241821341 BAB I Lupus Nefritis Docx
April 7, 2019 | Author: Devis Yulia R | Category: N/A
Short Description
lupus...
Description
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Amerika, prevalensi LES adalah 1 kasus per 2000 penduduk pada populasi umum. Karena kesulitan diagnosis dan kemungkinan banyak kasus tidak terdeteksi, sebagian besar peneliti menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih dekat ke 1 kasus per 500-1000 populasi. Data prevalensi LES di Indonesia sampai saat ini belum ada. Jumlah penderita LES di Indonesia menurut menurut Yayasan Lupus Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang. Keterlibatan ginjal pada LES merupakan manifestasi penyakit yang umum dijumpai dan merupakan prediktor kuat luaran yang buruk. Prevalensi penyakit ginjal pada 8 studi st udi kohort besar yang terdiri atas 2649 pasien LES bervariasi antara 31-65%. Suatu studi menganalisis insidensi tahunan dari nefritis pada 384 pasien lupus di John Hopkins Medical Center antara 1992-1994, dan didapatkan insidensi penyakit ginjal akut sebesar 10 persen. Berdasarkan data dari Asia, keterlibatan renal berkisar antara 6-100% secara keseluruhan. Secara histologis, ginjal terpengaruh sampai derajat tertentu pada kebanyakan pasien dengan LES. Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien LES berkisar antara 30-90% pada studi-studi yang sudah dipublikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari nefritis lupus klinis pada pasien LES kemungkinan sekitar 50%, lebih sering pada anak-anak dan etnis tertentu (Meivina Ramadhani Pane, 2011). LES lebih sering pada orang kulit hitam dan ras Hispanik dibandingkan kulit putih. Nefritis lupus yang berat terutama lebih le bih sering ditemukan pada orang kulit hitam dan ras Asia dibandingkan ras lain. Karena prevalensi LES lebih tinggi pada wanita (rasio wanita:pria = 9:1), lupus nefritis juga lebih sering dijumpai pada wanita (Hahn et al, 2012). Kebanyakan pasien dengan LES terkena nefritis lupus pada awal perjalanan penyakitnya. LES lebih sering terjadi pada wanita di dekade ketiga kehidupannya, dan nefritis lupus juga sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun. Anak dengan LES memiliki risiko penyakit ginjal lebih tinggi daripada dewasa dan lebih sering mengalami ceder a akibat penyakit yang agresif dan toksisitas akibat pengobatan. Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manajemen nefritis lupus telah banyak meningkatkan kemungkinan hidup pasien. Saat ini rata-rata 10 year survival rate dari LES telah melebihi 90%. Sebelum tahun 1955, 5-year survival rate kurang dari 50%. Penurunan mortalitas terkait SLE dapat merupakan kontribusi diagnosis lebih awal (termasuk kasus ringan), perbaikan pengobatan spesifik dan
kemajuan ilmu kedokteran secara umum. Morbiditas dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri, selain komplikasi pengobatan dan morbiditas seperti penyakit kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat berakhir pada anemia, uremia dan gangguan asam basa serta elektrolit. Hipertensi akan semakin meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke. Sindroma nefrotik dapat menimbulkan edema, asites dan hiperlipidemia. Komplikasi infeksi yang terkait SLE aktif dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama kematian pada SLE fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis dini adalah penyebab kunci mortalitas pada fase lanjut. Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita usia 35-44 tahun dengan LES adalah 50 kali lebih mudah mengalami iskemia miokardial dibandingkan wanita sehat(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
B. Rumusan masalah
1) Apa pengertian lupus nefritis ? 2) Apa penyebab penyakit lupus nefritis ? 3) Apa saja klasifikasi lupus nefritis ? 4) Bagaimana manifestasi klinis dari lufus nefritis ? 5) Bagaimana penatalaksanaan dari lupus nefritis ? 6) Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lupus nefritis ?
C. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
1) Agar mahasiswa mengetahui definisi lufus nefritis 2) Agar mahasiswa mengetahui penyebab penyakit lufus nefritis 3) Agar mahasiswa mengetahui klasifikasi lupus nefritis 4) Agar mahasiswa mengetahui manifestasi klinis dari lupus nefritis 5) Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan dari lupus nefritis 6) Agar mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien lupus nefritis
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Nefritis Lupus
Nefritis Lupus (NL) adalah merupakan salah satu komplikasi ginjal pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) (Meivina Ramadhani P, 2011).Nefritis lupus adalah suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan oleh Sistemik Lupus Erithematosus, yaitu suatu penyakit autoimun. Selain ginjal, SLE juga dapat merusak kulit,sendi, system saraf dan hampir semua organ dalam tubuh ( Arif Mansjoer, 2001).
B. Pathogenesis Pathogenesis Nefritis Lupus
Lupus nefritis timbul pada waktu antibody antinuklear (anti-DNA) melekat pada antigennya (asamdeoksiribonukleat/DNA) dan diendapkan pada glomerolus ginjal. Biasanya DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi antigenik pada penderita SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks imun ini, dan proses peradangan peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal, kerusakan jaringan. Dan pembentukan jaringan parut(Price, Sylvia A., Lorainne Lorainne M. Wilson. 1995). Kira-kira 65 % dari penderita SLE akan mengalimi ganguan pada ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. NL diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan sel darah merah/ silender di dalam air kemih. Untuk mendapatkan diagnosis pasti mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal(Price, Sylvia A., Lorainne M. Wilson. 1995). 1995). Pathogenesis timbulnya SLE diawali oleh adanya interaksi antara factor predisposisi genetic (seperti HLA-β HLA- β haplotipe, antigen DRW2 dan DRW5, defisiensi C2C2 inhorn, HLA-DR2 dan HLA-DR3) dengan factor lingkungan, factor hormone seks, dan factor system neuro endrokrin. Interaksi factor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan auto-antibodi (DNA-antiDNA). Sebagian auto antibody akan membentuk komplek imun bersama nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q, lamini, Ro (SS -A), ubiquitin, dan ribosom; yang kemudian akan membentuk deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop electron (Meivina Ramadhani Pane, 2011). Gambaran klinik kerusakan glomerulus berhubungan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal
terhadap membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan membentuk kemoatrakan C3a dan C5a, yang menyebabkan terjadinya influx sel netrofil dan mononuclear (Meivina Ramadhani Pane, 2011). Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferative local, dan proliferative difus, secara klinis memberikan gambaran sedimen urin aktif (ditemukan eritrosit, leukosit, selinder sel dan granular), proteinuria dan sering disertai penurunan fungsi ginjal (Meivina Ramadhani Pane, 2011). Sedangkan deposit pada subepitel juga akan mengaktifkan komplemen, tapi tidak terjadi influx sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus
dari
sirkulasi.
Sehingga
jejas
hanya
terbatas
pada
sel-sel
epitel
glomerulus.Secara histopatologi memberikan gambaran nefropati membranosa, dan secara klinis hanya didapatkan proteinuri (Meivina Ramadhani Pane, 2011). Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik antigen dan antibody (Meivina Ramadhani Pane, 2011):
Komplek imun yang besar atau antigen yang anionic, yang tidak dapat melewati sawar dinding kapiler glomerulus yang juga bersifak anionic, akan diendapkan dalam mesangium dan subendotel. Banyak deposit imun ini akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala penyakit yang ringin (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala yang lebih besar (proliferative fokal atau difus)
Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya komplek imun dihubungkan dengan muatan antibody dan daerah tempat berikatan dengan antigen. Antibody dapat berikatan sehingga menimbulkan manifestasi histologist dan klinis yang berbeda.
C. Pathway Pencetus (initiating even): (infeksi, terbentuknya antigenantibody , penyakit sistemik)
Membrane Kapiler glomerolus mengalami inflamasi
Meningkatkan permebilitas glomerolus
Hematuria
Menurunkane GFR (glomerolus Filtration Rate)/laju filtrasi glomerolus
Proteinuria Azotemia
Hipoalbunemia
Renin angiotensin teraktifasi oleh system aldosteron
Sodium dan retensi cairan
Edema
Hipertensi
D. Klasifikasi Nefritis Lupus
Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai yang sangat penting. Gambaran ini mempunyai hubungan dengan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan dan juga menentukan pilihan pengobatan yang akan diberikan. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histopatologi dan lokasi dari imun kompleks. Jika pasien tidak dapat dilakukan biopsi ginjal maka untuk menentukan klasifikasi nephritis lupus dapat dilakukan penilaian berdasarkan panduan WHO, (Kasjmir, Yoga I, Kusworini Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo, Zuljasri Albar, et al. 2011).
Kelas
Tempat deposit
Pola
komplek imun
I
Normal
Tidak ada
II
Mesangial
Mesangial saja
Fokal III
IV
dan
Mesangial,
segmental
subendotelial,
proliferative
±subepitelial
Mesangial,
Difus proliferative
subendotelial, ±subepitelial
Gambaran Klinis Sedimen Tidak ada
Protenuria
Kreatinin
Tekanan
Anti-
(24 jam)
serum
darah
dsDNA
3000 mg
Menurun
Titer tinggi
Normal V
sampai
saat
eritrosit
C3 / C4
Negatif
sampai meningkat
Normal
sedikit
sampai Titer
Normal
sedang
Berikut ini tabel klasifikasi menurut WHO pada pasien Nephritis Lupus: Sumber : Appel GB, Silva FG, Pirani CL. Tabel ini hanyalah panduan, parameter ketepatandiagnosis.
bervariasi,
biopsi
diperlukan
untuk
Sedangakan International Society Neprology/ Renal Pathologi Society (ISN / RPS) membuat klasifikasi baru NL.Klasifikasi baru ini terutama berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imfluoresen dapat ditemukn deposit imun pada semua kompartemen ginjal. Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas immunoglobulin, terbanyak ditemukan deposit IgG dengan co-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3 dan C1q (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Tabel International Society of Nephrology / Ginjal Pathology Society (ISN / RPS) 2003 klasifikasi lupus nephritis(Meivina Ramadhani Pane, 2011). a
Menunjukkan proporsi glomeruli dengan aktif dan dengan lesi sklerotik.
b
Menunjukkan proporsi glomeruli dengan nekrosis fibrinoid dan / atau crescent
selular. Indikasi dan grade (ringan, sedang, berat) tubular atrofi, peradangan interstitial dan fibrosis, tingkat keparahan arteriosclerosis atau lesi vaskular lainnya. Kelas I
Mesangial lupus nephritisminimal
Glomeruli normal dengan mikroskop cahaya, tetapi terdapat deposit imun mesangial dengan imunofluoresensi Kelas II
Proliferatif mesangial lupus nephritis
Hypercellularity Murni mesangial dari setiap tingkat atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop cahaya, dan terdapat deposit imun mesangial Mungkin
beberapa
subendothelialyang
deposito terlihat
tersisih
oleh
di
subepitel
atau
immunofluorescence
atau
mikroskop elektron, tapi tidak dengan mikroskop cahaya Kelas III
Lupus nefritis Focal a
Fokal aktif atau tidak aktif, segmental atau global yang endo-atau glomerulonefritis extracapillary melibatkan 50% dari glomeruli terlibat memiliki lesi global (Gambar 4). Kelas IV-S biasanya menunjukkan segmental proliferasi endocapillary melanggar pada lumina kapiler dengan atau tanpa nekrosis (Gambar 5), dan dapat ditumpangkan pada bekas luka glomerular didistribusikan sama. Kelas IV-G ditandai dengan difus dan endocapillary global, extracapillary, atau proliferasi mesangiokapiler atau wireloops luas. Setiap lesi aktif dapat dilihat dengan kelas IV-G, termasuk karyorrhexis, lingkaran kapiler nekrosis, dan pembentukan sabit (Gambar 6 dan 7 ⇑). Contoh langka yang luas (diffuse dan global) subendothelial deposito glomerular dengan sedikit atau tanpa proliferasi (Gambar 8) juga harus dimasukkan dalam kategori ini. Subdivisi baru untuk segmental dan les i global yang didasarkan pada bukti yang menunjukkan bahwa difus lupus nephritis segmental mungkin memiliki hasil yang berbeda dari lupus nephritis difus global. Dalam studi percontohan dari tujuh pusat yang berbeda disebutkan di atas, 35% dari 135 biopsi kelas IV mengungkapkan distribusi terutama segmental dari lesi, sebagai lawan dari 65% yang menunjukkan distribusi didominasi global. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa nekrosis fibrinoid biasanya berhubungan dengan hypercellularity endocapillary dan karena itu mungkin menjadi ekspresi yang lebih parah dari mekanisme patogenetik yang sama. Dalam laporan tersebut, parameter aktivitas dan kronisitas (Tabel 6) harus dijelaskan. Pada baris diagnostik, proporsi glomeruli dipengaruhi oleh lesi aktif dan kronis
dan nekrosis fibrinoid oleh atau crescent harus ditunjukkan. Selain itu, kehadiran patologi tubulointerstitial atau pembuluh darah harus dilaporkan dalam garis diagnostik. Hal ini diakui bahwa deposito subepitel tersebar yang biasa terlihat di biopsi kelas IV. Oleh karena itu, diagnosis gabungan kelas IV dan kelas V dijamin hanya jika deposit subepitel melibatkan setidaknya 50% dari luas permukaan kapiler glomerulus dalam setidaknya
50%
dari
glomeruli
dengan
mikroskop
cahaya
atau
mikroskop
immunofluorescence. Dalam menilai luasnya lesi, baik lesi aktif dan sklerotik akan diperhitungkan. Dengan cara ilustrasi, biopsi ginjal berisi total 20 glomeruli, yang ada lesi proliferatif segmental aktif dalam empat dan segmental lesi bekas luka tidak aktif dalam sepuluh harus ditunjuk kelas IV-S lupus nephritis.
Kelas V
Kelas V didefinisikan sebagai membran lupus nephritis (Gambar 9) dengan granular subepitel deposit imun berkelanjutan global atau segmental, sering dengan mesangial bersamaan deposit imun. Setiap tingkat hypercellularity mesangial dapat terjadi di kelas V. Tersebar deposit imun subendothelial dapat diidentifikasi dengan imunofluoresensi atau mikroskop elektron. Jika ada dengan mikroskop cahaya, deposito subendothelial menjamin diagnosis gabungan lupus nefritis kelas III dan V, atau kelas IV dan V, tergantung pada distribusi mereka. Ketika lesi membran didistribusikan difus (melibatkan> 50% dari seberkas> 50% dari glomeruli dengan mikroskop cahaya atau immunofluorescence) dikaitkan dengan lesi aktif kelas III atau IV (Gambar 10), kedua diagnosis harus dilaporkan dalam garis diagnostik. Sebagai kelas V berkembang ke kronisitas, biasanya ada pengembangan segmental atau global yang glomerulosclerosis, tanpa superimposisi proliferatif lupus nephritis. Namun, jika bekas luka glomerular dihakimi sebagai sequela dari proliferasi sebelumnya, necrotizing atau lesi glomerulus bulan sabit, maka sebutan gabungan kelas III dan kelas V lupus nephritis, atau kelas IV dan kelas V nefritis lupus harus diterapkan, tergantung pada distribusi jaringan parut glomerular.
Kelas VI
Kelas VI (stadium lanjut lupus nephritis) menunjukan hasil biopsi dengan ≥ 90% sclerosisglomerolus global (Gambar 11) dan di mana ada bukti klinis atau patologis bahwa sclerosis yang disebabkan oleh lupus nephritis. Seharusnya tidak ada bukti penyakit glomerular aktif yang sedang berlangsung. Kelas VI dapat mewakili tahap kronis lanjut dari kelasIII, kelas IV, atau kelas V lupus nephritis. Tanpa bantuan biopsi ginjal berurutan, mungkin mustahil untuk menentukan dari mana kelas lesi glomerulus sklerotik berevolusi. E. Manifestasi / Gejala Klinik
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi kelainan ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat, system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 1550% pasien, penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien (Meivina Ramadhani Pane, 2011). GAMBARAN KLINIS
%
Proteinuria
100
Sindrom nefrotik
45-65
Silinder granular
30
Silinder eritrosit
10
Hematuria mikroskopik
80
Hematuria makroskopik
1-2
Penurunan fungsi ginjal
40-80
Penurunan fungsi ginjal yang cepat
30
Gagal ginjal akut
1-2
Hipertensi
15-50
Hiperkalemia
15
Abnormalitas tubular
60-80
Tabel. Gambaran klinis Nefritis Lupus(Dhaimeizar, 2005; Hugh R. Brady, Yvonne M. O’Meara, Barry M.Brener , 2005) Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi
ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4 mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl. Gejala klinis NL yang dapat ditemukan sesuai klasifikasi sesuai kalsifikasi histopatologi sebagai berikut: Nefritis Lupus sesuai kelasnya: I) Proteinuria tanpa kelainan pada sedimen urin IIa) Proteinuria tanpa kelainan pada se dimen urin IIb) Hematuria mikroskopik dan atau proteinuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal III) Hematuria dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal. IV )Hematuria dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ditemukan pada hampir seluruh pasien V) Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien, sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun (Meivina Ramadhani Pane, 2011). Gejala klinis masing-masing kelas
Gejala klinis Proteinurin
Hematuria
Hipertensi
Klasifikasi
Sindrom
Fungsi
nefrotik
ginjal
NL klas I
+
-
-
-
N
NL klas IIa
+
-
-
-
N
NL klas IIb
+
+
-
-
N
NL klas III
++
++
+
+
N atau ↓
NL klas IV
++
+++
++
++
↓
NL klas V
++
+
±
++
N atau ↓
NL klas VI
+
±
±
±
↓ lambat
Hubungan gejala klinis dan kelainan Histopatologis Nefritis Lupus(Austin III HA, Boumpas DT, Waughan EM, Balow JE, 1994) F. Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis Medis
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan edem, hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan overload cairan. Diagnosis medis NL dapat ditegakkan apabila pasien dengan SLE yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh WHO 2003 (minimal 4 kriteria dari 11 kriteria) dan dengan didapatkannya proteinuria ≥ 1 gr/24jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit / LPB) dengan atau penurunan funsi ginjal sampai 30 %, sedangkan untuk menentukan
diagnosis pasti NL dan menentukan kelas NL dapat menggunakan biopsi ginjal (Meivina Ramadhani Pane, 2011). Pemeriksaan protenuria dapat dilakukan menggunakan penggumpulan urin selama 24 jam, setelah itu mengukur jumlah protein dalam sedimen urin secara kuntitative, pada pasien NL terdapat proteinuria ≥ 1 gr/24 jam. Cara lain yang lebih praktis digunakan dan sekarang banyak digunakan dengan menghitung rasio antara kre atinin dengan protein pada sampel urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal 1000 mg/24 jam/1,75 m 2: ekskresi protein normal 150-200 mg/ 24 jam/ 1,75m 2, rasio protein: kreatinin normal < 0,2 ). Pemeriksaan ini mudah digunakan dan juga untuk mengetahui perubahan protein setelah dilakukan pengobatan(Meivina Ramadhani Pane, 2011). Pemeriksaan serologic yang biasa digunakan pada pasien NL (Mei vina Ramadhani Pane, 2011) adalah 1)
Tes ANA. Tes ini sangat sensitii untuk LES , tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada pasien dengan arthritis rematoid, scleroderma, sindrom syogren, polimiositis dan infeksi HIV. Titer Ana tidak mempunyai korelasi yang baik dengan berat kelainan ginjal ada LES dan tidak dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan prognosis.
2)
Tes anti ds DNA (anti double-stranded DNA), lebih spesifik tapi kurang sensitive untuk SLE. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien SLE aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik radioimmunoassay farr atau teknik ELIZA (enzimlinked immunosorbent assay). Anti ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
3)
Pemeriksaan lain adalah antibody anti ribonuklear seperti anti-Sm dan anti – nRNP. Antibobi anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk SLE, tapi hanya ditemukan pada 25 % pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukan bahwa antibody anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insidens yang buruk. Antibody antinRNP ditemukan pada 35% pasien SLE, juga pada penyakit-penyakit rematologik terutamajaringan ikat.
4)
Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada NL tipe proliferative. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah di bawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL. Defisiensi komplemen lain seperti C1r, C1s, C2, C3q, C5a, dan C8 juga didapatkan pada SLE. Kadar komplemen total kemungkinan tetap di bawah normal meskipun penyakit dalam keadaan inaktif.
Pemeriksaan serologi penting untuk menentukan diagnosis nefritis lupus karena menunjukan adanya produksi auto-Ab yang abnormal tetapi kurang tepat untuk menetukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut selama terapi (Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS, 2006). Untuk pemeriksaan histopatologi pada NL yang direkomendasikan oleh ISN dan WHO adalah biopsy ginjal.Pada biopsy ginjal akan mudah dalam menetukan kelas NL dan juga agar pengobatan pada pasien NL lebih tepat.
G. PenatalaksaanNepritis Lupus
Penatalaksanaan nepritis lupus sebelumnya masih menjadi kontraversial, tetapi pada tahun 2012 American Collage Rheumatology (ACR) membuat pedoman dalam pemberian obat untuk pasien dengan Nepritis Lupus yang berdasarkan klasifikasi menurut ISN. Pengobatan ini terdiri dari treatmen adjuvant (pengobatan tambahan yang memiliki pengaruh terhadap SLE / NL dan pengobatan untuk NL yang berdasarkan kelas menurut ISN (Hahn et al, 2012). 1) Pengobatan tambahan (adjuvan)
Task force panel merekomendasikan bahwa semua pasien SLE dengan NL pengobatan diberikan Hidroxycholoroquine (HCQ), kecuali ada kontraindikasi. HCQ menunjukan secara signifikan mengurangi kerusakan ginjal pada pasien SLE yang menerima HCQ. HCQ juga dapat mengurangi kejadian pembekuan pada SLE(Hahn et al, 2012). Semua pasien NL dengan proteinuria 0,5 gr / 24 jam (setara dengan rasio protein : kreatinin pada sampel urin). Blockade system renin angiotensin dapat mendorong tekanan intra glomerolus (level A untuk non diabetic kronik penyakit ginjal). Pengobatan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor / Angiotensin Reseptor Bloker (ARB) mengurangi sekitar 30 % proteinuria dan secara signifikan terjadi dua kali penundaan terhadap kadar serum kreatinin dan perkembanganstadium akhir penyakit ginjal pada pasien non diabetic kronik. Kontrandikasi dari obat ini adalah kehamilan. Pengunaan kombinasi dari terapi ACE inhibitor / ARB masih controversial. Pengobatan ACE inhibitor atau ARB lebih unggul dalam channel blokers kalsium dan diuretic untuk mempertahankan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis(Hahn et al, 2012). Task force panel merekomendasikan perhatian dalam mengontrol hipertensi dengan target ≤ 130/80 mmHg (level A untuk nondiabetik kronik penyakit ginjal).
Rekomendasi ini berdasarkan prospektif uji coba dan metaanalisis menunjukan ada hubungan yang signifikan terhadap penundaan proses dari penyakit ginjal, dengan ketidakedekuatan control tekanan darah. Task force panel juga merekomendasikan terapi statin dengan pasien dengan Low Density Lipoprotein cholesterol > 100 mg/dl (Rosenson RS, 2011). Catatan bahwa laju filtrasi glomerolus < 60 ml/ menit/ 1,73 m 2 (setara dengan tingkat serum kreatinin >1.5 mg/dl or 133 µmoles/liter) merupakan factor resiko yang dikaitkan dengan mempercepat terjadi atherosclerosis dan SLE itu sendiri dapat menyebabkan terjadinya atherosclerosis(Hahn et al, 2012). Akhirnya, Panel Task Force merekomendasikan bahwa perempuan yang berpotensi untuk hamil dengan NL aktif, disarankan menerima konseling mengenai risiko kehamilan yang disebabkan oleh penyakit dan pengobatan(Hahn et al, 2012).
2) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL kelas III dan IV berdasarkan ISN
MMF 2-3 mg/hari selama 6 bulan* ( di Africa America lebih menyukai CYC & Hispanik ) + Pemberian GC IV x 3 hari kemudian berikan Prednisolon 0,5-1 mg/kg/hari Namun dosis dikurangi setelah beberapa minggu untuk efektifitas. (1mg/kg/hari jika terlihat membesar)
CYC + Pemberian GC IV x 3 hari kemudian berikan Prednisolon 0,5-1 mg/kg/hari Namun dosis dikurangi setelah beberapa minggu untuk efektifitas. (dengan 1 mg/kg/hari jika terlihat membesar)
CYC Dosis Rendah 500 mg IV selama 2 minggu x 6 Diikuti pengobatan utama dengan pemberian oral MMF atau AZA
Ada perkembangan MMF 1-2 mg/hari Atau AZA 2 mg/kg/hari +/- dosis rendag setiap harinya GC
Tidak ada perkembangan CYC (dosis rendah atau tinggi) + Pulse GC kemudian
Ada perkembangan Kembali pada pengobatan utama MMF 1-2 mg/hari Atau AZA 2 mg/kg/hari +/- dosis rendag setiap harinya GC
Tidak ada perkembangan Rituximab atau penghambat calceneurin + GC
atau
Ada perkembangan MMF 1-2 mg/hari Atau AZA 2 mg/kg/hari +/- dosis rendag setiap harinya GC
Ada perkembangan Kembali pada pengobatan utama MMF 1-2 mg/hari Atau AZA 2 mg/kg/hari +/- dosis rendag setiap harinya GC
CYC Dosis Tinggi 500-1.000 mg/m2 BSA IV selama satu bulan x 6
Tidak ada perkembangan MMF 2-3 mg setiap hari selama 6 bulan + GC kemudian GC harian
Tidak ada perkembangan Rituximab atau penghambat calceneurin + GC
(Skema Pengobatan 1) Class III/IV induction therapy. MMF _ mycophenolate mofetil; * _ the Task Force Panel discussed their preference of MMF over cyclophosphamide (CYC) in patients who desire to preserve fertility; GC _ glucocorticoids; IV _ intravenous; † _ recommended background therapies for most patients are discussed in section III in the text; AZA _ azathioprine; BSA _ body surface area (Hahn et al, 2012). Task force panel merekomendasikan MMF (2-3 gm harian total s ecara oral atau Intravena (IV) CYC ditambah dengan GC (Appel GB, et al, 2009). Berdasarkan data, MMF dalam terapi induksi dengan dosis 3 gm total harian untuk 6 bulan menunjukan
hasil yang baik, dilanjutkan dengan MMF dosis rendah selama 3 tahun untuk mampertahankan keseimbangan(Touma Z, 2011). The Aspreva Lupus Studi Manajemen (ALMS) membandingkan tingkat respons LN terhadap terapi dengan MMF yang ditambah glukokortikoid menunjukkan peningkatan serupa pada kulit putih , Asia , dan ras lain (terutama Amerika Afrika dan Hispanik) (Hahn et al, 2012). Namun berdasarkan Task force Panel pada orang Asia hanya memerlukan dosis MMF yang rendah dibandingkan orang non Asia dengan dosis 3gm per hari untuk non Asia dan 2 gr per hari untuk orang Asia (Weng MY, Weng CT, Liu MF., 2010).Sedangakan IV CYC pada orang Afrika American kurang baik dibandingkan pasien dari RAS kulit putih dan Asia (Dooley MA, Hogan S, Jennette C, Falk R., 1997). MMF / Micophenolic Acid (MPA) menjadi pilihan pertama dalam perbaikan NL pada pasien Africa American / Hispanik (Isenberg D, Appel GB, Contreras G, Dooley MA, Ginzler EM, Jayne D, et al., 2010). Task force panel merekomendasikan pada pasien NL kelas III/ IV tanpa sabit seluler, proteinuria dan kreatinin yang stabil serta tidak dilakkan pengambilan sampel biopsy ginjal dosis yang disarankan 2gm atau 3gm total harian. Sementara itu, dosis 3 gm total harian untuk kelas III/ IV dengan sabit seluler, proteinuria, dan peningkatan creatinin. Berdasarkan beberapa penelitian efek da ri dosis MMF ini dapt menyebabkan mual dan diare tetapi ini masih kontroversi. Monitoring pasien dilakukan setelah 1 jam pemberian obat(Hahn et al, 2012). Terdapat 2 macam pengobatan dari IV CYC yang direkomendasikan oleh task force panel yaitu 1) dosis rendah CYC (500 mg IV setiap2 minggu sekali dengan total dosis 6) ditambah dengan Azathioprine per oral harian atau MMF oral harian untuk maintening terapi 2) dosis tinggi CYC (500-1000 mg/m 2IV sebulan sekali dan maintening terapi dengan MMF atau AZA (Skema Pengobatan 1)(Hahn et al, 2012). Glukokortikoid IV (500-1000 mg metilprednisolon setiap hari untuk 3 dosis) dapat dikombinasikan dengan terapi imunosupresif yang direkomendasikan task force panel adalah glukokortikoid oral setiap hari (0,5-1 mg/kg/hari) dengan jumlah minimal untuk mengontrol penyakit(Hahn et al, 2012). Task Foce panel merekomendasikan pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan induksi selama 6 bulan dengan CYC atau MMF dapat dilanjutkan dengan MMF atau AZA tetapi apabila kondisi pasien memburuk (50% atau lebih memburuknya proteinuria atau serum kreatinin) selama mendapatkan pengobatan
induksi 3 bulan maka akan ada perubahan pengobatan seperti perubahan dosis glokokortikoid atau penggantian pengobatan(Hahn et al, 2012).
3) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL kelas kelas IV atau IV/ V dengan cellular crescents (sabit sellular)
Task force panel merekomendasikan terapi induksi untuk peningkatan pasien dengan kelas IV atau IV/V ditambah adanya sellular crescents dengan menggunakan CYC atau MMF dilanjutkan
dengan pulse glukokortikoid IV dosis tinggi dan
permulaan glukokortikoid per oral dengan rentang dosis tinggi, 1 mg / kg / hari s ecara oral(Hahn et al, 2012)
4) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL dengan kelas V“pure membranous”
The Task Force Panel merekomendasikan bahwa pasien dengan murni kelas V NL dan dengan nefrotik proteinuria dimulai pada prednison ( 0,5 mg / kg / hari ) ditambah MMF 2-3 gm dosis harian total (Hahn et al, 2012).
(Skema Pengobatan 2) Treatment of class V without proliferative changes and with nephrotic range proteinuria (_3 gm/24 hours). Recommended background therapies for most patients are discussed in section III in the text. MMF _mycophenolate mofetil; AZA _ azathioprine; CYC _ cyclophosphamide; GC _ glucocorticoids (Hahn et al, 2012).
5) Rekomendasi untuk Menjaga Peningkatan Pasien yang Menanggapi terapi induksi
Task force panel merekomendasikan dalam menjaga peningkatan pasien yang mendapatkan terapi induksi dengan menggunakan MMF 1-2 gm per hari atau AZA 2 mg/kg/hari. Setelah 3 tahun dari tindakan lanjut ini, MMF secara statistik menunjukan hasil yang lebih baik dari pada AZA dalam hal kegagalan pengobatan (termasuk kematian, stadium akhir penyakit ginjal, penggsndaan serum kreatinin dan gagal ginjal), dan efek samping yang timbulkan lebih parah pasien yang menerima AZA dari pada menerima MMF(Hahn et al, 2012).
6) Rekomendasi terapi pengganti pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi induksi.
Pasien yang tidak berepon pada treatmen yang dire komendasikan selam 6 bulan dengan glukokortikoid ditambak MMF atau CYC, maka akan direkomendasikan beralih treatmen dari agen imunosupresif dari CYC ke MMF atau MMF ke CYC dan disertai dengan IV glukokortikoid selam 3 hari(Skema Pengobatan1). Task force panel juga merekomendasikan Rituximab untuk meningkatkan atau memburuk setelah 6 bulan dari terapi induksi(Hahn et al, 2012).
7) Identifikasi Penyakit Vaskular pada Pasien Dengan SLE dan ginjal Kelainan
Beberapa jenis keterlibatan vaskular dapat terjadi pada jaringan ginjal dari SLE, termasuk vaskulitis, nekrosis fibrinoid dengan penyempitan arteri kecil/arteriol (vaskulopati), microangiopathy trombotik, dan ginjal vena trombosis bosis. Secara umum, vaskulitis diperlakukan sama dengan bentuk yang lebih umum dari LN yang dibahas di atas. Vaskulopati sangat berhubungan dengan hipertensi; tidak jelas yang datang pertama , SLE atau hipertensi . Trombotik microangiopathy berhubungan dengan kejadian trombotik trombositopenia. Task force panel direkomendasikan diperbaiki bahwa microangiopathy trombotik diperlakukan terutama dengan terapi pertukaran plasma (Kaplan AA, George JN, 2011).
8) Pengobatan LN pada Pasien Siapa Hamil
Task force panel merekomendasikan beberapa pendekatan dalam manajemen wanita hamil dengan NL (Skema Pengobatan 3). Pada pasien dengan NL terlebih dahulu, tetapi tanpa sistemik atau aktivitas penyakit ginjal, tidak membutuhkan medikasi nepritis. Pasien dengan aktivitas sistemic ringan mungkin diobati dengan HCQ; ini mungkin dapat mengurangi aktivitas dari SLE selama kehamilan (Clowse
ME, Magder L, Witter F, Petri M, 2006). Jika nefritis aktif terjadi, atau terdapat aktivitas penyakit substansial ekstrarenal, dokter mungkin meresepkan glukokortikoid untuk mengontrol aktifitas penyakit, dan dapat ditambahkan AZA (Gordon C, 2004). Untuk pasien dengan aktifitas nepritis terus menerus atau dicurigai pada kelas III atau IV dengan crescent, pertimbangan setelah 28 minggu untuk janin yang layak direkomendasikan(Hahn et al, 2012).
(Skema pengobatan 3) Treatment of class III, IV, and V in patients who are pregnant. LN _ lupus nephritis; SLE _ systemic lupus erythematosus; GC _glucocorticoids; AZA _ azathioprine (Hahn et al, 2012) 9) Pengelolaan pada Pasien Nepritis Lupus.
Berdasarkankan rekomendasi oleh perhimpunan reumatologi Indonesia 2011 pengelolaan pasien dengan NL, sebagai berikut : a) Pasien yang mengalami NL seharusnya dilakukan biopsi ginjal bila tidak terdapat kontraindikasi (trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan juga tersedia dokter ahli dibidang biopsi ginjal (oleh karena hasil histopatologi berbeda pada setiap kelasnya). Pengulangan biopsi ginjal dilakukan apabila pasien mengalami perubahan gambaran klinis yang akan memerlukan terapi tambahan yang agresif. b) Pemantauan aktifitas ginjal diperlukan pemeriksaan urin rutin terutama sedimen, kadar kretinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA, protenuria,
dan
bersihan
kreatinin.
Pada
penyakit
rapidly
progressive
glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan kreatinin harian, sedangkan parameter lain 1 -2 minggu. c) Pasien dengan hipertensi diberikan obat antihipertensi yang sering digunakan adalah ACE (Angiotensin Converting Enzim) inhibitor terutama pada pasien dengan proteinuria menetap, target tekanan darah pada pasien dengan riwayat
glomerulonefritis adalah ≤ 120 mmHg. Diet rendah garam juga direkomendasikan pada pasien NL dengan hipertensi. Loop diuretik diperlukan untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit yang baik. d) Hiperkolesterolemia
harus
dikontrol
untuk
mengurangi
resiko
prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemah harus dikurangi jika terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah kolesterol serum
View more...
Comments