1 Makalah Morbus Hansen
July 11, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download 1 Makalah Morbus Hansen...
Description
MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II “
”
MORBIS HANSEN
Disusun Oleh Kelompok 3 : Adha Falahul Lail
(170103033)
Chintya Dewi Nurul K (170103015)
Eka Yuliyana
(170103025)
Dinda Puput Oktavia
Imam Fauzan Arifin
(170103038)
Fiskalisa Zulfa Zhafira (170103033)
M. Nur Rozak
(170103054)
Leila Dara Rosyida
(170103046)
Baety Rumandani
(170103065)
Putri Lutfiatul Ulum
(170103070)
Refianti Putri Kusuma (170103073)
Suratih Nusantara
(170103088)
Vadilla Rachma Rachma Zein
Wiwit Arif Hidayat
(170103098)
(170103094)
(170103022)
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil ‘Alami, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas segala karunia nikmatNya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik baiknya. Makalah Makal ah yang berjudul “Makalah Keperawatan Medikal Bedah II Morbis Hansen” Hansen” disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Makalah ini berisi tentang penyakit Morbis Hansen atau disebut juga dengan Kusta. Dalam penyusunannya melibatkan berbagai sumber, baik dari jurnal, dari buku panduan pembelajaran Keperawatan Medikal Bedah, dan dari masukan teman-teman saya. Oleh sebab itu saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusinya dalam membantu penyusunan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Besar harapan saya makalah ini dapat menjadi sarana membantu masyarakat dalam memahami penyakit Morbis Hansen dan mengantisipasi jika terkena penyakit ini. Demikian apa yang bisa saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya ini.
Purwokerto, 23 Oktober 2019
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................... ................................................................ ............................................ ...................................... ................ 1 DAFTAR ISI .......................................... ................................................................ ............................................ ............................................ ............................... ......... 2 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................... ................................................................ ............................................ ........................... ..... 3 B. Rumusan Masalah ...................... ............................................ ............................................ .......................................... .................... 4 C. Tujuan ............................................................... ..................................................................................... .......................................... .................... 4 BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ......................................................................................................... 5 B. Etiologi ............................................. ................................................................... ............................................ ...................................... ................ 5 C. Klasifikasi ............................................ ................................................................... ............................................. .................................. ............ 6 D. Cara Penularan ......................................... ............................................................... ............................................ ............................... ......... 7 E. Tanda dan Gejala ............................................. ................................................................... ............................................ ........................ 8 F. Faktor Risiko ........................................... ................................................................. ............................................ ............................... ......... 9 G. Patofisiologi ......................................... ............................................................... ............................................. ................................... ............ 11 H. Komplikasi ........................................... .................................................................. ............................................. .................................. ............ 12 I. Pemeriksaan penunjang .......................................... ................................................................. ...................................... ............... 12 J. Penatalaksanaan ........................................... ................................................................. ............................................ ........................... ..... 14 K. Pathway ............................................ .................................................................. ............................................ ...................................... ................ 16 L. Konsep Asuhan Keperawatan ........................................................... ....................................................................... ............ 16 BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................... ................................................................. ............................................. .................................. ............ 19 B. Saran ............................................. ................................................................... ............................................ .......................................... .................... 20 DAFTAR PUSTAKA
2
BAB II PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta merupakan penayakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai ke masalah social, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Deokes RI, RI, 2007). Menurut World Health Organization (WHO) kusta merupakan salah satu dari tujuh belas penyakit pen yakit tropis yang terabaikan dan membutuhkan perhatian khusus dunia (Smith, 2012). Kusta dikenal juga sebagai “The Great Imitator Disease” karena manifestasi karena manifestasi yang mirip dengan banyak penyakit kulit lainnya seperti infeksi jamur kulit, sehingga seseorang jarang menyadari bahwa dirinya telah menderita kusta (Widoyono, 2008). Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi. World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan kasus baru kusta terdeteksi di seluruh dunia dengan kasus tertinggi berada di regional Asia Tenggara yakni sebesar 154.834 kasus. Prevalensi kusta pada awal tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per 100.000 penduduk. Indonesia menduduki peringkat ketiga negara dengan endemic kusta terbanyak setelah India dan Brazil. Kejadian Kusta masih sangat tinggi di beberapa negara, terutama negara berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan dan kepadatan penduduk (Philipsborn, 2015). Jumlah penderita kusta di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir data jumah penderita kusta di Indonesia tidak mengalami penurunan. Sekitar 17 ribu penderita kusta baru ditemukan di seluruh Indonesia. Jumlah penderita kusta nomer tiga di dunia setelah India dan Brazil. Jumlah penderita kusta masih tinggi diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan dan maluku. Khusus Jawa Timur merupakan wilayah dengan jumlah penyandang kusta terbanyak di Indonesia. Penyebaran penderita dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni Jember, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, Sampang, Sumenep, Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Tuban dan Lamongan. 3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari Morpus Hansen? 2. Bagaimana etiologi dari Morpus Hansen? 3. Bagaimana klasifikasi jenis-jennis dari Morpus Hansen? 4. Bagaimana cara Morpus Hansen menularan ke orang lain? 5. Bagaimana tanda dan gejala dari Morpus Hansen? 6. Bagimana faktor risiko dari Morpus Hansen? 7. Bagaimana patofisiologi dari Morpus Hansen? 8. Bagaimana komplikasi dari Morpus Hansen? 9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada penyakit Morpus Hansen? 10. Bagaimana penatalaksanaan dalam Morpus Hansen? 11. Bagaimana pathway asuhan keperawatan dari Morpus Hansen? 12. Bagaimana konsep asuhan keperawatan untuk pasien yang menderita Morpus Hansen?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami definisi dari Morpus Hansen. 2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami etiologi dari Morpus Hansen. 3. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami klasifikasi jenis-jennis dari Morpus Hansen. 4. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami cara Morpus Hansen menularan ke orang lain. 5. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tanda dan gejala dari Morpus Hansen. 6. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami faktor risiko dari Morpus Hansen. 7. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami patofisiologi dari Morpus Hansen. 8. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami komplikasi dari Morpus Hansen. 9. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang pada penyakit Morpus Hansen. 10. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami penatalaksanaan dalam Morpus Hansen. 11. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pathway asuhan keperawatan dari Morpus Hansen. 12. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan untuk pasien yang menderita Morpus Hansen. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
Penyakit Morbus Hansen atau Lepra biasa disebut penyakit Kusta. Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Morbus hansen (kusta) adalah suatu penyakit infeksi menahun akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae. Masalah yang timbul tidak hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis, ekonomi dan sosial bagi penderitanya (Amiruddin, 2006). Disimpulkan bahwa penyakit kusta adalah penyakit kulit menahun yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium leprae yang awalnya menyerang saraf tepi, kemudian dapat menyebar menyerang organ lain, seperti kulit, selaput mukosa, testis dan mata serta jika tidak diobati dengan tepat akan menimbulkan kecacatan fisik pada penderita. Penyakit kusta muncul diakibatkan karena adanya faktor penyebab. pen yebab.
B. Etiologi
Penyebab munculnya penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan pertama kali oleh G. H. Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka pada permukaan kulit atau bisa juga melalui droplet yang dihembuskan dari saluran pernafasan. Sehgal (dalam Putra, 2012) mengatakan bahwa Mycobacterium leprae memiliki ciri-ciri yaitu tahan asam, bersifat gram positif, berbentuk batang, lebar 0,3-0,4 mikrometer, panjang 2-7 mikometer, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan, serta hidup di dalam sel yang banyak mengandung lemak dan lapisan lilin. Dengan pewarnaan Ziehl Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu 5
rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro). Mycobacterium leprae membelah dalam kurun waktu 21 hari, sehingga menyebabkan masa tunas yang sangat lama yaitu 4 tahun. Munculnya penyakit kusta tersebut ditunjang oleh cara penularan.
C. Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi. Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah : a. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953) 1) Interdeterminate ( I ) 2) Tuberkuloid ( T ) 3) Bordeline ( B ) 4) Lepromatosa ( L ) b. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962) : 1) Tuberkuloid Tuberkuloid – – tuberkuloid tuberkuloid ( TT ) 2) Bordeline Bordeline – – tuberkuloid tuberkuloid ( BT ) 3) Bordeline Bordeline – – bordeline bordeline ( BB ) 4) Lepramatosa Lepramatosa – – lepramatosa lepramatosa ( LL ) c. Klasifikasi WHO (1997) Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillary (PB) dan Multibacillary (MB). Dasar klasifikasi ini adalah negatif dan positifnya basil tahan asam (BT) dalam skin smear.
6
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO adalah sebagai berikut : Tanda Utama
Paucibacillary
Multibacillary
Baciler (PB)
Baciler (MB)
Bercak Kusta
Jumlah
Penebalan saraf tepi yang
dengan 5 lesi Hanya satu saraf
disertai
dengan
1
sampai Jumlah lebih dari 5 lesi Lebih dari satu saraf
gangguan
fungsi (Gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan
otot
yang
dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan) Pemeriksaan bakteriologi
Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan tahan
asam
(BTA
asam (BTA positif)
negatif)
D. Cara Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athimic nude mouse) (DepKesRI, 2006: 9). Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiller (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1. Faktor Sumber Penularan Sumber penulatan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
7
2. Faktor Kuman Kusta Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuamn kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
E. Tanda dan Gejala Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit kusta ditetapkan
dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu : a. Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih (hypopigmentasi)
atau
berwarna
merah
(erithematous),
penebalan
kulit
(plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian; b. Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan (paralisis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak.
Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita mengalami demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan menurun, mual dan kadangkadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta juga mengalami sakit kepala, kemerahan pada testis, te stis, radang pada pleura, radang pada ginjal, terkadang disertai dise rtai penurunan fungsi ginjal, pembesaran hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf sa raf (Zulkifli, 2003). Gejala utama pada pasien morbus Hansen yaitu kelainan lesi kulit yang mati rasa. Lesi berwarna kemerahan yang dapat timbul di seluruh badan. Bagian kulit yang terkena tersebut tanpa rasa gatal dan rasa sakit karena hilangnya sensibilitas atau parestesia akibat distribusi saraf tepi yang terkena mengalami kerusakan. Selain itu, akan terjadi atrofi dan kelemahan otot. Pada fase yang lebih lanjut, dapat terjadi foot drop dan claw hand akibat rasa sakit neuritik dan kerusakan saraf perifer secara cepat. Lagophthalmos, iridosiklitis, ulserasi kornea, dan / atau katarak sekunder karena kerusakan saraf dan kulit basiler langsung atau invasi pada mata.
8
F. Faktor Risiko
1. Jenis Kelamin Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan kesehatannya
dibandingkan
laki-laki.Jenis
kelamin
berkaitan
dengan
peran
kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin ,perempuan lebih sering mengobatkan dirinya dibandingkan laki-laki (Soekidjo Notoatmodjo,2003:114). Notoatmodjo,2003:114 ). Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa lakilaki lebih banyak terserang dari pada wanita.Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 2007: 8).
2. Umur Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur.Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun).Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Diagnosis umur kusta pada fenomena Lucio diketahui antara umur 15 hingga 71 tahun dengan rata-rata umur 34 tahun (Depkes RI, 2007: 8; Latapi’s Lepromatosis, Lepromatosis, 2005:177). Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui diketahui terjadi pada semua umur, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Kejadian suatu penyakit erat hubungannya hubungannya dengan umur. (DepKes RI , 2006 2006;:8). ;:8).
3. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak bekerja, pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja bangunan, buruh, tukang t ukang batu, pekerja bengkel, penjahit, buruh angkut, angkut, pembantu, petani dan nelayan). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah (2012) tentang analisis faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes tahun 2010, prosentase 9
jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang tidak berisiko sebesar 14,5%. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian kusta.Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang mayoritas dilakukan warga sekitar wilayah kerja puskesmas kunduran adalah Petani.
4. Status Sosial Faktor ini juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kusta adalah tingkat ekonomi
atau
status
sosial,
yang
bisa
dideskripsikan
dengan
besarnya
penghasilan.Besarnya penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup kesehariannya, termasuk kebutuhan makan dan kesehatan. Jika kebutuhan akan makanan sehat tidak terpengaruhi maka dapat melemahkan imunitas atau daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang ters erang suatu penyakit (Indan, 2004:24).
5. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara
(mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 26; 26; Budioro, 1997:113). 1997:113). Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya).Secara sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek yang berbeda-beda (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:50). Pengetahuan yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan seseorang dalam mengetahui gejala, cara penularan penyakit kusta dan penanganannya.
6. Personal Hygiene Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit menular, terutama yang ditularkan secara kontak langsung (Nur Nasry Noor, 2006: 24). Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi 10
menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga melalui saluran air susu ibu (Arief Mansjoer, 2000:65).
G. Patofisiologi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi te rinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab. Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, tidak ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri. Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. 11
Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit morbus Hansen bergantung pada kerentanan imun seseorang. Individu yang memiliki sistem imunitas seluler yang tinggi terhadap M. Leprae menyebabkan penyakit berkembang ke arah bentuk tuberkoloid yang biasanya melibatkan kulit dan sistem saraf tepi. Jumlah lesi pada kulit terbatas. Keterlibatan saraf tepi biasanya asimetrik atau hanya mengenai 1 bagian saja. Penyakit ini juga mengarah pada paucibacillary leprosy karena rendahnya jumlah bakteri pada lesi di kulit. Pada individu ini, tes kulit (skin test) dengan menggunakan antigen dari organisme yang telah mati menunjukan hasil positif. Bila sistem imunitas selulernya rendah, maka akan berkembang ke arah lepromatosa. Yang ditandai dengan lesi kulit, biasanya berupa infiltrat nodul dan plak. Distribusi gangguan saraf tepi simetris, organisme berkembang optimal pada suhu 27-30°C. Bentuk penyakit ini mengarah pada multibacillary leprosy karena jumlah bakteri yang ditemukan pada lesi banyak, serta hasil dari skin test dengan antigen organisme yang telah mati tidak reaktif. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi. Oleh karena itu, penyakit kusta disebut penyakit imunologik.
H. Komplikasi
1. Arthritis 2. Sepsis 3. Amiloid sekunder. 4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal) atau hipersensitivitas humoral (tipe 2/ eritema nodosum leprosum).
I. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan Serologi Tes Serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam 12
darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin. Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi. Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain: 1. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test) Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain. 2. Radio Immunoassay (RIA) Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif. 3. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination) Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif. 4. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak. 5. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay) Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda. 13
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer. Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi. Terdapat tiga metode ELISA, antara lain: 1. Direct ELISA Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer. 2. Indirect ELISA Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer. 3. Sandwich ELISA Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi.
J. Penatalaksanaan
1. Pemberian Obat a. Lepra tipe PB Jenis dan obat untuk orang dewasa Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas) 1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) 2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) 14
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang) 1) 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan b. Lepra tipe MB Jenis dan dosis untuk orang dewasa : Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas) 1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) 2) 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) 3) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28 1) 1 tablet Lampren 50 mg 2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) 16 1 blister untuk 1 bulan Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan
2. Modifikasi Lingkungan Sekitar Salah satu yang harus di modifikasi adalah keadaan rumah antaranya : a. Kondisi fisik bangunan : kondisi fisik bangunan rumah yang ditempati dapat mempengaruhi status dan derajat kesehatan penghuninya, baik itu rumah permanen, semi permanen dan non permanen. permanen. b. Ventilasi : ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan sehingga pertukaran oksigen didalam ruangan terjaga. c. Suhu : suhu rumah yang terjaga serta memenuhi syarat sehingga tidak akan mempengaruhi derajat kesehatan penghuninya. d. Kelembaban : kelembaban rumah yang terjaga dan memenuhi syarat sehingga tidak menjadi tempat media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri. e. Kepadatan hunian : keadaan dimana kondisi antara jumlah penghuni dengan luas seluruh rumah seimbang, sehingga tidak mempermudah penularan penyakit yang ditularkan lewat udara
15
K. Pathway
L. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Pada pengkajian klien penderita kusta dapat ditemukan gejala-gejala sebagai berikut : a. Aktivitas/ istirahat Tanda : Penurunan kekuatan otot, gangguan massa otot, perubahan tonus otot. b. Sirkulasi Tanda : Penurunan nadi perifer, Vasokontriksi perifer.
16
c. Integritas ego Gejala : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan. Tanda : Ansietas, menyangkal, menarik diri. d. Makanan/cairan : Anoreksia e. Neurosensori Gejala : Kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi. Tanda : Peruubahan perilaku, penurunan refleks tendon. f. Nyeri kenyamanan Gejala: Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri. g. Pernapasan Gejala: Ventilasi tidak adekuat, takipnea. h. Keamanan Tanda: lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadangkadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya berupa macula, papula dan nodul. 2. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu b. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi c. Gangguan aktivitas b/d post amputasi d. Resti injuri b/d invasif bakteri 3. Intervensi a. Diagnosa Keperawatan 1 Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu Tujuan : Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan Kriteria hasil : • Klien dapat menerima perubahan dirinya dirinya • Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan) kebersihan) • Klien tidak merasa malu malu Intervensi : • Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal. 17
• Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut. • Anjurkan klien agar lebih lebi h mendekatkan pada Tuhan YME. YME.
b. Diagnosa Keperawatan 2 Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan Kriteria hasil : • Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi operasi • Klien tenang • Pola istirahat-tidur istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari Intervensi : • Kaji skala nyeri klien klien • Alihkan perhatian klien terhadap nyeri nyeri • Monitor keadaan umum dan tanda-tanda tanda -tanda vital • Awasi keadaan luka operasi • Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri nyeri • Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik. analgetik.
c. Diagnosa Keperawatan 3 Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi Tujuan : Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan. Kriteria hasil : • Klien dapat beraktivitas mandiri mandiri • Klien tidak diam di tempat tidur terus terus Intervensi : • Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri sendiri • mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi • Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya. kemampuannya.
18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluller obligat. Bakteri ini berbentuk batang serta tahan asam dan bakteri ini akan menyerang saraf perifer, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, bakteri ini juga dapat ke organ tubuh yang lainnya kecuali ke susunan saraf pusat. Penyakit Morbus Hansen ini dapat di bagi menjadi Pausi Basiller dan Multi Basiller. Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat dari klinis pasien dan juga pemeriksaan bakteriologi. Gejala klinis yang dapat ditemui pada morbus Hansen berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat bersifat sensorik, motorik, dan autonomik). Kerusakan sensorik ini dapat berupa hipoanastesi, anastesi pada lesi. Kerusakan motorik akan memberikan gejala kelemahan otot (ekstremitas, muka, otot mata). Sedangkan kerusakan autonomik menyebabkan kerusakan persarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang nampak lebih kering. Pengobatan untuk penyakit Morbus Hansen atau Lepra ini adalah dengan menggunakan obat-obatan anti-lepra seperti rifampin, clofazimine, dan dapsone. Lama pengobatan untuk penyakit morbus Hansen ini adalah 12-18 bulan. Oleh karena itu, ketaatan dalam pengobatan perlu ditanamkan pada pasien untuk mencegah kegagalan pengobatan maupun resistensi obat yang diberikan. Selain pengobatan farmakologi, rehabilitasi juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, terutama bagi pasien yang mengalami tekanan dari masyarakat. Edukasi bagi pasien juga akan membantu proses pemulihan pasien morbus Hansen. Penting bagi pasien untuk menjaga daya tahan tubuh dan kebersihan lingkungan. Tidak hanya itu, motivasi juga harus diberikan bagi pasien, baik dari dokter, keluarga, bahkan masyarakat sekitar agar penyakit morbus Hansen tidak menjadi wabah. Kesembuhan total akan mudah didapat apabila tindakan penanganan dan edukasi dilakukan dengan baik bagi pasien.
19
B. Saran
Dengan kita belajar materi ini kita bisa menjaga pola hidup kita menjadi lebih baik kedepannya. Kita bisa menghindari factor risiko yang akan menyebabkan morbis hensen. Kedepannya keperawatan tentang penyakit ini semakin maju dan kita bisa berkontribusi dalam perawatannya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Indriani, Silvia. 2014. Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta. Kusta. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Penyakit
Kusta
(Morbus
Hansen,
Lepra). Lepra).
Universitas
Sumatra
Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37321/Chapter%20II.pdf? sequence=4&isAllowed=y sequence=4&isAllowed=y
Sjamsoe – Sjamsoe – Daili, Daili, Emmi S. 2003. Kusta Kusta.. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
http://digilib.unila.ac.id/6730/13/BAB%20II.pdf
http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-8114080 03-bab2-13082012035518.pdf 2035518.pdf http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-811408003-bab2-1308201
21
View more...
Comments