2. Sumber Dan Metode Pemikiran Politik Islam
November 26, 2017 | Author: Akhmad Satori | Category: N/A
Short Description
Download 2. Sumber Dan Metode Pemikiran Politik Islam...
Description
Sumber dan Metode Pemikiran Politik Islam MK. Pemikiran Politik Islam Pertemuan ke-2 Dosen :Akhmad Satori, S.IP., M.SI
Sumber Pemikiran Politik Islam Dalam pergulatan pemikiran Islam, sumber yang menjadi perdebatan sengit adalah tarik-ulur dominasi antara akal dan wahyu.Walaupun dalam literatur dasar ke-Islaman semisal Qur’an dan Hadist disebutkan bahwa wahyulah acuan pertamanya, namun dalam histories pemikiran Islam, tidak dinafikan munculnya dominasi oleh akal, terutama hal itu di zaman pemikiran Islam modern, semisal Ali Abd ArRaziq. Tanpa menafi’kan harmoni perkembangan pemikiran politik Islam, dan tarik-ulur antara akal dan wahyu. Dalam banyak sumber dan literatur ke-Islaman, pemikiran politik Islam tidaklah berbeda jauh dengan persoalan-persoalan lain dalam kehidupan ini, di mana Islam selalu meletakkan urutan sumber studi dan pemikiran pada sistematika berikut :
Wahyu
Islam menganggap sumber ambilan pertama adalah wahyu, dalam bahasa istilah wahyu diartikan cahaya. Wahyu menurut Al-Gharisah (1997 :12) tidak hanya sebatas Al-Qur’an, namun juga As-Sunah yang merupakan bagian dari wahyu (An-Najm :3-4).Wahyu merupakan petunjuk dan arah ke mana sesuatu itu harus dijalankan (Assura :52-53). Kebenaran wahyu adalah pasti (Ali-Imran : 60). Kebenaran wahyu tidak pudar oleh waktu dan tempat, karena Allah menjaganya (Al-hijr ; 11).Wahyu sifatnya sistematis dan tidak bisa dipeca-hbelah (Al-Maidah : 49).
Wahyu juga dianggap pengarahan hokum menuju yang lebih baik (Assura : 40) dan Albaqoroh : 237. Selain Qur’an ada Sunnah, di mana Sunnah ini dianggap sebagai “saudara kandung” Al-Qur’an. Sunnah juga merupakan ucapan, ketetapan dan perbuatan Rasul, dan mendustakannya adalah kekafiran, selain itu juga perbuatan Rasul sebagai hakim dan imam.
Sirrah
Sumber ambilan kedua adalah Sirrah. Sirrah di sini lebih dimaknai dalam bentuk qiyas maupun ijma (ijtihad) yang dilakukan oleh para ulama. Dalam perkembangannya proses ini melahirkan tradisi atau madhab dalam pemikiran Islam. Misalnya ada Sunni Hanafiyah, Safi’iyah, Hambaliah dan Malikiyah. Madhab Syi’ah ada Saba’iyyah, Zaidiyyah, Itsna Asy’ariyah dan lainnya.Ataupun madhab Khawarij dan lainnya ( tentang timbulnya aliran-aliran ini yang berimplikasi pada pemikiran politik Islam akan dibahas dalam peristiwa Tsaqifah di kuliah selanjutnya). Memang tentang kekuatan sirrah ini sebagai sumber pemikiran Islam masih debatibel, karena ada beberapa pemikir Islam terutama masa kontemporer semisal Ali Abd Raziq menafi’kan hal ini.
Akal
Akal sebagai ambilan ketiga. Paling tidak ada tiga hal yang membuat akal mempunyai makna yang besar dalam pemikiran politik Islam yakni : akal telah terbukti berhasil mengungkap sebagian hokum-hukum alam, seperti grafitasi, relatifitas, peredaran bumi dan lainnya; akal juga telah mampu membantu manusia bijak dan mampu mengambil keputusan yang tepat dan juga dicapainya hakikat hipotesa atau teori yang memberikan sumbangan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Fiqh Ikhtilaf
Fiqh Ikhtilaf. Sumber ini sebagai jembatan bagi ketiga sumber di atas, karena pada kenyataannya sering diketemukan ketidaksesuaian satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan suatu kewajaran, karena dimungkinkan perbedaan pemaknaan dari sumber, kuat tidaknya sandaran (hujjah) dari sumbernya.
Dalam pemikiran, termasuk pemikiran politik Islam, ikhtilaf merupakan sebuah kemestian, karena : pertama, Islam tidak melarang hal itu, dan hukum Islam sendiri memiliki kecenderungan ada yang implisit, maupun eksplisit, ada yang tersembunyi dan juga ada yang sudah jelas, dan juga ada yang pasti ada juga yang belum pasti (Dhanni). Selain itu juga persoalan bahasa, dimungkinkan ada perbedaan interpretasi terjemahan, karena lafadh arab ada khas, amm, majaz, musytarak dan lainnya. Tabeat manusia juga dalam mensikafi suatu persoalan sangat variatif, di mana kebanyakan manusia biasanya taken for grented dengan kondisi sebelumnya yang sudah mapan.Tabeat alam juga memberikan pengaruh besar dalam pemikiran seseorang, untuk hal ini bisa dicontohkan antara madhab Sunni Syafi’iyah dan Malikiyah misalnya. Madhab Syi’ah ada tsna Asyariyah, Ja’fariayah dll, Madhab Khawarij dan lain-lain.
Metode Pemikiran Politik Islam
Thomas Khun dalam The Structure of Scientific Revolution (1970) mengartikan bahwa metode merupakan cara bagaimana sesuatu berproses. Sedangkan metode ilmu pengetahuan adalah cara berprosesnya sesuatu hal-hal ilmiah di alam ini untuk menjadi ilmu dan ilmu pengetahuan.Tentu saja bahasannya adalah proses pertumbuhan ilmu, pengukuran, perifikasi maupun proses rasionalisasi. Dalam literatur dasar Islam metode disamakan dengan manhaj. Dalam Islam manhaj pemikiran selalu didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola diri, orang lain dan lingkungannya. Serta pemanfaatan maksimal dari akal untuk menjalankan fungsi khalifah tadi.
Dua pemikir Islamisasi Ilmu Islam yakni Ismail Raji Al-Faruqi dan Abdul Hamid Sulaiman mengakui bahwa kerangka manhaj pemikiran politik Islam masih banyak dipengaruhi oleh metode pemikiran Barat yang masih sangat positivis, yang tentunya menempatkan akal dan penginderaan di atas segalanya. Namun, para pemikir mengambil yang selaras dengan Islam, memberikan warna dengan Islam dan memperbaiki
Pemikiran Politik Barat Mean-stream : Positivis Sumber : Kemanfaatan, konsistensi dan koherensi Proses penyusunan struktur Ilmu : pengukuran, perifikasi lewat akal dan sejarah dan rasionalisasi Tingkat kebenaran akan sangat ditentukan oleh proses pengukuran dan verifikasi dan logika akal
Objek kajian sudah baku yakni tentang Negara dan metamorfosenya. Kecenderungan kajian dominant pada politik sebagai policy
Pemikiran Politik Islam Mean-stream : Religius-ilmiah Sumber : Wahyu Tuhan Realitas, perifikasi lewat sumber hukum Islam, Ushul fiqh, dan proses istimbath (pergulatan), baru kesimpulan Kebenaran akan sangat ditentukan oleh dasar atau hujjah yang kuat serta kemampuan akal melalui kualifikasi 3 tingkatan untuk mencapai kesempurnaan (kafa’ah) yakni akal manusia yakni alwihdaniyyah, alkhilafah dan pertanggungjawaban moral Objek kajian lebih umum, kajian Negara merupakan salah satu kajian dalam fikh siyasah. Kajian Negara masih terfokus pada ada tidaknya konsep Negara dalam Islam
Polarisasi Metodologi
Perbedaan pendapat sebagaimana diuraikan diatas sebahagian muncul dari perbedaan metodologi dalam memahami sumbersumber Islam, antara kelompok skripturalistik berhadapan dengan rasionalistik, kelompok idealistik dan realistik, kelompok formalistik versus substantivistik. Dalam proses pencarian konsep tentang negara, para pemikir politik Islam berhadapan dengan dua tantangan yang saling tarik menarik, yaitu tantangan realitas politik yang harus dijawab dan tantangan idealistik agama yang harus dipahami untuk menemukan jawaban
Oleh karena itu, perbedaan konsepsi lebih berada pada tataran metodologis, yang pada giliran berikutnya menentukan perbedaan substansi pemikiran. Polarisasi itu dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama polarisasi skripturalistik dan rasionalistik, Polarisasi ini berhubungan dengan pendekatan terhadap sumber utama Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits. Kecendrungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecendrungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual. Kedua pendekatan ini melahirkan paham yang berbeda tentang konsepsi negara. Misalnya tentang ayat yang berbicara tentang khalifah (Q.S. 2 : 30), dalam pendekatan yang berkecendrrungan skriptulaistik menjadi dasar dan landasan teologis bagi ditegakkannya kekhalifahan sebagai sistem ideal Islam.
Pemahaman demikian dianut oleh para pemikir yang melegitimasi kekhalifahan, dan bahkan menganggap sang khalifah sebagai “bayangan Tuhan dimuka bumi (dzillullah fi al-ardli)”, seperti yang dipahami pada era Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah. Sedang dalam perspektif pendekatan rasionalistik, ayat tersebut dipahami berhubungan dengan missi kehadiran setiap manusia dimuka bumi, yaitu sebagai wakil Tuhan, karenanya berlaku menyeluruh, tidak untuk pribadi tertentu, dan tidak pula ada sangkut pautnya dengan konsep politik.
Kedua polarisasi idealistik berhadapan dengan realistik. Pendekaan pertama cendrung melakukan idealisasi (atau romantisasi) terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Termasuk dalam kecendrungan ini adalah konsepsi negara yang bersifat filosofis, seperti yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ikhwan al-Shofa, dalam ungkapan yang populer dengan al-Madinah al-Fadlilah (Negara Utama). Namun konsepsi yang yang bersifat filosofis ini tidak pernah menjadi kenyataan dalam sejarah. Sebaliknya kaum realistik lebih toleran dan menerima realitas dan kenyataan yang dihadapi.
Para pemikir Sunni seperti al-Mawardi dan Al-Ghazali sebagaimana telah dikemukakan diatas, merupakan contoh pemikir klasik Islam yang berkecendrungan realistik. Implikasi politis dari pemikiran yang realistik ini yaitu kecendrungan untuk melegitimasi kekuasaan yang ada atau mengoreksi tapi disampaikan dengan isyarat pesan yang lebih kompromistis, tidak konfrontatif dan frontal.
Ketiga, polarisasi formalistik dan substantivistik. Sesuai dengan arti kata kedua istilah tersebut, pendekatan formalistik cendrung mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Pendekatan ini akan menampilkan konsep tentang negara dengan simbolisme keagamaan, seperti tampak pada model “Negara Islam, Partai Islam, IPTEK Islam, Ekonomi Islam, dll”. Pendekatan substantivistik , sebaliknya cendrung menekankan “isi” daripada “bentuk”. Mereka tidak terlalu mempersoalkan bagaimana bentuk atau format dari pada negara itu, tapi memusatkan perhatian kepada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama. Implikasinya muncul kedalam aksi politik, dimana kelompok formalisme keagamaan akan cendrung melakukan politisasi agama, sedang kelompok substantivistik kedalam proses politik.
Ketiga pendekatan diatas memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, kalau didekati secara ekstrim. Dalam sejarah ternyata memang pendeakatan formalistik lebih banyak mewarnai sejarah, dan belum memantulkan etika dan moralitas Islam dalam proses dan isinya. Saat ini – dalam bentuk yang agak mirip --juga berlaku kecendrungan yang sama, lebih mementingkan simbol, nama, daripada isi dan bentuk.
Referensi Pemikiran Politik Islam, Surwandono tahun 2001 Ali Al-gharisah, Metodologi Politik Islam, tahun 1997 Abd Qadir Zailani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, 1994 Ahmad Mumtaz, Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1993
View more...
Comments