakan Agus dengan mengutip dari De Atjeh Oorlog karya Paul Van’t Veer.5 Namun hakikat dan realitasnya tidak persis seperti yang dinyatakan Belanda, karena seluruh wilayah Aceh dengan semangat Islam yang dijiwai jihad fi sabilillah, tetap bergolak melawan penjajahan ini. Perseteruan antara Aceh dengan Belanda bukan sekedar terjadi pada kehendak perebutan kekuasaan antara Belanda dengan raja yang memerintah, tetapi lebih didasari pada prinsip agama yang dimotori oleh ulama dengan pernyataan mereka “sebuah darul Islam tidak boleh dikuasai oleh kafir”. Jadi, jelas tulang punggung yang melakukan perlawanan adalah kaum ulama yang didukung masyarakat luas. Dalam hal ini, A Hasjmy dengan mengutip Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyatakan bahwa “perang Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914 karena dari tahun 1914 masih memanjang benang merah yang tidak pernah putus sampai ke tahun 1942”.6 Keberlangsungan perang yang demikian lama lebih disebabkan yang melakukan perlawanan adalah rakyat yang mempertahankan prinsip kepercayaan yang ditanam ulama. Istilah “Aceh takluk” dalam pernyataan Belanda adalah hilangnya kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam, sebab Belanda telah mampu merampas dalam (istana). Belanda berpendapat demikian, sebagaimana ditulis Hasan Saleh dalam catatan kaki bukunya, bahwa daerah yang perlu ditundukkan adalah daerah Aceh Besar (yang lebih dikenal Aceh Lhee Sagoe pen.), karena daerah ini yang diperintah Sultan dan yang lain adalah daerah taklukan.7 Artinya, menurut pendapat kolonial Belanda bahwa kerajaan Aceh yang sesunguhnya hanyalah dalam batas kawasan Aceh Besar sekarang, sementara daerah lain adalah kerajaan-kerajaan kecil yang dirampas dan ditaklukkan oleh kerajaan Aceh Darussalam. Pendapat demikian masih saja berkembang sampai sekarang, dengan alasan, daerah yang lain mengirim upeti ke pusat pemerintahan. Kalau induk pemerintahan telah dikuasai, daerah-daerah lain yang merupakan wilayah penaklukan Aceh akan mudah ditundukkan. Dalam hal ini ada dua kekeliruan Belanda, yaitu: Pertama daerah selain Aceh Besar dianggap wilayah taklukan, dan kedua Aceh telah tunduk pada Belanda sejak tahun 1914. Masalah yang pertama barangkali didasari pada cara penyatuan kerajaan-kerajaan kecil yang dilakukan Alaiddin Ali Mughayat Syah (916-936H/1511-1530M) dalam bentuk penyerangan 3 4

A Hasjmy, Bunga rampai, hal 11 Anas Machmud, Kedaulatan Aceh Yang Tidak Pernah Diserahkan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)

hal 6 5

Agus Budi Wibowo dkk. Dinamika, hal. 17. A. Hasjmy, Bunga rampai, 11. 7 Hasan, Mengapa, hal 15. 6

312

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

seperti memerangi kerajaan Jaya, Pidie dan Samudera Pasai. Penyerangan yang dilakukan Ali Mughayat Syah, sebenarnya lebih dilatarbelakangi oleh perseteruan politik, dimana ia tidak menginginkan wilayah kerajaan-kerajaan Aceh dijajah Portugis yang telah menancapkan kakinya di Malaysia dan menduduki kota-kota di pesisir Aceh seperti Daya dan Samudera.8 Penaklukan yang dilakukan Mughayat Syah bagi kerajaan-kerajaan kecil ini merupakan suatu bentuk penyatuan kerajaan Aceh. Bahkan selanjutnya kerajaan-kerajaan kecil ini semua rela membentuk negara besar yang bersifat federal dan membawa dampak positif untuk mempertahankan diri dari penjajahan Barat yang tidak seagama. Aceh Darussalam ketika itu merupakan sebuah negara Islam besar di Timur yang disegani Barat. Pada hakikatnya negara-negara Barat, di era kebangkitannya memusuhi negara-negara Islam Timur yang boleh jadi karena dendam pada dua imperium Islam Abbasiyah dan Turki Usmani yang pernah menaklukkan mereka hingga ke Spanyol dan Negara-negara Eropa Timur. Islam yang berabad-abad lamanya mendominasi dunia, mulai dari dinasti Umawiyah yang berpusat di Damaskus, Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah di Mesir, Turki Usmani di Turki, Shafawi di Iran, Mughal di India dan kerajaan Aceh Darussalam di Aceh merupakan kerajaankerajaan yang berkuasa secara berentetan atau pada masa yang bersamaan serta menguasai wilayah yang luas dan sulit ditundukkan oleh musuh. Sebagiannya tidak dapat bekerjasama, seperti antara Usmani dengan Shafawi, sebaliknya Aceh dapat bekerjasama dengan baik dengan kerajaan-kerajaan seperti Turki dan Mughal di India. Aceh menjalin hubungan erat dengan Turki sejak dari Sultan Salim I (1512-1520), Sultan Turki Usmani ke IX9 yang merupakan zaman kemajuan Turki Usmani. Turki sebagai imperium Islam besar pernah diminta oleh Aceh untuk mengirim bantuan senjata dan tenaga ahli untuk melawan Portugis.10 Namun mulai abad XVIII Turki mengalami kelemahan dan wilayah-wilayahnya di Eropa, Asia Kecil dan Armenia satu persatu melepaskan diri, bahkan pada tahun 1924 Turki hanya dapat mempertahankan wilayahnya dalam batas Republik Turki yang ada sekarang.11 Tidak hanya Turki, Shafawi, Mughal dan Afghanistan juga mengalami kemunduran sehinga pada abad XIX dan awal abad XX hampir seluruh wilayah Islam menjadi jajahan Barat Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Kebangkitan Barat dan ketidakberdayaan kerajaan-kerajaan Islam dalam berbagai bidang pada penghujung abad XIX membuat sulit bagi Aceh menghadapi agresi Belanda. Maka kesultanan Aceh dapat diobrak-abrik Belanda yang pada gilirannya dengan terpaksa takluk

8

T. Muhammad Hasan, Perkembangan Swapraja di Aceh Sampai Perang Dunia II, dalam buku Bunga Rampai tentang Aceh, ed. Ismail Suny, Bhratara, hal. 150-151.dan lihat pula A. Hasjmy dengan mengutip pernyataan M. Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad mengemukakan bahwa setelah Ali Mughayat Syah naik tahta kerajaan Darussalam dengan menurunkan ayahnya yang telah tua, ia memberi peringatan keras kepada kerajaan-kerajaan lainnya di Aceh untuk tidak menerima Portugis. Instruksi Mughayat Syah yang masih muda ini tidak diindahkan raja-raja negeri Daya dan Pasai. Inilah yang menyebabkan ia menyerang kerajaan-kerajaan ini. Lihat A.Hasjmi, Kebudayan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983) hal.60. Didapati pernyataan lain bahwa Mughayatsyah menyerang Daya karena peminangannya ditolak, manakala negeri Pidie karena ia marah pada raja ini menasihatinya untuk tidak menyerang Daya, demikian T. Muhammmad Hasan, Perkembangan,hal. 150. 9 Endang Saefudddin Anshari, Wawasan Islam, (Bandung: Salman ITB, 1983), hal 140. 10 A. Hasjmy, Kebudayan Aceh Dalam sejarah, hal. 101. 11 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,1981), hal. 87

Aceh Serambi Mekkah

313

pada Belanda. Tetapi dengan ketidakberdayaan Sultan, tidak berarti seluruh rakyat Aceh tunduk pada kolonial. A. Hasjmy mengutip pernyataan langsung putera mahkota Tuanku Raja Ibrahim sebagai berikut: “Dengan siasat dan taktik keji kolonialis Belanda maka tanggal 23 Desember 1902 saya bersama ibunda dapat dikepung dan ditawan dijadikan sandera (pancungan/perkosaan) terhadap kami sebagai ancaman terhadap pribadi ayahanda Sulthan yang sedang gigih berjuang. Karena itu ayahanda Sulthan tertekan dan terpaksa melihat ibunda dan saya sendiri sebagai putera sulungnya, sehingga beliau sendiri terjebak dan langsung ditawan di Sigli oleh tentara Belanda pada tanggal 10 Januari 1903. Inilah peristiwa yang sangat pahit bagi perjuangan kita…” “Pada tanggal 20 Januari 1903 dengan tergesa-gesa ayahanda Sulthan dan saya sendiri dihadapkan di hadapan pembesar-pmbesar pihak Belanda di Banda Aceh. Kami dihadapkan dalam satu sandiwara politik kolonialnya dengan acara empat pasal yang dibuatnya sendiri tanpa ditandatangani oleh ayahanda Sulthan dan saya sendiri, ditonjolkan untuk menjatuhkan martabat perjuangan Aceh, seolah-olah mereka berhasil.12 Keberhasilan penangkapan Sultan dan para panglima perang bersama keluarga mereka pada tahun 1902 dan 1903 tidak terlepas dari keberhasilan strategi yang disarankan C. Snouck Hurgronje pada pemerintahan Belanda untuk menuntaskan penyelesaian penaklukan Aceh yang isi ringkasnya dikemukakan Mr. T. Muhammad Hasan sebagai berikut: 1. Hentikan usaha mendekati sultan dan orang-orang besarnya, sebab sultan itu sebetulnya tidak berkuasa. 2. Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama. Sebab keyakinan merekalah yang menyuruh mereka melawan Belanda. Terhadap mereka haruslah pelor yang berbicara. 3. Rebut lagi Aceh Besar. 4. Untuk memperoleh simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan dan perdagangan. 5. Membentuk biro informasi buat staf-staf sipil yang memberi penerangan dan mengumpulkan keterangan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh. 6. Membetuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membuat korps pangreh praja yang senantiasa merasa diri kelas pemerintah Kiat yang dinasihatkan C. Snouck pada pemerintah Belanda diterapkan dengan sungguhsungguh dan membuahkan hasil yang baik walaupun tidak memuaskan. Maksudnya sebagian berhasil dilakukan, tapi banyak pula yang gagal diselesaikan. Semula semua keluarga sultan ditawan, dengan demikian akan memudahkan menangkap sultan sendiri sehingga tidak ada pemimpin yang dapat mengendalikan perang terhadap Belanda. Hasilnya, Aceh secara pemerintahan telah lumpuh melawan penjajah. Salah satu poin penting nasihat Snouck adalah pernyataannya tentang musuh aktif Belanda hanyalah ulama dimana kekuatan mereka hanya dalam menanamkan ilmu dan keyakinan 12

314

A. Hasjmy,) hal. 13.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

keagamaan yang kuat dalam dada segenap lapisan masyarakat untuk memusuhi kolonial yang tidak seagama. Mereka inilah hakikatnya musuh yang dianggap tidak boleh diberi toleransi. Sebab, yang mempersatukan kekuatan orang Aceh adalah kepercayaan, karena kepercayaan pada agama musti dipelihara, dijaga dan dipertahankan bagi anak cucu mereka. Orientasi masyarakat Aceh yang paling kuat adalah ulama, maka ucapan dan pernyataan mereka merupakan hukum dan undang-undang yang wajib dipatuhi. Hakikat ini adalah benar, sebab ulamalah yang mengeluarkan setiap pernyataan sesuai dengan kitab-kitab agama Islam yang bersumber dari AlQuran dan al-Sunnah. Di atas telah dinyatakan bahwa sultan Muhammad Daud Syah dapat ditangkap dan dengan paksa, setelah isterinya Pocut Murong ditawan, Ia menyerahkan diri pada tahun 1903. Maka kekuasaan kesultanan telah lenyap sehingga pusat kekuasaan pemerintahan Aceh tidak dapat memberi kendali perang bagi daerah. Namun demikian, dalam realitanya Aceh tidak pernah takluk, karena ulama tidak rela menyerahkan darul Islam kepada kaum non muslim. Sebenarnya ulama tidak ingin bangsa kafir menjajah Aceh, maka sebelum Belanda mampu menguasai Aceh Besar, sebagaimana pernyataan Zainuddin, Teungku Syekh Saman yang lebih popular dikenal sebagai “Tengku Chik di Tiro” dengan persetujuan uleebalang-uleebalang dan ulama-ulama melakukan pidato proklamasi perang sabil (perang suci melawan musuh Allah) dengan Belanda pada tanggal 2 Februari 1885. Ia mengambil Keumala sebagai tempat kendalinya dan menjadikan Garot sebagai markas gerakannya, sementara gudang logistik ditetapkan di kaki gunung Kusaran di Gampong Tanoh Mirah Lung Putu Aceh Pidie.13 Jadi, setelah kesultanan tidak berkuasa lagi di Aceh, boleh dikatakan tanah Serambi Makkah dikendalikan oleh ulama, sementara sebagian uleebalang menjadi pendukung perjuangan mereka dan ada pula yang terjun langsung memimpin peperangan. Dengan demikian klaim yang menyatakan bahwa perang Aceh-Belanda telah berakhir tahun 1913 tidak benar, rakyat Aceh merubah taktik dari perang terbuka kepada perang gerilya, dan ini terjadi sampai tahun 1942. Inilah perang yang paling lama, demikian pernyatan Abdul Qadir dalam sejarah perang kolonial Belanda di Aceh.14 Ini terjadi di seluruh wilayah Aceh baik daerah pantai ataupun wilayah pegunungan seperti dataran tinggi Gayo. 2. Sikap Sebagian Penguasa Terhadap Kedaulatan Aceh Belanda menempuh berbagai cara agar dapat menundukkan dan menaklukkan Aceh. Jika pusat kerajaan Aceh Besar telah ditundukkan seperti yang disebutkan di atas, maka mereka akan mengadakan ikatan-ikatan perjanjian politik dan perdagangan dengan para raja dan uleebalang dalam rangka menjalin hubungan baik. Hubungan demikian dirintis sejak tahun 187415 demi memudahkan terwujudnya maksud penjajahan. Mereka melakukan kontrak politik dengan cara mengakui kekuasaan raja-raja dan uleebalang di daerah, namun meminta untuk menghentikan ketundukan daerah kepada kesultanan Aceh Besar, dan yang amat penting adalah para uleebalang

13

Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), 421. Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib, (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah, 1420), hal.166. 15 T. Muhamad Hasan, Perkembangan swapraja…, hal 191. 14

Aceh Serambi Mekkah

315

memberi pengakuan pada kedaulatan Belanda. Dalam hal ini, Belanda memberikan iming-iming untuk menjadikan setiap kerajaan kecil sebagai wilayah pemerintahan sendiri (Zelfbesturen).16 Sebagian uleebalang tergiur dengan janji demikian dan dengan suka rela melakukan kerjasama yang baik bersama mereka dan hal inilah yang menjadi bibit perpecahan di tengah-tengah masyarakat Aceh dikemudian hari yang hampir tidak pernah selesai hingga masa setelah kemerdekaan. Kerjasama demikian digambarkan oleh Hasan Saleh dalam pernyataannya “sewaktu Teungku Chik di Tiro sedang bertempur melawan Belanda, kepala-kepala kenegerian di luar Aceh Besar, yang khawatir kekuasaan mereka akan hilang bila tetap melawan Belanda, membuat perjanjian damai dengan Belanda yang terkenal dengan nama Korte Verklaring pada tahun 1874. Isinya merupakan penyerahan diri kepada Belanda secara mutlak”.17 Praktek Belanda tersebut telah mampu memecah-belahkan persatuan dan kesatuan Aceh yang dikenal ketika itu sebagai salah satu Negara Islam besar di wilayah Timur. pada akhirnya hal ini cukup merugikan masa depan Aceh dalam berbagai bidang kehidupan, seperti agama, ekonomi, politik dan hukum adat. Sebagai imbalan atas pengkhianatan itu, Belanda memberikan kepada kaum raja ini gaji bulanan dan tunjangan lainnya. Belanda mengakui mereka sebagai raja cilik di wilayahnya masingmasing, dan memberi kekuasaan penuh kepada mereka dalam bidang eksekutif, legeslatif dan yudikatif.18 Kaum raja tanpa menyadari bahwa pada hakikat imbalan tersebut tidak lebih dari pancingan agar Belanda dapat memantapkan penjajahannya di Aceh. Pengaturan gaji demikian serta tunjangan lainnya merupakan keahlian mereka dalam menumbuhkembangkan hasil bumi Aceh melalui kerja paksa yang dibebankan pada rakyat untuk menyedot hasil yang berlipat demi kekayaan dan kemakmuran negara Belanda sendiri. Raja dan uleebalang dapat menikmati hasil rekayasa Belanda tersebut, sementara rakyat amat menderita dengan kerja paksa bagaikan budak di negerinya sendiri. Ulama menyadari sikap seperti ini sangat bertentangan dengan asasasas agama Islam dan menyemangati rakyat Aceh untuk tetap berjuang melawan penjajahan Belanda. 3. Perjuangan Kemerdekaan Melalui Perubahan Pendidikan Sisi lain yang dilakukan Belanda untuk memperlama masa penjajahannya adalah pengembangan politik pasifikasi. Yang dimaksud dengan politik pasifikasi adalah penunjukan sikap damai melalui bidang politik, ekonomi dan kebudayaan.19 Dalam bidang kebudayaan pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat dengan membatasinya hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dalam hal ini A. Steenbrink menyatakan bahwa pada dasawarsa terakhir abad ke 19 dimulailah pendidikan yang liberal. Pada masa itu pedidikan kolonial diperuntukkan bagi sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Akan tetapi pada permulaan abad ke-20 sistem ini diperluas ke daerah pedesaan bagi seluruh

16

Ibid., hal. 191. Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 15. 18 Ibid., hal. 16 19 Agus Budi Wibowo, Dinamika…,hal. 19. 17

316

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

lapisan masyarakat, yang disebut dengan ‘etbische politiek.20 Di Aceh pendidikan ini diutamakan bagi putera-putera kaum raja, uleebalang dan kelompok terpandang lainnya. Kelompok lapisan masyarakat biasa, selain kurang mendapat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan ini, mereka menganggap pendidikan kolonilal kurang tepat dipelajari. Masyarakat Aceh, pada umumnya, hanya menerima pendidikan agama dan kemudian dikembangkan untuk disandingkan dengan sejumlah pengetahuan umum sebagaimana dilakukan oleh kalangan ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) seperti yang akan dijelaskan nanti. Adapun corak pendidikan kolonial sangat berbeda dengan pendidikan dayah (pendidikan agama yang diberikan oleh para Ulama di pesantren,di Aceh pesantren disebut dayah) yang telah lama mengakar di tengah-tengah masyarakat Aceh. Perbedaan ini tidak saja dari segi metode, tapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya.21 Seperti dimaklumi bahwa pendidikan dayah di Aceh lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan pengamalan agama dalam rangka mewujudkan penghayatan tujuan Allah menciptakan manusia. Tujuan hidup ini menurut konsep agama Islam, adalah setiap orang harus melakukan pengabdian hanya kepada Allah saja. Tujuan ini jauh berbeda dengan sekolah yang didirikan Belanda Hollandsch-Inlandsche School. Sekolah ini dikhususkan bagi orang-orang terkemuka yang belajarnya selama tujuh tahun. Mata pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia, dan siapa saja yang tamat sekolah ini dapat melanjutkan ke sekolah menengah di Eropa.22 Kurikulum pelajaran yang diberikan di sekolah ini, seperti dikemukakan Agus Budi Wibowo, meliputi bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, sejarah, biologi, melukis dan olah raga. Pelajaran ini diberikan dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Pengajar umumnya terdiri dari orang-orang pribumi, termasuk yang dari luar Aceh23 tapi semua guru kepala pada sekolah ini dipegang oleh orang-orang Eropa atau Belanda.24 Bagi orang Aceh, pelajaran semacam bahasa Belanda, ilmu bumi, biologi, sejarah dunia merupakan pelajaran-pelajaran asing yang belum pernah dikenal sebelumnya. Tapi karena Belanda telah dapat bekerjasama dengan sebagian raja dan uleebalang serta orang terpandang lainnya, sekolah ini dapat menghimpun anak-anak mereka. Kolonial dapat menjelaskan untungnya pendidikan sekolah bagi masa depan generasi. Hakikatnya memang demikian, namun harus diketahui bahwa sekolah ini tidak mengajarkan pengetahuan agama yang pada gilirannya nanti, ketika Indonesia merdeka telah melahirkan kaum sekularis yang berbenturan dengan kelompok Islamis dan nasionalis ketika bermaksud mengisi Negara Republik Indonesia kelak. Inilah hakikat tujuan akhir dari pendidikan Belanda yaitu menciptakan manusia yang sekular dengan jalan meninggalkan pengetahuan agama Islam. Tujuan demikian sangat bertentangan dengan prinsip ulama Aceh. Langkah selanjutnya yang dilakukan Belanda dalam rangka menarik hati rakyat Aceh adalah mendirikan sekolah rakyat atau sekolah desa25 dan disebut pula dengan sekolah mukim.26 20

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP 3ES, 1986) hal.23-24. Ibid., hal 24. 22 Ibid., hal. 24. 23 Ismail Yakub “Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh Belanda Sampai Sekarang”, dalam Bunga rampai Tentang Aceh, ed. Ismail Suny (Jakarta: Brahtara, 1980), hal. 329. 24 Agus, Pusa, hal 23. 25 Istilah ini nampaknya digunakan Steenbrink bagi pendidikan Belanda di luar Aceh, Karel, Pesantren…, hal. 24. 26 Agus, Pusa, hal 20. 21

Aceh Serambi Mekkah

317

Lama belajar pada sekolah rakyat ini adalah tiga tahun. Setelah tamat sekolah ini murid dapat melanjutkan ke Standard School atau Vervolgschool, namun sampai tingkat ini mereka belum memenuhi syarat untuk memasuki sekolah menengah.27 Dengan membuka lembaga pendidikan tersebut, Belanda dapat lebih lama bertahan di Aceh. Namun kesempatan ini digunakan oleh orang-orang cerdas untuk membentuk pola lain dari pendidikan yang telah ada, dalam rangka mengusir Belanda dan memantapkan pendidikan sendiri dengan upaya bercermin pada pendidikan di zaman keemasan Islam, yaitu memadukan antara ajaran Islam dengan pengetahuan alam. Masuknya SI28 (Syarikat Islam dan dalam sebagian referensi ditulis Serikat Islam) pada tahun 1920-han ke Aceh mempercepat hengkangnya Belanda dari tanah rencong ini. Tokoh SI yang terkenal adalah Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga dan Teuku Raja Bujang Lhokseumawe29, atau tepatnya uleebalang Kruenggeukuh yang hidup disiplin dan tidak rela tunduk pada aturan Belanda. Gerakan SI ini amat berbahaya bagi keberlanjutan praktik kolonial Belanda, sehingga dilakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh SI seperti Teuku Bujang dan Teuku chik Muhammad Said. Teungku Abdul Hamid Samalanga sempat melarikan diri ke Makkah melalui Pulau Pinang.30 Dari Makkah ia meniup semangat perjuangan untuk melawan penjajahan dan menghapus kebodohan ummat. Diharapkan setelah banyak orang Aceh yang memiliki kecerdasan, mereka akan memahami pentingnya mata pelajaran umum disamping meyakini pentingnya mempertahankan pendidikan agama serta memandang perlu untuk membina suatu pola pendidikan yang berguna bagi kehidupan dunia serta memiliki tujuan yang jelas bagi kehidupan akhirat. Tujuan pendidikan Islam itu sendiri sebagaimana dikemukakan Syed Sajjad Husain adalah: Menghasilkan orang-orang yang beriman dan juga berpengetahuan, yang satu sama lain saling menopang. Islam tidak memandang bahwa pencarian pengetahuan adalah demi pengetahuan sendiri tanpa merujuk pada cita-cita spiritual yang harus dicapai manusia, tapi untuk mewujudkan sebanyak mungkin kemaslahatan bagi umat manusia. Pengetahuan yang diceraikan dengan agama bukan hanya membuat pengetahuan menjadi bias, bahkan akan menjadikannya kejahilan jenis modern. Islam menganggap orang yang tidak beriman kepada Allah Swt. sebagai orang yang tidak berpengetahuan. Orang semacam ini, betapapun luas pengetahuannya, hanya akan mempunyai pandangan yang tidak lengkap mengenai jagat raya.31 Aceh sejak abad keenambelas diketahui sebagai negara Islam besar tergiring kedalam medan perang menghadapi negara-negara Barat yang ingin menjajah. Keterlibatan dalam perang menyebabkan kecerdasan anak negeri yang pernah maju menjadi buntu dan tertinggal jauh. 27

Karel, Pesantren…, hal. 24-25. Serikat Islam didirikan oleh kaum dagang Indonesia di Surakarta pada tahun 1912 yang dipimpimpin Haji Samanhudi. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam L.M. Sitorus, Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, 29 A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang: 1978), hal.90-91. 30 Ibid., hal 91. 31 Syed Sajjad Husain Syed Ali Ashraf, Krisis Dalam Pendidikan Islam, Terj. (Crisis in Muslim Education), (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000), hal. 49-50. 28

318

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Karena itu kalangan intelektual menyadari perlu membangun sebuah negeri yang berdiri sendiri dan memiliki kekuatan fisikal dalam artian luas dan kemantapan mental spiritual. Gerakan pertama yang dilakukan oleh golongan ini tidak banyak memberi arti bagi perjuangan karena dilakukan secara sendiri-sendiri, kemudian muncullah organisasi-organisasi kedaerahan namun belum memuaskan hasilnya. Organisasi-organisasi ini belum dapat mempersatukan misi dan visi umat ke depan. Pemikiran penting membentuk negara berasaskan Syari‘at telah lahir dalam diri kalangan ulama, pada tanggal 5 Mei 1939/12 Rabiul Awal 1358 diadakanlah musyawarah besar alim ulama di Peusangan (yaitu Matang Geulumpang Dua, sebuah kota dalam kabupaten Aceh Biruen sekarang yang jauhnya 10 km ke arah timur ibu kota Bireun, pen.) Musyawarah dengan mufakat bulat memutuskan untuk mendirikan suatu wadah yang menghimpun kesepahaman seluruh ulama. Nama wadah tersebut adalah Persatuan Ulama Seluruh Aceh yang disingkat dengan PUSA. Secara aklamasi, terpilih Tgk. M. daud Beureueh sebagai Ketua PUSA, dengan wakil ketua Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap, sedangkan sebagai pelindung ditetapkan Ampon Chik (kepala pemerintahan wilayah kerajaan uleebalang, pen.) Peusangan.32 Wadah ini tidak hanya sebuah nama besar di Aceh, selain untuk pemurnian agama dan pendidikan, organisasi ini juga bergerak dalam bidang politik yang bekerja sama dengan wilayah lain di Indonesia. Wadah inilah yang telah gencar melakukan pergerakan menuju kemerdekaan di Aceh dan kemudian melahirkan kader-kader yang mengisi kemerdekaan dengan bernafaskan Syari‘at Islam. Dari pergerakan sosial agama dan pendidikan, PUSA meningkatkan perjuangan pergerakan politik yang mengarah pada kepramukaan dan berakhir dengan kemiliteran. Ini dilakukan dalam rangka mewujudkan sebuah cita membangun sebuah negara Islam sejati yang aman serta diridhai Allah Swt. yang lazim dikenal dengan istilah “Baldatun Thaibatun Wa Rabbun Ghafur”. Dalam hal ini Osman Ralibi menguraikan terbentuknya divisi-divisi militer sebagaimana yang dikutip M. Hasbi Amiruddin bahwa organisasi pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun laskar Mujahidin di beberapa wilayah. Selanjutnya laskar Mujahidin berubah namanya menjadi Divisi Tgk. Chik di Tiro dan Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya Bakong. Divisi Tgk. Chik di Tiro dipimpin oleh Tgk. M Daud Bereueh dan Divisi Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir Husein Mujahid.33 Melihat kepada nama-nama yang dipakai pada divisi ini, berindikasi pada perjuangan dan pergerakan ulama-ulama dahulu dan semua divisi ini merupakan bagian atau lanjutan yang terinspirasi dari perjuangan terdahulu, dimana kaum ulama bangkit mengusir penjajahan kolonial Belanda. Melihat pergerakan PUSA yang merugikan Belanda, mereka melakukan hasutan terhadap uleebalang agar melakukan bermacam pemboikotan pada aktivitas organisasi ini. Sebagian uleebalang yang telah terlanjur bekerjasama dengan Belanda dan takut kehilangan jabatan dan kedudukannya menyahuti keinginan kolonial. Namun karena para uleebalang ini tidak mampu memberi penjelasan bahasa agama kepada rakyat, mereka menggunakan lidah-lidah ulama tradisional untuk menentang ajaran pembaharuan pendidikan ulama PUSA (lazim disebut ketika

32

Hasan saleh, Mengapa, hal. 17. M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di tengah Konflik,( Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004), hal. 56. 33

Aceh Serambi Mekkah

319

itu dengan ulama Wahabi34, pen.). Ceramah ulama PUSA diintimidasi uleebalang sementara ceramah ulama tradional disokong dengan baik.35 Kelicikan Belanda dan kebodohan sebagian uleebalang terhadap akibat dan nasib masa depan bangsa ini telah mampu memecah-belahkan ulama menjadi dua kelompok yaitu kaum tradionalis dan para reformis. Kedua kelompok ini saling tidak akur bahkan ketidakharmonisan ini berlanjut sampai setelah kemerdekaan. 4. Kedatangan Jepang Ke Aceh Gejolak melawan penjajahan Belanda telah terjadi di seluruh Indonesia, sementara di sisi lain perang Pasifik terus berlangsung, dimana Belanda dan sekutunya di satu pihak dan Jepang pada pihak lain. Hal ini membuat PUSA mengundang Jepang, dengan tujuan agar Jepang bisa mengusir Belanda dari tanah air, pada saat itu Jepang telah berada di Malaka. Dalam hal ini Hasan Saleh mengemukakan: Dalam bulan Desember 1941, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Ketua Pengurus Besar PUSA, Tgk. Abdul Wahab Seulimum, anggota PUSA dan Kepala Cabang PUSA Aceh Raya, Teuku Nya’Arif, Panglima Sagi XXVI Mukim, Teuku M. Ali Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim, dan Teuku Ahmad, Uleebalang Jeunib (Samalanga) mengadakan pertemuan di rumah T. Nya’Arif di Lamnyong. Dalam pertemuan itu mereka berjanji dan bersumpah setia kepada agama Islam, kepada bangsa dan tanah air, seraya memutuskan untuk bekerjasama dengan Dai Nippon, melawan pemerintah Belanda. Mereka menyusun pemberontakan atas nama PUSA.36 Pernyataan Saleh ini mengisyaratkan kerjasama yang baik antara ulama PUSA dengan sebagian kaum bangsawan atas dasar kesadaran pentingnya mendidrikan sebuah negara merdeka yang mengurus diri sendiri. Pada tanggal 13 Maret 1942 Tentara Jepang melakukan pendaratan dengan mulus di Aceh, karena segala sesuatu telah diatur sebelumnya dan terencana. Penduduk menerima mereka dengan akrab karena mengharapkan Syari‘at Islam dapat dijalankan dalam kehidupan seharihari sebagaimana dijanjikan Jepang melalui radio sebelum mereka mendarat di tanah ini.37 Antusiasme rakyat Aceh menyambut kedatangan Jepang ditunjuki pula dengan semangat mengusir Belanda. Kalangan pemuda yang cukup bersemangat untuk merebut kemerdekaan dengan bantuan Jepang telah mampu membunuh sejumlah pembesar Belanda seperti kepala exploitasi ASS (Atjeh Saat Spoorwegen di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Controleur di Seulimum dan Asisten Residen di Sigli. Akibatnya, yang lain terpaksa lari meninggalkan Kutaraja, Seulimum, 34

Sebutan ulama Wahabi adalah cemoohan bagi ulama yang melakukan pembaharuan ajaran Islam karena terpengaruh dengan gerakan Wahabi Arab Saudi. Praktik gerakan ulama ini sebagiannya berbeda dengan hal-hal yang telah mendarah daging dalam tradisi Aceh, seperti mereka melakukan shalat Tarawih delapan rakaat, tidak membaca qunut shubuh, tidak boleh mentalqinkan mayit, kenduri kematian dan sebagainya. 35 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 18. 36 Ibid., hal 19. 37 S. M. Amin, Sejenak Meninjau Aceh Serambi Makkah, dalam buku Bunga Rampai Tentang Aceh, ed. Ismail Suny, (Jakarta: Bhratara:1980) hal. 66.

320

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Lameulo, Meurudu, Samalanga dan Bireun ke arah Takengon, Aceh Tengah.38 Pada akhirnya seluruh prajurit kolonial Belanda terpaksa meninggalkan seluruh wilayah Indonesia, setelah pernah melakukan penjajahan wilayah Jawa selama tiga abad lebih dan menduduki Aceh hampir 30 tahun. Mereka terpaksa menyerah pada tanggal 8 Maret 1942 di lapangan Kalijati dekat Bandung39 akibat perlawanan hampir segenap lapisan rakyat yang dibantu tentara Jepang. Pada hakikatnya Jepang sendiri memiliki keinginan untuk menjajah sebagaimana dipahami dari tiga semboyan yang dipelopori H Shimizu: - Jepang Pemimpin Asia - Jepang Pelindung Asia - Jepang Cahaya Asia.40 Ketiga semboyan ini tidak ada yang mengisyaratkan pemberian kemerdekaan bagi negara ini tetapi lebih mengarah pada perebutan kekuasaan antara Barat sekutu dengan Jepang yang terus hendak memperluas kekuasaannya ke seluruh Asia. Sikap ini disadari oleh sebagian pemimpin Indonesia seperti Muhammad Hatta sehingga dia menghimbau di surat kabar harian yang menganjurkan supaya rakyat tidak mengambil pendirian pro demokrasi Barat atau kontra facisme Jepang, melainkan tetap pada cita-cita Indonesia yaitu menggunakan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.41 Ini bermakna segala upaya boleh saja dilakukan asalkan bermuara pada kemerdekaan negara dan penentuan nasib sendiri dalam rangka membentuk sebuah negara yang berdaulat untuk mengurus diri sendiri. Dalam hal Aceh yang mengundang Jepang, walaupun dari satu sisi rakyat merasa cukup tersiksa karena prajurit-prajurit Jepang bersikap kejam dan kasar pada penduduk, namun banyak pemuda merebut keuntungan bagi upaya melakukan taktik demi perjuangan memerdekakan negara. Jepang mengizinkan pemuda-pemuda Aceh untuk mengikuti latihan kemiliteran walaupun caranya berbeda dengan ajaran Islam karena bersifat keras dan mengarah pada bentuk kekejaman. Jepang membuka pendidikan militer tingkat perwira, yang akan menghasilkan pimpinan militer, dan dibukalah sekolah perwira gyugun yang disebut Kambu Yoin di Meulaboh, Kutaraja, Lhokseumawe dan Idi. Pendidikan ini dimulai sekitar Desember 1943.42 Kesempatan ini dimanfaatkan ulama dengan cara menghimbau para pemuda memasuki sekolah latihan kemiliteran ini dari perwira Jepang. Diperkirakan sekitar 5000 pemuda menjadi prajurit dan mayoritasnya adalah pemuda PUSA,43 dan Hasan Saleh menyatakan lebih dari 100 putera Aceh mengikuti pendidikan perwira itu. Diantara tokoh-tokoh terkemuka termasuk dirinya, Syamaun Gaharu dan T. Hasan Geulumpang Payung. 44 Hasilnya Aceh telah memiliki tentara-tentara muslim yang memiliki basis agama kuat dan handal pula menggunakan senjata 38 39

Agus, Pusa, hal.57-58. L.M Sitorus, Sejarah pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Dian rakyat, 1988),

hal.86. 40

Ibid., hal.86. Ibid., hal. 85. 42 Hasan saleh, Mengapa…, hal. 31. 43 Hasbi Amiruddin, Perjuangan… hal. 53. 44 Hasan saleh, Mengapa…, hal 31. 41

Aceh Serambi Mekkah

321

serta siap menghalau musuh. 5. Aceh dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Cita-cita rakyat Indonesia termasuk pula orang Aceh merebut kemerdekaan dari pihak penjajah lebih awal terwujud45 karena pengeboman yang dilakukan Amerika dan sekutu di Hiroshima dan Nagasaki. Di Aceh tentara Jepang terpaksa menyerahkan senjata kepada gunco dan suco46 yang merupakan penguasa eksekutif di wilayah masing-masing. Sebagian besar orang Jepang baik sipil maupun militer ditarik ke Medan.47 sehingga Aceh telah bersih dari kaum penjajah atau paling kurang tidak ada lagi kekuasan asing di daerah ini ketika Republik ini diumumkan kemerdekaannya pada tangal 17 Agustus 1945. Aceh ketika itu sangat memerlukan pada konsolidasi yang baik antara ulama reformis dengan ulama tradisonalis begitu pula antara kelompok yang menginginkan daerah ini bersih dari berbagai bentuk penjajahan dengan kaum feodalis yang masih terikat jasa dengan kolonial Belanda. Persoalan ini nampaknya berjalan lamban sehingga menimbulkan berbagai gejolak dikemudian hari yang terjadi diantara kalangan elit Aceh yang cukup merugikan dalam berbagai bidang. Proklamasi kemerdekaan tepat dilakukan hari Jum‘at pukul 10 tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur no. 56. Bung Karno dengan singkat membaca teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara sakasama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya48 Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut disambut meriah oleh rakyat Indonesia. Mereka mengetahui berita itu melalui radio. Namun di Aceh, terjadi beberapa reaksi ketika mendengar proklamasi kemerdekaan ini, seperti yang dikatakan oleh Hasan Saleh: “seperti Jepang yang merasa disambar geledek ketika kejatuhan bom atom Amerika, demikian juga halnya dengan kaum feodal sewaktu mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno-Hatta. Proklammasi 17 Agustus 1945 ini segera diketahui kaum feodal yang lebih banyak mempunyai fasilitas radio.49 45

Pada bulan Mei 1945 dibentuk suatu panitia yang diberi nama: Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Panitia ini diketuai Bung Karno dan pada 9 Agustus 1945 diutus ke Dallat, suatu kota terletak 300 km di sebelah Utara Saigon, bersama Hatta dan Rajiman Wediodiningrat untuk berjumpa Jendral Terauchi, panglima Angkatan Perang Jepang Asi Tengara. Dalam pertemuan tangal 12 Agustus 1945 ini, ia mengatakan Pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan pemberian kemerdekaan bagi Indonesia. Ketika Sukarno menanyakan waktu Tokyo akan mengumumkan itu, Terauchi menjawab: “itu terserah kepada tuan-tuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”.Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam buku L.M. Sitorus, Sejarah Pergerakan Kemerdekaan…, hal. 93. 46 Gunco dan suco adalah kalangan feodal yang diberi jabatan oleh Jepang untuk menjadi pegawai di daerah masing-masing dalam rangka mengawasi dan menjaga senjata.Mereka dipercayai Jepang karena telah berpengalaman dalam mengatur rakyat. 47 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 34. 48 L.M. Sitorus, Sejarah Peregerakan., hal.101. 49 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 35.

322

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Hal ini tidak berarti seluruh raja kecil, seluruh uleebalang dan semua bangsawan Aceh benci pada proklamasi kemerdekaan, karena banyak juga dari kalangan mereka yang berjuang keras melawan dan mengusir penjajah, seperti T. Nya’Arief. Pernyataan Hasan tersebut barangkali lebih terbawa dengan sikap perjuangannya sebagai aktivis PUSA yang kadang-kadang berbenturan dengan sebagian kepentingan dan kebijakan uleebalang atau kaum bangsawan. Berita proklamasi baru diketahui oleh pimpinan rakyat di Pidie dua minggu kemudian, sedangkan masyarakat awam baru mengetahuinya setelah tiga minggu. Berita ini diterima gembira oleh ulama PUSA dan rakyat. Mereka meluapkan kegembiraan, sebagaimana kata Hasan Saleh, dengan menunjukkan diri sebagai “órang republikan” yang siap membela kemerdekaan Republik Indonesia. Terumpah kayu diganti dengan sepatu lapangan, kain sarung diganti dengan pantalon perjuangan, Diadakan pertemuan dan rapat besar untuk membangkitkan semangat rakyat. Salam perjumpaanpun berubah, dari Assalumu`alaikum menjadi Merdeka.50 Hal ini bermakna mayoritas rakyat Aceh rela mengorbankan jiwa dan raganya menjadi pejuang yang ingin membela dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah. Mereka ingin membangun negeri sebagaimana kehendak dan tuntutan aspirasi masyarakat Aceh yang Islami. Ajaran Islam yang telah pudar di tengah-tengah mereka dan kebanyakan mereka telah menjadi awam pada ilmu agama akibat peperangan panjang dengan berbagai bangsa penjajah. Para panglima perang juga terdiri dari ulama-ulama besar yang sebelumnya memimpin dayah dan menulis kitab-kitab. Suasana masyarakat Islami madanilah yang ingin dikembalikan di bumi serambi Makkah melalui pencapaian kemerdekaan. Dalam mengisi proklamasi kemerdekaan Indonesia, di mana Aceh salah satu daerah yang turut bergabung dengannya, Syari‘at Islamlah yang ditonjolkan. Ini dilatarbelakangi oleh pemimpin pro kemerdekaan dan integrasi dengan Indonesia adalah kalangan ulama yang memberi dukungan besar padanya. Dukungan ulama, terutama mereka yang bergabung dalam PUSA, kepada Republik Indonesia, seperti yang dikutip Agus dari Antoni Reid dalam Perjuangan Rakyat, dicetuskan pada 15 Oktober 1945 berupa pernyataan ulama seluruh Aceh yang ditandatangani empat ulama terkemuka yaitu Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah, Tgk. Jakfar Sidik, dan Tgk. Hasan Kruengkale. Komite ini menyerukan kepada rakyat agar bersatu di belakang pemimpin besar Soekarno dalam mempertahankan tanah air Indonesia. Karena Belanda sekali lagi akan mencoba menghancurkan agama Islam yang murni dan juga menindas serta merintangi keagungan dan kemakmuran Indonesia. Dalam maklumat itu ditegaskan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan adalah sesuatu yang suci yang disebut “perang sabil”. 51 Menggunakan Istilah “perang sabil” mengisyaratkan bahwa Aceh cenderung rela bergabung dengan Republik Indonesia dalam rangka membangun sebuah negara besar yang Islami. Sejarah telah membuktikan bahwa sebuah negara menjadi kuat karena memiliki kesamaan ideologi yang tangguh sehingga mengantarkan umat pada kesamaan persepsi, disamping negara tersebut memiliki penduduk yang banyak. Ideologi yang tangguh dalam persepsi ulama Aceh adalah agama Islam yaitu tegaknya Syari‘at yang sesungguhnya. Keutuhan dan kekuatan negara demikian telah ditunjukkan dalam kurun sejarah Islam pada zaman khilafah rasyidah (Abu Bakar, Umar Utsman dan Ali) di Madinah, Dinasti Umawiyah yang berpusat di Damaskus, Dinasti 50 51

Ibid., hal. 35 Agus Budi, Pusa, hal.67.

Aceh Serambi Mekkah

323

Abbasiyah di Baghdad, Dinasti Turki Usmani dan Mughal yang berkuasa di India. Adapun karakteristik Islam yang memperkokohkan kesatuannya adalah landasan ideologi tauhid. Landasan ini telah memantapkan persatuan umat yang jauh dari bentuk-bentuk nasionalis yang muncul dalam kurun waktu terakhir ini. Kesetiaan Aceh pada Republik Indonesia ketika itu, digambarkan oleh Hasan Saleh bahwa rencana merah putih dipasang di baju rakyat dan bendera merah putih dikibarkan di kantor-kantor PUSA. Pemakaian nama PUSA perlahan-lahan surut, diganti dengan istilah kaum republikan atau kaum revolusioner, sebaliknya kaum feodal diberi nama kaum Nica atau kaum kontra revolusioner.52 Ini semua menunjukkan luapan kegembiraan pada keikutsertaan rakyat untuk bergabung dengan Indonesia sehingga rela meninggalkan berbagai simbol kedaerahan dan organisasi yang telah melekat ketika masa perjuangan. Tetapi tidak semua masyarakat setuju atas kemerdekaan ini. Di Aceh pergolakan menentang kemerdekaan tidak hanya datang dari kolonial Belanda, tapi bersumber pula dari dalam daerah, beberapa kalangan bangsawan yang pro Belanda tidak setuju dengan proklamasi sehingga mengantarkan Aceh kembali ke gerbang pertumpahan darah dalam bentuk perang saudara. Di lain pihak, penulis mendapat penjelasan dari seorang pimpinan dayah di Aceh Utara (Tgk. M. Yunus Benseh, alm.) bahwa sebagian ulama tradisonalis tidak menyetujui Aceh bergabung dengan Indonesia. Aceh harus menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri sehinga dapat menjalankan Syari‘at Islam, namun kehendak ulama tradisionalis yang demikian tidak disertai dengan kekerasan dan tidak melibatkan pengikut maka terhindar dari benturan fisik.Teuku Moehammad Hasan menyatakan bahwa Teungku Hasan Krueng Kale ulama sufi- tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) ahli sunnah waljamaah- adalah salah seorang yang pada awalnya menginginkan Aceh berdiri sendiri. Ulama ini pendiri tentara Mujahidin Aceh, dan yang melantik Daud Beureueh menjadi panglimanya pada tahun 1945. Dia mengajak Daud Beureueh ulama Wahabi (pembaharu dalam Islam yang terpengaruh dengan pemikiran ulama Arab Saudi, pen.) untuk mengembalikan kerajaan Aceh berdaulat pada tahun 1946.53 Daud Beuereueh tidak menerima ajakan ini dan Teungku Hasan Kreung Kale akhirnya mendukung Republik sehingga dia menjadi pegawai pada jawatan Agama. Beda pendapat antara ulama PUSA dengan ulama tradisionalis berjalan lama hingga setelah kemerdekaan, hanya saja hal ini tidak berdampak pada kekerasan. Kemudian Tgk. M. Yunus menjelaskan lagi bahwa ketika Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1953 meminta restu sebagian ulama besar Aceh (ulama dayah) termasuk pada Hasan Krueng Kale untuk memisahkan wilayah ini dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi para ulama tidak memberi respon terhadapnya. 6. Ketidakstabilan Aceh Pasca Proklamasi Ketika Jepang hengkang dari Aceh, di daerah ini terdapat dua kekuatan elit yang memiliki senjata, yaitu kaum uleebalang, yang dipercayakan Jepang sebagai eksekutif di daerahnya dengan dibebankan tugas menjaga senjata, dan para pengikut PUSA yang telah mendapat latihan dari Jepang. Kedua kelompok ini memiliki kepentingan dan visi yang berbeda terhadap Aceh. 52

Hasan Saleh, Mengapa, hal. 36. Mr. Teuku Moehammad Hasan, Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa, ed. Teuku Muhammad Isa, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 1999), hal. 215 53

324

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Dua kekuatan ini memiliki landasan yang kuat dari berbagai sudut dan latar belakang masingmasing. Pihak uleebalang memiliki pengalaman yang cukup lama dalam bidang pemerintahan baik pada masa Belanda maupun ketika Jepang masuk ke Aceh dengan mempercayakan mereka sebagai eksekutif di daerah mereka masing-masing, terutama dalam rangka menjaga dan mengawal persenjataan di daerah tersebut. PUSA merupakan organisasi yang tumbuh berkembang dengan baik karena memiliki program-program yang matang baik dari segi pendidikan, perpolitikan dan kemiliteran. Gubernur Sumatra T. Muhammad Hasan, seorang putera Pidie, menunjuk T. Nya’Arief, uleebalang Panglima Sagi XXVI Mukim di Aceh Besar, sebagai Residen Aceh dengan pangkat mayor jenderal tituler. Dalam membentuk pemerintahan yang baru ini T. Nya’Arief mengangkat sebagian besar para uleebalang untuk memangku jabatan bupati, wedana dan camat.54 Penunjukan ini, barangkali sama halnya dengan Jepang, lebih mempercayai kemampuan kaum bangasawan dalam hal memerintah dan mengatur rakyat. Padahal di sisi lain, pihak PUSA yang telah dibenahi pengetahuannya untuk saat itu, seperti pendidikan dan kemiliteran, tidak seharusnya tidak dilibatkan dalam struktur pemerintahan. Inilah yang mengawali perbedaan pendapat dalam pemerintahan Aceh pada awal kemerdekaan. Peperangan Cumbok diawali dengan persiapan yang berupa kenduri besar yang dilakukan oleh sesepuh uleebalang Kabupaten Pidie T.Keumangan Umar di Beureunun pada tanggal 22 Oktober 1945. Kenduri dengan menyembelih dua ekor kerbau ini merupakan upaya memompa semangat kaum uleebalang untuk menghadapi perubahan politik yang amat cepat beralih tangan dan menyerukan untuk bersatu bahu membahu membela kepentingan mereka55, tidak banyak diketahui hakikat keinginan yang sesungguhnya dari uleebalang, benarkah mereka tetap bermaksud memperoleh kekuasaan dengan menjadi boneka Belanda ataupun mereka mengharapkan agar negeri ini kembali seperti sediakala, seperti pada masa kerajaan Aceh, dimana pemerintahan berbentuk sebuah negara federasi dan tidak bergabung dengan Indonesia. Dalam hal ini tidak ditemukan tulisan-tulisan yang membuktikan tujuan yang sebenarnya dari uleebalang dalam menjalankan pemerintahan Aceh pada saat itu. Dalam sebuah rapat, golongan uleebalang di Lueng Putu membentuk angkatan perang yang dipimpin oleh T. M. Daud Cumbok, seorang uleebalang dan Gunco Lamlo. Pengangkatan T.M.Daud Cumbok sebagai pemimpin angkatan perang ini diperkirakan karena di daerah ini terdapat yasin soko yang besar yaitu bekas penjara yang menyimpan senjata Belanda yang dirampas Jepang56 Setelah itu sejumlah uleebalang membentuk pasukan perang lainnya seperti T.Chik Mahmud Meureudu, T. Laksamana di Lueng Putu dan T. Pakeh di Sigli57. Setelah pasukan-pasukan ini terbentuk, mereka menyerang kaum PUSA, melakukan penganiayaan, pembunuhan, yang menyebabkan Tgk. H. Yusuf dari Kumbang Tanjung dan Tgk. Puteh Adan terbunuh. Tgk H. Yusuf dimakamkan di Lingkok, Lamlo, sementara Tgk. Puteh tidak diketahui pusaranya.58 Perang ini terjadi di Lamlo, Kota Bakti. Pasukan Lamlo ini terus bergerak untuk

54

Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 38. Penjelasan yang rinci lihat, Ibid…, hal. 37-38. 56 Ibid., hal. 38. 57 Ibid., hal 52. 58 Ibid., hal. 53 55

Aceh Serambi Mekkah

325

menguasai kota Sigli. Pasukan yang dipimpin T. Abdullah menyerang kota ini pada 2 Desember 1945. Sasaran ditujukan pada kantor PRI (Pemuda Republik Indonesia).59 Mereka berhasil menguasai Kota Sigli untuk beberapa waktu, dimana pihak PUSA menerapkan taktik mengisolasi Kota Sigli dengan maksud memutuskan jalur logistik pihak lawan. Taktik ini berhasil karena mereka mampu menangkap pihak lawan yang berusaha menerobos penjagaan. T. Nya’Arief yang diangkat menjadi Residen Aceh merasa prihatin dengan perang saudara yang terjadi di daerah Sigli dan ia menyadari sangat merugikan asas perjuangan Islam yang telah lama dirintis, maka Ia mengirim utusan yang beranggotakan Sayamaun Gaharu untuk meredam konflik Sigli tersebut, dengan menyerahkan senjata pada Kutaraja. Pada awalnya tidak begitu berhasil karena pihak PUSA masih curiga pada uleebalang yang akan memperoleh senjata lain, namun pada tanggal 17 Januari 1946 dengan ditandai nama Lamlo menjadi kota Bakti konflik tersebut dapat diredam.60 Damainya pergerakan Cumbok tidak berarti gerakan uleebalang telah aman. C. Van Dijk dalam bukunya Darul Islam menyatakan: Bagaimanapun, melalui revolusi sosial kaum ulama secara pasti berhasil melenyapkan peranan penting sosial, politik dan ekonomi kaum uleebalang. Dalam waktu dua bulan, yaitu Desember 1945 dan Januari 1946, kaum uleebalang benar-benar dimusnahkan, sedangkan yang selamat diharuskan melepaskan hak-hak turun temurun dan harta miliknya disita. Dalam waktu hampir tiga bulan kemudian semua uleebalang yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer Republik Indonesia di Aceh dipaksa mengundurkan diri.61 Ini merupakan suatu peralihan kekuasan yang amat cepat dan cukup besar di Aceh, karena yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer, setelah para raja dan uleebalang dipaksa menyerahkan kekuasaannya, adalah kaum revolusioner dan kaum ulama, dalam hal ini orang-orang yang tergabung dalam PUSA. Kemenangan demikian dimanfaatkan PUSA dan pengikutnya untuk menyingkirkan segala bentuk otoritas uleebalang dalam pemerintahan Aceh. Bahkan mereka yang dicurigai bersesongkol dengan Belanda dibunuh, harta mereka disita dan mereka membuat pernyataan tunduk pada kaum revolusioner serta tidak diberi peran berarti dalam pemerintahan. Karena situasi seperti itu, sebagian dari keluarga uleebalang banyak yang memilih keluar dari Aceh demi keselamatan jiwa, kemudian setelah suasana benar-benar aman, baru sebagian dari mereka kembali ke Aceh, namun banyak juga yang tidak kembali dan memilih tetap tinggal diluar Aceh. Mereka yang kembali bekerja di kotanya

59

Ketika itu pasukan-pasukan perang yang ada di Aceh amat beragam seperti API (Angkatan Perang Indonesia), MD (Markas Daerah) yang berkedudukan di Kutaraja PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan TPR (Tentera Perjuangan Rakyat). API kemudian menjadi TNI (Tentera Negara Indonesia). Penjelasan lebih lanjut tentang pasukan-pasukan ini dan lainnya dapat dihat dalam Hasan Saleh, Mengapa Aceh Berggolak, hal. 39. Setelah terbentuk TNI seluruh bentuk pasukan lain dileburkan dalam organisasi ini. 60 Agus, Pusa, hal. 75. 61 C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan (terj. Rebellion Under The Banner Of Islam (The Darul Islam in Indonesia), (Jakarta: Pustaka Uatama: 1995), hal 259.

326

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

atau di kampung halamannya sama kedudukannya sebagaimana rakyat biasa. Demikianlah Aceh terbebas dari perang saudara dan dapat tercipta suasana kedamaian walaupun tetap tersisa luka yang mendalam pada sementara kalangan akibat kekerasan ketika meredam konflik. ACEH MASA ORDE LAMA Dalam penjelasan di atas telah dipaparkan secara panjang lebar perjuangan ulama, lebih khusus ulama PUSA, kesetiaan dan pengaruh mereka dalam meyakinkan rakyat untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Harapan dan cita-cita murni mereka semula adalah tegaknya negara Islam atau paling kurang Syari‘at Islam berjalan dengan semestinya di bumi Aceh yang melekat dengan sebutan Serambi Makkah ini. Perjuangan ini, sebagaimana lazimnya dalam setiap revolusi, kadang-kadang berjalan keras bahkan mengarah pada terjadinya perang saudara. Keadaan ini telah mengantarkan Aceh pada suasana kehidupan sosial politik yang tidak stabil karena dalam banyak hal menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak tertentu. Ini merupakan salah satu penyebab pemerintah pusat sulit mengatur struktur pemerintahan daerah karena para pihak saling menuding kesalahan lawan dan saling memberi laporan kepada pemerintah pusat sesuai dengan kehendak masing-masing. Pemerintah pusat tidak begitu tanggap terhadap persoalan konflik elit politik di Aceh, diperparah lagi oleh penerapan pemerintahan sentralisasi. Perimbangan ekonomi dan penerapan nasionalisme menghilangkan identitas ke-Islaman Aceh, citra masyarakat dan corak adat serta model pendidikan. Inilah hakikat tuntutan Aceh pada pemerintah pusat yang belum terwujud sampai sekarang. 1.

Masalah Penerapan Syari‘at Islam

Kerajaan Aceh Darusalam adalah sebuah kerajaan Islam yang sumber hukumnya adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma‘ dan Qiyas. Kenyataan ini kemudian tercantum dalam Kanun al-Asyi Meukuta Alam yang disalin oleh Tengku di Meulek.62 Dalam prakteknya kerajaan Aceh Darussalam, sebagaimana digambarkan C.Snouck, bahwa kesultanan Aceh tidak memiliki kekuasaan yang nyata, karena yang menjalankan pemerintahan adalah para uleebalang yang dipilih secara turun temurun. Para uleebalang ini tidak menginginkan urusan di daerah mereka dicampuri oleh raja, cap kerajaan hanya memperkuat hasil yang dicapai di luar pengaruh raja.63 Setiap permasalahan dimusyawarahkan yang biasanya dipimpin oleh Qadhi. Qadhi inilah yang menentukan hukum dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan yang timbul di daerahnya. Di lain pihak, menyangkut dengan hukum Islam, Snouck menyebutkan “dalam hal-hal murni bersifat keagamaan, hukum agama tetap ketat dengan syarat-syaratnya. Segala sesuatu yang kita anggap di luar hal-hal agama, hukum agama berpegang paling teguh pada hukum keluarga yang dikuasainya.64 Artinya yang menjaga hukum adalah pihak keluarga dan imuem mukim setempat. Ini tidak bermakna masyarakat Aceh secara umum tidak memiliki pegangan khusus terhadap pedoman hukum, sebab ulama telah menulis sejumlah kitab hukum seperti Mir’at al62

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‘at Di Aceh, (Jakarta: Logos:2003), Hal. 175 C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istadatnya, jil. II, (terj. Sutan Maimoen), (Jakarta: INIS, 1996), hal. 267. 64 Ibid., hal. 262. 63

Aceh Serambi Mekkah

327

thullab karya Abdurrauf Syiah Kuala yang ditulis pada masa Taj al-‘Alam safiatuddin (16411675) yang merupakan modifikasi hukum privat terutama hukum perkawinan. Kitab lain yang ditulis masalah hukum-hukum Islam termasuk hukum pidana adalah Safinat al-Hukkam karya Jalal al-Din al-Tursani atas permintaan Sultan Alaiddin Johansyah (1735-1760). Dengan demikian ketentuan-ketentuan fiqh Islam telah lama berlaku dalam masyarakat dan keluarga rakyat Aceh. Walaupun kadang-kadang bersifat sangat lokal, namun banyak persoalan masalah dapat diselesaikan oleh qadhi setempat dengan tetap berpegang pada sumber Islam. Melihat keberhasilan hukum Islam dalam menyelesaikan persoalan keumatan, Daud Beureueh menginginkan agar negara ini ditegakkan atas dasar Syari‘at Islam, sehingga beliau mendukung Aceh bergabung dengan Indonesia karena Presiden Soekarno pernah berjanji bahwa syariat Islam akan ditegakkan di Aceh. Kekecewaan Tgk. Daud Bereueh dan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat dimulai ketika presiden Soekarno tidak menepati janjinya untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, bahkan dalam pidatonya di Amuntai beliau menyatakan tidak menyukai syariat Islam diterapkan. Pernyataan demikian bukan saja membuat rakyat Aceh bingung tapi menyebabkan munculnya tuduhan Soekarno adalah penipu dan pengkhianat perjuangan rakyat Aceh. Walaupun demikian Daud Beureueh tidak putus asa dan terus berupaya agar hukum Islam terwujud di Aceh. Ketika rombongan gubernur Sumatera, Mr. Harmani dan Abdul Hamid Djajadiningrat, keduanya merupakan utusan Pemerintah Pusat, mengunjungi Kutaraja, Tgk. Daud Beureueh yang ketika itu Kepala Jawatan agama, mengambil kesempatan dalam acara ramah tamah di Hotel Merdeka menyampaikan pesannya agar Pemerintah Pusat mengabulkan pelaksanaan hukum Islam bagi Aceh. Gubernur Harmani memberi penjelasan bahwa sukar untuk menerapkan hukum Islam terutama dalam masalah pidana. Meskipun demikian Tgk. Daud Bereueh tetap mengharapkan agar Harmani menyampaikan usul tersebut kepada Presiden RI.65 Soekarno sendiri sebagai seorang yang rasionalis sulit menerima hukum-hukum fikih yang tidak dapat dinalar akal.66 Menurut Soekarno Islam adalah agama rasional maka hukumnya juga harus rasional. Kaum rasionalis berpendapat sebagian hukum-hukum yang tidak rasional terdapat dalam fikih jinayat, hukum yang membahas masalah tindak pidana. Maka harapan dan permintaaan Daud Beureueh ini tidak mendapat jawaban yang pasti dari Pemerintah Pusat walaupun telah ditunggu dengan penuh kesabaran. Karena jengkel dengan Pemerintah Pusat, sebagaimana dinyatakan C. Van Dijk, orang Aceh menuduh pemimpin-pemimpin Republik di Jakarta mengutamakan Jawa yang memiliki latar belakang agama Hindu. Pada tahun 1954 misalnya, Daud Beuereueh melukiskan Pemerintah Republik sebagai pemerintah Hindu yang menggunakan baju nasionalis yang sangat mirip dengan komunisme.67 Akibatnya pemimpin Aceh pernah berupaya membentuk Republik Islam Aceh (RIA). Terbentuknya RIA, sebagaimana dikemukakan Abu Jihad, merupakan rentetan sejarah perjuangan jihad fi Sabilillah menegakkan Negara Islam. Teungku Daud Beureueh dan ulama Aceh lainnya yang didukung rakyat Aceh mayoritas, melancarkan 65

Teuku Muhammad Hasan, Dari Aceh…, hal. 432. Bagaimana sulitnya Soekarno menerima hukum-hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih yang tidak rasional dapat dibaca dalam Kholid Santosa, Dasar Negara Islam Indonesia Pemikran, CitaCita Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir, pada sub bab “Natsir dan Soekarno”, hal 238-261. 67 C. Van Dijk, Darul Islam, hal. 396. 66

328

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

resistensi politiknya menentang pemerintah RI, Soekarno. Perjuangan mereka adalah bulat, yaitu tegaknya syari‘at Islam di bumi Aceh. Menegakkan Negara Islam sudah merupakan kewajiban yang harus diperjuangkan untuk mencapai kembali peradaban Islam yang pernah ada di serambi Makkah ini.68 Pernyataan ini dan dalam berbagai referensi lainnya menunjukkan bahwa ulama dan rakyat Aceh mengharapkan tegaknya syari‘at Islam di Aceh seperti dimasa kesultanan Aceh dahulu. Perlu juga dilihat pada sisi lain dari keniscayaan situasi keadaan Aceh, yaitu di pusat telah terjadi perebutan dalam penentuan bentuk dan falsafah negara yang dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUUPK). Badan yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 terdiri dari 68 orang anggota dan hanya 20% dari jumlah mereka yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam, selebihnya mewakili pandangan nasionalisme yang dalam hal ini tidak mau membawa agama ke dalam masalah kenegaraan.69 Kemenangan pandangan nasionalisme, barangkali, tidak terlepas pula dari pengalaman politik wilayah-wilayah dunia Islam akhir abad 19 dan awal abad 20. Ikatan-ikatan ideologi agama ketika itu lemah dan yang muncul adalah nasionalisme. Ini dapat dilihat bahwa setiap wilayah Islam ingin mendirikan negara sendiri dan memang berhasil dilakukannya. Turki Usmani yang telah amat lemah pada akhir abad 20 terpaksa melepaskan wilayahwilayah Islam untuk menjadi sejumlah negara yang berdiri sendiri. Negara-negara ini ada yang menjadi negara besar dan ada pula yang kecil. Pecahan Turki Usamani sangat banyak seperti Syria, Mesir, Arab Saudi, Yordan, Maroko, Tunisia, Libya dan lain-lain. Pemecahan negara yang demikian muncul akibat sifat kedaerahan yang memiliki historis tersendiri disamping didukung oleh negaranegara kuat demi kepentingan mereka seperti Inggris, Prancis dan Amerika. Dengan demikian terbentuklah negara-negara kecil seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, Libanon dan lain-lain. Barangkali terinspirasi dari realita demikian, pembentukan negara Indonesia sudah barang tentu lebih mengutamakan meninggalkan asas ukhuwah Islamiyah dan memunculkan fanatisme dan karakteristik kesamaan ras dan nasib dalam perjuangan. Pengalaman sejarah inilah yang mungkin menjiwai anggota BPUPKI dengan menonjolkan sifat nasionalisme daripada mempertahankan ideologi Islam yang memang sedang memudar ketika itu. Antara kelompok nasionalisme dengan wali-wali umat Islam (istilah Syafii Maarif untuk wakil yang memperjuangkan asas Islam sebagai bentuk negara.) memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan ini terdapat pada pandangan ideologi negara. Kelompok nasionalis yang dimotori oleh Soekarno dan Yamin mengajukan lima Prinsip Dasar yang kemudian dikenal dengan “Pancasila”. Sedangkan dari kelompok Islam yang gencar mengajukan Islam sebagai dasar negara Indonesia adalah Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah.70 Sebagaimana dimaklumi bersama, debat hangat ini berakhir dengan kemenangan kelompok nasionalisme maka lahirlah Pancasila sebagai dasar Falsafah Negara. Kemenangan kaum nasionalis ini menyebabkan sulitnya bagi daerah seperti Aceh mengharapkan terbentuknya Syari‘at Islam. Artinya menerapkan dua ideologi dalam sebuah negara sulit diwujudkan ketika itu. Namun pada hakikatnya jika sebuah negara menerapkan

68

Abu Jihad, Hasan Tiro & Pergolakan Aceh, (Jakarta: Aksara Centra, T Th.) hal 9. A. Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Dekomkrasi Terpimpin (19591965), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press:1988), hal 25-26. 70 Syafii Maarif, Islam dan Politik…, hal.27. 69

Aceh Serambi Mekkah

329

otonomi luas, bukanlah suatu masalah yang meruntuhkan negara. Pengalaman menunjukkan negara Islam pada zaman Abbasiyah dapat menerapkan berbagai mazhab yang berbeda dan dapat menyelesaikan persoalan antara muslim dengan non muslim. Di Malaysia sekarang didapati perbedaan penerapan hukum antara satu wilayah dengan wilayah lain, semisal penerapan hukum sebat (cambuk) di Kelantan yang tidak diterapkan di wilayah lain. Hal ini yang barangkali tidak dikaji dengan seksama oleh pemerintah Pusat ketika itu dalam memperhatikan aspirasi rakyat Aceh. Pada sisi lain kita tidak dapat menyalahkan pemerintah semata-mata karena kalangan kelompok Islam sendiri memiliki perbedaan yang kadang-kadang tajam pula seperti yang terjadi antara Muhammadiyah dengan Nahdhatul Ulama yang semula bergabung dalam Masyumi. Kedua kelompok ini memiliki pengikut yang cukup besar jumlahnya. Kegoncangan besar dalam tubuh Masyumi terjadi pada bulan Mei 1952, pada saat itu NU mengikuti jejak SI meninggalkan Masyumi dalam satu Kongres di Palembang.71 2. Masalah Bentuk Pemerintahan Aceh Perjuangan rakyat Aceh untuk kemerdekaan dan kesetiaan ulama Aceh (PUSA) pada Republik Indonesia, didasari pada keikhlasan dalam rangka membentuk sebuah negara yang menjalankan syari‘at Islam. Padahal Aceh, ketika agresi Belanda kedua, memperoleh kesempatan untuk mendirikan Negara sendiri, yaitu Negara Sumatera Timur dalam bentuk federasi. Artinya Aceh akan menjadi sebuah negara bagian yang mengurus diri sendiri secara otonom. Ketika itu Teungku Mansur, wali negara Sumatera Timur, meyakinkan para pemimpin Aceh, terutama Daud Beureueh, untuk menerima tawaran Belanda dalam pembentukan negara yang demikian, namun Aceh tetap teguh pada pendiriannya yaitu bergabung dengan Republik Indonesia. Maka ketika harapan untuk menerapkan syariat Islam pupus, barulah Aceh pada tahun 1953 melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat. Pada permulaan perjuangan kemerdekaan, Aceh merupakan suatu keresidenan yang dipimpin Teuku Nya’Arif (Agustus 1945-Januari 1946) kemudian diganti oleh Teuku Muhammad Daud Syah (Januari 1946-Mei 1948). Ketika itu Aceh merupakan suatu kesatuan yang dengan penuh kebebasan mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana hasrat dan keinginan rakyat Aceh.72 Keadaan yang demikian tidak menimbulkan reaksi negatif terhadap pemerintahan Pusat, walaupun terjadi perebutan kekuasaan antara kalangan ulama PUSA dengan kaum uleebalang. Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, cukup memahami akan perjuangan rakyat Aceh dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ia pernah tinggal di Aceh ketika diserahi tugas memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Ia mengetahui persis perlawanan rakyat terhadap Belanda dan cita-cita ideologi negara yang diharapkan. Ia memperhatikan alasan penting dibentuknya provinsi Aceh: 1. Perkembangan sejarah Aceh, politik ekonomi dan kultural menghendaki pemeliharaan sendiri. 2. Perbedaan ethnologis dan agama di antara orang Indonesia dari daerah Aceh dan Tapanuli.

71 72

330

Ibid, hal. 37 . S. M. Amin, Sejenak Meninjau Aceh…, hal.75.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Atas dasar pertimbangan demikian Mr. Sjafruddin membuat ketetapan Wakil Perdana Menteri (WPM) Pengganti Peraturan Pemerintah pada tangal 17 Desember 1949 no. 8/ Des./WPM yang memecah Provinsi Sumatera Utara menjadi dua Provinsi, Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Timur/Tapanuli73. Untuk Provinsi Aceh diangkat Tgk. Daud Bereueh sebagai gubernur. Suasana ini sudah cukup menyejukkan keadaan di Aceh karena para pejuang telah menikmati hasil perjuangannya dan tinggal menyusun peraturan daerah yang berpihak pada rakyat. Tetapi belum sempat dicicipi nikmatnya datang berita dari Pemerintah Pusat bahwa ketetapan Wakil Perdana Menteri itu tidak sah.74 Pemerintahan yang baru terbentuk, setelah SoekarnoHatta kembali memimpin negara, mengadakan kompromi politik, antara kelompok yang ingin membentuk negara Republik Indonesia (RI) dengan kelompok Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam rangka membina kesatuan. Persetujuan itu melahirkan PP no. 21 tanggal 20 Agustus Tahun 1950 yang menetapkan bahwa Indonesia hanya terdiri dari 10 provinsi, tiga provinsi di antaranya di Sumatera, yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Akibatnya provinsi Aceh harus lebur dan tunduk kepada provinsi Sumatera Utara dengan ibu kotanya Medan75.Hal ini telah menjadi awal petaka besar bagi pemerintahan Aceh karena tidak dapat lagi mengatur daerah sendiri sesuai dengan kehendak dan tuntutan hati nurani rakyat. Ada kalangan dari Pemerintah Pusat berpendapat jumlah provinsi dalam republik ini perlu dibatasi. Mereka mengemukakan alasan seperti yang dinyatakan S.M. Amin: “Makin banyak jumlah provinsi makin besar pula kemungkinan tumbuhnya perpecahan dalam kalangan masyarakat, kata mereka yang berpendapat demikian”.76 Pendapat demikian sebenarnya amat keliru karena tidak melihat pada latar belakang kehidupan masyarakat suatu daerah dari segi kesamaan dalam agama, sejarahnya di masa yang lampau, budaya dan adat istiadat yang dianut. Sebenarnya rasa kecewa para pemimpin Aceh, sebelum pembubaran Provinsi Aceh, sudah terjadi beberapa bulan sebelumnya yaitu ketika pusat membubarkan Divisi X dalam kemiliteran dan urusan kemiliteran ditetapkan cukup satu brigade saja yang tunduk di bawah Divisi Bukit Barisan di Medan. Pemimpin Aceh dengan gigih berupaya meminta kepada pemerintah pusat, terutama melalui Markas Besar Angkatan Darat yang dipimpin kolonel A.H. Nasution, untuk membatalkan keputusan tersebut. Panglima kolonel Husen Yusuf datang sendiri menghadap KSAD untuk mempertimbangkan permintaan Aceh, namun ia memperoleh jawaban: “kalian orang militer yang wajib mematuhi segala titah dan mentaati segala perintah; patuhi dan taatilah perintah ini tanpa embel-embel”77. Jawaban demikian merupakan suatu keputusan sepihak yang mengisyaratkan tidak ada tawar menawar dan tolak tarik dalam Republik ini, daerah harus menunjukkan kepatuhan dan ketundukan pada pusat. Sehingga tidak ada yang namanya musyawarah dan hidup berdemokrasi antara pusat dengan daerah, antara pemerintah dengan rakyat, sejak dari awalnya muncul negara ini. Peraturan pusat adalah keputusan mutlak yang wajib dilaksanakan daerah dan rakyat. Demikian penilaian rakyat terhadap pemerintahan negara ini.

73

Ibid.,, hal. 76. Ibid., hal. 76. 75 Hasan Saleh, Mengapa…, hal 127. 76 S.M. Amin, Sejenak Meninjau Aceh, hal. 77. 77 Ibid., hal. 125-126. 74

Aceh Serambi Mekkah

331

Di lain pihak, hal yang tidak mendukung terbentuknya pemerintahan Aceh yang memiliki otonomi luas, sebagaimana yang diharapkan mayoritas rakyat, adalah persoalan dalam kalangan elit Aceh sendiri. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa di Aceh terdapat dua kekuatan yang sama-sama memiliki peluang dan kecakapan untuk memangku jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan. Mereka adalah kalangan uleebalang yang telah sangat lama berpengalaman dalam mengurus dan mengatur pemerintahan Aceh baik pada masa penjajahan Belanda ataupun ketika Jepang masuk ke Aceh. Mereka ini, selain memiliki pengalaman langsung juga mendapat pendidikan yang lebih baik karena Belanda mengutamakan putera-putera bangsawan pada sekolah yang dibangun dalam rangka mengatur kerja sama yang baik demi kepentingan Kolonial sendiri. Mereka sempat mengenyam pendidikan di tingkat menengah bahkan sampai ke jenjang tinggi di Belanda. Kelompok lainnya adalah PUSA, yang muncul kemudian dan tumbuh dengan baik pula di Aceh. Merekalah yang telah berusaha keras mendirikan madrasah-madarasah yang berkualitas ketika itu seperti Al-Muslim Peusangan, Sa‘adah Abadiyah Blang Paseh Sigli dan lain-lain. Pada awalnya kedua kelompok ini bekerja sama, tetapi tidak diketahui sebab yang pasti mengapa kemudian menjadi saling tidak percaya satu sama lain. Kedua golongan ini telah menunjukkan kualitas kemampuan mereka masing-masing, yang dapat dibuktikan dengan tetap memiliki posisi baik dan penting dalam pemerintahan ataupun pada lembaga-lembaga pendidikan sejak awal kemerdekaan sampai pada masa Orde Baru. Karena tidak ditemukan jalinan kompromi politik antara dua golongan ini menyebabkan Pusat mudah menggoyahkan dan menyepelekan tuntutan rakyat Aceh. Sebagai contoh, untuk melenyapkan kekuasaan kaum uleebalang, Husin al-Mujahid78 dan Tentara Pejuang Rakyat (TPR) yang dipimpinnya datang dari Idi ke Kutaraja, ditengah jalan diikuti oleh rombongan lain sehingga jumlah mereka bertambah besar. Tujuannya adalah untuk merebut Kutaraja yang pada saat itu yang menjabat sebagai residen adalah oleh T. Nya’ Arif. Beliau menanyakan apa maksud kedatangan Al-Mujahid ke Kutaraja dengan pasukan sedemikian banyak. Tanpa basa basi dijawab, “untuk membebaskan rakyat Aceh dari kaum feodal dan mendemokrasikan pemerintahan Aceh, dari rakyat oleh rakyat, sebagai ganti dari raja, dan

78

Pada masa remaja dikenal sebagai orang senang bertindak tegas walaupun berakhir dengan perkelahian, sehingga ia digelar dengan Husin Batat. Pada sisi lain dari kehidupannya ia dikenal orang yang berfikir cepat sehingga banyak orang menjulukinya dengan Abu Nawah. Ketika satu kali khatib jum‘at mengkafirkan orang yang memakai topi lakan, pantalon, dasi dan lainnya, ia melakukan protes pada sang khatib untuk turun dari mimbar. Akibatnya ia terpaksa berurusan dengan Ampon Chik Idi, namun ia dapat melepaskan dirinya dengan menyatakan bahwa sang khatib telah mengkafirkan Ampon Chik, sebab Ampon Chiklah yang sering memakai pakaian demikian. Dengan dalih demikian ia terbebas dari hukuman. Konon kabarnya pula ketika ia sedang berkhutbah dilihatnya orang yang tertidur mendengar khutbahnya , lalu ia turun dan memukul orang tersebut dengan alasan khutbah adalah ibadah seperti shalat dan tidak boleh tertidur ketika khutbah dibaca. Sebagian riwayat hidup Husin Mujahid dapat dibaca dalam buku Hasan Saleh, Mengapa… hal. 107-109. Penulis juga amat banyak mendapat informamsi dan perihal yang aneh-aneh tentang Husin Mujahid dari Tgk. Nyak Umar yang lama tinggal di rumahnya, seorang prajurit yang pensiun 1975 pada tingkat Sersan Mayor dan pulang ke kampungnya di Blangjruen. Salah satu contohnya ketika Husin Mujahid memegang Ummi (isterinya) untuk naik dari sungai, ada yang menegur “ayah sudah ambil wudhuk barusan”, Husen Mujahid menjawab “saya sudah kawin dengan dia”. Dalam hal ini Husin tidak menjawab “saya cenderung pada mazhab Hanafi”.

332

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

untuk raja. Saya akan kembalikan Aceh ini kepada rakyat, sebagai pemilik aslinya79. T. Nya’Arif yang memiliki jiwa besar memberi perintah kepada tentara Republik untuk tidak melakukan perlawanan apapun. Walaupun demikian T. Nya’Arif ditangkap dan dipenjarakan di Takengon. Pada bulan Maret 1946 Nya’Arif meninggal karena diabetes. Hal ini merupakan pukulan besar bagi kaum uleebalang terutama mereka yang melibatkan diri dalam perang Cumbok80. Dan perebutan kekuasaan antara kalangan uleebalang dengan kelompok PUSA terus berlanjut pada masa itu, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kaum PUSA. Kemenangan itu tidak disenangi oleh kalangan uleebalang, mereka menentang dan melakukan perlawanan. Reaksi keras muncul dari pihak oposisi yang berasal dari kalangan bangsawan Aceh. Pihak oposisi dipimpin oleh Sayid Ali Alsaqaf dan Waki Harun mengirim surat kepada Gubernur Sumatra dan mendesak agar diambil langkah-langkah meningkatkan mutu pemerintahan Daerah Aceh. Pada bulan Agustus 1948 dalam rangka kunjungan Soekarno ke daerah ini, mereka berusaha menggerakkan demonstrasi, tetapi upaya ini digagalkan oleh pihak penguasa81. Dengan alasan-alasan Pemerintah Pusat yang berpendapat bahwa dengan sedikitnya provinsi keamanan akan lebih terjamin ditambah lagi dengan ketidakstabilan yang terjadi di kalangan elit Aceh telah membuka jalan yang mudah bagi Pemerintah Pusat untuk membatalkan kembali wujud provinsi Aceh yang di SK-kan Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara. Hasan Sab, salah seorang delegasi Aceh yang datang ke Jakarta untuk meminta agar provinsi Aceh tidak dibubarkan, ia menyatakan: “setiap pintu telah kami ketuk, setiap hati telah kami bujuk, tapi hasilnya nol koma nol. Barangkali sudah takdir nama Aceh akan hilang dari permukaan bumi”, kata Hasan Sab sambil menangis terisak-isak. Mr. M. Rum menjawab: “di Acehpun terdapat suara –dari golongan raja-raja- yang menyetujui dibubarkannya Provinsi Aceh, malahan meminta agar keputusan Pemerintahan Pusat itu segera direalisasikan, sambil memperlihatkan setumpuk surat kepada Hasan Sab dan rombongan82. Pada tanggal 22 Januari 1951 Perdana Menteri M. Natsir datang ke Kutaraja, setelah sebelumnya mengirim M. Nur El-Ibrahimy untuk menenangkan situasi. Setelah berunding dan membujuk pemimpin Aceh, akhirnya tercapailah kesepakatan bahwa tuntutan otonomi Aceh tidak ditolak Pemerintah Pusat, tetapi akan diusahakan dan diperjuangkan terus secara integral. Sementara itu, Aceh tunduk di bawah Provinsi Sumatera Utara sebagai tindakan peralihan.83 Pada tanggal 23 Januari di depan corong RRI Perdana Menteri membubarkan provinsi Aceh dalam pidato singkatnya yang berbunyi: Bismillahirrahmanirrahim. Atas nama Allah seru sekalian alam dan atas nama Pemerintah, dengan ini saya umumkan bahwa sejak saat ini status Provinsi Aceh dicabut kembali dan seluruh kabupatennya digabungkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, Sekian. Wassalamu‘alaikum wa

79

Hasan Saleh, Mengapa…, hal 103. C. Van Dijk, Darul Islam, hal. 267. 81 Ibid., hal. 269. 82 Hasan Saleh, Menagapa…, hal 130. 83 Kelicikan pemerintah demikian mirip dengan politik Mu‘awiyah dengan ‘Amru ketika menurunkan Ali dari jabatan khalifah dan menggantikannya dengan Mu‘awiyah. Dengan kelicikan tersebut pada gilirannya Pemerintah Pusatlah yang menang dan tidak pernah memikirkan lagi permintaan dan tuntutan para pemimpin Aceh, sehingga menyebabkan Aceh mengangkat senjata terhadap Pusat. 80

Aceh Serambi Mekkah

333

rahmatullahi wabarakatuh.84 Adapun isi kesepakatan antara Muhammad Natsir dengan Daud Beuereueh adalah sebagai berikut: 1. Tuntutan otonomi Aceh tidak ditolak oleh Pemerintah Pusat. 2. Tuntutan otonomi Aceh tetap diusahakan dan diperjuangkan terus. 3. Pemerintah Pusat akan mengurus soal otonomi Aceh secara integral. 4. Tidak berkeberatan pembentukan Provinsi Sumatra Utara sebagai tindakan peralihan. Butir-butir perjanjian ini sebenarnya cukup memberi harapan yang cerah bagi rakyat Aceh. Namun harapan hanyalah sebuah impian yang tidak ada tanda-tanda akan terwujud. Citacita Aceh untuk mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan adat istiadat pupus sudah, harapan yang sangat didambakan dari masa pemerintahan presiden Soekarno pada awal kemerdekan dan ketika janji Natsir telah lenyap sama sekali. Pelaksanaan Syari‘at Islam sesuai dengan kendak hati nurani rakyat hanya tinggal dalam angan. Mulai tanggal 25 Januari 1951 Aceh harus tunduk pada Sumatera Utara dengan gubernurnya Abdul Hakim, sementara untuk Aceh dipimpin oleh seorang residen koordinator. Daud Beureueh sendiri dipanggil ke Jakarta untuk menjadi Gubernur yang diperbantukan pada kementerian Dalam Negeri.85 Ia tidak betah di Jakarta dan kembali ke kampungnya Usi, Beuereunun.86 Tidak jelas apa wewenang seorang gubernur yang diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri dan barangkali inilah yang menyebabkan ia memilih kembali ke kampung. Persoalan status Aceh tidak hanya sampai di situ, karena banyak bupati yang diganti oleh Gubernur Sumatera Utara, namun tidak terjadi reaksi yang berarti, pegawai dipindahkan ke Sumatera Utara, ibu kota provinsi, sementara prajurit dimutasikan ke daerah lain manakala prajurit dari luar didatangkan ke Aceh. Mutasi prajurit dilakukan karena Pemerintah Pusat khawatir akan terjadi sesuatu di Aceh baik cepat atau lambat.87 Demikianlah Pemerintah Pusat kurang memperhatikan kesatuan dan keunikan suatu masyarakat dalam semangat membangun daerah sendiri. Pemerintah lebih menekankan pada prinsip “Bhineka Tunggal Ika” yang cenderung ditafsirkan ingin mempersatukan segenap komponen masyarakat dalam segala hal. Ini adalah suatu yang bertentangan dengan sunnatullah, sebab sudah barang tentu setiap kelompok memiliki kebanggaan tersendiri yang seharusnya kelompok lain dapat menghargai dan menghormatinya. Kebanggaan tersebut harus ditranformasikan oleh pengambil kebijakan menjadi elemen yang dapat memperkaya khazanah kehidupan bernegara dan berbangsa. Para pemimpin yang duduk dalam Pemerintahan Pusat mengendalikan pemerintahan sangat sentralistik. Rakyat Aceh yang memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda dengan daerah lain tidak dapat menerima perlakuan demikian, sehingga mereka berani melakukan perlawanan walaupun dengan bekal yang amat terbatas, baik senjata, jumlah tentara dan segala bentuk persiapan. 84

Hasan saleh, Mengapa…, hal. 134. C. Van Dijck, Darul Islam, hal. 276-277. 86 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 134. Menurut Van Dijck ia tidak pernah pergi ke Jakarta, lihat Darul Islam, hal. 277. Memang Daud Beuereueh pernah datang ke Jakarta untuk menduduki jabatan baru tersebut namun dalam waktu yang relatif singkat. 87 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 135. 85

334

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

3. Perimbangan Ekonomi. Persoalan ekonomi amat sering memicu konflik, karena setiap kelompok ingin mendapat keadilan dan kewajaran dalam pembagian pendapatan, kekayaan dan kesempatan mendapatkan hasil. Maka Gregory Grossman menyatakan bahwa “dan setiap reformasi dan revolusi, atau perlawanan terhadapnya, didorong terutama oleh pertimbangan mengenai pembagian”.88 Persoalan yang timbul di Aceh mulai dari awal kemerdekaan sampai sekarang, salah satu penyebabnya adalah ketidakadilan dan kurangnya perimbangan antara Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam menata ekonomi. Aceh sebagaimana dimaklumi dikenal dengan sebutan “daerah modal”. Modal pertama adalah hanya Aceh dan Banten yang merupakan daerah yang tidak dapat dijajah kembali oleh Belanda ketika melakukan agresinya yang ke II setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Modal kedua yang paling penting pula adalah pembelian dua pesawat bagi Republik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari serangan penjajahan dan memudahkan jangkauan antar pulau bagi pemimpin negara ketika itu. Ini merupakan jasa besar Aceh yang banyak dikemukakan dalam berbagai lietaratur sejarah Aceh. Pertanyaannya adalah dari mana Aceh memperoleh dana yang begitu besar ketika itu untuk menyumbang bagi republik ini. Ini penting diketengahkan dalam rangka melihat ambisi Pemerintah Pusat dalam mencaplok perekonomian daerah. Aceh ketika itu adalah salah satu daerah yang kaya dengan perkebunan getah peningggalan Belanda. Setelah Belanda tidak memiliki kekuasaan di Indonesia perkebunan tersebut diambil alih pengelolaannya oleh Pemerintah Daerah. Hasilnya dipergunakan untuk menjalankan Pemerintahan Darurat ketika itu yang meliputi roda pemerintahan pusat dan daerah yang belum memiliki sumber dana negara yang memadai. Menurut S.M. Amin getah dibeli oleh saudagar-saudagar dengan harga tunai kemudian para saudagar tersebut bersabar menunggu hasil getah secara cicilan. Setelah getah tersebut banyak barulah dijual ke Semenanjung Malaya termasuk pula Singapura. Penjualan yang dilakukan tidaklah mudah karena kapal perang Belanda terus mengawasi perdagangan yang mereka anggap penyeludupan hasil kerja keras mereka di bumi Aceh89. Pengiriman barang-barang tersebut, dari pihak pemerintah Indonesia dikawal oleh Mayor Angkatan Laut, John Lie90. Para saudagar tersebut menghadapi resiko besar karena jika kapal perang Belanda memergoki barang ekspor mereka, barang tersebut akan disita dan orangnya dianiaya bahkan dipenjarakan. Para saudagar ini tidak hanya mengharapkan keuntungan dari perdagangan ini tapi lebih didorong oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara. Keberanian dan pengorbanan saudagar-saudagar tersebut sebagaimana diutarakan S.M. Amin menjadi tidak berarti karena Pemerintah Pusat tidak menghargai usaha mereka sebagaiman mestinya. Pemerintah Pusat mencabut hak pengelolaan perkebunan dari Pemerintah Daerah, sementara modal yang telah ditanam para saudagar tersebut tidak dibayar tetapi dialihkan kepada Pemerintah Daerah. Tindakan tersebut terpaksa dipengadilankan oleh saudagar-saudagar seperti Muhammad Saman, Nyak Neh, Hasan Pim dan Abdul Gani Mutiara. 88

Gregory Grossman, Sistem Sistem Ekonomi (Alih bahasa Anas Sidik), (Jakarta: Bumi Aksara: 1987) hal. 11. 89 Penjualan keluar negeri ini dianggap legal oleh pemerintah daerah, manakala Belanda masih menganggap sebagai rampasan terhadap hak perkebunan mereka.

Aceh Serambi Mekkah

335

Di antara mereka hanya Muhammad Samanlah yang berhasil menuntut Pemerintah pusat sementara yang lain, gagal walaupun telah melakukan banding.91 Demikianlah realitanya bahwa pengorbanan dan perjuangan yang penuh resiko yang dilakukan para saudagar ketika negara dalam keadaan darurat tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat dengan gampang mengalihkan semuanya ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Dalam hal ini Pemerintah Pusat melakukan dua kekeliruan besar, yaitu pertama mencabut kekayaan daerah untuk dikelola oleh Pusat dengan dalih itu adalah milik negara dan kedua Pemerintah Pusat setelah mengambil alih perkebunan itu tidak memandang sedikitpun terhadap upaya Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan membiayai pemerintahan darurat, dan membiarkan para saudagar yang telah membantu negara dengan ikhlas menjadi rugi, tanpa memberikan sedikitpun penghargaan terhadap mereka. Tindakan demikian menimbulkan penilaian dari masyarakat di daerah bahwa pemerintah telah melakukan kezaliman terhadap daerah, bahkan ada yang menilai lebih keras lagi bahwa tindakan semacam itu adalah penjajahan Jawa terhadap daerah. Selain perkebunan, Aceh juga memiliki tambang minyak bumi di Kuta Binje dan kilang ini juga dikelola oleh Pemerintah Pusat. Hal ini bukan saja terjadi di daerah Aceh, tapi juga di daerah luar Aceh seperti tambang minyak Pangkalan Berandan. 4. Pergolakan dan Peredamannya 4.1 Muncul Pergolakan Dari sejumlah rentetan tindakan Pemerintah Pusat dalam merespon tuntutan-tuntutan Aceh berupa pemberlakuan Syari‘at Islam, pemerintahan otonomi seluas-luasnya dan jalan kompromi dalam menentukan pengelolaan hasil pendapatan daerah, tidak memuaskan masyarakat Aceh. Tokoh-tokoh Aceh pada waktu itu merasakan semuanya berujung pada kebuntuan dan respon Pusat yang negatif. Akibat perlakuan Jakarta yang demikian dan didukung lagi oleh ajakan baik dari luar Aceh untuk mendirikan Negara Islam Indonesia ataupun dari dalam Aceh sendiri yang melihat Pusat setengah hati memperhatikan daerah maka Daud Beuereueh bangun mengangkat senjata terhadap Republik Indonesia, padahal semula dipertahankannya secara habis-habisan. Bagaimana cara mematangkan pemberontakan tersebut seperti yang digambarkan sebagai berikut: Tgk. Daud Beureueh turun ke seluruh Aceh untuk mematangkan dan menyulut pemberontakan. Di dalam suatu tabligh akbar yang diadakan di Beureunuen, setelah memaparkan bagaimana pentingya status provinsi otonomi untuk Aceh, ia juga membakar semangat pendengarnya sedemikian rupa sehingga jika waktu itu juga ia memerintahkan semua rakyat naik gunung, tentulah tanpa pikir panjang lagi rakyat akan melakukannya. Selain mematangkan moral rakyat, segala jenis senjata pun mulai dikumpulkan. Devisi militer dibentuk dengan kedok “Pandu Islam”92 Semangat rakyat ketika itu memang dapat dibangkitkan, namun senjata yang dibutuhkan untuk melawan TNI tidak memadai. Walaupun demikian Daud Beuereueh tetap

90

S.M. Amin, Sejenak Meninjau Aceh…, hal. 71. Lihat S.M. Amin dalam Sejenak Meninjau Aceh, hal. 71-72. 92 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 150. 91

336

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

memproklamasikan DI/TIII Aceh pada tanggal 21 September 1953,93 sementara Van Dijk dengan mengutip majalah Asia Newsletter menyebutkan pada 10 Oktober 1953.94 Soekarno yang lebih awal mengetahui akan hal yang akan terjadi di Aceh mengunjungi daerah ini bersama wakilnya Hatta pada bulan Maret 1953, tetapi tidak banyak dapat mengatasi ketegangan karena ia lebih banyak menguraikan pidatonya di Amuntai.95 Di antara isi pidato Soekarno di Amuntai, seperti telah disebutkan dalam penjalasan yang lalu, tidak akan mendirikan negara Islam Indonesia. Isi pidato tersebut telah menimbulkan reaksi rasa sakit hati ulama Aceh. Persoalan tidak akan didirikan negara Islamlah yang sesungguhnya bertolak belakang dengan pemikiran Teungku Daud Beureueh dan kawan-kawannya dari kalangan ulama Aceh di mana mereka memiliki prinsip bahwa suatu masa ajaran Islam harus dapat ditegakkan. Keutuhan pemikiran Teungku Beureueh demikian barangkali sama dengan pemikiran politikus Islam Pakistan Muhammad Asad yang menyatakan: Dalam kehidupan setiap bangsa, cepat atau lambat, pasti akan datang suatu masa, di mana nanti kiranya bangsa itu akan mendapat kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, suatu masa di mana akan ada kepastian ke arah mana akan dituju dan masa depan bagaimana yang akan dicapai; ketika mana akan terbebas dari tekanan nasib malang, dan di waktu mana nanti tak akan ada satu kekuatan apapun di atas permukaan bumi ini yang sanggup menahan sesuatu bangsa dari memilih jalan kehidupan yang disukainya.96 Demikianlah barangkali yang akan terjadi pada nasib rakyat Aceh atau bahkan pada bangsa Indonesia seluruhnya dan barangkali juga pada sejumlah negara Islam yang rakyatnya mengharapkan syari‘at Islam mesti tegak di bumi Allah sementara orang luar mengatur kebalikan dari kehendak nurani ummat. Ketika kekuatan dan kekuasaan rakyat muncul merekalah yang akan menentukan nasib bangsa mereka sendiri bukan ditentukan oleh segelintir elit politik yang lebih banyak memperhatikan kepentingan kelompok dan negara lain. Berdasarkan pemikiran dan komitmen demikian Teungku Daud Beuereueh melakukan serangan terhadap pos-pos polisi Republik Indonesia. Dalam hal ini Van Dijk mengambarkan: Selama dua minggu pertama pemberontakan, kota kecil dan kota besar diserang, termasuk Banda Aceh. Rencana menyerang kota yang belakangan baru diketahui polisi sehari sebelum malam pemberontakan dimulai, yaitu 19 September. Di pantai timur serangan dipusatkan pada kota-kota yang tempatnya pada jalan kereta api dari Banda Aceh, lewat Seulimum dan Aceh Besar, Sigli dan Meureudu di Pidie, Biereun dan Lhokseumawe di Aceh Utara, Idi, Peuereulak dan Langsa di Aceh Timur menuju ke Medan. Kota Peureulak diduduki pasukan pemberontak yang dipimpin Ghazali Idris tanpa suatu perlawanan pun dalam waktu dua jam. Pada tempat-tempat yang strategis diadakan penjagaan dan bendera Darul Islam pun dikibarkan dari gedung-gedung penting di kota itu. Sesudah itu dan beberapa hari berikutnya kota-kota yang berdekatan Idi dan Bayeuen pun direbut lagi-lagi tanpa perlawanan sedikit pun. Pendudukan semua kota ini banyak dipermudah dukungan yang diperolehnya kaum pemberontak dari sejumlah pegawai negeri setempat. Di Peureulak asisten

93

Hasanuddin Yusuf Adan, Tamddun &Sejarah, hal. 65. Van Dijk, Darul Islam…, hal. 285. 95 Ibid., 286. 96 Kholid Santosa, Dasar Negara Islam Indonesia, Hal. 335 94

Aceh Serambi Mekkah

337

wedana A.R. Hasan, dan di Idi inspektur polisi Aminuddin Ali yang membantu kaum pemberontak.97 Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa rakyat Aceh secara umum bersamasama dengan aparat pemerintah daerah lebih cenderung mendukung didirikan sebuah negara yang didasarkan pada hukum Islam. Ini terbukti dengan amat mudah mengajak mereka untuk merebut republik ini dari kekuasan kaum sekular untuk tunduk kepada ajaran Islam. Memang sikap dan tindakan demikian pasti tidak disenangi oleh Pemerintah Pusat yang para pemimpinnya lebih banyak dipengaruhi sekularisme dan bahkan ketika itu ada yang dipengaruhi Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagi masyarakat Aceh kapan saja diajak ke arah menegakkan hukum Islam pasti akan mendapat respon positif. Perjuangan semacam ini, artinya untuk menegakkan sebuah negara Islam, sudah barang tentu tidak akan mendapat dukungan dari negara mana pun dalam perkembangan dunia yang dikuasai oleh sistem Kapitalis dan Komunis atau Sosialis hampir di seluruh belahan dunia. Sebab kebangkitan Islamlah yang paling ditakuti oleh negara-negara non muslim, khususnya negaranegara Barat. Mereka berpikir jika Islam bangkit maka kekejaman akan meliputi dunia dan tidak terpeliharanya hak-hak asasi manusia (HAM) akibat pemberlakuan hukum Islam, demikianlah yang digembar-gemborkan dalam dunia modern sekarang. Sehingga perjuangan yang dilakukan oleh Daud Beureueh ini sangat sulit untuk mendapatkan bantuan, karena pemikiran yang dimiliki oleh para pemimpin di dalam negeri juga cukup sulit menerima hukum Islam yang seolah-olah tidak rasional dan tidak sejalan dengan perkembangan dunia modern sekarang. Karena tidak ada bantuan atau dukungan dari dunia luar maka perjuangan penegakan Darul Islam Aceh lebih mudah dipadamkan oleh Tentara Republik. Tentara Islam Indonesia (TII) terdesak dan terpaksa keluar dari kota-kota yang telah mereka kuasai. Vandijk menggambarkan keadaan ini: “ternyata mudah saja pasukan Pemerintah Republik dalam serangan balasan menghalau pasukan Darul Islam ke luar kota-kota kecil dan besar ini. Beberapa kota dikuasai kembali dalam beberapa hari, yang lain lebih lama tahan. Tetapi dengan jatuhnya Takengon, Tangse dan Gumpang pada akhir November, kaum pemberontak telah terusir dari daerah-daerah perkotaan. Mereka mengundurkan diri ke daerah pedalaman”.98 Ini bukan berarti peperangan telah dimenangkan oleh tentara Republik secara mutlak, ataupun semangat TII telah melemah, karena mereka terus melakukan perang gerilya untuk mewujudkan cita-cita sebuah negara yang disebut “Darul Islam”. Pihak pemerintah juga cukup sulit menghadapi TII Aceh sehingga terpaksa melakukan berbagai upaya. Selain militer memburu gerilyawan, mereka juga menangkap rakyat yang tinggal di kampung karena dicurigai terlibat dalam pemberontakan. Penangkapan dalam jumlah yang demikian banyak hingga pada akhir Maret 1954 mencapai 4.666 orang. Hal ini telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah karena tempat untuk menahan mereka dalam rangka pemeriksaan tidak dapat menampung jumlah yang demikian besar. Para pemeriksa yang ada di Aceh juga jumlah mereka tidak memadai. Sebagian besar yang ditangkap ternyata orang-orang yang tidak bersalah dan hanya didasari pada kecurigaan yang kecil.99

97

Van Dijk, Darul Islam, hal. 289-290. Ibid., hal. 291. 99 Ibid., hal. 293. 98

338

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Selain tekanan yang dilakukan oleh militer, Gubernur Sumatera Utara S. M. Amin berupaya mencari jalan tengah dengan mengusulkan kedua pihak untuk melakukan jalan damai. Caranya adalah melalui surat menyurat yang dilakukan berkali-kali dengan Daud Beureueh dan kawankawan. Isi surat tersebut tanggal 23 Agustus 1954 yang kemudian diajukan kepada pemerintah pusat adalah: 1. Menghentikan gerakan perlawanan dengan senjata, 2. Menyerahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia segala persenjataannya, 3. Menjumpai Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan pihak Pemerintah Republik Indonesia harus bersedia: 1. Mengakui hak rakyat Aceh yang berusaha membangun suatu Negara Islam asalkan saja dengan usaha-usaha yang tidak menyerupai kekerasan, 2. Lebih memperhatikan kepentingan Daerah Aceh dari yang sudah-sudah, 3. Tidak mengadakan tindakan kriminal terhadap siapa saja yang telah tersangkut dalam gerakan perlawanan dengan senjata.100 Lebih lanjut S.M. Amin melanjutkan penjelasannya bahwa surat tersebut direspon pihak Aceh dan mengusulkan agar penyelesaian Darul Islam tidak hanya terbatas pada Aceh tapi harus mencakup Pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi serta menghendaki “perlindungan internasional atas keselamatan dan kemerdekaan serta kebebasan para anggota delegasi pihak yang mendirikan Negara Islam Indonesia”. Usul ini disampaikan kepada Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamijoyo dan Menteri Agama K.H. Masjkur, namun tidak mendapat jawaban dari mereka.101 Ada tiga hal penting yang dapat dipahami dari pernyataan Amin ini yaitu: 1. Daud Beureueh memiliki wawasan luas dalam masalah pembentukan sebuah negara Islam. Artinya dia tidak berfikir ajaran Islam hanya akan bersemi di bumi Aceh saja, namun lebih penting membangun suatu negara Islam yang besar. Tidak diketahui dengan pasti apakah dia berpandangan pentingnya tegak sebuah negara Islam besar setelah Turki Usmani runtuh. 2. Para pemimpin Indonesia tidak pernah berfikir sedikitpun untuk merubah bentuk negara dari Pancasila menjadi negara Islam sehingga Syariat Islam wajib dijalankan bagi para pemeluknya. 3. Persoalan Aceh dan wilayah lain di Indonesia adalah persoalan dalam negeri yang tidak perlu diminta bantuan pihak internasional untuk menyelesaikannya. Dan barangkali pihak internansionalpun tidak akan mendukung terbentuknya Negara Islam Indonesia. 4.2 Upaya Meredam Permusuhan Pada pertengahan 1956 para perwira asal Aceh dari mantan Devisi X yang telah disebarkan ke luar Aceh, mengadakan reuni di Yogyakarta. Keputusan resmi, antara lain, mengusulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah Aceh secara damai. Untuk itu diusulkan agar para perwira itu ditugaskan kembali ke Aceh. Kongres mahasiswa Aceh seluruh Indonesia yang dilangsungkan di Medan juga menuntut diadakannya perdamaian.102 Alhasil rapat itu terus dikembangkan sehingga Jakarta meresponnya dan pada gilirannya nanti melahirkan ikrar Lam

100

S. M. Amin, Sejenak Meninjau Aceh.., hal. 92. Ibid., hal. 93. 102 Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 307-308. 101

Aceh Serambi Mekkah

339

Teh. Salah seorang putera Aceh yang mencintai daerah dan berjiwa Islamisme dan sekaligus nasionalisme adalah A.Hasjmy. Pada tahun 1957 beliau dilantik menjadi gubernur Aceh atas permintaan kabinet Ali Sastroamidjojo dan disetujui oleh Soekarno.103 Ketika itu pusat agak melunak dan menetapkan kembali Aceh menjadi sebuah provinsi. A. Hasjmy menerima jabatan ini dengan keinginan untuk membangun Aceh secara lebih maju dan bermartabat. Penulis masih merekam ucapannya dalam sebuah upacara, ketika dia menjabat sebagai Rektor IAIN ArRaniry, “Saya siap menerima jabatan Gubernur Aceh dan saya akan membawa air ke Aceh bukan minyak yang menyulut api”. Artinya ia berupaya dengan sekuat tenaga untuk menciptakan kedamaian di Aceh sebagaimana dikehendaki oleh ajaran Islam. Sementara di Jakarta A. Hasjmy dilantik menjadi gubernur, di Aceh dilakukan perundingan di rumah Ayah Kade, di Lam Teh, seorang Wedana Darul Islam wilayah ini. Dari pihak Darul Islam Aceh, hadir Perdana Menteri Tgk. Hasan Aly dan kepala staf (panglima angkatan perang, Hasan Saleh sendiri, pen.) sebagai juru runding. Menurut Sjamaun Gaharu disamping yang disebutkan tadi hadir pula Ishak Amin dan menteri Penerangan DI/TII Abdul Gani Mutiara. Dari pihak Pemerintah dihadiri oleh komandan Resimen I Sjamaun Gaharu, Kepala Kepolisian Aceh, Komisaris Besar Polisi M. Isa, Kapten Abdullah Sani, dan Kapten Usman Nyak Gade, dan Sjamaun menambahkan lagi Ismail.104 Dalam perundingan yang agak lama dan semula cukup menegangkan pada malam itu, dalam kebuntuan Pawang Leman bersuara dengan keras: “Kalau bapak-bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini, supaya kita puas, dan agar cucu kita di belakang hari nanti akan menuduh kita sebagai pengkhianat, dan orang yang tidak bertanggung jawab”.105 Setelah itu perundingan berjalan lagi dan menghasilkan suatu rumusan yang berbunyi: BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM KAMI PUTERA-PUTERA ACEH DI PIHAK MANA PUN KAMI BERADA, AKAN BERJUANG SUNGGUH-SUNGGUH UNTUK: 1. MENJUNJUNG TINGGI KEHORMATAN AGAMA ISLAM 2. MENJUNJUNG TINGGI KEHORMATAN DAN KEPENTINGAN RAKYAT ACEH 3. MENJUNJUNG TINGGI KEHORMATAN DAN KEPENTINGAN DAERAH ACEH. Hasil rumusan tersebut kemudian disepakati dengan judul “Ikrar Lam Teh”.106 Dalam gerakan DI/TII Aceh pada tahun 1959 sudah nampak dengan jelas dua kelompok yang berbeda dalam cara membentuk negara namun sama dalam visi dan misi untuk Aceh.

103

Reoslan Abdulgani, “Prof. Ali Hasjmy Sebagai Pembangun Jembatan Kepercayaan Antara Pusat dan Daerah”, dalam buku Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) hal. 18. 104 Tidak ada perbedaan antara yang dikemukakan oleh Hasan Saleh dengan Sjamaun Gaharu, hanya dari segi jumlah yang hadir saja Hasan tidak menyebutkan secara lengkap. Penjelasan Sjamaun dapat dilihat dalam Ramadhan KH. Dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan: 1995), hal.338. 105 Ibid., hal 338. 106 Hasan Saleh, Mengapa, hal. 309-310.

340

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Kelompok Daud Beureueh ingin melanjutkan peperangan dengan senjata sampai al-haq terwujud di bumi Aceh, sedangkan Hasan Saleh ingin menempuh jalan diplomasi.107 Sebenarnya secara pribadi, Hasan Saleh telah berbeda dengan Daud Beureueh dalam PEMILU 1955. Daud Beureueh memboikot PEMILU sedangkan Hasan Saleh menginginkan agar rakyat mengikutinya dengan syarat harus memenangkan MASYUMI yang membawa aspirasi pembentukan negara Islam di Indonesia.108 Perbedaan ini akhirnya melahirkan Dewan Revolusi DI/TII Aceh yang akan berunding dengan misi Pemerintah Pusat yang diketuai oleh Mr. Hardi.. Hardi melukiskan bahwa perundingan dengan Dewan Revolusi cukup menegangkan, karena ketua Dewan Revolusi, Ayah Gani, mengecam Pemerintah Pusat dengan nada dan suara yang emosional yang disusul dengan tuntutan-tuntutan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ayah Gani dan anggota Dewan Revolusi lainnya pada hakikatnya telah melecehkan utusan Pemerintah Pusat,109 demikian tulis Hardi karena geramnya pada Dewan Revolusi. Barangkali Hardi yang tinggal di Jakarta kurang memahami apa yang sesungguhnya terjadi di daerah Aceh dan janji Pemerintah Pusat kepada Aceh, permintaan daerah yang tidak dipenuhi oleh Pemerintah Pusat dan tindakan prajurit TNI di lapangan. Hal ini dapat dlihat dalam penjelasan yang lalu tentang sikap Sjafruddin yang pernah tinggal di Kutaraja dan cukup memahami watak rakyat Aceh serta arah perjuangan mereka, sehingga ia berani menggunakan hak istimewanya sebagai wakil perdana menteri untuk menjadikan daerah Aceh sebuah provinsi yang berdiri sendiri. Selanjutnya Hardi menawarkan kepada Dewan Revolusi sebagai berikut: 1. Mengenai status daerah, Misi Pemerintah hanya dapat memberikan otonomi yang luas kepada Daerah Swatantra Aceh berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang Otonomi dan Desentralisasi”. 2. Dalam rangka pemberian otonomi luas, kepada Daerah Swatantra Aceh dapat diberikan wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk mengurus soal-soal mengenai pendidikan Agama, pendidikan umum serta pengembangan kebudayaan dan peradatan. 3. Tuntutan Dewan revolusi agar “Pemerintah mewajibkan umat islam Aceh menjalankan syari`at Islam sesuai dengan Piagam Jakarta” tidak dapat dipenuhi, karena hal itu merupakan pemikiran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 4. Mengingat pemberian otonomi luas kepada Daerah Swatantra Aceh untuk mengurus bidang: pendidikan agama, pendidikan umum, kebudayaan dan peradatan, maka Daerah Swatantra Aceh dapat disebut: Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang sifatnya berbeda dengan daerah Istimewa Yogyakarta. 5. Sebagai bukti bahwa Pemerintah Pusat memiliki itikad baik untuk mendorong peningkatan pembangunan di masyarakat tanah Rencong, Misi Pemerintah telah memberikan dana

107

Dapat dibaca lebih lanjut dalam Hardi SH, “Penyelesaian Gerakan Darul Islam Secara Damai”, dalam Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan raya Dunia, hal. 60-61 dan Hasan Saleh, Mengapa…, hal. 310. Kalangan garis keras kemudian sering menyesali turunnya Hasan Saleh untuk berunding karena mereka berpendapat kemenangan pasti akan terwujud dengan perang asalkan tidak terjadi perpecahan dalam kalangan prajuri DI/TII. Demikian sering diceriterakan oleh mantan prajurit TII pada akhir tahun 70-han ketika menyikapi gerakan Hasan Tiro. 108 Hasan Saleh, Mengapa.., hal.368 109 Hardi, “Penyelesaian Gerakan Darul Islam Secara Damai”, hal. 62-63.

Aceh Serambi Mekkah

341

kompensasi sejumlah 88,4 juta rupiah.110 Selanjutnya Pemerintah menggunakan perantara yang dapat menjembatani mereka dengan Dewan Revolusi yaitu Zaini Bakri dengan tujuan mengetahui sikap dewan ini terhadap tawaran pemerintah. Pembicaraan ini pernah dihentikan oleh Gubenur A.Hasjmy pada malam 25 Mei 1959 agar masing-masing mereka dapat berpikir lebih jernih. Pihak Dewan Revolusi pernah meminta agar Aceh dijadikan Provinsi Islam sebagai bagian dari Republik Indonesia, namun utusan dari Pemerintah Pusat tetap pada pendiriannya. Keesokan malamnya barulah pihak Dewan Revolusi menerima tawaran Pemerintah Pusat tersebut dan seluruh unsur di Aceh kembali dalam Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Dengan demikian Aceh menjadi daerah yang aman kembali. Hasjmy yang menjadi Gubernur Aceh ketika itu menggunakan kesempatan emas awal pemberian keistimewaan ini pada Aceh dengan mendirikan Kota Pelajar Mahasiswa (Koplema) Darussalam. Ia langsung dapat mendirikan dua lembaga perguruan tinggi yaitu Universitas Syiah Kuala yang dinisbahkan nama ini pada Syekh di Kuala yaitu Tengku Abdul Rauf al-Singkili yang menjabat al-Qadli Malikul ‘Adil pada masa Ratu Safituddin. Di sampingnya dibangun sebuah institut yang dinamai Institut Agama Islam Ar-Raniry dengan dinisbahkan pada seorang mufti besar kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani. Dua lembaga ini yang letaknya berdampingan diibaratkan bagaikan bilik jantung sebelah kanan dan sebelah kiri di mana kedua-duanya sama-sama berfungsi menggerakkan seluruh tubuh. Begitu pula dua lembaga ini diharapkan mampu menggerakkan seluruh komponen masyarakat Aceh. Jasa baik, manfaat dan peran kedua lembaga ini telah dirasakan oleh rakyat Aceh. Ini merupakan suatu usaha gigih gubernur, pada awal perwujudan keistimewaan, yang agak mudah direalisasi oleh Pemerintah Pusat ketika itu. Buktinya IAIN ArRaniry merupakan lembaga pendididikan tinggi yang ketiga disahkan oleh Pusat setelah Jakarta dan Yogyakarta. Setelah suasana Aceh menjadi damai, keistimewaan bagi Aceh dan otonomi luas hanya dirasakan oleh masyarakat sebagai sebuah simbol nama yang tidak memiliki ruh untuk digerakkan. Tidak ada yang namanya istimewa dalam bidang pendidikan, agama dan adat-istiadat jika dibandingkan dengan daerah lain. Artinya tidak pernah dirasakan unsur keunggulan pendidikan, kelebihan pelaksanaan agama dan keistimewaan dalam adat di daerah ini. Barangkali, Pemerintah Pusat berpendapat bahwa pemberian dan pengakuan nama sudah cukup berarti bagi rakyat Aceh. Berbeda dengan Pemerintah Daerah, tidak cukup hanya dengan pengakuan saja tetapi adanya realisasi dari ketiga keistimewaan yang telah diberikan tersebut. Penyediaan sarana, fasilitas dan finansial yang memadai itulah yang paling utama untuk menunjang terlaksananya sebuah aturan yang telah ditetapkankan. Sikap Pemerintah Pusat yang seperti ini bertentangan dengan tuntutan Tgk. Daud Beureueh melalui gerakan senjata yaitu agar Pemerintah Pusat memberikan otonomi seluas-luasnya bagi Aceh termasuk mengelola pendapatan daerah sendiri sehingga keistimewaan tersebut dapat dilaksanakan. Bagi rakyat Aceh secara umum mengklaim hal demikian sebagai suatu penipuan Pemerintah Pusat dalam rangka menentramkan reaksi perlawanan kekerasan di Aceh.

110

342

Ibid., hal. 64-65.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

MASA ORDE BARU Partai Komunis Indonesia (PKI) diakui keberadaannya di Indonesia pada masa Presiden Pertama, Soekarno, yang mempopulerkan NASAKOM sebagai dasar masyarakat Indonesia, artinya dalam negara ini diakui keberadaan kaum nasionalis, agama dan komunis. Ketiga kelompok ini tidak dapat bersanding dengan baik bahkan saling bersaing dalam perebutan kekuasaan di tanah air yang kadang-kadang kelihatan berjalan secara wajar tetapi kadang-kadang juga mengarah kepada kekerasan. Keberadaan faham Komunis pada hakikatnya bertentangan dengan dasar sila pertama yang menyatakan adanya Tuhan bagi rakyat Indonesia, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kaum Nasionalis dan Agamis, menerapkan sistem demokrasi yang salah satu contohnya adalah melalui Pemilihan Umum (PEMILU) yang jujur. PEMILU Indonesia pertama sekali dilakukan pada tahun 1955 yang diikuti oleh 28 partai, termasuk didalamnya partai komunis. Dalam PEMILU ini telah menyaring empat partai besar dengan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 257 dan perimbangan kekuatan dalam DPR sebagai berikut: PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi) dan PKI (39 kursi), selebihnya untuk partai-partai lain.111 Melihat kepada kekuatan ini, sebenarnya golongan Islam masih mendominasi kursi-kursi di DPR jika Masyumi dengan NU bergabung dalam upaya membangun keislaman negara ini. Tetapi ketidaksamaan visi dan misi dua kelompok membuat mereka tidak bisa bersatu dan hal ini terus berlanjut sejak awal kemerdekaan sampai sekarang. Persoalan ini tidak berdampak langsung bagi pemerintahan dan rakyat Aceh karena masyarakat daerah ini tidak terlalu antusias mendukung salah satunya. Pada masa kabinet Ali Sastriamidjojo-Roem dan Ilham Khalid, PKI tidak diikutsertakan sehingga mereka ingin menguasai negara ini melalui kudeta. Mereka melakukan tindakan kekerasan dan membunuh sejumlah jenderal besar yang berpengaruh dalam partai-partai Islam. Ketika itu suasana cukup tegang sebab Presiden dianggap telah menyimpang dari UUD 1945 maka Soekarno dengan tekanan mahasiswa dan didukung pula oleh TNI/AD serta kekuatan politik sipil terpaksa meminta TNI/AD untuk meredam situasi maka lahirlah SUPERSEMAR. Hasil Surat Perintah Sebelas Maret ini mengantarkan Soeharto yang sedang menjabat kepala Staff Angkatan Darat menjadi Pejabat Presiden. Soeharto pertama-tama melakukan pembersihan negeri ini dari PKI untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat indonesia. Setelah itu ia mengadakan pemilu I pada tahun 1971 dan dimenangkan oleh GOLKAR. Pemilu-pemilu selanjutnya terus dimenangkan oleh GOLKAR yang sering disebut oleh para pejabat di Aceh dengan kemenangan Orde Baru, maka Soeharto tetap pada kursi kepresidenannya sampai tahun 1998. Haluan politik Orde Baru perlu diketahui dalam menyingkapi mengapa Aceh bergolak kembali melawan pemerintah Pusat. PKI di Aceh bersikap sangat kejam dan disebut kaum murtad di bumi Serambi Mekah ini karena semua orang Aceh adalah muslim dan keluar dari Islam menurut hukum Islam telah halal darahnya. Inilah yang difatwakan MUI Aceh atas permintaan Komandan militer Aceh Ishak Juarsa112. Setelah itu terjadilah pembantaian kelompok ini yang telah melayangkan nyawa yang 111

A. Syafii Maarif, Islam dan Politik Indonesia, hal. 41. Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Prasaran Pada Musyawarah Alim Ulama Se Daerah Aceh, tanggal 17-18 Desember 1965. 112

Aceh Serambi Mekkah

343

cukup besar jumlahnya. Dengan adanya fatwa demikian masyarakat awam cukup antusias berpartisipasi melenyapkan orang-orang yang telah terdaftar sebagai anggota partai komunis. Berbekalan dengan pedang, parang dan pisau mereka mencari orang-orang yang berlabel PKI tanpa ada pemeriksaan. Mereka dikejar, ditangkap dan banyak yang dibunuh. Ketika itu seorang guru sebagai saksi hidup pembantain tersebut pada tahun 1968 sempat menyatakan bahwa perlakuan rakyat yang demikian telah salah. Orang-orang yang akan digorok lehernya terlebih dahulu disuruh mengucap “Lailahaillallah” agar orang tersebut mati dalam iman. Menurut “Tgk. Yunus Benseh” (alm.) orang yang telah mengucap dua kalimat syahadat tidak boleh dibunuh lagi.113 Kronologis kejadian yang demikian lebih disemangati rasa kefanatikan pada Islam namun kurang memahami ajaran Islam yang sesungguhnya, bahkan sebagian dari para korban adalah orang-orang yang tidak berdosa. 1. Sikap Politik Orde Baru Politik yang dalam bahasa Arab disebut dengan “al-Siyasah” secara bahasa bermakna mengendalikan dan menuntun. Ini bermakna bahwa politik adalah ilmu cara menuntun dan mengarahkan rakyat secara bijaksana agar tercapai kemakmuran dan kesajahteraan bersama. Politik di Indonesia diharapkan berjalan sesuai dengan UUD 1945 yang dilandasi pada sitem demokrasi. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu (demos=rakyat), kratia=kekuasaan). Dengan demikian demokrasi mengandung pengertian bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat atau anggota masyarakat, sehingga setiap individu mempunyai kebebasan dan hak yang harus dihormati dan dilindungi oleh kelompok atau negara.114 Tuntutan demokrasi ini telah muncul dalam dua gelombang besar di Republik ini. Ketika rakyat melihat Soekarno pada tahun 19551956 tidak lagi menjalankan politik sesuai dengan UUD 1945 mereka menuntut agar Presiden menyerahkan negara ini kepada kedaulatan rakyat. Hal yang sama juga terjadi pada Presiden Soeharto yang dinilai telah menyimpang dari sikap demokrasi seperti yang diamanatkan UUD 1945. Pada masa Soeharto kebebasan politik terbelenggu, keadilan tidak merata, kemiskinan dan kebodohan terjadi dimana-mana. Secara tidak sadar rakyat kelas bawah mulai melakukan pemberontakan, ada yang secara terang-terangan dan ada yang tersembunyi. Pemberontakan ini terjadi dimana-mana, yang paling menonjol dan mengarah kepada kekerasan adalah di Timor Timur, Aceh, Maluku dan Irian Jaya atau Papua. Hilangnya sikap demokrasi pada Soeharto menyebabkan ia juga dipaksa turun oleh rakyat. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal yang sama berulang lagi pada pemimpin Republik Indonesia dan apakah untuk selanjutnya ini akan berulang lagi pada presiden-presiden yang akan datang. Salah satu jawaban dikemukakan Arbi Sanit, ketika menjelaskan “Struktur Vertikal Masyarakat” bahwa ia menyatakan pengaruh ajaran-ajaran agama dahulu telah memberi kontribusi pada kekuasaan raja-raja dahulu. Masuknya Islam tidak mengubah hubungan agama dengan kekuasaan. Seperti raja-raja terdahulu, kerajaan-kerajaan Islam sesuai dengan ajaran

113

Penjelasan Tgk. M. Yunus Benseh ketika penulis menjadi santri pada Dayah darul Ma‘arif Blang Asan, Blangjruen di Aceh Utara. 114 Syahrizal dkk. Kurikulum Pendidikan Damai, (Banda Aceh: MPU dan Nonviolence Internasional, 2003) Hal. 152.

344

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

agama Islam mempergunakan agama sebagai landasan kekuasaannya.115 Yang dimaksud dengan ajaran Islam oleh Sanit di sini adalah yang dipraktekkan oleh dinasti tertentu atau raja tertentu dan bukan yang dibawa Nabi Muhammad atau yang dipraktekkan khulafurrasyidin. Sebab Nabi dan para pemangku khilafah rasyidah telah menunjukkan kedaulatan rakyat yang diaplikasikan dalam bentuk syura untuk persoalan yang penting dalam menata umat dan hal tersebut tidak ditemukan tuntunan dari nash yang sharih (jelas). Pengaruh raja-raja Budha dan Hindu zaman dahulu, yang sangat lama berkuasa di Pulau Jawa, telah memberi nuansa politik tertentu dalam corak pemimpin negara ini, manakala ajaran Islam yang murni dari Nabi kurang tersentuh di tengah-tengah penguasa dan juga umat. Hal ini sebenarnya tidak terlalu tepat dialamatkan pada Aceh, sebab Aceh lebih mengenal demokrasi, semisal diterimanya Ar-Raniry, seorang pendatang dari India, menjadi mufti negeri Aceh dan dapat menerima kepemimpinan perempuan yang berlangsung selama 59 tahun, walaupun pada awalnya terjadi sedikit perbedaan namun dapat dikatakan tidak sampai menumpahkan darah. Pada sisi lain, di Aceh pada periode modern atau tepatnya tahun tiga puluhan dan empat puluhan, PUSA berpengaruh besar dalam rangka memurnikan akidah, mencerdaskan rakyat dalam berbagai disiplin pendidikan dan menuntun cara menjalankan pemerintahan sesuai dengan tuntunan agama. Barangkali orientasi model pemerintahan kerajaan-kerajaan Hindu di pulau Jawalah yang dimaksud Sanit melekat dalam jiwa pemimpin Republik ini sementara mereka meninggalkan model Islam dan juga model demokrasi modern. Alasan lain dikemukakan oleh Sanit juga adalah negara ini sangat lama dijajah oleh kolonial Belanda yaitu mendekati 300 tahun di pulau Jawa. Belanda menjalankan politik balas budi (etische politiek) dengan memberi kesempatan yang menguntungkan kepada golongan aristokrat dan adat. Pendidikan yang lebih baik menyebabkan mereka lebih mampu mengisi kebutuhan Pemerintahan Kolonal Belanda akan tenaga-tenaga administratif.116 Nampaknya Politik Balas Budi sangat kental terlihat dalam periode Orde Baru. Kalangan yang mendapat kedudukan penting dalam pemerintahan sering melakukan praktek Asal Bapak Senang (ABS), suatu istilah yang kerap digunakan rakyat ketika itu. Presiden sendiri merupakan simbol kekuasaan yang mengatur segala sesuatu yang penting sehingga muncul ucapan-ucapan petinggi negara “terserah beliau”, artinya bagaimana keputusan dari Presiden sendiri. Lembaga yang dinyatakan memiliki kekuasaan tertinggi adalah MPR dan DPR nyatanya dapat dikatakan tidak berfungsi maksimal karena lembaga ini lebih banyak dicampuri presiden, mulai dari cara pemilihan anggota, pembuatan keputusan, penentuan calon wakil presiden,dll. Mayoritas rakyat Indonesia tidak menyenangi kekuasaan yang absolut tersebut, hanya saja rakyat Aceh, agak berbeda dengan daerah lain, menyampaikan bentuk ketidaksenangannya dengan terus terang sehingga lahirlah yang namanya Gerakan Aceh Merdeka yang tidak dapat ditundukkan dengan kekuatan militer. 2. Masalah Dwi-Fungsi ABRI Dwi-Fungsi ABRI menurut pemahaman Orde Baru, yaitu keikutsertaan ABRI dalam

115 116

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perssada, 2003), hal. 20. Ibid., hal. 23.

Aceh Serambi Mekkah

345

politik penyelenggaraan kekuasaan negara.117 Tidak dapat dipungkiri bahwa militer dalam negara manapun merupakan suatu unsur kekuatan penting dalam mempertahankan keutuhan negara baik dari rongrongan luar maupun pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di dalam negeri. Ini bukan bermakna pemerintah harus mendukung dan melebihkan satu unsur lalu melemahkan unsur lain. Pemerintah perlu memperhatikan semua pihak aparatur pemerintahan secara berimbang sebagai pelaksana politik dan kebijakan, apalagi dalam sebuah negara besar yang memiliki penduduk yang majemuk ini. Memberi perhatian lebih pada suatu unsur dan menyepelekan unsur lain menyebabkan terjadi kepincangan dalam menjalankan roda pemerintahan. Salah satu sisi kelemahan Orde Baru adalah amat berlebihan dalam memberi perhatian kepada ABRI. Keberpihakan ini telah menimbulkan pro-kontra tentang siapa yang akan memerintah setelah Soeharto, jauh sebelum Soeharto berakhir masa jabatannya, namun telah diperhitungkan akan berakhir pada tahun 2004 karena faktor usia. ABRI dengan tegas menyatakan kelompok merekalah yang lebih siap dalam memimpin negara ini daripada kalangan sipil. Mereka lebih berpengalaman dan mereka dapat menindak tegas terhadap rongrongan yang ingin menghancurkan kedaulatan negara Indonesia. Sejauh mana peran yang diberikan kepada ABRI oleh Orde Baru, Bintang Pamungkas menjelaskan secara panjang lebar ketika membahas “Praktek Implementasi Dwi-Fungsi ABRI” yang dapat diringkaskan sebagai berikut:118 a. Orde Baru menerapkan “Trilogi Pembangunan” yaitu: (1) Pertumbuhan; (2) Pemerataan; dan (3) Stabilitas. Di dalam “stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan” yang menuntut ABRI untuk berperan lebih besar. Dalam rangka menjaga stabilitas ini ABRI mesti ada di mana-mana; dalam kalangan mahasiswa, dalam partai politik, pada perusahaan-perusahaan besar dan lain-lain. Dengan demikian praktek militerisasi amat terasa di tangah-tengah masyarakat. b. ABRI terlibat dalam urusan politik dan pada lembaga-lembaga pemerintahan. Artinya ABRI mendapat tempat dalam MPR/DPR atau partai GOLKAR, sebagaimana jelas terlibat dalam eksekutif seperti gubernur, bupati, walikota dan bahkan menjadi menteri dalam kabinet. c. ABRI memiliki kedudukan pada BUMN dan BUMD, yang menurut Bintang sebagai salah satu faktor membengkaknya biaya sehingga menyebabkan perusahaan menjadi hancur. 3. Persoalan HAM Setiap individu dari kelompok manusia mengharapkan hidup yang bermartabat dan memiliki kebebasan, memperoleh keadilan dan persamaan dalam setiap hak, seperti hak untuk hidup, hak mendapat perlindungan, hak memperoleh pekerjaan, hak mendapat pendidikan dan lain sebagainya. Syari‘at Islam memandang manusia sebagai makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tangung jawab, semuanya sama dan tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, baik suku, ras, dan sebagainya. Ini jelas sekali ketika Nabi Muhammad menyatakan: Kamu sekalian berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada superioritas

117 118

346

Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, (Jakarta: Erlangga:2001) hal.157. Ibdi., hal. 167-172.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

kemuliaan Arab terhadap non Arab, antara kulit putih dengan kulit hitam dan sebaliknya, kecuali dengan ketaqwaan (memelihara diri dari berbagai prilaku kesalahan) Sesungguhnya yang paling mulia di kalangan kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Aceh sejak awal kemerdekaan mengharapkan terwujudnya negara Islam atau paling kurang daerah ini memiliki otonomi luas termasuk dapat menjalankan syari‘at Islam demi tercipta kebebasan hak setiap individu, kedamaian hidup, dan perlakuan yang adil. Dalam era Orde Baru untuk mendapatkan hak-hak seperti yang dimaksudkan itu sangat terbatas. Bintang Pamungkas mengemukakan berbagai contoh dengan mengutip dari beragam sumber yang diringkaskan sebagai berikut:119 a. Peristiwa G-30 S/1965 PKI telah menyebabkan tidak kurang dari satu juta rakyat sipil yang ditangkap dari pengikut komunis mati dibunuh, baik melalui operasi militer maupun oleh kelompok rakyat non-komunis yang terprovokasi oleh operasi militer. Jutaan juga yang ditangkap dan dipenjarakan, sebagaian besar tanpa diadili, ada yang dipenjarakan bertahuntahun dan ada yang dibuang ke Pulau Buru di Maluku Tengah dalam keadaan hidup yang amat memprihatinkan. Kelompok-kelompok yang ditangkap diberi tipe A,B,C,D dan E menurut kesalahan masing-masing. Buku yang sedang ditulis ini tidak bermaksud mendukung gerakan PKI namun yang diharapkan, sebagaimana ajaran Islam, adalah meminimalisir penindasan terhadap segenap orang termasuk yang paling utama adalah menjaga hak hidup. Manusia menurut Islam tidak boleh dibunuh tanpa lasan yang cukup. Untuk kasus PKI ini, kaum komunis Indonesia diharapkan bisa kembali kepada ajaran agama masing-masing, terutama Islam, jika melawan baru diperangi dan jika mereka telah kembali diberi haknya sama seperti semula. Inilah yang dilakukan Abu Bakar dalam peperangan riddah (perang menghilangkan kemurtadan) dan setelah mereka kembali kepada ajaran semula diperlakukan persis seperti kaum muslimin lainnya. b. Dalam “perjanjian integrasi” Babilo 1976, Timor Timur diproklamirkan sebagai provinsi ke 27 Indonesia. Penduduk Timor Timur terpecah menjadi dua kelompok, ada yang menerima dan ada yang menolak. Bagi mereka yang menolak terpaksa lari ke gunung akibat kebrutalan invasi. Banyak orang lari ke gunung dan tetap tinggal di sana dan Indonesia melakukan operasi besar untuk menguasai orang-orang gunung tersebut. Dalam waktu empat tahun banyak sekali terjadi kematian, terutama oleh sebab kelaparan dan penyakit. Angka kematian sekitar 200 ribu orang Timor Timur (sekitar sepertiga penduduk). Setelah Indonensia mulai menggggunakan bom napalm pada tahun 1979, hampir semua orang yang ada di gunung menyerah. c. Orde Baru tidak menyenangi simbol Islam dan kemunculan kelompok Islam. Ini terbukti seperti kasus Tanjung Priok (1984) dan penggunaan asas tunggal (Pancasila) pada seluruh organisasi yang semula berlabel Islam semisal PII, HMI serta organisasi-organisasi Pelajar di luar negeri Mesir dan Arab Saudi misalnya (pen.). Kasus Tanjong Priok telah menghina kesucian sebuah Masjid dan menghilangkan nyawa ratusan orang yang sebagiannya tidak diketahui di mana kuburannya. Sejumlah tokoh ditangkap seperti Abdul Qadir Djaelani, K.H. Mawardi Noor, HR Dharsono dan AM Fatwa lalu dijebloskan dalam penjara. Tindakan itu amat menyakitkan hati umat Islam hanya saja umat Islam tidak dapat melakukan protes

119

Ibid., hal.249-255.

Aceh Serambi Mekkah

347

dalam bentuk perlawanan terhadap sebuah negara yang menggunakan kekuatan senjata untuk mengamankan segala sesuatu. 4. Sistem Ekonomi Kapitalis Pada zaman Orde Baru sangat terkenal istilah konglomerat, di mana sejumlah orang tertentu, termasuk sebagian pejabat, menguasai ekonomi negara ini, seperti impor-ekspor, pabrikpabrik, saham dan perkebunan. Kekayaan dari daerah juga dipegang oleh mereka dan rakyat didaerah tersebut tidak diberi kesempatan untuk mencicipi hasilnya. Sebagai contoh, seperti yang dikutip oleh Bintang dari pernyataan Yakob Rumbiak bahwa Soeharto menjalankan sistem kapitalisme di Irian. Wilayah yang kaya raya tersebut hanya diperuntukan bagi kepentingan segelintir orang pemerintah saja, sedangkan yang miskin semakin menderita. PT Freeport Indonesia memanfaatkan sumber daya alam Irian, seharusnya hasilnya bisa memakmurkan rakyat, ternyata tidak. Bahkan, Freeport menjadi sumber pemicu pelanggaran HAM, karena yang dilakukan oleh Freeport adalah membayar pemerintah dan militer Indonesia untuk merampas tanah rakyat.120 Ini berbeda dengan prinsip Islam yang mengutamakan pemerataan kekayaan pada segenap lapisan umat. Jika dilihat dari sistem pemerintahan pada masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin setiap daerah yang dipimpin oleh seorang wali (kepala wilayah) memiliki kekuasaan otonomi seluas-luasnya bagi daerah yang dipimpinnya tanpa banyak dicampuri oleh Madinah, pusat kekuasaan Rasul dan para khalifah. Sebenarnya Indonesia yang menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara dijiwai oleh ajaran Islam, tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sila kelima, misalnya, yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” terasa amat jauh dari yang diharapkan oleh rakyat. Rakyat merasa tidak diberi haknya dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan dan ini memicu terjadinya reaksi anarkis di mana-mana sebagai pelampiasan terhadap sistem pemerintahan yang amat menekan dahulu. Demikianlah cuplikan sebagian sistem perpolitikan rezim Orde Baru yang berakhir dengan multi krisis yang ditanggung oleh rakyat. negara ini. Yang paling menonjol adalah krisis ekonomi dan politik yang belum berakhir sampai sekarang (2006). Aceh sendiri, konon kabarnya pada tahun 2006, terjadi peningkatan kemiskinan sampai pada angka 48 %. Dua masalah ini telah menjerat kesengsaraan rakyat dari tahun 1998 dan belum menunjukkan titik-titik yang cerah secara lebih pasti. 5. Persoalan Aceh Pada Zaman Orde Baru 5.1

Gerakan Aceh Merdeka

Hasan Muhammad Tiro adalah seorang tokoh kharismatik terakhir di Aceh121 yang pulang ke Aceh pada tahun 1976 untuk mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976122 di pedalaman Tiro. Ia berpendapat bahwa Aceh adalah sebuah wilayah yang

120

Ibid., hal. 253. Abu Jihad, Hasan Tiro., hal. 23. 122 Ibid…, hal 67. 121

348

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

dibelenggu oleh Jakarta/Jawa123 sejak dari zaman Soekarno, Soeharto dan bahkan Habibi.124 Sebelum pendeklarasian, ia telah membentuk kabinet pertama pada bulan Mei 1977 dan enam panglima wilayah125 untuk menjalankan pemerintahan Aceh. Dengan modal tersebut ia melakukan pelatihan kemiliteran dengan sejumlah orang yang terbatas dan rahasia. Seberapa besar bekal persenjataan yang dimiliki dan bagaimana bentuk pembinaan yang dilakukan, tidak ada yang mengetahui secara pasti, baik oleh pemerintah maupun masyarakat Aceh sendiri. Ketidaktahuan masyarakat yang demikian menyebabkan muncul berbagai isu, seperti Aceh akan segera merdeka, Aceh telah mendapat pengakuan dunia Internasional sebagai sebuah negara merdeka berdaulat dan Aceh memiliki senjata yang lengkap untuk melawan Republik Indonesia. Gerakan ini ditanggapi oleh Pemerintah Pusat dengan sikap yang tidak manusiawi sebagaimana digambarkan Abu Jihad: Pada awal bulan Juni 1977, aparat keamanan semakin meningkatkan perang psikologi (psy-war) untuk melawan ASNLF (Aceh Sumetra National Liberation Front), sebutan nama lain yang lebih banyak digunakan oleh Tgk. Hasan Tiro untuk Gerakan Aceh Merdeka di luar negeri, dan pemimpin-pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Psy-war ini kadang-kadang diikuti dengan serangkaian shock teraphy dengan cara memeriksa orang-orang Aceh secara tidak wajar. Sejumlah penangkapan dilakukan dan kadang-kadang menjurus pada penyiksaan dahsyat. Menurut penuturan saksi sejarah, ribuan orang, termasuk wanita dan anak-anak ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Namun semangat juang rakyat Aceh tidak pernah surut, bahkan lebih bangkit menggebu-gebu dengan modal La Ilaha Illallah mereka menyongsong maut.126 Bagi orang Aceh setiap gerakan yang berlabel Islam atau pemberantasan maksiat yang dimotori ulama akan mendapat dukungan masyarakat luas. Pernah terjadi pada tahun 1970 di mana seorang ulama di Gedong (Aceh Utara) tidak menyenangi diadakan piasan malam (hiburan rakyat) dengan menampilkan seudati di kedai Geudong lalu ia datang ke sana agar hiburan itu tidak diteruskan. Karena rakyat fanatik pada teungku mereka mengikutinya dan berakibat pada terjadi hiruk pikuk dan kepanikan sehingga banyak anak-anak dan perempuan yang tercebur ke sungai, hanya saja sungai mati tidak memiliki air yang dalam. Sebenarnya tidak terjadi kekerasan yang berarti tapi gemeruh teriakan Allahu akbar dan “Qul Ja’al Haq Wazahaqal Batil Innal Bathila Kana Zahuqa” membuat pemain seudati dan penonton ketakutan. Memang demikian semangat orang Aceh yang kalau ada ajakan perang suci untuk mendirikan sebuah negara Islam lebih mudah disahuti. Lebih lanjut Abu Jihad memberi uraian yang agak panjang tentang larinya Hasan Tiro meninggalkan Aceh yang dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1979 atau setelah tiga tahun lamanya berjuang, ia terpaksa lari dari Aceh dengan menjanjikan akan kembali dalam waktu 123

Ibid., hal. 66. Demikian pendapat Dr. Husaini yang sangat ingin melepaskan tanah Aceh dari belunggu Indonesia, namun ia berbeda dengan Hasan Tiro, sebab ia lebih cenderung dengan cara lembut yang Islami tanpa banyak terjadi pertumpahan darah seperti yang sedang terjadi di Aceh saat itu, namun Husaini tetap berpendapat bahwa Indonesia musti dilawan sampai Aceh lepas darinya ataupun hukum Allah tegak di bumi Nusantara. Perbedaaan pendapat antara dua tokoh ini yang sama-sama tingal di Swedia dapat dibaca dalam Abu Jihad, Hasan Tiro, hal 100. 125 Ibid., hal 82. 126 Ibid., hal. 105. 124

Aceh Serambi Mekkah

349

cepat dalam rangka mencari senjata dan berupaya memperoleh dukungan luar negeri. Kepemimpinan perjuangan diserahkan kepada Dr. Mukhtar dan kawan-kawan. Namun, tanpa diketahui alasan yang sesungguhnya Hasan Tiro tidak muncul lagi di Aceh, sementara para pemimpin ini, Dr. Mukhtar, Dr. Zubir dan Ilyas Leube syahid dalam penyergapan TNI didalam hutan.127 Meninggalnya tokoh-tokoh pimpinan GAM seperti Ilyas Leube, seorang tokoh DI/TII yang dianggap sulit dilumpuhkan oleh lawan, Dr. Mukhtar, Dr. Zubir dan sejumlah tokoh daerah lainnya di pesisir Utara Aceh menyebabkan gerakan ini menjadi redup walaupun tidak padam sama sekali. Gerakan ini muncul kembali pada tahun 1986 setelah Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), yaitu militer Gerakan Aceh Merdeka (kemudian disebut dengan Tentara Negara Aceh/TNA.) pulang ke Aceh setelah mendapat latihan militer di Libya.128 Karena berpendapat Aceh telah memiliki kekuatan besar, gerakan melakukan dakwah pembaiatan masyarakat agar siap setia mendukung perjuangan kemerdekaan untuk bumi Aceh. Ini dilakukan di seluruh wilayah Aceh. Barangkali daerah yang tidak terlalu antusias menyahuti ajakan ini adalah Aceh Tenggara dan Simeulu. Awal tahun 1989 angkatan yang mendapat latihan di Libya ini melakukan aksi-aksi penyerangan terhadap pos-pos TNI/POLRI, kekuatan mereka didukung juga oleh anggota TNI yang diserse seperti Robert, yang sempat merebut puluhan senjata TNI yang sedang melakukan gotongroyong manunggal ABRI Masuk Desa (AMD) di Buloh Aceh Utara. Aktifitas ini telah banyak merebut nyawa TNI/POLRI sehingga Pemerintah terpaksa menjadikan Aceh pada tahun 1989 sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang dalam sandi ABRI disebut dengan Operasi Jaring Merah. Gambaran cara penumpasan GAM dilukiskan oleh Bintang sebagai berikut: Operasi militer membabi buta dilakukan tanpa hentinya dengan menangkapi orangorang disertai dengan pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan dan penculikan. Mayatmayat yang bergelimpangan di jalan-jalan di Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Timur sudah merupakan pemandangan biasa. Tindakan ini merupakan shock terapy yang diterapkan oleh ABRI terhadap sebagian kecil rakyat Aceh yang ingin mendirikan negara sendiri itu. Selama 8-9 tahun masa DOM rakyat Aceh hidup dalam ketakutan. Siapa saja yang dicurigai sebagai anggota GAM akan segera dijemput dan tidak akan pernah pulang. 129 Pada masa itu, rakyat Aceh sangat menderita sekali, tidak ada tempat mengadu kecuali pada Tuhan. Seorang ibu, jika anak atau suaminya dijemput atau ditangkap tentara, menjadi kebingungan dan hanya mampu berupaya dengan mencari ulama untuk meminta didoakan agar anak/suaminya dikembalikan ke pangkuan keluarga. Lazim pula sebagian anggota masyarakat melakukan pendekatan dengan aparat yang dikenal dan kalau dapat dilakukan negosiasi untuk dilepaskan pasti dengan syarat pembayaran berbentuk tebusan dalam jumlah rupiah besar. Karena sayang pada nyawa anak/suami, tanah sawah garapan tempat mencari rezeki kadang-kadang dengan terpaksa dijual. 127

Baca Ibid., hal. 106-107. Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 1999), hal. 182-183. 129 Sri-Bintang,Dari Orde Baru…, hal. 252. 128

350

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Bintang mengemukakan jumlah orang-orang yang hilang selama masa DOM sebagai berikut : Pemerintah Aceh menunjukkan sedikitnya 20 ribu warga Aceh hilang. Berkat upaya Komnas HAM pada Agustus 1998, cerita tentang kuburan masal akhirnya dapat dibuktikan. Empat lokasi yang digali ternyata membuktikan adanya puluhan mayat yang diduga keras merupakan korban keganasan ABRI. Masyarakat menunjukkan adanya 22 lokasi kuburan masal yang perlu dibongkar.130 Salah satu buku yang mengangkat kisah-kisah nyata tentang kekerasan ABRI terhadap kaum perempuan Aceh meliputi makian, tuduhan, pemukulan, pelecehan seksual adalah karya Erni dan kawan-kawan dalam buku “Nyala Panyot Tak Kunjung Padam”. Dalam pengantar buku ini disebutkan penting diangkat masalah-masalah tersebut dalam rangka menghibur untuk mengurangi beban yang diderita oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan selama DOM.131 5.2 Masalah Sumber Kekayaan Aceh Aceh adalah daerah yang kaya dengan sumber-sumber bumi dan alam. Pada tahun 1974 Mobil Oil Inc. sebuah perusahaan Amerika bekerja sama dengan PT Arun Indonesia telah menemukan sumur gas besar di Aceh Utara dan disuling di Lhokseumawe sejak tahun 1978. ladang gas ini merupakan devisa besar bagi negara. PT Arun diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1978 dan telah menampung banyak tenaga kerja dengan gaji yang cukup memuaskan. Selain dua perusahan ini, terdapat pula pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer yang merupakan hasil kerjasama ekonomi antar negara ASEAN. Pabrik yang diresmikan tanggal 12 April 1979 dimodali oleh 60% saham Indonesia, 13 % Thailand, 13 %Malaysia, 13 % Philipine dan Singapore 1%. Selain itu ada juga Pabrik Pupuk Iskandar Muda dan pabrik kertas. Semua perusahaan ini berada di sekitar Lhokseumawe. Perusahaan lain di Aceh adalah pabrik semen PT Andalas di Aceh Besar. Perusahaan-perusahan ini telah menyerap tenaga kerja yang banyak dan memberi kontribusi perekonomian bagi negara yang amat besar. Selain sumber bumi, gas dan industri ini, Aceh juga kaya dengan sumber alam, seperti kehutanan, perkebunan dan maritim (kelautan). Rakyat Aceh, termasuk kalangan awam, mengkritik Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, karena tidak memperhatikan nasib mereka dalam mengisi lowongan kerja pada perusahaanperushaan raksasa ini. Masyarakat yang tinggal disekitar perusahan-perusahaan tersebut diperlakukan secara tidak adil, di mana putera-putera daerah yang berpendidikan rendah hanya jadi penonton terhadap pekerja-pekerja yang datang dari luar daerah. Mereka yang tidak memiliki ijazah sekolah menengah ke atas masih dapat diperkerjakan sebagai security atau menjadi buruh kasar dalam bentuk kerja kontrak, namun tetap memperoleh gaji yang jauh melebihi dari PNS. Tetapi lowongan kerja ini pada akhir tahun tujuhpuluhan dan awal delapanpuluhan lebih banyak diisi oleh putera-putera luar daerah, karena menurut anggapan putera setempat, mereka memiliki relasi yang baik dengan koordinator kerja atau direktur-direktur tertentu yang juga berasal dari luar Aceh. 130

Ibid., hal. 252. Buku ini diterbitkan oleh Flower Aceh tahun 1999. Buku setebal 189 halaman ditulis dalam bentuk gaya bahasa cerpen, namun semua isinya adalah hasil penuturan perempuan terhadap kepahitan yang dialami akibat kekerasan pelaksanaan DOM. 131

Aceh Serambi Mekkah

351

Bidang lain yang mengecewakan rakyat Aceh adalah kecil sekali perhatian Pemerintah Pusat terhadap hasil pengekploitasian perut bumi, hasil alam seperti kehutanan dan industri Aceh yang diperuntukkan bagi daerah setempat. Pusat berpendapat bahwa kekayaan alam demikian adalah milik negara dan harus diatur oleh Pemerintah Pusat maka semua hasil harus masuk ke kas Pemerintah Pusat, manakala Aceh, sama juga halnya dengan daerah lain, bagaikan pengemis menghiba meminta-minta pada pusat untuk diberi dana yang lebih dalam rangka membangun ketertinggalannya, namun permintaan demikian jarang pula terwujud. Pernyataan demikian pernah disampaikan Prof. A.Hasjmi (ketika itu dia ketua MUI Daerah Istimewa Aceh) dalam rangka kampanye untuk memenangkan Orde Baru (istilah yang lazim digunakan oleh pejabat Aceh untuk kampanye GOLKAR), mengajak seluruh komponen karyawan dan dosen IAIN untuk memenangkan GOLKAR. Ia berdalih dengan “saya telah melihat ketika kita tidak memenangkan GOLKAR di Aceh maka keuangan bagi Aceh bagaikan kran yang menetes sementara daerah lain memperoleh dana yang lancar dan banyak”. Pernyataan demikian merupakan suatu realita bahwa Pemerintahan Orde Baru memaksa kehendak politiknya dengan jalan menyengsarakan rakyat terlebih dahulu untuk berpihak kepadanya, atau dengan jalan menjadikan ekonomi kalangan tertentu atau daerah tertentu menjadi lemah. Politik demikian sebenarnya hanya untuk memperoleh keuntungan dan kepentingan sesaat bagi rezim yang sedang berkuasa sementara kebijakan dalam pembinaan pemerintahan sangat jauh dengan nurani rakyat. Bagaimana seharusnya pemberdayaan ekonomi suatu daerah dirancang, seorang pakar ekonomi dari Aceh A.Madjid Ibrahim, mengemukakan: Kami beranggapan orientasi regional dapat lebih mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, karena ia mendukung titik-titik kuat pertumbuhan dengan pelbagai kebutuhannya. Dalam tiap-tiap regional unit yang perlu dikembangkan adalah fungsi produksi dan distribusi. Kalau pada suatu daerah terdapat titik-titik kuat dalam kedua hal ini, maka daerah tersebut dapat dipandang sebagai regional unit. Pengembangan regional unit ini hendaknya tidak merupakan suatu proses yang dipaksakan, sebab dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan psychologis dan politis. Tetapi ia harus berasal dari pengamatan yang teliti dari titik-titik kuat tadi, sehingga setiap bantuan yang lebih yang diberikan kepada unit region yang bersangkutan, dapat dipandang oleh daerah lainnya sebagai suatu yang wajar.132 Hal yang hampir sama dikemukakan pula oleh Bintang Pamungkas ketika membahas “Antara Ekonomi Pusat Dan Daerah” sebagai berikut: Pengertian otonomi penuh dan luas mempunyai demensi ekonomi yang sangat kuat. Otonomi adalah kebebasan mengembangkan perekonomian daerah bukan sekedar soal perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam hal ini daerah mempunyai hak terbesar dalam penguasaan dan pengusahaan kekayaan dan sumber daya alam daerah. Kekayaan daerah meliputi tanah dan berbagai bangunan umum dan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan dan pembangkit listrik, serta benda-benda tak bergerak dan bergerak lainnya. 132 A. Madjid Ibrahim, “Strategi Pembangunan Daerah Aceh”, dalam buku Buanga Rampai tentang Aceh, hal. 475.

352

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Sedangkan sumber daya alam daerah ini meliputi bermacam sektor, seperti pertanian, perkebebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, hasil laut, gas alam, minyak bumi, pertambangan umum dan lain-lain.133 Sistem ekonomi seperti yang dikemukakan dua pakar di atas lebih Islami dan sistem yang demikianlah yang ditumbuhkembangkan pada masa khulafaurrasyidin. Dampak positif dari hasil sistem tersebut adalah penduduk tidak pernah berpikir untuk berpindah ke ibu kota negara yaitu Madinah ketika itu, tapi kota-kota besar lainnya seperti Kofah dan Bashrah di Irak, Fustat di Mesir, Damaskus di Syria, Naisabur di Parsia, Makkah di Arab Saudi adalah kota yang maju dan berperadaban bahkan sebagiannya melebihi Madinah sendiri. Kota-kota ini merupakan pusat bisinis ekonomi regional masing-masing daerah dan sekaligus kota ilmu pengetahuan. Salah satu kelemahan Presiden Soeharto adalah tidak serius memperhatikan pentingnya memajukan daerah-daerah yang memiliki potensinya masing-masing. Pada gilirannya nanti penduduk akan mencari sendiri lapangan kerja yang sesuai dengan profesinya pada daerah-daerah tertentu, tanpa perlu rakyat di daerah berdesak-desak mencari rezeki ke Jakarta. Soeharto barangkali berpendapat segala sesuatu dapat dikendali dari pusat asalkan dijaga dengan ketat dan dilaksanakan dengan perintah yang tegas. Maka hasil minyak bumi, gas dan kekayaan alam lainnya ditarik dahulu ke pusat, baru selanjutnya ditertibkan sesuai dengan permintaan dan kebutuhan dari berbagai daerah. Pada sisi lain ada persepsi dan kekhawatiran bahwa dengan adanya otonomi penuh dan luas akan muncul raja-raja kecil di daerah yang tidak akan menghargai pemerintah pusat. Kedua hal ini sebenarnya tidak akan terjadi kalau setiap daerah dibangun potensi sumber daya manusianya untuk mengelola berbagai kekayaan alam yang melimpah di bumi ini. Di samping itu dikembangkan dan diajarkan rakyat kritis terhadap pemerintah daerahnya di samping diperlukan supremasi hukum. Realitanya, dalam sejarah Islam Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar telah memberi kebebasan bagi setiap daerah untuk mengembangkan diri dan membangun daerah sendiri. Masyarakat suatu wilayah dapat saja datang ke daerah lain untuk mengembangkan profesi yang digeluti dan diminatinya. Fakta lain, tetangga kita Malaysia yang menganut sistem federasi dan diberi kebebasan bagi setiap daerah untuk mengembangkan diri, mereka jauh lebih maju dari negara kita, padahal bila dilihat pada hasil alamnya Indonesia masih lebih memiliki kekayaan alam yang melimpah, baik yang dalam perut bumi atau yang berada di atas permukaannya. Adapun zona yang kaya dengan sumber alam, misalnya, pasti tidak dapat memikirkan pengembangan sektor lain, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, kerajinan dan lain-lain. Dalam hal ini tugas pemerintah daerah di zona lain adalah mengembangkan sumber yang memungkinkan dikembangkan dan pada gilirannya nanti akan terjadi saling mengisi antar zonazona dan antar daerah. Daerah-daerah yang kaya dengan berbagai hasil bumi dan sumber daya alam akan kekuarangan tenaga untuk mengelola berbagai bidang lain. Dalam hal ini daerah tersebut pasti memerlukan tenaga kerja luar dan ketika itu akan terjadi pemindahan penduduk yang alami, tidak perlu dibiayai oleh pemerintah dan tidak akan banyak menimbulkan kecemburuan sosial. Barangkali demikianlah yang diharapkan oleh para pemimpin Aceh dahulu yang menjiwai ajaran Islam, lalu menuntut pemerintah Pusat untuk memberikan otonomi seluas-luasnya bagi Aceh.

133

Sri-Bintang, Dari Orde Baru…,hal. 54.

Aceh Serambi Mekkah

353

Pada sisi lain seandainya, pada suatu masa nanti, seluruh daerah telah memperoleh kemakmuran dan negara sudah tergolong maju, sementara Pemerintah Pusat tidak memiliki daerah maka roda pemerintahan dapat dijalankan dengan pajak yang diperoleh demikian besar melalui perusahaan-perusahaan dan berbagai pengelolaan hasil alam. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan otonomi luas, dan sekarang baru mulai nampak ciri-cirinya dalam pemerintahan Republik ini. 5..3

Pemaksaan Berpihak Pada Golkar

Demokrasi pada era Orde Baru dapat dikatakan terbelenggu oleh kekuasaan eksekutif. Berbagai upaya dilakukan agar GOLKAR sebagai partai yang dibentuk oleh pemerintah menang dalam setiap Pemilu. Panitia Pemilu sendiri secara tungal adalah pemerintah yang langsung dipimpin dan dikontrol oleh Menteri Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri diangkat sebagai Badan Pelaksana Pemilu (BPP). Angota-anggota legeslatif dapat disaring oleh pemerintah, maka haluan politik harus berjalan dalam satu model, satu arah dan satu tujuan. Maka dengan demikian, seperti dikatakan Sanit “cara kerja GOLKAR mengikuti hirarki militer di mana perintah hanya datang dari atas”.134 Keberadaan operasi militer di Aceh juga cukup menguntungkan GOLKAR. Bintang mengemukakan bahwa “selama 8-9 tahun masa DOM rakyat Aceh hidup dalam ketakutan… kesempatan ini digunakan oleh GOLKAR untuk meraih kemenangan di Aceh”.135 Partai ini dengan mudah melakukan kampanye untuk memenangkan GOLKAR. Kalau ada ulama yang ditangkap, aparatur pemerintah daerah akan membujuknya untuk masuk GOLKAR dengan imbalan ia akan tidak dipenjarakan dan diiming-imingi dengan bantuan lainnya sehingga sang ulama yang memikirkan umat banyak serta berkesempatan mengajar mereka tidak melakukan protes terhadap tawaran demikian. Ulama adalah kelompok yang diharapkan dapat berkiprah secara netral untuk menjembatani kepentingan pemerintah dengan tuntutan nurani umat dalam terlaksananya ajaran dan hukum Islam di bumi Serambi Makkah ini. Tapi kalangan ulama tidak dapat menunjukkan sikap netral yang sesungguhnya karena mereka terbelenggu dengan kehendak penguasa. Daniel Djuned mengemukakan bahwa “asas ketuhanan yang menuntut peran agama bagi pembinaan moral bangsa tampil kontras dengan marginalisasi dan pengalatan ulama oleh penguasa di pusat dan daerah”.136 Ulama tidak bebas memberi fatwa-fatwa mereka dan tidak dapat mengajarkan ajaran Islam yang mendalam menurut aturan yang sesungguhnya. Misalnya, ulama mengharapkan dan menyeru agar siswi SLTA dan SLTP wajib menggunakan busana yang menutup aurat, pemerintah Daerah dapat saja menepis kehendak itu karena bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan. Mereka lebih mudah menyampaikan kehendak-kehendak pemerintah, tapi sulit menembusi harapan umat pada pemerintah. Maka apa yang diharapkan dari ulama sebagai yang menjembatani antara pemerintah dengan rakyat tidak terlaksana sebagai sebuah harapan. Ulama ketika itu lebih cenderung dijadikan alat pemerintah dan menjadi 134

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, hal. 72. Bintang, Dari Orde Baru, hal 252. 136 Daniel Djuned, Reposisi Ulama Di Era Reformasi, makalah disampaikan dalam seminar sehari Pembangunan Aceh Era Reformasi pada IAIN Ar-Raniry, 14 Oktober 1998, hal. 8. 135

354

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

penyambung lidah politik penguasa. Dengan demikian demokrasi sulit wujud dengan sesungguhnya, terutama, pada akhir-akhir pemerintahan Orde Baru dan dengan terpaksa akhirnya rezim ini runtuh pada tahun 1998. ACEH DI ERA REFORMASI Kalangan elit Indonesia pada awal tahun 90-an bangga menjuluki negara ini hanya dipimpim oleh dua presiden saja dalam kurun waktu lebih setengah abad lamanya . Kadang-kadang dengan nada sinis mereka mencemooh negara lain yang sering mengganti pimpinan negaranya. Tidak jelas maksud tujuan yang dikatakan mereka, apakah suatu kejujuran sejati karena ketidaktahuan situasi sesungguhnya yang sedang dan akan terjadi pada republik ini atau hanya semata untuk menyenangkan Presiden Soeharto demi memperoleh kedudukan dan jabatan yang terhormat darinya. Sementara itu kaum intelektual yang telah mengetahui kemana gerobak negara ini akan melaju lebih banyak memilih diam dan membisu. Boleh jadi ini suatu hal yang wajar karena Soeharto tidak segan-segan menghambat dan membungkam orang-orang yang berlawanan dan berseberangan politik serta tidak sama persepsi dengan kebijakan yang diputuskan, semisal anggota petisi 50 yang dimotori Ali Sadikin dan kawan-kawan, atau mereka yang mengkritik dengan tajam corak pemerintahan Orde Baru semacam AM Fatwa, Sri-Bintang Pamungkas yang sempat masuk penjara dan terakhir Amien Rais yang paling dimusuhi Soeharto. Mereka kemudian dapat bernafas lega dan mendapat posisi terhormat setelah rezim ini tidak dapat melakukan apa-apa dalam percaturan perpolitikan Indonesia. Sifat bungkam kaum intelektual demikian cukup beralasan karena tuduhan yang sering dilontarkan oleh Orde Baru terhadap siapa saja yang berseberangan dengan pemerintah adalah kelompok yang melanggar UndangUndang Anti Subvresi. Akibatnya tidak ada lagi yang berani mengkritik pemerintahan rebulik ini, bahkan tidak ada oposisi yang mengontrol jalannya pemerintahan. Pemerintahan yang hilang kontrol dan tanpa kendali ini berakhir dengan kehancuran dan ambruknya perekonomian yang diderita rakyat. “Gebyar pembangunan Soeharto ternyata hanya fatamorgana, karena harus dibayar mahal dengan dengan hutang asing yang sulit dibayar kembali, sementara kekayaan alam Indonesia telah rusak dan sudah semakin menipis. Gemerlapnya pembangunan Soeharto hancur total karena tidak dibangun di atas dasar fondasi kebangsaan yang kuat dan benar”.137 Persoalan ini semuanya menyebabkan lahirnya Gerakan Reformasi yang menumbangkan kekuasaan Soeharto di Indonesia. Karena desakan dan tekanan berbagai kalangan masyarakat, terutama mahasiswa dan kalangan akdemis, Soeharto terpaksa mundur pada tangal 21 Mei 1998 dan memberi kesempatan kepada Habibie untuk memimpin negara ini.138 Pengangkatan Habibie telah menyebabkan terjadi pro-kontra di kalangan elit dan intelektual negara ini, terutama di Pulau Jawa. Bagi kalangan kontra beranggapan bahwa Habibie masih bagian dari Orde Baru dan pasti tidak mau melakukan reformasi total, namun di mata kebanyakan orang Aceh Habibie telah memberi sedikit nafas baru dan kelegaan bagi kehidupan masyarakat daerah ini seperti yang akan kita sebutkan nanti.

137 138

Sri Bintang, Dari Orde Baru, hal.xix. Ibid., hal. xix

Aceh Serambi Mekkah

355

Kebijakan Soeharto melakukan sentralisme dengan persepsi bahwa persatuan dan kesatuan hanya dapat diciptakan apabila semuanya sama dan semuanya tunduk kepada pemerintah Pusat. Ia tidak pernah menyadari bahwa pemaksaaan kehendak yang demikian telah menimbulkan kebencian pada pusat dan pada gilirannya lenturnya loyalitas terhadap nasionalisme serta negara kesatuan, karena sistem sentralisme menyebabkan ketidakmampuan Pemerintah Pusat untuk menjangkau seluruh wilayah negeri secara bijak dan tepat. Negeri yang sangat luas ini dan terbagi-bagi atas berbagai adat istiadat, potensi kekayaan alam dan keadaan geografis menuntut pada adanya plularitas kehidupan. Inilah yang dirasakan oleh setiap daerah bahwa ada kesenjangan, yaitu dihilangkannya desentralisasi dan otonomi atas daerah-daerah. Untuk menjaga kehendak demikian dikerahkanlah kekuatan militer untuk menjaga kesatuan dan persatuan teritori, sementara rakyat di daerah menjadi hilang sikap nasionalisme mereka karena terasa ditekan, ditindas dan tidak diberi hak bersuara untuk daerahnya, dengan alasan kesatuan dan kenegaraan bukan kedaerahan. Dari sudut hasil alam Aceh seperti dikemukakan Amien Rais bahwa PT Arun, PT Pupuk Iskandar Muda, dan lain-lain menyumbangkan seperenam belas GDP kita; sementara yang kembali ke Aceh hanya sedikit sekali.139 Pada sisi lain, setiap daerah di Indonesia memiliki berbagai adat istiadat termasuk sistem pemerintahan setempat, namundi era Orde Baru hal ini dimarginalkan. Pada tahun 1979 diundangkan-undangkan bentuk pemerintahan yang menyeragamkan dengan sistem yang ada di Pulau Jawa. Pemberlakuan undang-undang nomor 5 Tahun 1979 tentang bentuk pemerintahan sampai ke tingkat desa menyebabkan hilangnya sistem pemerintahan di desa-desa di Aceh seperti terhapusnya peran Imum Mukim, Tuha Puet dan Tuha Lapan dalam setiap desa. Tuha Peut dan Tuha Lapan diganti dengan (Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Fungsi dan inti kerja memang mirip, namun dalam pandangan dan sebutan masyarakat ada sisi perbedaan dari sudut kewibawaan pemangku jabatan ini. Kata tuha (tua) merupakan orang yang dihormati dan disegani di kalangan masyarakat. Maka sebutan ureung tuha (orang dituakan) memiliki posisi penting dan gezag yang tinggi sehingga tidak sama kewibawannya dengan anggota LMD/LKMD. Era reformasi yang dimulai dari masa Habibie (1998-200) telah memberi corak-corak tertentu dalam pandangan masyarakat Aceh. Berikut ini dicoba menjelaskan satu persatu terhadap suasana Aceh dan persepsi masyarakat terhadap pemerintah Republik ini. 1. Aceh Masa Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999) Pada tanggal 21 Mei 1998 Habibie menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia Secara umum pandangan orang Aceh terhadap presiden baru ini sangat positif. Ia memiliki nilai tambah karena cara-caranya yang kooperatif untuk membentuk Aceh yang aman. Hal-hal yang mengembirakan rakyat Aceh meliputi:

139 Musa Kazhim (ed)) , Menuju Indonesia Baru Menggagas Reformasi Total, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 16.

356

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

1.1 Pengakuan Pusat Untuk Diterapkan Syari’at Islam di Aceh DPR pusat dalam agenda sidang tahun 1999 telah mempertimbangkan bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersama dengan pengembangan pendidikan. Dari itu lahirlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (provinsi ini kemudian menjadi Provinsi Nanggrou Aceh Darussalam). Dalam pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi: 1. Penyelenggaraan kehidupan beragama; 2. Penyelenggaraan kehidupan adat; 3. Penyelenggaraan pendidikan dan ; 4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama di daearah Istimewa Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat. Undang-undang ini telah memberi peluang besar bagi Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam sebuah negara yang bukan berasas Islam, tapi asasnya adalah Pancasila. Pada sisi lain perlu dilihat pula bahwa suasana Aceh dari tahun 1999 sampai dengan pertengahan 2006 tidak dalam keadaan kondusif sehingga tidak banyak yang dapat dijabarkan dan dilakukan untuk menerapkan Syari’at yang hanif ini. Akan tetapi telah melahirkan sejumlah qanun seperti khalwat, minuman keras, judi dan busana muslim dan mslimah, yang disusun para pakar hukum Islam bersama DPRD dan Pemda Aceh kemudian diterapkan oleh dinas-dinas syrari’at kabupaten/kota sejak tahun 2005 walaupun belum merata secara tertib pada seluruh tingkat II hingga akhir tahun 2006. Aplikasi qanun itu sendiri mendapat pro-kontra dari kalangan rakyat biasa dan bahkan pada kalangan sebagian elit. 1.2 Pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) Setelah tiga bulan menjabat presiden ia merestui pencabutan Operasi Militer di Aceh yang diumumkan oleh Wiranto dalam kunjungannya ke Lhokseumawa pada hari Jumat tanggal 7 Agustus 1998. Wiranto mengemukakan “Kepada Pangdam I, saya beri waktu sebulan untuk menarik semua pasukan yang bukan organik Aceh”. Selanjutnya ia menambahkan “selaku pimpinan ABRI, saya putuskan bahwa keamanan Aceh sepenuhnya saya serahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu kepada para ulama, tokoh masyarakat, guru, pejabat pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat, termasuk satuan-satuan ABRI milik Polda dan Korem-Korem Aceh sendiri”. Ia menambahkan lagi “Setelah mendapat restu dari Presiden Habibie, mulai hari ini, ABRI akan segera menarik satuan-satuan di luar Aceh September tahun ini (1998 pen.) Ini dilakukan mengingat daerah Aceh sudah relatif Aman.” Demikian pernyataan Wiranto di hadapan anggota Muspida dan tokoh masyarakat serta alim ulama dalam silaturrahmi di aula kabupaten Aceh Utara. Dalam kesempatan itu ia juga meminta maaf atas tindakan oknum ABRI yang menyakitkan hati masyarakat. Wiranto menyatakan: “Bila mereka melakukan kekhilafan, jangan segan-segan menegur untuk memperbaikinya. Laporkan pada pimpinannya, jika mereka melakukan tindakan Aceh Serambi Mekkah

357

tidak terpuji, pasti akan ditindak menurut prosedur”.140 Pernyataan Wiranto yang memulai penyebutan ulama yang diserahi keamanan pada mereka mengindikasikan bahwa ulama memiliki power di tengah-tengah masyarakat Aceh yang muslim, namun persoalannya adalah Indonesia sedang bergulir reformasi total di mana rakyat menuntut pemerintah dalam banyak hal dan mengharapkan menuntaskan berbagai persoalan politik dan ekonomi. Aceh, yang terasa dimarginalkan oleh Jakarta, menuntut dilakukan referendum sebagai wujud suatu demokrasi yang sesungguhnya dalam Repunlik ini akibat berbagai ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada masa Soeharto. Pemberlakuan DOM bagi Aceh yang berjalan mendekati 10 tahun (1989-1998) telah menyebabkan hidup masyarakat Aceh dalam kesengsaran dan penderitaan, maka dengan dilakukan pencabutan operasi tersebut rakyat Aceh bersyukur kepada Allah, ada yang langsung melakukan sujud syukur, berteriak Allahu Akbar dan meluapkan rasa gembira yang mendalam, kerana seolaholah merasa terlepas dari bahaya besar serta tidak membayangkan apa yang akan terjadi sesudahnya. Tidak terbayang bahwa Pusat akan memberlakukan bentuk-bentuk lain lagi dari operasi yang boleh jadi akibatnya tidak kurang dari yang terjadi semasa DOM tersebut. 1.3 Silaturrahmi Dengan Masyarakat Presiden BJ Habibie datang ke Aceh pada hari Jumat tangga 26 Maret 1999 yang disambut oleh aksi ribuan mahasiswa, pelajar dan masyarakat di jembatan Pante Perak (Krueng Aceh), kira-kira 500 meter dari Masjid Raya Baiturrahman. Mahasiswa pada umumnya tidak dapat memasuki wilayah Masjid Raya Baiturrahman tempat Habibie ingin bersilaturrahmi dengan masyarakat, karena ketatnya penjagaan aparat keamanan,141 namun sejumlah mereka yang nekad dapat menerobos penjagaan ketat untuk berjumpa langsung dengan Habibie. Di hadapan hadirin para undangan resmi, Habibie secara terbuka menyatakan menyesal dan memohon maaf kepada masyarakat Aceh dan keluarga korban operasi militer pada masa lalu. Pidato Habibie demikian disambut oleh mahasiswa dan masyarakat dengan riuh dan mereka meminta diadakan referendum untuk Aceh. Referendum bagi masyarakat Aceh adalah suatu bentuk perwujudan keadilan, demokrasi dan penyelesaian masalah yang bermartabat dalam dunia modern sekarang. Habibie menentreramkan suasana dengan meminta untuk melihat kembali perjuangan kemerdekaan yang dilakukan pejuang-pejuang Aceh, adat istiadat Aceh dan berfikir jernih untuk kebaikan bersama. Manakala referendum yang terus menerus didesak oleh mahasiswa dan sebagian tokoh masyarakat untuk diwujudkan, Habibie terpaksa menjawab ia tidak memiliki wewenang untuk itu karena masalah tersebut itu adalah hak MPR maka ia mengajak untuk mensukseskan PEMILU dengan baik.142 Habibie memang telah menunjukkan beberapa hal yang melegakan hati rakyat Aceh seperti menjadikan 85 sekolah swasta sebagai sekolah negeri, menambah tenaga guru dalam jumlah yang besar, mengutamakan pengangkatan PNS dari kalangan korban DOM, menjanjikan Bandara Sultan Iskandar Muda sebagai bandara yang melayani penerbangan jama‘ah haji dan ini memang

140

Abdul Ghani Nurdin dkk. Aceh Merdeka Dalam Perdebatan, (ed.Tulus Widjarnako), (Jakarta: Cita Putra Bangsa, 1999), hal 255-256. 141 Ibid., hal. 171. 142 Ibid., hal. 373-374.

358

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

kemudian memang terwujud. Hal-hal yang tidak terwujud dari janji Habibie meliputi: 1. Kekerasan yang dilakukan ABRI tidak dapat dibendung di lapangan. Sebagai contoh operasi Satgas Wibawa 99 yang terjadi di Pusong Lhokseumawe Aceh Utara telah menyebabkan paling kurang 11 tewas, 32 luka dan 170 ditahan.143 Peristiwa lain dalam bulan Februari 1999 telah terjadi insiden Lhok Nibong dan Idi Cut yang menghilangkan puluhan nyawa kemudian dibuang ke dalam sungai Arakundo di Aceh Timur dan masih banyak insideninsiden yang agak besar menengah dan kecil lainnya. 2. Pengembangan kawasan ekonomi terpadu Sabang tidak berjalan sesuai dengan harapan rakyat Aceh. 3. Transportasi kereta api tidak dilanjutkan oleh penerus Habibie. Ini barangkali PEMDA dan masyarakat sendiri tidak menganggap sebagai kebutuhan yang penting. 2. Aceh Masa Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-24 Juli 2001) Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia keempat setelah Presiden Habibie menepati janjinya untuk segera melaksanakan PEMILU. Dalam pemilu 1999, PDIP yang dipimpin Megawati Soekarno Putri, sebuah partai kecil di era Orde Baru, meraih kemenangan besar sementara PKB yang dipimpin Abdurrahman Wahid berada pada urutan kedua. Walaupun Megawati memenangkan pemilu, tapi karena desakan dari berbagai pihak termasuk pemuka agama Islam yang menyatakan perempuan tidak boleh menjadi kepala negara menghambat langkah Megawati menduduki kursi kepresidenan pada tahun tersebut. Suasana demikian telah membuka peluang besar bagi Gusdur, nama yang paling akrab dipanggil untuk Abdurrahaman Wahid, untuk menjadi Presiden. Dalam sidang umum MPR 1999, Gusdur terpilih dan dilantik menjadi Presiden Indonesia pada 20 Oktober 1999. Setelah terpilih menjadi presiden Gusdur berjanji akan mengunjungi Aceh dan menyelesaikan persoalan Aceh secara damai, bermartabat dan tidak ada pihak yang dirugikan atau sering dia sendiri menyebutkan dengan win-win solution. Tapi kenyataan ini tidak pernah terwujud bahkan, bahkan Gusdur menyatakan ketika itu orang Aceh masih sedang sangat emosional, sehingga permasalahan rakyat Aceh tidak mungkin diselesaikan secara baik-baik. Barang kali, ini bagian dari kelemahan Gusdur, seperti yang dinyatakan olah Al Chaidar, ada 17 kelemahan Gusdur yang salah satunya adalah “one man show dan kurang peduli teamwork”.144 Ia lebih mengutamakan persepsi sendiri dan tidak lebih giat berusaha bersama-sama baik dengan kabinet dalam pemerintahannya dan para pakar di Jakarta ataupun dengan tokoh masyarakat Aceh dalam hal penyelesaian masalah daerah ini. Alhasil kalangan intelektual Aceh yang dimotori oleh Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA) terus menuntut referendum dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat mengatur kekuatan dengan baik. Akibatnya Aceh ketika itu memiliki dualisme pemerintahan, pada satu sisi tunduk kepada pemerintah republik sementara pada bagian lain harus tunduk pada pemerintahan GAM yang telah menguasai seluruh wilayah pedesaan. Di daerah pinggir kota telah terjadi saling tarik menarik kekuasaan antara ABRI dengan GAM,

143 144

Ibid., hal 297. Al-Chaidar, Negara Madinah, hal. 37.

Aceh Serambi Mekkah

359

akibatnya rakyat yang lebih banyak jadi korban, baik harta bahkan sampai ke jiwa. Kontak senjata antara TNI-POLRI sering sekali terjadi dan masing-masing kelompok menunggu kelengahan dan kelemahan lawannya. Akibatnya korban berjatuhan pada kedua belah pihak dan tidak kurang pula yang menjadi korban adalah orang awam yang kadang kala tidak terlibat sama sekali dalam persoalan politik yang sedang sangat panas di daearah ini. Gusdur, dalam kunjungan luar negerinya ke beberapa negara termasuk Cina dan Amerika, pernah menyebutkan kemungkinan dilakukan referendum untuk Aceh dengan opsi bergabung atau berpisah dengan Republik Indonesia. Setelah tiba di Jakarta ia terpaksa menjelaskan bahwa referendum yang dimaksudkan adalah antara otonomi luas atau otonomi sempit.145 Nampaknya Gusdur secara pribadi pernah berhasrat untuk memberi kebebasan pilihan bagi rakyat Aceh, akan tetapi tokoh-tokoh di Pulau Jawa menentangnya dengan keras. Ini cukup beralasan karena Indonesia baru saja menelan pil pahit lepasnya Timor Timur dari pangkuan Republik Indonesia. Sikap Gusdur yang demikian menunjukkan kelemahannya dalam membuat keputusan, ia bertindak secara pribadi tanpa melibatkan kalangan lainnya di dalam pemerintahan. Karena cara-cara kepemimpinannya yang dianggap tidak mendukung keutuhan republik dan tidak ada tanda-tanda untuk menyelesaikan multi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, yang oleh ketua MPR Amien Rais menilai rapornya tetap merah setelah satu tahun pemerintahannya, akhirnya ia dijatuhkan secara tidak terhormat melalui sidang umum istimewa pada tanggal 24 Juli 2001. Dalam masa pemerintahannya yang mendekati dua tahun boleh dikatakan tidak memberikan sesuatu yang berarti bagi Aceh. 3. Aceh Masa Pemerintahan Megawati Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden Republik Indonesia kelima menggantikan Gusdur melalui sidang istimewa MPR 2001. Sebelum menjadi presiden ia telah mendapat lakab Cut Nyak di Aceh karena pernah berikrar ketika berkunjung ke daerah ini seandainya dirinya menjadi presiden tidak akan membiarkan setetes darahpun tercecer di tanah ini. Ia tidak langsung menjadi presiden setelah pemilu tahun 1999 walaupun partai yang dipimpinnya, PDIP, meraih kemenangan besar karena alasan tertentu dari elit politik Jakarta. Akan tetapi karena kepercayaan DPR/MPR hilang pada Abdurrahman Wahid dengan terpaksa MPR menggelar sidang istimewa dan mengangkat Megawati menjadi presiden. Masyarakat Aceh ketika itu, sama halnya dengan pada masa Gusdur, sedang gencar menuntut referendum, manakala GAM melakukan penguatan diri termasuk pembinaan mental keagamaan prajurit dan kalangan sipilnya yang memiliki struktur pemerintahan dalam Nanggroe Aceh demikian pula untuk segenap anggota masyarakat. Merdeka bagi kalangan GAM ketika itu seolah-olah sudah berada di depan mata, dan negara yang akan didirikan adalah sebuah negara Islam yang harus berlaku hukum Islam sebagaimana didapati dalam sejarah negara ini. Untuk itu masyarakat perlu dibina sejak dini untuk ta‘at pada ajaran agamanya. Masyarakat desa, terutama kalangan muda, sangat antusias menyambut ajakan ini dan senang menjalankan ajaran agama lalu mereka berbondong-bondong memadati meunasah dan masjid untuk melakukan shalat ketika tiba waktunya. Ketika azan berkumandang orang lalu lalang dihentikan

145

360

Hasanuddin, Tamaddun dan Sejarah, hal.162-163.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

oleh petugas khusus untuk memasuki masjid dan meunnasah. Pengajian-pengajian di kampungkampung dihidupkan dan ceramah-ceramah agama dilakukan di berbagai tempat yang kadangkadang isinya bersemangat menghidupkan ajaran Islam dan meningalkan falsafah Negara Indonesia Pancasila. Perbuatan-perbuatan mungkar seperti mencuri dan minum khamar ditindak tegas bahkan ada yang berkeinginan agar langsung ditegakkan hukum Islam dengan memotong tangan pencuri demi cepat terwujud pelaksanaan Syari‘at Islam di bumi Serambi Makkah. Permainan batu domino dan semacamnya dilarang keras karena itu dianggap bagian dari judi ataupun perbuatan lagha (sia-sia) yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Menurut mereka materi PPKN yang dilandasi pada Pancasila di sekolah-sekolah adalah merusak akidah anakanak Aceh maka mata pelajaran itu tidak boleh diajarkan pada sekolah-sekolah di Aceh. Dalam suasana masyarakat Aceh secara luas yang sedang menuntut kemerdekaan bahkan GAM telah menguasai hampir seluruh kampung di Aceh, Megawati dilantik menjadi presiden. Kemudian ia dengan gigih berupaya mempertahankan Aceh agar tidak lepas dari Republik Indonnesia serta berkeinginan menyelesaikan persoalan secara damai. Sebaliknya masyarakat Aceh yang telah memiliki pengalaman buruk bersama dengan dua presiden sebelumnya yaitu Soekarno dan Soeharto, maka apapun yang dijanjikan oleh Pemerintah Pusat kurang direspon dan bahkan tidak dipercayai. Dengan kata lain saling tidak percaya antara Pemerintah Pusat dengan daerah Serambi Makkah telah berlangsung dari masa awal kemerdekaan sampai sekarang. Presiden Megawati menempuh sejumlah upaya untuk melakukan penyelesaian persoalan Aceh termasuk mengizinkan The Henry Dunant Centre dan negara donor (AS, Jepang, Uni Eropa dan Bank Dunia) untuk menjadi fasilitator penyelesaian. Upaya ini membuahkan hasil positif yaitu terjadinya kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cassation Of Hastilaties Agreement) yang ditandatangani di Jenewa, Swiss pada tanggal 9 Desember 2002. Nota kesepahaman itu ditandangani Pihak RI oleh menteri luar negeri Hasan Wirayuda dan pihak GAM diwakili oleh Zaini Abdullah yang menetap di Swedia dan telah menjadi warga negara tersebut. Untuk merealisasi jeda kemanusiaan ini dizinkan team monitoring untuk masuk ke Aceh yaitu yang terdiri dari tentara-tentara Thailand dan Uni Eropa, disamping diikuti pemantauannya oleh delegasi Indonesia dan perwakilan GAM melalui juru runding mereka. Bagi team monitoring ini tidak diizinkan menggunakan senjata. Perwujudan kesepakatan ini cukup memberi arti positif bagi kenyamanan hidup masyarakat sehari-hari. Kontak senjata, yang hampir dapat dipastikan terjadi setiap hari dipenjuru wilayah Aceh, tidak terdengar lagi, perebutan senjata yang kerap terjadi antara TNI-POLRI dengan GAM terhenti total dan anggota GAM yang bertemu TNI-POLRI harus dijadikan sebagai sahabat. Amat disayangkan hal ini tidak berjalan lama, sebab jeda kemanusiaan itu sangat mendukung keberadaan GAM dalam menyusun strategi dan mendatangkan senjata ke Aceh dari luar negeri dan bahkan ada yang mensinyalir senjata di datangkan dari Jakarta sendiri. Padahal Republik Indonesia mengharapkan senjata GAM harus terkumpul sampai dengan tanggal 9 Februari 2003 dan setelah senjata terkumpul barulah dilakukan perundingan dilakukan di dalam negeri. GAM membantah adanya kehendak tulus RI, mereka menyatakan justru karena memiliki senjatalah mereka disegani. GAM yang memperkirakan dirinya telah tergolong kuat karena ada sebagian senjata yang dimiliki tergolong canggih, tidak mau tunduk pada kehendak RI. Bantahan GAM ini cukup beralasan karena pengalaman perjanjian RI dengan DI/TII tahun 1958 yang antara lain isi penting perjanjian tersebut adalah “Pemerintah akan memberikan hak dan isi otonomi seluas-luasnya untuk daearah Aceh, terutama dalam bidang keagamaan, pendidikan Aceh Serambi Mekkah

361

dan peradatan”.146 Atas dasar perjanjian itu dibentuklah provinsi Aceh dengan nama “Provinsi Daerah Istimewa Aceh”. Nama ini pada akhirnya hanyalah sebagai sebuah sebutan dan janji otonomi luas hanyalah didapati dalam catatan lembaran sejarah di Aceh namun tidak pernah diwujudkan dalam kenyataan. Pada sisi lain, sebagian masyarakat yang menderita perlakuan korban DOM dan operasi-operasi setelahnya mengambil kesempatan untuk menyampaikan pernyataan sikap pada dunia internasional melalui AMM bahwa mereka benar berhasrat untuk memisahkan diri dengan Republik Indonesia. Suasana ini membuat Pemerintah Pusat panik, bahkan Amien Rais yang ketika itu sebagai Ketua MPR meminta agar tugas team The Henry Dunant Centre dibubarkan saja dan anggota monitoring dikeluarkan dari Aceh. Kekesalannya pada keberadaan fasilitator ini dikemukakan dalam siaran-siaran televisi seperti “kita telah meletakkan Dunant Center di atas kepala kita”. Amien terus mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dan tepat terhadap keadaan di Aceh agar daerah ini tidak lepas dari Indonesia. Ia pernah mengibaratkan keadaan Aceh dengan Indonesia ketika itu, juga dalam siaran televisi, bagaikan seuntai benang yang mempunyai sejumlah urat-uratnya dan kini yang tersisa tidak terputus hanyalah satu urat lagi dari untaian benang tersebut. Demikianlah perumpamaan tipisnya kemungkinan lepas Aceh ini dari Indonesia saat itu. Dalam kesempatan lain, melalui siaran pers setelah berkunjung ke Aceh, Amien juga pernah menyatakan kalau Aceh lepas dari Indonesia maka negara ini tidak disebut lagi Indonesia dan keterlepasan Aceh dari negara ini bagaikan lepasnya kepala dari suatu jasad. Dalam suasana demikian Megawati mencoba melakukan perundingan lagi dengan GAM yang difasilitasi Jepang dan dilakukan di Tokyo pada 18 Maret 2003. Perundingan ini dinilai oleh GAM hanya suatu pamer Republik pada dunia Internasional bahwa seolah-olah mereka membuka peluang untuk dilakukan dialog dalam menyelesaikan masalah, tapi tidak lebih dari pemaksaan kehendak agar GAM menyerah saja. Buktinya, menurut mereka, juri runding ditangkap ketika mau keluar dari hotel Kuala Tripa yang akan menuju ke air port dalam rangka menghadiri meja perundingan. Pihak Indonesia berdalih bahwa penangkapan itu dilakukan karena juru runding itu berhasrat ingin melarikan diri ke luar negeri. Perundingan ini gagal dan tidak mencapai hasil apa-apa. Kegagalan perundingan ini menjadi momentum yang tepat bagi Presiden Megawati yang merencanakan menumpas habis GAM, atau Republik menyebutkan Gerakan Seperatis Aceh (GSA), yang diperkirakan jumlah tentaranya sebanyak lima ribuan dengan kekuatan senjata yang dimiliki sebanyak sekitar seribuan pucuk senjata. Selain Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), yang kemudian mereka menyebut diri sebagai Tentera Nasional Aceh (TNA), yang merupakan sayap militer GAM, dikenal juga istilah penyandang dana dan simpatisan. Semua unsur ini perlu dikikis habis dari tanah Aceh. Untuk menumpas habis Gerakan Aceh Merdeka pemerintah menetapkan Darurat Militer (DM) pada tanggal 19 Mei 2003 dengan mengirim 40.000 tentara lengkap dengan peralatan perang berat, sedang dan ringan. Dengan kekuatan yang demikian kuat Indonesia meyakini bahwa GAM dapat dibasmi dalam waktu yang singkat dan hal ini sering dikemukakan KSAD Jenderal Riyamizard Riyacudu yang melontarkan pernyataan bahwa TNI tidak akan mendapat kesulitan berarti dalam menghadapi kekuatan GAM. Pernyataan ini barangkali dimaksudkan dalam rangka memberi semangat juang tinggi bagi TNI

146

362

Ramadhan KH. Sjamaun Gaharu, hal 352.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

yang bertugas untuk tidak memprediksikan kekuatan GAM seperti yang dirisaukan dan ditakuti. Pada sisi lain pemerintah juga menetapkan agar bumi Aceh tidak boleh dilihat oleh orang asing dengan cara tidak diberi izin sama sekali kepada mereka untuk mengunjungi Aceh. Ketika DM ditetapkan, Megawati menyatakan kepada rakyat Indonesia bahwa dirinya bukanlah orang yang ragu-ragu atau tidak dapat bertindak tegas dalam menyelesaikan persoalan GAM sebagaimana yang sering dilontarkan pada dirinya di Jakarta. Dalam beberapa minggu TNI menggempur AGAM, mereka terdesak dan kerap melakukan pembakaran fasilitas umum seperti sekolah, kantor-kantor pemerintah dan sebagainya. Hal ini disambut gembira oleh Jakarta, sehingga Amien Rais sebagai ketua MPR mengeluarkan pernyataan bahwa GAM telah terdesak dan panik menghadapi TNI. Kenyataannya memang GAM terdesak tapi kebanyakan mereka tetap teguh dengan perjuangan sehingga tidak mau menyerah. Prediksi pemerintah semula GAM dapat dihabiskan dalam tempo yang singkat tidaklah demikian halnya, sebab DM perlu diperpanjang untuk masa enam bulan ke depan. Kemudian baru status DM diturunkan menjadi Darurat Sipil (DS) pada hari hari Rabu tanggal 19 Mei 2004, tetapi TNI-POLRI non-organik tidak dapat ditarik dari Aceh dengan alasan suasana keamanan Aceh belum kondusif sepenuhnya dan Indonesia sedang menghadapi PEMILU dan pemilihan presiden pada tahun itu. Darurat sipil dikuasai oleh Gubernur yang dibantu oleh POLDA Nanggroe Aceh Darussalam dan dikoordinir oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam masa DM banyak rakyat yang memilih keluar dari Aceh karena menghindar dari pergolakan bersenjata lalu mereka menyeberang ke Malaysia. Ini terbukti misalnya UNHCR, sebuah lembaga tertinggi PBB untuk urusan pengungsi mengeluarkan sekitar 3.000 surat perlindungan sejak Mei 2003 sampai akhir Januari 2004 di Kuala Lumpur.147 Jumlah ini hanyalah mereka yang mencatat diri pada komisi tertinggi ini, tapi tidak diketahui secara pasti berapa banyak jumlah yang sesunguhnya mereka yang keluar dari Aceh pada masa DM ini. Sementara rakyat yang tinggal di Aceh, terutama kampung-kampung yang dianggap oleh pemerintah lebih dikuasai oleh GAM, merasa tidak bisa hidup tenang. Sebab, mereka bisa dituduh simpatisan GAM kalau pernah membantu GAM dalam bentuk dan keadaan apapun dan bagaimanapun. Anggota masyarakat yang dianggap simpatisan ini sangat besar, termasuk sebagiannya adalah kepala desa, maka untuk pemeriksaan mereka terpaksa didatangkan polisi dari Pulau Jawa. Mereka yang diperiksa umumnya dinyatakan bersalah sehingga harus meringkuk dalam penjara. Sebagiannya dibawa ke penjara-penjara di Pulau Jawa karena dianggap kesalahannya besar manakala yang lain tetap tinggal dalam penjara di Aceh. Pemilihan presiden telah selesai dilakukan dan keadaan Aceh berangsur kondusif karena anggota TNI-POLRI yang cukup besar jumlahnya ditempatkan di Aceh, namun Presiden Bambang Yudhoyono, presiden RI pertama yang dipilih langsung oleh rakyat, tetap khawatir akan keadaan di Aceh lalu ia memperpanjangkan lagi Darurat Sipil. Aceh sejak pemberlakuan DM dan DS benar-benar tertutup bagi dunia luar, tapi Allah mendatangkan musibah besar bagi Aceh yaitu tsunami yang menghilangkan lebih 3 ratusan ribu penduduk, puluhan ribu rumah hancur karena diluluhlantakkan terjangan tsunami yang dahsyat dalam kurun sejarah modern dan tidak dapat ditaksir harta benda yang lenyap serta tidak dapat dihitung jumlah rupiahnya. Di balik musibah besar itu Allah Yang Maha Kuasa membuka tanah Aceh bagi semua bangsa di dunia dan 147

Majalah Tempo tangal 28 Maret 2004 hal. 36.

Aceh Serambi Mekkah

363

mereka berbondong-bondong datang ke Aceh untuk memberi bantuan baik dari negara-negara Islam, Kapitalis Kristen dan Komunis. ACEH PASCA TSUNAMI Ketika kita mengangkat isu Islam sebagai sumber kekuatan orang Aceh pasca tsunami, berarti kita telah mengangkat sumber kekuatan iman bangsa Aceh dalam menerima musibah yang dalam pemahaman agama disebut cobaan Allah Yang Maha Kuasa. Aceh telah banyak menerima cobaan dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk yang selalu berbeda. Semenjak Aceh belum menjadi sebuah negara dengan wilayah besar menjangkau lebih separuh Pulau Sumatra dan semenanjung Malaysia, Aceh sudah diuji dengan kekerasan penjajah Inggris dan Portugis. Pasca wujud Kerajaan Aceh Darussalam, kembali dijajah dan diperas oleh kaum Belanda. Dan ketika Aceh telah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia masih juga ditipu, dipaksa dan dijera oleh bangsa Jepang di luar prikemanusiaan. Keadaan serupa belum lagi berakhir hingga Indonesia merdeka. Pada tahun 1953 sampai tahun 1962 penguasa Indonesia di Jakarta mengganyang Aceh dengan alasan memerangi kaum pemberontak DI/TII. Dan semenjak tahun 1976 sampai 2004 kembali terjadi peristiwa yang hampir sama dengan peristiwa di tahum 1953. Dalam masa tersebut terjadi banyak pelanggaran HAM seperti pemaksaan, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pembakaran, perampasan, perampokan, pelecehan dan seumpamanya. Suasana itu berakhir ketika gempa berkekuatan 8,9 SR yang disertai oleh gelombang tsunami besar yang meluluh lantakkan negeri Aceh di pesisir pantai laut. Menurut Tgk. Chik Kuta Karang, semua itu terjadi karena bangsa Aceh sudah zalim dan tidak lagi ta’at kepada Allah Swt. Beliau mengungkapkan demikian ketika Belanda menjajah Aceh dan banyak orang Aceh yang lengah dengan perintah Allah. Menurut beliau serangan Belanda terhadap negeri Aceh merupakan takdir Tuhan karena rakyat Aceh telah berubah janji tidak mengerjakan perintah Allah dan menyebarkan bid’ah dalam ibadah dan agama mereka sehingga Islam tidak lagi sejalan dengan syari’atnya. Menurutnya, pada masa itu satu-satunya jalan menebus kesalahan tersebut adalah dengan cara berjihad di jalan Allah menegakkan agama Islam karena jihad menjadi ibadah sangat utama setelah dua kalimah syahadah. Kalau tidak berjihad maka tertimpa atasnya ; (a) mala petaka yang besar (b) bangkit musuh atasnya (c) rusaknya agama.148 Pasca tsunami ternyata kekuatan iman dan daya tahan kehidupan bangsa Aceh masih tetap kokoh dan tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan luar yang menyebabkan mereka keluar dari kerangka kehidupan asasi. Walaupun gempa telah meruntuhkan sejumlah bangunan dan tsunami telah menghanyutkan ribuan rumah serta ratusan manusia menjadi mayat, namun sisasisa manusia yang tidak sempat berakhir hayatnya dengan tsunami masih dapat bertahan hidup dengan persediaan yang serba kekurangan. Dari sejumlah orang sisa hantaman tsunami di pesisir pantai laut tidak sampai satu persen pun yang mengalami gangguan jiwa akibat bala besar tersebut. Ini bermakna daya tahan kejiwaan bangsa Aceh lebih kuat dan keras dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di belahan bumi ini. Di Jogjakarta dan Jawa Timur agak lumayan banyak orang stres akibat sedikit gempa yang

148

364

Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal., 163.

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

menggoyang wilayah itu bulan Juli 2006 yang lalu. Di Rwanda dan Burundi banyak orang yang sakit jiwa akibat pengaruh konflik antar suku yang berkepanjangan pada tahun sembilan puluhan. Alhamdulillah bangsa Aceh masih diberikan kekuatan iman untuk menghadapi musibah demi musibah dari tahun ke tahun. Keadaan seperti ini menjadi satu keanehan bagi bangsa Eropa yang bekerja di berbagai NGO di Aceh pasca gempa bumi dan tsunami. Ian Clarke yang pernah menjabat Project Manager Oxfam GB di Aceh Besar dan Banda Aceh tahun 2005 mengakui ketahanan mental dan spiritual Bangsa Aceh. Ia mengaku jarang mendapatkan kesabaran orang-orang yang ditimpa musibah besar seperti orang Aceh.149 Setelah bekerja beberapa bulan sebagai relawan di Care Internasional, Patrick seorang pemuda Amerika mengakui kesabaran orang Aceh sungguh luar biasa. Sudah digoyang gempa, dihantam tsunami, kehilangan sanak keluarga, mereka tetap tegar dalam menempuh kehidupan sehari-hari.150 Demikian juga dengan pengakuan beberapa orang pekerja NGO lainnya yang pernah membantu para pengungsi di Aceh pasca tsunami mengakui ketabahan dan kesabaran Bangsa Aceh sangat luar biasa. Yang lebih dikagumi mereka adalah; para pengungsi tetap bersemangat dan masih bisa tersenyum dengan bangsa luar meskipun mereka tidak punya rumah, tidak punya sandang, pangan dan kehilangan anggota keluarga.151 Semua itu dapat terjadi dikarenakan kekuatan iman yang mendalam terpatri dalam lubuk hati mereka. Walaupun ada seorang dua yang mengeluh atau kurang sabar terhadap musibah yang mereka hadapi, itu lumrah saja terjadi dari sekian ribu orang yang lebih sabar dan menyerah diri kepada Allah. Memang sudah menjadi hukum alam bahwa dalam setiap komunitas tentu ada beragam watak dan pemikiran. Sehingga jika hanya ada satu atau dua orang yang berbeda, tidak bisa menjadi ukuran, tetapi yang mayoritas itulah yang selalu menjadi sampel dalam suatu penelitian. 1. Kekuatan sabar Kehidupan orisinil Bangsa Aceh selalu dipengaruhi oleh ajaran Islam yang menjadi sumber kekuatan dalam kehidupannya. Ketika terjadi sesuatu musibah terhadap diri seseorang Aceh sering dikaitkan dengan pengaturan Allah Swt. Artinya apa saja yang terjadi dalam kehidupan ini tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Qadha dan Qadar yang tertera dalam rukun iman urutan keenam. Dengan memilih sikap demikian berarti kehidupan ini semuanya sudah teratur rapi, manusia hanya tinggal mengatur dan melayani saja apa yang bakal terjadi. Tetapi tidak pula Bangsa Aceh itu berkiblat kepada faham Jabariyah yang menganggap segalanya sudah ada ketentuan dan tidak dapat diutak atik lagi sehingga hidup ini menjadi pasif dan pasrah. Islam masih memberi peluang seluas-luasnya untuk berkreasi, berpartisipasi dan berjuang untuk keberhasilan diri sendiri. Firman Allah SWT.:

149

Wawancara dengan Ian Clarke, PM. Oxfam Aceh Besar dan Banda Aceh pada tanggal 17 Mei 2005 di banda Aceh. 150 Wawancara dengan Patrick, staf Care International pada tanggal 7 Maret 2005 di Banda Aceh. 151 Wawancara dengan Stuart Jordan, Samantha dan Patrick Okoth, staf Oxfam Internasional (Banda Aceh: 9 Februari 2005)

Aceh Serambi Mekkah

365

(Balasan) yang demikian itu, ialah karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dikurniakan-Nya kepada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan (ingatlah) sesungguhnya Allah Maha mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Al-Anfal; 53).

Bagi tiap-tiap seorang ada malaikat penjaganya silih berganti dari hadapannya dan dari belakangnya, yang mengawas dan menjaganya (dari sesuatu bahaya) dengan perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki untuk menimpakan kepada sesuatu kaum bala bencana (disebabkan kesalahan mereka sendiri), maka tiada siapapun yang dapat menolak atau menahan apa yang ditetapkan-Nya itu, dan tidak ada siapapun yang dapat menolong dan melindungi mereka selain daripada-Nya. (Surah Ar-Ra’d: 11). Kekuatan iman Bangsa Aceh terpatri dan tertusuk ke lubuk hati sehingga apapun yang terjadi pada mereka selalu dikembalikan kepada Allah Zat Yang Maha Suci. Islam dipandang sebagai pegangan hidup, pengatur hidup dan pandangan hidup bagi mereka. Siapa saja yang menghina Islam lebih mereka benci dari pada menghina diri mereka sendiri, walaupun dalam kehidupan sehari-hari praktik ibadahnya sering terabaikan.152 Dalam kasus tsunami dan bencana lainnya Bangsa Aceh cenderung pasrah kepada Allah ketimbang marah kepada-Nya. Pasrah itu selalu dimanifestasikan melalui sebuah kesabaran, dan kesabaran itu pula cenderung menghantarkan mereka dapat hidup tenang. Mengingat jumlah korban tewas akibat tsunami Desember 2004 lalu meningkat melebihi 290 ribu orang. Jumlah korban jiwa di Aceh mencapai sedikitnya 123 ribu orang, sementara mereka yang masih dilaporkan hilang atau diduga sudah meninggal dunia mencapai sedikitnya 113 ribu orang.153 Patutlah Bangsa Aceh berduka dan bersedih hati, namun kekuatan sabar dapat menghantar mereka pada posisi mulia di sisi Allah dan terhormat di sisi manusia. 152

Arys Medan, Apa Sebab Daoed Beureu-éh Berontak?, Gerakan Keamanan Rakyat Muslimin Daerah Aceh, (1955), hal, 1. 153 Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum, http://www.ranesi.nl/

366

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Kesabaran dalam kehidupan Bangsa Aceh ini tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam yang sudah melekat pada mereka. Kondisi dan frekuensi sabar orang Aceh selalu dapat meredam emosi. Perkara ini sudah terpatri dan ditanam orang tua Aceh kepada anak-anak mereka semenjak kecil. Para orang tua selalu mengajarkan sikap berserah diri pada Allah dalam menghadapi apapun, karena setiap tindakan pasti ada balasannya dari Allah SWT. Memang Al-Qur’an banyak sekali menganjurkan umat manusia untuk bersabar dan orangorang yang sabar itu pula yang selalu mendapat kemenangan serta keberhasilan dalam kehidupan. Firman Allah:

Demi Masa! Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian - Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan sabar. (Al-‘Ashr)

Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan (untuk menghadapi susah payah dalam menyempurnakan sesuatu perintah Tuhan) dengan bersabar dan dengan (mengerjakan) shalat; kerana sesungguhnya Allah menyertai (menolong) orang-orang yang sabar (Al-Baqarah: 153).

Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantahbantahan; kalau tidak niscaya kamu menjadi lemah semangat dan hilang kekuatan kamu, dan sabarlah (menghadapi segala kesukaran dengan cekal hati); sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Anfal: 46). Jadi kekuatan sabar itu memang datangnya dari Allah bagi orang-orang yang mengikuti ajaran dan perintah-Nya. Ia tidak akan merasa wujud bagi orang yang tidak berada dalam konteks ini dan malah cukup banyak orang yang merasa kecewa, frustrasi, patah hati dan sebagainya akibat lepas dari ikatan dan ketentuan Allah. SWT. Padahal bagi mereka yang tetap sabar, tidak lama pasca tsunami sudah dapat bangkit kembali baik dari sisi kesehatan, kepulihan jasmani-rohani, maupun kemantapan ekonomi. 2. Kekuatan Melawan Upaya Pemurtadan Sudah setahun lebih gempa besar dan gelombang tsunami menghantam Nanggroe Aceh Darussalam yang menimbulkan banyak persoalan-persoalan baru selain bencana alam itu sendiri. Salah satunya adalah isu pemurtadan bangsa Aceh oleh pihak missionaris yang bekerja pada Aceh Serambi Mekkah

367

NGO tertentu dengan cara yang amat beragam. Upaya pemurtadan tersebut sudah jelas diketahui orang Aceh mulai dari Aceh bagian timur hingga ke Aceh bagian barat, khususnya di wilayahwilayah yang terkena tsunami. Dan cara kerja mereka pun sudah sangat jelas terdeteksi oleh beberapa pihak yang peduli dengan persoalan tersebut seperti; Organisasi Pemuda Islam, Organisasi Massa Islam,. Yayasan-yayasan Islam, pertubuhan paguyuban, Organisasi-organisasi Mahasiswa/Pelajar, pihak Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagainya. Para missionaris ini memanfaatkan arena bantuan kemanusiaan dalam musibah gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 sebagai medannya. Tidak perlu diragukan lagi tentang adanya upaya Kristenisasi di Aceh pasca tsunami 26 Desember 2005 yang lalu. Dari awal tsunami media massa sudah mengekpos bagaimana gigihnya para missionaris mencuri anak-anak Aceh. Ada yang dibawa ke luar negeri dan ada pula yang disembunyikan di Medan atau Pulau Jawa. Hal ini disaksikan oleh para aktivis dan wartawan.154 Misi Kristenisasi ini dibungkus dengan misi kemanusiaan. Umpamanya boneka yang diberikan kepada anak-anak jika dipencet akan mengeluarkan bunyi dalam bahasa Inggris berisi doa-doa tidur jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bermakna “penyatuan roh-roh manusia dengan roh-roh kudus”.155 Dihadapan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Seratusan mahasiswa Unsyiah yang tergabung dalam Koalisasi Mahasiswa Anti Pemurtadan (Komandan) menjelaskan soal kegiatan kristenisasi tersebut. Bahkan pada kesempatan itu mahasiswa memperlihatkan sejumlah bukti yang ditemukan di sejumlah lokasi kamp-kamp pengungsi kepada Gubernur seperti buku bacaan berjudul Roh Kudus Pembaruan (Yayasan Kemanusian Bersama), buku bacaan siswa SLTA berjudul Dewasa dalam Kristus Gaya Hidup Kristenan, kemudian mainan anak-anak berupa kalung berlambang palang salib, termasuk copy buku kumpulan doa-doa Hanan el-Khouri berjudul Rahasia Doa-Doa Yang Dikabulkan. Dalam buku tersebut berisikan doa-doa yang dikutip dari injil dengan bertulisan bahasa Arab. Jika masyarakat tidak paham, Hal ini bisa membuat mereka murtad, bahkan di Aceh Jaya telah ditemukan 500 injil.156 Masyarakat Desa Lhok Geulanggang, Kecamatan Setia Bakti, Kabupaten Aceh Jaya, Oktober 2005 menemukan sejumlah tablet obat bergambar ’bunda maria‘. Tablet tersebut dibagikan kepada anak-anak oleh orang-orang tertentu di desa tersebut.157 Pada silaturahmi yang sengaja diadakan untuk melaporkan fakta pemurtadan di Aceh, sejumlah fakta berupa Injil dalam bahasa Aceh, selimut bergambarkan salib, boneka atau mainan anak-anak bergambar sinterklas, booklet, brosur, pamflet berciri Islam tetapi isinya tentang agama Kristen diperlihatkan kepada publik di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.158 Selain itu ada juga LSM tertentu yang sengaja membagikan bahan logistik tepat pada waktu shalat umat Islam khususnya shalat magrib yang singkat sekali waktunya. Hal ini sengaja dilakukan sebagai salah satu upaya agar muslim dan muslimah Aceh tertinggal shalatnya. Beberapa orang ibu di Durong Aceh Besar menyatakan bahwa mereka diajarkan ajaran

154

Serambi Indonesia Senin 19 Desember 2005. Serambi Indonesia Senin 19 Desember 2005. 156 Serambi Indonesia Rabu, 13 Juli 2005. 157 Serambi Indonesia Rabu, 30 November 2005. 158 Republika, Selasa, 27 Desember 2005. 155

368

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Nabi Isa oleh wanita pekerja pada Yayasan Kreasi asal Bandung pada bulan Juli 2005. Para wanita muda yang bekerja di LSM Kreasi tersebut memberikan bantuan kerajinan tangan untuk diajarkan kepada kaum perempuan di Durong. Sambil mengajarkan ilmu mandiri tersebut mereka selalu membisik ajaran Almasih, Bunda Maria dan persepsi semua agama sama kepada ibu-ibu di Durong. Hal ini membuat orang-orang Durong benci kepada LSM tersebut beserta dengan pekerjanya.159 Pembagian Injil dan mainan anak-anak khas Kristen kepada masyarakat Baitussalam di Aceh Besar juga menjadi bukti lain bahwa ada usaha-usaha pemurtadan bangsa Aceh dalam masyarakat kampung dan desa. Sejumlah masyarakat korban gempa dan tsunami di kawasan Lambada Lhok dan sekitarnya pernah menerima mainan anak-anak yang berciri khas Kristen sekitar bulan Juni 2005. Selain itu masyarakat di sana juga secara sembunyi-sembunyi dibagikan kitab Injil oleh pihak-pihak tertentu, sebahagiannya sudah diterjemahkan kedalam bahasa Aceh.160 Rasanya sudah memadailah bukti untuk disimpulkan bahwa memang betul-betul ada upayaupaya pemurtadan di Aceh oleh LSM-LSM asal luar Aceh. Untuk informasi tambahan, kisah perjalanan tokoh-tokoh Islam dari luar Aceh yang melihat dan merasakan langsung pemurtadan menjadi sumber lain tentang kejahatan keagamaan yang dilakukan pihak Kristen. Imam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) H. Muhyiddin Hamidy menyatakan, dia tidak menduga ada misi-misi kemanusiaan dari beberapa negara di Nanggroe Aceh Darussalam menyebarkan hal-hal yang merusak aqidah orang-orang Aceh, termasuk anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hal tersebut diungkapkan H. Muhyiddin Hamidy setelah dia menerima laporan langsung dari Banda Aceh dan Meulaboh dari sejumlah relawan yang mendengar dan melihat secara langsung apa yang diperbuat sebagian anggota misi kemanusiaan dari beberapa negara terhadap para remaja dan anak-anak pengungsi Aceh. Beliau sangat menyayangkan bahwa misi kemanusiaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu oleh beberapa LSM yang seharusnya membantu meringankan penderitaan masyarakat Aceh yang tertimpa musibah secara tulus tanpa maksud-maksud lain. Dia berharap pemerintah dapat lebih arif melihat apa yang terjadi di lapangan dan bila perlu menegur mereka yang melakukan hal-hal yang merusak aqidah orang-orang Aceh, yang sejak dulu dikenal kuat memegang teguh Islam sebagai agamanya. Lebih lanjut dia mengatakan, pihaknya telah mengirimkan laporan ke Bapornas dan Satkorlak dengan lampiran-lampiran fakta atau bukti tentang masalah tersebut Sementara itu, dr. Herman, yang anak dan istrinya hilang ditelan tsunami di Meulaboh, mengatakan dia sangat sedih orang-orang Aceh yang tertimpa musibah banyak yang aqidahnya dirusak. Pria Aceh beranak satu dan lolos dari maut setelah diterjang gelombang tsunami mengatakan daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau dengan jalur darat ditempuh dengan helikopter yang membawa misi negara asing. Mereka tidak saja memberikan bantuan pakaian dan makanan, tetapi juga membelokkan aqidah orang-orang muslim di sana.161 Merujuk kepada hukum Negara, Hukum Adat, apalagi Hukum Islam maka yang paling

159

Wawancara dengan Nurhayati, Halimah dan Nurjannah, penduduk kampung Durong Aceh Besar pada tanggal 3 Agustus 2005. 160 Wawancara dengan Azwir Nazar, Tokoh Pemuda Lambada Lhok, 11 Juli 2005 di banda Aceh. 161 Republika, Selasa, 08 Februari 2005 8:34:00

Aceh Serambi Mekkah

369

bertanggung jawab dalam hal ini adalah Pemerintah, baik NAD maupun Indonesia. Pasalnya, negara yang serba Pancasila ini telah mengeluarkan ketentuan tidak boleh ada suatu umat beragama yang mengajak umat agama lain memeluk agama mereka, baik secara langsung maupun tidak. Hukum Adat Aceh sangat menentang bila agama Islam diganggu, orang Aceh berperang ratusan tahun dengan penjajah karena persoalan ini.162 Dan dalam Hukum Islam, sangat pantang umatnya menukar agama (murtad) karena balasannya adalah pembunuhan, kata Nabi saw; man baddala diynuhu faqtuluhu (barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia), tentu setelah diproses via pengadilan. Bagi para pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya di hari kelak atas kerja-kerja kepemimpinannya di dunia (kullukum raa’in wa kullukum mas-uwlun ‘an raa’iyatuhu). Berdasarkan gambaran di atas maka pihak Pemprov NAD bersama rakyatnya harus betulbetul bertanggung jawab terhadap perkara ini. Seorang Aceh berbalik agama dari Islam ke agama lain maka seluruh komponen masyarakat Aceh menanggung resiko di hari kelak. Pemerintah punya hak, punya fasilitas dan kuasa untuk melakukan semua itu, umpamanya sehari setelah tsunami Pemprov NAD seharusnya membentuk panitia kecil yang mengawal bandara, terminal dan pelabuhan laut untuk mencegah penyimpangan seperti ini terjadi, atau ketika isu pemurtadan terangkat mereka harus segera turun tangan, bukan mengatakan itu fitnah atau itu isu politik murahan dan sebagainya. Lembaga Hukom Adat Laot/Panglima Laot Aceh, meminta Pemerintah, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias untuk memastikan bahwa seluruh lembaga nonpemerintah (NGO) di Aceh, menandatangani Code of Conduct / kode etik untuk bekerja murni kemanusiaan163 Hal ini dimaksudkan agar tidak ada NGO yang menyalahgunakan bantuan kemanusiaan di NAD. Sebenarnya semua NGO khususnya NGO luar, wajib berpegang kepada Standard Spheer, yaitu sebuah buku panduan yang disusun dan disepakat secara internasional. Buku ini memastikan LSM mana saja yang bekerja atas dasar kemanusiaan baik di wilayah konflik maupun bencana alam tidak boleh menebarkan ajaran agama apapun dan tidak boleh berpolitik, khususnya politik praktis. Pemerintah Kota Lhokseumawe melarang beroperasinya satu lembaga swadaya masyarakat (LSM / NGO) setelah mendapat laporan bahwa lembaga tersebut melakukan pendangkalan aqidah. Langkah serupa juga dilakukan di Banda Aceh. Seperti diberitakan harian Serambi Indonesia (12/ 12/2005) bahwa Kakandepag Banda Aceh, Drs H Aiyub Ahmad menyatakan, pihaknya sudah menegur dan mengingatkan 17 NGO asing yang diduga melakukan aksi penyebaran agama selain Islam secara terselubung di kawasan Banda Aceh.164 Firman Allah:

162

Untuk keabsahan keyakinan orang Aceh terhadap Islam silakan baca Arys Medan, Apa Sebab Daoed Beureu-éh Berontak?, Gerakan Keamanan Rakyat Muslimin Daerah Aceh, 1955, hal, 1 - 7. 163 Serambi Indonesia, Senin, 2.1.2005. 164 Serambi Indonesia 12.12.2005.

370

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik itu akan ditempatkan di dalam neraka Jahannam, kekallah mereka di dalamnya. Mereka itulah sejahat-jahat makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itulah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhannya ialah syurga Adnin (tempat tinggal yang tetap), yang mengalir di bawahnya beberapa sungai; kekallah mereka di dalamnya selama-lamanya; Allah redha akan mereka dan merekapun redha (serta bersyukur) akan nikmat pemberian Nya. Balasan yang demikian itu untuk orang-orang yang takut (melanggar perintah) Tuhannya. (Al-Bayyinah; 6-8). Rakyat Aceh mampu melewati permasalahan ini dengan baik, dengan bekal iman yang kuat, usaha dari para missionaris ini tidak berhasil. Kekuatan menahan upaya pemurtadan itu sudah melekat pada diri orang Aceh semenjak dahulu kala. Aceh telah dijajah oleh Portugis, Inggris, Belanda maupun Jepang, bangsa Aceh telah berhasil dengan gemilang mempertahankan iman dan Islam dari berbagai upaya pemurtadan kaum kafir penjajah dengan cara yang sangat ganas dan keras. Kekuatan Iman dan ‘aqidah Islamiyah bangsa Aceh tercatat dalam sejarah amat sulit dipatahkan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum sekuler. Tahun 1885 Masehi telah terjadi perebutan kekuatan iman dan ‘aqidah Islamiyyah bangsa Aceh oleh penjajah Belanda. Pada masa itu pembesar-pembesar Belanda meminta Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman untuk turun gunung dan menyerah kalah kepada Belanda agar keselamatannya terjamin. Ulama dari Tiro tersebut malah mengirimkan sepucuk surat meminta semua Belanda di Aceh masuk Islam, baru beliau turun dan hidup berdampingan dengan mereka.165 Suatu berita yang mengejutkan dan sekaligus membingungkan kaum penjajah Belanda. Zentgraaff menulis tentang perkara tersebut sebagai berikut: Di dalam surat menyurat itu Teungku Syeh Saman menuju sasarannya kepada pemerintah kita di Aceh; pada bulan itu juga, tahun 1885, ia mengirimkan suratnya kepada residen Van Langen di Kutaraja yang isinya tak lain dari pada sebuah ultimatum. Ia menawarkan 165

H. C. Zentgraaff, Aceh, (Jakarta: Beuna, 1983, hal. 27 – 33. Ibid, hal 29. 167 Untuk kelengkapan dua kali Teungku Chik Di Tiro menyurati Belanda silakan lihat Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 1158-159.. 168 Ibid, hal. 33. 166

Aceh Serambi Mekkah

371

perdamaian . . . asal saja orang-orang Belanda mau menganut agama Islam, terlebih dahulu pemerintahnya. Ia merumuskan persoalannya sederhana sekali: menganut agama Islam dan hidup berdamai dengan orang-orang Aceh atau diusir dari Aceh secara kekerasan dengan ancaman: masuk neraka di akhirat kelak.166 Usaha mengajak kaum penjajah Belanda masuk Islam agar selamat di dunia dan juga di akhirat terus dilakukan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman sampai tahun 1888.167 Pada masa itu beliau mengajukan syarat kepada residen Belanda ketika Belanda memintanya turun gunung agar residen bersama dengan semua orang Belanda yang ada di Aceh menganut agama Islam untuk menghindari pengusiran mereka secara keji dari Aceh.168 Persoalan penolakan pemurtadan dan mempertahankan iman serta ‘aqidah Islamiyyah dari bangsa Aceh dapat disimak dalam kisah perjuangan dan perlawanan Cut Nyak Dhien terhadap penjajah Belanda. Cut Nyak Dhien bertekad meneruskan perjuangan suaminya Teuku Umar, yang syahid di medan pertempuran, sampai titik darah penghabisan, namun pengawalnya Panglima Laot menyerahkan Cut Nyak dhien kepada Belanda dan beliau diasingkan ke Sumedang sampai akhir hayatnya. Beberapa hal menarik yang dapat dipetik di sini antara lain adalah; walaupun ia sudah tua dan matanya sudah rabun serta makanannya sudah tiada dalam gunung dan tentara-tentara Marsose terus menyerbunya, tapi ia tetap tidak mau menyerah kepada Belanda. Dalam keadaan seperti itu ia rela makan apa saja di hutan asalkan halal.169 Pertahanan iman oleh seorang pejuang wanita Aceh Cut Nyak Dhien menjadi satu pegangan bagi wanita Aceh lainnya. Semenjak suaminya Teuku Umar syahid, Cut Nyak Dhien bersama bangsa Aceh terus berjuang dan berperang mempertahankan iman, ‘aqidah Islamiyyah dan tanah tumpah darah dari serbuan penjajah Belanda. Ketika keadaan fisiknya sudah sangat lemah akibat usia tua dan beberapa penyakit melanda dirinya, pengawal utamanya Panglima Laot mulai gundah dan berpikiran lain. Menurut pengawal setianya itu berdamai dengan Belanda lebih baik asalkan Cut Nyak Dhien selamat dan tidak diganggu serta tetap tinggal di Aceh. Ketika ide tersebut disampaikan kepada Cut Nyak Dhien dengan alasan logistik sudah habis, persenjataan dan tentara sudah mulai sedikit dan sebagainya. Mendengar pernyataan Panglima La-ot demikian, segera Cut Nyak Dhien mejawab: wahai Pang laot; kita memang sudah tidak ada lagi bahan logistik, kita tidak cukup lagi senjata dan kita sudah sedikit pejuang setia, namun kamu jangan lupa kita masih punya Iman yang tidak pernah dimiliki oleh penjajah Belanda.170 Mendengar jawaban seperti itu Pang la-ot pun menjadi terdiam. Kekuatan melawan pemurtadan juga pernah dilukiskan oleh Tgk. Chik Muda Dhain dalam sepucuk suratnya tahun 1880 kepada Habib Muhammad di Lhok Seumawe. Di antara isinya adalah: . . . Hamba permaklumkan kepada tuan seperti surat hamba ini yang tersebut di dalam kitab-kitab orang Islam seperti kita bersahabat dengan orang Belanda tiada baik sekalisekali melainkan kita mufakat sekalian muslim kita lawan perang sabilillah dengan orang Belanda. . . Jangan sekali-kali kita meninggal kita punya Raja Sultan Aceh seperti kita perang dengan Belanda seperti perang sabilillah, maka kita muslimin semuanya dapat pahala besar dari dunia 169

Ismail Sofyan, M. Hasan Basri, T. Ibrahim Alfian (ed), Prominent Women in the glimpse of history, Jakarta: Jayakarta Agung Ofset, 1994, hal. 85. 170 Ibid, hal. 94-95 171 Ibrahim Alfian, Op Cit., hal. 126.

372

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

sampai ke akherat, melainkan kita semuanya orang Islam mufakat kita lawan juga janganlah bersahabat dengan orang kafir karena kita lain agama dan orang Belanda lain agama, janganlah tuanpun ikut seperti orang-orang lain yang sudah terkena tipu oleh orang-orang Belanda.171 Apresiasi ide dan pemikiran Tgk. Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien dan Tgk. Chik Muda Dhain yang masing-masing mempunyai falsafah sendiri menjadi sebuah bukti bahwa Bangsa Aceh sangat sensitif dengan persoalan murtad. Mereka rela mati asalkan iman dan kehormatan tetap murni, mereka rela hartanya habis asalkan Islam tidak hilang dalam jiwa raganya, dan mereka rela hidup dalam kondisi serba kurang asalkan tetap dalam agama Islam. Keadaan yang sama dikokohkan oleh kondisi pemurtadan NGO-NGO asing terhadap umat Islam Aceh selama lebih kurang dua tahun pasca gempa dan tsunami. Namun iman orang Aceh masih kokoh dan mereka tetap bertahan pada agama Islam walau apapun yang bakal mereka hadapi dalam kehidupan ini. Secara tidak langsung peninggalan Tgk. Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien dan Tgk. Chik Muda Dhain masih mengalir dan melekat pada anak cucu Adam yang berbangsa Aceh ini. Namun demikian para penguasa Aceh khususnya dan masyarakat Aceh umumnya tidak boleh terlena dengan kisah-kisah dan cerita-cerita tersebut dengan mengabaikan pembinaan bangsa, terutama pembinaan dalam bidang ‘aqidah, iman dan tauhid. Karena tiga pilar ini menjadi benteng utama kekuatan pertahanan Islam bagi seseorang, baru setelah itu diisi dengan ilmu-ilmu lain sesuai kebutuhan. Untuk menjadi pegangan dan manifestasi sejarah masa silam baiklah kalau kita mengenang apa dan bagaimana cara Nabi memperkokoh ‘aqidah umatnya. Rasulullah saw. membangun dan membina umat pertama sekali di Makkah dengan gerakan ‘aqidah. Persoalan iman dan tauhid menjadi tumpuan utamanya sebelum menuju kepada operasional akhlaq dan syari’ah, dengan prioritas pembinaan ‘aqidah tersebut ternyata generasi beliau berhasil mengembangkan Islam keseluruh pelosok dunia. Umat Islam hasil didikan baginda rasul tidak mudah tergoyah iman dan ‘aqidahnya dan tidak bisa dijebak dengan persoalan-persoalan moral. Syari’ah secara otomatis tegak dengan sendirinya karena umat tersebut sudah takut kepada Allah melebihi ketakutannya kepada yang lain-lain dan menjalankan semua aktifitas sesuai dengan ketentuan akhlaq karena rasa malunya kepada Allah juga melebihi perasaan malu kepada yang lain-lain. Sistem pemantapan kader yang pernah dilakukan Rasulullah saw. ternyata sangat efektif di mana baginda membina generasinya dengan sistem berkemah dalam beberapa gelombang. Setiap gelombang biasanya diikuti oleh lebih kurang empat puluh peserta, setiap peserta dibina dengan pemantapan ‘aqidah, akhlaq dan kemudian pengenalan syari’ah. Ketika semua mereka sudah tertanam ‘aqidahnya dan sudah menyatu dengan keorisinalan akhlaq maka tidak ada seorang pun yang berani melanggar perintah Allah dan melaksanakan larangan-Nya khususnya yang berhubungan langsung dengan Syari’ah. Sebagai contoh; ketika surah al-Ahzab ayat 59 dan surah an-Nur 31 turun pertanda wajibnya menutup aurat, kaum hawa pada masa itu bergegas mengambil kain apa saja yang ada disekelilingnya untuk menutup aurat. Kalau boleh kita umpamakan kehidupan seperti hari ini, mungkin mereka mengambil taplak meja dan gorden jendela untuk menutup auratnya kalau tidak ada kain lain karena takut dosa kepada Allah ta’ala. Demikian juga ketika ayat larangan minum arak turun, kaum lelaki yang doyan minum arak segera meninggalkannya dan ramai pula yang langsung menghancurkan botol, guci dan tempat simpanan arak lainnya karena ta’at kepada Allah dan takut dosa. Semua itu sangat terkait dengan kekuatan iman dan ‘aqidah yang dibina Rasulullah Saw. Aceh Serambi Mekkah

373

Ketika ‘aqidah umat sudah kuat, mereka sudah betul-betul takut kepada Allah dan benar-benar yakin kepada arkanul iman sehingga generasi zaman tersebut tidak seorang pun yang berani menentang Nabi. Sebaliknya, Nabi sendiri betul-betul menjadi penegak ‘aqidah yang murni sehingga tiada seorang pengikut pun yang merasa ragu kepada-Nya. Dalam pembinaan umat, Rasulullah saw. tetap memulai dari diri sendiri (Ibdak binafsik) dan dengan cara demikianlah umat tetap yakin terhadap kepemimpinannya. Setelah sempurna pendidikan awal di Makkah, generasi semakin hari semakin bertambah maka kader-kader tersebut menyebar ke beberapa wilayah untuk mengembangkan Islam dan mensosialisasikan syari’ah. Salah seorang kader hasil didikan Nabi adalah Mus’ab Bin Umair, setelah memilih Islam sebagai agamanya Mus’ab terus bersama Nabi untuk mengembangkan dan mempertahankan Islam. Suatu ketika tatkala ibu kandungnya yang masih kafir sudah sangat tua dan sakit-sakitan, beliau dipesan untuk pulang karena sang ibu merindukannya. Ketika Mus’ab memenuhi permintaan ibunya lalu si ibu berucap: “wahai Mus’ab! Kamu satu-satunya anak kesayanganku, ayahmu sudah tiada dan aku sudah sangat tua, aku dengar engkau sudah mengikuti ajaran Muhammad yang sesat itu, segera tinggalkan semua itu dan kembalilah kepada kepercayaan nenek moyang kita Latta dan ‘Uzza. Mendengar ucapan ibunya dengan kata-kata yang serak dan putus-putus itu segera Mus’ab menjawab: “Wahai ibu kandungku yang sangat aku cintai, seandainya engkau punya seratus nyawa dan akan engkau keluarkan satu persatu nyawa tersebut sehingga sampai kepada nyawamu yang keseratus, maka sungguh aku tidak akan meninggalkan Islam agama Allah yang amat benar ini”. Mendengar jawaban sang anak yang sudah sangat mantap ‘aqidahnya, tiada apapun yang bisa dilakukan sang ibu kecuali pasrah kepada sang Latta dan ‘Uzza. Karena mantapnya ‘aqidah Mus’ab Bin Umair lalu Rasulullah sempat memberikan tugas berat kepadanya untuk mendidik dan mengajar dua puluh lima (25) orang Islam yang berikrar setia kepada Nabi dalam Ikrar ‘Aqabah dua yang pernah terjadi di tengah malam buta. Mereka berhasil dibina dan dibimbing dengan sempurna sehingga kemudian mereka menjadi pionir penegak syari’ah di awal pelaksanaan syari’at Islam di Makkah dan Madinah. Ternyata hanya generasi ‘aqidah sajalah yang mampu menegakkan syari’ah di belahan bumi yang amat raya ini. Tanpa ‘aqidah mereka menjalankan syari’at Islam yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya saja dalam waktu-waktu tertentu pula, sementara ketika berhadapan dengan kepentingan hidupnya lazim mereka meninggalkan syari’ah dan memilih nafsu. Itulah yang terjadi di mana-mana hari ini, mereka hanya patut diberi gelar generasi nafsu sementara orang seperti Mus’ab tadi layak menyandang gelar generasi ‘aqidah. Generasi nafsu senantiasa berbuat melihat apa ada kepentingan nafsunya di sana dan apa yang bisa menambah material duniawinya di sana, ketika itu semua nampak maka mereka baru mau bekerja untuk mengejar bayangan tersebut. Sementara generasi ‘aqidah hanya melihat apa ada kepentingan Allah di sana ketika itu nampak dengan jelas maka mereka dengan penuh keyakinan melakukan semua itu walau berhadapan dengan maut. Untuk menghadirkan generasi nafsu dalam suasana hari ini tidaklah susah cukup membiarkan suasana yang tengah wujud terus berlangsung walaupun resikonya sangat besar di hari kemudian. Namun untuk mewujudkan generasi ‘aqidah sangat sulit dan sangat susah karena nampak hari ini belum ada penguasa negara yang mau memulai dari diri sendiri (ibdak binafsik) baik dari segi konsep maupun praktek sebagaimana sikap dan pendirian pemimpin besar dunia Muhammad Bin Abdillah Rasulullah Saw.

374

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Untuk memastikan generasi ‘aqidah tersebut wujud di Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah resmi berlaku syari’ah maka langkah awal yang harus dijalankan adalah memantapkan ‘aqidah para pejabat negara dengan sisten ibdak binafsik dan buang jauh-jauh perangai dan sifat hubbuddunya wa karahiyatul maut yang senantiasa menghancurkan akhlaq anak bangsa. Apabila semua pejabat negara di Nanggroe Aceh Darussalam berani melakukan dua hal tersebut insya Allah generasi ‘aqidah segera wujud di sini. Tetapi kalau sampai besok penghuni Nanggroe ini (terutama para penguasanya) masih mencintai dunia dan terus dipengaruhi oleh material yang merajalela maka syari’at Islam sampai kapanpun tidak akan berkesan di bumi Iskandar Muda ini. Seterusnya, untuk memastikan syari’at Islam itu berjalan dengan baik di Aceh ini maka generasi ‘aqidah tadilah yang menjadi pioner operasionalnya hingga sepanjang masa. Tanpa generasi tersebut mustahil syari’ah bisa jalan. Untuk itu yang mesti kita pikirkan bersama bagaimana mewujudkan generasi ‘aqidah yang menjadi modal dasar berjalannya syari’ah. Langkah ril dan konkrit ini segera diaplikasikan sejak dini baik oleh Pemprov NAD secara umum, Dinas Syari’at Islam, lembaga-lembaga ke Islaman atau lain-lainnya secara khusus. Ikuti langkah-langkah Nabi dan lakukan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Insya Allah kita akan berada pada posisi yang berhasil. Faiza ‘azamta fatawakkal ‘alallah.3. Kekuatan Bangkit Kembali Tidak lama setelah gempa dan tsunami, Aceh terus berbenah diri untuk bangkit kembali sebagai sebuah wilayah yang normal. Dalam masa enam bulan terlihat kota-kota dan kampungkampung yang berserakan kembali rapi, masyarakat kembali beraktivitas sebagaimana sebelumnya. Kebangkitan Aceh tersebut juga didorong oleh bantuan luar negeri sehingga Aceh cepat pulih. Hal ini terbaca dari pernyataan-pernyataan pemimpin dunia seperti ungkapan Tony Blair: We have delivered to Banda Aceh, the first phase of equipment to support the UN field office there. We have given to UNICEF 4 million pounds, to WHO 3 million, Red Cross and Cressent 3,5 million. Terjemahan adalah Ke Banda Aceh sudah kami kirim perlengkapan pertama untuk mendukung kantor PBB di sana. Kepada UNICEF kami serahkan 4 juta pounds, WHO 3 juta pounds, Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Intenasional 3,5 juta pound.172 Janji membangun kembali Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami tak cuma dilontarkan perdana menteri Inggris Tony Blair. Sejumlah negara besar lain, seperti Australia, Jepang, Perancis, Jerman, Belanda, Malysia, Brunai Darussalam, Singapore, Korea, Turki, Denmark, Pakistan, Amerika Serikat, dan lainya juga melempar janji serupa. Pemerintah RI membantu Rp.147.000.000 pada awal periode pembersihan Aceh dan sejumlah NGO pun turut membuka kantor di kawasan-kawasan tsunami di seluruh bumi Aceh guna membantu masyarakat yang tertimpa tsunami dan membersihkan kawasan-kawasan semak akibat gempa dan tsunami. Terhitung awal tahun 2005 Aceh mulai berbenah diri dengan berbagai cara dan berbagai

172

Siaran Radio Nederland, Kamis 19 Mei 2005 15:00 UTC, lihat situs: http://www2.rnw.nl/rnw/ id/spesial/aceh_pasca_tsunami/aceh_bangkit050221?view=Standard

Aceh Serambi Mekkah

375

bantuan. Namun Aceh bangkit. Akhir Januari, televisi tidak lagi mengkampanyekan “Indonesia Menangis”. Di Meulaboh, puing-puing telah dibersihkan, toko dan rumah perlahan dipugar dan pedagang kaki lima pindah. Aceh kehilangan sepertiga dari angkatan kerja nelayan. Panglima Laut (semacam lurah para nelayan) mengumpulkan tenaga dan modal yang masih ada. Aceh bangkit di tengah dunia. Abad XVI menyaksikan pusat pengajaran Islam dan pusat dagang Serambi Mekkah - serambi yang merajut hubungan budaya, agama dan niaga antara Eropa, Arab, India dan Asia. Kini, Aceh kembali jadi serambi global. Misi kemanusiaan internasional, militer dan sipil asing, disambut rakyat, tetapi – ironisnya – dikabuti xenofobia dan paranoid dari kalangan tentara, politisi dan media dari Jakarta. Pada minggu pertama musibah, tentara berperan penting, tapi belakangan terkejut, merasa “ternodai” ketika wilayahnya “dijarah” oleh kekuatan asing. “Saya harus ijinkan mereka masuk, kalau mau menolong rakyat!” ujar Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Tapi ada saja politisi Jakarta yang mencurigai kapal induk Amerika USS Abraham Lincoln jadi “satpam asing”. Padahal, pesisir Nusantara dari Aceh, Palembang, Pantura (Demak, Gresik) sampai Ambon sejak dulu kosmopolitan. Belanda dulu juga sulit memahami peradaban pesisir. Paul van ‘t Veer, dalam bukunya “De Atjeh Oorlog” (1979), mencatat betapa Batavia panik ketika harian Samarangsche Courant 21 April 1873 mengabarkan bahwa di masjid-masjid kaum Muslim Jawa mendoakan kemenangan Aceh terhadap invasi Belanda. Orang-orang di Jawa, Singapura, Pinang dan tentara Turki dituduh berkomplot melawan Hindia-Belanda, padahal perwira Turki itu cuma singgah di Aceh. 173 Selain itu, di awal tsunami juga ada kekhawatiran serupa yang bersumber pada dua faktor yang sama: situasi pemberontakan dan jalur strategis Selat Malaka. Pemerintah Pusat cemas, bantuan jatuh ke tangan pemberontak dan peran asing membuat keamanan selat rentan. Maka Helsinki meeting digelar untuk mengamankannya. Lantas diumumkan tenggat-waktu 26 Maret bagi militer asing. Duapuluh enam Maret, tiga bulan setelah musibah, tahap tanggap-darurat (emergency) harus berakhir dan dimulai tahap rekonstruksi Aceh. Bantuan dunia dan solidaritas Indonesia keduanya terpuji dan tanpa preseden - harus membekali kebangkitan Aceh. Wajah Aceh sarat posko asing maupun posko Indonesia yang menyediakan sembako dan jasa publik, mulai air minum, obat-obatan sampai perawatan tulang (orthopedik). Helikopter Amerika, Singapura dan Malaysia hilir mudik menyalurkan bantuan, tim Prancis, Denmark mencolok di bidang kesehatan dan pendidikan, Turki membuka klinik, Korea Selatan menghibur kanak-kanak dan tim Jerman giat di sektor bangunan. Di desa-desa di Lamno, tim PBB dan Pakistan mengelola jasa publik, layanan medis, dsb. Di Banda Aceh, Radio Nederland bertemu dua menlu, Hassan Wirayudha dan Bernard Bot. “Saya menyampaikan belasungkawa rakyat Belanda, kami akan membangun enam jembatan dan proyek air minum,” ungkap Menlu Belanda Bot. Gempa dan tsunami menyebabkan kerugian 97% dari produksi bruto Aceh (2,1 % dari produksi nasional) termasuk industri semen di Lhok Nga, sementara industri migas di kawasan Timur tetap utuh. Musibah ini pertama-tama merupakan musibah kemanusiaan. Pembantaian manusia oleh geologi ini menelan hampir seperempat juta penduduk Aceh dan membuat hampir

173

376

http://www.ranesi.nl/. lihat juga pada situs, http://www.rnw.nl/

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

setengah juta lainnya jadi pengungsi, di mana 65% merupakan pengungsi non-kamp (di rumah kerabat dan teman). Walhasil, dampak utamanya bagi Aceh - daerah yang disebut “laboratorium konflik, pangkat dan prestise” - adalah trauma kolektif di tengah konflik dan keharusan bangkit dari puing-puing. Kekuatan bangkit kembali Aceh kini nampak lebih ceria setelah perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI) digelar di Helsinki Finlandia 15 Agustus 2005. Dengan bekal perdamaian tersebut kini masyarakat Aceh dapat hidup tenang, aman dan tenteram. Dengan bekal itu pula para donor, terutama NGO-NGO asing dapat menyalurkan bantuan dan berkantor di Nanggroe Aceh Darussalam. Hari ini kekuatan iman, kekuatan ekonomi dan kekuatan semangat hidup baru sudah muncul kembali dalam diri masyarakat Aceh. Mereka tengah berlomba membenahi diri dan meningkatkan ibadah, meningkatkan taraf hidup dan perekonomian keluarga, serta mempertahankan ‘aqidah dari gangguan para missionaris. 4. Renungan Religius Untuk Tsunami Aceh Semenjak zaman penjajahan sampai ke zaman kemerdekaan Aceh telah banyak mengorbankan nyawa bangsanya untuk menuntut kebenaran dan mencapai keadilan. Dalam masa penjajahan melawan Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang lebih separuh nyawa penduduk Aceh melayang dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan. Pada masa kemerdekaan terjadi beberapa kasus dan peristiwa berdarah seperti Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/ TII), Perang Cumbok, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sejumlah peristiwa kecil lainnya. Akhir tahun 2004 tepatnya hari Ahad tanggal 26 Desember 2004 Nanggroe Aceh digoyang gempa dengan kekuatan 8,9 pada scala richter selama 17 menit dan disusul dengan gelombang tsunami yang menghancurkan separuh kota Banda Aceh, sepertiga Kabupaten Aceh Besar, sembilan puluh persen Kabupaten Aceh Jaya, delapan puluh lima persen Aceh Barat, dan selebihnya menghancurkan sebahagian Kabupaten Pidie; seperti Pasi Rawa, Pasi Sukon, Trieng Gadeng dan Pante Raja. Kabupaten Bireuen, Aceh Utara dan sebahagian Aceh Timurpun mengalami kerusakan di sana sini. Pada hari itu tiada yang lebih bermakna dan berharga kecuali nyawa, karena itu pula mereka yang selamat lebih cenderung untuk mengasingkan diri dan keluarga dari pada membantu dan mengevakuasi jenazah-jenazah saudaranya. Sangat banyak mobil-mobil mewah terjungkat dalam parit, tersangkut atas bangunan, terdampar di dalam taman dan lapangan Blang Padang. Para pemiliknya yang tersisa hanya mampu menatap, menyaksikan dengan jutaan harapan namun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kota Banda Aceh betul-betul terlihat seperti kota hantu selama sebulan, tiga hari setelah musibah para penjarah terus berdatangan dari berbagai arah yang khusus untuk mengosongkan kedai-kedai dan rumah-rumah orang, sebahagian yang lain menjarah besi-besi bekas dari jenis pagar, pintu, jendela dan sebagainya. Jenis aluminium dari tiang-tiang almari menjadi sasaran paling utama para pengumpul besi tua tersebut. Ketika negara-negara lain mulai menyalurkan bantuan seperti Malaysia, Pakistan, Amerika Serikat, Turki, Jerman, Singapura, Jepang, Yaman, Canada, Den Mark dan lainnya, kemudian didukung oleh berbagai LSM luar baik dari kalangan PBB seperti NATO, UNICEF, World Food Program (WFP), UNFPA, UNOCHA, UNDP, OXFAM, Save the Children, World Vision dan lainnya, kondisi Aceh mulai cair. Kemudian hadir pula lembaga-lembaga Islam seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Majlis Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Aceh Serambi Mekkah

377

Pelajar Islam Indonesia (PII), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan lainnya, serta datang pula bala bantuan dari beberapa propinsi dalam negeri seperti dari Riau, Sumatera Utara, Pulau Jawa dan sebagainya. Kondisi semacam ini menghantar keceriaan bagi Aceh dan bangsanya sehingga wujud sejumlah rumah sakit darurat di kawasan-kawasan bencana, hadir berbagai bantuan makanan dan minuman serta sandang dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Hari ini sejumlah lembaga-lembaga asing dan organisasi-organisasi Islam masih tetap perduli dengan Aceh sehingga para pengungsi berpindah dari kemah-kemah ke barak-barak yang sudah dan sedang disiapkan berbagai pihak. Malah ada sejumlah LSM asing yang ingin bertahan lama sehingga kepada pembinaan lanjutan seperti OXFAM, Save the Children, UNDP, UNICEF, UNOCHA dan sebagainya. Semoga kehadiran mereka benar-benar mengedepankan misi kemanusiaan dan jauh dari upaya-upaya pemurtadan. AWAL DAN PENYEBAB BANJIR Tsunami yang menghujam Aceh 26 Desember hujung tahun 2004 lalu merupakan suatu kejadian luar biasa yang jarang dirasakan penduduk dunia. Melihat perkembangan sejarah dari zaman ke zaman, kejadian seumpama ini terjadi ketika penduduk sesuatu wilayah sudah jauh meninggalkan perintah Allah. Biasanya berkaitan dengan lunturnya aqidah, lemah dalam beribadah dan ambruknya akhlak karimah. Tatkala itu manusia cenderung mengejar kesenangan dunia dengan menghalalkan segala cara seperti menipu, memanipulasi, korupsi, thamak, berzina, lemah beribadah, tidak takut kepada Allah dan sebagainya. Mereka lupa bahwa kehidupan dunia hanya sebuah perantauan yang sifatnya sementara dan kehidupan akhiratlah yang kekal baqa. Para penguasa negara umpamanya sudah keenakan meninabobokan rakyat dengan omongan-omongan kosong yang terasa sangat menggiurkan. Umpamanya janji meningkatkan taraf hidup para fakir miskin dengan berbagai program yang tidak pasti, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi seperti pengambilan mobil dinas secara dem yang belum memenuhi syarat untuk itu, memperbanyak SPJ dan mengurangi hari perjalanannya, mengizinkan pendirian bangunan pada tempat yang tidak layak dan melarangnya pada tempat yang sangat layak karena tidak diberikan suap dan sebagainya. Para pengusaha pula selama ini cenderung menyuap penguasa agar ia mendapat proyek yang bukan haknya, dalam pengadaan proyek tersebut sering dikelabui material dengan mengurangi ukuran kwalitas dan kwantitas. Dalam pendirian sebuah gedung sering terjadi pelucutan ukuran besi dari ukuran tiga belas kepada sembilan, ukuran campuran semen dari satu banding lima dengan satu banding tujuh atau sembilan. Akibatnya, bangunan itu roboh sebelum sampai masanya, kalau pembuatan jalan maka jalan itu hancur sebelum berganti tahun. Akibatnya, anak dan keturunan mereka pula yang menanggung kehancuran di masa mendatang. Para pengaman negara pula beralih profesi kepada pengaman keluarga dengan mengoroyok rakyat agar menyumbangkan dana kepadanya. Sesetengah mereka mengajak kaum hawa untuk bersenggama dengannya tanpa ada rasa takut kepada zat Yang Maha Kuasa. Sebahagian mereka juga menyiksa dan membunuh hamba Allah yang tidak berdosa seperti gambaran Al-Qur’an terhadap kaum ‘Ad yang menyiksa dan membunuh orang-orang beriman dan mengikuti Nabi Hud as.;

378

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. (Asy-Syu’ara; 130) Penyiksaan demi penyiksaan yang mereka lakukan terhadap ummat Islam Aceh selama beberapa dasa warsa yang lalu mencerminkan betapa kejam dan bejatnya mereka yang tengah berkuasa terhadap rakyatnya sendiri yang sedang menjalankan perintah Allah di Nanggroe Aceh Darussalam. Lebih kurang sama halnya dengan prilaku kaum ‘Ad yang menyiksa pengikut Nabi Hud karena meyakini tuhan Allah dan menjalankan perintah-Nya. Semua ulah mereka mengundang murka Allah yang Maha Perkasa, ketika manifestasi murka itu nyata mereka menganggap itu faktor dan kehendak alam semata-mata. Sebagai manifestasi konkrit dari itu kita lihat betapa banyak orang-orang yang sedang ditimpa mushibah lalu mengungsi ke masjid, namun mereka tidak tergerak hati untuk melaksanakan shalat di sana. Yang lebih dahsyat lagi adalah; rakyatpun terikut-ikutan untuk menghancurkan moralnya. Katakanlah bohong, dusta, tipu itu sudah menjadi teman hidup sebahagian rakyat kita. Pengabaian perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya sudah sangat merajalela, mulut mereka sudah jauh dengan zikir, tahmid, dan istighfar kepada Allah. Sebaliknya mereka suka berkata dusta, menipu, dan menggunjing sesamanya serta saling berlomba dalam menumpuk material di dunia dengan mengabaikan material akhiratnya. Kondisi seumpama ini sudah pernah berlalu di zaman silam yang berakhir dengan berbagai bencana alam. Katakanlah apa yang terjadi untuk bangsa Saba sebagaimana gambaran Al-Qur’an:

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (Saba; 15-16). Punca kehancuran negeri Saba oleh banjir arim tidak terlepas daripada ulah penghuninya sendiri sebagaimana gambaran Al-Qur’an:

Aceh Serambi Mekkah

379

Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celahcelah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. (Al-Kahfi; 32-36). Akibat dari kesombongan tanpa moral penghuni Saba tersebut Allah hancurkan bendungan arim yang dibangun dengan teknologi canggih di masa itu. Realisasi kebocoran tersebut mendatangkan banjir besar yang melanda seluruh negeri Saba dengan sasaran utamanya ibukotanya Maghrib. Banjir yang kemudian terkenal dengan banjir arim tersebut merobah wajah kota Maghrib dan negeri Saba yang dulunya dihiasi oleh pepohonan yang beragam dengan buah yang manismanis dengan wajah baru Maghrib dan Saba yang dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan di kota, di kampung, di jalan, di kebun, di bawah semak-semak dan juga di dalam bangunanbangunan yang dihuni manusia. Kondisi seumpama ini juga digambarkan Al-Qur’an terhadap kaum nabi Nuh yang ingkar perintah Allah.

Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang

380

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya). (Al ‘Araf; 64).

Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal. (Asy-Syu’ara; 119-120). Allah juga telah memberikan peringatan kepada kaum nabi Saleh, namun mereka menolak semua itu, akhirnya bala juga yang menyelesaiakn kecongkakan mereka semua.

Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat”. (Al-‘Araf; 78-79). Kaum nabi Hud (‘Ad) yang menolak ajakan nabinya karenan menganggap mereka lebih pandai dan merasa angkuh congkak dan sombong, akhirnya dimusnahkan Allah dengan serta merta dan Hud sendiri diselamtkan dengan mulya.

Maka Kami selamatkan Hud beserta orang-orang yang bersamanya dengan rahmat yang besar dari Kami, dan kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayatayat Kami, dan tiadalah mereka orang-orang yang beriman. (Al-A’raf; 72). Kaum nabi Luth yang homosex dan tidak mau mengikuti perintah Allah melalui nabi-Nya kemudian Allah hancurkan mereka dengan menurunkan hujan batu dari langit.

Dan Allah selamatkan Luth bersama dengan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya yang ikut dibinasakan. (Al-A’raf; 83-84). Ketika penduduk Madyan menolak ajakan nabi Syu’iab untuk tidak mengurangi sukatan Aceh Serambi Mekkah

381

(timbangan) dan tidak mengganggu orang-orang beriman di jalan-jalan, maka Allah berfirman:

Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka (Al-A’raf; 91). 1. Antara Banjir ‘Arim dan Banjir Aceh Banjir merupakan satu bencana alam yang kerap menjadi malapetaka kepada ummat manusia. Dalam perspektif Islam, bencana itu identik dengan bala dan ia didatangkan Allah Yang Maha Kuasa kepada sesuatu kaum yang sudah mengabaikan perintah dan larangan-Nya. Kaum nabi Nuh as telah dimusnahkan dengan banjir besar yang tidak diduga-duga datangnya karena ingkar kepada-Nya (al-A’raf; 68). Kemudian Allah menyelamatkan Nuh bersama dengan pengikut-pengikutnya dalam kapal yang penuh muatan (asy-Syu’ara; 119-120). Dalam kehidupan umat manusia banjir itu selalu ada, kadangkala ia diakibatkan oleh hujan lebat yang berterusan, atau akibat meluapnya air sungai yang tidak tertampung lagi di sesuatu sungai. Ini merupakan jenis banjir biasa yang kerap kali menimpa kehidupan ummat manusia, tapi ketika laut menampakkan amarahnya dengan memuntahkan kandungan perut sehingga menghancurkan sesuatu kaum, itu merupakan sesuatu yang sangat amat luar biasa dalam kehidupan ummat manusia. Kaum terpelajar menamainya Tsunami, tapi kaum beriman menyebutnya bala besar menghajar manusia-manusia bangsat yang menghirup udara Allah setiap sa’at. Secara ilmu pengetahuan kaum terpelajar berusaha mengendalikannya dengan cara-cara pembangunan pertahanan fisik dan infra struktur, sementara kaum beriman mengantisipasinya dengan mempertebal keimanan, meningkatkan ketaqwaan serta mempertinggi ketha’atan kepada Allah Khaliqul ‘alam. Sejarah zaman silam telah membuktikan hanya orang-orang beriman, beramal shalihlah yang sering mendapat naungan kapan dan dimana saja ia berada. Dalam kasus Tsunami banyak keajaiban-keajaiban di luar jangkauan kemampuan manusia telah terjadi. 2. Kisah Dalam Al-Qur’an Tersebutlah dalam al-Qur’an: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar (banjir ‘arim) dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohonpohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (Saba/34; 15-16). Negeri Saba yang pernah diperintahkan Puteri Balqis di zaman nabi Sulaiman as merupakan sebuah wilayah yang sangat strategis dan makmur. Sebuah bendungan bersejarah yang bernama bendungan ‘arim terletak di ibu kotanya maghrib. Bendungan tersebut sanggup mengairi kebun-kebun yang ada di negeri tersebut sehingga pepohonan menjadi subur dan berbuah manis-manis. Dengan kondisi semacam ini penghuni negeri Saba dapat menghasilkan banyak buah-buahan manis dan bisa diekspor keluar negeri.

382

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Ketika penghuni negeri ini telah lezat dan terlena dengan kemakmuran yang ada, kebanyakan mereka lalai, lupa dan malah ada yang angkuh serta sombong terhadap Allah swt. Mereka mengira kemakmuran itu datang tiba-tiba tanpa ada zat penentu yang mengarahkannya. Lalu kebanyakan penghuni negeri tersebut menjauhkan diri dari perintah dan larangan Allah, mereka takabbur, angkuh, congkak dan sombong dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana perumpamaan yang tertera dalam al-Qur’an: Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAAALLAH, LAA HAULA WALA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan (al-Kahfi 32-39). Demikianlah model penghuni negeri Saba yang sekarang tinggal kenangan karena hampir semuanya dibawa arus banjir besar akibat meletusnya bendungan ‘arim. Bendungan yang dibuat dengan system super canggih tatkala itu tidak pernah diprediksikan akan meletus, namun ketika kedhaliman, kemakshiyatan, dan kemungkaran sudah merajalela di sana Allah yang Maha Kuasa menghancurkan bendungan ‘arim yang mengakibatkan terjadinya banjir besar yang terkenal dengan banjir ‘arim. Banjir ini telah meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi negeri Saba sehingga nampak tidak lagi berfungsi. Beberapa peneliti internasional menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa negeri Saba sebahagiannya telah ditutupi oleh Lumpur sehingga bekas-bekas bangunannya tertanam sekian meter ke dalam tanah. 3. Banjir Aceh Tanggal 26 Desember 2004 menjadi hari paling bersejarah sekaligus berbahaya bagi masyarakat Aceh yang mayoritas muslim. Pada hari tersebut Aceh secara keseluruhan digasak oleh banjir besar yang sangat luar biasa dan belum dirasakan oleh penghuni negeri ini dari abad ke abad. Banjir air laut yang dalam bahasa hari ini disebut Tsunami memang betul-betul mengerikan, ia tidak memerlukan waktu lama. Hanya dalam masa lebih kurang 10 menit air di jantung hati laut yang berwarna hitam pekat dan tajam seperti air raksa itu sempat menghanyutkan ribuan rumah dan toko serta ratusan ribu jiwa ummat manusia. Ada orang yang berusaha lari dengan memakai kenderaan, ada pula lari dengan kaki ayam karena takutkan air yang semakin deras dan tajam. Sebahagian kecil saja yang selamat yang lainnya dihempas air dan mati seketika. Ketika air itu surut, bersama dengan puing-puing reruntuhan rumah dan toko bersama itu pula nampak mayat-mayat bergelimpangan di dalam bangunan di atas air, di Aceh Serambi Mekkah

383

atas jalan, di atas jembatan, di atas bangunan, di atas pepohonan, di atas jamban dan di mana-mana persis seperti dalam sebuah khayalan, tapi itu memang betul-betul sebuah kenyataan. Pesisir pantai seperti Krueng Raya, Kajhu, Lampulo, Uleelheue, Lhok Nga dan Lepueng di sekitar Banda Aceh serta Meulaboh di Aceh Barat, sepanjang Kabupaten Aceh Jaya, Trienggadeng dan pante Raja dan lainnya rata dengan tanah. Jalan-jalan diperkotaan tertimbun reruntuhan bangunan dan pepohonan, rumah-rumah dan toko-toko yang masih berdiri sudah tersumbat dengan sampah serakah, mobil-mobil dan berbagai jenis kenderaan ikut terpungging, kedalam parit, terhempas kesawah, tersangkut di atas bangunan dan pepohonan, sebahagiannya dibawa arus sungai dan ditarik gelombang Tsunami ke laut. Akibat dari itu semua, penghuni Nanggroe Aceh Darussalam menjadi gamam, mereka merasa takut kepada tuhan. Wajah kota Banda Aceh, Meulaboh dan lainnya mirip kota hantu, mayat-mayat tidak habis dievakuasi berbulan-bulan. Seminggu kemudian baru datang bantuan dari berbagai kalangan, pihak LSM luar dan dalam mulai mensaplai berbagai kebutuhan termasuk untuk sisa-sisa manusia yang diselamatkan tuhan yang kemudian menghuni kemah-kemah darurat untuk beberapa bulan. Kondisi seumpama ini nampak sangat mirip dengan Banjir Arim di negeri Saba yang beribukota Maghrib lebih seribu tiga ratus tahun silam. Pada masa itu Maghrib sebagai ibu kota Saba diporak-poranda oleh Banjir Arim yang merobah wajah Maghrib dan Saba menjadi wilayah tandus yang tidak berpohon, ketika pohon-pohon mulai tumbuh ia berbuah pahit tidak lagi berbuah manis seperti sebelumnya. Maghrib sebagai ibu kota Saba yang terparah dihantam banjir seperti Banda Aceh ibu kota nanggroe Aceh Darussalam yang paling parah dihantam Tsunami. Sementara Saba disambas dibahagian-bahagian tertentu seperti wilayah Aceh yang disapu Tsunami di kawasankawasan tertentu pula. Semua itu lebih diakibatkan oleh bejatnya moral, lemahnya iman, kurangnya ibadah serta lalainya hamba Allah yang telah diberikan syari’ah untuk dipegang dan dijalankan dalam kehidupannya. Cukup banyak bukti yang terkandung dalam al-Qur’an tentang kisah seumpama itu, malah endatu kita juga sudah menceritakannya kepada anak cucunya bahwa suatu sa’at ketika manusia di negeri ini sudah sangat dhalim, bangsat, bejat dan mengabaikan syari’at, maka air laut akan naik menghapus mereka agar Nanggroe Aceh Darussalam ini tetap bersih seperti sedia kala. Air tersebut menurut para Endatu bernama Ie Beuna. Dalam pantauan sejarah, di Aceh pernah terjadi tiga kali banjir air laut. Pertama tahun 1768, kedua 1869, dan ketiga 26 Desember 2004, dahulu namanya bukan tsunami, tetapi seumong. Hal itu dikemukakan oleh pakar Geofisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Eng Ir Teuku Abdullah Sanny MSc dalam lokakarya nasional menjaring aspirasi masyarakat dalam rangka menyusun program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami di gedung AA Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh, 1 Februari 2005. Dalam pantauan sejarah dunia, telah terjadi empat kali Tsunami besar di jagat raya ini; pertama di Amerika Laten, kedua di Alaska, keempat di Jepang dan terakhir di Nanggroe Aceh darussalam. Yang di Alaska airnya mencapai lima ratus meter lebih tapi tidak ada manusia yang mati karena wilayah tersebut kosong penghuni. 4. Gempa Dan Tsunami Aceh Gempa bumi dan gelombang tsunami Aceh yang menghancurluluhkan alam dan penghuni NAD bersama dengan rumah mereka hari Ahad 26 Desember 2004 menjadi bukti nyata betapa

384

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Allah itu Maha Kuasa. Lebih 1000 tahun yang lalu Al-Qur’an telah menggambarkan kondisi seumpama ini, ratusan tahun silam para endatu kita sudah menceritakan akan gempa besar dan kenaikan air laut yang disebut dengan ie beuna. Hari ini kita saksikan dengan mata kepala semua kisah dan cerita tersebut dengan perasaan pilu, sedih dan duka. Kenapa itu harus terjadi terhadap Aceh dan bangsanya? Mengikut kisah-kisah Al-Qur’an, jawabannya adalah karena bangsa Aceh sudah jauh dari Al-Qur’an dan perintah tuhan. Sebaliknya mereka dekat dengan larangan-Nya. Kisah-kisah nyata keambrukan akhlaq penghuni Nanggroe Aceh Darussalam ini dari berbagai level masyarakat menjadi pemicu kehadiran bala yang sangat dahsyat ini. Kisah banjir arim di negeri Saba kini terulang dengan bentuk dan tempat yang berbeda di Aceh. Kalau banjir arim di Saba menghancur luluhkan semua sisi kehidupan manusia maka Tsunami Aceh pun nampak tidak berbeda. Saba dengan ibukotanya Maghrib menjadi kering dan mirip kota hantu pasca banjir, pohon-pohon yang tumbuh kemudian berbuah pahit. Maka Tsunami Aceh pun memiliki keserupaan yang tidak jauh beda, mayat bergelimpangan di seluruh Nanggroe Aceh tidak habis dievakuasi sampai tiga bulan lamanya, pohon-pohon kering seperti terkena racun. Kawasankawasan tepi laut yang sebelumnya dipadati penghuni, kini rata dengan tanah seperti masih berada dalam tahun enam puluhan pasca kemerdekaan negeri ini. Kawasan-kawasan paling parah dihempas Tsunami seperti Banda Aceh, Aceh Jaya, Meulaboh, Pasi Lhok,Trienggadeng, Pante raja di Pidie, Bireuen, simeulu, Pulo Aceh dan sebahagian Aceh Utara menjadi saksi sejarah betapa bala ini sangat dahsyat dan mengesankan bagi generasi ini. Belum pernah dirasakan penduduk negeri ini akan gempa dahsyat berkekuatan 8,9 pada scala rechter yang meruntuhkan sejumlah bangunan megah di kota Banda Aceh seperti super market Pante Pirak, hotel Kuala Tripa, Balai gading dan sejumlah bangunan serta pertokoan lainnya. Banjir air laut yang datang sekitar sepuluh menit sesudah gempa besar selama 17 menit menghanyutkan ribuan mayat di sungai Krueng Aceh yang kemudian dievakuasi satu per satu oleh mereka yang selamat sehingga berhari-hari lamanya. Korban gempa dan Tsunami Aceh diperkirakan melebihi 250.000 jiwa dan ribuan rumah serta bangunan lainnya hancur berkecai. Bandingan dengan gempa dan Tsunami yang pernah terjadi di Lissabon dalam tahun 1755, masih lebih dahsyat gempa dan Tsunami Aceh dalam tahun 2004. perbedaannya, gempa Lissabon menghancurkan 30 gereja megah dan gempa Aceh menghancurkan ratusan bangunan dalam berbagai kategori, sungguh merupakan sebuah keluarbiasaan yang sangat luarbiasa. Kelemahan penghuni Aceh pasca gempa, ketika air laut surut sebahagian mereka menangkap ikan yang terdampar di laut yang lagi kering. Mereka tidak tau kalau air laut sudah jauh surut itu sebuah pertanda akan datang tsunami yang sangat membahayakan. Sebahagian penghuni yang berpengalaman seperti di Simeulu, di Bireuen dan beberapa tempat lainnya segera melarikan diri ketempat yang tinggi dan jauh dari laut dan kebanyakan mereka selamat, sebaliknya yang lalai dengan ikan segar di laut umumnya digulung tsunami dan mati serta merta. 5. Renungan Dalam kondisi seumpama ini apa yang ummat Islam Aceh harus lakukan adalah perkuat aqidah, tingkatkan ibadah dan bertawakkal kepada Allah. Allah telah berjanji kemudahankemudahan kepada hamba-Nya yang shalih, dan tha’at kepadanya. Firmannya;

Aceh Serambi Mekkah

385

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-‘Araf; 96).

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni‘mat-ni‘mat Allah; karena itu Allah menjadikan kelaparan dan ketakutan sebagai pakaian kepada mereka, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (An-Nahl; 112).

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Ar-Ra’d; 22-23). Allah Maha Kuasa atas segalanya, Beliau sanggup memberikan dan mencabut kekuasaan kepada orang yang Beliau kehendaki secara tepat dan cepat;

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan

386

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas). (Ali Imran; 26).

Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungaisungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (Al-An’am; 6)

Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (As-sajdah; 21)

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma‘ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (Al-Hajj; 41). Terakhir sekali, menyimak penyebab-penyebab datangnya banjir dan bala lainnya di masa-masa lampau sebagaimana yang dinukilkan dalam Al-Qur’an al-Karim, ia lebih disebabkan oleh pembangkangan dan penolakan kebenaran dari Allah serta menyatunya sesuatu kaum dengan larangan-Nya. Baca kasus nabi Adam yang terlanjur makan buah terlarang sehingga dipindahkan dari syurga ke dunia (Qur’an; 2: 35 – 37). Kasus nabi Musa dengan Fir’aun serta pengikutpengikutnya yang kemudian datang gempa dan Fir’aun beserta para pengikutnya kemudian ditelan Aceh Serambi Mekkah

387

laut merah (Qur’an; 26: 10 – 68, 7: 103 – 171). Kasus Nabi Ibrahim menghancurkan kemusyrikan sehingga beliau dibakar dalam api yang menyala, namun tidak juga terbakar (Qur’an; 26: 69 – 104). Kaum nabi Nuh yang kufur terhadap perintah Allah dan menolak ajaran nabinya, lalu Allah datangkan banjir secara tiba-tiba yang mirip dengan tsunami pada zaman modern ini, kemudian menghanyutkan serta mematikan semua penduduk negeri kecuali yang tha’at dan ikut ajaran nabi Nuh saja yang diselamatkan Allah (Qur’an; 7: 59 – 64, 26; 105 – 122). Kaum Tsamud ummat nabi Saleh yang ingkar terhadap Allah dan nabi-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi, Allah hancurkan mereka dengan gempa bumi dahsyat (Qur’an; 7: 73 – 79). Kaum ‘Ad sebagai ummat nabi Hud yang angkuh dan sobong juga ikut dimusnahkan Allah karena keangkuhan dan kesombongannya (Qur’an; 7: 65 – 72, 26: 123 – 140). Kaum nabi Luth yang homoseksual kemudian dihancurkan Allah dengan hujan batu (Qur’an; 7: 80 – 84, 26; 106 – 175). Dan kaum Madyan sebagai ummat nabi Syu’aib juga diazab dengan gempa bumi karena tidak mau beriman kepada Allah dan nabi-Nya serta mengurangi sukatan dan mengganggu mukmin di jalan-jalan (Qur’an; 26: 176 – 191) Demikianlah perumpamaan bangsa dan kaum yang telah dimusnahkan Allah akibat ulah dan kejahatan mereka sendiri. Harun Yahya seorang pakar sejarah dan tamaddun Islam menceritakan sebab musabab hancurnya sesuatu kaum dan bangsa dalam bukunya Perished Nations dengan cukup mantab dan menakjubkan. Ia menunjukkan berbagai bukti dari zaman ke zaman atas semua kesalahan yang dilakukan generasi-generasi setiap kaum. Musibah Aceh kali ini bila dikaitkan dengan kisah-kisah masa lalu sebelum kehadiran nabi Muhammad saw, terdapat kemiripan-kemiripan tersendiri yang mengundang gempa dan tsunami.

388

Islam Sebagai Sumber Kekuatan Orang Aceh

BAB TUJUH PENABALAN SERAMBI MEKKAH

Aceh sebagai sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara pada masa dahulu mendapat julukan Serambi Makkah. Penyebutan Aceh sebagai Serambi Mekkah bukan merupakan sebuah peristiwa, akan tetapi merupakan sebuah ungkapan orang banyak sebagai apresiasinya terhadap Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam sebagai agama yang suci. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Aceh telah lama memeluk Islam. Mereka menjadikan Islam sebagai barometer dalam meniti kehidupan. Apabila persoalan timbul dalam menjalani kehidupan, permasalahan itu dikembalikan kepada ajaran Islam untuk mencari solusinya. Dengan kata lain, Islam menjadi rujukan utama masyarakat Aceh dalam menyelesaikan segala permasalahan baik persoalan politik, ekonomi, sosial budaya dan juga sosial keagamaan. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa agama Islam memiliki akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pemberian julukan Serambi Mekkah tersebut bukanlah julukan semata-mata kebanggaan daerah Aceh akan tetapi memiliki sejumlah argumen dan bukti yang dapat mendukung terhadap pernyataan tersebut. Alasan-alasan pemberian julukan tersebut kepada Aceh dapat ditinjau baik dari sisi kedudukan Aceh yang letak geografisnya strategis dalam pengembangan Islam pada jalur lalulintas perdagangan dunia Internasional; keadaan sosiokultural; dan aspek sosio religius masyarakat Aceh. Gambaran terhadap ketiga hal tersebut akan memberikan pemahaman yang konprehensif terhadap karakteristik masyarakat Aceh sehingga julukan Aceh Serambi Makkah benar-benar pantas disandangnya. Gambaran tersebut akan dielaborasikan dalam paparan berikut ini. ARGUMEN GEOGRAFIS Sebagai daerah yang terletak diujung sebelah utara pulau Sumatera, Aceh menduduki posisi geografis yang sangat strategis. Dalam posisi geografisnya yang sangat penting tersebut, dimana dalam permulaan abad 7 M sebelah utara Sumatera hanya satu-satunya jalan laut yang harus dilalui oleh para pedagang menuju Asia Tenggara, Aceh menjadi pintu gerbang lalu lintas perdagangan dunia Internasional. Sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan, sebelah utara pulau Sumatera menjadi daerah yang banyak dilintasi para pedagang dunia.

Aceh Serambi Mekkah

389

1. Letak Aceh Pada Lintasan Dagang Dunia Sebagai daerah yang letaknya sangat strategis bagi pelayaran laut, dalam kurun permulaan abad ke 7 M, Aceh menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Barat. Hal ini terjadi karena banyak pedagang dari berbagai belahan dunia baik dari Barat maupun Timur Tengah melintasi kawasan Aceh. Kedatangan bangsa barat di kawasan tersebut menyebabkan jalur lalulintas bertambah ramai. Orang barat menuju ke daerah utara Sumatera adalah untuk misi perdagangan. Di kawasan utara Sumatera ini, lada merupakan produksi utama disamping timah dan lainnya. Bagi orang barat, lada merupakan barang perdagangan penting. Dalam masa kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammal, ada 4 pelabuhan di buka untuk meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Pantai Cermin, Pelabuhan Daya, Pelabuhan Pidie dan Pelabuhan Pasai. Keempat bandar ini dibuka selebar-lebarnya untuk lalu lintas perdagangan. Pedagangpedagang asing yang datang ke Aceh di perlakukan sama oleh sultan. Dalam bandar-bandar dan pasar-pasar didapati pedagang-pedagang asing dari berbagai kebangsaan seperti Arab, Cina, Persi, Siam, Turki, Pegu, Benggala, Portugal, Spanyol. Dengan demikian, pada abad ke-7 M, Utara Sumatera sudah merupakan salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara dimana rempah-rempah seperti lada merupakan produksi utama Aceh untuk konsumsi perdagangan. Berbagai hasil produksi pantai Barat Sumatera yang diperdagangkan di pasar-pasar India, Tiongkok dan Eropa dibawa ke pelabuhan-pelabuhan Aceh, dimana saudagar-saudagar dari berbagai bangsa telah terkumpul1. Begitu pula, berbagai hasil dari daerah lain di Indonesia seperti rempah-rempah dari Maluku, barang-barang produksi dari Philipina dan Cina ada di pelabuhan Aceh2. Disamping sebagai pusat perdagangan, Aceh juga menjadi pusat pelabuhan transit bagi para pedagang dunia termasuk bagi pedagang-pedagang Islam. Sejarah menunjukkan bahwa mereka bukan hanya melintas di kawasan tersebut akan tetapi mereka juga singgah dan tinggal di daerah Aceh dengan menghabiskan waktu yang lama untuk berdagang dan sambil menunggu iklim yang baik untuk pelayaran kembali ke daerah masing-masing. Akibatnya, Aceh menjadi dikenal oleh saudagar-saudagar luar negeri baik berasal dari India, Hadramaut, Oman atau Arab lainnya yang menuju Asia Tenggara. Posisi geografis pada kondisi yang menguntungkan ini menyebabkan Aceh mendapat pengaruh-pengaruh asing baik dari segi budaya, sosial ekonomi dan bahkan keagamaan yang dapat membawa perubahan dan kemajuan bagi daerah tersebut. 2. Pedagang Arab Islam dan Gerakan Dakwah Pedagang Arab merupakan salah satu saudagar yang dalam perjalanannya pulang pergi ke Nusantara melintasi Samudera Hindia. Aceh merupakan daerah yang berada di kawasan Samudera Hindia yang menjadi lintasan para pedagang baik dari Arab maupun daerah lainnya. Saudagar-saudagar Arab yang pulang pergi ke Nusantara tersebut terutama sekali yang memilih pelabuhan-pelabuhan di pesisir-pesisir Aceh, senantiasa berhubungan dengan saudagar-saudagar

1 Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, (Medan: Penerbit Monora, 1972), hal. 52. 2 Ibid, hal. 57

390

Penabalan Serambi Mekkah

di Tanah Arab, di Suriah dan di Makkah Al-Mukarramah. Mereka menjalin hubungan yang demikian karena tempat-tempat tersebut merupakan pusat perniagaan dunia. Seiring dengan mendatangi Makkah sebagai kota dagang mereka juga menziarahi Ka’bah. Sebagian saudagarsaudagar Arab Quraish pulang pergi ke Yaman di Musim sejuk. Dengan demikian, Dakwah Islamiah yang diseru oleh Nabi Muhammad Saw di Makkah pada permulaan abad ke VII M dianut oleh saudagar-saudagar yang pulang pergi ke Nusantara. Adanya seruan Agama Islam melalui dakwah para sahabat Nabi telah menarik sebagian dari saudagar tersebut untuk menerimanya sebagai suatu keyakinan. Disamping itu, dakwah Islam tersebut sangat menarik hati sejumlah orang-orang di Jazirah Arab yang pergi ke Makkah pada musim-musim Haji. Dengan demikian, Islam berangsur-angsur menjalar ke Yaman dan berkembang luas di tahun 9 H. Ini dinamakan tahun wufud (tahun utusan-utusan) karena telah banyak utusan-utusan dari berbagai kabillah Arab datang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka menyatakan tunduk pada pemerintahan Islam dan sebagian besar diantara utusan tersebut menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, kebanyakan utusan-utusan dari Yaman yang diketuai oleh Sard Ibn Abdullah Al-Azadi menyatakan memeluk Islam. Rasulullah Saw menyuruh bersama-sama dengan orang Islam dari kaumnya supaya berjihad di Hadharamaut yang diketahui oleh raja mereka itu sendiri yaitu Wail Ibn Hijri Al-Kindi3. Ketika Islam telah tersebar di Yaman di tahun 9 H / 360 M itu, Rasulullah Saw mengantar Muaz ibn Jabal ke Yaman untuk mengajar Al-Qur’an dan memberikan faham agama (Islam) kepada mereka. Sejarah menunjukkan bahwa saudagar-saudagar Arab muslim terus pulang pergi sebagaimana biasa kegugusan pulau-pulau melayu dan ke negeri Cina tanpa mendapat gangguan apa-apa. Perjalanan tersebut mereka tempuh melalui pelayaran dengan mengambil kawasan utara sumatera. Dengan kata lain, mereka melakukan perjalanan dagang melalui Samudera Hindia. Kalau seandainya mereka mengambil lintasan Selat Malaka, kondisi perjalanan menjadi lain dimana lintasan Selat Malaka mendapat gangguan dari para perompak. Pendudukan Malaka oleh Portugis dan adanya konfrontasi antara Aceh dan Portugis menyebabkan perairan Selat Malaka tidak aman dan sangat berbahaya sebagai lalu lintas perdagangan. Dengan demikian, adanya kondisi aman yang demikian memberi peluang kepada para saudagar Arab Muslim untuk melakukan aktivitas dagang secara maksimal di kawasan Asia Tenggara. Disamping itu, saudagar Arab Islam dimana Aceh menjadi tempat persinggahannya untuk berdagang memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan gerakan dakwah. Adanya peluang berdakwah secara lebih intensif adalah disebabkan saudagar-saudagar Muslim terpaksa tinggal lama di daerah tersebut sambil menunggu musim angin untuk berlayar pulang ke Selatan Yaman ataupun ke Laut Merah dan teluk Persi. Kedatangan saudagar Arab Islam dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian selatan dan tenggara semenanjung tanah Arab ke wilayah Asia Tenggara menjalankan dua misi yakni berdagang dan menyebarkan agama Islam. Penyebaran Islam di Aceh sebagai daerah transit para saudagar Arab Islam pada mulanya mengikuti jalan-jalan dagang dan kota-kota dagang di pantai. Setelah melalui lintasan tersebut yakni kota-kota dagang di pantai, selanjutnya Islam menyebar ke daerah pedalaman Aceh. Tindakan mereka menjalankan dakwah Islamiah merupakan suatu kewajiban agama. Ajaran agama menggambarkan dengan jelas dakwah sebagai kewajiban agama sebagaimana 3

Abdul Aziz Khairuddin, Al Sirah Al Fitrah Muhammad Khatimin Al Rasul,(Dar al Nahar lil Thaba’ah ‘Anshar, 1996), hal. 577.

Aceh Serambi Mekkah

391

firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 104 yang artinya “Hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. Selanjutnya sebuah sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sampai oleh kamu sekalian dariku sekalipun satu ayat”(al-Hadist) Kewajiban agama tersebut mendorong ummat Islam pada umumnya dan para muballigh khususnya melakukan gerakan dakwah ke seantaro dunia. Menurut Kitab Sejarah Melayu, seorang muballigh yang bernama Syekh Isma’il telah datang dari Mekkah dengan sengaja menuju ke Samudera untuk meng-Islamkan penduduk tersebut. Setelah ke Samudera, beliau kemudian singgah di Lamuri dan meng-Islamkan penduduk negeri tersebut. Seterusnya, beliau pergi ke Perlak dan kemudian barulah tiba di Samudera–Pasai. Keterangan ini menunjukkan bahwa sebahagian tempat di Atjeh terutama di daerah-daerah pantainya telah memeluk agama Islam. Dalam sebuah sumber seperti dijelaskan oleh A. Hasjmy bahwa dalam tahun 173 H, sebuah kapal yang dipimpin oleh Nahkoda Khalifah dengan kira-kira seratus orang anggota angkatan dakwahnya telah berlabuh di Bandar Perlak. Kapal tersebut menyamar sebagai “kapal dagang”. Khalifah sendiri yang menjadi “Kapten” dari “kapal dagang” tersebut. Dalam kitab “Idharul Haq Fi Mamlakah Ferlak” tulisan Abu Ishak Makrani Al Fasy, di sebutkan “Nahkoda”. Anggota rombongan dakwahnya yang dibawa Nahkoda Khalifah dan berjumlah seratus orang terdiri dari orang-orang berbangsa Arab, Persia dan India.4 Informasi lain dari kitab Idharul Haq, Nahkoda Khalifah adalah seorang yang amat bijaksana dan menaruh simpati banyak orang. Karena itu, dalam waktu kurang dari setengah abad, Meurah atau raja dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang diduga beragama Hindu dan Pelbegu dengan sukarela memilih agama Islam sebagai keyakinan baru. Proses pengislaman masyarakat setempat oleh para anggota angkatan dakwah Nahkoda Khalifah kebanyakan melalui perkawinan. Mereka mengawini dara-dara setempat dan salah seorang anggota angkatan dari Arab suku Quraisy mengawini puteri istana Kemeurahan Perlak sehingga perkawinan itu lahirlah putra campuran pertama yang diberi nama Sayid Abdul Aziz Idharul Haq mencatat selanjutnya bahwa pada tanggal 1 Muharram 225 H. diploklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Perlak. Putera campuran Arab-Perlak (Indo-Arab istilah sekarang), Sayid Abdul Aziz, dilantik menjadi raja pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada Tanggal 1 Muharram 225 itu juga (menurut catatan Idharul Haq), nama ibukota kerajaan dirobah dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai kenangan indah kepada nahkoda Khalifah yang sangat berjasa dalam “membudayakan Islam” kepada bangsabangsa Asia Tenggara, yang dimulai dari Perlak5. Islam terus berkembang di Perlak dan perkembangannya yang luas itu lahir dengan jelas di abad XII M. melebihi dari daerah-daerah lain di Sumatera. Hakikat ini dilihat dan diakui oleh Marco Polo, seorang pengembara Itali yang tiba di Sumatera dalam tahun 1292 M. Marco Polo berdiam di pantai utara Sumatera selama lima bulan. Ia berkata bahwa dimasa itu (1292) Sumatera terbagi kedalam delapan buah kerajaan yang kesemuanya menyembah berhala kecuali Perlak. Kerajaan Perlak tersebut berpegang dengan Islam karena Perlak selalu didatangi oleh saudagar4

A. Hasjmy, 59 Tahun Acheh Merdeka di Bawah Pemerintahan Islam di Indonesia, (Medan: PT Al-Maarif, 1981), hal. 157-158. 5 A. Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama d Asia Tenggara” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (PT Alma’arif, 1993) hal 146-147.

392

Penabalan Serambi Mekkah

saudagar Saracen (muslimin) yang membawa penduduk bandar ini memeluk undang-undang Muhammad. Catatan Marco Polo tersebut menunjukan bahwa Perlak di abad ke XIII M. adalah sebuah pusat perniagaan yang maju di Nusantara yang menjadi tumpuan saudagar-saudagar muslimin baik orang-orang Arab maupun Parsi yang telah menjadikan Perlak sebagai sebuah pusat penyiaran Islam di Nusantara. Kerajaan Islam Perlak terus merupakan sebuah kerajaan tersendiri yang merdeka sehingga ia digabungkan ke dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai di zaman pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Dzahir (688-1254 H = 1289-1326)6. Kerajaan Samudera Pasai mulai berdiri dalam tahun 433 H / 1042 M, ketika Meurah Khair dilantik menjadi raja dengan gelaran Maharaja Mahmud Syah. Meurah Khair memerintah hingga tahun 470 H / 1078 M. Setelah itu kerajaan Samudera Pasai di perintah oleh beberapa orang raja yaitu: a. Maharaja Mansyur Syah (470-527 H / 1078-1133 M) b. Maharaja Ghiyasuddin Syah (cucu Meurah Khair) (527-550 H / 1133-1155 M) c. Maharaja Nuruddin (Meurah Noe) atau Teungku Samudera yang lebih terkenal dengan “Sultan Al-Kamil” (550-607 H 1155-1210 M) Sultan Al-Kamil ialah Sultan yang terakhir dari dinasti Meurah Khair (Meurah Ciri). Setelah baginda sultan ini mangkat maka negeri samudera menjadi rebutan antara pembesarpembesar kerajaan karena baginda tidak mempunyai putera. Setelah berada dalam keadaan yang tidak tenteram selama lebih-kurang lima puluh satu tahun akhirnya datanglah Meurah Silu, yang kemudiannya bergelar Al-Malik Salih, mengambil kekuasaan dan mengagaskan dinastinya yang memerintah selama lebih dua abad lamanya (659-831 H / 1261-1428 M).7 Perkembangan Dakwah Islamiah di Perlak dan Samudra Pasai di abad ke 13 M. sebagaimana yang telah disebutkan dahulu, telah menarik kegemaran banyak ahli-ahli tasawuf terutama sekali orang-orang Parsi. Mereka datang ke Nusantara untuk memajukan dan mengembangkan dakwah Islamiah di kawasan ini. Diantara mereka itu ialah Jihan Syah. Beliau datang dari pesisir Malabar (pantai India Barat) ke Aceh tahun 1204 / 601 H. Sebuah catatan tentang sejarah Aceh yang menyebutkan sebagai berikut: “Pada hari jum’at, tanggal 1 Bulan Ramadhan tahun 601 H. Rasulullah (1204) datang dari atas angin memasukkan orang-orang Aceh ke dalam kepercayaan Muhammad; ia menikah dengan anak perempuan Baludri di Aceh dan dengannya ia mendapat seorang anak laki-laki, dan ia meninggal dunia pada hari Kamis, tanggal 1 Bulan Rajab 631 H (1233) setelah memerintah selama 30 tahun 11 bulan dan 26 hari, dan diganti oleh puteranya Sultan Ahmad8. Jihan Syah bergelar “Seri Paduka Sultan”, yaitu perkataan yang merupakan campuran dari bahasa sangsekerta dengan bahasa Arab9. Jihan Syah ini boleh jadi adalah orang Parsi atau orang India keturunan Parsi sebagaimana dapat dipahami dari namanya. Beliau ialah Sultan yang pertama membangun kerajaan Islam di Pantai Aceh Tiga Segi yang dinamakan “Aceh Besar” dan

6 Wan Husein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Al-Maarif, 1993), hal. 202. 7 Ibid, hal. 203 8 S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malysia, (Singapore: Malay Publishing House LTD, 1963), hal. 38. 9 T.W. Arnold, Dakwah kepada Islam, terj. Dr. Hasan Ibrahim Hasan, hal. 404.

Aceh Serambi Mekkah

393

pusat pemerintahannya di Ramni yang sekarang dinamakan kampong Pandee10. Dinasti Jihan Syah memerintah Aceh selama lebih kurang dua Abad (1205-1408 M)11. Kelahiran Kerajaan Islam Aceh di abad ke 13 M. itu telah menambah kecepatan perkembangan dakwah Islamiah di Nusantara. Akan tetapi, sejarah tidaklah mencatat demikian jelas sejauh manakah peranan Aceh di dalam perkembangan dakwah islamiah. Walau bagaimanapun satu dokumentasi tua telah dijumpai di Aceh yang dapat menggambarkan kepada kita bagaimana peran Aceh di dalam dakwah Islamiah di Nusantara. Dokumentasi itu berbentuk satu peta dakwah di kepulauan nusantara. Peta yang tersebut itu menunjukkan bahwa sekumpulan pendakwah yang diketahui oleh Abdullah Al-Malikul Mubin berpusat di Aceh telah membagi-bagikan daerah untuk berdakwah ke kawasan–kawasan tertentu di Nusantara. Mereka adalah: 1. Al-Sayid Syeikh Ahmad Al Twawi Talabahu Tarahu ke Samudera Pasai 2. Al-Sayid Syeikh Muhammad Said Tattahiri ke Campa. 3. Al-Sayid Syeikh Muhammad ke Minangkabau 4. Al Said Syeikh Muhammad Daud ke Petani. 5. Al-Sayid Syeikh Abdul Wahab ke Kedah12. Abdullah al Malikul Mubin memilih Aceh sebagai tempat kegiatannya, karena dalam pandangannya bahwa Aceh dimasa itu merupakan tempat yang sangat sesuai dijadikan pusat gerakan dakwah Islamiah bagi nusantara khususnya dan Asia Tenggara umumnya disebabkan kedudukannya sebagai pusat perniagaan yang penting di daerah ini13. Kedudukannya sebagai pusat perniagaan terpenting tersebut dan menjadikan Aceh sebagai pusat gerakan dakwah memberi dampak bagi perkembangan dakwah. Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Abdullah Al Malikul Mubin ini memberi pengaruh yang besar bagi kemajuan dakwah di Nusantara dan juga masyarakat Asia Tenggara. Gerakan dakwah ini terus berlanjut dan berjalan secara kontinu baik ke dalam maupun ke luar Aceh yang dilakukan oleh kerajaan Aceh. Pada abad ke-15 Ali Mughayat Syah menyatukan semua kerajaan kecil di Aceh menjadi suatu kerajaan besar yang diberi nama Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Kerajaan Islam ini terus berkembang semenjak Ali Mughayat Syah hingga mencapai puncak kemajuannya pada saat kerajaan tersebut dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat puncak kemajuan ini, kekuasaan kerajaan Aceh meliputi sebagian wilayah Malaysia sekarang seperti Pahang, Kedah dan hampir semua pesisir pulau Sumatera. Demikian juga dakwah Islam semakin gencar dilakukan baik ke dalam sendiri yakni ke pelosok-pelosok Aceh maupun ke luar Aceh. Gencarnya gerakan dakwah yang dilakukan Kerajaan Aceh maupun para muballigh menjadikan Aceh sebagai daerah yang komitmen melaksanakan ajaran Islam. Pelaksanaan ajaran Islam bukan hanya dalam bidang amar makruf tetapi juga dalam kegiatan nahi mungkar. Karena 10

H. M. Zainuddin, Tarich Aceh dan Nusantara,(Medan: Percetakan Indonesia, 1961), hal. 392. Ibid. 12 Mahayuddin Hj. Yahaya, Sejarah Islam, (Shah Alam Malaysia: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD, 1997), hal. 603-604.; Lihat juga, Wan Husein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Al-Maarif, 1993), hal. 212 13 Wan Husein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Al-Maarif, 1993), hal. 211-212. 11

394

Penabalan Serambi Mekkah

itu, di Aceh telah dikenal pengadilan yang berdasarkan agama. Di masa jayanya Kerajaan Aceh, kekuasaan dipegang oleh Qadhi Malikul Adil. Pengadilan ini mulai di tingkat pusat kerajaan sampai ke mukim-mukim di mana uleebalang sebagai pimpinan daerahnya14. Demikianlah gambaran sejarah menunjukkan bahwa Agama Islam telah menjadi peraturan hidup ummat di Aceh ketika itu sehingga tidaklah mengherankan jika dikemudian hari Islam telah menjadi Way of Life nya masyarakat Aceh. Kondisi itu pula yang menyebabkan kemudian orang Aceh mau berjuang mati-matian mempertahankan Aceh dari serangan Belanda. Menurut orang Aceh, Aceh sama dengan Islam. Memerangi Aceh sama dengan memerangi Islam. Para ulama bersama dengan para pengikutnya menganggap perang melawan Belanda adalah perang sabil, perang suci. Jika mereka menang dalam pertempuran berarti kemenangan Islam dan jika mereka gugur, keguguran mereka adalah syahid di jalan Allah dan kelak mereka akan diberi imbalan Syurga Jannatun Na’im. Dalam catatan sejarah perang Belanda di Nusantara, perang Aceh-Belandalah sebagai perang yang paling panjang yang memakan waktu sampai 69 tahun. Perang tersebut dimulai dari tahun 1873 dan berakhir pada tahun 1942 ketika Belanda harus mengangkat kakinya dari tanah Aceh. Selama peperangan tidak terhitung berapa jumlah harta benda musnah, demikian juga berapa nyawa manusia telah hilang baik dari pihak orang Aceh maupun pihak Belanda sendiri.15 Walaupun begitu besar korban yang dialami oleh orang Aceh, akan tetapi mereka tidak pernah menyerah kalah. Mereka terus berjuang sampai ketitik darah terakhir. Peperangan ini malah telah menjadi warisan dari ayah ke anak bahkan juga ke cucu. Penurunan warisan semangat juang ini tidak lain hanya karena ingin mempertahankan Islam sebagai agama mereka agar tidak diganggu oleh siapapun. Bila diperhatikan secara seksama meletusnya pemberontakan tahun 1953 pun ada kaitannya dengan keinginan masyarakat Aceh untuk mempertahankan Islam sebagai agama masyarakat Aceh. Mereka menuntut diberlakukannya ajaran syariat Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh terutama sekali dalam bidang agama. Pemerintah pusat di waktu itu salah paham dan kurang mendalami ruh masyarakat Aceh. Ketika pemerintah memahami ruh masyarakat Aceh, segala persoalan Aceh dapat diselesaikan. Ini terbukti dengan sebuah kenyataan dimana pemberontakan itupun baru dapat diselesaikan setelah pemerintah menerima konsep pemberlakuan Aceh sebagai Daerah Istimewa dalam bidang agama (Islam), pendidikan dan adat istiadat. ARGUMEN SOSIOKULTURAL Penyebutan Serambi Makkah untuk masyarakat Aceh dapat juga dipahami dari sudut pandang kehidupan sosial kebudayaan masyarakatnya. Jika kita kembali kepada kulturnya, masyarakat Aceh memiliki kultur yang tidak berbeda dengan nilai-nilai Islam. Mengapa kultur masyarakat Aceh tidak berbeda dengan nilai-nilai Islam? Apakah sumber kebudayaan masyarakat Aceh berasal dari ajaran Islam?. Apakah adat Aceh juga berdasarkan nilai-nilai Islam? Jawabanjawaban terhadap pertanyaan tersebut akan memberikan gambaran komprehensif terhadap kehidupan sosial masyarakat Aceh sebagaimana dielaborasikan dalam kajian berikut. 14 Ismuha, “Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Aceh: Dahulu, Sekarang dan Nanti “ dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bharata, 1981), hal. 232 15 Sebagai sample dapat di lihat di Kerkhof Banda Aceh.

Aceh Serambi Mekkah

395

1. Kultur Masyarakat Aceh Ketika merujuk atau meninjau kembali kepada sejarah kehidupan masa lampau, muncul atau bangkitnya sebuah kebudayaan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh agama. Sejarah menunjukkan bahwa tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih dan tak putus bergiat menentang marabahaya berpuluh tahun lamanya, tentu pada suatu saat akan mencapai satu tingkat kebudayaan yang tinggi. Adanya kebudayaan yang tinggi tersebut memungkinkan mereka dapat memberi penerangan kepada bangsa-bangsa lain yang hidup pada masa mereka. Disamping itu, mereka dapat pula meninggalkan buah yang lezat dan manfaat untuk bangsa-bangsa yang datang di belakang mereka. Hukum alam ini telah berlaku, baik di Barat, ataupun di Timur, dari bangsa Cina, India dan Mesir sampai kepada bangsa Keldani, Romawi, dari bangsa Arab sampai kepada bangsabangsa Eropa sekarang ini16. Demikianlah sinar kebudayaan berputar dan bergilir dari satu tempat ke tempat yang lain di atas bumi dengan tidak memperdulikan bangsa dan warna kulit. Jika kita telusuri literatur tentang satu kaum di Jazirah Arab yang sebelumnya biadab, tidak terkenal dan tidak dianggap oleh kaum dan bangsa-bangsa sekelilingnya, kita menemukan bahwa di satu masa, mereka bergerak dengan semangat yang tinggi dan melahirkan kebudayaan yang menggemparkan dunia. Hal ini terjadi diakibatkan dari adanya usaha mendirikan satu kebudayaan yang amat penting dalam sejarah dari purbakala sampai sekarang. Sumber pokok kekuatan yang membangkitkan kebudayaan tersebut adalah Agama Islam itu sendiri. Sesudah kaum muslimin memperteguh kedudukannya sebagai satu kaum yang diikat oleh keyakinan dan pandangan yang satu, di tengah-tengah tekanan kaum musuh, mereka bangkit mendirikan satu kultur yang buahnya dapat diwarisi oleh bangsa Eropa. Islam tampil mengendalikan dunia yang diakui kekuasaan dan kemegahannya oleh bangsa-bangsa yang berkuasa di benua Asia, Afrika dan Eropa di zaman itu. Dalam Al-Quran Allah berfirman, ....dan zamanzaman itu Kami edarkan diantara manusia bergilir-giliran.....(Surat Ali Imran ayat 140) Bangkitnya kaum muslimin pada masa dahulu dan timbulnya dorongan untuk menghasilkan kebudayaan yang tinggi tidak terlepas dari Agama Islam. Tiada berbeda dengan masyarakat Aceh pada masa dahulu. Mereka telah mengembangkan kultur yang tinggi dalam kehidupannya. Beberapa pokok ajaran agama Islam sebagai faktor kekuatan timbulnya kebudayaan masyarakat Aceh tersebut, diantaranya adalah Agama Islam menghormati akal manusia, Islam mewajibkan pemeluknya menuntut ilmu, Islam melarang taqlid buta yakni menerima sesuatu sebelum diperiksa. Islam mendorong pemeluknya untuk mengambil inisiatif dalam hal keduniaan yang dapat memberi manfaat untuk masyarakat. Islam juga mendorong manusia untuk memperhatikan kepentingan hak atas keduniaan, dan juga mendorong adanya akulturasi sehingga melahirkan kebudayaan masyarakat yang lebih baik. a. Islam menghormati akal. Islam menghormati akal manusia. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa “Agama adalah akal dan tak ada agama bagi seseorang yang tidak mempunyai akal”. Islam meletakkan akal pada

16

396

M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), hal. 46.

Penabalan Serambi Mekkah

tempat yang terhormat. Dengan akal manusia akan mampu menciptakan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun penggunaan akal harus diimbangi dengan ajaran agama. Tanpa menggunakan nilai agama, akal akan menjerumuskan manusia kepada hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Disamping itu, Islam menyuruh manusia mempergunakan akal untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam sekitar. Allah berfirman, “Mereka yang mengingat Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi, seraya berkata: Hai Tuhan Kami, Engkau tidak jadikan (semua) ini dengan sia-sia; Maha Tinggi Engkau, maka perlindungilah kami dari azab neraka (Ali Imran: 191). “Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi ada beberapa tanda untuk mereka yang mempunyai (mempergunakan) akal (Ali Imran: 190). Kedua ayat ini memberikan pengajaran kepada kita bahwa Islam mendorong akal manusia untuk memanfaatkan semaksimal mungkin untuk merenungkan sehingga melahirkan suatu kesimpulan betapa Allah tidak menciptakaan alam ini dengan sia-sia dan pengakuan terhadap Maha Tinggi dan Kuasa Allah. Oleh karenanya, dengan pemanfaatan akal secara maksimal yang diimbangi dengan ajaran agama, ulama Aceh telah mampu memasyhurkan Aceh ke dunia luar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para ulama yang menghasilkan karya-karya besar yang dapat dimanfaatkan dan dijadikan rujukan oleh masyarakat Asia Tenggara. b. Menuntut Ilmu Agama Islam mewajibkan tiap-tiap pemeluknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu. Sebuah hadist mengatakan bahwa “Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap orang Islam yang laki-laki dan yang perempuan”. Dalam hadist lain dikatakan “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”. Dalam pandangan Allah, ada perbedaan derajat diantara orangorang yang menuntut ilmu. Sebagaimana firman-Nya: “Allah menaikkan derajat mereka yang beriman diantara kamu dan mereka yang telah diberi ilmu” (Al-Mujadalah: 11). Adanya ilmu yang dimiliki ummat manusia akan memberikan pencerahan kepada kehidupan manusia sehingga ummat manusia akan terlepas dari kedudukan rendah dan lemah di dunia ini. Ilmu akan membuahkan jalan mencapai kualitas. Kualitas ilmu yang dimiliki manusia akan membawa manusia itu sendiri kepada perubahan. Terjadinya perubahan dalam kehidupan manusia sebagai salah satu akibat adanya taraf kehidupan yang lebih baik dari manusia itu sendiri. Taraf kehidupan yang baik tersebut akan didapatkan dengan adanya ilmu. Karena, Allah menantang manusia untuk membangun dirinya agar kehidupannya lebih baik dan menjadi makhluk yang berbudaya. Berapa banyak tantangan Allah kepada manusia untuk menembus cakrawala dunia. Tantangan itu tidak dapat diatasi kecuali dengan adanya ilmu yang dimilki ummat manusia. Allah berfirman:” Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan(Ar-Rahman: 33). Adanya dorongan agama yang demikian, banyak masyarakat Aceh yang pergi mencari ilmu walau ke luar negeri sekalipun. Akibatnya, ulama-ulama besar muncul di Aceh. Diantara mereka adalah Hamzah Fansury, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf As-Singkily. c. Larangan Taqlid Agama Islam melarang orang bertaqlid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama ataupun dari orang tua dan nenek moyang sekalipun. Allah berfirman: “Dan janganlah engkau turut-turut saja dalam hal yang Aceh Serambi Mekkah

397

tidak engkau ketahui, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya semuanya. (A;-Isra’: 36). Dalam kehidupannya, walapun masyarakat Aceh adalah masyarakat yang dinamis akan tetapi mereka tidak akan mengikuti suatu perubahan atau ajaran tanpa adanya argumentasi dan pemahaman yang benar. Artinya, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang melakukan suatu kegiatan yang menyangkut ajaran agama atas dasar alasan yang kuat dan dibenarkan oleh ajaran agama. Mereka bukanlah masyarakat yang mengikuti taqlid buta. Segala tindakan yang dilakukan masyarakat Aceh adalah berdasarkan pemahaman yang benar. Sejauh informasi yang ditelusuri belum ditemukan dalam masyarakat Aceh yang bersikap taqlid buta. Bagi mereka, ijtihad merupakan langkah terbaik yang akan ditempuh jika menghadapi persoalan. Dengan demikian, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menerima perubahan sejauh perubahan tersebut berada dalam koridor ajaran agama Islam. Ini dapat dibuktikan bahwa kendatipun masyarakat Islam di Aceh bermazhab Syafi’i akan tetapi mereka bersikap dinamis dan aktif membangun lembaga pendidikan. d. Inisiatif Agama Islam mengerahkan pemeluknya selalu berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang belum ada, merintis jalan yang belum di tempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat untuk masyarakat. Sebuah hadistt mengatakan:”Barangsiapa memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia akan dapat ganjaran orang-orang yang mengerjakan cara yang baik itu sampai hari kiamat”. Jika merujuk kepada kehidupan masyarakat Aceh, sikap ini merupakan sikap yang selalu dikembangkan oleh masyarakat Aceh dalam mengarungi perjalanan hidupnya. Banyak tindakan inisiatif yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang terbaru. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya yang dihasilkan masyarakat Aceh baik dalam bidang seni maupun bidang lainnya. Sebagai contoh, masyarakat Aceh dahulu telah mampu menciptakan meriam lada sicupak yang merupakan sebuah senjata untuk mempertahan diri dalam menghadapi serangan musuh. e. Mementingkan Hak Atas Keduniaan Agama Islam menyuruh pemeluknya mencari keridhaan Allah dengan semua nikmat yang telah diterimanya. Islam juga menyuruh mempergunakan hak-haknya atas keduniaan dalam pimpinan peraturan agama. Allah berfirman:” Tuntutlah dengan apa yang Allah telah berikan kepada kamu, negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan nasibmu di atas dunia ini (AlQashas: 77). Dalam sebuah hadistt dikatakan “Bekerjalah untuk keduniaanmu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok hari”. Islam memandang kehidupan dunia merupakan tempat bercocok tanam untuk menuai hasil di akhirat kelak. Karenanya, Islam mendorong pemeluknya untuk menciptakan keseimbangan hidup antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. f. Akulturasi Agama Islam menggemarkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman. Adanya perjalanan tersebut akan menghubungkan tali silaturrahim dengan bangsa atau golongan lain, saling bertukar pengetahuan, pemandangan dan perasaan. Dorongan ini tergambar dengan jelas

398

Penabalan Serambi Mekkah

sebagaimana Allah berfirman:”Tidaklah mereka berjalan di atas bumi, supaya mereka mempunyai akal untuk berfikir, atau telinga untuk mendengar, karena sesungguhnya bukan mata mereka yang buta melainkan hati mereka yang ada dalam dada (mereka)” (Al-Hajj: 46). Konsep hijrah ini akan memberikan potensi kepada manusia untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan sesama ummat manusia baik berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri. Terjadinya hubungan karib dengan bangsa lain akan menimbulkan pertemuan kultur yang dinamakan dengan akulturasi. Koentjraningrat mengatakan akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu dihadapkan dengan unsurunsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri. Jika menelusuri dalam sejarah dunia Islam, munculnya ahli ilmu dalam berbagai cabang ilmu seperti filsafat, hukum, sains astronomi dan lain-lain tidak terlepas dari hasil kebudayaan yang bersumber dari ajaran Islam. Dunia Islam telah melahirkan para filosof Islam terkenal seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al Kindi dan lain sebagainya. Para filosof Islam tersebut telah melahirkan pemikiran-pemikiran brilian yang menjadi bahan kajian para ilmuan dunia baik di Timur maupun di Barat. Demikianlah dunia Islam telah melahirkan kebudayaan yang tinggi dan mampu memberikan pencerahan kepada dunia. Islam merupakan sumber nilai yang membentuk dan menjadi identitas kultur budaya masyarakatnya. Aceh sebagai salah satu negara Islam pada masa lampau menampakkan sebuah kehidupan masyarakatnya yang penuh dengan nilai-nilai budaya yang tinggi. Kultur masyarakatnya tidak terlepas dari pancaran nilai-nilai Islam. Kemunculan Islam dalam masyarakat Aceh telah membawa transformasi nilai dan perubahan yang besar baik dalam kehidupan individu maupun dalam masyarakatnya. Adanya tranformasi tersebut, Islam telah menjadi barometer dalam melahirkan kebudayaan masyarakat Aceh. Dengan kata lain, masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam membangun sebuah kebudayaan. Disamping Islam sendiri sebagai faktor pendorong munculnya kebudayaan masyarakat Aceh, adanya dorongan masyarakat Aceh dalam membangun kebudayaan pada masa dahulu sangat dipengaruhi pula oleh usaha raja-raja atau sultan Aceh. Raja-raja Aceh memberikan perhatian yang sangat besar dalam pendidikan yang merupakan salah satu aspek kebudayaan. Perhatian yang besar ini menunjukkan bahwa mereka sangat mementingkan pendidikan. Adanya perhatian pada aspek pendidikan oleh raja-raja Aceh, terindikasi dari adanya pembangunan lembaga-lembaga pendidikan bagi masyarakat Aceh. Sultan Aceh bukan hanya mendirikan lembaga pendidikan Islam, akan tetapi raja-raja Aceh juga berusaha untuk meningkat mutu pendidikan agama Islam bagi masyarakatnya. Banyak usaha telah dilakukan raja untuk meningkatkan kualitas agama. Salah satu diantaranya adalah mendatangkan ulama dari luar Aceh. Dengan kata lain, untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam di Aceh, raja bukan hanya memanfaatkan ulama Aceh saja, akan tetapi mereka juga mendatangkan ulama-ulama terkenal yang berasal dari negara-negara Islam lainnya untuk turut membantu ulama Aceh sendiri. Pada masa pemerintahan Sultan Husen gelar Sultan Ali Ri’ayat Syah (1568-1575) telah datang ke Aceh seorang ulama Mekkah yang bernama Muhammad Azhari. Ia banyak membawa pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Aceh. Pada masa pemerintahan Mansur Syah (15771586) telah datang pula ke Aceh dua orang ulama Mekkah, Syekh Abdul Chair bin Syekh Ibnu Aceh Serambi Mekkah

399

Hadjar dan Syekh Muhammad Jamani dan seorang ulama Gujarat yaitu Syekh Muhammad Djailani Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Hamid Ar-Raniry. Syekh Ibnu Hadjar mengajar ilmu hukum Islam sedangkan Syekh Muhammad Jamani mengajar ilmu ushul fiqh. Sementara Syekh Muhammad Djailani mengajar ilmu mantik (logika), balaghah (retorika), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf17. Adanya kegiatan ulama yang luar biasa tersebut telah menyebabkan berkembangnya ilmu dan agama Islam baik didalam maupun di luar masyarakat Aceh. Sebagaimana telah disebutkan diatas, perkembangan tersebut juga di pacu oleh adanya dukungan dari para sultan untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan dalam masyarakat Aceh mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. A. Hasjmy menggambarkan keadaan dan perkembangan pendidikan pada masa Kerajaan Aceh dalam abad ke 16 dan 17. Beliau mengatakan “Aceh pada saat tersebut (masa kerajaan Aceh abad ke 16 dan 17) merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjanasarjana yang terkenal di dalam dan luar negeri, sehingga banyaklah pemuda pencari ilmu pengetahuan dari segala penjuru berduyun-duyun datang ke Aceh. Oleh karena dipimpin oleh tangan-tangan yang berpengetahuanlah maka Aceh menjadi masyhur dan jaya serta terkenal di seantaro dunia.”18 Gambaran di atas menunjukkan bahwa masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat diwarnai dengan nilai-nilai ajaran Islam seperti pendidikan, seni sastra, berpakaian, perayaan hari-hari besar agama. Ketika merujuk pada urusan pendidikan, sistem pendidikan yang diterapkan dalam masyarakat Aceh adalah sistem pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Pada masa Kerajaan Aceh, Aceh telah banyak melahirkan para ulama dalam berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman. Diantara ulama Aceh yang terkenal adalah Hamzah al Fansury, Syamsuddin AsSumatrany, Abdurrauf As-Singkily. Kesenian dan Kesusasteraan Aceh juga mengandung nilai-nilai Islami. Banyak karya sastera yang merupakan peninggalan para ulama dapat dijumpai di Aceh seperti hikayat raja-raja pasai, Syair Hamzah Fansury, atau hikayat Perang Sabi. Karya-karya ini merupakan karya sastera yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Disamping kesusasteraan, kesenian merupakan salah satu aspek kebudayaan Aceh. Dalam kesenian seperti Seudati atau rebana, nilai-nilai Islam ditampilkan melalui syair-syair atau alunan lagunya.. Dalam hal berpakaian, pakaian sehari-hari masyarakat Aceh adalah busana yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Mereka menyadari bahwa ajaran Islam mewajibkan berbusana muslim kepada semua ummatnya baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam. Sejarah menujukkan bahwa semua masyarakat Aceh adalah beragama Islam. Islam dan masyarakat Aceh tidak dapat dipisahkan. Karenanya, pakaian muslim atau muslimah tetap dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, budaya memperingati hari-hari besar Islam sangat mewarnai masyarakat Aceh Tata kehidupan dan etika masyarakat Aceh sangat memperhatikan tata nilai dan kesopanan. Misalnya dalam hal bertamu. Islam memberikan tatacara untuk bertamu. Allah 17 Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, (Medan: Penerbit Monora, 1972), hal. 98-99 18 A. Hasjmy, “Apa Sebab Pendidikan Islam menjadi Faktor Pembina Persatuan Bangsa?”, Sinar Darussalam, No. 36, Juli 1971, hal. 20.

400

Penabalan Serambi Mekkah

berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. (QS. An-Nur: 27-28). Dalam sistem budaya masyarakat Aceh, ketika mengadakan silaturrahim ke rumah orang lain, orang Aceh sangat menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran. Masyarakat Aceh tidak akan memasuki rumah yang dikunjunginya tanpa memberi salam terlebih dahulu dan mendapat izin pemiliknya. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, penyebaran salam merupakan sikap dan prilaku yang membudaya. Ketika berjumpa dalam perjalanan, seorang masyarakat Aceh akan saling memberi dan menjawab salam. Bagi mereka, penyebaran salam merupakan perintah agama. Lebih lanjut, pemberian dan penerimaan sesuatu harus dilakukan dengan tangan kanan. Bagi masyarakat Aceh, apabila seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tangan selain tangan kanan dinilai tidak islami. Fenomenafenomena seperti ini telah tumbuh sejak zaman kerajaan Aceh dan hingga kini fenomena tersebut masih diamalkan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat Aceh. 2. Adat dalam kehidupan masyarakat Aceh Setiap daerah dalam suatu negara memiliki adat tersendiri dalam mengatur pola kehidupan masyarakatnya tak terkecuali masyarakat Aceh. Khasanah lama masyarakat Aceh menampilkan “adat” dan “agama” sebagai unsur yang mengatur dan mengendalikan gerak hidup rakyat yang berdiam di ujung utara Pulau Sumatera19. Dalam masyarakat Aceh, adat yang dikembangkan dalam mengatur pola kehidupan bersumber dari ajaran agama Islam. Merujuk kepada sejarah masa lampau, sejak masa Sultan Malikul Saleh memerintah Kerajaan Samudra Pasai pada Abad ke-13, adat menjadi panutan pengatur prilaku sosial masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat Aceh masa kerajaan di mana ajaran agama Islam sudah berkembang baik di Aceh, adat yang menjadi panutan pengatur perilaku sosial masyarakat amat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip kandungan Hukum Islam. Ini berarti bahwa adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh adalah adat yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala adat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam akan sirna dalam sistem masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh hanya menerima adat atau prilaku sosial yang berlandaskan ajaran Islam. Hal yang demikian juga terjadi pada masa Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncaknya. Pada masa periode keemasan kerajaan ini yaitu masa Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17 M, Hukom Adat diterapkan oleh sultan atas rakyat Aceh pada masa itu. Keberadaan Sultan dalam hal ini merupakan pilar utama yang mendukung kehidupan adat. Hukom Adat yang berlandaskan ajaran Islam tersebut bukan hanya mengatur kehidupan sosial, politik akan tetapi juga mengatur aspek pribadi masyarakat Aceh sekalipun. Dengan kata lain, hukom adat yang diterapkan oleh sultan atas masyarakat Aceh diambil dari kandungan syariat (Hukum Islam).

19 Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1998), hal. 1

Aceh Serambi Mekkah

401

Dalam perjalanannya, Adat Meukuta Alam disusun untuk menjadi pedoman bagi para wakil sultan di daerah masing-masing dalam wilayah kerajaan Aceh. Kitab ini merupakan Kumpulan Fatwa Hukom Adat dan Tata Pemerintahan yang berlandaskan Syariat Islam. Adat Meukuta Alam disusun oleh Qadhi Malikul Adil untuk disebarkan ke uleebalang daerah setempat. Kumpulan hukom adat itulah antara lain oleh Ratu Naqiaatuddin pada abad ke-17 dihimpun ke dalam kitab Qanun Al-Asyiy di bawah arahan Ulama besar Aceh Syeikh Abdul Rauf As-Singkily20. Hukom (baca:hukum) dalam pengertian terapan masyarakat Aceh adalah sejumlah ketentuan-ketentuan (kaedah) yang diambil dari Syariat Islam berdasarkan pedoman Al-Quran dan hadits. Sedangkan Adat yaitu ketentuan-ketentuan yang diambil dari kajian atau kebiasaan manusia pada era zaman tertentu dan sudah menjadi panutan masyarakat. Sebenarnya istilah Hukum Adat sudah mengalami proses majemuk oleh beberapa generasi yang kosa katanya diambil dari arab. Padahal sesungguhnya dalam tata Bahasa Arab itu sendiri tidak dikenal proses itu, sehingga antara kata Hukom dan Adat, seakan-akan terdapat persamaan pemahaman yang berdekatan. Istilah Hukom (Syar’iyah) dalam bahasa Arab adalah ketentuan dari Allah Swt yang diwahyukan dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Istilah Adat itu sendiri sesungguhnya ketentuan dari perbuatan manusia yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dialami dan dianut dalam masyarakat itu sendiri. Bila diperhatikan dari sudut ini perbuatan manusia dan Allah SWT kalau dipahami secara harfiah menurut istilah bahasa Indonesia dalam Hukum Adat tampaknya disederajatkan. Karena itu akan dipahami ketentuan Allah dan manusia disamakan. Pemahaman semacam itu jelas tidak dapat diterima oleh masyarakat Aceh. Maka hal inilah yang mencirikan perbedaan mencolok kita temui disana. Dalam praktek sehari-hari, “Hukum Adat” kini sudah lazim digunakan dalam khasanah bahasa Indonesia dan khasanah bahasa Hukum di Indonesia yang juga dipakai di Aceh. Padahal, orang Aceh memahami hukom dan Adat itu sebagai pengertian yang berbeda seperti yang telah diuraikan diatas. Namun diakui bahwa ureung (orang) Aceh memandang kedua elemen etika sosial kemasyarakatan tadi saling terkait satu sama lain. Hal ini tercermin dalam sebuah hadih Maja mengatakan “Hukom ngon Adat lagee zat ngon sifeut”. Artinya: Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat. Ungkapan ini jelas menujukkan bahwa kalau disebutkan “Hukom” dalam masyarakat Aceh adalah aturan yang berasal dari syar’iyyah dan “Adat” yakni aturan yang berasal dari buah pikiran manusia. Memang dalam kaidah etika sosial kemasyarakatan orang Aceh, “Hukum Adat” sudah mengandung dua aspek sekaligus. Kedua aspek tersebut adalah aspek hubungan sesama manusia dan hubungan dengan Allah Swt sebagaimana di-syari’at-kan dalam Islam. Sebelum penjajah Belanda menguasai Aceh, Pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) waktu itu, mengendalikan roda pemerintahan daerah-daerah yang sudah ditaklukkannya (kecuali Aceh) berdasarkan Undang-Undang Dasar Hukum Pemerintahan Belanda tahun 1854. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan nama “Regeringsreglement-1854”. Kerajaan Aceh pada waktu itu masih seutuhnya dipimpin seorang Sultan yang bernama Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870 M).

20

T.M. Juned, Membedah Adat dan Hukom Masyarakat Aceh, dalam Lukman Munir (ed) Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukom dan Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003), hal. 119.

402

Penabalan Serambi Mekkah

Namun, dengan pecah Perang Aceh-Belanda yang memakan waktu bertahun- tahun, Kerajaan Aceh sudah melemah dan terpecah-pecah. Pada saat ini, Pemerintahan Hindia Belanda mulai memberlakukan untuk Aceh “Regeringsreglement-1854” kepada Kepala Pemerintahan para uleebalang yang ditunjuk di masing-masing daerah. Undang-Undang tersebut diberlakukan di Aceh dengan menambah pasal-pasal khusus yang mengakui Hukum Agama Islam (Islam) dan Hukum Adat (kaedah sosial masyarakat setempat) yang termaktub dalam Adat Meukuta Alam (Fatwa Sultan Aceh di bidang Adat dan Tata Pemerintahan). Alur perjalanan fatwa tadi berpindah dari generasi ke generasi selama masa Kesultanan di Aceh sehingga muncullah Hadih Maja yang amat melekat di tengah-tengah masyarakat Aceh hingga dewasa ini. Hadih Maja tersebut dikenal dengan slogan “Adat Bak Po Teumeureuhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang Reusam Bak Laksamana”. Artinya, pihak yang mengatur tata adat dan pemerintahan berada pada wewenang Sultan, pihak yang mengatur Syari’at Islam (hukom) berada pada pihak Ulama. Kemudian yang mengatur peraturan pelaksanaannya ada pada Putri Pahang sebagai Wazir Sultan di bidang legislatif dan yang mengatur tentang Reusam/Upacara kebiasaan adat dan perniagaan berada pada laksamana sebagai Wazir Sultan di bidang Reusam. Dari ungkapan Hadih Maja di atas cakupan pengertian yang dibangun orang Aceh menjadi 4 (empat) terminologi pengertian kaedah hukum. Pertama, masalah Adat (ketentuan hukum tak tertulis) dan Tata Pemerintahan bersumber dari kewenangan kedaulatan Sultan dan jajaran penguasa daerah di bawahnya yang merupakan implementasi kedaulatan rakyat. Keputusan fatwa adat yang diterapkan atas masing-masing daerah di Aceh oleh Sultan dan Ulee Balang Penguasa Pemerintahan Sagoe (Sagi) tetap mengacu pada perilaku sosial setempat terutama untuk mengatur tata pemerintahan dan sosial kemasyarakatan di desa yang berbasis kepada masyarakat adat. Kedua, masalah Hukom, rujukan yang menjadi sumber penggalian dan pedomannya adalah kaedah-kaedah fatwa syar’iah (Islam). Kaedah-kaedah ini merupakan ketetapan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang sudah diadaptasikan ke dalam perangkat Hukum Adat oleh fatwa para ulama. Ulama ini dilambangkan pada seseorang tokoh ulama besar Aceh yaitu Syeikh Abdul Rauf (Syiah di Kuala). Dengan demikian, adat Aceh yang berlaku dalam masyarakat sebelum masuk Islam dan bertentangan dengan fatwa Al-Quran dan Hadits, banyak yang gugur dan tidak berlaku lagi. Misalnya, meureusam adat bergaul pemuda-pemudi dibeberapa kawasan pesisir di Aceh menurut kepercayaan Hindu adalah secara bebas (free sex). Pemuda yang sudah mendapat pilihan jodoh dengan gadis di desanya dapat dengan leluasa menginap di rumah sang gadis tanpa diikat ke dalam ikatan tali perkawinan. Begitu pula dengan kepercayaan kepada benda-benda yang dikeramatkan, pohon raksasa, roh-roh nenek moyang dan bentuk-bentuk kepercayaan animisme lainnya yang lazim dilaksanakan secara adat ketika itu telah hilang setelah adanya fatwa ulama yang melarang adat semacam itu. Ini berarti bahwa menurut fatwa ulama, adat masyarakat Aceh masih berlaku apabila tidak bertentangan dengan ketentuan Allah Swt dan Hadits Rasulullah Nabi Muhammat Saw. Ketiga, masalah Qanun yakni ketentuan aturan pelaksanaan Hukum Adat tertulis difatwakan oleh Wazir (legislatif) Sultan yang waktu itu di bawah Permaisuri Sultan Putri Pahang (Putroe Phang). Aturan pelaksanaannya ini juga amat terkait erat dengan kedua hal di atas. Apa yang termaktub dalam “Qanun” merupakan pengejawantahan dari “Hukom” dan “Adat” yang

Aceh Serambi Mekkah

403

dilaksanakan Sultan (Umara) dan Qadhi Malikul Adil (Ulama). Ketentuan menurut kaedah Syar’iyah dan kaedah Adat dibakukan ke dalam Qanun menjadi peraturan resmi Sultan untuk dilaksanakan oleh para Uleebalang, Kepala Pemerintahan Sagoe di masing-masing daerahnya. Keempat, masalah Reusam yakni ketentuan adat etika sosial yang bersifat serimonial baik untuk kepentingan ritual agama, sosial kemasyarakatan di kalangan petani, nelayan. Memang, “Reusam” lebih banyak difokuskan dalam pengaturan upacara perjodohan, perkawinan, kelahiran hingga upacara kematian (tahlilan dan khanduri uroe tujoh, siploh dan seterusnya menurut kesanggupan ahlil bait). Sebagaimana telah disinggung di atas dalam “Meureusam” menyangkut kebiasaan pergaulan pemuda-pemudi masyarakat Aceh yang berlaku sebelum datangnya Islam, yakni soal perjodohan, maka masalah Reusam sebagian besar ketentuan prosesi yang dianut oleh Hukum Adat tentang soal perkawinan dan serangkaian persiapan hingga pasca kelahiran dan kematian21. Ilustrasi diatas merupakan gambaran sekilas mengenai masyarakat Aceh yang memiliki karakteristik adat dan budayanya berdasarkan ajaran Islam. Islam dan masyarakat Aceh zaman dahulu adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, Islam adalah jalan hidup masyarakat Aceh. ARGUMEN SOSIORELIGIUS Disamping argumen geografis dan sosiokultural untuk membuktikan Aceh sebagai Serambi Mekkah, kehidupan sosioreligius masyarakat Aceh dapat juga dijadikan sebagai titik tolaknya. Dalam kehidupan sosioreligius, beberapa aspek akan ditinjau untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Ulama sebagai rujukan kerajaan dan panutan masyarakat, Aceh sebagai sumber referensi bagi Asia Tenggara, Aceh sebagai Sentral Dakwah Asia Tenggara, Aceh sebagai Sentral Pendidikan Asia Tenggara adalah diantara aspek-aspek tersebut. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu. 1. Ulama sebagai Rujukan Kerajaan dan Panutan Masyarakat Aceh Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Aceh. Ulama dalam pandangan masyarakat Aceh adalah orang yang memiliki ilmu agama secara mendalam, beriman dan bertakwa, beramal shaleh, berakhlak mulia. Mereka adalah orang yang selalu beramar makruf dan bernahi mungkar dengan penuh dedikasi, tanggung jawab dan konsekuen sehingga menjadi informal leader di dalam masyarakat. Karenanya, masyarakat Aceh menjadikan ulama sebagai panutan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Segala persoalan keagamaan yang dihadapi masyarakat Aceh merujuk kepada keputusan ulama. Keputusan ulama tersebut menjadi pedoman dan sumber prilaku masyarakat Aceh disamping Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw dalam meniti kehidupan. Dalam perjalanan sejarah Aceh, ulama bukan hanya menjadi panutan masyarakat akan tetapi juga menjadi rujukan kerajaan Aceh. Sejak berdirinya Kerajaan Islam di Pasai tahun 1270, ulama di Aceh telah mulai memegang peranan penting dalam kerajaan tersebut. Mereka menjadi penasehat raja yang berhubungan dengan bidang keagamaan. Karenanya, kemasyhuran ulama di Kesultanan Pasai telah membuat kerajaan tersebut menjadi rujukan kerajaan-kerajaan Islam lainnya dalam persoalan-persoalan agama. Setiap masalah yang tidak jelas atau terjadi

21

404

Ibid.

Penabalan Serambi Mekkah

perbedaan pandangan tentang ajaran praktik Islam, mereka meminta pendapat ulama di Pasai. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa kendatipun Malaka telah tumbuh menjadi kerajaan besar, pimpinan-pimpinannya tetap menghubungi Kerajaan Islam Pasai ketika mereka memerlukan keputusan yang berhubungan dengan Agama. Ulama yang ada di Aceh bukan hanya berasal dari Aceh sendiri akan tetapi juga didatangkan dari luar oleh kerajaan. Malik al-Salih, yang mendirikan Kerajaan Islam Pasai, pernah meminta untuk menghadirkan beberapa ulama dari Makkah dan tempat-tempat lain untuk mengajarkan ajaran Islam untuk rakyat Aceh. Dia sendiri, sering berdiskusi dengan ulama mengenai ajaran Islam. Di istana, ia menempatkan beberapa ulama dari Makkah, Persia, dan India, serta memilih salah satu dari mereka sebagai penasehat Kerajaan22. Ketika Iskandar Muda memerintah Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih Syeikh Samsuddin as-Sumatrani sebagai penasihatnya dan sebagai Mufti yang disebut sebagai Syekh al-Islam. As-Sumatrani diberi tanggung jawab dalam urusan keagamaan23. Meskipun demikian, as-Sumatrani tidak hanya sebagai penasihat agama, tapi kadang juga terlibat dalam urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada Sultan Ali Mughayat Syah (15891602), raja sebelum Iskandar Muda. James Lancaster, utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan perjalanannya bahwa ada seorang bangSawan “chief bishop”, yang diperkirakan orang tersebut adalah as-Sumantrani, yang terlibat dalam perundingan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh24. Nur al-Din al-Raniri dipilih sebagai Qadhi al-Malikul Adil dan Mufti Muaddam pada periode Sulthan Iskandar Tsani dan beberapa tahun pemimpin berikutnya, Safiat al-Din25. AlRaniri digambarkan sebagai orang yang hebat. Dia pada dasarnya seorang sufi, teolog dan faqih, tetapi dia juga pengarang, penasihat dan politikus. Pada masa Iskandar Tsani, ia memainkan peran penting dalam bidang ekonomi, politik disamping bertanggung jawab dalam urusan keagamaan.26 Syekh Abdul Rauf as-Singkili ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil kerajaan Islam Aceh selama periode empat orang ratu (1641-1699) memimpin kerajaan. Sulthanah yang memilih dia menjadi Mufti adalah Taj al-Alam Safiatuddin (1641-1675), isteri dan pengganti Iskandar Tsani dan merupakan ratu yang pertama. Sulthanah berikutnya adalah Nurul Alam Naqiyyatuddin, hanya memimpin kerajaan selama 3 tahun, mangkat pada tanggal 23 januari 1678. Dia digantikan oleh Sulthanah yang lain, anaknya sendiri, Inayah Syah Zakiyyatuddin. Sulthanah ini memimpin Kerajaan Aceh selama 10 tahun. Setelah mangkat pada tahun 1688, dia 22

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hal. 27.; Overbeck, “The Answer of Pasai,” Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, (JMBRAS), Vol.II, Bagian II (Desember, 1993), hal. 255. 23 Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh (S’-Gravenhage: N.V. De Nederlandshe Boek-en Steendrukkerij, V.H.H.L. Smits, 1959), hal. 137, 153, 168. 24 James Lancaster, The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and the East Indies, Sir William Foster (Ed.), (London: The Haklyut Society, 1940), hal. 96. 25 Daudy, Allah dan Manusia, hal. 39. 26 Azyumardi Azra, “The Tranmission of Islamic reform to Indonesia: Networks of the middle Eastern and Malay Indonesia Ulama in the Seventeenh and Eighteenh Centuries,” Ph. D Disertasi, (New York: Columbia University, 1992), hal. 351.

Aceh Serambi Mekkah

405

digantikan Keumalat Syah sebagai Sulthanah yang keempat dan sulthanah terakhir yang memimpin Kerajaan Islam. Setelah memimpin lebih kurang 10 tahun Keumalat diturunkan pada tahun 1699. Al-Singkili sering terlibat dalam urusan politik, khususnya dalam hal menyelesaikan situasi konflik politik internal. Dia memainkan peranan penting, misalnya, ketika ada delegasi yang diutus oleh Syarif Makkah ke Aceh pada masa Sulthanah Zakiyyatuddin. Kedatangan rombongan ini digunakan oleh orang Aceh untuk mempersoalkan masalah kebolehan wanita sebagai pemimpin menurut hukum Islam.27 Perdebatan ini sudah sangat lama terjadi di kalangan orang Aceh. Dalam hal ini, al-Singkili tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai masalah tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa al-Singkili mendukung kepemimpinan wanita. Dengan demikian, ketika al-Singkili masih hidup, tidak ada satu kelompok lawan pun yang mampu menyingkirkan Sulthanah Zakiyyatuddin tersebut. Dia bekerja selama 50 tahun dibawah kepemimpinan wanita, dan dalam hal ini, namanya menjadi simbol otoritas ulama Aceh. Sebagaimana sering disebut sebut dalam pepatah Aceh: “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala”( adat urusan raja, agama urusan ulama). Akhirnya, setelah al-Singkili meninggal, sultanah yamg terakhir dimakzulkan, berdasarkan fatwa dari ketua mufti Makkah, memutuskan bahwasanya syari’at tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin Kerajaan Islam.28 Setelah empat ratu memimpin Kerajaan Islam Aceh, pemerintahan kerajaan tidak berjalan dengan baik, Namun demikian, setiap raja yang memimpin kerajaan pasti didampingi oleh ulama sebagai Qadhi Malikul Adil. Lebih dari itu, tidak hanya raja yang menetapkan ulama sebagai Qadhi Malik Al-Adil untuk menasehatinya, setiap daerah dan kepala kampong juga dibantu oleh ulama lokal. Ketika masa Sultan Iskandar Muda, Pemerintahan sipil dibagi kepada tiga territorial. Tingkat pertama, yang paling rendah, adalah gampong (kampong) dipimpin oleh pemimpin gampong, Keuchik sebagai pemimpin urusan duniawi dan Tgk. Imuem Menasah (pemimpin agama). Kedua dan diatas gampong yaitu mukim yang terdiri dari beberapa gampong (paling banyak delapan gampong). Mukim dipimpin oleh imeum Mukim dan Qadhi Mukim. Ketiga yang paling tinggi yaitu nanggrow (negeri) yang dipimpin oleh uleebalang dan Qadhi Nanggrow.29 Ulama di Aceh, disamping sebagai penasihat raja juga berfungsi sebagai perantara masyarakat desa dengan daerah luar.30 Lebih jauh lagi, para ulama kendatipun selalu menemani pejabat, mereka tidak terikat dengan politik lokal dan mereka juga biasa berkomunikasi secara bebas dengan siapa saja dari berbagai tingkatan masyarakat. Kedudukan ulama hanya didasarkan pada pengakuan masyarakat. Setiap pemerintahan membutuhkan ulama untuk menjaga keadilan agar dihormati masyarakat. Dipihak lain masyarakat juga membutuhkan ulama untuk membimbing mereka mengenai apa yang harus mereka laksanakan.

27

C. Snouck Hurgronje, “Een mekkaansh Gezantschap Naar Atjeh in 1683,” BKI 65, hal. 144 Husein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh berdasarkan Bahan-bahan yang terdapat dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, 1983), hal. 60. 29 A. Mukti Ali, An Introduction to Government Of Aceh’s Sultanate (Yogyakarta: Nida, 1970), h. 12. Rusdi Sufi, “Sulthan Iskandar Muda,” dalam Dari Sini Ia Bersemi (Banda Aceh: Panitia Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke 12,1981), hal. 71. 30 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LPES,1987), hal. 169. 28

406

Penabalan Serambi Mekkah

Oleh karena itu, ulama selalu terlibat dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Ketika ulama melihat bahwa praktek keagamaan sudah mengalami kemunduran dan ajaran agama banyak yang menyimpang dari pemahaman masyarakat, mereka akan terus berusaha untuk mengantisipasinya. Ketika periode Kerajaan Islam, para ulama berfungsi sebagai pengawal moral dan penasehat keagamaan sedangkan masalah politik ditangani oleh sultan sendiri. Fungsi para ulama tersebut dapat dilihat dari penolakan Nuruddin Ar-Raniri terhadap ajaran Hamzah Fansuri pada abad ke 17. Menurut Ar-Raniri, ajaran Hamzah Fansuri telah membawa masyarakat ke jalan yang keliru31 Demikian juga periode selanjutnya, Abd al-Rahman al-Zahir juga sebagai contoh ulama yang berperan sebagai kontrol moral. Pada tahun 1870, dia berusaha sekuat tenaga untuk menyapu bersih minuman keras, dan menghapus sabung ayam dan perjudian dalam masyarakat Aceh32 Dengan melihat peran ulama pada masa kesultanan, kita mendapatkan pemahaman bahwa pada masa kesultanan tersebut ulama lebih besar wibawanya ketimbang para penguasa. Ratu ke empat, Keumalatsyah sebagai contoh, dilengserkan dari tahta karena ada satu fatwa yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin33. Di Aceh sampai saat ini, masyarakat masih memperlihatkan rasa hormat kepada ulama34 Hubungan antara masyarakat dengan ulama dalam kehidupan masih sangat erat sampai sekarang. Bahkan, rakyat masih terikat dengan ulama dalam kehidupan keagamaan. Ulama mendapat posisi yang penting dalam kehidupan masyarakat karena rakyat Aceh sangat taat terhadap agama Islam. Rakyat Aceh mempunyai tradisi yang sangat kuat keterikatan kepada ulama, tidak hanya dalam hal agama, tetapi juga masalah-masalah sosial politik. Biasanya orang kampung tidak mempunyai pendidikan tinggi. Disamping itu, mereka tidak punya kemampuan untuk menguasai masalah yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial politik tersebut. Karenanya, mereka cenderung mengikuti pendapat ulama dalam berbagai macam persoalan kehidupan, termasuk politik. Bagi mereka, mengikuti pendapat ulama dianggap sebagai orang yang jujur dan tulus. Oleh karena itu, pemerintah selalu meminta dukungan ulama dalam program dan aktifitas politiknya. Salah satu contoh dukungan politik ulama berhubungan dengan Gerakan 30 September 1965. PKI (Partai Komunis Indonesia) membantai sejumlah perwira militer. Diramalkan bahwa partai komunis akan menguasai Indonesia dan Islam akan terancam. Pemerintah belum mempunyai kekuatan untuk menanggulangi peristiwa tersebut. Komandan Militer di Aceh, Ishak Juarsa, kemudian, meminta pendapat ulama.35 Ulama Aceh kemudian bermusyawarah dan mengeluarkan fatwa bahwa aliran komunis adalah haram dan siapa saja yang menjadi anggota partai ini disebut

31

Daudi, Allah dan Manusia, h. 202. Lebih Lanjut Lihat Karya Al-raniry; 1). Tibyan fi ma’rifah alAdyan. 2). Hujjah al-Shiddiqi llil daf’I al-zindiq. 32 Anthony Braddle,”habib Abd al-Rahman al-Zahir (1833-1896),” Indonesia, No. 13, (April 1972), hal. 40. 33 Jenning, “Kadi Court in 17th C. Ottoman Kaysery,”Studia Islamica 48, (1987), hal. 134. 34 Ismuha, Laporan Penelitian Pengaruh PUSA terhadap reformasi di Aceh, (Banda Aceh: Lembaga dan Surey IAIN Ar-Araniry, 1987), hal. 18. 35 Ismuha, “Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah,” hal. 97

Aceh Serambi Mekkah

407

kafir.36 Mendapat dukungan fatwa ini, militer bersama dengan pemuda Muslim melancarkan aksi anti komunis. Aksi ini dimulai dari Aceh, bahkan sebelum diterapkan di Jawa.37 Dari contoh-contoh di atas nampak bahwa betapa dekatnya hubungan antara ulama dan muslimin di Aceh. Ini tidak sulit untuk memperkirakan betapa pentingnya peran ulama membujuk rakyat untuk mendukung berbagai inisiatif. Hampir setiap program yang diperkenalkan kepada rakyat telah ditanyakan kepada ulama agar sesuai apa yang mereka kerjakan dengan doktrin agama atau tidak sama sekali. Penghargaan ulama oleh masyarakat ini tidak terlepas dari keterikatan masyarakat Aceh terhadap agama Islam, karena agama memerintahkan agar menghormati ulama. 2. Aceh sebagai Sumber Referensi Islam Asia Tenggara Ulama sebagai suatu komunitas telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di kepulauan ini terutama sekali dalam bidang agama Islam. Sejak masa kejayaan Kerajaan Islam Aceh, beberapa ulama yang sangat menonjol menghasilkan beberapa karya yang sangat berarti. Karya-karya tersebut memberi pengaruh pada pemikiran Islam di Indonesia khususnya, dan bagi Asia Tenggara pada umumnya. Karya-karya mereka mencakup berbagai bidang studi yang didalamnya termasuk tauhid, akhlaq, tafsir, sejarah sastra, taSawuf. Para ulama tersebut dalam menulis karya-karyanya memakai bahasa Arab dan Melayu. Abd Al Rauf As-Singkily, Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Al-Fansury merupakan ulama Aceh yang banyak meninggalkan karya-karyanya dan menjadi bahan kajian generasi penerus masa depan. Kemampuan ulama ini diungkapkan oleh Hamdan Hasan. Beliau mengatakan bahwa pada abad ke 17, kerajaan Islam Aceh tidak hanya berhasil mencapai kejayaan dalam bidang politik kekuasaannya yang berpengaruh, tetapi juga telah berjaya mengembangkan tradisi intelektual dan pemikiran Islam yang luar biasa dalam sejarah tamaddun Islam di Nusantara ini. Aceh abad ke 17 telah dapat melahirkan ulama-ulama yang mempunyai kebolehan yang istimewa, yang sanggup meneroka semua bidang keilmuan dalam Islam. Ulama-ulama tersebut seperti Hamzah Fansury, Shamsuddin, Nuruddin dan Abdul Rauf Singkel. Mereka ini telah menunjukkan kemampuan dan kebolehannya masing-masing dalam bidang pemikiran Islam, melalui karyakarya mereka di dalam bahasa Melayu. Mereka berkarya kira-kira 4 abad yang lalu, tetapi nampaknya sampai sekarang masih belum ada penulis-penulis Melayu di Nusantara ini yang sanggup menciptakan dan membincangkan masalah Islam dengan begitu berani dan mendalam. Kejayaan penulis-penulis Aceh inilah yang sebenarnya memperkuat kedudukan dan kewibawaan Aceh di kalangan masyarakat Islam di Nusantara. Kesan (pengaruh) tamadun Islam Aceh terhadap daerah-daerah Islam tertentu di Nusantara ini amat luas dan cukup mendalam38. Abd al-Rauf al-Singkili, dikenal di Aceh dengan sebutan Tgk. Syiah Kuala, adalah merupakan salah seorang pengarang yang terkenal. Mir’at al-Tullab, salah satu karya Abd al-

36

Tgk.. Abdullah Ujong Rimba,”Prasarana pada Musyawarah Alim Ulama Sedaerah Aceh, tgl. 1718, Desember, 1965.” 37 Hamish McDonald, Suharto’s Indonesia, (Honolulu: The University Press of Hawai, 1981, hal. 63. 38 Hamdan Hasan, Peranan Aceh dalam Pengembangan Islam di Nusantara, dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Medan: AlMaarif, 1989), hal. 346-347.

408

Penabalan Serambi Mekkah

Rauf Al-Singkili, telah menjadi buku standar sampai abad ke-19 untuk pelajaran hukum Islam di Mangindano di Philiphina.39 Dia juga menulis bidang kajian Islam secara luas. Karya pentingnya telah terkenal pada 1844, ketika A. Meusinge, salah seorang professor di Koninklijke Institute di Leiden, membuat sebuah handbook untuk mahasiswanya yang didasarkan pada karya As-Singkili, Cermin Segala Mereka Yang Menuntut Ilmu Fiqh Pada Memudahkan Syari’at Allah.40 Salah satu karya Abd al-Rauf al-Singkili yang sangat membantu terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam terhadap rakyat Melayu adalah terjemahan Al-Quran kedalam bahasa Melayu dengan beberapa komentar yang didasarkan pada kitab tafsir Arab. Kitab inilah yang merupakan tafsir pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Kitab tafsir tersebut lebih dikenal dengan nama Turjumanul Mustafiid yang merupakan terjemahan Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi al-Baidlawy41. Karya-karya Abd al-Rauf As-Singkily lainnya adalah sebagai berikut: 1. Umdataul Ahkam yang membahas tentang Ilmu Fiqh, 2. Umadatul Muhtajin Ila Suluki Maslakil Mufradin yang membahas tentang ilmu ketuhanan/ falsafah, 3. Kifayatul Muhtajin yang membahas tentang masalah ilmu taSawuf, 4. Daqaiqul Huruf yang membahas tentang rahasia huruf, 5. Hidayatul Balaghah ‘ala Jum’atil Mukhashamah yang membahas masalah undang-undang Islam tentang bukti, kesaksian dan sumpah palsu. 6. Bayan Tajalli yang membahas masalah tasawuf 7. Sya’ir Ma’rifat yang merupakan sebuah puisi yang membahas hal tauhid/tarikat. Hamzah Fansury merupakan ulama sufi Aceh yang terkenal dan pengarang besar pada pertengahan abad ke 16 dan ke 17.M. Pengaruh Hamzah Fansury bukan hanya tersebar di Nusantara akan tetapi juga melintas ke Malaya melalui karya-karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Hasil-hasil karyanya ditulis dalam bentuk sya’ir dan prosa. Sya’ir-sya’irnya banyak sekali seperti Rubai Fansuri dan yang terkenal diantaranya ialah Sya’ir Dagang, Sya’ir si Burung Pinggai, Sya’ir Perahu dan Sya’ir Sidang Fakir. Karya-karya lain beliau dalam bentuk buku adalah sebagai berikut: 1. Syarabul al Asyiqin: Zinatul Muwahiddin (membahas masalah tarikat, syari’at, hakikat dan makrifat). 2. Asrar al Arifin fi Bayan Ilmu al Suluk wal Tauhid (membahas ilmu suluk dan tauhid) 3. Al-Muntahi (membahas masalah-masalah Wihdatul Wujud) Pada masa kini, ulama dan para ahli kini banyak meneliti dan mempelajari kembali pemikiran Hamzah Fansury. Diantara karya-karya para ahli yang penting tentang beliau adalah “De Geschriften van Hamzah Fansury” yang ditulis oleh J. Doorenbos dan terbit di Leiden pada 1921. Karya lainnya tentang pemikiran Hamzah Fansury ditulis oleh Prof. Dr. Syed 39

M. B. Hocker, Islamic Law in South-East Asia, (Singapura: Oxford University Press, 1984), hal.

40

Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada, 1961), hal. 415. Mahayuddin Hj Yahaya, Sejarah Islam, (Shah Alam Malaysia: Penerbit Fajar Bakti, 1997), hal. 613.

20-32. 41

Aceh Serambi Mekkah

409

Muhammad Naquib Al Attas dengan judul “The Misticism of Hamzah Fansury” yang diterbitkan oleh University of Malaya Press, Kuala Lumpur pada tahun 197042. Syamsuddin As-Sumatrani merupakan murid Hamzah Fansury. Beliau adalah ulama yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kerajaan Aceh dan telah menghasilkan. beberapa karya dalam bidang keagamaan. Diantara karya tersebut adalah sebagai berikut: 1. Miratul Mukminin 2. Jauharul Haqaaiq 3. Risalatul Baijin Mulahadhatil Muwahhiddin Alal Mulhidi fi Zikrillah 4. Kitabul Harakah 5. Nurul Daqaaiq Miratul Iman 6. Zikaru Dairah Qausani au Adna 7. Miratul Qulub 8. Syarah Miratul Qulub 9. Kitab Tazyim 10. Syar’ul Arifin 11. Kitabul Ushulut Tahqiq 12. Miratul Haqiqah 13. Kitabul Martabah 14. Risalatul Wahhab 15. Miratul Muhaqqiqin 16. Tanbihullah 17. Sejarah Ruba’i Hamzah Fansury43. Kajian tentang kepribadian, ajaran dan aliran yang dianut Syamsuddin as-Sumatrani masih dilakukan para ahli sampai sekarang. Beberapa buku yang mengkaji kepribadian dan pemikiran beliau diantaranya, Muhammadan Misticism in Sumatera karya Raymond le Roy Archer, Malays Sufism as Illustrated in Anonimouse Collection of Seventeenth Century Tracts oleh Dr. A. H. John dan Sjamsuddin van Pasai oleh C.A.O van Nieuwenhuise44. Nuruddin Al-Raniry merupakan ulama dalam masa Kerajaan Aceh yang lain. Beliau juga merupakan ulama yang banyak melahirkan karya-karyanya sebagai kajian masyarakat Aceh pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya. Diantara karya-karya beliau adalah: 1. Asy-Siratul Mustaqim 2. Daarul Faraid bi Syarhil Aqaid 3. Bustanus salatin fi zikril Auwalin wal Akhirin 4. Akhbarul Akhirah fi Ahwali Yaumil Qiyamah 5. At-Tibyan fi Ma’rifatil Ad-Yan 6. Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruhi wa Rahman 7. Lathaiful Asrar

42

Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, (Medan: Penerbit Monora, 1972), hal. 110-116. 43 Zuber Usman, Kesusasteraan Lama Indonesia,(Jakarta: Gunung Agung, 1963), hal. 121-122. 44 Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, (Medan: Penerbit Monora, 1972), hal. 118.

410

Penabalan Serambi Mekkah

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Nubzatun fi Da’wazzil Ma’a Shahibin Hilluz-Zil Maul Hayati li Ahlil Mamati Syafa-ul Qulub Umdatul I’tiqad Jahawirul Ulum fi Kasyfil Ma’lum Bad-u Khalqis Samawati wal Ardhi Hudyjatush Shadiq li Daf’iz Zindiq Fathul Muhil Alal Mulhidin Ala Lam’u fi Tafkiri man Qala bi Khalqil Qur’an Tambihul ‘Awamili fi Tahqiqia Kalami Finawafil Shawarimush Shadiq li Qath’iz Zindiq Rahiqul Muhammadiyah fi Thariqish Shufiyah Kisah Iskandar Zulkarnain Hikayat Raja Badar Babun Nikah Saqyur Rasul Mu’ammadul I’tiqad Hidayatul Mubtadi bi Fadl lillahi Muhdi

3. Aceh sebagai Pusat Dakwah Asia Tenggara Sejak berdirinya kerajaan Acheh Darussalam pada awal abad ke 13 M, sebelum pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara. Para ulama menyebarkan Islam di kawasan Asia Tenggara melalui para mubaligh. Mereka menyiarkan Islam dimanapun mereka berada. Merujuk keadaan sebelum berdirinya kerajaan Aceh Darussalam, yakni semenjak didirikan kesultanan Pasai, ulama Aceh dikirim ke berbagai kawasan seperti ke Jawa, Sunda, Sulawesi, 45 Malaka dan Pattani untuk menyebarkan ajaran Islam.46 Malik Al Zahir, pemerintah Islam yang wara’ sungguh giat menyebarkan Agama Islam ke kawasan-kawasan yang berhampiran. Jika dilihat kegiatan Malik al Zahir ketika itu dan kemudahan yang ada serta dikaitkan dengan tradisi Islam yang ada di Pattani, maka dapat disimpulkan bahwa Islam yang disebarkan di Pattani itu berasal dari Pasai. Dan orang-orang Pasai jugalah yang telah berjaya mengIslamkan kerajaan Pattani walaupun hampir empat kurun terkemudian.47 Menurut Hikayat Pattani, Raja Pattani telah memeluk Agama Islam sebagai hasil usaha seorang ulama Pasai yang bernama Syeikh Said. Pada masa Sultan Mudhaffar (Raja ke 2 Pattani) dimana Islam telah berkembang dengan pesat, seorang ulama Pasai yakni Syeikh Safiuddin datang ke Pattani untuk menyebarkan syiar Islam. Atas nasehat ulama tersebut, Sultan Mudhaffar

45

S.M. Amin, “Sejenak Meninjau Aceh Serambi Makkah,” dalam Ismail Suni (ed) Bunga rampai tentang Aceh, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1980),hal. 54-55. 46 A. Teeuw dan D.K. Wyatt, Hikayat Pattani (Bibliotheca Indonesia, 1970), 175. 47 Mahayuddin H. Yahya, Loc. Cit, hal. 628.

Aceh Serambi Mekkah

411

Syah mendirikan sebagai sebagai tempat ibadah dan pembinaan ummat Islam yang kemudian Islam menyebar luas ke seluruh negeri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Mahayuddin menulis bahwa sebuah dokumen lama yang dijumpai di Aceh mencatat peranan Acheh dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dokumen tersebut mencatat bahwa seorang ulama bernama Abdullah al Malikul Mubin dari Aceh telah mengirim beberapa orang pendakwah ke seluruh tempat di Nusantara. Mereka itu adalah Al Sayid Syeikh Ahmad Al Twawi Tabalaku Tarahu ke Samudera Pasai, Al Sayid Syeikh Muhammad Said Tattahiri ke Champa, Al Sayid Syeikh Muhammad ke Minangkabau dan Al Sayid Syeikh Muhammad Daud ke Pattani. Pada masa pemerintahan Al Kahhar, menurut Zakaria Ahmad, sejumlah muballigh Islam telah dikirim ke Aru untuk menyiarkan Islam ke Tanah Batak. Muballigh-muballigh tersebut ada yang berasal dari Aceh, Arab, India, Turki dan Abessina. Lebih lanjut, Syeikh Syamsuddin AsSumatrani pernah dikirim ke Malaya untuk menyampaikan dakwah. Beberapa diantara mereka melakukan perjalanan atas keinginannya sendiri untuk menyebarkan keyakinan Islam. Hamzah Fansuri menghabiskan waktu di beberapa tempat seperti Johor, Malaka (sekarang Malaysia) dan Ayuthia, kota kuno Siam (sekarang Thailand).48 Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa Aceh merupakan pusat dakwah dalam kawasan Asia Tenggara. Bagi masyarakat Aceh, penyebaran agama yang merupakan rahmat Allah adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh semua ummat Islam. 4. Aceh sebagai Sentral Pendidikan Islam Kehidupan masyarakat Aceh sangat dipengaruhi oleh Islam. Bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu diantara pengaruh tersebut. Dalam hal ini, para ulama mendirikan lembaga-lembaga pendidikan sebagai tempat pengajaran dan penyebaran Ajaran Islam. Karenanya, dari berbagai fungsi yang dilakukan ulama, fungsinya yang paling dominan adalah mengajar di dayah. Dengan aktifitas pengajaran ini, ulama telah menyebarkan pendidikan bagi rakyat Aceh. Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak masyarakat dan Sultan Islam di Nusantara yang begitu alim dalam bidang agama. M. Yunus Melalatoa mengatakan bahwa orang Aceh dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang kuat, bahkan terkesan “fanatik”. Keadaan ini berakar dari sejak masuknya Islam ke Aceh serta melalui perjalanannya selama berabad-abad yang lalu. Selama itu, akidah, nilai-nilai, dan kaidah-kaidah agama itu melaui suatu proses tertentu merasuk kedalam diri anggota masyarakatnya. Semua itu tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa semua hal di atas tidak terlepas dari sistem transformasi ajaran agama itu melalui proses sosialisasi, enkulturasi, dan sistem pendidikan formal dan non formal yang pernah dikembangkan sejak masa lalu.49 Dalam kehidupan masyarakat Aceh, setiap gampong (kampung) ada meunasah yang merupakan tempat bagi anak-anak untuk belajar dasar-

48

G. Wj. Drewes dan L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri (Dordrecht, Holland : Foris Publication, 1986), hal. 4 49 M. Yunus Melalatoa, Kebudayaan Aceh: Adat dan Agama, dalam Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: PT Pamator, 1997), hal. 217-218.

412

Penabalan Serambi Mekkah

dasar ibadah dan belajar mengaji al-Quran. Kelanjutan pendidikan dasar adalah Rangkang yang bertindak sebagai lembaga pendidikan menengah dan Bale sebagai lembaga pendidikan tinggi. Kerajaan Pase dan kerajaan Aceh Darussalam, seperti juga kerajaan lain di Aceh di waktu itu adalah kerajaan Islam. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan yang berlaku pada kerajaan tersebut adalah pendidikan berdasarkan agama Islam. Hal yang semacam ini bukan saja berlaku pada kerajaan Pase dan kerajaan Aceh Darussalam tetapi juga pada seluruh negeri Islam. Anak-anak dididik oleh orang tuanya, baik langsung oleh ibu bapaknya sendiri atau diserahkan belajar di rumah seorang guru atau di tempat belajar seperti di masjid atau meunasah. Pada masa itu belum ada sistem pendidikan sekolah seperti sekolah sekarang ini. Satu-satunya tempat belajar umum adalah dayah, sedangkan meunasah berfungsi sebagai tempat belajar anakanak di kampung dan orang-orang tua dalam bidang agama. Peninggalan dunia pendidikan masa itu kita mengenal nama beberapa ulama besar dengan dayahnya meninggalkan nama harum untuk agama dan masyarakat serta karangan-karangannya dalam bidang ilmu agama, akhlak, sejarah, dan lainnya. Pendidikan dayah pada masa itu mulai di tingkat rendah, tingkat menengah sampai tingkat tinggi. Kalau pelajaran di rumah atau di meunasah pada umumnya adalah tingkat rendah. Tetapi bila teungku atau ulamanya diundang untuk mengajar dirumah ada juga yang tingkat tinggi bahkan ada pada tingkat khusus dalam suatu cabang pengetahuan. Misalnya untuk mengajar putra-putra uleebalang dan orang terkemuka.50 Pendidikan di dayah kalau ditingkat rendah biasanya diajarkan oleh seorang santri yang sudah tinggi ilmunya. Begitu pula dibagian menengah diajarkan oleh seorang santri yang sudah lebih tinggi lmunya. Santri-santri pengajar tadi dinamakan teungku rangkang, sedangkan untuk teungkuteungku rangkang diajarkan oleh teungku Chik (Teungku Besar) yang dinamakan teungku dibalee. Seperti sudah di jelaskan bahwa dayah merupakan lembaga pendidikan pertama dan tertua bagi umat Islam di Aceh. Dalam melalui sejarah yang begitu panjang dayah telah selalu berusaha menyesuaikan diri sehingga dapat eksis sampai sekarang. Berbagai gelombang perubahan alam, sosial politik dan tehnologi yang dihadapi oleh dayah, tetapi selalu saja eksistensi dayah dapat dipertahankan. Di masa-masa kesultanan di Aceh, lembaga pendidikan dayah mengalami kemajuan yang pesat. Ini dibuktikan dengan jumlah dayah di Aceh terus berkembang, demikian juga dengan jumlah ulama yang mengajar, selain ulama tempatan yang semakin lama semakin tumbuh sulthan juga mengundang ulam-ulama dari luar negeri. Ulama-ulama yang diundang tidak hanya untuk mengajar tetapi juga untuk kebutuhan kerajaan sendiri sebagai kunsultan bidang hukum agama. Sebagian ulama daerah turut memperdalam ilmunya di luar negeri terutama sekali ke Makkah dan Madinah. Pada masa perang Belanda di Banda Aceh, dayah mulai menurun. Karena sejumlah ulama telah harus menjadi pemimpin perang dan kemudian gugur di medan peperangan. Belanda juga membumihanguskan sejumlah bangunan dayah bersama perpustakaannya. Dikala itu Aceh banyak kehilangan ulama-ulama besar. Sejalan dengan pembumihangusan dayah juga telah

50

Ismail Yakub,”Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah perang Aceh-Belanda Sampai Sekarang” dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bharata, 1981), hal. 322-325

Aceh Serambi Mekkah

413

hilangnya sejumlah kitab-kitab besar dalam berbagai disiplin ilmu baik yang ditulis oleh ulama Aceh sendiri maupun yang ditulis oleh ulama-ulama dari Timur Tengah. Selain kehilangan ulama dan sejumlah kitab, Belanda juga mengontrol lembaga pendidikan apa saja yang berada di bawah kekuasaannya. Mereka melarang mengajarkan beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan politik dan yang dianggap dapat memajukan kebudaaan ummat. Karena itu banyak pelajaran yang tidak diajarkan lagi di dayah ketika itu. Jika kita bandingkan di masa lalu semua pejabat negara adalah tamatan dayah mulai dari pejabat rendahan sampai raja, demikian juga dalam dunia militer, mulai dari tamtama sampai panglima adalah tamatan dayah, itu berarti lembaga pendidikan dayah di masa lalu menyediakan berbagai mata pelajaran didayah. Banyak ulama-ulama pada masa lalu ahli dalam ilmu pertanian, ilmu falak bahkan ilmu persenjataan. Tetapi dengan kedatangan Belanda semua itu telah dilarang dan kemudian tinggallah ilmuilmu yang berhubungan dengan ibadah murni (utama) saja yaitu ilmu Fiqih, Tauhid dan Tasauf. Sedangkan bahasa Arab dan ilmu mantik dipelajari hanya sebagai alat untuk mempertajam memahami ilmu fiqih. Bahasa Arab tidak dipelajari untuk menulis kitab seperti yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu dan juga tidak dipraktekkan untuk kepentingan komunikasi dengan dunia luar baik komunikasi bisnis maupun ilmu pengetahuan. Namun bagaimanapun sampai tahun 1900-an lembaga pendidikan yang tersedia di Aceh adalah hanya lembaga pendidikan agama Islam yaitu dayah. Baru pada sekitar tahun 1903 diperkenalkan lembaga pendidikan sistem sekuler oleh Belanda. Dengan diperkenalkan sekolah oleh Belanda dengan kurikulum yang berbeda dengan dayah dan praktis dapat dipergunakan dalam dunia kerja dalam kehidupan modern, masyarakat telah telah dapat mulai melirik ke lembaga ilmu pendidikan ini. Dikalangan organisasi Islam Muhammadiyah lebih awal membaca fenomena ini karena itu Muhammadiyah menyambut baik dan terus menyesuaikan lembaga pendidikan yang dimiliki sesuai tuntutan zaman. Melihat fenomena ini di sekitar tahun 1928 ulama dayah berusaha mendirikan lembaga pendidikan model lain yang disebut madrasah Madrasah ini dalam kurikulumnya mengkombinasikan mata pelajaran umum dan agama. Ulama-ulama di Aceh tidak ingin sisi apapun dijauhkan dari aspek agama. Karena itu kurikulum dan orientasinya di rubah. Pendidikan ini tetap bertujuan dalam rangka memperdalam ilmu sesuai dengan tuntutan agama, kendatipun ada tujuan antara yaitu agar memiliki keterampilan untuk kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui bahwa pada periode kesultanan di Aceh, tidak ada lembaga pendidikan lain kecuali dayah. Dengan kata lain, Dayah merupakan pusat pendidikan bagi masyarakat Aceh. Zawiyah Cot Kala merupakan salah satu pusat pendidikan tinggi yang didirikan di pusat Kerajaan Islam Peureulak pada abad ke-10. Lembaga dayah seperti ini kemudian tersebar di baerbagai wilayah daerah Aceh. Dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, pembinaan dayah sangat digalakkan dan juga pembinaan mesjid. Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid binaan Sultan Iskandar Muda. Mesjid ini bukan hanya digunakan sebagai tempat ibadah akan tetapi juga untuk tempat menuntut ilmu. Ringkasnya, mesjid ini telah dijadikan sebagai pusat pengajian tinggi atau universitas. Menurut A. Hasymy, ada 17 Fakultas di Mesjid Baiturrahman yang kajiannya bukan hanya tertumpu kepada bidang keagamaan akan tetapi juga bidang ilmu umum. Adapun 17 Fakultas tersebut adalah: 1. Darul Tafsir wal Hadist ( Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadist )

414

Penabalan Serambi Mekkah

2. Darul Thib ( Fakultas Kedokteran ) 3. Darul Kimia ( Fakultas Ilmu Kimia ) 4. Darul Tarikh ( Fakultas Ilmu Sejarah ) 5. Darul Hisab ( Fakultas Ilmu Pasti/ Matematika ) 6. Darus Siyasah ( Fakultas Ilmu Politik ) 7. Darul Aqli ( Fakultas Ilmu Alam ) 8. Daruz Zira’ah ( Fakultas Pertanian ) 9. Darul Ahkam ( Fakultas Hukum ) 10. Darul Falsafah ( Fakultas Filsafat ) 11. Darul Kalam ( Fakultas Ilmu Kalam/Tauhid ) 12. Darul Wizarah ( Fakultas Ilmu Pemerintahan ) 13. Darul Khasanah Baitul Mal ( Fakultas Ilmu Keuangan Negara ) 14. Darul Ardhi ( Fakultas Pertambangan ) 15. Darul Nahwu ( Fakultas Bahasa Arab ) 16. Darul Mazahib ( Fakultas Ilmu Perbadingan Mazhab ) 17. Darul Harb ( Fakultas Ilmu Peperangan )51 Oleh karena itu, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam dalam masa kerajaan, dayah memegang peranan penting dalam pembinaan masyarakat dimana semua pengajar pada waktu itu adalah ulama, dan semua orang-orang terpelajar, baik itu raja atau komandan militer adalah tamatan dari dayah. Misalnya, Iskandar Muda, raja yang terkenal pada masa kejayaan Kerajaan Islam Aceh, pernah menjadi murid Shamsuddin as-Sumatrani.52 Dalam masa kerajaan, disamping ulama Aceh sendiri, banyak ulama luar datang ke Aceh memainkan peranan yang penting sebagai guru agama. Sebagai contoh, dua ulama Arab, Abu al Kahyr ibn Syekh ibn Hajar dan Muhammad al-Yamani, bertindak sebagai guru dalam bidang agama Islam.53 Dalam perjalanan sejarahnya, Aceh merupakan tempat persinggahan bagi para calon haji dari belahan timur nusantara54 karena ia merupakan pintu gerbang perjalanan haji ke Mekkah.55 Dalam hal ini, banyak jama’ah calon haji yang tinggal di Aceh agak lama sebelum berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Keberadaan mereka di Aceh lebih awal adalah untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Bahkan, mereka menetap sementara untuk memperdalam pengetahuan keagamaan kembali setelah pulang dari Mekkah. Disamping itu, mereka melakukan aktivitas berdagang dan juga bertindak sebagai guru sepanjang sisa umurnya.

51

A. Hasymy, (ed.), Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Benua, 1983), hal. 193-

194. 52

Iskandar, De Hikayat Atjeh, h. 137,153, 168. See, Peter G. Riddell, Aceh In the Sixteenth and Seventeenth Centuries: Serambi Mekkah and Identity, in Anthony Reid (Ed.), Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem, (Singapore: Singapore University Press, 2006), p. 48. 54 Snouck Hugronye, Aceh Di Mata Kolonialis, (terj)A.W.S. O’Sullivan, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hal. 19. 55 Peter G. Riddell, Op. Cit, hal. 39. 53

Aceh Serambi Mekkah

415

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Aceh merupakan sentral pendidikan Islam bagi wilayah Asia Tenggara pada masa itu dimana banyak ulama baik dari dalam negeri maupun yang datang dari luar negeri mengajar di Aceh. Karenanya, menurut T. Braddle, orang Aceh pada masa Iskandar Muda sudah berada pada taraf peradaban yang tinggi. 5. Ulama dan Komitmen Masyarakat Aceh Terhadap Islam Kerajaan Islam Aceh Darussalam tidak selalu berjalan dalam kondisi normal. Bahkan, ancaman dari luar muncul dari berbagai pihak, Belanda misalnya. Kedatangan kolonial Belanda telah mengusik kondisi sosial budaya masyarakat Aceh. Dalam rangka usaha perluasan penjajahan, pemerintah Belanda menyatakan perang dan menyerang Aceh pada bulan April 1873. Masyarakat Aceh dengan latar belakang budayanya menyambut kehadiran Belanda dengan jalan perang juga. Penyerangan yang pertama ini dapat dipukul mundur oleh rakyat Aceh.56 Pada tahun 1874 Belanda menyerang Aceh yang kedua kali dengan kekuatan yang lebih dahsyat.57 Dalam kesempatan ini, Belanda dapat menduduki Istana Raja, namun tidak berarti perang telah berakhir. Kendatipun banyak pemimpin, termasuk sejumlah ulama telah gugur, Aceh tidak dapat ditundukkan.58 Mungkin hal inilah yang menyebabkan beberapa ahli sejarah mengklaim bahwa daerah Aceh tidak pernah dapat ditaklukkan.59 Ketika sultan tidak sanggup memimpin perlawanan, dan para uleebalang tidak mampu untuk menyatukan aksi perlawanan rakyat lagi, ulama muncul dari dayah untuk memimpin perang melawan penjajah yang kafir. Pada waktu itu, ulama menyatakan bahwa :”Ini merupakan tugas kita untuk bersatu melaksanakan jihad”.60 Berdasarkan hal ini, para ulama menjadi salah satu instrumen yang membawa konflik tersebut kedalam perang suci. Melalui penyebaran ideologi prang sabi (perang sabil),61 ulama mempengaruhi rakyat untuk meningkatkan kekuatan mereka untuk berperang melawan musuh. Agar status hukum perang jelas bagi rakyat Aceh, para ulama menggunakan teori Islam tentang perang suci. Mereka menyebut bahwa penjajah Belanda sebagai kafir al-harb dan wilayah yang diduduki oleh Belanda dikatakan dar al-harb. Menurut ulama, perang melawan Belanda ini merupakan kewajiban bagi kaun Muslim. Untuk berperang melawan penjajah disebut dengan jihad fi sabilillah. Siapapun yang gugur dalam pertempuran adalah syahid dan akan

56 Pada waktu itu, Belanda tidak hanya dikalahkan oleh Rakyat, mereka juga kehilangan seorang Jenderal Kohler. 57 Belanda datang dengan 60 kapal, 206 pasukan meriem, 22 mortir, 389 perwira militer, 7.888 prajurit, 32 dokter militer, 3565 buruh laki-laki, 243 buruh perempuan, 4 komandan bagi 75 kaveleri, bahkan juga beberapa teknisi, trolley-track, perahu-boat, dan perahu dayung. Mereka juga membawa pastor, guru Islam, dan beberapa juru bicara yang dapat berbicara bahasa Aceh. Serangn ini dipimpin oleh Jenderal Van Swieten sebagai komando dan beberapa perwira tinggi lainnya. Lihat Paul Van’t veer, Perang Belanda di Aceh, Aboe Bakar (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud, Derah Istimewa Aceh, 1977), 65-76. 58 James mosamen, Rabels in Paradise: Indonesia’s civil War London: Jonathan Cape, 1961), hal. 104. 59 Paul Vant Veer membagi periode perang Belanda-Aceh kepada empat masa: (1) 1873, (2) 18741880, (4) 1896-1942. Lihat bukunya, Perang Belanda-Aceh, Aboe Abkar (terj.) (Banda Aceh: Dinas pendidikan Daerah Istimewa Aceh, 1987). 60 C. Snouck Hurgronje, The Achehnese, A.W.S O’Sullivan (terj.) (Leiden: E.J. Brill, 1906), Vol. 1, hal. 177.

416

Penabalan Serambi Mekkah

masuk surga. Lebih dari itu, masyarakat Aceh dibolehkan untuk mengambil secara paksa harta yang dimiliki oleh kafir al-harb, harta tersebut akan menjadi ghanimah (rampasan perang).62 Strategi ini telah menambah keinginan rakyat untuk berperang karena didasarkan pada perintah Allah Swt dan Hadits Nabi. Salah seorang ulama terkenal yang memimpin perlawanan terhadap Belanda adalah Tgk. Chik Di Tiro. Nama aslinya adalah Tgk. Muhammad Saman. Oleh Belanda, ia dipandang sebagai figur yang menonjol dalam kehidupan sosial politik Aceh.63 Melalui khutbahnya yang dapat memberi semangat perang suci, dia tidak hanya memperkuat kekuatan Muslim untuk berperang, tapi juga memperkuat pengaruh ulama terhadap Aceh. Kegiatan ini menjadi masalah besar bagi tentara Belanda. Oleh karena itu, Jenderal Belanda mengirim surat rahasia kepada Gubernur Belanda di Aceh, yang merekomendasikan bahwa ia sanggup membayar 1000 dolar untuk menangkap Tgk. Chik Di Tiro, hidup atau mati.64 Walaupun demikian, hal ini tidak mengendurkan semangat juang masyarakat Aceh untuk melawan penjajah Belanda. Bahkan, Tgk. Chik Pante Kulu, salah satu teman dekat Tgk. Chik Di Tiro dan sastrawan, menulis sebuah syair mengenai perang suci yang berjudul Hikayat Perang Sabi.65 Hikayat Perang Sabi ini terbukti sangat populer dan alat yang sangat efektif dalam memberi semangat bagi tentara Aceh. Hikayat ini beri anjuran berperang di jalan Allah dan menjanjikan hadiah (pahala) bagi siapa yang mati syahid dalam perang tersebut. A.H. Philips, Gubernur Belanda di Aceh, menulis dalam memoarnya bahwa pembaca hikayat Hikayat Perang Sabi dalam masyarakat mengakibatkan pembaca dan pendengar, mendorong keinginan mereka untuk mati syahid dalam perang melawan kafir.66 Tgk. Chik Kuta Karang adalah seorang ulama yang dipilih untuk memimpin perang gerilya setelah Tgk Chik Di Tiro gugur.67 Untuk mendapatkan kekuatan dan memberi semangat rakyat Aceh, dia menulis beberapa risalah kecil yang membicarakan masalah hubungan agama dan politik yang berjudul Tazkirat al-Rakidin (pernyataan kepada yang tidak berbuat sesuatu).68 Usaha ini nampaknya sangat berhasil. Tidak hanya orang awam yang terpengaruh oleh tulisantulisan ini, tetapi juga beberapa uleebalang, yang pada awalnya bekerja untuk Belanda, kemudian membantu pasukan gerilya rakyat Aceh, secara terbuka atau tertutup. Dengan semangat baru, rakyat Aceh sangat berani melawan Belanda. Hal tersebut dapat dilihat ketika Tgk. Chik Kuta Karang memimpin pasukannya melawan Belanda dengan senjata yang sama seperti yang digunakan oleh Belanda dan rakyat Aceh menyerang markas angkatan Belanda untuk menghalau mereka.69

61

Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 151 Ghanimah berarti Harta yang diperoleh dari dalam peperangan dari daerah kafir yang ditaklukkan, bias berupa senjata, kuda atau semua barang yang dapat dipungut 63 Hurgronje, The Acehnese, vol. I, hal. 135 64 Alfian, Perang di jalan Allah, hal. 152 65 A. hasjmy, Hikayat Perang Sabi Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (Banda Aceh: Pustaka Faraby, 1971), hal. 37 66 Alfian, perang dijalan Allah, hal. 136s 67 Tgk. Chik di Tiro gugur pada tanggal 25 Januari 1891 68 Hurgronje, The Acehnese, Vol. I, hal. 186 69 Alfian, Perang di Jalan Allah, hal. 162 62

Aceh Serambi Mekkah

417

Paparan terhadap ulama yang disebutkan di atas hanya merupakan contoh ulama yang aktif melawan penduduk Belanda. Sebenarnya, banyak juga ulama lain yang ikut berpartisipasi dalam perang untuk mempertahankan keimanan dan tanah air dari penjajahan Belanda. Mereka juga memimpin pasukan atau memberi semangat kepada rakyat untuk berperang. Diantara mereka ada yang mencari dana, sementara yang lainnya menetap di dayah untuk mengajar agama Islam kepada anak-anak mereka atau memelihara yatim piatu di hutan.70 Karena keterlibatan ulama dalam perang Belanda-Aceh, membuat konflik yang paling lama dan mahal yang dihadapi oleh Belanda di Hindia Timur,71 yang membuat mereka dihormati oleh rakyat. Rakyat Aceh, khususnya ulama, tidak pernah menerima keberadaan penjajah Belanda di Aceh. Rakyat Aceh selalu menginginkan Belanda angkat kaki dari Aceh. Untuk mencapai keinginan ini, beberapa ulama terlibat langsung dalam politik. Kegiatan ini dipandang oleh Belanda sebagai kejahatan dan konsekuensinya adalah mereka ditangkap dan ulama tersebut diasingkan (dibuang). Beberapa dari mereka sempat melarikan diri ke daerah lain, bahkan ke daerah yang sangat jauh seperti Makkah.72 Walaupun demikian, mereka tetap menjalin hubungan dengan ulama yang berada di Aceh untuk memberitahukan gagasan-gagasan yang mereka dapatkan di daerah lain, khususnya apa yang mereka pelajari dari situasi politik di Timur Tengah. Sejak waktu itu, Belanda mengawasi aktivitas rakyat Aceh dengan cara yang ketat sekali, khususnya dalam bidang politik. Belanda turut campur tangan lebih jauh, dalam hal pembatasan kurikulum dayah-dayah dan mengawasi informasi kegiatan Muslim di luar Aceh. Jika seorang pengajar memberitahu gagasan baru di dayah khususnya yang berhubungan dengan Negara atau bangsa, Belanda akan menuduh dia sebagai orang yang cenderung komunis dan dia dipenjara. Di lain pihak, Belanda juga mencegah generasi muda Muslim untuk belajar di sekolah menengah Belanda. Mereka hanya membolehkan keturunan uleebalang untuk melanjutkan sekolah menengah dan sampai ke universitas. Belanda berkeyakinan bahwa anak-anak ulama tidak akan loyal terhadap mereka. Karena itu, mereka lebih tertarik untuk membiarkan generasi muda muslim dalam keadaan bodoh. Anak uleebalang disediakan pendidikan yang bagus, sungguhpun kemudian kenyataannya tidak semua uleebalang bersikap loyal terhadap Belanda. Politik lain yang diterapkan oleh Belanda bagi rakyat Aceh yaitu memutuskan hubungan komunikasi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Politik ini bertujuan agar rakyat Aceh tidak sadar dan tidak dapat bersatu diantara mereka. Cara ini diketahui jelas oleh kalangan ulama yang ada di dalam dan luar Aceh. Oleh karena itu, ulama memulai menyeru masyarakat untuk bersatu dengan mendirikan organisasai. Sebelum tahun 1930, beberapa ulama melalui mendirikan organisasi untuk persatuan Muslim dan menyelesaikan masalah bersama. Tujuan sesungguhnya dari organisasi ini adalah sebagai tempat saluran bagi aspirasi rakyat dan mengusir penjajah dari tanah air. Para ulama Aceh menyadari

70

Ismail yacob, “Gambaran Pendidikan di Aceh sesudah Perang Aceh-Belanda sampai sekarang,” dalam Ismail Suny (ed.), Bunga Rampai tentang aceh, (Jakarta: Bhatan Karya Aksara, 1980), h. 327. Menurut Ismail Yacob, tidak sedikit orang Aceh menjadi ulama lantaran belajar ketika berada di hutan. Termasuk Tgk. Hasballah Indrapuri dan Tgk. Abdullah Lam U 71 Brian may, The Indonesia Tragedy (London: Routledge dan Kegan Paul, 1978), hal. 20 72 Abdullah Ujong Rimba, catatan Sejarah Pribadi (ditulis dalam bahasa Arab, tidak diterbitkan.t.th), hal. 81.

418

Penabalan Serambi Mekkah

bahwa persiapan yang penting untuk menghadapi penjajah adalah memberikan pendidikan terhadap rakyat. Dengan demikan, organisasi-organisasi ini bergerak dalam bidang reformasi sistem pendidikan, untuk membantu menyesuaikan dengan situasi. Kondisi mereka adalah sebagai Negara yang dijajah oleh musuh yang mempunyai senjata modern dan teknologi tinggi. Oleh karena itu, masyarakat Aceh harus mengakses beberapa jenis pendidikan yang sama untuk mengimbangi kekuatan musuh. Gagasan ini mulai menunjukkan hasilnya. Banyak organisasi mendirikan madrasah dengan kurikulum, metodologi mengajar dan manajemen baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan dunia modern. Madrasah ini mengajarkan sejarah, geografi, dan politik serta beberapa pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan modern seperti aritmatika, matematika dan fisika. Untuk memperoleh keahlian dalam mengatur organisasi masyarakat, pelajar dilatih untuk memimpin organisasi internal sekolah mereka. Penting dicatat bahwa dalam lembaga pendidikan ini pelajar diajarkan dengan huruf Latin agar biasa menulis dan membaca bahasa Melayu, selain bahasa Arab, yang telah di ajarkan di dayah. Beberapa organisasi tersebut adalah: “Perguruan Islam” – Tgk. Abd. Al-Wahab Seulimum, mulai didirikan pada tahun 1926, “Madrasah Ahlu’s Sunnah wal al-Jama’ah” Syed Husein yang didirikan di Idi 1928;73 Jam’iyah al-Diniyah didirikan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh di Garot, Sigli (Aceh Pidie) pada bulan Juni 1928;74 “AlMuslim Peusangan” yang didirikan oleh Tgk. Abd al-Rahman, dibuka tahun 1930; dan “DJADAM” di Montasiek, didirikan oleh Tgk. Syeikh Ibrahim pada akhir tahun 1931.75 Puncak dari gerakan pembaruan ini adalah dengan didirikannya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939. Organisasi ini muncul dari pertemuan yang terorganisir secara hati-hati pada bulan Mei 1938 oleh Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap dan Tgk. Ismail Yakcub.76 Dalam perkembangannya, PUSA tersebut membuka cabang-cabang di seluruh Aceh. Di beberapa kampong di Pidie (sebuah wilayah di propinsi Aceh) hampir setiap orang dewasa bergabung ke dalam PUSA. Selain itu, organisasi pemuda, pemuda PUSA didirikan sebagai sebuah kelompok kepanduan, kasyaf al-Islam.77 Berdirinya PUSA merupakan hasil perkembangan kesadaran dikalangan masyarakat Aceh, terutama golongan ulama, karena kondisi mereka dibawah penjajah Belanda. Tidak semua uleebalang bersikap sama terhadap rakyat. Ada kalangan uleebalang yang masih memperhatikan rakyatnya. Sementara sejumlah uleebalang yang berlindung dibawah Belanda sering bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Tindakan mereka terkadang bertentangan dengan ajaran agama. Ulama menetahui masalah ini, akan tetapi mereka tidak punya kekuatan untuk mengantisipasinya. Karenanya, ulama memerlukan organisasi yang kuat untuk menjalankan fungsi al-amr bil ma’ruf wa al-nahy munkar (menyeluruh kebaikan dan melarang kejahatan). Faktor

73

Reid, The Blood, hal. 23 Ujong Rimba, Catatan Sejarah Pribadi, hal. 82. Tanggal namun saya lebih mengacu kepada pengakuan Abdullah Rimba Karena dia adalah salah seorang yang menghadiri pertemuan tersebut dan terpilih sebagai anggota organisasi ini. Setelah Tgk. M. Daud Bereueh menjadi Ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Ketua Jam’iyah al-Diniyah digantikan oleh Tgk. Abdullah Ujong Rimba. 75 Muhammadiyah Haji dan Hasballah Haji, “Pemberontakan bangsa Indonesia tahun 1942 terhadap Pemerintahan Belanda Aceh,” Santunan, No. 56 (1981), hal. 11 76 Ismuha, Pengaruh Pusa, hal . 24. 77 Siegel, The Rope of God, hal. 96 74

Aceh Serambi Mekkah

419

lain yang menyebabkan berdirinya PUSA adalah ketidak mampuan ulama untuk bekerja sama, terutama dalam pendidikan. Melalui organisasi ini, mereka ingin mengatur kembali dan menstandarisasikan kurikulum seluruh madrasah yang telah dibangun di Aceh.78 Usaha yang paling penting dicatat adalah ulama ingin memperbaharui ajaran Islam dan mempertahankan agama Islam dari segala jenis penyimpangan.79 Untuk mencapai tujuan ini, PUSA dan ulama-ulama Aceh memutuskan untuk mengirim tiga ulama yang representatif untuk bekerja sama dengan lima kelompok orang Jepang yang dinamakan Fujiwarakikan di Penang, Malaya (sekarang Malaysia) yang bertujuan mencoba mengusir Belanda.80 Melalui kerja sama ini, rakyat Aceh berharap dapat mengusir Belanda dari Aceh.81 Walaupun kekacauan mendahului hancurnya Belanda di Aceh tetapi sesungguhnya Belanda telah dapat dirobohkan dengan dua pemberontakan yang berskala besar sejak awal tahun 1942. Larinya Belanda dari bumi Aceh digantikan oleh kekuasaan Jepang. Keberadaan Jepang di bumi Aceh merupakan hasil kerjasama dengan ulama Aceh. Tujuan utama kerja sama yang di bentuk oleh ulama dengan Jepang tersebut adalah mengusir belanda dari Aceh agar mereka dapat melaksanakan ajaran agama secara bebas. Masa kekuasaan Jepang berjalan hanya tiga setengah tahun. Pada awalnya Jepang berjanji kepada ulama Aceh, bahwa Syariat Islam dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.82 Bagaimanapun, rakyat Aceh harus menerima penduduk Jepang meskipun mereka mendapat beberapa hak keuntungan. Jepang tidak mendirikan sekolah mereka sendiri maupun membatasi kurikulum dayah dan madrasah. Keuntungan lain dari kehadiran Jepang adalah kesempatan yang diberikan kepada rakyat Aceh untuk mengikuti latihan militer. Kesempatan ini di sambut baik oleh ulama Aceh yang mendorong para pemuda untuk masuk Giyu Gun agar belajar dari perwira Jepang. Giyu Gun yang didirikan di Aceh terdiri dari 5000 prajurit, dan mayoritas prajurit tersebut adalah pemuda PUSA.83 Ulama mulai memainkan peranannya pada tahun 1945 ketika para prajurit yang terdidik mengusir Jepang dan kemudian mempertahankan wilayah Aceh dari keinginan Belanda untuk menjajah kembali Aceh. Ulama Aceh tidak pernah membayangkan bahwa Jepang akan menjajah Aceh. Oleh karena itu, ketika mereka menyadari bahwa mereka diperlakukan sebagai anak jajahan terjadilah dua pemberontakan yang dipimpin oleh ulama dalam menghadapi Jepang. Pemberontakan pertama, Perang Bayu di Aceh Utara dipimpin oleh ulama dayah yang bernama Tgk.Abdul Jalil. Pemberontakan kedua bernama Perang Pandrah, juga terjadi di Aceh Utara. Walaupun

78

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), 1940, h. 3 (naskah ketikan) 79 Ibid. 80 Menurut El-Nur Ibrahimy, tidak benar bahwa Said Abu Bakar datang ke orang Jepang di Malaya atas perintah PUSA, Paul van’t Veer mengatakan dalam bukunya Perang Belanda Di Aceh, h. 374. ulama Aceh yang diutus oleh PUSA adalah Tgk. Abd Hamid Samalanga, H. Ahmad Batee, Tgk. Abd al-Samad Seubok rambong dan Peutua Husein. Lihat Nur el-Ibrahimy, Tgk. Muhammad Daud Beureueh, (Jakarta: Gunung Agung, 1990),hal. 32 81 A. J. Piekaar, Atjeh en de Orloog met japan (‘S-gravenhage: W. Van Hoeve, 1949), h. 305 82 S. M. Amin, Meninjau Politics, hal. 64 83 Morris, Islam And Politics, hal. 112

420

Penabalan Serambi Mekkah

pemberontakan ini dipimpin oleh pemimpin lokal akan tetapi latar belakang peristiwa tersebut terjadi berasal dari sebuah fatwa oleh seorang ulama yang juga dikenal bernama Teungku Abdul Jalil.84 Indonesia memplokamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Berita ini tersebar luas di Aceh dan bersamaan dengan itu dinaikkan bendera merah putih. Tetapi kemudian Belanda melakukan agresi militer, yang pada bulan September 1945 telah berada di Medan.85 Angkatan Inggris menduduki Pulau Weh dan Pelabuhan Sabang pada 7 September.86 Keadaan ini dihadapi oleh ulama dengan melakukan pertemuan yang memutuskan untuk memberi dorongan kepada Republik Indonesia terhadap proklamasi kemerdekaannya. Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “deklarasi seluruh ulama Aceh ditandatangani oleh empat ulama terkenal yaitu, Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja’far Siddiq dan Tgk. Hasan Krueng Kale. Deklarasi mendorong rakyat untuk bersatu mendukung “pemimpin Besar Sukarno” dalam perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali ke “Daerah nenek moyang kita Indonesia”, Karena Belanda sekali lagi “mencoba menghancurkan kemurnian agama kita dan juga menindas serta melecehkan kehormatan dan merintangi kemakmuran rakyat Indonesia” keempat ulama berpendapat bahwa berjuang untuk kemerdekaan adalah tugas suci, karena itu pantas disebut dengan Perang Sabil.87 Didorong oleh semangat perang suci (jihad), rakyat Aceh berjuang dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan mereka. Mereka yakin bahwa melalui jihad fisabilillah mereka akan menang. Jika mereka gugur akan masuk surga dan jika mereka selamat negaranya akan bebas dari pendudukan Belanda. Melihat Rakyat Aceh mempertahankan daerahnya dengan penuh semangat, Belanda tidak jadi masuk ke Aceh, walaupun Belanda sudah mendirikan markasnya di Medan, seperti juga yang dilakukan Angkatan Perang Inggris di Pulau Sabang. Agresi pertama Belanda pada 21 juli 1947 gagal masuk ke Aceh. Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, pemerintah pusat menetapkan Tgk. Daud Bereueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo bersama dengan pembantu-pembantunya dari kalangan ulama seperti Tgk. Abdul Wahab Seulimum. Agresi Belanda yang kedua dilakukan pada 19 Desember 1948. belanda dapat menduduki ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, dan menangkap presiden (Sukarno), wakil presiden (Muhammad Hatta) dan beberapa menteri. Daerah yang tidak diduduki Belanda hanya daerah Aceh. Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintah membentuk pemerintahan darurat dibawah Syarifuddin Prawiranegara, yang memerintah dari hutan Sumatera Barat,88 dan kemudian Aceh.89 Prawiranegara menghadapi masalah serius dalam memerintah pemerintahan

84

Nourrozzaman Shiddiqi, “The Role of Ulama during the jappanese Occupation of Indonesia 1942-1945, “M.A. Tesis McGill University, (Montreal: 1975), hal. 112-117; Reid, The Blood of The People, hal. 132 85 Anthony Reid, The Blood of The People, hal. 151-152. 86 Ibid, hal. 187. 87 Osman Raliby, Dokumen of historica (Jakarta: Bulan Bintang, 1953), hal. 57-58. Seksi penerangan/ dokumentasi Komite musyawarah Angkatan 45 daerah Istimewa Aceh. Atjeh modal Revolusi ’45 (Kutaradja:t.p.. 1960), hal. 6 88 Ajip Rosidi, Syarifuddin Prawira Negara Lebih Takut Kepada Allah: Sebuah Biografi (Jakarta : inty Idayu Press, 1996), hal. 113-119 89 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Grafiti Press, 1992), hal. 114

Aceh Serambi Mekkah

421

darurat. Salah satu masalah yang paling krusial adalah sumber dana untuk membangun pemerintahan. Dia kemudian meminta Aceh, karena hanya daerah tersebut yang dapat membantu. Ulama Aceh bersama pemimpin lainnya mengajak rakyat dengan landasan agama untuk memberikan harta mereka sebagai bantuan. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan menjalankan pemerintahan, di dalam atau di luar negeri dan termasuk pembelian dua pesawat,90 yang merupakan pertama kali dimiliki oleh pemerintahan Indonesia. Sebagai ungkapan terima kasih atas bantuan rakyat Aceh, pemerintah pusat menamakan pesawat tersebut “ Seulawah”,91 yaitu nama sebuah gunung di Aceh. Dari peristiwa tersebut, jelas bahwa melalui usaha Tgk. M. Daud Beureueh dan ulama lain yang menegaskan bahwa Islam merupakan dasar perjuangan nasional, Aceh mampu mempertahankan diri dari pendudukan Belanda kembali. Hal ini merupakan persoalan yang mendasar bagi pemimpin Republik Indonesia dan masih bisa dilihat di Aceh meskipun kenyataannya daerah lain termasuk ibukota republik telah direbut oleh Belanda. 6. Aceh Sebagai Serambi Mekkah dalam Pandangan Tokoh Aceh Kajian diatas terhadap julukan Serambi Mekkah kepada Aceh yang ditinjau baik dari sisi kedudukan Aceh yang letak geografisnya pada jalur lalulintas perdagangan dunia Internasional, keadaan sosiokultural maupun aspek sosio religius masyarakat Aceh, telah memberikan gambaran secara umum latar belakang mengapa Aceh pantas menyandang gelar tersebut. Sebagaimana telah dikatakan bahwa penyebutan Aceh sebagai Serambi Makkah bukan merupakan peristiwa, tetapi sebuah ungkapan dari orang banyak sebagai suatu apresiasi terhadap Aceh yang begitu gigih mengembangkan dan mempertahankan Islam sebagai suatu agama yang suci. Walaupun kajian diatas telah memberikan gambaran secara umum terhadap pemberian julukan Aceh Serambi Mekkah, alangkah indahnya sekiranya paparan berikut hanya menfokuskan pada tiga sumber yang dapat menjelaskan latar belakang penyebutan Serambi Mekkah kepada Aceh. Sumber-sumber tersebut yaitu Prof. Dr. Hamka, Prof. A. Hasjmy dan Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian. a. Aceh Serambi Mekkah dalam Pandangan Prof. Dr. Hamka Dalam tulisan Hamka ditemukan beberapa kali menyebutkan nama Serambi Makkah untuk Aceh. Ada dua sumber tulisan Hamka yang berbicara masalah Aceh Serambi Mekkah. Pertama, Sejarah Umat Islam yang diterbitkan oleh Pustaka Nasional Singapura tahun 2002. Kedua, bersumber dari makalahnya dengan judul Aceh Serambi Makkah yang dipresentasikan dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembang Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Aceh Timur pada tahun 1981. Dalam tulisannya di Sejarah Umat Islam, Hamka tidak menyebutkan sebab-sebab secara rinci mengenai disebutnya Aceh sebagai Serambi Makkah. Beliau mengawali tulisannya dengan sejarah seorang raja yang memerintah Aceh tahun 1568-1575 yaitu ketika Sultan Husein memerintah. 90

Syamaun Gaharu, “Membangun Manusia Yang Utuh dan Intergralistik,”dalam Syarief Harries, Aceh: Wawasan Nasional dan Terobosan Pembangunan, (Banda Aceh: Pemda Aceh. 1991), hal.67. 91 Gerald dick, “The Story of garuda Indonesia,” Garuda, (Juli 1993), hal. 44.

422

Penabalan Serambi Mekkah

1.

Pada Masa Sultan Husein (1568-1575)

Sultan Husein ini merupakan Putera Al-Qahhar yang dalam sebagian catatan disebut Sultan Ali Riayat Syah. Sultan Husein duduk ke singgasana sebagai menggantikan ayahnya. Sultan Husein ini meneruskan politik ayahnya menentang Portugis. Perjuangan melawan Portugis dalam pemikiran Sultan Husein adalah penentuan sejarah hidup dan mati Aceh. Menurut Hamka sejak waktu itu raja-raja Aceh telah bertekat bahwasanya Aceh adalah Serambi Makkah. Nama ini sering disebut terutama sejak meningkat tali persahabatan dengan kerajaan-kerajan Islam kuat di dunia seperti Mughal di India. Sultan Husein menurut Hamka sezaman dengan kaisar Akbar di India. Ketika itu nama Aceh telah masyur sampai ke atas angin;92 seperti Turki di Istambul, Mughal di Agra, Syah Abbas di Tabriz dan Sultan Aceh. Kapal dagang Aceh lalu lintas membawa dagangan keseluruh penjuru dan kapal dagang segala bangsa pun berlabuh dipelabuhan Aceh.93 2. Pada Masa Alauddin Mansur Syah (1577-1585) Raja Alauddin putera Sultan Mansur Syah Perak telah menjadi bangsawan Aceh. Dia telah kawin dengan puteri Indra Ratna Wangsa janda Sultan Seri Alam, dan puteri dari Sultan AlQahhar; dan adiknya perempuan telah kawin pula dengan salah seorang keluarga Sultan. Dalam pandangan masyarakat darah telah bercampur. Apalagi karena negeri Perak telah dianggap sebagai sebagian dari Aceh. Pemerintah di Perak pun telah disesuaikan menurut susunan di Aceh, memakai Mukim dan Penggawa.94 Karena itu dalam perasaannya Aceh dan Perak sudah menjadi negeri yang satu. Hal ini tersebut semakin bertambah karena masyarakatnya waktu itu demikian mendalam rasa keislaman, sehingga dirasakan olehnya bahwa diantara Perak dengan Aceh terdapat tali yang satu dalam lingkungan ‘Darul Islam’. Malaka karena masih dikuasai oleh Portugis maka dianggap Darul Harb. Oleh sebab itu maka ketika terjadi perebuatn kekuasaan yang telah menumpahkan darah dua orang raja besar itu, Raja Alauddin telah bersikap sangat hati-hati dan sekali-kali tidak memihak. Dia adalah orang ‘dalam’ orang istana. Bagi Raja Alauddin yang lebih dipentingkan adalah martabat kerajaan. Karena sikap yang seperti itulah ia disegani oleh segala pihak. Apalagi sikapnya yang saleh dalam beragama sehingga akhirnya kepada dirinyalah jatuh pilihan rakyat untuk menjadi Sultan Aceh. Banyak orang yang berkomentar bahwa ini merupakan suatu nasib yang sangat baik dari seseorang bekas tawanan. Gelar Sultan Alauddin Mansur Syah ini diberikan setelah dia naik tahta, sebagai gabungan daripada gelar Sultan Aceh yang mangkat (Al-Qahhar) dengan gelar ayahnya sendiri Sultan Ahmad Mansur Syah di Perak. Selama sembilan tahun dia menjadi penguasa di kerajaan Aceh dengan penuh bijaksana, sehingga orang Aceh tidak merasa lagi bahwa dia orang lain dan diapun tidak merasa pula lagi bahwa dia adalah bekas buangan. Dia berusaha keras memajukan kerajaan Aceh, mengatur pertahanan kerajaan dari berbagai gangguan dan serangan. Dalam kesempatan tersebut raja sempat mengirim kembali per-utusan ke Istambul untuk menghadap Sultan Turki mengabarkan

92

Ini istilah yang digunakan oleh para pejabat atau ulama dahulu terhadap dunia. Hamka, Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka nasional PTELTD, 2002), hal. 789. 94 Ibid. hal. 790 93

Aceh Serambi Mekkah

423

perubahan dan kemajuan Islam dalam kerajaan Aceh. Utusan ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Murad III (memerintah 1573-1596), dan Ibnu Sultan Salim II mempererat hubungan dengan Aceh, dan mengakui kedudukan Aceh sebagai Serambi Makkah, pembela mazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Acehpun mengakui perlindungan rohaniah Khalifatul Muslimin, perlindungan Makkah dan Madinah atas negerinya. Oleh karena itu maka hubungan dengan Makkah dan Turki bertambah rapat.95 3. Pada Masa Sultan Alauddin Riayat Syah (Saidil Mukammil 1588-1604) Sejak kerajaan Aceh berdiri kedua kali, didirikan oleh Raja Ibrahim bergelar Sultan Ali Mughayatsyah di tahun 1507 sampai naikkan kelak Sultan Iskandar Muda (Mahkuta Alam) di tahun 1607, artinya seratus tahun Aceh telah melaksanakan tugas sebagai benteng Islam memperkokoh syari’at nabi. Hamka menggambarkan Aceh dalam menjaga Islam laksana benteng kepulauan nusantara yang mempertahankan diri dari “angin barat” dan “gelombang barat” yang telah mulai mengantar ombaknya yang dahsyat di pantai. Demikian juga Aceh telah berusaha membersihkan sisa pengaruh Hindu dan menangkis serbuan Kristen yang dipelopori Portugis. Di saat-saat yang dibutuhkan Aceh mengangkat pedang demi Islam, demikian juga dalam mempersatukan negeri-negeri di pulau Sumatera. Maka timbullah sultan-sultan pahlawan; AliMughayatsyah, Riayatsyah Al-Kahar, Sultan Husein dan Alauddin Mansyur Syah yang didikan keislamannya telah membentuk pribadinya sehingga walaupun asalnya dari tawanan perak namun ia turut memperkokoh kekuasaan Aceh. Kemudian disambung lagi oleh Sultan Saidil Mukammil yang tua dan saleh guna mempertahankan pusaka nenek moyangnya. Sehingga layaklah dengan hati yang rendah kita mengakui dengan penuh kerelaan juga Aceh menamakan dirinya Serambi Makkah. Negeri-negeri yang terkeliling baik ke semenanjung tanah Melayu, atau dipantai Barat pulau Sumatera, melalui Minangkabau sampai ke Bengkulu berhutang budi dalam hal pertahanan Islam kepada Kerajaan Aceh.96 Selanjutnya dalam buku yang sama Hamka berkomentar, bahwa orang Aceh perlu sadar benar bahwa mereka adalah orang muslim. Islam tidak boleh hanya tinggal dalam permainan mulut, padahal tidak berjalan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Karena itulah sultansultan ketika itu memerintahkan agar di setiap kampung berdiri masjid dan meunasah sebagai tempat mengerjakan shalat jama’ah lima waktu dan jum’at sekali seminggu. Di setiap kampung itu, di samping masjid harus ada meunasah (madrasah). Ketua (geusyik) kampung itu kadangkadang sekaligus merangkap menjadi imeum (imam), ia bukan hanya imam di dalam tetapi juga imam dalam mengajak rakyat menjadi kampung halaman, menjaga dan memimpin turun ke Sawah, bertanam lada, mengambil hasil pinang dan kelapa. Sebab apabila kehidupan rakyat sudah aman, sandang, pangan cukup karena hasil usaha sendiri, dengan sendirinya agama apapun maju. Beberapa kampung berdekat-dekatan setelah mempunyai meunasah masing-masing dan mempunyai sawah ladang dan bandar yang baik dan penduduknya telah menjadi penetap, jadilah dia mukim. Oleh karena pengaruh Mazhab Syafi’i, Jum’at baru boleh didirikan apabila sudah ada sekurang-kurangnya empat puluh orang yang mukim di negeri itu. Maka setiap mukim itu

95 96

424

Ibid. hal. 791-792 Ibid. hal. 795-796

Penabalan Serambi Mekkah

dikepalai oleh seorang ulee balang. Ia menjadi wakil sultan buat menyampaikan perintah dari atas melalui imam meunasah. Atau menjadi perantara menyampaikan usul rakyat dengan perantaraan imamnya kepada sultan.97 Supaya rakyat itu mengerti benar tentang hukum agamanya dan kehidupan secara Islam sultan suka sekali kepada ulama-ulama. Orang Aceh sendiri dikirim belajar di tempat lain. Apabila datang seorang alim dari luar negeri setelah diketahui bahwa ia benar-benar orang beriman ia akan mendapat tempat yang istimewa di Aceh dan tidak dipersoalkan apa bangsanya karena pada waktu itu bukanlah bangsa yang menjadi ukuran melainkan agama.98 Filsafah hukumnya adalah adat bersendi kepada syara’, syara’ bersendi kepada adat. Maksudnya ialah bahwasanya adat-istiadat itu tidaklah akan kuat kalau sekiranya tidak ada syara’ sebagai sumbernya. Dan suatu hukum tidaklah akan menjadi kenyataan kalau tidak dijadikan adat. Sebagaimana pepatah Aceh Syara’ngon Adat lagee zat ngon sifeut. Jadi kalau ditanyakan orang: Apakah adat Aceh? Niscaya mereka akan menjawab ialah agama Islam. Dalam makalahnya yang dipresentasikan pada seminar Sejarah Masuk dan Berkembang Islam di Indonesia, Hamka berkomentar “jika orang Aceh menyebut Serambi Mekkah, bukanlah dia semata-mata kebanggaan semata,”99 tetapi didasarkan kepada beberapa alasan. Pertama disebut di dalam sejarah perkembangan Islam, di Tanah Jawa terkenal Dakwah Wali Songo. Dalam sejarah tersebut tercatat bahwasanya Sunan Bonang ketika hendak berangkat ke Mekkah, dan meninggalkannya Sunan Kali Jaga di Demak, Wali Songo tidak langsung berlayar ke Makkah, tetapi terlebih dahulu singgah di Pasai (Aceh) guna memperdalam Ilmunya. Kedua, dijelaskan dalam kitab Sejarah Melayu. (cerita yang keduapuluh) bahwa di zaman kebesaran Malaka, Sultan Mansyur Syah mengirimkan utusan ke Pasai meminta Fatwa Hukum Tertinggi dengan membawa hadiah emas tujuh tahil dan dua orang budak perempuan. Ketiga, sebagaimana diuraikan dalam Hikayat Catatan Faqih Saghir bahwasanya Ilmu Pengetahuan Agama Islam yang berjalan di Minangkabau adalah diteriama dari Aceh. Demikian juga kata Paderi yang dikenal sebagai nama dari gerakan melawan Belanda di Padang disebut bahwa kata tersebut diambil dari kalimat pidari, yaitu negeri Pidir, Aceh. Keempat, dalam pengantar kitab yang ditulis oleh Syeikh Arsyad Banjar menjelaskan secara terus terang bahwa kitab beliau yang terkenal bernama sabilal Muhtadin, adalah lanjutan dari kitab Shiratal Mustaqim Karangan Nuruddin ArRaniry di Aceh. Keempat bukti autentik itu menyebabkan bahwa Aceh diwaktu itu benar-benar berhak memakai sebutan Serambi Mekkah. Memperhatikan pada pernyataan Hamka dalam kedua tulisannya, baik dalam buku sejarah umat Islam maupun dalam makalahnya mengenai Serambi Makkah adalah merupakan sebuah pernyataan yang keluar dari lubuk hatinya sendiri yang dikuatkan berdasarkan data ilmiah, bahwa Aceh berhak disebut sebagai Serambi Makkah karena peranannya di asia Tenggara ini sangat besar dalam rangka pengembangan agama Islam. Mulai dari usaha memperluas dakwah Islam, menyediakan ulama dan tempat dalam memperdalam ilmu para ilmuan Islam (ulama), meluruskan ibadah-ibadah yang dibutuhkan dilaksanakan hari-hari bahkan sampai mempertahankan Islam 97

Ibid, hal. 911 Ibid, hal. 912 99 Hamka, “Aceh Serambi Makkah” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Jakarta: Al-maarif, 1993), hal 21 98

Aceh Serambi Mekkah

425

dari serangan luar baik tanahnya maupun umatnya. Kenapa Aceh harus diberikan nama Serambi Makkah? Jawabannya adalah karena Islam awalnya adalah di Makkah dan sampai sekarang pusat Islam itu tetap di Makkah. Siapa saja yang ingin menyempurnakan Islamnya setiap umat Islam harus ke Makkah. Maka untuk Asia Tenggara ketika itu, siapa yang hendak ke Makkah harus ke Aceh lebih dahulu untuk mempersiapkan diri segala ilmu yang dibutuhkan sebelum menuju Mekkah. Mudah-mudahan sampai akan datang Aceh merupakan daerah yang tetap menjaga Islam sebagai agama ummatnya. b. Aceh Serambi Mekkah dalam Pandangan Prof. A. Hasjmy Membaca tulisan A. Hasjmy dengan judul Nafas Islam Dalam Kesusastraan Aceh yang terdapat dalam buku Dari Sini Ia Bersemi yang diterbitkan oleh Panitia penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an ke 12 tahun 1981, A. Hasjmy juga lebih melihat kepada faktor penyebab pemberian julukan Serambi Mekkah kepada Aceh. Dalam pandangannya, salah satu penyebab Aceh disebut sebagai Serambi Makkah karena perannya dalam penyebaran Islam. Penyebaran Islam di Aceh tidak hanya sebagai sebuah agama yang dibutuhkan oleh seseorang hamba dalam rangka menyembah Tuhannya atau sebagai sebuah kebutuhan untuk menenangkan batinnya, akan tetapi Aceh telah menyebarkan Islam secara totalitas dan tuntas hingga menjadi sebuah jalan hidupnya. Agama menjadi pedoman dalam semua aspek kehidupannya termasuk dalam karya-karya budayanya. Dalam hal ini A. Hasjmy menyatakan : “Islam yang telah maasuk ke Aceh pada pertama hijrah tidak hanya telah memberi nafas kepala kesusastraan Aceh bahkan ajaran Islam telah menyatu dengan seluruh segi kehidupan dan penghidupan rakyat Aceh sehingga oleh sejumlah sejarawan Kebudayaan Islam menempatkan kesusastraan Aceh dalam kelompok kesusastraan Islam.”100 Disamping itu, Islam didakwahkan ke Aceh dengan sungguh-sungguh. Karena itu pula, rakyat Aceh pun menerima Islam secara sunguh-sungguh. Mereka menginginkan Islam berjalan secara kaffah, baik dari sisi ajarannya untuk menerima secara keseluruhan maupun dari sisi menolak ajaran yang bertentangan dengan Islam dan kemudian dihilangkan secara totalitas. Rakyat Aceh tidak dapat menerima singkritisme. Dalam hal bagaimana Islam diajarkan di Aceh sehingga agama Islam diterima oleh orang Aceh secara totalitas dan kaffah dan yang karena dengan itu kemudian Aceh diberi julukan Serambi Makkah, A. Hasjmy menjelaskan secara gamblang: “Hal demikian bukanlah suatu yang aneh, apabila kita mengetahui bahwa yang masuk ke Aceh pada awal sejarahnya bersikap sangat keras terhadap segala apa saja yang bertentangan dengan akidah dan ibadah Islam; sama halnya dengan Islam yang masuk ke Makkah kembali dalam tahun kemenangan; hal mana menyebabkan Aceh kemudian terkenal dengan lakab kehormatan Serambi Makkah. Jika kita ingin mendapat penjelasan rinci yang sejalan denngan pernyataan-pernyataan A. Hasjmy ini mungkin kita dapat merujuk pada sejarah Islam di Aceh itu sendiri. Misalnya, bagaimana hukum Islam itu diberlakukan di Aceh secara adil dan kaffah dapat ditelaah pada tindakan Iskandar Muda terhadap rakyatnya. Iskandar Muda sebagai seorang raja ketika

100 A. Hasjmy, Nafas Islam Dalam Kesusastraan Aceh, dalam Dari Sini Ia Bersemi (Banda Aceh: Panitia Musabaqah Tilawatil Qur’an, 1981) hal. 258

426

Penabalan Serambi Mekkah

menemukan rakyatnya berbuat kesalahan, beliau menghukum rakyatnya sesuai dengan hukum yang ditetapkan dalam Islam. Disamping itu pula, hukum Islam tidak hanya diterapkan terhadap rakyat biasa saja akan tetapi Iskandar Muda juga menerapkan hukum Islam terhadap anaknya sendiri. Seperti diketahui, anak Iskandar Muda pernah berbuat salah yakni berzina dengan seorang istri orang lain. Dalam hal ini, beliau sebagai raja menghukum anaknya sendiri dimana anak Iskandar Muda tersebut dalam menjalani hukuman menemui ajalnya. Peristiwa penghukuman terhadap pengikut ajaran wujudiyah adalah contoh lain tindakan hukum yang diberlakukan kerajaan atas pengikutnya. Kendatipun ada perbedaan pendapat akan tetapi ulama ketika itu melihat ajaran wujudiyah ini merupakan suatu ajaran yang salah dan dapat menjadi syirik Akibatnya ulama memberi peringatan sehingga pengikut ajaran tersebut kembali untuk bertaubat. Akan tetapi ada sejumlah orang yang bersikeras dan tidak mau mengikuti fatwa ulama. Akhirnya mereka pun lalu dihukum. Demikian juga di suatu waktu, Aceh pernah dilanda krisis moral dengan perbuatan lagha. Lalu ulama berseru agar mereka meninggalkannya. Ketika ada yang bersikeras dan tidak mau mengikuti seruan ulama, kerajaan atas nama menjaga Islam menghukum sejumlah pelaku tersebut. c. Aceh Serambi Mekkah dalam Pandangan Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian Penjelasan mengenai latar belakang Aceh sebagai Serambi Makkah dari Prof. Dr. Ibrahim Alfian adalah hasil sebuah wawancara101. Menurut Ibrahim Alfian, Teungku di Meulek pernah meninggalkan sebuah risalah yang sangat mungkin salinannya dari risalah-risalah sebelumnya. Dalam risalah tersebut dikatakan bahwa disuatu waktu pada kala itu masyarakat Aceh benar-benar seratus persen umat Islam dan tidak ada seorangpun yang berada di Aceh yang beragama lain. Sama halnya situasi seperti di tanah Haram Makkah dimana bebas dari orang-orang selain Islam. Karena itulah, dalam hati masyarakat Aceh muncul sebuah perasaan kesamaan seperti tinggal di Makkah. Perasaan itu kemudian diucapkan oleh tokoh-tokoh ulama pemimpin Aceh, yang ketika itu hubungan Makkah dan Aceh seperti Serambi dengan rumah utama saja. Artinya siapa-siapa yang ingin ke Makkah tidak melalui sebuah proses yang rumit, karena hubungannya bukan seperti antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, akan tetapi seperti hubungan saudara saja. Hubungan Aceh dengan Makkah dapat dipahami dari peninggalan sejarah. Sejumlah ulama dari Aceh atau yang pernah belajar di Aceh dapat menjadi imam di Masjidil Haram dan mereka sekaligus menjadi guru untuk mahasiswa terutama sekali yang berasal dari Asia Tenggara. Bukti lainnya adalah betapa mudahnya hubungan Aceh dengan Makkah dimana sampai sekarang masih ada peninggalan rumah Aceh di Makkah. Rumah ini sebelumnya berada di dekat Ka’bah dan Masjidil Haram. Ketika Masjid ini diperluas oleh Raja Saudi, rumah ini di pindahkan agak jauh dari masjid dan sekarang dihuni oleh beberapa orang Aceh. Biasanya, setiap orang Aceh naik haji sering mengunjungi rumah ini.

101

Hasil wawancara Hasbi Amiruddin dengan Prof. Dr. Ibrahim Alfian pada tanggal 17 Mai 2005 di rumahnya di komplek perumahan dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Aceh Serambi Mekkah

427

428

Penabalan Serambi Mekkah

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy, “Apa Sebab Pendidikan Islam menjadi Faktor Pembina Persatuan Bangsa?”, Sinar Darussalam, No. 36, Juli 1971. A. Hasjmy, 59 Aceh Merdeka di Bawah Pemerintah Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1997. A. Hasjmy, 59 Tahun Acheh Merdeka di Bawah Pemerintahan Islam di Indonesia, Medan: PT Al-Maarif, 1981. A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September 1980. A. hasjmy, Hikayat Perang Sabi Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda, Banda Aceh: Pustaka Faraby, 1971. A. Hasjmy, Ikhtisar sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Darussalam, Banda Aceh: Lembaga Penerbitan Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, 1976. A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975. A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Beuna, 1983. A. Hasjmy, Keistimewaan Aceh dalam Bidang Pendidikan, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh,1995. A. Hasjmy, Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. A. Hasjmy, Ruba’i Syekh Hamzah Fansuri, Jakarta: Dewan Bahasa dan Pustaka. A. Hasjmy, Sejarah dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Jakarta: PT. al-Maarif, 1981. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma’rif, 1993. A. Hasjmy, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, Banda Aceh: Sinar Darussalam, 1975. A. Hasymy, Bunga Rampai Revolusi Dari Tanah Aceh, Jakarta: Bulang Bintang, 1978. A. Hasymy, Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. A. Mukti Ali, An Introduction to Government Of Aceh’s Sultanate Yogyakarta: Nida, 1970. A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003. Aceh Serambi Mekkah

429

A. Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Dekomkrasi Terpimpin (19591965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. A. Teeuw dan D.K. Wyatt, Hikayat Pattani, Bibliotheca Indonesia, 1970. A. Teeuw, The Malay Sha’ir-Problems of Origin and Tradition, BKI, 122, 1966. A.Hasjmy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: AlMa’arif, 1989. A.J. Piekaar, Aceh dan peperangan dengan Jepang, (Terjemahan Abubakar), Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi Aceh, 1998. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. A.K.Jakobi, Aceh dalam perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945-1949, Jakarta: Gramedia & RI. 001, 1998 Abdul Aziz Khairuddin, Al Sirah Al Fitrah Muhammad Khatimin Al Rasul, Dar al Nahar lil Thaba’ah ‘Anshar, 1996. Abdul Ghani Nurdin dkk. Aceh Merdeka Dalam Perdebatan, (ed.Tulus Widjarnako), Jakarta: Cita Putra Bangsa,1999. Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib, Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah, 1420. Abdul Qadir Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Jakarta: Al-Izzah, 2002. Abdullah Ujong Rimba, Prasarana pada Musyawarah Alim Ulama Sedaerah Aceh, tgl. 1718, Desember, 1965. Abdurrauf Singkel, (Daqaiqu‘I-Huruf), edisi, A.H. Johns, JRAS, 1900. Abu Bakar Atjeh, Tentang Nama Aceh, dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980. Abu Jihad, Hasan Tiro & Pergolakan Aceh, Jakarta: Aksara Centra. Agus Budi Wibowo dkk., Dinamika dan Peran Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) Dalam Kehidupan Sosial Bidaya Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Balai Kajain Sejarah dan Nilai Tradisonal, 2005. Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta: Rajawali, 1993. Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta: Rajawali,1983. Ahmad Daudy, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry: Sejarah, Karya dan Sanggahan terhadap Wujudiyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang. Ahmad Daudy, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry: Sejarah, Karya dan Sanggahan terhadap Wujudiyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja grafindo, 2004. Ajip Rosidi, Syarifuddin Prawira Negara Lebih Takut Kepada Allah: Sebuah Biografi Jakarta : Inty Idayu Press, 1996. Al Ghazali, Al Iqtishad fi Al I’tiqad, Kairo: 1320 H. Al-Chaidar dkk., Aceh Bersimbah Darah, jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998 .

430

Daftar Pustaka

Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, Jakarta, Madani Press:1999. Ali Hasjmy dkk, Eds). 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: MUI, 1995. Ali Hasjmy, dkk. (ed), 80 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: Majelis Ulama IndonesiaAceh, 1995. Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeenth-Century Aceh, LeidenBoston: Brill, 2004. Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Amri. S. dkk, Sejarah Olah Raga Klasik, Biro Ilmu Pengetahuan IKIP, Bandung: 1964. Anas Machmud, Kedaulatan Aceh Yang Tidak Pernah Diserahkan, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar, Dari Patriot Hingga Pemberontak, Yogyakarta: Ombak, 2004. Anthony Braddle,”habib Abd al-Rahman al-Zahir (1833-1896),” Indonesia, No. 13, April 1972. Anthony Reid (Ed.), Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem, Singapore: Singapore University Press, 2006. Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerjaan di Sumatera, (Terjemahan Tim Pustaka Sinar Harapan), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Anthony Reid, The Contest for North Sumatera, Kuala Lumpur: The University of Malaya Press, 1969. Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Perssada, 2003. Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, NindelnLiechtenstein: Kraus Reprint Ltd., 1967. Azyumardi Azra (Ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989. Azyumardi Azra, “The Tranmission of Islamic reform to Indonesia: Networks of the middle Eastern and Malay Indonesia Ulama in the Seventeenh and Eighteenh Centuries,” Ph. D Disertasi, New York: Columbia University, 1992. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana, 2005. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995. Azyumardi Azra, Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Prenada Media, 2004. Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995. Brian may, The Indonesia Tragedy London: Routledge dan Kegan Paul, 1978. C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istadatnya, jil. II, (terj. Sutan Maimoen), Jakarta: INIS, 1996. Aceh Serambi Mekkah

431

C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. C. Snouck Hurgronje, The Achehnese, A.W.S O’Sullivan (terj.) (Leiden: E.J. Brill, 1906. C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan (terj. Rebellion Under The Banner Of Islam (The Darul Islam in Indonesia), Jakarta: Pustaka Utama: 1995). C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhratara, 1973. DAFTAR PUSTAKA Daniel Djuned, Reposisi Ulama Di Era Reformasi, makalah disampaikan dalam seminar sehari Pembangunan Aceh Era Reformasi pada IAIN Ar-Raniry, 14 Oktober 1998 Dede Rosyada dkk., Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003. Denys Lombard (terj. Winarsih Arifin), Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (16071636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin, Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Hasan Muarif Ambary, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986. Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Hasan Muarif Ambary, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986. Din Muhammad, Himpunan Tulisan Tentang Sejarah Peradilan Agama di Aceh, (Seri Informasi Aceh Tahun VII, No. 1), Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh), 1984. Djoko Suryo dkk., Agama dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: LKPSM, 2001. Dr. Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Edward G.A. Browne, A Literary History of Persian II, Cambridge: Cambridge University Press, 1957. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya, Bandung: PUSTAKA Perpustakaan Salman ITB, 1983. G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri Dordrecht, Holland: Foris Publication, 1986. G.W.J. Drewes and L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Dordrecht-Holand/ Cinnaminson-USA: Foris Publications, 1989. Gregory Grossman, Sistem Sistem Ekonomi (Alih bahasa Anas Sidik), Jakarta: Bumi Aksara, 1987. H. C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Beuna, 1983. H. M. Zainuddin, Singa Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan: 1957. H. M. Zainuddin, Tarich Aceh dan Nusantara, Medan: Percetakan Indonesia, 1961. H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid I, Medan: Iskandar Muda, 1961. H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Djakarta: Jajasan Prapantja, 1960. Hadji Aboebakar Atjeh, “Sekitar masuknya Islam di Indonesia, Berita tentang Perlak dan Pasè”, Risalah seminar, Sejarah masuknja Islam ke Indonesia, Medan: 17-20 Maret 1963.

432

Daftar Pustaka

Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Adat dan Budaya Aceh, Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional 2000. Hamdiah A. Latif, Persatuan Seluruh Ulama Aceh (PUSA) Its Contributions To Educational Reforms In Aceh, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1996. Hamish McDonald, Suharto’s Indonesia, Honolulu: The University Press of Hawai, 1981. Hamka, Aceh serambi Mekkah, Kertas kerja Seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September 1980. Hamka, Masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah pesisir Sumatera Utara, Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia pada 17-20 Maret 1963 di Medan. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka nasional PTELTD, 2002. Hardi, Meningkatkan Kesadaran Nasional, Jakarta : PT. Mufti Harun, 1988. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press,1981. Hasan Muarif Ambary, [ed.], Jajat Burhanuddin, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998. Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1992. Hasanuddin Yusuf Adan, “Diskursus Azas Tunggal”, Gema Baiturrahman, 8 Sya’ban 1419/27 November 1998. Hasanuddin Yusuf Adan, “Obat Mujarab Membangun Aceh”, dalam, Aceh Ekspres, Banda Aceh : 4-10, Oktober 1999. Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah; Etnografi Kekerasan di Aceh, Jogjakarta: Prismasophie, 2003. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasauf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, 1980. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. DR. Denys Lombard, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999 Husein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh berdasarkan Bahan-bahan yang terdapat dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, 1983. I Wayan Badrika, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum, Jakarta: Erlangga, 2005. Ibrahim Alfian, dkk, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan Kepada Prof. DR. Sartono Kartodirdjo, Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1992 Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995.. Imam al-Ghazali, Miyskat Cahaya-cahaya, terj. Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1985. Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, Jayakarta, Agung Offset, 1994.

Aceh Serambi Mekkah

433

Ismail Sofyan, M. Hasan Basri, T. Ibrahim Alfian (ed), Prominent Women in the glimpse of history, Jakarta: Jayakarta Agung Ofset, 1994. Ismail Yakub, Cut Meutia Pahlawan Nasional dan Puteranya, Semarang: Faizan, 1979. Ismuha, Laporan Penelitian Pengaruh PUSA terhadap reformasi di Aceh, Banda Aceh: Lembaga dan Surey IAIN Ar-Araniry, 1987. J.R. Winstedt, A. History of Classical Malay Literature, Kuala Lumpur, 1969. James Lancaster, The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and East-Indies, (Ed. Sir William Foster), London : The Hakluyt Society, 1940. James mosamen, Rabels in Paradise: Indonesia’s civil War London: Jonathan Cape, 1961. James T. Siegel, the Rope of God, Barkeley and Angeles: University of California Press, 1969. Jane Drakard, An Indian Ocean Port: Sources from the Eirlier History of Barus, Archipel No. 37-38, 1999. Jenning, “Kadi Court in 17th C. Ottoman Kaysery,”Studia Islamica 48, 987. Jumsari Jusuf, Tajussalatin, Jakarta: Balai Pustaka, 1979. K. Van der Maaten, Watak Berperang Bangsa Indonesia di Berbagai Daerah (Suatu Perbandingan), (terj. Abu Bakar), Seri Informasi Aceh, Tahun II, No. 9, Banda Aceh : Pusat dokumentasi dan Informasi Aceh, 1978. K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan Banda Aceh: Pusat Dokumentasi Dan Informasi, 1997. Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP 3ES,1986. L.M Sitorus, Sejarah pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Dian rakyat, 1988. M. Arifin Ismail, Naskah Klasik Karya Ulama Aceh, Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Aceh. M. B. Hocker, Islamic Law in South-East Asia, Singapura: Oxford University Press, 1984. M. Daud Ali, Hukum Islam di Indoensia, Jakarta: Rajawali Press. M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnet Press, 2004. M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnet Press, 2004. M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di tengah Konflik,( Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004. M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadia Foundation, 2003. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh : Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997. M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Madani Press, 2001. M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988. M. Nur El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1986. M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-raja Aceh, Banda Aceh: Pustaka Iskandar Muda, 1968. M. Yunus Melalatoa, Kebudayaan Aceh: Adat dan Agama, dalam Sistem Budaya Indonesia, Jakarta: PT Pamator, 1997.

434

Daftar Pustaka

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi Ketiga, (Terjemahan Satrio Wahono,dkk), Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005. M.Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, Jakarta: Gunung agung, 1986 Madya Wan Yahya Wan Ahman, Zawiyah Cot Kala, Jurnal Syari’ah, Fakulti Syari’ah, Akademi Islam, Universiti Malaya. Mahayuddin Hj. Yahaya, Sejarah Islam, Shah Alam Malaysia: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD, 1997. Majlis Ulama Indonesia, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: MUI Pusat Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief, Jakarta: Balai Pustaka, 1992. Marjasin (et.al), Lembaga-Lembaga Adat di Pedesaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Hasil Penelitian, Kerjasama Bandes, Unsyiah dan APDN Banda Aceh, 1991. Marwati Djoened Poeponegoro dan Noegroho Nosusanto (Ed). Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka 1984. Mohamad Daud Mohamad, Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik, Kuala Lumpur: DBP, 1987 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta, 1969. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada 1981. Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1961. Mr. Teuku Moehammad Hasan, Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa, ed. Teuku Muhammad Isa, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 1999. Muhammad Djamil bin Mukmin, Sejarah Perkembangan Islam, Kuala Lumpur:Nurin Interprise. Muhammad Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta : Ceninnets Press, 2004. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001. Muhammad Ibrahim dan Rusydi Sufi, Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, (penyusun A. Hasjmy), Cet. III, Bandung: PT. Al-Ma’arif. Muhammad Said, Atjeh Sepandjang Abad, jilid I, Medan: Muhammad Said, 1961. Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera Basritama, 1999. Muhammad TWH, Heroiknya Syuhada Aceh, Medan: Yayasan Pelestarian Fatwa Perjuangan Kemerdekaan RI, 2002. Muhammad Umar (EMTAS), Darah dan Jiwa Aceh; Mengungkap Falsafah Hidup Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Muhammadiyah Haji dan Hasballah Haji, “Pemberontakan bangsa Indonesia tahun 1942 terhadap Pemerintahan Belanda Aceh,” Santunan, No. 56, 1981. Mukhtar Yahya dan Fathhurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma’arif, 1986. Musa Kazhim (ed)) , Menuju Indonesia Baru Menggagas Reformasi Total, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1998.

Aceh Serambi Mekkah

435

Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987. Nourrozzaman Shiddiqi, “The Role of Ulama during the jappanese Occupation of Indonesia 1942-1945, “Montreal: M.A. Tesis McGill University, 1975 Nuruddin Ar-Raniry, “Ma`ul-Hayah li Ahl al-Mamat”, Edisi Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta: Bulang Bintang, 1978. Nuruddin ar-Raniry, “Tibyan fi Ma`rifati`l-Adyan”, dalam Twee Maleische Geschriften Van Nuruddin, P. Voorhoeve (ed), Leiden: Brill, 1955. Osman Raliby, Dokumen of historica, Jakarta: Bulan Bintang, 1953. P. A. Hoesein Djajadiningrat, Islam di Indonesia, dalam Panitia Penyelenggara MTQ Tingkat Nasional, Dari Sini Ia bersemi, Banda Aceh: 1881. P. Vooehoeve, “Abd. Al Rauf”, The Encyclopaedia of Islam, Volume I, 1960. P. Voorhoeve, “Van en Over Nuruddin Ar-Raniry”, BKI 107, 1951; “Korte Mededelingen”, BKI 115, 1959; Twee Maleische Geschriften van Nuruddin Ar-Raniry, Leiden: E.J. Brill, 1955. Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Medan: Prakarsa Abadi Press, 1988. Raliby, Bunga Rampai tentang Aceh, Bharata, Jakarta, 1980. Ramadhan KH. Dan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidik-an pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‘at Di Aceh, Jakarta: Logos, 2003. Rusydi Sufi, Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, Jakarta: Debdikbud, PDIA, 1995. S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malysia, Singapore: Malay Publishing House LTD, 1963. Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995. Salman Harun, Hakikat Tafsir Turjuman al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Singkel, Disertasi, Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, 1988. Snouck Hugronye, Aceh Di Mata Kolonialis, (terj)A.W.S. O’Sullivan, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, et.al, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. Syahbuddin Razi, Dayah Cot Kala Pusat Pengembangan Pendidikan Islam di Asia tenggara, Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 26-30 September 1980. Syahrizal dkk. Kurikulum Pendidikan Damai, Banda Aceh: MPU dan Nonviolence Internasional, 2003. Syarief Harries, Wawasan Nasional dan Terobosan Pembangunan, Banda Aceh: Pemda Aceh. 1991. Syed Muhammad Naguid Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970.

436

Daftar Pustaka

Syed Sajjad Husain Syed Ali Ashraf, Krisis Dalam Pendidikan Islam, Terj. (Crisis in Muslim Education), Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000. T. Alibasyah Talsya, Cut Nyak Meutia Srikandi yang gugur di medan perang Aceh, Jakarta: Meutia. T. Gazali (et.al), Lembaga Hukum Adat di Aceh; Kedudukan dan Peranannya Masa Kini, Banda Aceh: Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 1990. T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Banda Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, 1979. T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta : Sinar Harapan, 1987. T. Iskandar, “Bokhari Al-Jauhari dan Tajussalatin”, Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik oleh Mohamad Daud Mohamad, Kuala Lumpur; DBP, 1987. T.M. Hasan, Riwayat Hidup T. Bintara Pineung, (Naskah Ketikan), 1991. T.M. Juned, Membedah Adat dan Hukom Masyarakat Aceh, dalam Lukman Munir (ed) Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukom dan Adat Aceh, Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003. Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry Leave Atjeh in 1054 A.H.?, BKI 134, 1978. Tamar Djaja “Syekh Nuruddin Ar-Raniry”, Sinar Darussalam, No. 31, Februari 1971. Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: MUI,1991. Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LPES,1987. Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh (S’-Gravenhage: N.V. De Nederlandshe Boek-en Steendrukkerij, V.H.H.L. Smits, 1959. Teungku Ismail Yakob, Teungku Chik Ditiro Pahlawan Besar, Jakarta: Bulan Bintang, 1952. Tgk A.K. Jakobi, Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 19451949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Prasaran Pada Musyawarah Alim Ulama Se Daerah Aceh, tanggal 17-18 Desember 1965. The Ling Gie dan Andrian, Ensiklopedi Ilmu-ilmu, Yogyakarta: PUBIB dan Andi, 1998. Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam Di Indonesia; Perkembangan dan Pembentukan (Tulisan Endang Saifuddin Anshari), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Tuanku Abdul Jalil, Sebab Aceh Dinamakan Serambi Mekkah, Makalah Seminar Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September 1980. Tujimah (ed), Asraru‘I-Insan fi Ma‘rifati‘-Ruh wa‘l-Rahman, Jakarta, 1961. Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984. Yahya Ismail, Bimbingan Sastera Melayu Lama, Kuala Lumpur: Utusan Melayu, 1967. Asdis Dipodjojo, Taju’ssalatin: Yogyakarta, 1981. Yayasan Wawasan Nusantara, Profil Provinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: 1992.

Aceh Serambi Mekkah

437

Zainuddin, H. M. Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961. Zakaria Achmad, “Sjeeh Hamzah Fansuri Ulama Penja`ir Terbesar”, Sinar Darussalam, No.36 Djuli 1971. Zakaria Achmad, “Sjeeh Hamzah Fansuri Ulama Penja`ir Terbesar”, Sinar Darussalam, No.36 Djuli 1971. Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675, Medan: Penerbit Monora 1972. Zuber Usman, Kesusasteraan Lama Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1963.

438

Daftar Pustaka

BIODATA PENULIS

Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA, dilahirkan pada tanggal 12 November 1953 di Aceh Utara. Pendidikan formalnya diawali pada SD/MIN di Panton Labu, Aceh Utara, 1968. PGA 4 tahun, di Panton Labu, Aceh Utara, pada tahun 1971. PGA 6 tahun di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tahun 1973. kemudian beliau melanjutkan sarjana muda Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, pada tahun 1978, dan dilanjutkan dengan sarjana lengkap Fak. Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry 1981, dengan judul skripsi: “Jam’iyah Al-Diniyah dalam Pembaharuan Pendidikan Agama di Pidie”. Program S2 Institute of Islamic Studies, ditempuh di McGill University, Kanada 1992-1994, dengan judul thesis: “The Response of Ulama Daah to the Modernization of Islamic Law in Aceh”. Selanjutnya, Program Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1996-1999. Beberapa buku yang telah diterbitkan antara lain Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, diterbitkan oleh UII-Press Yogyakarta tahun 2000, 2006, 2007, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, diterbitkan oleh Nadia Foundation, 2002, dan 2007, Perjuangan Ulama di Tengah Konflik Aceh, diterbitkan oleh Leknnes Yogyakarta tahun 2003, The Respons of Ulama Dayah to The Modernization of Islamic Law in Aceh, diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 2004. Woman in Aceh: A Lesson From History, Ar-Raniry Press, tahun 2004. Aceh dan Serambi Makkah, Penerbit Pena, Banda Aceh, tahun 2006, Raja Thai dan Proyek Kemanusiaan, Ar-Raniry Press, 2006 dan Bersama dengan Usman Husein, Intergrasi Ilmu dan Agama Suatu Pengantar, Ar-Raniry Press, 2007.

EMK. Alidar, M. Hum yang lahir di Manggeng, Abdya, pada tanggal 26 Juni 1974 adalah Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry B. Aceh. Penulis memperoleh pendidikan SDN No. 2 Manggeng 1986, MTsN Susoh Fillial 1989, MAN Blang Pidie 1992, S1 Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry 1997, S2 Fakultas Hukum USU Medan 2003. Adapun Penelitian / Karya Ilmiah di antarana: Pelaksanaan Nikah dan Thalak di Luar Ketentuan, UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Dalam Masyarakat (Suatu Aceh Serambi Mekkah

439

Penelitian di Kab. A. Besar), Tesis pada USU Medan 2003, “Aceh Serambi Mekkah” anggota Tim Penulis Buku, Dinas Kebudayaan Prov. Aceh 2008, Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam Bagi Remaja dan Mahasiswa di Nanggroe Aceh Darussalam. Anngota Tim Penulis Buku, Dinas Syari’at Islam Prov. Aceh, Peran Syari’at Islam Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kajian Untuk Bahan Penyusunan Draft Qanun Anti Korupsi), Anggota Tim Peneliti, Satker BRR Pemulihan dan Peningkatan Kualitas Keagamaan NAD dan Nias 2006, Pengaruh Konflik Terhadap Pencatatan Nikah (Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Fungsi KUA di Kec. Kuta Baro dan Kec. Montasik A. Besar. 2002, Kapabilitas Hakim di NAD Dalam Menangani Perkara yang Menjadi Kompetensi Absolut Mahkamah Syar’iyah. Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA. PPs IAIN Ar-Raniry 2007.

Dr. Sri Suyanta, M.Ag lahir di Klaten pada tanggal 26 September 1967. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di SDN I Planggu (1981) dan SMPN II Cawas (1984), kemudian melanjutkan studi ke PGAN I Klaten. Berbekal ijazah keguruan ini, kemudian “meudagang” ke Serambi Mekkah dan “nyantri” di IAIN Ar-Raniry 1988 pada Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah. Usai menamatkan studi program S-1 (1993), kemudian “terjaring” pada program SPU IAIN angkatan XIII. Setahun kemudian tepatnya tahun 1994 mendapat beasiswa Depag RI untuk mengikuti Program Pascasarjana S-2 di IAIN Ar-Raniry. Program magister ini selesai diikuti selama dua tahun (1996), kemudian mengajar di IAIN. Dan pada tahun 2005 meraih gelar Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang mengemban amanah sebagai Asisten Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Di antara karya tulis yang diterbitkan adalah Fatalisme Dalam Pendidikan (Skripsi IAIN Ar-Raniry 1993), Corak Ijtihad A. Hassan (Thesis Pps IAIN Ar-Raniry 1996), Ulama dan Umara: Kajian Terhadap Pasang Surut Peran Ulama Aceh (Disertasi SPS UIN Jakarta 2005), Pembaharuan Ushul Fikih; Kajian Tentang Kelayakan Melakukan Ijtihad (1998), Perilaku Keberagamaan Masyarakat Perantau Asal Jawa di Aceh (1999), Persepsi Masyarakat Daerah Istimewa Aceh Terhadap Kemitrasejajaran antara Pria dan Wanita (1999), Ulama dan Umara: Kajian Kritis Budaya Akomodasi dan Konflik (2000), Gus Dur Dalam Wacana Aceh (2002), Kisah Ibrahim Mencari Tuhan; Kajian Tafsir Tarbawy (2002), Ali Imran: Prototipe Keluarga Ideal: Kajian Tafsir Tarbawy (2003), Ar-Raniry: Dulu, Kini dan Nanti (1998), Diskursus Keislaman Pada Abad ke-18 Kesultanan Aceh Darussalam (1998), Hassan Bandung: Muffakkir al-Muthir Li Jidal Jurnal Studia Islamika; Indonesia Jurnal For Islamic Studies (1998), Kelayakan Melakukan Ijtihad (1999), Transformasi Religiusitas Kisah Dalam Al-Qur’an (1999), Pergulatan Politik Umat Islam di Indonesia (2002), Interaksi Ulama dan Umara Aceh (2002), Pelacakan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Aceh (2003), Ulama, Institusi dan Transformasi Ilmu (2003), Akar-Akar Konflik Manusia (2003). Reafirmasi Peran Ulama Aceh Pasca Tsunami (2006), Edukasi Ramadhan (Buku, 2006), Edukasi Ramadhan (Buku 2007), Dinamika Peran Ulama Aceh (Buku 2008), Manajemen Kepribadian: Proses Menjadi (Al-Bayan: kajian dan Pengembangan Dakwah) Vol 12 Nomor 13 Januari – Juni 2006, Menuju Masyarakat Ideal: Agenda Dakwah (Al-Bayan: kajian dan Pengembangan Dakwah) Vol 12 Nomor 14 Juli – Desember 2006, Belajar Dari

440

Biodata Penulis

Keluarga Imran (Jurnal Edukasi: Media Komunikasi Pendidikan Vol II Nomor 1 Januari – Juni 2006), Belajar Dari Ibrahim (Jurnal Edukasi: Media Komunikasi Pendidikan Vol II Nomor 2Juli – Desember 2006), Pemberdayaan Potensi Interal: Formulasi Kesuksesan (Jurnal Edukasi: Media Komunikasi Pendidikan Vol III Nomor 1 Januari – Juni 2007), Profesionalisme Guru: Tantangan dan Peluang (Jurnal Edukasi: Media Komunikasi Pendidikan Vol III Nomor 2 Juli – Desember 2007), Fatalisme Dalam Pendidikan Islam (Pencerahan: Jurnal Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam: Majelis Pendidikan Daerah Vol 4 Nomor 1 Januari – Maret 2006), Tantangan Global; dan Responsibilitas Pendidikan Kini (WAFA: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Sosial dan Kemasyarakatan Vol 2 Nomor 2 Desember 2007), Kajian Konstributif Optimalisasi Potensi Internal dalam Pendidikan Islam (2007) Drs. Syukrinur A. Gani, MLIS, kelahiran Bireun, 25 Januari 1968 yang menyelesaikan pendidikan pertamanya di SDN Juli Bireuen (1981), dilanjutkan dengan SMPN Bireun (1984) dan SMAN Bireun Program Biologi (1987). Ilmu yang ada dikembangkan lagi di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Program Studi Ilmu Dakwah yang selesai pada tahun 1993 dan terakhir di Program Pascasarjana IIUM Malaysia Program Studi Perpustakaan dan Informasi pada tahun 1998. Karya-karya tulis yang telah dipublikasi terdiri dari: 1. Informasi dan Masyarakat: Studi Analisis Nilai Informasi dan Pengaruhnya dalam Masyarakat, dalam Jurnal ADABIYA Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Tahun 2000 Perpustakaan Umum dan Peranannya di Era Informasi, dalam Jurnal ADABIYA Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Tahun 2003 3. Partisipasi Masyarakat Pada Kegiatan Belajar Baca Al-Quran di Pedesaan, dalam Jurnal ADABIYA Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Tahun 2003 4. Manajemen Perpustakaan IAIN Ar-Raniry, dalam Jurnal ADABIYA Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Tahun 2004 5. Pengantar Ilmu Perpustakaan, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004 6. Manajemen Perpustakaan, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004 7. Pengantar Klasifikasi, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005 8. Teknologi Informasi di Perpustakaan, dalam Jurnal ADABIYA Fakultas Adab IAIN ArRaniry, Tahun 2006 9. Islam dan Kebudayaan Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006 10. Syariat Islam dan Dakwah dalam “Melihat Syariat Islam dalam Berbagai Dimensi”, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2007. 2.

Saya, Zaki Fuad, anak pertama dari delapan bersaudara. Dilahirkan pada hari Sabtu, 14 Maret 1964 di desa Meunasah (Mns) Dayah, kecamatan Peusangan kabupaten Aceh Utara. Setelah pemekaran kabupaten kecamatan Peusangan kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Bireuen. Anak sulung dari pasangan Teungku Chalil Ibrahim, pensiunan guru MAN Peusangan, dan ibu bernama Jalilah Husein, ibu rumah tangga, menempuh Aceh Serambi Mekkah

441

pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Matangglumpang Dua tamat 1976, kemudian melanjutkan ke jenjang Madrasah Tsanawiyah Negeri Peusangan lulus pada 1980; dan menamatkan pendidkan Madrasah Aliyah Negeri Peusangan pada tahun 1983. Mulai tahun akademik 1983/84 saya melanjutkan pendidikan ke Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Gelar Doktorandus diperoleh dari Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada 1988 dengan skripsi berjudul: Kedudukan Qiyas dalam Pembinaan dan Pengembangan Hukum Islam (Studi Perbandingan Antar Mazhab). Sejak tahun ini saya sudah mulai mengajar sebagai asisten dosen di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry dalam mata kuliah Perbandingan Mazhab; di Fakultas Syariah mata kuliah Fikih Muamalah dan Fikih Munakahat. Di samping itu juga saya mengajar Agama Islam di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh selama dua tahun. Pada tahun 1989/90 mengikuti Studi Purna Ulama (SPU) di Banda Aceh; 1991/92 mengikuti Pre-Postgraduate for Overseas Studies Program Angkatan IV di Jakarta; Menjadi PNS tahun 1991 dengan NIP 150253299 dan mengikuti EAP Course dosen IAIN Se-Indonesia angkatan IV di IALF, Denpasar, 3 August 1992 to 14 May 1993 Bali. Higher Education Leadership and Management Course Cundudted by Centre for Educational Leadership McGill University, Canada May 12 – June 06, 2008 funded by CIDA, Canada ToT course on Mediation tanggal 6 - 17 November 2006 di Banda Aceh ToT course in Sidney 27 to 30 November 2006. Tahun ajaran 1993/1994 menjadi peserta Pascasarjana (S2) IAIN Syarif Hidayatullah. Gelar Magister Agama (M.Ag) diperoleh dari Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1996. Menulis Tesis berjudul: Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang Peradaban Islam. Selain di kampus saya Juga aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) Pusat di Biro Kerohanian. Sebelumnya selama menjadi mahasiswa saya pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry tahun 1986/87 dan Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Daerah Istimewa Aceh biro Pembinaan Aparat tahun 1988-90. Pada bulan Februari 1997 penulis mengakhiri masa lajang dengan mempersunting seorang dara manis bernama Dra. Dian Susianti, M.Si yang mendapat kesempatan melanjutkan studi di Program Magister IIP-Unpad Bandung dan selesai pada bulan Juni 2002. Selama menempuh studi di Jakarta kami telah dikaruniai dua orang putri tercinta bernama Ilya Nafra (11 tahun) sekarang kelas lima Madrasah Ibtidaiyah Negeri Rukoh dan Failasufa Azka (8 tahun) murid kelas III sekolah yang sama. Selama di Jakarta, penulis menjadi utusan Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry pada kegiatan seminar dan lokakarya Nasional Ekonomi Syariah yang diadakan oleh IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 29 Nopember - 1 Desember 2004 di Ciloto. Menjadi peserta pada Seminar Nasional “Berbagai Problematik Perguruan Tinggi Swasta dan Upaya Pemecahannya”, Jakarta, 11 Oktober 2004. Sebagai peserta dalam Sarasehan Nasional bertema “Menghidupkan dan Memantapkan Multikulturalisme sebagai Modal untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia” yang diadakan di Jakarta 8 September 2004. Mengikuti Seminar sehari Agama dan Kemiskinan, 13 September 2004 di Hotel Sari Pan Pacific,Jakarta yang diadakan oleh Center For Moderate Muslim. Mengikuti International Seminar on “Murtadha Muthahhari’s Thought”, tanggaal 8 May 2004. Mengikuti Lokakarya Nasional dan Kongres Mahasiswa Pascasarjana NAD Se-Indonesia 15-18 April 2004 di Jakarta. Sebagai peserta seminar “Uang

442

Biodata Penulis

dalam Perspektif Islam” tanggal 18 – 21 Februari 2003 di Hotel Bidakara, Jakarta. Mengikuti Workshop “Peran Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Pengelolaan Zakat” tanggaal 1 - 2 Juni 2003 di UIN Jakarta. Menjadi peserta Silaturahmi dan Rakornas I BAZ & LAZ di Departemen Agama 29 Mei 2002. Peserta dalam Lokakarya “Kontribusi Syariah terhadap RUU KUHP” 1 – 2 Oktober 2001. Peserta dalam Semianr dan Lokakrya “Akad dan Pengawasan dalam Transaksi Ekonomi Syariah”, IAIN Syarif Hidayatullah 23 - 24 Juli 2001. Sebagai peserta dalam acara Semiloka Peduli Syariah yang bertema “Mencari Titik Temu Lembaga-lembaga Syariah di Indonesia”, 26 – 27 Juni 2001 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah. Selain aktif mengikuti seminar dan pertemuan ilmiah, penulis juga dipercaya sebagai narasumber di pengajian Tafsir Pase dan Pondok Indah. Menjadi pembicara pada acara bedah buku “Neraca Keadilan dalam Sistem Sosial, Ekonomi, dan Supremasi Hukum” tanggaal 29 Maret 2004 di Ciputat. Selain itu, menjadi fasilitator pada Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan XII Majlis Parmusyawaratan Ulama (MPU) provinsi NAD 3-27 Nopember 2008. di Wisma Regina, Banda Aceh. Sebagai anggota tim penulis Buku Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi 2007. Tim penulis Buku Tafsir Pase Jakarta 2001) Menjadi pemakalah pada acara Mubahtsah Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tanggal 16-18 September 2003 di Hotel Cakradonya, Banda Aceh. Menulis artikel di jurnal Akreditasi Media Syariah Vol.V Nomor 10 Juli-Desember 2003 berjudul Tolong-Menolong : Asas Perasuransian dalam Perspektif Islam. Meretas Peluang dan Tantangan Bank Syariah di Indonesia : Pendekatan Transformatif Media Syariah Vol.VIII N0. 17 Juli – Desember 2007. Filosofi Perpajakan dalam Perspektif Islam dalam Jurnal Juris STAIN Prof.Dr.H.Mahmud Yunus Batusangkar Vol. III Nomor 2 Desember 2004. Ketua Tim peneliti Pusat Klinik Hukum (PKH) Fakultas Syariah bekerja sama dengan MPU Provinsi tentang Peta Dakwah Kota Banda Aceh Provinsi NAD (Analisis Prospek Pengembangan Syariat Islam Kaffah) Agustus – Desember 2008. Anggota Tim Pembahas Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayah mewakili Pemerintah Aceh tahun 2008. Melaksanakan penelitian dasar individual berjudul “Distribusi Pendapatan dan Pemenuhan Kebutuhan menurut Paradigma al-Quran” dari Februari sampai September 2002. Bersama teman-teman menyusun Tafsir Pase: Paradigma Baru, yang diterbitkan oleh Bale Kajian Tafsir Al-Quran Pase, Jakarta tahun 2001. Ekonomi Islam : Struktur dan Tujuannya. Artikel penulis dalam Jurnal Ar-Raniry N0.75 Edisi September-Februari 1999/2000. Artikel lain Batas Minimal Usia Kawin: Studi Perbandingan Antara Kitab Fikih dan UU Perkawinan di Negara-negara Muslim, dalam Majalah Mimbar Hukum N0.26, 1996; dan sejumlah tulisan lain yang dimuat dalam Majalah Santunan Kanwil Departemen Agama Provinsi NAD. Harian Serambi Indonesia, Harian Aceh dan lainlain. Pengalaman dan keaggotaan 2008 – 2011 Ketua Umum HISSI (Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Seluruh Indonesia )wilayah NAD. Ketua umum Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) NAD tahun 2008-2011.: September 2006 - May 2007 sebagai Legal Officer International Development Law Organization (IDLO) cabang Banda Aceh.

Aceh Serambi Mekkah

443

Drs. Azhar M. Nur, M.Pd., lahir di Meuko Meugit kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 12 Desember 1968. Pendidikan yang telah ditempuh adalah MIN Kiran di Pidie tamat tahun 1981, MTsN Bandar Dua di Pidie tamat 1984, MAN Samalanga di Aceh Utara tamat 1987, meraih gelar sarjana (Drs.) pada IAIN Ar-Raniry Banda Aceh jurusan Bahasa Arab pada tahun 1992, dan meraih gelar magister pendidikan (M.Pd) pada program pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada tahun 2002 dengan program studi pengembangan kurikulum. Sekarang sedang menyelesaikan program doktor pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain bertugsa sebagai dosen tetap pada fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dengan pangkat Lektor Kepala, penulis juga pernah menjabat sebagai kepala akademik pascasarjana IAIN Ar-Raniry (1993-1996). Sejumlah buku, karya ilmiah dan penelitian yang pernah dipublikasi/dihasilkan penulis, antara lain: Efektivitas Sistem Asistensi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry (1996), Pengaruh Sistem Pemondokan terhadap Prestasi Belajar Bahasa Arab (Studi Penelitian pada MAPK Banda Aceh (19960, Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemahiran Mahasiswa dalam Berbahasa Arab di Perguruan Tinggi (2002), Kurikulum pendidikan Agama Islam Menurut al-Ghazali (2003), Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu dalam Pembelajaran Agama Islam di Sekolah Dasar (2004), Pengembangan Model Pembelajaran Aktualisasi Prilaku Agama di Sekolah (2005), Ensklopedi Ulama Aceh 2 (2005), Pengembangan Model Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran Agama Islam di Sekolah Dasar (2006), Tradisi Keilmuan di PTAI (2007), Pengembangan Dayah dalam Perspektif Ulama Dayah (2007), Kelembagaan Adat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2007), dan Pergulatan panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural (2007). Penulis mempunyai isteri, Zuaidar, S.Ag dan tiga orang anak, masing-masing Fathiya Rizqina (12 tahun), Muhammad Zia Alkhair (8 tahun) dan Muhammad Hanif (5 tahun). Alamat sekarang di Desa Tungkop, kecamatan Darussalam Aceh Besar Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Drs. Usman Husen M Ag. lahir di Blangjruen Aceh Utara pada 16 September 1955. Menyelasaikan pendidikan dasarnya pada MIN 7 Tahun pada tahun 1969 kemudian melanjutkan ke PGAN 6 Tahun di Lhokseumawe dan tamat pada tahun 19975. Setelah selesai studi pada sekolah guru ini, ia melanjutkan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dengan mengambil jurusan Bahasa Arab dan menyelesaikan program Sarjana Muda (BA) pada tahun 1979 dan Sarjana Lengkap (Drs.) pada tahun 1982. Kemudian pada tahun 1984 mendapat kesempatan untuk studi di Mesir dan mengikuti kuliah pada Kulliyat al-Lughah al-‘Arabiyah jurusan ‘Ammah pada Al-Azhar al-Syarif di Kairo dengan memperoleh Lisence (Lc) pada tahun 1986. Program S2 di Ar-Raniry dengan konsentrasi alFiqh al-Muqarin yang diselesaikan pada tahun 1994. Sekarang sedang mengikuti program S3 pada IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh dengan konsentrasi Fiqh Modern. Keterlibatannya dalam bidang penulisan karya ilmiyah antara lain “Penerapan Syari‘at Islam Secara Bertahap” (terj. bersama tim) tahun 2002, “al-Ahkam al-Islamiyah al-Mu‘ashirah ‘Inda

444

Biodata Penulis

al-‘Ulama’ al-Asyiyin” (terj. ke dalam bahasa Arab) tahun 2006, “Integrasi Ilmu dan Agama Sebuah Pengantar” (bersama Prof. M. Hasbi Amiruddin) Tahun 2007, “Sejarah Pendidikan Islam Masa Perkembangan dan Kemajuan” tahun 2008. Semua buku ini diterbitkan oleh ArRaniry Press. Sementara buku lain adalah “Kurikulum Pendidikan Damai Tahun 2000” (tim), “Kurikulum Pendidikan Damai Menurut Perspektif Ulama Aceh” tahun 2005 (tim) yang diterbitkan oleh Program Pendidikan Damai Banda Aceh. Selain itu aktif menulis pada Majalah Sinar Darussalam YPD UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry dan majalah Didaktika Fakultas Tarbiyah IAIA Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

Aceh Serambi Mekkah

445

446

Biodata Penulis

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF