101752772-perawatan-paliatif-geriatrik.doc
August 28, 2017 | Author: rio syariadi | Category: N/A
Short Description
Download 101752772-perawatan-paliatif-geriatrik.doc...
Description
PERAWATAN PALIATIF GERIATRIK Di lingkungan kita saat ini, mayoritas kematian adalah dari kalangan lansia. Para lansia tersebut biasanya meninggal perlahan-lahan karena penyakit kronis, setelah melalui suatu jangka waktu yang panjang, dengan banyak masalah yang turut menyertai, ketergantungan terhadap orang lain yang semakin progresif, dan kebutuhan akan perawatan kesehatan yang semakin besar yang harus dihadapi oleh anggota keluarga lainnya. Mereka menghabiskan mayoritas bulan-bulan dan tahun-tahun terakhirnya di rumah namun, pada sebagian besar lokasi di negara ini, mereka meninggal dikelilingi oleh orang-orang asing di rumah sakit atau rumah perawatan. Banyak fakta yang menegaskan bahwa kualitas hidup selama proses lansia tersebut meninggal seringkali buruk, yang digambarkan juga oleh distres fisik yang ditangani secara inadekuat, sistem perawatan yang terpecah-pecah, buruk hingga tiadanya komunikasi diantara dokter dan pasien serta keluarganya, dan tekanan yang besar terhadap pihak keluarga yang memberi perawatan dan sistem suport. Dalam Bab ini, kami memfokuskan diri pada perawatan paliatif yang dibutuhkan oleh orang dewasa yang sudah tua. BIOLOGI PENUAAN Komposisi Tubuh Penuaan adalah proses yang mengkonversi orang dewasa yang sehat menjadi orang yang lemah dengan berkurangnya sebagian besar fungsi dari sistem fisiologis dan dengan peningkatan secara eksponensial dari kerentanan terhadap penyakit dan kematian (1). Penuaan adalah faktor risiko yang paling umum dan signifikan dari penyakit secara umum. Proses penuaan itu sendiri masih merupakan misteri, masih sedikit sekali dipahami bahkan di masa ini dimana sudah terdapat perkembangan yang lanjut dalam kemampuan bioteknologi. Penuaan yang normal nampaknya merupakan suatu proses yang cukup jinak. Fungsi dan kontrol homeostasis dari sistem organ dalam tubuh terus menurun lambat dan pasti. Umumnya, erosi yang lambat ini hanya menjadi jelas pada waktu dimana terdapat stres maksimum pada tubuh atau penyakit yang serius.
Namun, seiring dengan berlanjutnya proses, makin kecil gangguan yang dibutuhkan oleh kelemahan fisiologis yang mendasar untuk memberikan manifestasinya. Sulit untuk membedakan efek penuaan saja dari penyakit konkuren-konkuren yang berhubungan atau dengan faktor-faktor lingkungan. Pada akhirnya, sebuah titik kritis akan tercapai, ketika sistem pada tubuh tak sanggup lagi untuk menampung, dan kematian pada akhirnya akan dihasilkan. Morbiditas seringkali terkompresi hingga periode terakhir hidupnya (2). Perubahan-perubahan yang substansial terjadi pada komposisi tubuh seiring proses penuaan. Perubahan-perubahan tersebut menjadi penting ketika dihubungkan dengan kebutuhan nutrisional, farmakokinetik, dan aktivitas metabolik. Seiring satu orang dewasa semakin menua, proporsi lipid dalam tubuh akan mengganda dan lean body mass semakin menurun. Tulang dan organ visera mengecil dan basal metabolic rate juga menurun. Walaupun perubahan-perubahan yang berhubungan dengan usia secara spesifik terjadi pada tiap sistem organ, perubahan-perubahan dalam komposisi tubuh dan metabolisme sangat bervariasi bagi tiap-tiap individual. Fungsi Ginjal Ginjal yang semakin menua akan kehilangan nefron-nefronnya yang masih berfungsi. Penelitian cross-sectional dan longitudinal telah menunjukkan sebuah penurunan dalam klirens kreatinin. Terdapat juga bukti untuk menunjukkan penurunan aliran plasma ginjal, penurunan sekresi tubuler dan reabsorpsi, penurunan sekresi hidrogen, dan penurunan absorpsi dan ekskresi air (3). Jika penyakit ginjal berkomplikasi dalam proses penuaan ini, hasil yang didapat bisa sangat mengganggu. Fungsi ginjal yang mendasar merupakan masalah penting pada farmakologi geriatri. Banyak obat yang bergantung pada mekanisme ginjal untuk eksresinya dari dalam tubuh dan metabolit obatnya dapat tertimbun sehingga menyebabkan terjadinya efek samping atau cedera toksik pada sebuah sistem yang mengalami gangguan. Sebagai contoh, metabolit meperidin yang mengalami klirens lewat ginjal, normeperidin, dapat terakumulasi pada lansia dan menjadi
predisposisi delirium, eksitasi sistem saraf pusat, atau kejang. Obat-obatan yang umum digunakan kemungkinan besar dapat merusak ginjal pada lansia, termasuk juga obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID), aminoglikosida, dan cat kontras intravena (4). Fungsi Hepar dan Gastrointestinal Traktus gastrointestinal tidak terlalu berubah pada penuaan daripada sistem normal lain, namun tetap terdapat beberapa defisiensi yang dapat mempengaruhi pengantaran dan pemecahan obat, sebagaimana juga status nutrisi dan metabolisme. Esofagus dapat menunjukkan waktu transit yang tertunda. Gaster dapat mengalami atrofi dan memproduksi lebih sedikit asam. Transit di kolon juga sangat melambat, sedangkan waktu transit di usus halus nampaknya tidak terpengaruh. Fungsi pankreas biasanya terjaga dengan cukup baik, walaupun sekresi tripsin dapat mengalami penurunan. Hepar biasanya menjaga fungsinya dengan cukup adekuat, walaupun terdapat perubahan variabel yang dapat dilihat pada jalur metaboliknya. Sitokorm P-450 dapat menurun dalam hal efisiensinya dan enzim hepar dapat menjadi sulit terinduksi. Perubahan yang paling signifikan adalah penurunan tajam dalam demetilisasi, proses yang akan memetabolisir obat seperti benzodiazepin di hepar. Perubahan ini dapat menyebabkan munculnya kebutuhan untuk dilakukan penyesuaian dosis sebelum obat diberikan. Sebagai tambahan, obat yang menjalani metabolisme first-pass hepatic lewat ekstraksi dari darah dapat mengubah klirens seiring dengan usia yang semakin bertambahn karena adanya penurunan aliran darah di hepar. Perubahan Pada Otak dan Sistem Saraf Pusat Otak dan sistem saraf pusat akan mengalami atrofi secara perlahan-lahan seiring usia. neuron berhenti berproliferasi dan tidak digantikan saat orang tersebut meninggal, sehingga menyebabkan terjadinya kehilangan neuron sebagaimana juga hilangnya neurotransimter dan reseptor. Perluasan kehilangan ini tidak dipahami dengan baik.
Perubahan-perubahan dalam persepsi nyeri yang terkait dengan usia bisa ada, namun kepentingan klinisnya masih belum jelas. Walaupun perubahanperubahan degeneratif terjadi pada area-area sistem saraf sentral dan otonom yang memediasi rangsang nyeri, relevansi dari perubahan-perubahan tersebut masih belum ditentukan (5). Pemantauan klinis terhadap pasien-pasien lansia yang melaporkan nyeri dan rasa tidak nyaman yang minimal walaupun sedang mengalami iskemia kardiak atau katastrofi intra-abdominal menegaskan bahwa persepsi nyeri kemungkinan berubah pada para lansia tersebut. Namun, data eksperimental menegaskan bahwa perubahan signifikan yang terkait-usia dalam hal persepsi rangsang nyeri kemungkinan tidak terjadi (6). Hingga penelitian lebih lanjut dapat membuktikan secara konklusif bahwa persepsi nyeri menurun seiring usia, menstereotipekan bahwa sebagian besar pasien lansia akan mengalami nyeri yang minimal dapat menyebabkan penilaian klinis yang dilakukan menjadi tidak akurat dan memunculkan penderitaan bagi pasien yang sebenarnya tidak perlu terjadi (5). DEMOGRAFI KEMATIAN DI AMERIKA SERIKAT Usia median kematian di Amerika Serikat saat ini adalah 77 tahun dan telah diasosiasikan dengan penurunan angka kematian menurut-usia yang linier dan terus menerus sejak tahun 1940. Pada tahun 1900, harapan hidup pada kelahiran kurang dari 50 tahun: seorang anak perempuan yang lahir hari ini diharapkan untuk hidup hingga usia 79 tahun dan anak laki-laki hingga usia 73 tahun. orangorang yang mencapai usia 65 tahun dapat diharapkan untuk hidup selama rata-rata 18 tahun lagi dan orang-orang yang hidup hingga usia 80 tahun dapat diharapkan untuk hidup hingga 8 tahun lagi. Peningkatan dalam harapan hidup yang belum terjadi sebelumnya ini (ekuivalen dengan perubahan yang terjadi antara Zaman Batu hingga tahun 1900) utamanya disebabkan oleh mortalitas maternal dan bayi, yang dihasilkan dari membaiknya sanitasi, nutrisi, dan kontrol yang efektif dari penyakit infeksi. Sebagai hasil, terdapat pertumbuhan yang besar dalam jumlah dan kesehatan kalangan lansia. Pada tahun 2030, 20% dari seluruh populasi
Amerika Serikat akan melampaui usia 65 tahun, dibandingkan dengan presentase yang kurang dari 5% pada pergantian ke abad ke-dua puluh (7). Walaupun kematian pada pergantian ke abad dua puluh sangat berhubungan dengan penyakit infeksi akut atau kecelakaan, penyebab utama kematian saat ini adalah penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, stroke, dan demensia. Dengan adanya perkembangan dalam terapi penyakit vaskuler yang aterosklerotik dan kanker, banyak pasien yang menderita penyakit-penyakit tersebut saat ini berhasil bertahan hidup selama bertahun-tahun. banyak penyakit yang dengan cepat menjadi fatal di masa lalu, saat ini menjadi penyakit kronis. Secara paralel, kematian yang terjadi di rumah pada periode-periode awal abad dua puluh saat ini terjadi terutama di institusi-institusi (57% di rumah sakit dan 17% terjadi di rumah perawatan) (8). Alasan dari pergeseran lokasi kematian ini kompleks, namun nampaknya berhubungan dengan sistem kesehatan dan pembayaran
yang
mempromosikan
pelayanan
yang
hospital-based
dan
menyediakan suport yang relatif untuk perawatan pasien di rumah dan usaha perawatan custodial walaupun terdapat beban perawatan yang signifikan dan ketergantungan fungsional yang menyertai penyakit kronis yang mengancam nyawa pada lansia. Semakin tua seorang pasien, semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya kematian di rumah perawatan atau rumah sakit, dengan perkiraan sebanyak 58% orang berusia 85 tahun akan menghabiskan paling tidak beberapa waktu dirawat di rumah perawatan pada tahun terakhir hidupnya (8). Namun, statistik ini menyembunyikan fakta bahwa mayoritas bulan-bulan dan tahun-tahun terakhir dari suatu lansia masih dihabiskan dengan berada di rumah di bawah perawatan anggota keluarganya, dengan penempatan di rumah sakit atau rumah perawatan yang hanya terjadi dekat dengan akhir hidupnya. Statistik nasional juga menyembunyikan variabilitas dalam pengalaman kematian. Sebagai contoh, kebutuhan akan pemberi perawatan formal institusional atau bayaran pada bulanbulan hidupnya jauh lebih tinggi pada orang miskin dan wanita. Secara mirip, orang yang menderita gangguan kognitif dan demensia lebih mungkin menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah perawatan daripada lansia yang
intak secara kognitif yang akan meninggal karena penyakit yang tidak menyebabkan demensia. SISTEM PERAWATAN UNTUK LANSIA DENGAN PENYAKIT SERIUS DAN MENGANCAM JIWA Insentif yang mempromosikan kematian institusional—dan bukan kematian di rumah—tetap berjalan walaupun terdapat bukti bahwa pasien lebih memilih untuk meninggal di rumah. Insentif tersebut bekerja di Amerika Serikat walaupun ada Medicare Hospice Benefit (9), yang didesain untuk menyediakan suport profesional dan material yang substansial (obat-obatan, peralatan, kunjungan perawat terampil) untuk perawatan oleh keluarga bagi lansia yang akan meninggal di rumah pada 6 bulan terakhir hidupnya. Alasan untuk rendahnya angka pemakaian jasa Medicare Hispice Benefit bervariasi pada tiap komunitas namun melibatkan inhibisi kebutuhan akan pengakuan pasien bahwa mereka sedang menjalani proses meninggal untuk mengakses layanan tersebut, yang disetujui oleh dokter memiliki prognosis 6 bulan atau kurang, dan bahwa sangat sedikit waktu (4 jam atau kurang) kunjungan perawatan pribadi di rumah dapat dicapai dengan memakai jasa tersebut. Sebagai tambahan, struktur fiskal Medicare Hospice Benefit menyebabkan dirinya sendiri baik bagi jalur yang telah diprediksi dari kanker stadium lanjut atau AIDS, namun tidak terlalu baik bagi proses kronik lainnya yang tak dapat diprediksi yang dikarenakan penyebab lain yang umum pada lansia seperti kegagalan jantung kongestif, stroke, dan penyakit-penyakit yang menyebabkan demensia. Cakupan tradisional Medicare di Amerika Serikat juga gagal mencapai kebutuhan dari lansia yang menderita penyakit yang serius. Baik biaya untuk layanan perawat pribadi di rumah maupun biaya di rumah perawatan untuk membayar lansia yang mengalami ketergantungan secara fungsional tidak akan disediakan oleh Medicare, namun dibayarkan sebesar yang kira-kira akan dikeluarkan untuk perawatan kepada Medicaid, yang pada awalnya didirikan untuk menyediakan perawatan bagi orang-orang miskin.
Di rumah perawatan, standar perawatan terfokus pada perbaikan fungsi, dan menjaga status berat dan nutrisi. Bukti adanya kemunduran yang menyertai proses kematian akan dianggap sebagai ukuran perawatan yang substandar. Jadi, kematian di rumah perawatan seringkali lebih dilihat sebagai bukti, terutama oleh para pelaku pemerintahan, dari perawatan yang buruk daripada hasil kesehatan yang didapat dari lansia yang lemah dan menderita penyakit kronis. Insentif finansial dan regulatif serta pengukuran kualitas yang saat ini ada untuk perawatan jangka panjang lebih mempromosikan pemberian makan lewat pipa (tube feeding) daripada sendok dan juga transfer ke rumah sakit atau unit gawat darurat pada kondisi penyakit akut atau kematian yang mengancam. Mereka gagal menilai dan memberi perhatian yang layak bagi cara-cara perawatan paliatif, termasuk meredakan gejala, perawatan spiritual, dan promosi untuk melanjutkan perawatan dengan terus menghindarkan transfer ke rumah sakit dan unit gawat darurat dalam kondisi brink-of-death (11). KEBUTUHAN AKAN PERAWATAN PALIATIF PADA LANSIA Walaupun kematian terjadi jauh lebih sering pada orang dewasa lanjut usia daripada pada kelompok usia lainnya, sangat sedikit yang diketahui mengenai bagaimana kematian terjadi pada orang yang berusia sangat lanjut, atau mereka yang berusia lebih dari 75 tahun. Sebagian besar penelitian tentang pengalaman meninggal telah dikerjakan pada populasi yang berusia lebih muda, dan sebagian besar penelitian yang meneliti mengenai penanganan gejala dan nyeri telah memfokuskan diri pada populasi yang lebih muda yang menderita penyakit seperti kanker atau AIDS. Penelitian pada orang dewasa lanjut usia telah memfokuskan diri utamanya pada pilihan pasien dalam hal perawatan daripada perawatan yang sebenarnya diterima. Memang, penelitian terbesar yang paling baru mengenai pengalaman meninggal di Amerika Serikat (SUP-PORT) meneliti pengalaman pasien di rumah sakit dengan usia median 66 tahun (9). Usia median kematian di Amerika Serikat adalah 77 tahun, dan lebih banyak orang berusia sangat lanjut meninggal di rumah perawatan atau di rumah daripada di rumah sakit. Data dari Medicare dan pendaftaran Medicaid menegaskan bahwa intervensi yang mahal
berteknologi tinggi lebih sedikit diaplikasikan pada pasien berusia sangat lanjut, dengan tidak tergantung pada status fungsional dan harapan hidup yang terproyeksi. Mengingat ketidakcocokan ini dapat menggambarkan pilihan pasien dan mengindikasikan pemakaian sumber serta pilihan pasien yang layak, lebih mungkin bahwa data tersebut menggambarkan sebuah bentuk implisit pemikiran yang berdasar pada usia. Implikasinya akan mengganggu, dengan menganggap bahwa sebagian pasien tersebut membutuhkan pengeluaran biaya paling tinggi. Para peserta Medicare dapat bertahan hidup paling tidak 1 tahun (12). Di samping nyeri dan sumber stres fisik lainnya (didiskusikan di bawah ini [lihat bagian Penanganan Gejala: Tantangan dalam Hal Nyeri]), karakteristik kunci yang membedakan proses kematian pada lansia dengan proses yang dialami oleh kelompok berusia lebih muda merupakan okurensi yang hampir universal dari periode panjang ketergantungan fungsional dan kebutuhan pemberian perawatan oleh anggota keluarga pada bulan-bulan hingga tahun-tahun terakhir hidupnya. Pada SUP-PORT, usia median partisipan adalah 66 tahun dan 55% pasien memiliki kebutuhan akan perawatan yang persisten dan serius oleh anggota keluarga selama proses penyakit terminalnya (13), dan pada penelitian lainnya terhadap 988 pasien yang menderita penyakit terminal, 35% keluarganya memiliki kebutuhan akan perawatan yang substansial (14). Persentase ini meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya usia. Walaupun 15-20% pasien mendapat perawatan dari tenaga yang dibayar (transportasi, servis pemeliharaan rumah, perawatan pribadi, dan perawatan oleh perawat yang terampil), 80-85% pasien sisanya mendapat perawatan dari anggota keluarganya yang tidak dibayar (14). Lebih jauh lagi, sebagian besar anggota keluarga yang memberikan perawatan adalah wanita (istri dan anak perempuan yang sudah dewasa serta menantu), menempatkan tekanan yang signifikan pada status fisik, emosional, dan sosioekonomik pada sang pemberi perawatan. Pasien-pasien yang sakit dan mengalami ketergantungan tanpa memiliki anggota keluarga untuk memberikan perawatan, atau pasien yang sudah tidak dapat lagi dirawat oleh pemberi perawatan biasanya, ditempatkan di rumah-rumah perawatan. Di Amerika Serikat, kondisi ini biasanya terjadi setelah pasien menghabiskan seluruh simpanan
finansialnya untuk dapat memenuhi syarat yang diberikan Medicaid. Saat ini, 20% pasien yang berusia lebih dari 85 tahun dirawat di fasilitas perawatan yang terlatih, dan jumlah ini diharapkan terus meningkat secara dramatis pada 50 tahun mendatang (15). Perkiraan saat ini mengemukakan jumlah tempat tidur di fasilitas-fasilitas perawatan yang berkualitas di Amerika Serikat akan menjadi tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan populasi masyarakat mengalami penuaan. PENANGANAN GEJALA: TANTANGAN DALAM HAL NYERI Pola gejala yang ditemukan pada pasien lansia yang akan meninggal berbeda dengan pola gejala pada pasien dewasa muda. Delirium, gangguan sensorik, inkontinensia, dizziness, batuk, dan konstipasi lebih sering terjadi pada pasien lansia (16). Para lansia itu, rata-rata mengalami 1,5 kali lebih banyak gejala daripada orang dewasa muda pada tahun-tahun menjelang kematiannya, dan 69% dari gejala tersebut yang dilaporkan pada pasien berusia 85 tahun atau lebih akan bertahan lebih dari satu tahun dibandingkan dengan 39% gejala pada dewasa muda (kurang dari 55 tahun) (16). Penelitian yang memfokuskan secara spesifik pada prevalensi nyeri telah menunjukkan secara konsisten tingginya level nyeri yang tidak ditangani atau ditangani secara kurang baik pada pasien lansia. Pada satu penelitian mengenai pasien kanker lansia di rumah perawatan, 26% dari pasien yang menderita nyeri harian sama sekali tidak menerima analgesik apapun dan 16% hanya menerima asetaminofen, sebuah persentase yang terus meningkat dengan bertambahnya usia dan status minoritas (17). Penelitian lanjutan mengemukakan bahwa 41% pasien yang pernah ditemukan menderita nyeri pada pemeriksaan pertamanya terus mengalami nyeri harian sedang atau berat pada pemeriksaan keduanya setelah 60180 hari kemudian (18). Penelitian membandingkan penanganan nyeri pada orang yang intak secara kognitif dengan lansia yang mengalami demensia yang samasama menderita fraktur panggul akut menemukan adanya taraf nyeri yang ditangani dengan kurang baik yang cukup tinggi pada kedua kelompok, sebuah fenomena yang terus memburuk dengan bertambahnya usia dan munculnya
gangguan kognitif (19,20). Secara mirip, sebuah penelitian terhadap pasien-pasien rawat jalan dengan kanker menemukan bahwa usia dan jenis kelamin wanita merupakan prediktor penanganan yang kurang baik, sebuah pemantauan yang cukup mengganggu karena adanya peningkatan yang dramatis dalam hal prevalensi kanker dengan bertambahnya usia (21,22). Nyeri kronik yang disebabkan oleh artritis, selain kelainan tulang dan sendi lainnya, dan sindroma low back pain kemungkinan merupakan penyebab yang paling umum dari distres dan disabilitas pada lansia, menyumbang 25-50% kasus penarikan diri dari komunitas. Gejala-gejala tersebut nampaknya juga secara konsisten ditangani secara kurang baik (23). Data-data tersebut menegaskan bahwa waktu sebelum kematian diantara orang-orang berusia lanjut seringkali dikarakterisasi oleh distres fisik yang signifikan yang tidak teridentifikasi dan juga tidak ditangani dengan layak. Walaupun terdapat prevalensi nyeri dan gejala lain yang tinggi pada pasien lansia, sebagian besar penelitian yang memfokuskan diri pada pemeriksaan dan penanganan nyeri dan gejala lainnya hanya melibatkan pasien kanker berusia muda dalam penelitiannya. Masih belum jelas apakah hasil penelitian tersebut digeneralisasi terhadap populasi geriatrik. Penilaian nyeri pada lansia seringkali dipersulit oleh adanya gangguan kognitif yang menyertai. Penilaian dan penanganan nyeri pada pasien yang mengalami gangguan kognitif menyajikan tantangan khusus bagi tenaga kesehatan profesional. Pasien mengalami gangguan kognitif seringkali tidak mampu untuk mengekspresikan nyeri secara adekuat, meminta analgesik, atau mengoperasikan mesin analgesik yang patient-controlled. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya nyeri dan gejala yang ditangani secara kurang baik. Kekhawatiran memunculkan atau mengeksaserbasi episode delirium dengan menggunakan opioid dalam penanganan nyeri juga dapat menyebabkan penanganan nyeri yang inadekuat. Pada pasien intak secara kognitif, langkah awal dalam penilaian nyeri pada individu yang mengalami demensia adalah dengan menanyakannya kepada pasien. Walaupun pasien dengan demensia berat bisa menjadi tidak mampu untuk berkomunikasi, banyak pasien dengan derajat gangguan sedang dapat dengan
akurat melokalisasi dan mengklasifikasikan keparahan nyeri yang dideritanya (24,25). Pada pasien yang non-komunikatif, cara-cara alternatif untuk penilaian harus diidentifikasi. Kebutuhan akan penilaian nyeri secara hati-hati pada populasi pasien ini masih terbukti underscored yang menegaskan bahwa tenaga medis profesional menangani nyeri secara kurang baik pada pasien yang juga menderita gangguan kognitif (19,20,26) dan bahwa nyeri dapat diperparah dengan adanya kondisi defisit kognitif (24). Nyeri yang tidak ditangani dapat menyebabkan agitasi, tindakan yang disruptif, dan dapat memburuk atau memunculkan sebuah episode delirium (27-29). Penilaian nyeri pada pasien yang non-komunikatif harus dimulai dengan observasi dari tanda-tanda nonverbal, seperti ekspresi wajah (meringis, mengerutkan dahi) dan tindakan motorik (bracing, restlessness, agitasi), dan tanda-tanda verbal, seperti menggeram, berteriak, atau merintih. Data dari individu yang intak secara kognitif menegaskan bahwa kelakuan nonverbal berkorelasi dengan nyeri yang dilaporkan oleh pasien sendiri pada pasien-pasien yang tidak demensia yang sedang memulihkan diri dari operasi (30,31). Terapi farmakologi harus dititrasi ke atas dalam dosis-dosis kecil hingga tanda-tanda verbal/nonverbal hilang atau hingga efek samping obat tersebut bermanifestasi. Pendekatan ini terutama berguna bagi pasien yang agitasi yang tindakannya tersebut kemungkinan berasal dari nyeri yang tidak ditangani atau ditangani secara kurang baik. Risiko nyeri berat yang ditangani secara kurang baik adalah umumnya lebih patut untuk diperhatikan, baik secara medis maupun etis, daripada risiko delirium yang memburuk dengan pengobatan. Terapi farmakologis untuk nyeri harus dimodifikasi pada pasien lansia. Analgesic ladder approach yang ditetapkan oleh World Health Organization kemungkinan tidak tepat untuk diaplikasikan pada pasien lanjut usia. Sebagai contoh, peningkatan risiko terjadinya efek samping, termasuk kegagalan fungsi ginjal dan perdarahan gastrointestinal, memerlukan kehati-hatian yang lebih besar dalam penggunaan obat-obatan NSAID. Kehati-hatian ini juga meluas hingga penggunaan NSAID secara parenteral yang saat ini telah tersedia karena adanya peningkatan yang signifikan dalam risiko perdarahan gastrointestinal, terutama
dengan dosis yang lebih tinggi dan dengan durasi penggunaan yang lebih dari 5 hari (32,34). Antagonis COX-2 selektif dihubungkan dengan dengan penurunan insidensi kejadian efek samping gastrointestinal dan kemungkinan dipilih untuk digunakan pada pasien lanjut usia daripada jenis NSAID biasa (35,37). Namun, sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menegaskan bahwa kemungkinan terdapat peningkatan dalam kejadian efek samping kardiovaskuler yang berhubungan dengan penggunaan inhibitor COX-2 walaupun besarnya risiko ini masih belum ditentukan (38). The American Geriatrics Society baru-baru ini merekomendasikan opioid untuk direkomendasikan sebagai langkah terapi pertama daripada menggunakan NSAID (23). Jika NSAID digunakan, pemantauan fungsi ginjal secara hati-hati dan observasi yang cermat terhadap adanya perdarahan gastrointestinal harus dilakukan. Terapi opioid masih merupakan dasar penanganan nyeri pada perawatan paliatif dan hal ini juga berlaku untuk pasien lanjut usia. beberapa aspek terapi opioid membutuhkan pertimbangan khusus pada pasien lanjut usia. Pasien lansia akan menderita lebih banyak efek farmakologis setelah diberikan dosis opioid yang telah disesuaikan berdasar berat badan, daripada pasien yang lebih muda. Efek analgesi yang dihasilkan lebih intens, dan efek kognitif dan respirasi, bahkan mungkin juga konstipasi, yang dihasilkan akan bersifat lebih berat. Efek yang diperbesar ini kemungkinan disebabkan oleh volume distribusi yang lebih rendah (kira-kira setengahnya volume distribusi orang dewasa muda), penurunan klirens, dan berkurangnya cadangan target organ (sistem saraf pusat, fungsi pulmoner, dan fungsi usus). Usia adalah prediktor tunggal kebutuhan dosis opioid awal yang paling penting untuk menangani nyeri post-operatif (39). Formula berikut ini, berdasar pada tinjauan terhadap rekam medis milik lebih dari 1000 orang dewasa berusia diantara 20 hingga 70 tahun yang menjalani operasi mayor, memberikan perkiraan kasar mengenai dosis permulaan morfin sulfat parenteral yang ekuivalen bagi pasien dewasa yang tidak pernah mengonsumsi opioid (dengan perkecualian pada pasien yang berusia sangat lanjut): rata-rata kebutuhan morfin pada 24 jam pertama (mg) bagi pasien berusia di atas 20 tahun – 100 – usia (39). Faktor lainnya yang akan mempengaruhi efek opioid, namun dengan derajat yang lebih
rendah daripada faktor usia adalah berat badan, derajat keparahan nyeri, fungsi ginjal yang abnormal, mual, muntah, dan insufisiensi kardiopulmoner. Setelah penentuan dosis awal, obat harus dititrasi berdasarkan efek analgesik. Beberapa opioid paling baik dihindari pada pasien lanjut usia. meperidin terutama berbahaya, karena akumulasi dari metabolit toksiknya, normeperidin, pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Memang, level toksik dapat juga terakumulasi pada pasien lansia dengan “fungsi ginjal normal”, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terkait-usia dalam hal klirens kreatinin. Hampir tidak ada situasi dimana meperidin harus digunakan pada pasien lansia. Secara serupa, pentazosin juga harus dihindari pada pasien lansia, karena adanya peningkatan insidensi delirium dan agitasi yang berhubungan dengan penggunaan obat ini. Pada akhirnya, opioid dengan waktu-paruh yang panjang (contohnya metadon, levorfanol) atau opioid dengan sediaan lepas-lambat (contohnya morfin lepas-lambat dan oksikodon, dan fentanil transdermal) harus digunakan secara hati-hati, jarang digunakan pada pasien geriatri yang belum pernah diberikan opioid, dan kemungkinan seharusnya digunakan hanya setelah terjadi status akumulasi yang kontinyu pada pemberian opioid kerja cepat. Berkenaan dengan agen-agen ajuvan lainnya, amitriptilin dan obat-obatan antidepresan trisiklik lain, walaupun efektif pada beberapa sindroma nyeri neuropatik, ditoleransi secara buruk oleh pasien lanjut usia karena properti antikolinergik yang dikandungnya. Disfungsi usus dan kandung kemih, hipotensi ortostatik yang menyebabkan pasien jatuh, delirium, gangguan pergerakan, dan mulut kering sangat umum diderita setelah pemberian obat-obatan tersebut. Jika trisiklik digunakan, maka nortriptilin atau desipramin merupakan agen pilihan dan dosis awal yang diberikan harus sangat rendah, serta dosis titrasi harus dinaikkan perlahan-lahan. PENYAKIT ALZHEIMER DAN DEMENSIA YANG TERKAIT Demensia ireversibel merupakan diagnosis yang sulit dan menakutkan bagi pasien-pasien geriatri dan keluarganya. Sebuah diagnosis demensia berarti terdapat kemunduran yang pasti dan progresif dalam kemampuan kognitif seiring
waktu dan kemudian akan terjadi hilangnya independensi pasien tersebut. Prevalensi demensia meningkat tiap dekade kehidupan pasien yang telah berusia lebih dari 65 tahun. Pada usia 80 tahun, sekitar 19% populasi lanjut usia akan menderita demensia. Lebih dari 80, prevalensi meningkat hingga mendekati 50% dan terus meningkat seiring bertambahnya usia. enam puluh persen pasien lanjut usia yang berusia lebih dari 100 tahun memiliki diagnosis demensia (40). Penyakit Alzheimer merupakan penyebab paling umum dari demensia, terhitung menyebabkan 50% dari seluruh kasus demensia (40). Penyakit Alzheimer menyerang lebih dari 4 juta orang Amerika, dan 22 juta orang di seluruh dunia. Demensia vaskuler merupakan jenis yang nomor dua paling sering didiagnosis di Amerika Serikat dan terhitung merupakan 20-40% dari seluruh kasus demensia. Penyakit Lewy body, penyakit Pick’s, dan penyakit Creutzfeldt-Jakob merupakan jenis-jenis lainnya yang lebih jarang. Banyak pasien datang dengan gambaran “campuran” dan bisa menjadi sulit untuk dikategorikan secara klinis (40). Demensia merupakan penyakit yang progresif dan belum dapat diobati, dan semua terapi yang diberikan bersifat paliatif. Rata-rata angka ketahanan hidup setelah diagnosis penyakit Alzheimer ditegakkan bervariasi dari 7-10 tahun. selama periode waktu ini, orang dengan demensia akan melalui tahapan-tahapan stage penyakit yang berbeda dan telah dapat diprediksi. Pada stage awal, pasien dapat mengalami defisit memori, penilaian, dan hubungan spasial yang ringan. Mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam menemukan kata-kata, menyetir, atau mempelajari keterampilan baru. Seiring pasien tersebut masuk ke dalam stage sedang penyakit ini, mereka akan kehilangan kemampuan untuk melakukan aktivitas instrumental pada kehidupan sehari-harinya. Mereka kemungkinan tidak dapat lagi menyeimbangkan tabungannya atau berbelanja makanan. Anggota keluarga atau pembantu rumah tangga yang disewa kemudian akan memainkan peran yang lebih besar dalam hal perawatan pasien. Pasien tersebut dapat memiliki gangguan perilaku, seperti agitasi, paranoia, atau berkeliaran. Pasien dengan demensia tingkat lanjut bergantung sepenuhnya pada perawat mereka bahkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang paling sederhana, seperti berganti pakaian, mandi, buang air, dan berjalan-jalan. Mereka juga mengalami
penurunan kemampuan untuk mengunyah dan menelan. Mereka bisa menjadi tidak mampu untuk mengenali dan mengingat perawat mereka dan bahkan orang yang disayangi. Mereka tidak mampu mendeskripsikan nyeri atau rasa tidak nyaman dan mungkin menjadi nonverbal. Seringkali, pasien-pasien tersebut menjadi terikat di tempat tidurnya. Proporsi besar pasien pada akhirnya akan membutuhkan perawatan di rumah perawatan khusus. Pasien
dengan
demensia
membutuhkan
perawatan
medis
yang
memfokuskan diri dalam menjaga martabat dan kualitas hidup. Dokter harus mencari cara untuk menangani secara agresif gejala yang membahayakan tujuantujuan tersebut. Hal ini harus dilakukan pada stage awal penyakit, stage sedang penyakit, dan pada akhirnya pada stage lanjut. kebutuhan pasien pada tiap-tiap stage berbeda, namun fokusnya selalu untuk menjaga martabat dan kualitas hidup. Pada demensia awal, mungkin tugas yang paling penting bagi dokter adalah untuk mengenali dan mendiagnosis penyakit dan kemudian mengedukasi pasien dan keluarganya tentang hal-hal yang bisa diharapkan. Pada stage ini, pasien masih dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. dokter harus menanyakan pada pasien mengenai pilihannya dalam hal terapi medis pada stagestage selanjutnya dan memfasilitasi perbincangan penting ini diantara pasien dengan perawatnya. Diskusi yang spesifik mengenai terapi untuk memperpanjang hidup, seperti nutrisi dan hidrasi artifisial, harus dilakukan. Dokter harus menanyakan pada pasien untuk mengajukan satu orang atau lebih pengambil keputusan utama untuk berbicara atas namanya sebagai persiapan untuk stage penyakit selanjutnya ketika pasien sudah tidak mampu lagi untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Pasien harus didorong untuk berbincang dengan orang yang ditunjuk untuk merawat mereka serta orang-orang yang disayanginya mengenai pandangan mereka terhadap terapi medis lanjut seperti feeding tube, ventilasi mekanis, dan resusitasi kardiopulmoner (CPR). Walaupun penting untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan spesifik pasien mengenai teknologi medis, penting juga untuk mengeksplorasi nilai-nilai dan tujuan-tujuan pasien dalam menjalani perawatan medis: Apakah yang paling penting dalam hidup mereka? Apa yang membuat hidup mereka berharga untuk dijalani? Nilai-nilai religius atau spiritual
apa yang penting bagi mereka? Terdapa bukti bahwa perbincangan awal mengenai tujuan-tujuan lanjut dapat membantu menyiapkan keluarga untuk mengambil keputusan di masa datang dan dapat mengurangi penyulit yang akan datang kemudian dengan perwakilan pengambilan keputusan tersebut (41). Stage awal penyakit Alzheimer bisa menoleransi dengan baik terapi farmakologis dengan inhibitor kolinesterase. Terapi dengan obat-obatan tersebut dapat memperbaiki aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, sedikit memperbaiki fungsi kognitif, atau memperlambat progresi proses penyakit. Kontrol yang agresif terhadap faktor risiko vaskuler dan penggunaan aspirin dan agen-agen penurun kolesterol dapat memperlambat perkembangan demensia vaskuler. Sasaran dari kedua jenis terapi adalah untuk menjaga independensi selama mungkin. Banyak pasien dengan penyakit stage awal memiliki masalah psikiatrik yang menyertai. Depresi terutama paling sering terjadi, menyerang sekitar 50% populasi pasien Alzheimer stage awal (42). Gejala depresi pada penyakit awal bisa atipik dan antara lain berupa kelalaian, kesulitan dalam menggunakan emosi, dan penurunan motivasi. Terapi antidepresan seringkali diindikasikan, dan inhibitor kolinesterase juga bisa bermanfaat. Kelompok yang mensuport juga bisa banyak membantu pada stage ini, baik untuk pasien maupun orang merawat mereka. Dementia stage sedang merupakan stage terpanjang dari penyakit ini. Fokus dokter haruslah untuk menjaga lingkungan pasien tetap aman, menangani gejala psikiatrik, dan mensuport orang yang merawat pasien. Seiring pasien masuk ke stage pertengahan dari penyakit ini, mereka memerlukan supervisi di rumah dan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari akan semakin dibutuhkan. Gangguan perilaku, agitasi, dan paranoia seringkali muncul sejalan dengan bertambahanya dependensi pasien terhadap orang sekitarnya. Perubahanperubahan tersebut bisa menjadi sumber stres yang signifikan bagi orang yang merawat pasien. Tindakan-tindakan paliatif pada demensia level-sedang adalah termasuk juga memberikan perhatian untuk stres yang dialami oleh perawat pasien,
terapi
untuk
gangguan
perilaku
dan
psikiatrik
pasien,
serta
menginstitusikan modifikasi keamanan di lingkungan pasien. Sebagai tambahan, pasien dengan derajat gangguan kognitif sedang seringkali menunjukkan perilaku makan yang terganggu, dan dokter harus bekerja sama dengan pasien beserta perawatnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, sebagaimana juga dalam memodifikasi produk makanan supaya lebih mudah dimakan. Stres yang dialami oleh orang yang merawat pasien sering terjadi karena makin tingginya permintaan akan peran aktifnya dalam membantu melakukan aktivitas sehari-hari pasien yang menderita demensia progresif. Banyak diantaranya yang sebelumnya belum pernah memegang peran pemberi perawatan utama seperti ini bagi orang lain selain anaknya sendiri. banyak perawat utama yang merawat pasien dengan demensia yang ternyata juga merupakan pasien geriatri. Sebagian besar keluarga akan menghadapi stres finansial tingkat tinggi. kecuali pasien memiliki akses ke servis sosial (Medicaid di Amerika Serikat), biaya yang dikeluarkan untuk membayar bantuan tambahan di rumah, produkproduk farmasetik, dan peralatan medis yang sekali pakai sangat tinggi. Program harian bagi orang dewasa sulit untuk ditemukan, dan program-program seperti tersebut biasanya mahal. Pasien-pasien dengan derajat keterbatasan kognitif seperti ini mungkin kesulitan untuk ditempatkan di rumah perawatan karena seringkali mereka tidak memiliki diagnosis komorbid lainnya, dan taraf biaya hanya untuk perawatan biasa rendah. Banyak perawat yang meninggalkan pekerjaannya atau keluarganya untuk merawat orang yang mereka sayangi. Beberapa diantaranya perlu mengambil pekerjaan kedua untuk menanggulangi beban finansialnya. Orang yang merawat pasien merasa tidak dihargai karena orang yang dirawatnya tersebut gagal menyadari betapa berat mereka bekerja atau betapa besar pengorbanan yang telah diberikan untuk merawatnya. Pada akhirnya, pasien akan gagal bahkan untuk mengenali siapa orang yang sedang merawatnya. Stres seperti ini amat perlu untuk dikenali, diakui, dan disuport. Dokter harus menanyakan kepada pada perawat mengenai, kelelahan, isolasi sosial, depresi, dan gejala fisik yang dialaminya. Mereka harus mengingatkan para perawat tersebut
untuk mengambil libur dan mendorong anggota keluarga lainnya untuk ikut membantu. Kelompok suport bagi para perawat tersebut juga dapat membantu. Gangguan
perilaku
menjadi
semakin
sering
seiring
dengan
berkembangnya demensia. Walaupun gangguan tersebut bisa terjadi pada stage penyakit manapun, mereka biasanya berhubungan dengan bertambahnya kemunduran kognitif dan fungsional. Gejalanya termasuk kekhawatiran, depresi, paranoia, delusi, halusinasi, gangguan tidur, agitasi, dan perilaku agresif. Adanya gangguan perilaku, terutama paranoia dan agresi, dapat meningkatkan kemungkinan pasien untuk ditempatkan di rumah perawatan. Terapi harus ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan orang yang merawatnya dan harus mengikutkan pertimbangan farmakologis dan non-farmakologis. Perhatian harus diberikan bagi penyebab alternatif gangguan perilaku, seperti nyeri yang tak terkontrol, infeksi yang tidak diterapi, atau penanganan suboptimal penyakit yang menyertai. Terapi terhadap penyakit medis yang mendasari dapat mendukung terjadinya perbaikan dalam status kognitif dan perilaku. Sebagai tambahan, etiologi agitasi mungkin berdasar pada kebutuhan manusia dasar— kelaparan, kehausan, atau kebutuhan akan penggantian pakaian yang basah atau kotor. Mengidentifikasi akar masalah mungkin sulit untuk dilakukan, karena pasien dengan demensia derajat sedang tidak mampu memberi tahu orang yang merawatnya masalah apa yang sebenarnya mengganggu. Meski demikian, adanya gangguan perilaku baru seharusnya memunculkan evaluasi medis dan seharusnya tidak dianggap konsekuensi dari penyakit yang mendasari terjadinya demensia. Menangani etiologi yang jelas, sebagaimana juga menentukan modifikasi dalam lingkungan perawatan pasien yang mungkin untuk dilakukan, bisa menjadi jalan keluar yang bermanfaat untuk mengetahui gangguan perilaku. Sebagai contoh, penelusuran riwayat secara hati-hati dapat menunjukkan bahwa perilaku agitasi dan paranoia bisa muncul saat waktu mandi. Dalam kasus ini, mungkin mengganti temperatur air atau mengganti tatacara mandi di bak menjadi penyekaan menggunakan spons bisa menjadi tidak terlalu menakutkan bagi pasien dan mengurangi agitasi pasien (43). Bukti yang ada menegaskan bahwa melibatkan pasien secara aktif dalam rutinitas perawatan diri juga dapat
mengurangi agitasi. Lingkungan yang tenang, penggunaan rutinitas seperti biasa, mendengarkan musik favorit, dan kunjungan oleh anak atau hewan peliharaan juga bisa membantu menenangkan. Perhatian terhadap pola tidur pasien juga penting untuk dicurahkan. Bertambahnya aktivitas pada siang hari dan mengurangi tidur siang bisa membantu pasien untuk tidur dengan baik di malam hari. Sebagai
tambahan
bagi
intervensi
perilaku
tersebut,
pemberian
tranquilizer mayor dosis-rendah atau dosis jika-dibutuhkan, seperti haloperidol, risperidon, atau olanzapin, mungkin dibutuhkan untuk menangani gangguan perilaku dan mencegah admisi ke rumah sakit. Pemberian tranquilizer mayor atau trazodon saat menjelang tidur bisa membantu menangani gangguan tidur. Benzodiazepin bisa dikaitkan dengan agitasi paradoksal, somnolens yang berlebihan, dan jatuh, dan harus dihindari pada sebagian besar pasien. Perilaku makan juga berubah pada pasien dengan demensia derajat sedang. Berkurangnya ketajaman indera perasa dan reseptor bau, sebagaimana juga berkurangnya sensitivitas reseptor haus menjadi predisposisi malnutrisi dan dehidrasi pada pasien demensia. Pasien mungkin mengalami kesulitan menggunakan peralatan dengan baik. Pemanis dan bumbu ekstra mungkin membantu, sebagaimana juga dengan suplai camilan dan minuman yang bernutrisi. Makanan camilan merupakan pilihan yang baik. Peralatan makan yang didesain secara spesifik juga dapat mempermudah pemberian makan. Perhatian terhadap obat-obatan konkuren yang dapat mengurangi nafsu makan sangat dibutuhkan. Obat-obatan tersebut termasuk juga diuretik, beta-blockers, digoksin, dan statin, dan harus dihentikan, jika memungkinkan. Demensia tingkat lanjut merupakan stage final dari penyakit terminal ini. Pasien demensia end-stage akan sekarat. Penelitian telah menunjukkan median 6months-survival-rate dengan atau tanpa tube feeding, walaupun kisaran waktu bertahan luas (44-47). Sebagian besar pasien di stage penyakit ini terikat dengan tempat tidurnya dan nonverbal. Banyak pasien pada stage ini ditempatkan di rumah perawatan karena bertambahnya kebutuhan akan perawatan sehari-hari. walaupun perawatan yang nyaman dan tindakan paliasi terhadap penderitaan
harus menjadi fokus tertinggi perawatan bagi pasien ini, pasien dengan demensia tingkat lanjut seringkali menerima intervensi non-paliatif di akhir hidupnya, seperti tube feeding, CPR, ventilasi mekanis, dan antibiotik sistemik pada harihari finalnya (20,45,48,49). Perwakilan pengambilan keputusan pada penyakit end-stage tidak lagi dapat dihindarkan. Proses tersebut dibuat lebih mudah bagi semua yang terlibat jika, pada stage awal penyakit, diskusi kritis mengenai sasaran terapi dan pilihan di akhir hidup telah ditetapkan. Orang yang merawat pasien mungkin menghadapi banyak keputusan yang sulit, termasuk operasi darurat, intubasi, feeding tube, dan CPR. Bahkan jika harapan sebelumnya telah dikomunikasikan dengan baik, mungkin masih sulit bagi anggota keluarga untuk melakukannya. Meski demikian, keputusan harus selalu didasarkan pada harapan-harapan pasien yang sebelumnya telah dikomunikasikan (jika diketahui) dan manfaat terbaik bagi pasien yang berkenaan dengan manfaat atau beban potensial dari terapi yang diusulkan. Dokter harus menawarkan kepada perawat pasien suport yang terus menerus dan menawarkan untuk melakukan tinjauan terhadap sasaran terapi secara reguler atau berulang dan ekspektasi yang mengikuti intervensi tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberi kenyamanan dan meredakan penderitaan harus menjadi sasaran utama paliatif. Perhatian yang besar terhadap sumber-sumber potensial rasa tidak nyaman, seperti nyeri dan penyakit konkuren, penting untuk diberikan. Nyeri sering sekali terlewatkan dan diterapi secara kurang baik pada populasi ini. Terapi analgesik harus bersifat empiris dan preventif jika terdapat sumber-sumber yang mendasari nyeri atau pasien tersebut menghadapi prosedur yang potensial menimbulkan ketidaknyamanan seperti penggantian balut atau perubahan posisi. Dokter juga harus menyadari bahwa pasien dengan demensia tingkat lanjut dapat mengalami rasa tidak nyaman yang lebih besar yang berasal dari prosedur-prosedur rutin, seperti pemantauan tanda vital, flebotomi, pengambilan darah lewat jari, dan kateterisasi kandung kemih, karena mereka tidak dapat memahami apa yang sedang dilakukan terhadap tubuhnya dan mengapa. Prosedur-prosedur yang tidak perlu harus dihentikan.
Sediaan anestesi topikal dapat membuat prosedur-prosedur yang diperlukan menjadi lebih bisa ditanggulangi oleh pasien. KESIMPULAN Sebagai hasil perbaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada mortalitas maternal dan bayi dan keberhasilan dalam pengontrolan, jika tidak dapat disebut sebagai penyembuhan, dari penyakit kronis yang umum terjadi, sebagian besar orang yang meninggal di Amerika Serikat adalah orang-orang yang berusia tua dan lemah. Proyeksi konservatif menegaskan bahwa pada 30 tahun mendatang, kita akan menyaksikan pergeseran yang dramatis dalam demografi, dengan lebih dari 20% populasi di Amerika Serikat berusia di atas 65 tahun pada tahun 2030. Orang lanjut usia yang meninggal karena penyakit kronis progresif (seperti penyakit jantung dan paru end-stage, kanker, stroke, dan demensia). Penyakitpenyakit ini memiliki perjalanan klinis dan prognosis yang tak dapat diprediksi, dan sistem perawatan saat ini belum teradaptasi dengan baik dengan trayektori penyakit atau kebutuhan klinis dari kelompok pasien ini. Secara kontras dengan pasien dewasa yang berusia muda, pasien lanjut usia seringkali menderita gejalagejala dan gangguan kognitif yang tidak disadari dan tidak ditangani, serta prevalensi dependensi fungsional yang tinggi dan beban bagi keluarga dekat yang memberikan perawatan. Jelas bahwa sistem pembayaran kita saat ini tidak siap untuk menyediakan perawatan primer dengan dukungan yang berkesinambungan bagi orang yang merawat pasien, serta pelayanan perawatan di rumah. Karena merawat pasien lanjut usia yang lemah biasanya termasuk juga tindakan-tindakan preventif, rehabilitasi untuk memperpanjang usia, dan paliatif dalam proporsi dan intensitas yang bervariasi berdasarkan kebutuhan dan pilihan individual pasien, model perawatan baru manapun harus responsif terhadap kisaran permintaan servis ini. Beberapa model perawatan “penanganan campuran” telah diusulkan untuk mengetahui kebutuhan pasien lanjut usia yang lemah. Model tersebut termasuk juga PACE Demonstration Program (50), sebuah program yang dikepalai Medicare dan Medicaid, serta model MediCaring (51,52), sebuah program yang menargetkan pasien dengan penyakit jantung dan paru tingkat
lanjut. namun program tersebut sampai saat ini hanya menargetkan sebuah persentase kecil dari jumlah pasien lanjut usia yang terus bertambah. Penelitian di masa datang harus ditargetkan untuk memahami perawatan paliatif pada pasien berusia lanjut, mengembangkan intervensi medis yang menunjukkan kebutuhan tersebut, dan mengembangkan model dan sistem perawatan yang akan memenuhi kebutuhan global dari pasien-pasien tersebut serta keluarganya.
View more...
Comments