1-DIKTAT Pengantar Fisika Zat Padat 23-4-2014
October 1, 2017 | Author: Iwan Budihartana | Category: N/A
Short Description
fisika zat padat...
Description
Pengantar Fisika Zat Padat
BAB 1 PENDAHULUAN Fisika Zat Padat adalah bagian dari ilmu fisika yang mempelajari struktur dan berbagai sifat fisika dari suatu bahan (zat) dalam fasa padat. Fasa padat adalah suatu fasa dimana atom-atomnya menempati posisi yang tetap. Kebanyakan elemen kimia pada suhu ruang adalah bahan dengan fase padat. Secara umum, terdapat dua jenis zat padat yaitu kristal dan amorf. Kristal adalah satu jenis zat padat yang memiliki struktur kimia dengan tingkat keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi (long range order) pada seluruh volumenya. Sedangkan amorf adalah jenis zat padat dimana strukturnya tidak memiliki keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi pada seluruh volumenya. Pada buku ajar ini, akan dibahas zat padat berjenis kristal dengan tingkat keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi. Sifat-sifat fisis yang akan dibahas meliputi berbagai struktur kristal, gaya ikat dan ikatan atom di dalam kristal serta kisi kristal. Dibahas pula konsep panas jenis sebagai fungsi dari suhu menurut Einstein dan Debye, konsep elektron bebas dalam kristal, teori pita energi dan penerapan teori pita energi ini pada bahan semikonduktor serta menghubungkan teori pita energi dengan dinamika elektron dalam logam. Pada akhir bagian buku ini, dibahas sekilas tentang konsep kemagnetan serta berbagai contoh bahan magnet serta aplikasinya. Kompetensi yang ingin dicapai setelah mempelajari buku ajar ini adalah memiliki kemampuan untuk menganalisis struktur, sifat dan perilaku elektron dalam suatu zat padat. Untuk mencapai kompetensi di atas, pembaca diharapkan dapat: Menjelaskan konsep struktur kristal. Menjelaskan konsep gaya ikat dan ikatan atom dalam kristal. Menjelaskan konsep panas jenis sebagai fungsi dari suhu menurut Einstein dan Debye. Menjelaskan konsep elektron bebas dalam kristal. Menunjukkan teori pita energi dan berbagai model yang mendasarinya. Menerapkan teori pita energi pada bahan semikonduktor. Menerapkan dan menghubungkan teori pita energi dengan dinamika elektron dalam logam. Menunjukkan konsep kemagnetan dan aplikasinya. 1
Pengantar Fisika Zat Padat
Organisasi dari materi pengantar fisika zat padat, diperlihatkan dalam Gambar 1.1. TPU : Setelah menyelesaikan mata kuliah Pengantar Fisika Zat Padat, mahasiswa akan dapat menganalisis struktur, sifat dan perilaku elektron dalam suatu zat padat dengan benar ( C-4, P-4, A-4 ).
Menerapkan dan menghubungkan
Menerapkan teori pita energi
teori pita energi dinamika elektron
pada bahan semikonduktor
dalam logam (C-4, P-3, A-4)
(C-4, P-3, A-4)
Menunjukkan konsep kemagnetan
Menunjukkan teori pita energi dan
dan aplikasinya (C-3, P-3, A-3)
berbagai model yang mendasarinya (C-3, P-3, A-3)
Menjelaskan konsep panas jenis
Menjelaskan konsep elektron
sebagai fungsi dari suhu menurut
bebas dalam kristal (C-2, P-3, A-3)
Einstein dan Debye (C-2, P-3, A-2) (C-2, P-3, A-3)
Menjelaskan konsep struktur
Menjelaskan konsep gaya ikat
krista menjelaskan konsep
dan ikatan atom dalam kristal
struktur kristal (C-2, P-2, A-2)
(C-2, P-2, A-2)
Fisika Modern
Gambar 1.1: Organisasi materi Pengantar Fisika Zat Padat
2
Pengantar Fisika Zat Padat
BAB 2 STRUKTUR KRISTAL
2. 1 Kisi Kristal Zat padat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kristal dan amorf. Kristal adalah zat padat yang memiliki struktur yang terdiri dari atom dan gugus-gugusnya dengan tingkat keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi. Sedangkan zat padat yang atom-atomnya tidak memiliki tingkat keteraturan disebut amorf. Kristal yang ideal adalah kristal yang memiliki struktur kristal dengan tingkat kesetangkupan unit atom yang tak berhingga dalam seluruh volume kristalnya serta tidak memiliki cacat geometrik. Unit atom yang dimaksud dapat berupa atom tunggal atau kumpulan dari beberapa atom yang disebut basis. Basis tersebut melekat pada posisi-posisi tertentu dengan titik-titik posisi yang disebut kisi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur dari sebuah Kristal merupakan penjumlahan antara kisi dengan basisnya (Struktur Kristal = Kisi + Basis). Contoh sederhana penjumlahan kisi dengan basis yang menghasilkan struktur kristal digambarkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1: Contoh terbentuknya struktur kristal yang berasal dari penjumlahan kisi dan basis.
Kumpulan kisi khusus yang semua kisinya memiliki pola geometri yang sama disiebut kisi Bravais. Pola susunan kisi pada kisi Bravais ini dapat dibedakan menjadi tiga sesuai dengan tingkat dimensinya yaitu kisi satu dimensi, kisi dua dimensi dan kisi tiga dimensi. Kisi satu dimensi yaitu pola pengulanagn kisi yang berada pada satu garis lurus satu dimensi baik pada arah sumbu x, y atau z. 3
Pengantar Fisika Zat Padat
Kisi dua dimensi yaitu pola pengulangan kisi pada dua dimensi. Pada umumnya terdapat 5 jenis pola pengulangan pada kisi dua dimensi ini yaitu kisi genjang, kisi bujur sangkar, kisi heksagonal, kisi segi panjang dan kisi segi panjang berpusat. Kisi tiga dimensi yaitu pola pengulangan kisi dalam ruang tiga dimensi (space lattice). Terdapat 7 sistem kristal dalam ruang tiga dimensi yaitu triklinik, monoclinik, orthorhombik, tetragonal, kubik, trigonal dan heksagonal. Tabel 1 memperlihatkan 7 sistem kristal dalam ruang tiga dimensi beserta geometri selnya. Panjang, lebar dan tinggi dari sistem kristal ini dituliskan dengan simbol a, b dan c. Sedangkan sudut-sudutnya dituliskan dengan simbol , dan . Tabel 1: Tujuh sistem kristal dalam ruang tiga dimensi beserta geometri selnya.
Sistem kristal
Unit sel
Sudut
Triklinik
abc
Monoklinik
abc
= = 90o
Orthorhombik
abc
= = = 90o
Tetragonal
a=bc
= = = 90o
Kubik
a=b=c
= = = 90o
Trigonal
a=b=c
= = < 120o, 90o
Heksagonal
a=bc
= = 90o, = 120o
Di dalam ruang tiga dimensi, terdapat 5 tipe dasar pengulangan kisi yaitu kisi primitive (P), kisi body-centered (I), kisi base-centered (C), kisi face-centered (F), kisi rhombohedral primitive (R). Berikut adalah penjelasan dari ke-5 tipe dasar kisi tersebut. 1. Kisi Primitive (P) Kisi Primitive (P) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi hanya terdapat pada titik-titik sudut kristal. Tipe kisi primitive terdapat pada hampir semua sistem krisal yaitu sistem kristal triklinik, monoklinik, orthorhombik, tetragonal, kubik, heksagonal.
4
Pengantar Fisika Zat Padat
2. Kisi Body-centered (I) Kisi Body-centered (I) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap sudut kristal ditambah titik pada pusat sel. Tipe kisi ini terdapat pada sistem kristal monoklinik, orthorombik, tetragonal dan kubik.
3. Kisi Base-centered (C) Kisi Base-centered (C) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap sudut kristal ditambah dua titik pada permukaan atas dan bawah setiap sel. Tipe kisi ini hanya terdapat pada sisitem kristal orthorombik. 4. Kisi Face-centered (F) Kisi Face-centered (F) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap sudut kristal ditambah dengan titik-titik pada semua pusat bidang permukaan kristal. Tipe kisi ini terdapat pada sistem kristal orthorombik dan kubik. 5. Kisi Rhombohedral primitive (R) Kisi Rhombohedral primitive (R) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap sudut kristal yang khusus berbentuk rhombohedral. Tipe kisi ini hanya terdapat pada sisitem kristal trigonal. Jika kita hitung dari variasi sistem kristal dan tipe kisi, jumlah kisi Bravais pada sistem tiga dimensi adalah 14 jenis. Tabel 2 memperlihatkan 14 jenis kisi Bravais lengkap dengan gambar berdasarkan pembagian sistem kristal dan tipe kisinya. Sistem kristal Triklinik dan Heksagonal hanya memiliki tipe kisi P. Sistem kristal Monoklinik dan Tetragonal memiliki dua tipe kisi yaitu tipe P dan I. Sistem kristal Orthorombik memiliki kemungkinan 4 tipe kristal yaitu P, I, C dan F. Sistem kristal Kubik memiliki 3 tipe kristal yaitu P, I dan F, sedangkan sistem kristal Trigonal memiliki satu tipe kristal yaitu tipe R.
5
Pengantar Fisika Zat Padat
Tabel 2: 14 jenis gambar kisi Bravais beserta kelompok sistem kristal dan tipe kisinya. Sistem Kristal
Primitive (P)
Body-centered (I)
Base-centered (C)
Triklinik
Monoklinik
Orthorhombik
Tetragonal
Kubik
Trigonal
Heksagonal
6
Face-centered (F)
Rhombohedral primitive (R)
Pengantar Fisika Zat Padat
2.2 Geometri Kisi Kristal dan Kisi Resiprok Arah orientasi bidang yang dibentuk dari titik-titik kisi Bravais sangat menetukan sifat dari suatu kristal. Oleh sebab itu diperlukan sistem penomoran yang dapat merepresentasikan setiap bidang yang ada pada suatu kristal. Seorang ilmuwan Inggris yaitu W. H. Miller memperkenalkan sistem pengkodean bidang kristal yang kemudian diberi nama indeks Miller. Indeks Miller merupakan suatu pengkodean, pendefinisian atau penamaan untuk melihat orientasi dari suatu permukaan. Indeks Miller mendefinisikan set permukaan yang paralel antara satu dengan yang lainnya. Indeks Miller tidak mendefinisikan bidang berdasarkan koordinat, tapi melihat keseluruhan orientasi bidang. Hal ini menyebabkan bidang yang memiliki arah orientasi yang sama akan tergabung dalam satu kelompok yang sama. Misalnya arah suatu titik dari titik asal (0, 0, 0) adalah (a, b, c). Jika kita memiliki bidang lain yang jarak dari titik asalnya 2 kali dari (a, b, c) maka dapat ditulis (2a, 2b, 2c). Arah bidang ini akan sama dengan arah bidang (a, b, c). Sehingga arah bidang (1, 0, 0) akan memiliki implikasi yang sama dengan arah bidang (2, 0, 0) atau (3, 0, 0). Indeks miller ditulis dalam kurung tanpa menggunakan symbol koma. Setiap arah orientasi bidang dikodekan dengan tiga jenis integer yaitu (h k l). Proses penggkodean menggunakan aturan indeks Miller ini dilakukan dengan proses pembalikkan domain posisi menjadi domain orientasi. Proses pembalikkan domain ini menghasilkan suatu nilai kisi yang disebut kisi resiprok (kisi balik). Kisi resiprok inilah yang kemudian menggambarkan arah orientasi dari setiap bidang pada kristal. Cara menentukan indeks Miller adalah sebagai berikut: 1. Menenentukan titik potong antara bidang yang bersangkutan dengan sumbu-sumbu (x, y, z) atau sumbu-sumbu primitif dalam satuan konstanta kisi (a, b, c)
2. Menentukan kebalikan (resiprok) dari titik potong antara bidang dengan sumbu-sumbu tersebut.
3. Menentukan tiga bilangan bulat (terkecil) yang mempunyai perbandingan yang sama 4. Indeks Miller diperoleh dari proses bagian 3 diatas dengan indeks (h k l) 5. Bila terdapat nilai h, k, atau l yang negatif, maka indeks tersebut dituliskan dengan garis di atasnya (ℎ̅ 𝑘 𝑙), artinya h bernilai negatif. Contoh penentuan indeks Miller untuk bidang pada Gambar 2.2 adalah sebagai berikut
7
Pengantar Fisika Zat Padat
Gambar 2.2: Bidang yang memotong sumbu x, y, z masing-masing pada skala 2, 2 dan 3.
1. Menentukan titik potong antara bidang dengan sumbu x, y, z. Bidang ABC memotong sumbu-sumbu: 2 di titik A untuk sumbu x,
2 di titik B sumbu y, 3 di titik C sumbu z.
Maka titik potong antara bidang dengan sumbu x, y, z (intercept) dapat dituliskan sebagai: (2, 2, 3). 1 1 1
2. Menentukan resiprok dari intercept di atas adalah (2 , 2 , 3). 3. Menentukan tiga bilangan bulat terkecil dari bilangan resiprok diatas. Misal masingmasing dikali dengan bilangan bulat 6, maka resiprok diatas menjadi (3, 3, 2). Maka Indeks Miller untuk bidang pada Gambar 2.2 adalah (3 3 2). Contoh lain untuk bidang kubus sederhana seperti diperlihatkan pada Gambar 2.3 adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2: Bidang BCGF yang memotong sumbu y.
8
Pengantar Fisika Zat Padat
1. Perpotongan bidang BCGF dengan sumbu x, y, z adalah ∝ di sumbu x, 1 di sumbu y, ∝ di sumbu z 1 1 1
2. Resiproknya: ∝ , 1 , ∝ = 0, 1, 0 3. Tiga bilangan bulat terkecil dari bilangan resiprok 0, 1, 0 adalah (0, 1, 0) 4. Indeks Millernya: (0 1 0) Tanda {0 1 0} menyatakan kumpulan bidang-bidang yang sejajar dengan bidang (0 1 0). Sama halnya dengan Bidang ADHE yang sejajar dengan bidang BCGF, maka indeks bidang ADHE adalah {0 1 0} begitu juga dengan bidang ABCD sejajar dengan bidang EFGH, maka bidang ABCD adalah {0 0 1}, dan seterusnya. Jadi, apabila bidangnya menempel di sumbu, indeksnya akan sama dengan indeks bidang yang sejajar dengannya.
Menentukan dhkl dhkl adalah jarak antar bidang pada suatu kristal. Resiprok untuk dhkl ini disimbolkan oleh 𝐺ℎ𝑘𝑙 . Persamaan resiprok ruang untuk dhk dalam arah 𝑛̂ adalah sebagai berikut: 𝐺ℎ𝑘𝑙 =
2𝜋𝑛̂ℎ𝑘𝑙 𝑑ℎ𝑘𝑙
Persamaan dhkl untuk kristal dengan sistem orthogonal dapat dijabarkan sebagai persamaan berikut ini: 1 ℎ2 𝑘 2 𝑙 2 = + + 𝑑 2 𝑎2 𝑏 2 𝑐 2 Sedangkan persamaan dhkl untuk kristal dengan sisitem kubik adalah: 1 ℎ2 + 𝑘 2 + 𝑙 2 = 𝑑2 𝑎2 Contoh soal: Suatu unit cell berbentuk kubik memiliki nilai indeks Miller (1 1 0) dan panjang a=5,2 A (0,52 nm). Tentukan nilai dhkl nya! Jawab: 1 ℎ2 + 𝑘 2 + 𝑙 2 = 𝑑2 𝑎2 𝑑2 =
(0,52)2 12 + 12 + 0
𝑑ℎ𝑘𝑙 = 0,368 × 10−9 𝑚. 9
Pengantar Fisika Zat Padat
2.3 Difraksi Sinar – X Difraksi sinar-X (X-ray difractions/XRD) merupakan metode karakterisasi yang memanfaatkan sifat dari sinar-X yang memiliki panjang gelombang 0.01-10 nm untuk mengidentifikasi arah bidang kisi pada suatu kristal dengan cara mengamati interferensi konstruktif
yang
dihasilkan
pada
sudut
tertentu.
Sinar-X
merupakan
radiasi
elektromagnetik yang memiliki energi tinggi sekitar 200 eV sampai 1 MeV. Difraksi sinarX juga dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel. Difraksi sinar-X terjadi ketika suatu basis dalam suatu kristal teradiasi secara koheren, menghasilkan interferensi konstruktif pada sudut tertentu. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari arah bidang kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg : n λ = 2 d sin θ ; n = 1,2,… λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan, d adalah jarak antara dua bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde interferensi. Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada suatu bahan kristal, maka bidang kristal itu akan mendifraksikan sinar-X kristal tersebut. Sinar yang didifraksikan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi pada sudut θ tertentu. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang telah didapatkan dari data pengukuran kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini dikenal sebagai JCPDS (Joint Committee on Powder Difraction Standards). Gambar 2.4 meperlihatkan proses hamburan pada Kristal berdasarkan hokum Bragg.
Gambar 2.4: Proses hamburan pada kristal berdasarkan hukum Bragg 10
Pengantar Fisika Zat Padat
XRD difraktometer memiliki 3 buah komponen utama, yaitu pembangkit sinar-X, tempat bahan (sample holder) dan detektor. Prinsip kerja difraktometer sinar-X dimulai ketika pembangkit sinar-X menghasilkan radiasi ektromagnetik, yang kemudian ditembakkan ke bahan yang akan diuji. Sinar-X yang dihamburkan bahan akan ditangkap oleh
detektor yang kemudian dioleh menjadi beberapa informasi yang dapat
diintrepertasikan dan dihitung untuk mendapatkan informasi struktur kristal dari bahan tersebut. Dari proses pengukuran yang dilakukan, dapat diperoleh beberapa informasi antara lain sebagai berikut: 1. Posisi puncak difraksi pada sudut θ tertentu, jarak antar bidang (dhkl), struktur kristal dan orientasi dari sel satuan (dhkl) struktur kristal dan orientasi dari sel satuan. 2. Intensitas relatif puncak difraksi, memberikan gambaran tentang posisi atom dalam sel satuan. 3. Bentuk puncak difraksi 4.
Jarak antar bidang (dhkl)
Intensity (arb. units)
Contoh data hasil XRD untuk bahan superkonduktor dipelihatkan pada Gambar 2.5.
10
20
30
40
50
60
2 Gambar 2.5: Contoh data XRD untuk bahan superkonduktor
11
70
Pengantar Fisika Zat Padat
Contoh soal perhitungan sudut Bragg pada suatu sistem kristal pada suatu percobaan. Hitunglah sudut bragg pada kristal kubik dengan unit cell a = 6 A, untuk bidang (2 2 1) dengan panjang gelombang 1,54 A. Jawab: 1 ℎ2 + 𝑘 2 + 𝑙 2 = 𝑑2 𝑎2 (6)2 𝑑 = 2 2 + 22 + 12 2
𝑑ℎ𝑘𝑙 = 2 𝐴 2𝑑 𝑠𝑖𝑛𝜃 = 𝑛 𝑠𝑖𝑛𝜃 =
𝑛 2𝑑
Untuk n=1 𝑠𝑖𝑛𝜃 =
1 × 1,54𝐴 = 0,385 2 × 2𝐴
𝜃 = 22,64° Untuk n=2 𝑠𝑖𝑛𝜃 =
2 × 1,54𝐴 = 0,77 2 × 2𝐴
𝜃 = 50,35° Jadi sudut Bragg untuk Kristal ini adalah 𝜃1 = 22,64° dan 𝜃2 = 50,35°
Daftar Bacaan: Birkholz, M., 2006, Thin Film Analysis by X-Ray Scattering. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. Kittel, C., 2005, Introduction to Solid State Physics, John Wiley and Sons, Inc, 8th edition.
12
Pengantar Fisika Zat Padat
BAB 3 GAYA IKAT
3.1 Gaya ikat Pada umumnya zat padat merupakan zat yang memiliki struktur yang stabil. Kestabilan struktur zat padat ini disebabkan oleh susunan atom-atom dalam kristal berada pada kedudukan dengan enrgi potensial sistem minimum. Pada banyak atom, nilai energi potensial minimum dapat dengan cepat terpenuhi dengan cara barikatan dengan atom lain. Sebagai contoh kristal Natrium Clorida (NaCl) memiliki struktur yang lebih stabil dibandingkan dengan sekumpulan atom-atom bebas dari Na dan Cl. Hal ini menunjukkan bahwa energi atom-atom bebas penyusun kristal lebih besar daripada energi kristalnya. Ikatan antar atom sangat berhubungan erat dengan jarak antar atom dan besarnya energi yang diperlukan untuk mengikat atom-atom tersebut. Energi yang diperlukan untuk mengikat dua atau lebih atom dinamakan energi ikat. Energi ikat ini sebenarnya adalah pendekatan untuk menggambarkan gaya ikat antar atom. Seperti halnya dalam bahasan fisika klasik, dua atom akan saling mengikat jika gaya tarik menarik antar dua atom tesebut. Selain itu adanya gaya tolak antar atom karena jenis muatan dan adanya larangan pauli, berkontribusi pada energi potensial yang terbentuk dalam kristal pada saat terjadi ikatan atom. Besarnya energi potensial yang berasal dari gaya tarik dan gaya tolak antar atom dituliskan dengan persamaan Vr = −
a b + n m r r
Vr = energi potensial total a = konstanta tarik menarik b = konstanta tolak-menolak r = jarak antar atom m, n = konstanta karakteristik jenis ikatan dan tipe struktur. Nilai m adalah 1 untuk jenis ion dan m = 6 untuk jenis molekul. Konstanta n tergantung dari konfigurasi elektron. Konstanta ini disebut juga eksponen Born. Misal untuk unsur He yang konfigurasi elektronnya 1s2, nilaki konstanta n adalah 5. Sedangkan Ne dengan konfigurasi 2s2 2p6,
13
Pengantar Fisika Zat Padat
nilai konstanta n adalah 7. Nilai konstanta n unsur lain dapat diperoleh dari berbagai referensi. a
Vtarik = − rm disebut juga Vtarik yaitu energi potensial yang terkait dengan gaya tarik antar atom. Vtolak =
b rn
disebut juga Vtolak yaitu energi potensial yang terkait dengan gaya tolak antar
atom.
Gambar 3.1: Kurva perubahan energi potensial (V) terhadap jarak antar antar atom (r).
Gambar 3.1 memperlihatkan kurva perubahan energi potensial terhadap jarak antar atom. Ikatan yang paling stabil antar atom terjadi pada saat energi potensial minimum yaitu pada posisi ro. Pada saat r lebih besar dari ro, kedua atom saling tarik. Sedangkan pada saat r lebih kecil dari ro, kedua atom akan saling menolak. Jarak ro dikenal pula dengan istilah jarak interatomik setimbang. Gaya tarik dan gaya tolak akan saling menghilangkan pada kedudukan ro yang merupakan keadaan setimbang.
3.2 Ikatan Atom dalam Kristal Ikatan kristal merupakan ikatan hasil interaksi antara atom, khususnya elektron terluar dari atom-atom bersangkutan. Seperti telah disebutkan pada bagian 3.1, terbentuknya ikatan 14
Pengantar Fisika Zat Padat
atam antar dua atau lebih atom ditentukan oleh keadaan yang dapat menghasilkan nilai energi potensial yang minimum. Beberapa cara untuk mendapatkan nilai energi potensial minimum adalah sebagai berikut : 1) Penyesuaian jenis muatan total yang dimiliki masing-masing atom 2) Penyesuaian konfigurasi elektron paling luar dari masing-masing atom 3) Penempatan atom-atom pembentuk kristal menurut susunan orbital atom yang memiliki keberkalaan dan kesatangkupan dalam ruang tiga dimensi yang berukuran tidak berhingga. Ikatan kristal terbagi dua kategori yaitu katagori ikatan utama atau primer dan katagori ikatan sekunder. Kategori ikatan utama adalah jenis ikatan yang sangat kuat. Ikatan utama ini terdiri dari tiga macam ikatan yaitu ikatan ionik, ikatan kovalen, dan ikatan logam. Katagori ikatan sekunder yaitu ikatan hydrogen dan ikatan van der waals. Konfigurasi yang stabil dari gas mulia menjadi konfigurasi yang cenderung untuk dicapai oleh unsurunsur lain dalam membentuk ikatan atom.
3.2.1 Katagori Ikatan Utama 3.2.1.1 Ikatan Ionik Ikatan ionik terbentuk dari hasil interaksi elektrostatik antara atom/ion yang memiliki muatan yang berbeda yaitu ion positif dan negatif. Contoh ikatan ionik yaitu kristal NaCl yang terbentuk dari interaksi elektrostatik antara ion Na+ dengan Cl-. Kation (Na+) bereaksi dengan anion (Cl-) membentuk Natrium Klorida (NaCl) yang bermuatan netral. NaCl memiliki kofigurasi elektron yang lebih stabil dibandingkan dengan kedua ion pembentuknya. Persamaan sederhana reaksi kimianya adalah sebagai berikut: Na+ + Cl- → NaCl Ikatan ionik biasanya terjadi antara atom-atom yang mudah melepaskan elektron (logam-logam golongan utama) dengan atom-atom yang mudah menerima elektron (terutama golongan VIA den VIIA). Contoh lain ikatan ionik adalah CaCl2, MgBr2, BaO dan FeS.
3.2.1.2 Ikatan Kovalen Ikatan kovalen atau disebut juga ikatan homopolar adalah ikatan yang terbentuk karena adanya pemakaian bersama pasangan elektron. Terbentuknya ikatan kovalen karena adanya kecenderungan dari berbagai atom untuk mencari keadaan stabil dimana energi 15
Pengantar Fisika Zat Padat
potensialnya paling minimum. Konfigurasi yang paling stabil itu adalah konfigurasi elektron gas mulia. Oleh sebab itu beberapa atom saling berikatan untuk membentuk konfigurasi elektron gas mulia. Contoh paling sederhana adalah ikatan antara dua atom H. Atom H memiliki konfigurasi elektron 1s1. Satu elektron dari masing-masing atom H saling berbagi untuk mendapatkan konfigurasi paling stabil 1s2 seperti diperlihatkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2: Contoh ikatan kovalen pada molekul hidrogen (H2).
Konfigurasi elektron yang dihasilkan setelah terbentuknya ikatan menyebabkan ikatan kovalen pada suatu molekul atau kristal sangat kuat. Contoh kristal yang terbentuk dari ikatan kovalen adalah ZnS, GaSh, InAs dan SiC.
3.2.1.3 Ikatan logam Ikatan logam hampir mirip dengan ikatan valensi. Ikatan logam terbentuk akibat adanya elektron valensi yang merupakan elektron bebas yang dapat bergerak di seluruh kristal. Elektron bebas ini dapat bertindak sebagai pengikat antar kation yang berada berdekatan pada suatu kristal. Namun demikian, ikatan logam ini bukanlah ikatan yang berarah seperti halanya ikatan kovalen. Ikatan logam merupakan ikatan yang tidak berarah. Hal ini disebabkan elektron bebas yang bergerak dapat menempati posisi dimanapun pada kristal. Unsur-unsur pada table periodik pada umumnya adalah logam yang dapat menjadi molekul yang besar berupa padatan. Bila dua atom logam saling mendekat, maka akan terjadi tumpah tindih antara orbital-orbitalnya sehingga membentuk suatu orbital molekul. Semakin banyak atom logam yang saling berinteraksi, maka semakin banyak tumpang tindih orbital yang akan terjadi.
3.2.2 Katagori Ikatan Sekunder 3.2.2.1 Ikatan Hidrogen
16
Pengantar Fisika Zat Padat
Ikatan hidrogen terjadi ketika sebuah atom hidrogen yang memiliki satu buah elektron berikatan dengan atom lain seperti atom N, O, atau F yang mempunyai pasangan elektron bebas. Hidrogen dan atom N atau O atau F akan berinteraksi membentuk suatu ikatan hidrogen dengan besar energi ikatan sekitar 0,1 eV. Kekuatan ikatan hidrogen ini dipengaruhi oleh perbedaan elektronegativitas antara atom-atom dalam molekul tersebut. Semakin besar perbedaannya, semakin besar ikatan hidrogen yang terbentuk. Pada air (H2O), terjadi dua ikatan hidrogen pada tiap molekulnya. Akibatnya jumlah total ikatan hidrogennya lebih besar daripada asam florida (HF).
3.2.2.2 Ikatan Van Der Waals Atom-atom gas mulia (He, Ne, Ar, Kr, Xe) dapat membentuk suatu ikatan kristal lemah. Ikatan kristal tersebut terjadi akibat adanya interaksi elektrostatis anatara dipoledipole listrik yang muncul karena adanya distorsi yang sangat kecil pada distribusi elektronnya. Interaksi antar dipole inilah yang menghasilkan gaya tarik-menarik antar atom gas mulia yang disebut gaya Van der waals. Gaya ini sangat lemah, namun demikian, keberadaan gaya ini menyebabkan munculnya ikatan atom yang disebut ikatan Van der waals. Selain pada gas mulia, ikatan ini juga ditemukan pada beberapa ikatan molekul organic.
17
Pengantar Fisika Zat Padat
BAB 4 KAPASITAS PANAS 4.1 Getaran Termal Kristal dan Kuantitas Energinya Pada Bab 2, telah dibahas bahwa kristal tersusun oleh basis atom-atom yang “diam” pada posisinya di titik kisi. Sesungguhnya, diatas suhu mutlak 0 K, atom-atom dan kisi tersebut tidaklah diam, tetapi bergetar pada posisi kesetimbangannya. Getaran atom-atom dan kisi diatas suhu mutlak tersebut adalah sebagai akibat dari energi termal yang dimiliki atom-atom terkait dengan gejala termal. Sifat termal kristal tersebut di dekati secara teori melalui studi tentang kapasitas panas zat padat pada volume tetap (CV). Nilai CV sebagai fungsi dari suhu dianalisis dan dijelaskan dengan berbagai eksperimen, teori dan model. Kapasitas panas suatu zat padat dapat dirumuskan sebagai perubahan energi terhadap suhu yang dapat dituliskan dengan persamaan : CV =
∆E ∆T
Analisis nilai Cv berdasarkan kuantitas dari energinya pertama kali dikemukan oleh Dulong dan Petit tahun 1819. Dulong dan Petit meninjau getaran atom-atom dan kisi zat padat sebagai osilator harmonik. Satu getaran atom dan kisi identik dengan sebuah osilator harmonik. Osilator harmonik merupakan suatu konsep dalam mekanika klasik yang menggambarkan sebuah massa m yang terkait pada sebuah pegas dengan tetapan pegas k. Untuk osilator harmonik satu-dimensi, energinya dapat dirumuskan : E = Ek + Ep E=
1 1 mv 2 + kx 2 2 2 1
Energi rata-rata untuk setiap energi pada kaidah klasik dirumuskan sebagai 2 k B T sehinga energi total rata-ratanya menjadi 1
1
E = 2 k B T + 2 k B T= k B T dengan kB adalah tetapan Boltzmann dan T adalah suhu osilator. Selanjutnya, karena atomatom dalam kristal membentuk susunan tiga-dimensi, maka setiap kilomol kristal mamiliki NA atom yang berosilasi dalam tiga-dimensi, sehingga energi dalamnya adalah sebagai berikut 1 1 1 1 1 1 E = NA ( mvx2 + kx 2 + mvy2 + ky 2 + mvz2 + kz 2 ) 2 2 2 2 2 2 18
Pengantar Fisika Zat Padat
1 1 1 1 1 1 E = NA ( k B T + k B T + k B T + k B T + k B T + k B T) 2 2 2 2 2 2 E = 3NA k B T = 3RT R adalah konstanta gas yang berasal dari NA k B . Dengan demikian kapasitas panasnya adalah : CV =
dE = 3R dT
Hasil ini menunjukkan bahwa kapasitas panas zat padat tidak bergantung pada suhu dan berharga 3R. Jika hasil ini dibandingkan dengan hasil percobaan, dapat diketahui bahwa nilai 3R untuk kapasitas panas zat padat, hanya berlaku untuk suhu tinggi. Sedangkan untuk suhu rendah, hasi percobaan menunjukkan adanya kebergantungan nilai kapasitas panas terhadap suhu. Beberapa teori dan model kemudian muncul untuk menjelaskan kebergantungan nilai Cv terhadap suhu padaa suhu rendah.
4.2 Kapasitas Panas Menurut Einstein Einstein pada tahun 1907 mengemukakan teori tentang kapasitas panas dengan menganggap getaran atom-atom dan kisi dalam kristal sebagai osilator-osilator bebas yang bergetar tanpa saling mempengaruhi. Energi masing-masing osilator dirumuskan sebagai h
energi diskrit En = n 2π ωE = nℏωE . En adalah energi osilator, n adalah bilangan bulat 0, 1, 2, 3 dan seterusnya, h adalah tetapan planck dan ωE adalah frekuensi sudut dari setiap osilator. Pada tingkat dasar n = 0, energi osilator E0 = 0. Tingkat berikutnya n = 1, 2 dan seterusnya. Sesuai dengan persamaan energi diskrit diatas, perbedaan energi antar tingkat adalah hω. Einstein merumuskan bahwa sebaran energi osilator mengikuti rumusan distribusi Boltzman.
Sebaran energi osilator untuk harga energi yang diperkenankan
dirumuskan sebagai berikut : f(En ) ∝ exp(−
En ) kBT
Persamaan diatas menyatakan kebolehjadian keadaan dimana energinya dapat ditempati. Pada keseimbangan termal, energi rata-rata osilator dengan menggunakan sebaran distribusi Boltzman dinyatakan oleh : ̅= E
nℏωE ) kBT nℏωE ∑∞ n=1 exp(− k T ) B
∑∞ n=1 nℏωE exp(−
19
Pengantar Fisika Zat Padat
̅= E
ℏωE ℏωE exp( )−1 kBT
Selanjutnya, untuk satu mol osilator tiga-dimensi memiliki energi dalam : 3NA ℏωE ℏωE exp( )−1 kBT
̅= E = 3NA E
Dengan menggunakan persamaan untuk kapasitas panas Sehingga kapasitas panasnya : CV =
dE dT
Sehingga 3NA ℏωE ) ℏωE exp( )−1 kBT CV = dT ℏωE exp( ) ℏωE 2 kBT CV = 3R ( ) 2 kBT ℏωE {exp( ) − 1} kBT d(
Dalam model Einstein, didefinisikan suhu karakteristik Einstein ( ΘE ) yang dirumuskan sebagai ΘE ≡
ℏωE kB
, sehingga persamaan CV dapat dituliskan kembali menjadi
ΘE 2 CV = 3R ( ) T
Θ exp( TE ) 2 Θ {exp( TE ) − 1}
NilaiCV menurut persamaan ini dirumuskan sebagai fungsi dari suhu. Hal ini akan menghasilkan kurva yang secara kualitatif mendekati kurva eksperimen dalam Gambar 4.1. Untuk suhu yang sangat tinggi,
ΘE T
≪ 1 atau
ΘE T
→ 0, maka CV ≈ 3R. Hasil pada suhu
tinggi sesuai dengan rumusan klasik Dulong-Petit dan sesuai pula dengan hasil percobaan. Untuk T → 0 maka CV → 0. Hasil percobaan untuk suhu mendekati 0, menghasilkan nilai kapasitas panas yang mendekati 0 pula. Untuk T yang rendah,
ΘE T
≫ 1, maka
ΘE 2 CV ≈ 3R ( ) T
Θ exp( TE ) ΘE 2 ΘE ≈ 3R ( ) exp(− ) 2 T T Θ {exp( TE )}
20
Pengantar Fisika Zat Padat
Perhitungan nilai CV untuk suhu rendah ini tidak menghasilkan data yang sama dengan hasil percobaan. Hal ini menunjukkan model perumusan CV menurut Einstein masih perlu perbaikan konsep.
Gambar 3.1 Kapasitas panas berdasarkan model Einstein (garis putus-putus). Titik-titik bulat merupakan data percobaan nilai kapasitas panas untuk intan (diamond) [A. Einstein, Ann. Physik 22, 180 (1907)]
4.3 Kapasitas Panas Menurut Debye Dalam model Einstein, atom-atom dianggap bergetar secara independen dari atom di sekitarnya. Debye kemudian merumuskan bahwa gerakan atom sebenarnya tidaklah independen melainkan saling berinteraksi satu atom dengan atom lainnya. Interaksi antar atom tersebut diibaratkan sebagai gelombang mekanik yang menjalar dalam medium zat padat sehingga dengan anggapan tersebut, atom-atom akan bergerak secara kolektif. Frekuensi getaran atom dianggap bervariasi dari ω = 0 sampai dengan batas tertentu yaitu ω= ωD. Batas frekuensi ωD disebut frekuensi potong Debye. Anggapan ini mengubah persamaan dasar Cv menjadi mode osilasi yang kapasitas panas bergantung pada frekuensi yang tersebar antara ω = 0 sampai ω= ωD. Energi total getaran atom pada kisi menurut model Debye ini diberikan oleh ungkapan : ωD
̅(ω)g(ω) dω E=∫ E 0
̅(ω)adalah energi rata-rata osilator yang merupakan fungsi dari frekuensi dalam E selang antara ω = 0 dan ω = ωD, g(ω) adalah kerapatan moda getar (density of state) yang memenuhi persamaan ωD
∫0
g(ω) dω = 3NA
21
Pengantar Fisika Zat Padat
Jika kerapatan moda getar berupa gelombang yang merambat dalam dua arah, maka rapat moda getar per satuan volume bahan untuk setiap selang frekuensi adalah g(ω) =
ω2 3 2π2 vφ
v merupakan kecepatan fasa dari gelombang yang dapat dijabarkan dengan kecepatan logitudinal (vL) dan kecepatan transversal (vT), sehingga rapat moda getar per satuan volume bahan untuk setiap selang frequensi adalah 3ω2 1 2 [ 3 + 3] 2 2π vL vT
g(ω) = Sehingga
ωD
∫0
ωD 3ω2
g(ω) dω = 3NA = ∫0
3NA =
1
2
[v3 + v3 ] dω
2π2
L
T
33D 1 2 [ 3 + 3] 2 6π vL vT
ω2
Jika kedua ruas dikali dengan 3 3 , maka D
3NA 3 9NA
ω2 33D 1 2 ω2 = [ + ] 3 3D 6π2 vL3 vT3 3D
ω2 3ω2 1 2 3 = 2π2 [ 3 + 3 ] = g(ω) D vL vT
Jadi bentuk baru dari g(ω) adalah ω2
g(ω) = 9NA 3 , D
sehingga g(ω)d(ω) dapat pula dituliskan g(ω)d(ω) = 9NA
ω2 d(ω), 3D
dengan mendefinisikan energi rata-rata osilator adalah ̅(ω) = E
ℏ ℏ [ekB T
− 1]
Energi total menjadi ωD
̅(ω)g(ω) dω E=∫ E 0 ωD
ℏ E = 9NA 3 ∫ D 0
ω2 ℏ [ekB T
22
− 1]
dω
Pengantar Fisika Zat Padat
Kapasitas panas dengan rumusan Debye ini dituliskan dE dT
CV = CV = 9NA
ℏ T −2 ∫ 3D k B 0
ℏ
ℏD
B
kB
Dengan memisalkan x ≡ k
dan D ≡ T
ℏ 4 kB T ω e
ωD
2
ℏ [ekB T
2 dω
− 1]
yang disebut juga suhu Debye, maka 5
2
D T
ℏ kBT x 4 ex −2 CV = 9NA 3 T ( ) ∫ x dx [e − 1]2 ℏ D k B 0
3
D T
T x 4 ex CV = 9R ( ) ∫ x dx [e − 1]2 D 0
x
Pada suhu tinggi yaitu T≫ D , e ≅ 1 + x, sehingga D T
D T
0
0
x 4 ex 1 D 3 2 ∫ x dx = ∫ x dx = ( ) [e − 1]2 3 T T
3
D
CV = 9R ( ) ∫0 T D
x4 ex T 3 1 D 3 dx=9R ( ) 3( T ) [ex −1]2 D
= 3R
Dengan penyederhanaan persamaan tersebut maka nilai kapasitas panas adalah CV = 3R yang sesuai dengan model klasik Dulong-Petit maupun Einstein pada suhu tinggi. Pada suhu rendah (T ≪ D ), D akan mendekati tak hingga (D → ∞) sehingga CV ∝ T 3 . Hasil ini sangat cocok dengan hasil percobaan baik untuk Cu, Ag, Pb, C maupun material lain yang diujicobakan.
4.4 Perambatan Gelombang dalam Kristal dan Konsep Fonon Seperti telah dijelaskan pada Bagian 4.3 bahwa model dan teori yang dikemukakan oleh Debye tentang kapasitas panas suatu zat padat menghasilkan nilai yang sesuai dengan hasil percobaan. Model yang dikembangkan oleh Debye terutama menyangkut pada getaran termal atom-atom dalam kristal
merupakan getaran kolektif yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya. Sebaran energi yang digunakan untuk 23
Pengantar Fisika Zat Padat
menganalisis getaran kolektif tersebut dihitung dengan menggunakan distribusi BoseEinstein. Konsep kapasitas panas pada suatu zat padat atau kristal yang dikemukakan pada Bagian 4.1 sampai 4.3 ini lebih menonjolkan pada konsep getaran atau energi yang bersumber dari kalor atau panas (suhu) yang tersimpan dalam kristal. Konsep getaran kisi pada kristal dapat pula disebabkan oleh hal lain seperti gelombang elektromagnetik ataupun gelombang suara. Namun demikian konsep getaran kisi pada kristal baik yang disebabkan panas (getaran termal) ataupun sebab lain adalah sama. Konsep-konsep getaran ini dapat menyebabkan terjadinya perambatan getaran yang digambarkan sebagai perambatan gelombang dalam kristal. Getaran kisi dan perambatannya dalam kristal memunculkan suatu istilah baru yaitu fonon. Fonon adalah suatu paket energi yang menggambarkan pergerakan dari getaran (perambatan gelombang) dari suatu kisi yang bergetar dengan frekuensi yang sama yang ditinjau dari sudut pandang mekanika kuantum. Seperti telah diketahui, pada mekanika klasik, perambatan getaran dengan frekuensi yang sama hanya dipandang sebagai peristiwa perambatan gelombang biasa. Namun pada tinjauan mekanika kuantum, perambatan getaran biasa dipandang memiliki dualisme sifat yaitu gelombang (wave-like) dan partikel (particle-like). particle-like inilah yang merupakan inti darikonsep fonon. Bila dihubungkan dengan model Debye, energi fonon ini terkuantisasi dalam bentuk En = nℏωE Dalam hal ini dapat dibayangkan bahwa rambatan gelombang mekanik atau gelombang suara identik sengan adanya aliran arus fonon yang membawa energi dan momentum dalam jumlah tertentu. Jika membahas masalah perambatan fonon, akan sangat mudah membayangkan fonon sebagai suatu gas pada suatu ruang tertentu. Pada setiap daerah dalam ruang selalu terdapat fonon yang bergerak acak ke segala arah. Penggunaan model gas ini memungkinkan munculnya lintasan bebas rata-rata fonon dan tumbukkan antar fonon.
24
Pengantar Fisika Zat Padat
BAB 5 ELEKTRON BEBAS Seperti telah dijelaskan pada Bab 2, sebuah kristal tersusun dari kisi dan basis yang merupakan atom baik berupa atom tunggal ataupun molekul. Secara umum setiap jenis atom mengandung elektron-elektron yang mengelilingi sebuah inti seperti yang dijelaskan dalam model atom Bohr. Elektron-elektron tersebut dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu elektron yang terikat erat pada ikatan atom-atom dan elektron bebas yang lebih dikenal dengan nama elektron valensi. Elektron bebas ini dapat bergerak secara bebas di seluruh kristal. Elektron yang bebas bergerak tersebut dinamakan elektron bebas. Sedangkan elektron yang tidak dapat bergerak bebas, yaitu elektron yang terikat dalam atom maupun ikatan antar atom disebut elektron terikat atau elektron domestik. Keberadaan elektron bebas pada sebuah kristal menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan pada perhitungan kapasitas panas suatu zat padat. Teori-teori kapasitas panas yang dibahas pada Bab 4 sesungguhnya membahas kapasitas panas zat padat yang tergolong non logam dimana elektron-elektron yang menyusun atom-atomnya secara umum tergolong ke dalam elektron domestik. Untuk golongan zat padat yang digolongkan sebagai logam dimana elektron bebas sangat dominan sebagai penyusun kristal tersebut, teori perhitungan kapasitas panasnya harus dirumuskan ulang dengan mempertimbangkan keberadaan elektron bebas tersebut. Seperti halnya pada pembahasan kapasitas panas pada Bab 4, keberadaan elektron bebas yang mempengaruhi berbagai sifat suatu kristal akan ditinjau berdasarkan teori klasik yang disebut elektron bebas klasik dan teori kuantum yang disebut elektron bebas terkuantisasi. 5.1 Elektron Bebas Klasik Besarnya kapasitas panas pada suhu tinggi atau suhu ruang yagn diungkapkan baik oleh Dulong-Petit, Einstein maupun oleh Debye adalah Cv = 3R. Asumsi yang digunakan untuk mendapatkan persamaan tersebut adalah bahwa getaran kisi dalam suatu krisal memiliki energi termal tertentu. Paket energi dari getaran kisi yang terkuantisasi dikenal dengan nama fonon. Nilai Cv yang dijabarkan oleh Dulong-Petit, Einstein dan Debye tersebut 25
Pengantar Fisika Zat Padat
sebenarnya belum memasukkan nilai energi termal yang tersimpan dalam gerak termal elektron bebas. Atau dengan kata lain Cv tersebut hanya memperhitungkan kehadiran fonon sehingga kapasitas panas logam dengan memperhitungkan kehadiran elektron dan fonon dapat ditulis sebagai berikut : CV = CV_fonon + CV_elektron Cv yang berasal dari kontribusi fonon pada suhu tinggi adalah CV_fonon = 3R . Sedangkan Cv yang berasal dari kontribusi elektron dapat dijabarkan dari energi rata-rata elektron pada suhu T dengan jumlah elektron valensi yang disumbangkan oleh satu atom pada kristal dilambangkan oleh Zv dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: 3 3 E = Zv NA k B T = Zv RT 2 2 dE
3
CV_elektron dapat dirumuskan sebagai berikut CV_elektron = dT = 2 Zv R. Sehingga Cv yang berasal dari kontribusi fonon dan elektron adalah 3 3 CV = CV_fonon + CV_elektron = 3R + RZv = (3 + Zv ) R 2 2 Nilai Cv tersebut menunjukkan bahwa kapasitas panas suatu kristal yang memiliki elektron bebas (yang dapat dikatagorikan sebagai logam) 50 % lebih tinggi dari kristal yang tidak memiliki elektron bebas (yang dapat dikatagorikan sebagai isolator). Pada kenyataanya, pada suhu tinggi atau suhu ruang, kapasitas panas suatu logam tidaklah berharga satu setengah kali dari harga kapasitas panas bahan isolator melainkan hampir sama berharga 3R. Hal ini menunjukkan bahwa kajian kapasitas panas klasik tersebut belum tepat menggambarkan kontribusi dari elektron bebas terhadap kapasitas panas suatu logam. 5.2 Elektron Terkuantisasi Untuk menjelaskan fenomena fisika khususnya konsep kapasitas panas yang dihubungkan dengan keberadaan elektron bebas dalam kristal, konsep fisika kuantum sangat diperlukan dijabarkan secara jelas dan terperinci. Dua konsep kuantum yang sangat penting dalam pembahasan elektron bebas dalam suatu kristal atau zat padat adalah konsep kuantisasi energi elektron bebas dan konsep larangan pauli yang dapat membedakan satu jenis elektron dengan elektron lainnya berdasarkan bilangan kuantum yang melekat pada setiap elektron tersebut.
26
Pengantar Fisika Zat Padat
Elektron bebas yang secara kuantum dipandang memiliki sifat dualistic sebagai benda dan gelombang dapat bebas bergerak dalam seluruh volume kristal sebagai gelombang deBroglie. Syarat batas Born-von Karmann yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: eikx L + eiky L + eikz L = 1 L adalah rusuk kristal dan kx, ky, kz adalah vektor propagasi gelombang pada arah x, y dan z. Masing-masing vektor propagasi tersebut dapat dijabarkan sebagai: k x = nx
2π L
, k y = ny
2π L
, k z = nz
2π L
, dengan nx , ny , nz adalah bilangan 0, ±1, ±2, …
Energi elektron dalam ruang k dapat dituliskan sebagai: En =
ℏ2 (k 2 + k 2y + k 2z ) 2m0 x
m0 adalah massa elektron bebas. Jumlah keadaan elektron persatuan volume dengan energi antara E dan (E + E) adalah g(E)∆E =
1 2m0 3 1 ( )2 E 2 ∆E 2π2 ℏ2
Jadi rapat keadaan elektron adalah g(E) =
1 2m0 3 1 ( )2 E 2 2π2 ℏ2
Konsep rapat elektron ini adalah salah satu konsep penting ketika akan merumuskan kapasitas panas yang berasal dari kontribusi elektron bebas. Larangan Pauli Larangan Pauli menyatakan bahwa tidak ada dua atau lebih elektron dalam satu sistem memiliki energi dan bilangan kuantum yang tepat sama. Larangan Pauli dapat dijabarkan dengan tepat oleh statistic Fermi Dirac yaitu f(E) =
1 1 + exp(
27
E − EF ) kBT
Pengantar Fisika Zat Padat
Statistik Fermi Dirac ini memunculkan konsep energi Fermi yang merupakan jumlah energi yang dimiliki suatu kristal pada keadaan 0 K. Pada T = 0 K, f (E) = 1. Sedangkan pada T selain 0, nilai dapat ditutunkan dari persamaan di atas. Jumlah elektron per satuan volume pada T = 0 dituliskan sebagai n=
1 2m0 EF0 3 ( )2 3π2 ℏ2
Energi total yang dimiliki elektron pada T = 0 dapat dituliskan sebagai Ek
E = ∫ g(E)f(E)dE 0
Karena g(E)dE =
1 2m0 3 1 ( )2 E 2 dE, 2π2 ℏ2
Maka Ek
E=∫ 0
1 2m0 3 1 1 2m0 3 52 2 E 2 dE = ( ) ( )2 EF0 2π2 ℏ2 5π2 ℏ2 1
Dengan mensubstitusikan nilai n = 3π2 (
2m0 EF0 3 ℏ2
3
)2 maka akan diperoleh E = 5 nEF0
Dari persamaan tersebut dapat terlihat bahan elektron dengan harga energi sekitar EF dapat berperan pada analisis CV_elektron . Dalam analisis selanjutnya perlu tinjauan lebih detail tentang fungsi Fermi-Dirac tentang energi. Hal ini disebabkan dalam bahasan energi kinetik elektron bebas fungsi Fermi Dirac terdapat dalam persamaan energi kinetik yang dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: Ek
∞
Ee = ∫ (1 − f(E))g(E)(EF − E)dE + ∫ f(E)g(E)(EF − E)dE 0
Ek Ek
CV_elektron
∞
dEe dF dF = = ∫ (− )g(E)(EF − E)dE + ∫ g(E)(EF − E)dE dT dT dT 0
Ek
28
Pengantar Fisika Zat Padat
∞
CV_elektron = ∫ ( 0
Pada suhu rendah
kB T EF
dF )g(E)(E − EF )dE dT
1
≪m dF E − EF = dT kBT2
Dengan memisalkan x =
E−EF kB T
E−EF
e kB T
E−EF
(1 + e kB T )2
maka persamaan kapasitas panas hasil kontribusi elektron
bebas dapat disederhanakan menjadi ∞
x2 ex
CV_elektron = g(E)k 2B T ∫−∞ (ex +1)2 dx =
π2 3
π2 k 2
g(E)k 2B T= 2E B T F
CV = CV_fonon + CV_elektron = BT 3 + AT,
Sehingga
dengan A dan B adalah konstanta yang diperoleh dari perumusan CV_elektron dan CV_fonon 5.3 Perilaku Elektron Bebas dalam Logam Walaupun model elektron bebas klasik tidak dapat merumuskan dengan benar konsep kapasitas panas, namun model ini berhasil menjelaskan pengaruh keberadaan elektron bebas tersebut terhadap sifat listrik seperti nilai tahanan jenis listrik (konduktivias termal) dari bahan yang memiliki elektron bebas di dalam kristal pembentuknya. Elektron bebas yang bergerak sepanjang sebuah bahan yang memiliki panjang L dan luas penampang A akan memunculkan konsep arus listrik (I). Dalam bahan yang mengalir alru listrik akan timbul medan listrik E. Arus listik yang mengalir dalam suatu penampang tersebut memunculkan nilai kerapatan yang dituliskan sebagai J =
I A
Hukum Ohm yang menyatakan memperlihatkan hubungan antara kerapatan arus listrik dengan medan listrik yang timbul dituliskan dalam bentuk persamaan: J = σ. E σ adalah besaran yang menunjukkan konduktivitas dari bahan. Besarnya konduktivitas 1
adalah berbanding terbalik dengan nilai hambatan (resistivitas) : σ = ρ. 29
Pengantar Fisika Zat Padat
Nilai hambatan suatu bahan sangat ditentukan geometri dari bahan itu sendiri. Resistivitas merupakan besaran pembanding antara nilai resistansi dengan faktor geometri L
dari suatu bahan. R = ρ A Resistivitas Listrik Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa resistivitas listrik berbanding terbalik dengan nilai konduktivitasnya. Hambatan yang memunculkan nilai resistivitas dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama adanya vibrasi kisi yang menyebabkan tumbukan antara elekton bebas dengan fonon, kedua adanya ketidakmurnian (impuritas). Jadi nilai resistivitas dapat dituliskan sebagai penjumlahan antara kedua komponen tersebut.
= f + i
Pada suhu rendah (T , b
View more...
Comments