1 Pengend Hayati PDF

August 10, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download 1 Pengend Hayati PDF...

Description

 

󰁐󰁲󰁯󰁦󰀮 󰁄󰁲󰀮 󰁉󰁲󰀮 󰁋󰁡󰁳󰁵󰁭󰁢󰁯󰁧󰁯 󰁕󰁮󰁴󰁵󰁮󰁧󰀬 󰁍󰀮󰁓󰁣󰀮 󰁕󰁮󰁩󰁶󰁥󰁲󰁳󰁩󰁴󰁡󰁳 󰁇󰁡󰁤󰁪󰁡 󰁍󰁡󰁤󰁡

PENGENDALIAN HAYATI Latar Belakang

Pengendalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemanfaatan dan  penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan  populasi oleh pengendali alami dan d an keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas parasitoid, parasito id,  predator dan patogen merupakan pengendali p engendali alami al ami utama hama yang bekerja bek erja secara sec ara "terkait kepadatan  populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya  populasi hama yang meningkat sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila musuh alami kita berikan kesempatan berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang lalu di daratan Cina,  pengendalian hayati ha yati yang pertama p ertama kali didokumentasikan ialah pada tahu tahun n 1762, ketika burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk memangsa hama belalang. Secara ilmiah keberhasilan  pengendalian hayati ha yati pertama yang tercatat adalah ad alah pengendalian hama kutu berbantal pada kapas Icerya kapas  Icerya  purchasi   di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan predator dari Australia yaitu  purchasi kumbang vedalia, Rodolia vedalia,  Rodolia cardinalis ca rdinalis pada  pada tahun 1888. Setelah keberhasilan tersebut kemudian ratusan  jenis hama telah berhasil dikendalikan dengan cara hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan memasukkan musuh alami terutama sebelum tahun 1950-an sewaktu pestisida  belum banyak digunakan oleh petani. Salah satu jenis hama adalah hama belalang pedang Sexava sp. yang menyerang kelapa yang dapat berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur  Leefmansia bicolor   di Sulawesi Utara. Juga hama ulat daun kubis ( Plutella xylostella) xylostella) di Jawa Barat berhasil dikendalikan oleh parasitoid  Diadegma sp. Introduksi parasitoid telur Chelonus Chelonus   sp. dari wilayah Bogor ke Flores untuk mengendalikan ngengat mayang kelapa ( Batrachedra   Batrachedra   spp.). Pembiakan massal parasitoid telur Trichogramma   spp. dan lalat Jatiroto ( Diatraeophaga striatalis Trichogramma striatalis)) sangat membantu mengendalikan serangan penggerek batang tebu pada tahun 1972. Selanjutnya pada 1975 telah diintoduksikan kumbang moncong  Neochetina eichhorniae  eichhorniae  dari Flores ke Bogor untuk pengendalian eceng gondok. Introduksi kumbang Curinus coreolius  coreolius  dari Hawai dilakukan untuk mengendalikan hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla lamtoro  Heteropsylla   sp. tahun 1986 .  Dari tahun 1950 sampai 1970an pengendalian hayati pamornya  berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang sangat dominan di seluruh dunia. Dengan munculnya konsepsi PHT pengendalian hayati kembali diharapkan menjadi tumpuan teknologi  pengendalian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi maupun ekonomi. Beberapa Pengertian

Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian tentang pengendalian hayati (biological (biological control ) dan pengendalian alami (natural (natural control ) yang seringkali dibicarakan  bersama. Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi1 

 

organisme dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut berada di  bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian. Pengendalian Alami merupakan proses  pengendalian yang berjalan b erjalan sendiri send iri tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem lainnya seperti makanan, dan cuaca. Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup. Varietas tahan hama, manipulasi genetik, dan  penggunaan serangga mandul dimasukkan sebagai bagian teknik pengendalian hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan pengertian pengendalian hayati yang pertama. AGENS PENGENDALIAN HAYATI

Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan patogen. 1.  Parasitoid Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid   dan parasit. Parasitisme adalah hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit, memperoleh keperluan zat-zat makanannya dari fisik tubuh yang lain, yaitu inang. Parasit hidup pada atau di dalam tubuh inang. Inang tidak menerima faedah apapun dari hubungan ini, meskipun biasanya tidak dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita pada manusia dan caplak pada binatang. Istilah parasit lebih sering digunakan dalam entomologi kesehatan. Serangga yang bersifat parasit yang pada akhirnya menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam definisi parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid yang lebih banyak digunakan dalam entomologi pertanian. Parasitoid   adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang lebih  besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit dapat melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat mencapai fase dewasa suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap. Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa mereka hidup bebas tidak terikat pada inangnya. Umumnya parasitoid akhirnya dapat membunuh inangnya meskipun ada inang yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit. Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid ) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai endoparasitoid ). Contoh ektoparasit adalah Campsomeris Campsomeris   sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp yang memarasit telur  penggerek batang tebu dan padi merupakan merupak an jenis endoparasit. Fase inang yang yan g diserang pada umumnya u mumnya 2 

 

adalah telur dan larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon  pada waktu yang tepat t epat untuk kemudian meletakk meletakkan an telur pada tubuh inang inan g bagi perkembangan generasi  berikutnya. Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya sampai fase dewasa pada satu inang. Parasitoid semacam ini disebut parasitoid soliter merupakan suatu spesies parasitoid yang  perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu  parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops Charops   sp. (famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus Tetrastichus   schoenobii  schoenobii.. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali. Banyak jenis lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah Braconid dan Chalcidoid yang merupakan parasitoid gregarius. Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera.  Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera  dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid adalah  Ichneumonidae, Braconidae Braconidae,, dan  beberapa famili yang termasuk Chalcidoidea Chalcidoidea.. Sedangkan dalam ordo Diptera famili Tachinidae Tachinidae   merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii  schoenobii  memiliki kemampuan memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris, penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi  putih.  Apanteles artonae  artonae  memarasit larva Chilo Chilo   sp. dan  Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang  Erionata thrax  thrax  dapat dikendalikan oleh parasitoid  Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae cukup bactrae-bactrae cukup efektif memparasit telur penggerek polong kedelai ( Etiella ( Etiella   spp.). Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati, parasitoid yang paling sering berhasil mengendalikan hama apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok agens  pengendalian hayati lainnya. Dari 4769 kasus pelepasan agens pengendalian hayati yang tercatat di dunia, hanya 1023 menggunakan predator, sebagian besar kasus adalah pelepasan serangga parasitoid. Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid adalah: a. Daya Daya kelangsungan hidup (" survival ") ") parasitoid tinggi.  b.Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk melengkapi melen gkapi daur hidupnya. c. Populasi Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah. d.Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap  perubahan populasi inangnya. inangn ya. Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau masalah yang  biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah: a.  Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah.  b.  Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan pencarian inang untuk  peletakan telur. c.  Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit.  Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan parasitoid sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan fenologi parasitoid di lapangan. Fase larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase hidup inang tertentu terutama telur dan larva. Kelanjutan hidup parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inangnya yang tepat. Bila sewaktu induk parasitoid akan meletakkan telurnya tetapi tidak tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut tidak akan dapat melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama. Agar pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil 3 

 

siklus hidup dan fenologi hama dan inang perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan untuk introduksi dan pelepasan parasitoid di lapangan perlu diketahui banyak hal kecuali fenologi inang dan  parasitoid juga tentang pengaruh berbagai faktor lain seperti cuaca dan tindakan manusia terhadap fenologi dan perkembangan populasi parasitoid dan inangnya. Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami yang berupa parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang parasitoid lain sebagai inangnya disebut hiperparasitasi   sedangkan parasitoid tersebut disebut hiperparasitoid .  Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama disebut parasitoid primer maka kelompok hiperparasitoid disebut parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier.  Brachymeria  sp yang menyerang  Brachymeria sp kepompong Charops Charops   sp. merupakan salah satu contoh hiperparasitasi. Adanya parasitoid sekunder  perlu diperhitungkan dalam setiap usaha pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau  parasitoid. Perlu dicatat di sini bahwa b ahwa tidak semua parasitoid primer bergu berguna na untuk pengendalian h hayati ayati antara lain parasitoid primer yang yang menyerang serangga herbivora digunakan pengendalian hayati gulma. 2. Predator  Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa  binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut: a.  Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag.  b.  Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya. Namun ada  beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang mampu membawa mangsa secar berkelompok. c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus memiliki memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan predator mampu membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah (Mantidae), mata besar (capung). d. Untuk memenuhi memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan memerlukan hanya satu inang umumnya fase  pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa man gsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa. e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator predator betina dan  jantan dan juga fase pradewasa semuanya semu anya dapat mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid mempunyai sifat sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap perubahan  populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator yang polifag. Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses m mortalitas. ortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan mangsa tidak merupakan merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan  pemanfaatan predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi parasitoid dan inang. 4 

 

Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam  pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah ad alah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan  Hemiptera.   Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undur-undur (Neuroptera: Chrysopidae), kepik  buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang (Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air (Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae). Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut. PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR

Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut  berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi dalam pelaksanaan pengendalian hayati sering digunakan secara bersama. 1.  Introduksi Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah masalah bagi petani karena populasinya ttelah elah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat. Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia,  Rodolia cardinalis  cardinalis  dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai  Icerya  purchasi yang menyerang perkebunan jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu  jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan  pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial maupun parsial.   Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara lain introduksi  parasitoid Pediobius  parasitoid  Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke Indonesia yang ditujukan untuk  pengendalian hama kumbang kelapa  Promecotheca reichei.  reichei.  Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa  parasitasi dapat mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi hama kelapa  Brontispa longissima. Parasitoid longissima.  Parasitoid telur Leefmansia telur Leefmansia bicolor pernah bicolor  pernah dimasukkan dari da ri pulau Ambon ke pulau Talaud,  juga parasitoid Chelonus Chelonus sp  sp dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra kelapa  Batrachedra (Kalshoven,  (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 19861990 yaitu introduksi predator Curinus coreolius  coreolius  dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat 5 

 

lamtoro Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan lamtoro Heteropsylla tetapi untuk menjelaskan teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan susunan ekosistem pertanian. Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam terutama tentang sifat penyebaran, sifat  biologi dan ekologi spesies sp esies hama dan musuh alami yang akan diintroduksikan, dan d an keadaan k eadaan ekosistem setempat. Sampai saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode coba-coba  atau metode "trial "trial and error ". ".  Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan. Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan urutan sbb: a.  Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal spesies eksotik yang akan diimpor  b.  Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia c.  Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri sesuai peraturan dan  prosedur karantina yang berlaku di Indonesia d.  Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat baik fasilitas maupun SDMnya e.  Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens pengendalian hayati f.  Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar yang dibuat oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode neraca kehidupan) Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah: a.  Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain,  b.  Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang, c.  Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun  petani, d.  Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin, e.  Dari perhitungan manfaat dan biaya ( Benefit Cost ) sangat menguntungkan dibandingkan  penggunaan pestisida 2.  Augmentasi Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas pengendalian hayati yang  bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau ata u pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan. Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi. Dengan teknik augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu (satu musim atau kurang) dengan cepat dapat ditekan 6 

 

sehingga tidak merugikan. Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan dalam jangka panjang mampu menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap berada di bawah aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus dilakukan secara periodik. Perbedaan lain  pelepasan augmentatik menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan  pelepasan introduksi menggunakan musuh alami ala mi yang dimasukkan dari luar ekosistem. Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang dilepaskan. Tiga cara pelepasan  periodik adalah: a.  Pelepasan Inokulatif Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya. Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara teratur peranan dan kondisi musuh alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Secara periodik populasi musuh alami berkurang karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil kerja musuh alami yang dilepas tetapi oleh keturunannya. b.  Pelepasan Suplemen Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling diketahui populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat mengendalikan populasi hama. c.  Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal Apabila pada kedua cara pelepasan sebelumnya diharapkan keturunan dari individu musuh alami yang dilepaskan yang terus berfungsi memperkuat berfungsinya kembali musuh alami sebagai  pengendali alami, maka pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut  penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat  bekerja secepat insektisida kimiawi dalam penurunan populasi hama. Karena jumlah musuh alami yang dilepaskan sangat banyak diperlukan teknik pembiakan massal musuh alami yang cepat, dan ekonomik. Umumnya inang bagi perbanyakan massal musuh alami bukan serangga inang hama tetapi serangga inang alternatif yang lebih mudah diperbanyak di ruang perbanyakan. Contoh untuk memperbanyak parasitoid telur Trichogramma sp. di laboratorium digunakan inang pengganti yaitu Sitotroga cerealella, hama yang menyerang gabah. Sukses yang dicapai oleh teknik inokulatif adalah dilepaskannya secara massal parasitoid telur Trichogramma sp. untuk mengendalikan berbagai hama penting seperti penggerek pucuk tebu dan  penggerek batang tebu, hama penggerek buah kapas, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  pelepasan 150.000 telur Trichogramma sp. per hektar dapat menurunkan populasi dan kerusakan  penggerek pucuk p ucuk tebu, sedangkan untuk pengendalian p engendalian penggerek batang tebu teb u diperlukan 250.000 telur  per hektar. Teknik pengendalian hayati lainnya agar teknik augmentasi dengan pelepasan periodik ini  berhasil diperlukan informasi yang lengkap tentang biologi dan ekologi hama dan musuh alaminya terutama dalam menentukan tempat, waktu, frekuensi dan cara pelepasan musuh alami.

3.  Konservasi Musuh Alami Dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama pemanfaatan predator dan parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering dilakukan dan dianjurkan. Teknik konservasi 7 

 

 bertujuan menghindarkan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami. Banyak tindakan agronomi yang secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan populasi musuh alami terutama penggunaan pestisida kimia. Pengendalian hama tanpa menggunakan pestisida atau kalau digunakan secara selektif berarti usaha konservasi musuh alami sudah dilaksanakan. Dari hasil  penelitian Settle et al . (1996) dapat diketahui bahwa aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam  padi tidak hanya membunuh membu nuh musuh alami hama-hama padi, tetapi dapat membunuh serangga-serangga serangga-se rangga akuatik detrivora dan pemakan plankton yang hidup di air sawah. Keberadaan serangga-serangga air tersebut sangat bermanfaat karena menjaga populasi wereng coklat padi pada posisi yang tidak merugikan petani. Menghindarkan aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi merupakan salah satu bentuk konservasi musuh alami yang efektif untuk pengendalian hama-hama padi di Indonesia. Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain berupa: 1.   Menekan pemakaian pestisida. pestisida . Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada hama sehingga  pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan populasi musuh alami. Parasitoid lebih  peka terhadap pestisida daripada predator. 2.   Memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam rag am.. Sistem tanam yang beraneka ragam akan mempengaruhi lingkungan mikro di suatu lahan. Lingkungan akan lebih terlindung dari pengaruh buruk cuaca seperti angin dan hujan, kelembaban lebih tinggi, dan tempat akan menjadi lebih teduh. Dengan demikian jumlah serangga bermanfaat seperti musuh alami akan lebih beraneka ragam dibandingkan pada sistem monokultur. 3.   Menanam dan melestarikan tanaman berbunga berb unga.. Tanaman berbunga yang menghasilkan sari madu dan serbuk sari dapat menaikkan kemampuan musuh alami untuk berkembang biak sehingga lebih disukai oleh parasitoid dan predator. 4.   Melestarikan tanaman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif  predator . Parasitoid atau predator akan sulit mempertahankan hidup setelah panen karena inang utama tidak dijumpai lagi. Pelestarian tanaman liar dapat mendukung kehidupan musuh alami sebagai inang alternatif sampai inang utama kembali tersedia sehingga musuh alami tetap mampu menurunkan  populasi hama. Adanya tanaman liar juga harus diwaspadai apabila berpotensi menjadi tempat hidup hama di luar musim tanaman budidaya. Sebelumnya Stehr (1982) mengemukakan beberapa car caraa yang yang dapat dilakukan dilakukan untuk memodifikasi ekosistem untuk konservasi musuh alami dengan rincian sebagai berikut: 1.  Perlindungan dari penggunaan pestisida kimiawi. 2.  Pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida. 3.  Perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif musuh alami (pupa atau fase diapause). 4.  Menghindari praktek budidaya tanaman yang merugikan kehidupan musuh alami. 5.  Penjagaan keanekaragaman komunitas setempat dan inang yang diperlukan. 6.  Penyediaan inang alternatif. 7.  Penyediaan makanan alami (nektar, pollen, embun madu) 8.  Penyediaan suplemen makanan tambahan. 9.  Pembuatan tempat berlindung musuh alami 10. Pengurangan populasi predator yang tidak diinginkan. 11. Pengendalian semut pemakan madu. 12. Pengaturan suhu yang mendukung perkembangan musuh alami. 13. Menghindarkan debu-debu yang mengganggu efektivitas musuh alami. 8 

 

PERANAN PENGENDALIAN HAYATI DALAM PHT

Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memegang peranan yang menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah aras ekonomik. Dibandingkan dengan pengendalian yang lain terutama pestisida kimia,  pengendalian hayati memiliki tigateknik-teknik keuntungan utama yaitu permanen,   aman, dan  ekonomi. Arti permanen di sini karena apabila pengendalian hayati berhasil, musuh alami telah menjadi lebih mapan di ekosistem dan selanjutnya secara alami musuh alami akan mampu menjaga populasi hama dalam keadaan yang seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan sasaran. Karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun pernah dilaporkan kasus terjadinya ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh alami antara lain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut sangat langka. Pengendalian hayati juga relatif ekonomis karena begitu usaha tersebut berhasil petani tidak memerlukan lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian hama, petani kemudian hanya mengupayakan agar menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami. Kesulitan dan permasalahan utama dalam penerapan dan pengembangan pengendalian hayati adalah modal investasi yang besar harus dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi,  penelitian, pengujian danpermulaan evaluasi terutama yang yang menyangkut berbagai aspek dasar baik untuk hama, musuh alami maupun tanaman. Aspek dasar dapat meliputi taksonomi, ekologi, biologi, siklus hidup, dinamika populasi, genetika, fisiologi, dll. Identifikasi yang tepat baik untuk jenis hama maupun musuh alaminya merupakan langkah permulaan yang sangat penting. Apabila identifikasi kurang benar kita akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari sifat-sifat kehidupan musuh alami dan langkah-langkah kegiatan selanjutnya. Kecuali diperlukan modal, fasilitas yang lengkap juga diperlukan sumber daya manusia terutama para peneliti yang berkualitas dan berpendidikan khusus dan berdedikasi tinggi sesuai dengan yang diperlukan untuk pengembangan teknologi pengendalian hayati. Sampai saat ini tenaga-tenaga ahli dengan kualifikasi demikian masih sangat jarang tersedia di Indonesia. Meskipun ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa untuk pengendalian hayati yang penting adalah adanya tenaga peneliti yang  berpengalaman dan berdedikasi be rdedikasi tinggi serta cukup cu kup memiliki rasa seni dan intuisi, namun bagaimanapun untuk keberhasilan pengendalian hayati dalam kerangka PHT diperlukan diperlukan juga dasar pengetahuan dan teknologi yang mantap. JENIS-JENIS JASAD RENIK PATOGENIK

Serangga seperti juga binatang lainnya dalam hidupnya diserang oleh banyak patogen atau  penyakit yang berupa virus, virus , bakteri, protozoa, jamur, rikettsia ri kettsia dan nematoda. Beberapa penyakit pen yakit dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi serangga, tetapi ada  banyak penyakit yang pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi serangga. Serangga yang terkena  penyakit menjadi terhambat pertumbuhan dan pembiakannya. Pada keadaan serangan penyakit yang  parah serangga terserang akhirnya mati. Saat ini dikenal lebih dari 2000 jenis patogen yang menginfeksi serangga dan jumlah itu mungkin baru sebagian kecil dari jenis patogen serangga di muka  bumi. 9 

 

Oleh karena kemampuannya membunuh serangga hama sejak lama patogen digunakan sebagai agens pengendalian hayati (biological (biological control agents). agents). Penggunaan patogen untuk pengendalian hama tercatat pada abad ke-18 yaitu pengendalian hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus  punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Berikut secara singkat diuraikan beberapa kelompok  jasad renik yang saat ini sudah banyak dan sering digunakan sebagai agens pen pengendalian gendalian hayati.

1.  Virus Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasikan dari serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus artropoda sebagian besar masuk dalam genera  Nucleopolyhedrovirus,, Granulovirus  Nucleopolyhedrovirus Granulovirus,,  Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus  Cypovirus  dan  Nodavirus  Nodavirus.. Dari keenam genera ini genus NPV ( Nucleopolyhedrosis  Nucleopolyhedrosis virus) virus) merupakan genus terpenting karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus ini. Selain NPV ada kelompok virus lainnya yaitu GV (Granulovirus (Granulovirus), ), CPV (Cytoplasmic (Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) Virus) dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya.  NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo Lepidoptera (86%) (8 6%) dan d an sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu virus juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera. Berbagai virus NPV mempunyai prospek untuk digunakan dalam pengendalian hayati adalah NPV yang diisolasi dari genus-genus Spodoptera, Helicoverpa, Trichoplusia, Plusia, Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma, Agrotis, Chilo, dll. Banyak genus serangga tersebut yang merupakan hama penting di Indonesia. Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu beracun di alam. Virus NPV dicirikan dengan adanya inclusion bodies yang disebut polihedra atau PIB (“ polihedric inclusion body”). body”). PIB dibentuk oleh protein dan mengandung beberapa nukleokapsid atau partikel-partikel virus atau virion. Virion NPV berbentuk  batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang terutama di nuklei sel-sel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan epithel saluran trachea. Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah pada saluran pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah mengandung polihedra. Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian tubuh yang terluka mungkin oleh serangan musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan dari induk yang telah terinfeksi  pada keturunannya melalui telur. Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian memasuki sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan. Proses perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4 hari sampai 3 minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu. Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan yang antara lain berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya terhambat, kulit berganti warna menjadi semakin pucat dan memutih seperti susu, dan larva bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang mati karena virus posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian tanaman. Penyebaran virus ini melalui berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain cuaca. Virus telah berada di tanaman dan telah dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat  juga menjadi agens penyebaran virus. 10 

 

Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam tahap pengkajian laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat terbatas. Kendala utama dalam perbanyakan virus diantaranya belum berkembangnya teknik perbanyakan dan penggunaan pakan buatan. Teknik rekayasa genetika diharapkan mampu memacu perkembangan dan perluasan aplikasi virus sebagai agens  pengendalian hayati. 2. Jamur Entomopatogenik

Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur entomopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies  jamur entomopatogenik  entomopatogenik   dari sekitar 100 genera jamur. Tabel 1 menunjukkan berbagai genus jamur penting yang dapat menjadi patogen serangga. Tabel 1. Kelompok Jamur Patogen Patogen Serangga yang Umum Menurut Sistematikanya Subdivisi Kelas Ordo Genus Contoh Inang Mastigomycotina Chytridiomycetes Blastocladiales Coelomomyces Lalat hitam Zygomycotina Zygomycetes Entomophthorales  Enthomophthora Nilaparvata lugens Ascomycotina Pyrenomycetes Spaeriales Cordyceps Setora nitens Plectomycetes Ascosphaerales  Ascophaera  Aphis sp sp..  Nilaparvata lugens Deuteromycotina Hypomycetes Moniliales  Beauveria Oryctes rhinoceros  Metarhizium  Helicoverpa zea, S.  Nomuraea litura  Paecilomyces  Diaphorina citri Verticillium  Aleurodicus destructor  Hirsutella  Plutella xylostela Sorosporella Berbagai ulat grayak Spicaria Helopeltis antonii Sumber: Tanada dan Kaya, 1993 Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur memperbanyak dirinya melalui pembentukan hife dalam  jaringan epikutikula, epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan lainnya. Pada akhirnya semua  jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu ada beberapa jenis jamur yang mempengaruhi  pigmentasi serangga dan menghasilkan toksin yang sangat mempengaruhi fisiologi serangga. Karena  pengaruh infeksi jamur terhadap pembentukan pigmen, larva atau instar serangga yang terserang jamur j amur memperlihatkan perubahan warna tertentu seperti warna merah muda dan merah. Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konidia tersebut muncul keluar dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan, air, dll. Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin dan kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada  populasi inang. Saat ini jamur  Metarhizium anisopliae  anisopliae  telah digunakan secara luas di Indonesia untuk  pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang rhinoceros yang menyerang kelapa, wereng coklat ,  , ulat jengkal ( Ectropis  Ectropis bhurmitra). bhurmitra ). Jamur ini juga sudah dikembangkan untuk pengendalian hama wereng daun, penggerek  batang padi, hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur  Beauveria bassiana  bassiana  telah 11 

 

dicoba untuk pengendalian hama wereng padi coklat dan hama penggerek buah kopi ( Hypothenemus hampei). hampei ). Mortalitas Helopeltis Mortalitas  Helopeltis sp.  sp. dapat mencapai 98% setelah disemprot dengan B. dengan  B. bassiana, b assiana, bahkan  bahkan hama penting pada kelapa sawit,  Darna catenata  catenata  mampu dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian dengan menggunakan jamur  Hirsutella citriformis  citriformis  dapat menurunkan populasi  Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan populasi mencapai 82% dengan jamur  Paecilomyces  fumosoroseus   terhadap jenis hama yang sama. Hama wereng coklat dapat dikendalikan dengan  fumosoroseus menggunakan jamur  Enthomopthora  Enthomopthora   sp. Ulat api Setora nitens  nitens  mampu ditekan perkembangannya dengan Cordyceps purpurea. purpurea.  Helopeltis sp. dapat dikendalikan dengan jamur Spicaria Spicaria   sp. Jamur Verticillium mampu menekan populasi Scotinophora coarctata, coarctata, Aphis, dan kutu putih  Aleurodicus destructor . Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk mengendalikan hama dan  penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan membuktikan pestisida dapat menghambat perkecambahan konidia primer dan  pengurangan pelepasan konidia konid ia sekunder berikutnya. 3. Bakteri Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri pembentuk spora. Kelompok pertama mempunyai peranan sebagai faktor mortalitas alami yang penting, tetapi karena sifatnya yang kosmopolitan sukar digunakan sebagai agens  pengendalian hayati. Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk spora yang pada saat ini telah  banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Dua jenis bakteri patogen yang penting  Bacillus  popiliae   dan  Bacillus thuringiensis. Bacillus popiliae   popiliae popiliae  menyebabkan gejala seperti penyakit susu yang menyerang kumbang Jepang  Popiliae japonica  japonica  dan kumbang skarabid lainnya.  Bacillus thuringiensis  thuringiensis  sangat efektif digunakan untuk pengendalian larva ordo Lepidoptera, dan larva nyamuk.  B.  fibourgenesis   dapat dipakai pada hama uret  Melolontha melolontha. Beberapa famili bakteri yang  fibourgenesis  berpotensi sebagai sumber alternatif baru patogen serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya Pseudomonadaceae, Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae, Bacillaceae (Tabel 2).

 No 1

2

3 4 5

Tabel 2. Beberapa genera bakteri patogen serangga Macam bakteri Serangga peka Pseudomonadaceae Belalang  P. aeruginosa  P. septica  Enterobacteriaceae  E. aerogenes  P. vulgaris  P. mirabilis  Lactobacilliaceae  Diplococcus  spp.  Diplococcus Micrococaceae  Micrococcus spp. Bacillaceae  Bacillus popilliae  B. cereus  cereus 

Lepidoptera Belalang

Kecoa Lepidoptera Uret Lepidoptera

12 

 

Studi tentang Bacilus tentang  Bacilus thuringiensis  thuringiensis  ( Bt   Bt ) saat ini sangat menarik dan berkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang berbeda sifatnya. Dikenal lebih dari 700 varietas atau strain  Bt , dan penemuan varietas atau strain  Bt   baru terus berlanjut. Strain  Bt   diklasifikasikan menjadi 29 subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (δ-endotoksin) gen-gen  protein berhasil diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif sele ktif terhadap serangga sasaran s asaran dan ramah lingkungan. Karena sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk memformulasikannya.  Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang mengandung protein  beracun atau endotoksin. Bila spora spo ra dan kristal bakteri dimakan oleh serangga yang peka pe ka maka terjadi  paralisis yang mengakibatkan kematian inang. in ang. Kristal bakteri akan melarut dalam saluran pencernaan, dalam jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang dapat mematikan serangga. Dari kristal  Bt  paling sedikit telah diketahui adanya 4 jenis racun atau toksin. Bila larva muda atau larva tua terkena  Bt   dapat kita lihat adanya reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu dalam beberapa  jam sampai 4 5 hari setelah infeksi pertama tergantung pada serotipe atau strain  Bt   dan kepekaan serangga inang. Meskipun Bt  Meskipun  Bt  telah   telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang tetapi masih memerlukan  banyak kegiatan pengembangan pengemban gan berhubung berhubun g karena banyak strain baru ditemukan dan adanya sifat-sifat serangga yang khas baik ketahanannya terhadap strain tertentu maupun kepekaannya (Tabel 3). Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan  Bt   dalam menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari formulasi pestisida ini adalah keterbatasan dalam mencapai sasaran. Insektisida hanya aktif apabila termakan oleh hama sasaran. Bahan aktifnya tidak mampu menembus kutikula serangga maupun jaringan tanaman. Dengan demikian insektisida ini  belum mampu mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti penggerek batang  padi, penggerek buah kapas.

 No 1

2

Tabel 3. Beberapa produk Bt yang sudah dipasarkan Strain Merk dagang Serangga sasaran Kurstaki Dipel WP, Thuricide HP, Lepidoptera Bactospeine WP, Condor F Aizawai Bacillin WP, Bite WP, Lepidoptera Turex WP, Florbac FC

Munculnya masalah resistensi hama terhadap penggunaan  B. thuringiensis  thuringiensis  belum banyak dilaporkan.  P. xylostella  xylostella  strain Lembang dilaporkan telah resisten terhadap insektisida Dipel WP, Thuricide WP dan Thurex WP, namun P. namun  P. xylostella strain xylostella strain Garut masih rentan terhadap B. terhadap  B. thuringiensis. thuringiensis. Seleksi ke arah timbulnya resistensi kemungkinan dapat terjadi apabila pemanfaatan teknologi ini tidak dilakukan secara tepat. 4. Protozoa dan Rikettsia Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia . Telah dapat dikenal lebih dari 250 spesies mikrosporodia yang menyerang serangga. Tiga jenis mikrosporodia antara lain  Nosema locustae, N. acridophagus, dan dan   N. cuneatum  cuneatum  telah dijadikan sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama belalang khususnya di Amerika. Jenis Coccidia mampu Coccidia  mampu menginfeksi hama gudang Tribolium confusum hingga confusum hingga 68%. Kelompok protozoa ini ternyata sangat potensial untuk mengendalikan hama Sexava Sexava sp.  sp. Leptomonas  Leptomonas pyrhocoris dari pyrhocoris dari golongan Mastigophora dapat menurunkan populasi kepinding,  Malpighamoeba locusta  locusta  dari jenis Amoeba 13 

 

 berpotensi terhadap belalang sedangkan  Nosema bombyces yang bombyces yang pertama kali diisolasi dari ulat sutera ( Bombyx  Bombyx mori) mori) berpotensi untuk mengendalikan beberapa hama penting seperti Spodoptera litura. litura. Penyebaran mikrosporodia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang terinfeksi ke keturunannya. Pengaruh mikrosporodia terhadap kehidupan inangnya relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas yang secara alami dapat menjadi faktor mortalitas yang  penting bagi serangga inangnya. Jenis rikettsia banyak menyerang kumbang. Kematian akibat rikettsia baru terjadi pada 1-4  bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian akibat agens hayati yang lain seperti  jamur, bakteri dan nematoda. Walaupun demikian patogen jenis ini memiliki me miliki peluang yang yan g besar untuk un tuk dijadikan agens pengendalian hayati khususnya di Indonesia. Rikettsia mampu menyebabkan kematian  pada Popillia  pada  Popillia japonica, japonica, Melolontha melolontha dan melolontha dan Oryctes rhinoceros. rhinoceros. 5. Nematoda Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak spesies nematoda yang bersifat  parasitik terhadap serangga baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga, Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan tersebar (terdiri atas 50 genera dan 200 spesies). Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikula dan kemudian masuk ke dalam hemocoel. Setelah berganti kulit  beberapa kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesudah nematoda meninggalkan tubuh inangnya. Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis adalah Heterorhabditis spp  spp dan Steinernema Steinernema spp.  spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri. Inang yang terserang nematoda akan mengalami septisemia dan akhirnya mati. Nematoda masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami serangga seperti mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya nematoda menuju ke saluran pencernaan kemudian melepaskan bakteri simbion yang bersifat racun. Dalam beberapa jam bakteri tersebut melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan meracuni tubuh serangga. Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan  jika terserang Steinernema Steinernema spp.  spp. dan hitam jika terserang Heterorhabditis terserang Heterorhabditis spp.  spp.  Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase reproduktif yaitu memperbanyak keturunan apabila populasi nematoda dalam tubuh inang rendah sedangkan apabila populasi tinggi akan memasuki fase infektif. Nematoda stadium ketiga atau sering disebut  juvenil infektif  akan   akan keluar dari tubuh serangga dan berusaha untuk mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan hidup lama sampai memperoleh inang kembali dan fase ini merupakan satu-satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang. Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini adalah kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat, memiliki kisaran inang yang luas diantaranya Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera, tidak menyebabkan resistensi hama, tidak berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya bagi mamalia dan vertebrata serta kompatibel dengan pengendalian lain. Jenis Steinernema Steinernema   spp. telah terbukti mampu mengendalikan lebih dari 100 spesies serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera. Steinernema carpocapsae dapat carpocapsae dapat mengendalikan hama  penggerek (Schirpophaga ( Schirpophaga sp,  sp, Chilo Chilo sp.),  sp.), Helicoverpa  Helicoverpa armigera hingga armigera  hingga 65%. Pada pengujian yang lain, Steinernema   spp. mampu menyebabkan kematian Spodoptera exigua  Steinernema exigua  sampai 98%, Spodoptera litura  litura  99% bahkan 100% untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis.  binotalis.  S. carpocapsae  carpocapsae  juga telah terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas pada Cylas formicarius.  formicarius. 

14 

 

STRATEGI PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PATOGEN HAMA

Patogen serangga dapat digunakan dalam PHT dengan beberapa strategi atau cara yaitu: 1.  Memanfaatkan Secara Maksimal Proses Pengendalian Alami oleh Patogen Hama Ada banyak jenis patogen seperti virus dan jamur yang mampu menekan populasi hama secara alami sehingga populasi tetap berada di bawah aras ekonomi. Kita harus menjaga ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen dapat melaksanakan fungsinya secara "density "density dependent ". ". Untuk itu keadaan dan perkembangan patogen hama yang penting perlu terus dipantau dan menjaga tindakan-tindakan yang mengurangi berfungsinya berfungsinya patogen hama dapat dibatasi sekecil mungkin. Salah satu tindakan tindakan yang merugikan adalah penggunaan pestisida. Oleh karena itu pestisida sebaiknya hanya digunakan apabila  berbagai agens pengendalian alami (termasuk patogen hama) tidak mampu menghentikan laju  peningkatan populasi hama yang berhasil melampaui Ambang Pengendalian. P engendalian. 2. Introduksi dan Aplikasi Patogen Hama sebagai Faktor Mortalias Tetap Prinsip penggunaan patogen hama di sini sama dengan introduksi serangga parasitoid atau  predator untuk menekan populasi hama untuk jangka waktu yang panjang. Caranya adalah dengan memasukkan dan menyebarkan patogen pada suatu ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen tersebut mantap di ekosistem yang baru ini sehingga kemudian menjadi faktor mortalitas tetap bagi spesies hama yang dikendalikan. Cara ini yang paling berhasil dilakukan untuk mengendalikan hama yang nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Ekonomi cukup tinggi karena untuk pengembangan  permulaan bagi patogen diperlukan kepadatan populasi po pulasi inang yang cukup. 3. Aplikasi Patogen Hama sebagai Insektisida Mikrobia Sasaran aplikasi patogen hama dengan cara ini adalah guna menekan populasi hama untuk sementara waktu. Oleh karena itu aplikasi patogen perlu dilakukan beberapa kali sama prinsipnya dengan penggunaan insektisida sintetik organik. Saat ini beberapa jenis patogen seperti NPV dan  Bacillus thuringiensis telah thuringiensis telah dipasarkan dengan nama dagang tertentu. Berbeda dengan insektisida sintetik organik maka insektisida mikrobia mempunyai beberapa keuntungan yaitu bersepektrum sempit atau khas inang dan aman bagi lingkungan hidup serta tidak membahayakan binatang bukan sasaran. Kecuali itu apabila keadaan lingkungan memungkinkan  patogen hama yang diaplikasikan pada ekosistem e kosistem mungkin dapat menjadi pengendali alami hama yang yan g  permanen di ekosistem tersebut. PEMBIAKAN MASSAL AGENS PENGENDALIAN HAYATI

Pengendalian dengan agens hayati dalam skala luas memerlukan jumlah agens hayati yang relatif mencukupi sehingga perlu usaha pembiakan massal. Pembiakan massal dilakukan untuk mengembangbiakkan agens hayati dengan menggunakan media alami maupun media buatan dalam habitat atau lingkungan yang dibentuk sesuai lingkungan aslinya sehingga diperoleh sejumlah tertentu sesuai kebutuhan. Pada saat ini usaha pembiakan massal agens hayati telah banyak dilatihkan dan dilakukan di Indonesia baik oleh laboratorium dinas maupun oleh para kelompok petani terutama yang telah mengikuti SLPHT. Namun dalam pembiakan massal perlu adanya tahap-tahap khusus yang harus diperhatikan dan dilakukan sehingga nanti akan diperoleh hasil yang memuaskan. Tahapan atau kaidahkaidah pembiakkan tersebut berfungsi sebagai pedoman utama dalam melaksanakan usaha pembiakan. Ada 10 tahapan pembiakan massal agens hayati atau kontrol kualitas pengembangbiakkan agens  pengendalian hayati ha yati yang diterapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di Propinsi DIY sebagai berikut: 15 

 

1.  Eksplorasi dan Koleksi Eksplorasi bertujuan mencari sumber genetik baru yang berpotensi sebagai agens  pengendalian hayati. Eksplorasi dilakukan pada wilayah luas yang diperkirakan terdapat sumber genetik baru. Serangga yang ditemukan terserang patogen dikoleksi dan selanjutnya dimanfaatkan untuk tahapan selanjutnya. 2.  Pemurnian

Pemurnian dilakukan untuk pemilihan media yang cocok dan memperoleh stok spora. Pemurnian merupakan tahapan yang sangat penting untuk memperoleh stok spora sesuai yang diharapkan. Dalam pemurnian ini kontaminasi sering terjadi akibat sterilisasi alat dan ruangan yang kurang sempurna. 3.  Postulat Koch Pengujian akan memperkuat dugaan bahwa agens hayati yang ditemukan benar-benar  bersifat patogenik terhadap serangga. s erangga. Pengujian Pen gujian dilakukan pada serangga s erangga yang sama dan dilakukan di laboratorium. 4.  Perbanyakan Spora Perbanyakan spora merupakan usaha pemilihan substrat pengganti yang cocok untuk  pengembangbiakan selanjutnya. Spora  B. bassiana  bassiana  yang berasal dari walang sangit ( Leptocorisa acuta)) mati dicoba diperbanyak pada media nasi, jagung ataupun dedak. Media yang menghasilkan acuta spora paling tinggi dipilih sebagai media. 5.  Sporulasi Media yang paling cocok dan menjadi pilihan adalah media yang memberikan efek sporulasi tinggi, murah dan mudah diperoleh. 6.  Viabilitas Viabilitas merupakan kemampuan atau daya kecambah spora agens hayati. Agens hayati dinilai baik apabila viabilitasnya 95%. 7.  Uji patogenisitas patogenisitas Pengujian patogenisitas yang bertujuan mengetahui konsentrasi yang tepat dan mampu membunuh serangga sasaran biasanya dilakukan di laboratorium ataupun  green house. house. Pengujian tingkat konsentrasi tersebut akan menghasilkan konsentrasi efektif yang nantinya akan menjadi  pedoman rekomendasi di lapangan. 8.  Uji efektivitas efektivitas Konsentrasi efektif yang diperoleh dari uji patogenisitas digunakan untuk uji efektifitas. Pengujian ini bertujuan mencari stadia serangga yang rentan terhadap agens hayati pada konsentrasi tertentu. 9.  Uji virulensi Agens pengendalian hayati yang sudah mengalami tahap-tahap uji tersebut sudah dipastikan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Uji virulensi dilakukan untuk mengetahui agens hayati tersebut virulen atau tidak baik dalam kondisi baru maupun telah disimpan dalam media dan jangka waktu tertentu. 10. Evaluasi Evaluasi merupakan salah satu cara penting untuk menilai keberhasilan pelepasan agens  pengendalian hayati. Evaluasi tehadap hasil yang diperoleh dilakukan segera setelah aplikasi. Dalam evaluasi tersebut dilakukan juga peremajaan agens hayati yang sudah lama disimpan.

16 

 

CARA PENGGUNAAN PATOGEN SERANGGA DI LAPANGAN

Mengingat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh patogen serangga maka dalam  pemanfaatan patogen sebagai agens pengendalian hayati perlu diperhatikan beberapa faktor penting yang mempengaruhi tingkat keefektifan patogen terhadap serangga sasaran, antara lain: 1.  Dosis. Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam peningkatan keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan dan ruang antar patogen sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga mampu menurunkan daya bunuh terhadap serangga sasaran. 2.  Waktu aplikasi Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak terkena cahaya matahari secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan patogen tidak aktif bahkan dapat membunuh patogen dalam waktu yang relatif cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan pagi atau sore hari. Kelembaban tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen. 3.  Penyelimutan Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian tanaman maupun

serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen dengan serangga sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang mengkonsumsi patogen dengan cepat diharapkan mengalami kematian secara cepat juga. 4.  Derajat kemasaman, pH Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen. Pelarut dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal (pH 7). Kondisi basa menyebabkan delta endotoksin  pada Bt   pada  Bt   akan rusak dan efektifitasnya menurun. 5.  Anti mikrobiosis Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang dapat mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh tanaman tembakau dapat menghambat  pertumbuhan  B. thuringiensis. thuringiensis. Patogen tersebut juga terhambat pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan terpenoid pada tanaman kapas. Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat menghambat pembentukan koloni dan pertumbuhan jamur patogen  B. bassiana. bassiana. Asam klorogenik  pada tanaman tomat dapat mengurangi efektifitas NPV dari Helicoverpa dari Helicoverpa zea. 6.  Hama sasaran Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama sasaran dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan, ketidakcocokan pakan, kepadatan yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu sebelum aplikasi patogen di lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran. 7.  Kompatibilitas Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat dipadukan dengan agens  pengendalian yang lain sehingga daya da ya bunuhnya lebih efektif dan hasilnya akan lebih memuaskan memuaskan.. 8.  Ketahanan inang Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan dengan bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan.

17 

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF