134491095 Trematoda Darah Dan Jaringan
March 18, 2018 | Author: Dinnie Agustiani | Category: N/A
Short Description
makalah termatoda darah dan jaringan...
Description
TUGAS PARASITOLOGI TREMATODA DARAH DAN JARINGAN
Disusun oleh : 1. Adit Taufik
( 21121092 )
2. Ana Kholifatunnisa Khaqqul Qirom
( 21121093 )
3. Annisa Nur Asri
( 21121094 )
4. Asep Rohmat
( 21121095 )
5. Awalunisa Istiqomah
( 21121096 )
6. Dara Cyntia Dewi
( 21121098 )
7. Dede Fauziah
( 21121099 )
8. Dewi
( 21121100 )
9. Dinnie Agustiani
( 21121101 )
10. Ekky Husnie H
( 21121102 )
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG PROGRAM PENDIDIKAN STRATA 1 PROGRAM STUDI FARMASI 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Trematoda (Cacing Daun) adalah cacing yang termasuk ke dalam filum PLATYHELMINTES dan hidup sebagai parasit. Berbagai hewan yang dapat berperan sebagai hospes definitif cacing trematoda antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, babi, tikus, burung, luak, harimau, dan manusia. Cacing ini juga memiiki hospes perantara yang dapat berupa keong. Umumnya cacing ini bersifat hemafrodit, kecuali pada cacing Schistosoma. Hemafrodit adalah suatu cirri khas bahwa cacing memiliki alat kelamin jantan dan alat kelamin betina dalam satu tubuh. Selain cirri khas tersebut, cacing ini memiliki batil isap mulut dan batil isap perut (asetabulum). Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas DIGENEA, yang hidup sebagai endoparasit. Manusia dapat berperan sebagai hospes definitif.
Bermacam-macam Trematoda
dapat menimbulkan berbagai kelainan sesuai dengan habitat dari parasit tersebut. Pembagian Trematoda berdasarkan habitatnya adalah Trematoda Hati, Trematoda Usus, Trematoda Paru-paru, danTrematoda Darah. Makalah ini akan membahas mengenai Trematoda Hati, Trematoda Paru-paru, dan Trematoda Darah. Pada Trematoda Hati ditemukan spesies yaitu Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus, Opisthorchis viverrini, Fasciola hepatica dan Dicrocoelium dendriticum. Sedangkan pada Trematoda Paru-paru dijumpai spesies Paragonimus westermani. Kemudian pada Trematoda darah ada tiga spesies yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium.
B. Tujuan Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui klasifikasi, epidemiologi, distribusi geografis, morfologi, siklus hidup, patologi, dan cara pencegahan serta pengobatannya dari masing-masing jenis cacing kelas trematoda khususnya yang menginfeksi usus.
BAB II ISI A. Trematoda Hati 1. Clonorchis sinensis 1.1 Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Digenea
Family
: Opisthorchidae
Genus
: Opisthorchis
Spesies
: Opisthorchis sinensis (Clonorchis sinensis)
1.2 Epidemiologi Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan penting dalam penyebaran penyakit. Kegiatan pemberantasan lebiih ditunjukan untuk mencegah infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak dengan baik serta pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai. Tetapi hal ini agak lambat diterima oleh masyarakat desa.
1.3 Distribusi geografi Cacing ini pertama ditemukan di Kalkuta, India pada seorang tukang kayu suku Cina pada tahun 1875. Infeksi lain ditemukan di Hong-Kong dan Jepang. Dewasa ini diketahui bahwa “chinese liver fluke” tersebar secara luas di Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan Vietnam.
1.4 Morfologi Cacing dewasa hidup di saluran empedu, dan kadang-kadang ditemukan di saluran pankreas. Cacing Cacing dewasa bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun berukuran antara 10-25 mm x 3-5 mm, dan testis yang bercabang dua terletak dalam satu posterior ketiga. Operkulum telah pelek bahu menonjol, dan di sisi yang berlawanan, terdapat koma tombol berbentuk terminal. Telur cacing ini berukuran kira-kira 30-16 mikro, berbentuk seperti boa lampu pijar dan berisi mirasidium yang ditemukan dalam saluran empedu.
1.5 Siklus hidup Cacing dewasa hidup di saluran empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000 butir/hari sampai 6 bulan. Telur yang telah masak berwarna kuning coklat dan akan menetas bila dimakan oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes intermediet ke - 1. Telur menetas lalu keluar mirasidium yang akan berubah menjadi sporokis yang menempel pada dinding intestinum atau organ lain siput dalam waktu 4 jam setelah infeksi. Sporokis memproduksi redia dalam waktu17 hari, dan setiap redia memproduksi 5-50 serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekor, kemudian serkaria keluar dari siput dan berenang dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam ke dasar air. Bila menemukan ikan sebagai hospes intermediet ke 2, serkaria akan menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan menempus kulit ikan dan membentuk cyste di bawah sisik ikan tersebut menjadi metaserkaria. Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C. sinensis ini terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metaserkaria juga dapat menginfeksi jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan Palaemonetes. Hospes definitif akan terinfeksi oleh cacing ini bila makan ikan atau udang secara mentah-mentah atau dimasak kurang matang. Hewan yang dapat terinfeksi C. sinensis ini adalah babi, anjing, kucing, tikus dan
unta. Hewan laboratorium seperti kelinci dan marmot sangat peka terhadap infeksi cacing ini. Metaserkaria menjadi cacing muda pada dinding duodenum dan bermigrasi ke hati melalui saluran empedu. Cacing muda ditemukan di dalam hati dalam waktu 1040 jam setelah infeksi. Cacing tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi telur dalam waktu sekitar 1 bulan, sedangkan daur hidup secara komplit dalam waktu 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup selama 8 tahun pada tubuh orang dan dapat menyebabkan Clonorchiasis. Kesimpulannya adalah ketika telur dikeluarkan dengan tinja, telur menetas bila dimakan keong air (Bulinus, Semisulcospira). Dalam keong air, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes II, yaitu ikan (Famili CYPRINIDAE). Setelah menembus masuk tubuh ikan serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kisata di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk di duktus koledokus, lalu menuju saluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan.
1.6 Patologi Sejak larva masuk di saluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati. Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh obstruksi saluran empedu oleh telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal ini perlu penelitian lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis.
1.7 Cara pencegahan dan pengobatan Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari konsumsi ikan air tawar mentah dan perbaikan sistem pembuangan tinja. Penyakit ini dapat diobati dengan Prazikuantel. Jika terjadi infeksi berat dengan klorokuin dan infeksi ringan dengan gentian violet.
2. Opisthorchis felineus 2.1 Klasifikasi
2.2 Epidemiologi 2.3 Distribusi geografi 2.4 Morfologi 2.5 Siklus hidup 2.6 Patologi 2.7 Cara pencegahan dan pengobatan
3. Opisthorchis viverrini 3.1 Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Opisthorchiida
Family
: Opisthorchiidae
Genus
: Opisthorchis
Spesies
: Opisthorchis viverrini
3.2 Epidemiologi dan distribusi geografis Penyakit Opisthorchiasis ( yang disebabkan oleh Opisthorchis viverrini) adalah endemic di Thailand tetapi tidak terjadi di Thailand Selatan. Di Thailand Utara, itu menyebar secara luas, dengan prevalensi tinggi pada manusia, sedangkan di Thailand Tengah tingkat prevalensi rendah. Di daerah Muangthai timur laut ditemukan banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis. Hal ini diduga karena ada peradangan kronik saluran empedu dan selain itu berhubungan juga dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara O.viverrini
3.3 Distribusi Geografis Persebarannya adalah di seluruh Thailand kecuali Thailan selatan , di Demokratik Rakyat Laos Republik , Vietnam dan Kamboja.
3.4 Morfologi Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan saluran pankreas. Cacing dewasa berukuran 7-12 mm, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Cacing dewasa berada di pankreas dan saluran
empedu dari inang mamalia, di mana mereka melekat pada mukosa. Telur dari cacing ini bentuknya lebih angsing dari telur C.sinensis.
3.5 Siklus hidup Telur dikeluarkan dalam tinja dan konsumsi oleh siput yang cocok (hospes perantara pertama). Telur berkembang menjadi mirasidium di mana dalam tubuh bekicot, berkembang menjadi sporokis, redia, lau serkaria. Serkaria dilepaskan dari bekicot dan menembus ikan air tawar (hospes perantara kedua), encysting sebagai metaserkaria di otot atau di bawah sisik. Hospes definitifnya adalah mamalia (kucing, anjing, dan mamalia pemakan ikan berbagai termasuk manusia) yang bias terinfeksi apabila menelan ikan yang mengandung metaserkaria. Setelah dikonsumsi, metaserkaria di duodenum dan naik melalui ampula dari Vater ke dalam saluran empedu, di mana berkembang menjadi cacing dewasa, yang bertelur setelah 3 sampai 4 minggu.
3.6 Patologi Sekitar 80% dari orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala, meskipun mereka dapat memiliki eosinofilia. Ini adalah ketika infeksi lemah dan ada kurang dari 1000 telur dalam satu gram dalam tinja. Gejala infeksi berat dari cacing Opisthorchis viverrini adalah:
1) diare , 2) sakit di epigastrium dan nyeri di kuadran kanan atas, 3) kurang nafsu makan ( anoreksia ), kelelahan , 4) menguningnya mata dan kulit ( jaundice ), 5) demam ringan,
3.7 Cara pencegahan dan pengobatan Pencegahan yang efektif dapat dilakukan dengan membujuk orang untuk mengkonsumsi ikan yang dimasak terlebih dahulu. Hal ini disebabkan adanya kebiasaan budaya kuno untuk mengkonsumsi ikan mentah atau segar di daerah endemik. Penyakit ini dapat diobati dengan Prazikuantel. Jika terjadi infeksi berat dengan klorokuin dan infeksi ringan dengan gentian violet.
4. Fasciola hepatica 4.1 Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Digenea
Family
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
: Fasciola hepatica
4.2 Epidemiologi Faciola
hepatica
infeksi
ditemukan
di
daerah
pedesaan
beriklim
dan daerah tropis yang berkaitan dengan memelihara ternak. Prevalensi tinggi dijelaskan di Eropa dan Amerika Latin. Fascioliasis terjadi di seluruh dunia. F. hepatica ditemukan di daerah di mana domba dan sapi dibangkitkan, dan dimana manusia mengonsumsi selada air mentah, termasuk Eropa, Timur Tengah, dan Asia.
4.3 Distribusi geografi Penyebarannya di daerah Amerika Latin, Perancis, dan negara-negara sekitar Laut tengah banyak di temukan kasus fasioliasis pada manusia.
4.4 Morfologi Cacing dewasa memiliki ukuran 2-5 cm dengan 8-13 mm, pipih seperti daun, berbentuk oval dengan cephalic kerucut berisi pengisap oral yang besarnya + 1mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat bati isap perut yang besarnya + 1,6 mm. Cacing dewasa ini tinggal di saluran empedu hingga 10 tahun. Fasciola hepatica saat dewasa hidup dalam saluran empedu domba. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Telur dari cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinya daam keadaan belum matang.
4.5 Siklus hidup Telur dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari keong air, dalam keong air telah terjadi perkembangan : M → S → R1 → R2 → SK. Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria. Bila ditelan, metasekaria menetas dalam lambung binatang yang memakan tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria.
4.6 Patologi Pada fase kronis orang dewasa fascioliasis dalam saluran empedu yang besar menyebabkan peradangan hati dan obstruksi dari cairan empedu. Selama migrasi larva ( ini fase akut dari penyakit ini berlangsung berminggu-minggu) gejala-gejala termasuk: 1) diare 2) eosinofilia (tingginya jumlah sel darah putih) 3) demam 4) mual 5) sakit perut 6) muntah.
4.7 Cara pencegahan dan pengobatan Pencegahan
dilakukan
dengan
memperhatikan
konsumsi
tumbuhan
Tumbuhan sayuran air yang masih mentah harus dicuci dengan cuka 6%
air. atau
permanganat kalium selama 5-10 menit, yang membunuh metaserkaria kista. Perlakuan ini lebih berhasil daripada upaya untuk menghentikan konsumsi sayuran mentah dan tidak memakan hati mentah. Masak sayuran tersebut secara menyeluruh
sebelum makan, menghindari kontaminasi limbah. Penggunaan moluskisida adalah intervensi kesehatan masyarakat yang paling sering, karena ia mencegah transmisi trematoda lainnya, termasuk Schistosoma spp dan melakukan vaksinasi. Sementara pengobatan yang dapat dilakukan dengan diklorofenol atau (biotinol) suntikan muskular Emetin hidroklorida 30 mg/ hari.
5. Dicrocoelium dendriticum 5.1 Klasifikasi 5.2 Epidemiologi 5.3 Distribusi geografi 5.4 Morfologi 5.5 Siklus hidup 5.6 Patologi 5.7 Cara pencegahan dan pengobatan
B. Trematoda Paru-paru 1. Paragonimus westermani 1.1 Klasifikasi Kingdom : Animalia Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Ordo
: Plagiorchiida
Family
: Troglotrematidae
Genus
: Paragonimus
Spesies
: Paragonimus westerman
1.2 Epidemiologi Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan dengan cara masak
ketam dan pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.
1.3 Distribusi geografi Pertama ditemukan berparasit pada harimau Bengali di kebon binatang di Eropa tahun 1878. Pada dua tahun kemudian infeksi cacing ini pada manusia dilaporkan di Formosa. Cacing ini ditemukan pada organ paru-paru, otak dan viscera pada orang di Jepang, Korea dan Filipina. Sekarang parasit ini telah menyebar ke India Barat, New Guenia,, Salomon, Samoa, Afrika Barat, Peru, Colombia dan Venezuela.
1.4 Morfologi Paragonimiasis termasuk dalam penyakit zoonosis.cacing dewasa hidup dalam kista paru-paru. Cacing dewasa panjangnya 7,5-12 mm dan lebar 4-6 mm berwarna merah kecoklatan dengan bentuk bundar lonjong. Cacing ini merupakan parasit heteroxen yaitu parasit yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya melampaui stadium-stadium yang setiap stadium membutuhkan inang yang berlainan jenisnya satu dari yang lain dan biasanya jenis inangnya tertentu pula. Cacing ini memiliki batil isap mulut yang hampir sama besar dengan batil isap perut. Testis berlobus terletak berdampingan antara batil isao perut dan ekor, ovarium terletak di belakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80 – 118 mikron x 40 – 60 mikron dengan operculum agak tertekan ke dalam.
1.5 Siklus hidup Paragonius westermani membutuhkan siput air tawar Melania sp sebagai inang intermediar. Serkaria yang kemudian keluar dari siput itu akan menjadi kista jika ditelan oleh udang (Ascatus sp.) sebagai inang perantara kedua. Anjing atau manusia yang memakan udang tersebut secara mentah akan membantu cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam paru-paru. Cacing dewasa biasanya hidup di paru yang diselaputi oleh jaringan ikat dan biasanya berpasangan. Fertilisasi silang dari dua cacing biasanya terjadi
(hermaprodit). Telurnya sering terjebak dalam jaringan sehingga tidak dapat meninggalkan paru, tetapi bila dapat keluar ke saluran udara paru akan bergerak ke silia epitelium. Sampai di pharynx, kemudian tertelan dan mengikuti saluran pencernaan dan keluar melalui feses. Larva dalam telur berkembang menjadi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium harus menemukan hospes intermedier ke 1, siput Thieridae supaya tetap hidup. Di dalam tubuh siput mirasidium cepat membentuk sporokis yang kemudian memproduksi redia yang kemudian berkembang menjadi serkaria, di mana serkaria ini berbentuk micrococcus. Setelah keluar dari siput serkaria menjadi aktif dan dapat merambat batuan dan masuk ke dalam kepiting (crab) dan Crayfish, dan membentuk kista dalam viscera atau muskulus hewan tersebut (hospes intermedier ke 2). Hospes intermedier ke 2 ini di Taiwan adalah kepiting yang termasuk spesies Eriocheir japonicus. Dapat juga terjadi infeksi bila krustasea ini langsung memakan siput yang terinfeksi. Serkaria kemudian membentuk metaserkaria yang menempel terutama pada filamen insang dari krustasea tersebut. Bilamana hospes definitif memakan kepiting (terutama bila dimakan mentah/tidak matang), maka metacercaria tertelan dan menempel pada dinding abdomen. Beberapa hari kemudian masuk ke dalam kolon dan penetrasi ke diafragma dan menuju pleura yang kemudian masuk ke broncheol paru. Cacing kemudian menjadi dewasa dalam waktu 8-12 minggu. Larva migran mungkin dapat berlokasi dalam otak, mesenterium, pleura atau kulit. Bila diuraikan dengan singkat yakni telur keluar bersama tinja yang belum berisi mirasidium. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium mencari keong air dan dalam keong air terjadi perkembangan : M → S → R1 → R2 → SK. Serkaria keluar dari keong air, berenang mencari hospes perantara II, yaitu ketam atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Infeksi terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang. Dalam hospes definitive, metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju paru. Jringan hospes mengadakan
rekasi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor di dalamnya.
1.6 Patologi Gejala dimulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk berdarah karena cacing dewasa berada dalam kista di paru. Keadaan ini disebut endemic hemoptysis. Cacing dewasa dapat bermigrasi kea lat-alat lain dan menimbulkan abses pada alat tersbut antara lain hati, limpa, otak, otot, dan dinding usus. Cacing dalam saraf tulang belakang (spinal cord) akan dapat menyebabkan paralysis baik total maupun sebagian. Kasus fatal terjadi bila Paragonimus berada dalam jantung. Kasus serebral dapat menunjukkan gejala seperti Cytisercosis. Kasus pulmonaris dapat menyebabkan gejala gangguan pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum becampur darah yang berwarna coklat (ada telur cacing). Kasus yang fatal sering tetrjadi.
1.7 Cara pencegahan dan pengobatan Pencegahan dilakukan dengan memasak kepiting, udang dan ketam yang akan dimakan sampai benar-benar matang. Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan.
C. Trematoda darah 1. Schistosoma japonicum 1.1 Klasifikasi Kingdom : Animalia Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Subkelas : Digenea Ordo
: Strigeidida
Family
: Schistosomatidae
Genus
: Schistosoma
Spesies
: Schistosoma japonicum
1.2 Epidemiologi Penyakit ini ditemukan endemik di Indonesia khususnya dua daerah Sulawesi tengah yaitu daerah danau lindu dan lembah napu. Di daerah lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah napu pada tahun 1972. Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoir, yang terpenting adalah tikus sawah. Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini. Hospes perantara adalah keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun1971. Habitat keong di daerah danau lindu ada 2 macam yaitu fokus di daerah yang digarap seperti lading, sawah yang tidak dipakai lagi atau pinggir parit diantara sawah dan fokus didaerah perbatasan bukit dan dataran rendah.
1.3 Distribusi geografi Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi tengah yaitu daerah danau lindu dan lembah napu.
1.4 Morfologi Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm yang betina 1,9 cm. Cacing ini hidup di dalam vena usus halus. Telur ditemukan di dinding usus halus dan alat lain seperti hati, paru, dan otak. Telur mempunyai knob di samping. Oncomelania yang hidup di saluran air merupakan hospes perantaranya.
1.5 Siklus hidup Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana mereka
berkopulasi.
Cacing
betina
meninggalkan
tempat
tersebut
untuk
mengeluarkan telur di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen usus atau kantong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan membentuk embrio. Telur menetas dan keluar menjadi mirasidium yang bersilia dan berenang dalam air serta bersifat fototrofik. Mirasidium menemukan hospes intermedier yaitu pada beberapa spesies siput yaitu: hospes intermediernya pada keong Oncomelania. Di dalam tubuh keong mirasidium berubah menjadi sporokis dan kemudian menjadi serkaria. Serkaria ini keluar dari tubuh keong dan menginfeksi manusia di daam air.
1.6 Patologi Hospes dari penyakit ini adalah manusia dan berbagai hewan seperti anjing, kucing, tikus sawah, babi, rusa, dan lain-lain. Pada manusia menyebabkan Oriental schistosomiasis atau schistosomiasis japonica atau penyakit Katayama atau demam keong. Kelainan tergantung kepada beratnya infeksi, seperti : Stadium I
:gatal-gatal. Gejala intoksikasi disertai demam, hepatomegali, dan eosinofilia tinggi.
Stadium II
:sindroma disentri disertai demam.
Stadium III
:sirosis hepatis, emasiasi, splenomegali, mungkin terdapat gejala syaraf dan paru-paru.
1.7 Cara pencegahan dan pengobatan Pencegahan dilakukan dengan perbaikan sanitasi lingkungan, pemberantasan siput dan keong air yang berperan sebagai HP I yaitu Oncomelania hupensis lindoenis. Pengobatan dilakukan dengan missal yaitu dengan prazikuantel.
2. Schistosoma mansoni 2.1 Klasifikasi Kingdom : Animalia Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Subkelas : Digenea Ordo
: Strigeidida
Family
: Schistosomatidae
Genus
: Schistosoma
Spesies
: Schistosoma mansoni
2.2 Epidemiologi Epidemiologi Schistosoma mansoni sama dengan Schistosoma japonicum. Penyakit ini ditemukan endemik di Indonesia khususnya dua daerah Sulawesi tengah yaitu daerah danau lindu dan lembah napu. Di daerah lindu penyakit ini ditemukan
pada tahun 1937 dan di lembah napu pada tahun 1972. Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoir, yang terpenting adalah tikus sawah. Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
2.3 Distribusi geografi Seperti halnya pada epidemiologi, distribusi geografisnya pun sama dan ditambah dengan ditemukan penyakit di daerah Afrika, berbagai negara Arab (Mesir), Amerika Selatan, dan Tengah. Selain itu, banyak dilaporkan cacing ini menginfeksi orang di Mesir, Eropa dan Timur Tengah.
2.4 Morfologi Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan terdapat tonjolan lebih kasaar bila dibandingkan dengan Schistosoma haematobium dan Schistosoma japonicum. Tempat hidupnya di vena, kolom, dan rektum. Telur juga tersebar ke organ-organ lain seperti hati, paru, dan otak.
2.5 Siklus hidup Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan membentuk embrio. Telur menetas dan keluar mirasidium yang bersilia dan berenang dalam air serta bersifat fototrofik. Mirasidium menemukan hospes intermedier yaitu pada beberapa spesies siput yaitu hospes intermediernya bergantung pada lokasi mereka hidup yaitu: Biomphalaria alexandria: Di Afrika Utara, Arab Saudi dan Yaman; B. Sudanensis, B. rupelli, B. pfeifferi: di bagian Afrika lainnya; B. glabrata: Eropa Barat; Tropicorbio centrimetralis: di Brazil. Setelah masuk ke dalam siput mirasidium melepaskan kulitnya dan membentuk sporokis, biasanya di dekat pintu masuk dalam siput tersebut. Setelah dua minggu sporokis mempunyai 4 Protonepridia yang akan mengeluarkan anak sporokis dan anak tersebut bergerak ke organ lain dari siput. Serkaria keluar dari anak sporokis kemudian keluar dari tubuh siput dalam waktu 4 minggu sejak masuknya mirasidium
dalam tubuh siput. Serkaria berenang ke permukaan air dan dengan perlahan tenggelam ke dasar air. Bila serkaria kontak dengan kulit hospes definitif (orang), kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh orang tersebut, kemudian menembus (penetrasi) ke dalam epidermis dan menanggalkan ekornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut “Schistosomula” yang masuk ke dalam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan. Sebagian lain schistosomula bermigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus thoracalis dan terbawa ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah kanan.
2.6 Patologi Patologi dari penyakit ini sama dengan patologi penyakit yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum akan tetapi lebih ringan. Gejalanya yakni gatalgatal, disentri disertai demam dan sirosis hati.
2.7 Cara pencegahan dan pengobatan Menghindari berenang, mandi, atau menyeberang di air alam di daerah yang diketahui mengandung Schistosoma mansoni, memperbaiki sanitasi lingkungan, dan pemberantasan siput. Pengobatan dengan Prazikuantel dan tartaremetik
3. Schistosoma haematobium 3.1 Klasifikasi Kingdom : Animalia Phylum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Subclass : Digenea Ordo
: Stigeidida
Family
: Schistosomatidae
Genus
: Schistosoma
Spesies
: Schistosoma haematobium
3.2 Epidemiologi Sama seperti pada skistosomiasis lainnya, hanya pada penyakit ini telur ditemukan di dalam urin. Penyakit ini ditemukan endemik di Indonesia khususnya dua daerah Sulawesi tengah yaitu daerah danau lindu dan lembah napu. Di daerah lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah napu pada tahun 1972. Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoir, yang terpenting adalah tikus sawah. Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
3.4 Distribusi geografi Penyebaran cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol dan berbagai negara Arab (timur Tengah, Lembah Nil); tidak ditemukan di Indonesia.
3.4 Morfologi Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum.
3.5 Siklus hidup Schistosoma haematobium memiliki siklus hidup yang kompleks, yang terjadi pada manusia, dan dalam host perantara siput air tawar. Manusia terinfeksi cacing ini apabila serkaria melakukan kontak langsung di dalam air, di mana siput tersebut ditemukan. Telur yang keluar bersama dengan urin jika masuk ke dalam air (misalnya kolam atau danau) telur akan menetas menjadi mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam siput air tawar (Bulinis sp.). Dalam bekicot, larva melalui tahap-tahap pertumbuhan lebih lanjut. Kemudian mirasidium berubah menjadi sporokista lalu menjadi serkaria. Tahap berikutnya adalah serkaria dibebaskan dari siput. Jika kontak dengan manusia, misalnya ketika mereka berenang, mandi atau berendam di air, serkaria dapat masuk ke kulit pada kaki atau pergelangan kaki. Saat ada dalam diri hospes, larva bermigrasi melalui sistem darah ke hati. Dalam pembuluh darah hati, serkaria ini mengalami perkembangan lebih lanjut, dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa meninggalkan hati untuk bermigrasi lagi, akhirnya berakhir di pembuluh darah di sekitar kandung kemih bersamaan dengan telur yang dilepaskan ke dinding kandung kemih. Telur ini kemudian menembus ke bagian dalam kandung kemih, di mana mereka akan keluar bersama dengan urin untuk memulai siklus itu lagi.
3.6 Patologi Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rektum.
3.7 Cara pencegahan dan pengobatan Penyakit cacing dalam darah tidak ditularkan secara langsung dari satu ke orang lain. Sebagian hidup cacing harus dihabiskan dengan hidup di dalam keong air atau siput jenis tertentu. Program masyarakat dapat diadakan untuk membasmi keongkeong ini agar mencegah penularan penyakit cacing dalam darah. Program-program ini hanya berjalan baik jika orang mentaati langkah pencegahan yang paling mendasar yakni: jangan buang air kecil atau buang air besar di dalam atau di dekat sumber air.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Parasitologi, FKUI. 2008. Parasitologi Kedokteran, edisi keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Gibson, J.M. 1996. Mikrobiologi dan Patologi Untuk Perawat, cetakan I. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
View more...
Comments