Lupus Eritematosus.doc

December 12, 2017 | Author: rama nonci | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

diterjemahkan dari Fitzpatrick.s Dermatology in General Medicine...

Description

BUKU AJAR

Kepada Yth :

Dipresentasikan pada: Hari/Tanggal : Jumat, 6 September 2013 Jam

: 08.00 WITA

LUPUS ERITEMATOSUS Diterjemahkan dari: Lupus Erythematosus Dalam buku: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine; Bab 155, halaman: 1909-1926, edisi ke 8, 2012, Melissa IC, Richard DS

Oleh : Desak Made Putri Pidari & Azhar Ramadan Nonci Pembimbing : dr. Ariana, SpKK & dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, SpKK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH DENPASAR

2013

SEKILAS TENTANG LUPUS •

Kelompok

penyakit

heterogenus

yang

memiliki

kesamaan

dalam

perkembangan imunitas asam nukleatnya sendiri dan protein terkait, dengan hanya terdapat kelainan kulit saja pada satu ujung spektrum dan keterlibatan organ dalam yang berat pada ujung spektrum yang lain. •

Kelainan kulit kemungkinan spesifik untuk lupus atau non spesifik dan sering terlihat pula pada kondisi lain.



Lupus eritematosus kutaneus akut (malar rash) hampir selalu berhubungan dengan keterlibatan organ dalam yang mendasari, pasien lupus kutaneus subakut memenuhi 50 % kriteria lupus eritematosus sistemik saat pemeriksaan (tapi gejala klinis yang khas hanya manifestasi klinis sistemik yang ringan), dan pasien lupus kutaneus kronik (lupus eritematosus diskoid, lupus panikulitis, lupus chilblain, lupus eritematosus tumid) sering hanya terdapat kelainan kulit saja atau terdapat kelainan kulit yang dominan.



Lupus eritematosus diskoid menyebabkan jaringan parut dan terjadi kerusakan permanen. Lupus kutaneus subakut dan lupus eritematosus kutaneus akut sangat fotosensitif dengan ciri tanpa jaringan parut.



Lesi kulit lupus eritematosus yang non-spesifik termasuk alopesia tanpa jaringan parut, lesi mulut, fotosensitivitas, fenomena Raynaud, dan vaskulitis/vaskulopati, termasuk yang lain. Kelainan ini sering terjadi kekambuhan pada sistemik lupus eritematosus.



Pengobatan terdiri dari tabir surya, glukokortikoid lokal dan sistemik (jangka pendek), anti malaria, retinoid, imunosupresif, thalidomid dan terapi biologi.



Lupus eritematosus lebih sering terjadi pada wanita (rasio perempuan-laki-laki 9:1).



Lupus eritematosus sistemik dan lupus eritematosus kutaneus berhubungan dengan peningkatan regulasi dari sinyal interferon kelas I.

2

LUPUS ERITEMATOSUS : TANTANGAN DALAM MENJELASKAN, MENGKLASIFIKASIKAN, DAN PENANGANAN Lupus eritematosus (LE) adalah istilah utama untuk berbagai kelainan yang dihubungkan satu sama lain dengan adanya perkembangan autoimunitas yang ditujukan

terutama

pada

unsur

molekuler

dari

nukleosom

dan

ribonukleoprotein. Beberapa pasien tampak manifestasi yang dapat mengancam kehidupan pada lupus eritematosus sistemik / systemic lupus erythematosus (SLE), sedangkan yang lain, yang juga menginfeksi dan tampak seperti proses dasar penyakit yang sama, tampak lebih jarang mengancam kehidupan daripada lesi kulit LE diskoid/ lupus erythematosus discoid (LED). Lebih mudah untuk mengkonsepkan LE sebagai spektrum klinis yang bervariasi dari keterlibatan ringan dengan hanya lesi kulit yang terlokalisasi hingga yang berisiko menyebabkan kematian dari manifestasi sistemik LE seperti nefritis, penyakit sistem saraf pusat atau vaskulitis. Pola dari keterlibatan kulit pada pada pasien LE dapat memberikan gambaran mengenai posisi spektrum kelainan pasien. Nomenklatur dan sistem klasifikasi ditemukan oleh James N. Gilliam yang membagi manifestasi kutaneus dari LE hingga lesi kulit yang menunjukkan ciri perubahan histologi dari LE (kelainan kulit LE spesifik) dan terdiri dari histopatologi yang dibedakan untuk LE dan atau dapat terlihat sebagai gambaran dari proses penyakit lain (kelainan kulit LE non spesifik). Dalam keadaan ini, pola LE spesifik berhubungan dengan lesi yang memperlihatkan dermatitis interface. Pola LE kutaneus (LE) sering disamakan dengan kelainan kulit LE yang spesifik sebagai istilah dari tiga kategori mayor dari kelainan kulit LE yang spesifik yaitu LE kutaneus akut/acute cutaneous lupus erythematosus (ACLE), LE kutaneus subakut/subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), dan LE kutaneus kronik/chronic cutaneous LE (CCLE). Hal ini akan digunakan sebagai kerangka dalam diskusi berbagai macam kelainan kulit yang terjadi pada pasien dengan LE (Tabel 155-1). 3

TABEL 155-1. Klasifikasi Gilliam untuk lesi kulit yang berhubungan dengan Lupus Eritematosus Kelainan kulit LE spesifik (LE kutaneus) A. LE kutaneus akut (ACLE) 1.

ACLE lokalisata (malar rash,

Kelainan kulit LE non spesifik A. Penyakit vaskular kutaneus 1. Vaskulitis

butterfly rash) 2.

a. Leukositoklastik

ACLE generalisata (lupus

(1) Purpura palpabel

makulopapular, lupus rash, SLE

(2) Urtikaria vaskulitis

rash, lupus dermatitis fotosensivitas)

b. Lesi kulit periarteritis nodosa 2.Vaskulopati

B. Lupus eritematosus subakut (SCLE) 1.

a. Lesi menyerupai

SCLE anular (sinonim Lupus

Degos disease

marginatus, eritema marginatum

b. Atrofi sekunder (sinonim livedoid

simetris, eritema anulare

2.

vaskulitis, livedo vaskulitis)

autoimun, lupus eritematosus

3. Telengiektasis periungual

giratum repens)

4. Livedo retikularis

SCLE papuloskuamosa (sinonim

5. Thromboflebitis

DLE diseminata, LE subakut

6. Fenomena Raynaud

diseminata, LE superfisial

7. Eritromelalgia (eritermalgia)

diseminata, LE psoriasiform, LE

B. Alopesia Non skar

pitiriasiform, LE fotosensitif

1.” Lupus hair”

makulopapular)

2. Telogen effluvium

C. LE kutaneus kronik (CCLE) 1.

3. Alopesia areata

LE klasik diskoid

C. Sklerodaktili



DLE lokalisata

D. Nodul rheumatoid



DLE generalisata

E. Kutis kalsinosis

2.

DLE hipertrofik/verukosa

F. Lesi bula LE non spesifik

3.

Lupus profundus/lupus panikulitis

G. Urtikaria

4.

DLE mukosal

H. Musinosis papulonodular



DLE oral

I.



DLE konjungtiva

5.

Lupus Tumidus (LE plak urikarial)

6.

LE Chilblain (lupus chilblain)

7.

DLE likenoid (LE/liken planus

Kutis laxa/anetoderma

J. Akantosis nigrikans (resisten insulin tipe B) K. Eritema multiforme L. Ulkus kaki

M. Liken planus overlap, lupus planus) LE; lupus eritematosus; SLE , sistemik lupus eritematosus Dari Sontheimer RD : The lexicon of cutaneous lupus erythematosus-A Review dan personal perspective on the nomenclature and classification of the cutaneous of lupus erythematosus.

4

Lupus 6: 84, 1997, dengan ijin dari Stockton Journals, Macmillan Press, Ltd.

Hal utama dari LE adalah terdapatnya heterogenitas, dan tantangan bagi yang melakukan pengobatan adalah dengan mengenali pola klinis yang berguna untuk menentukan beragam kelainan ini. Gambaran dari manifestasi sitemik dari LE dapat dilihat dalam kriteria American College of Rheumatology’s (ACR), suatu klasifikasi untuk SLE, yang ditampilkan pada Tabel 155-2, dan garis besar manifestasi sistemik dari SLE ditampilkan pada Tabel 155-3. Tabel 155-2 Kriteria klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik yang direvisi tahun 1982a Kriteria 1. Malar rash

Definisi Eritema yang menetap, rata atau sedikit menonjol, pada daerah malar,

2. Discoid rash

menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai daerah lipatan nasolabial Bercak eritematosus yang meninggi dengan keratotik skuama yang melekat

3. Fotosensitivitas

dan sumbatan folikular; Pada SLE yang lebih lanjut ditemukan skar atrofi Ruam kulit diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, berdasarkan

4. Ulkus mulut

anamnesis dari pasien atau yang dilihat oleh dokter permeriksa Ulkus di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, yang dilihat oleh dokter

5. Artritis

pemeriksa Artritits non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai

6. Serositis

dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi a. Pleuritis- riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau b. Perikarditis: terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub

7. Kelainan Ginjal

atau terdapat bukti efusi perikardium a. Proteinuria menetap > 0,5 g/hari atau lebih dari 3 + bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau b. silinder seluler – dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,

8. Kelainan neurologi

tubular atau campuran. a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis, atau gangguan keseimbangan elektrolit atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan

9. Kelainan hematologi

elektrolit a. Anemia hemolitik dengan retikulosis

5

atau b. leukopenia-< 4000 µL pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau c. limfopenia-< 1.500 µL pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau 10. Kelainan imunologi

d. trombositopenia-< 100.000 µL tanpa disebabkan obat-obatan a. Anti DNA-antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau b. Anti-Sm- terdapanya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik Ig G atau IgM, 2) Tes lupus antikoaglan positif menggunakan metoda standar, atau 3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi sengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau

11. Antibodi antinuklear positif (ANA)

tes fluoresensi absorbsi antibodi treponema. Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear

berdasarkan

pemeriksaan

imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang dketahui berhubungan dengan sindroma

a

lupus yang diinduksi obat. Klasifikasi yang dikemukakan berdasarkan 11 kriteria. Untuk mengidentifikasi pasien dari studi klinis,

seseorang dikatakan mempunyai lupus eritematosus sistemik jika terdapat 4 dari 11 kriteria, secara serial atau simultan,selang beberapa waktu atau pada saat observasi. Diambil dari Tan EM et al: kriteria tahun 1982 untuk klasifikasi dari lupus eritematosus sistemik. Arthritis Rheum 25: 1271,1982, hak cipta tahun 1982 dengan ijin dari The American College of Rheumatology

Tabel 155-3 Gambaran dari manifestasi ekstrakutaneus Lupus Eritematosus Sistemik Gambaran umum •

Neuropsikiatri

Demam, kelelahan, malaise, penurunan berat



badan

perifer,

mielitis

transversa, Sindroma Guillan- Barre •

Korea, koreatetosis

Artralgia pada sendi kecil yang simetris,



Kejang

artritis,



Sakit kepala (berat, seperti migrain)



Infark otak sekunder dari artritis

Muskuloskeletal •

Neuropati

(tanpa

deformitas

dan

deformitas), kekakuan pagi hari

dengan



Mialgia, miositis



Tendinitis



Sindroma otak organik



Nekrosis tulang avaskular (aseptik)



Psikosis oleh karena Cerebritis difus

serebral

6

Hematologi •

Anemia



Normokromik normositik



Hemolitik



Leukopenia



Limfopenia



Granulositopenia



Trombositopenia



Depresi

• •

Pleurisi, efusi pleura, pneumonitis aseptik,



Pankreatitis



Peritonitis, asites



Hepatomegali, hepatitis aktif kronis

Okular

Perikarditis, takikardia, kardiomegali, gagal



Konjungtivitis, episkleritis

jantung kongestif, aritmia, defek konduksi,



Kebutaaan sekunder karena oklusi

Renal Glomerulitis mesangial (WHO kelas II) o •

Infark usus/ perforasi sekunder dari vaskulitis mesenterium

arteri retinal pusat

arteritis koroner, endokarditis Libman-Sacks •

Anoreksia, mual, muntah, nyeri perut

perdarahan paru •

Psikologi

Gastrointestinal

Kardiopulmonari •



Proteinuria ringan



Cytoid bodies



Keratokonjungtivitis sika

Sistem limfatik

Glomerulonefritis proliperatif fokal (WHO



Limfadenopati

kelas III)



Splenomegali

o

Proteinuria,

hematuria,

sindroma

okasional nefrotik, hipertensi •

Glomerulonefritis proliperatif difus (WHO kelas IV) o

Proteinuria,

hematuria,

endapan

darah merah, insufisiensi ginjal, sindroma nefrotik, hipertensi •

Glomerulonefritis membranous (WHO kelas V)



Proteinuria berat, sindroma nefrotik

WHO = World Health Organization

EPIDEMIOLOGI Epidemiologi dan sosial ekonomi secara umum dapat mempengaruhi lupus eritematosus dan secara spesifik telah ditinjau pengaruhnya pada CLE. Kelainan kulit merupakan manifestasi klinis kedua yang paling sering tampak pada lupus eritematosus setelah peradangan pada sendi. Sebanyak 45 % dari pasien dengan CLE menunjukkan beberapa derajat dari kecacatan vokasional. Studi terbaru mengenai 7

kualitas hidup menyimpulkan pengaruh manifestasi kulit pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik diawali hanya oleh nyeri dan kelelahan yang berhubungan dengan penyakit mereka. The dermatology Life Quality Index dan SF-36 digunakan untuk mengukur kualitas hidup dari pasien CLE. Kedua kuisioner ini menunjukkan bahwa pasien dengan lesi kulit yang aktif memiliki kualitas hidup yang rendah, terutama berpengaruh pada pasien dengan alopesia. Malar, atau butterfly rash (ACLE lokalisata), telah dilaporkan 20-60 % pada studi kohort besar pada pasien LE. Data yang terbatas menyimpulkan bahwa makulopapular atau SLE rash dari ACLE generalisata terjadi pada 35%-60% dari pasien SLE. ACLE, seperti SLE pada umumnya, paling sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki (8:1). Semua ras terkena, walaupun manifestasi klinis awal dari ACLE bisa sangat terlihat pada individu dengan kulit hitam. Pasien dengan lesi SCLE meliputi 7 %-27 % pada populasi pasien LE. SCLE adalah kelainan primer pada wanita berkulit putih, dengan rata-rata onset pada dekade kelima. Pasien SLE yang dicetuskan obat merupakan onset penyakit yang lebih lama, kemungkinan mencerminkan paparan yang lebih besar akibat obat yang digunakan untuk pengobatan masalah kesehatan yang berhubungan dengan usia (hipertensi, kelainan kardiovaskular). Bentuk CCLE yang paling sering adalah lesi kulit DLE klasik, terjadi pada 15 %-30 % dari populasi SLE yang didapatkan dengan berbagai cara. Rata-rata 5 % dari pasien

dengan

DLE

lokalisata

berkembang

menjadi

SLE.

Reumatologis

memperkirakan bahwa pasien SLE sepertujuh kali lebih sering daripada pasien LE kutaneus terbatas. Akan tetapi, dermatologis telah memperkirakan pasien LE kutaneus yang terbatas 2-3 kali lebih sering daripada pasien SLE. Publikasi data berdasarkan data populasi yang terbaru membuktikan bahwa insiden dan prevalensi dari bentuk LE kutaneus yang terbatas sebanding dengan SLE. Walaupun DLE dapat terjadi pada bayi dan orang tua, paling banyak terjadi pada individu antara usia 20-40 tahun. Perbandingan wanita dan laki-laki DLE adalah 3:2 hingga 3:1, yang mana lebih rendah pada SLE. Semua ras dapat terkena, tapi hasil penelusuran menunjukkan bahwa prevalensi DLE lebih sering pada kulit hitam. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyebab dan mekanisme patogenesis yang berperan pada kelainan kulit LE yang spesifik belum sepenuhnya dipahami, walaupun penemuan terbaru telah membuat 8

beberapa pandangan baru. Patogenesis dari kelainan kulit spesifik LE saling terkait dengan patogenesis SLE. Secara singkat, SLE adalah kelainan dimana terdapat pengaruh antara faktor pejamu (kerentanan gen, hormonal milieu, dll) dan faktor lingkungan (radiasi ultraviolet, virus, dan obat-obatan) yang berperan pada hilangnya toleransi, dan menginduksi autoimunitas. Hal ini diikuti oleh aktivasi dan ekspansi dari sistem imun, dan menekankan pada jejas imunologi pada organ dan memberikan gambaran klinis dari penyakit (gambar elektronik 155-0.1 pada edisi online). Penemuan terkini telah menekankan pada peran yang penting dari sinyal interferon α pada patogenesis SLE dan kelainan kulit LE spesifik. FAKTOR LINGKUNGAN Predisposisi genetik untuk terjadinya lupus tidak dengan sendirinya menyebabkan kelainan. Sebetulnya terjadinya induksi dari autoimunitas pada beberapa pasien dicetuskan oleh beberapa hal, seperti pengaruh lingkungan. Obat-obatan, virus, dan kemungkinan tembakau, diketahui dapat menginduksi perkembangan dari SLE. Radiasi ultraviolet mungkin merupakan faktor lingkungan yang paling penting untuk menginduksi tahap dari SLE dan terutama kelainan kulit LE spesifik. Sinar matahari berperan pada immunitas alami dan hilangnya toleransi disebabkan oleh apoptosis dari keratinosit, yang dapat merubah, menjadikan peptida yang tidak jelas sebelumnya tersedia sebagai pertahanan imunitas. Radiasi UVB dapat menunjukkan perpindahan autoantigen seperti Ro/SS-A dan autoantigen yang terkait, La/SS-B dan calreticulin, dari lokasi normalnya di dalam keratinosit epidermal ke permukaan sel. Sinar UVB menginduksi keluarnya CCL27 (sel T kutaneus-yang menginduksi kemokin), yang dapat meningkatkan ekspresi dari kemokin yang mengaktivasi autoreaktif dari sel T dan interferon-α (IFN-α), memproduksi sel dendritik (DCs), yang berperan penting pada patogenesis dari lupus. Laporan terbaru dari studi case- control melaporkan bahwa perokok memiliki risiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi SLE dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan perokok pemula. Analisa cross sectional yang merupakan gabungan dari data yang diambil dari data internet dan dikemukakan oleh Werth dan kolega mencatat bahwa terapi CLE lebih banyak resisten pada perokok. Beberapa penulis menunjukkan bahwa pasien kelainan kulit LE spesifik yang merokok kurang responsif dengan terapi anti malaria.

9

Beberapa obat dikatakan berperan menginduksi gambaran dari SLE (Tabel 155-3). Obat yang menginduksi SLE dapat berhubungan dengan benda yang fotosensitif. Dapat disimpulkan bahwa obat ini dapat menyebabkan apoptosis dari keratinosum, paparan dari peptide intraseluler sebelumnya pada permukaan epidermis, dan memperbanyak sitokin proinflamatori seperti TNF-α dan IFN-α. Terdapat banyak spekulasi tentang peranan agen infeksius, terutama virus, yang dapat menginduksi SLE dan CLE. Serokonversi dari virus Epstein barr pada pasien SLE hampir sering terjadi, dan data terbaru menunjukkan bahwa pasien SLE terjadi kerusakan dalam melawan infeksi EBV laten yang kemungkinan berasal dari respon sel T yang telah berubah untuk melawan EBV.

TEMUAN KLINIS (gambar elektonik 155-0.2 pada edisi online) LESI KUTANEUS Tabel elektronik 155-3.1 pada edisi online membandingkan antara klinis utama, histopatologi, dan gambaran laboratorium pada pasien dengan lesi kulit ACLE, SCLE dan CCLE (DLE klasik). Sangat penting untuk membedakan subtipe dari kelainan kulit LE spesifik, oleh karena keterlibatan kulit pada LE dapat mencerminkan aktivitas dasar dari SLE. Kenyataannya, sebutan akut, subakut dan kronis, yang berhubungan dengan CLE, menunjukkan kecepatan dan tingkat keparahan yang berhubungan dengan SLE dan tidak berhubungan dengan berapa lama lesi individu terjadi sebelumnya. Sebagai contoh, ACLE hampir selalu terjadi pada keadaan kekambuhan dari SLE, dimana CCLE sering terjadi dengan tidak adanya SLE atau adanya SLE yang ringan. SCLE menempati posisi tengah dari spektrum klinis. Subklasifikasi walaupun penting untuk menentukan faktor risiko, terkadang sulit, yang mana tidak jarang terlihat lebih dari satu subtipe dari kelainan kulit spesifik LE pada pasien yang sama, terutama pada pasien dengan SLE. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS AKUT Walaupun ACLE yang lokalisata pada daerah wajah merupakan pola gambaran yang biasa terjadi, dapat terjadi penyebaran yang generalisata. ACLE yang terlokalisata umumnya disebut sebagai klasik butterfly rash atau malar rash dari SLE (gambar

10

155-1). Pada ACLE yang lokalisata, eritema yang bergabung dan simetris dengan edema terpusat pada peninggian malar dan melewati bagian atas hidung (telah dijelaskan keterlibatan unilateral pada ACLE). Ditandai tanpa adanya keterlibatan lipatan nasolabial. Kening, dagu, dan area V dari leher dapat terkena, dan terjadi edema wajah yang berat. Terkadang, ACLE dimulai dengan makula kecil dan atau papul pada wajah yang pada akhirnya menyatu dan hiperkeratosis. ACLE generalisata tampak morbiliform yang menyebar atau erupsi eksematosa, biasanya terdapat pada bagian lengan ekstensor dan tangan tanpa keterlibatan ruas-ruas tangan (gambar 1552A). Walaupun dapat terjadi eritema di sekitar pembuluh darah lipatan kuku dan telengiektasi (lihat Gambar 155-2 B), hal ini lebih sering terjadi pada bentuk dermatomiositis (lihat gambar 157-5). ACLE generalisata sering disebut ruam makulopapular dari SLE, dermatitis lupus fotosensitif, dan ruam SLE. Bentuk akut dari ACLE jarang terlihat dapat menstimulasi toxic epidermal necrolysis (TEN). Bentuk dari LE spesifik kelainan vesikobulosa ini dihasilkan dari penyebaran apoptosis keratinosit epidermal, dan menekankan pada area kulit nekrosis epidermal yang luas, yang kemudian mengelupas. Hal ini bisa dibedakan dari TEN yang sebenarnya terjadi terutama pada kulit yang terpapar sinar matahari dan mempunyai onset yang mendadak. Mukosa dapat atau tidak terlibat, seperti pada TEN.

Gambar 155-1. Lupus eritematosus akut lokalisata. Eritematosus, edema ringan, eritema dengan batas tegas terdapat pada area malar dengan distribusi seperti “ butterfly”.

11

Gambar 155-2. Lupus eritematosus akut generalisata A. Bercak dengan batas yang jelas dari eritema dengan skuama tipis diatas dari tangan bagian dorsal, jari dan area periungual. Perhatikan tanda tidak terlibatnya bagian ruas jari, yang khas terdapat pada dermatomiositis. B. Gambar dari jarak dekat memperlihatkan eritema periungual dan telengiektasi yang terlihat jelas. Walaupun lesi ini dapat terlihat pada lupus eritematosus, keadaan ini lebih khas untuk dermatomiositis.

ACLE biasanya dicetuskan oleh paparan sinar matahari. Bentuk dari CLE ini tidak berlangsung lama, hanya bertahan beberapa jam, hari atau minggu, walaupun pengalaman pada beberapa pasien dapat memiliki periode aktivitas yang lama. Perubahan warna paska inflamasi paling menonjol pada pasien dengan kulit hitam. Tidak terjadi jaringan parut pada ACLE kecuali pada prosesnya disertai dengan komplikasi infeksi bakteri. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS SUBAKUT Gambaran klinis yang didominasi oleh lesi SCLE menandai adanya bagian berbeda dari LE yang memiliki gambaran klinis, serologi dan fitur genetik. Walaupun ditemukannya autoantibodi Ro/SS-A ribonukleoprotein sangat mendukung diagnosis dari SCLE, adanya autoantibodi spesifik ini tidak diperlukan untuk membuat diagnosis SCLE. SCLE terutama tampak sebagai makula eritematosus dan/atau papul yang menjadi papuloskuamosa hiperkeratotik atau plak polisiklik/anular (Gambar 155-3). Walaupun sebagian besar pasien SCLE menunjukkan gambaran anular atau papuloskuamosa, beberapa unsur dapat berkembang pada kedua jenis morfologi. Lesi SCLE bersifat fotosensitif dan terjadi terutama pada area yang terpapar sinar matahari (termasuk punggung atas, bahu, bagian ekstensor dari lengan, area V dari leher dan

12

jarang pada wajah). Lesi SCLE secara khas menyembuh tanpa jaringan parut tapi dapat sembuh dalam jangka waktu yang lama, jika tidak permanen berupa leukoderma yang menyerupai vitiligo dan telengiektasis. Beberapa varian dari SLE telah dijelaskan. Kadang-kadang, lesi SCLE awalnya tampak gambaran eritema multiforme. Beberapa kasus mirip dengan sindroma Rowell (lesi yang menyerupai eritema multiforme, terjadi pada pasien dengan SLE dengan adanya autoantibodi La/SS-B). Sebagai hasil dari kerusakan hebat pada sel basal epidermis, tepi aktif dari lesi SCLE anular terkadang mengalami perubahan vesikobulosa yang selanjutnya membentuk gambaran krusta yang jelas. Beberapa lesi dapat menyerupai Sindroma Steven Johnson / TEN. Patogenesis sama dengan yang dijelaskan diatas seperti TEN-yang menyerupai ACLE. Jarang terdapat gambaran SCLE dengan eritroderma eksfoliatif atau menunjukkan distribusi akral dari lesi anular. Telah dilaporkan pitiriasiform dan varian eksematosa dari SCLE. Lesi kulit neonatal LE (transien, fotosensitif, lesi kulit spesifik LE tanpa jaringan parut pada neonatus yang mempunyai IgG anti- Ro/ SS-A, dan terkadang, autoantibodi lain yang spesifik transplasental) memberikan berbagai gambaran dengan SCLE. Tidak seperti lesi kulit ACLE, lesi SCLE mempunyai kecenderungan lebih bersifat sementara daripada lesi ACLE dan menyembuh dengan perubahan warna. Kelainan ini juga lebih sedikit edematosa dan lebih hiperkeratotik daripada lesi ACLE, SCLE lebih sering melibatkan leher, bahu, ekstrimitas atas dan dada, dimana ACLE lebih sering mengenai daerah malar dari wajah. Bila lesi SCLE mengenai wajah, lebih sering pada wajah lateral tanpa melibatkan bagian sentral, area malar. Dibandingkan dengan lesi SCLE, lesi DLE umumnya berhubungan dengan derajat hiper dan hipopigmentasi yang lebih tinggi, atrofi dermal dengan jaringan parut, follicular plugging, dan skuama yang melekat. Rata-rata setengah dari pasien SCLE memenuhi kriteria ACR yang telah direvisi untuk klasifikasi SLE. Walaupun, manifestasi dari SLE yang berat seperti nefritis dan kelainan sistem saraf pusat dan vaskuitis sistemik, berkembang hanya 1015 % pada pasien SCLE. Telah disimpulkan bahwa SCLE tipe papuloskuamosa, leukopenia, titer yang tinggi dari antibodi antinuklear (ANA) (> 1: 640), dan antibodi anti ds-DNA merupakan faktor risiko untuk berkembang menjadi SLE pada pasien dengan lesi SCLE. SCLE dapat tumpang tindih dengan kelainan autoimun, termasuk sindroma Sjogren, reumatoid artritis, dan tiroiditis Hashimoto. Kelainan lain yang anekdot 13

berhubungan dengan SCLE adalah sweet syndrome, porfiria kutaneus tarda, enteropati-sensitif gluten, dan penyakit Chron. SCLE juga dapat berhubungan dengan keganasan organ dalam (payudara, paru-paru, lambung, hepatoselular, dan karsinoma laring sama seperti limfoma Hodgkin)

Gambar 155-3. Lupus eritematosus kutaneus subakut (SCLE). A. SCLE anular pada bagian punggung atas pada wanita usia 38 tahun. Perhatikan area tengah dari hipopigmentasi yang mana tidak terlihat atrofi dermal. B. SCLE papulosukamosa pada bagian lengan ekstensor pada wanita usia 26 tahun.

LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS KRONIK DLE klasik Lesi klasik DLE merupakan bentuk paling sering dari CCLE, dimulai dengan makula berwarna merah keunguan, papul atau plak kecil dan berkembang dengan cepat menjadi permukaaan hiperkeratotik. Lesi awal DLE berkembang menjadi plak eritematosus berbentuk koin, berbatas tegas yang ditutupi dengan skuama yang melekat dan meluas ke orifisium dari folikel rambut yang melebar (Gambar 155-4). Lesi DLE meluas dengan eritema dan hiperpigmentasi dibagian tepi, meninggalkan tanda atrofi jaringan parut pada bagian tengah, telengiektasia, dan hipopigmentasi (Gambar 155-5). Lesi DLE pada tahap ini dapat bergabung untuk membentuk plak yang besar dan berkonfluen. DLE pada individu dengan latar belakang etnik tertentu, seperti Asian Indian, dapat menunjukkan gambaran area makular hiperpigmentasi yang terbatas. Pada permukaan kulit yang berambut (kulit kepala, batas kelopak mata, dan alis), DLE menyebabkan alopesia, yang dapat menyebabkan kerusakan dan memberi dampak pada kualitas hidup pasien. Keterlibatan folikular pada DLE merupakan gambaran utama. Sumbatan keratotik terakumulasi pada folikel rambut yang berdilatasi dan menyebabkan hilangnya rambut. Pada saat skuama yang melekat dilepaskan dari lesi yang melebar, gambaran tonjolan keratotik seperti karpet yang ditusuk paku timbul pada permukaan bawah

14

skuama (tanda “carpet tack”). Lesi DLE sulit didiagnosis pada pasien Kaukasian karena sering tidak tampak tanda dari hiperpigmentasi perifer. Beberapa lesi sering sulit dibedakan dengan keratosis aktinik, karsinoma sel skuamosa, atau akne.

Gambar 155-4. Lupus eritematosus klasik diskoid. Ditandai dengan plak eritematosus pada bagian dahi menunjukkan hiperkeratosis dan menekankan pada orifisium folikel pada laki-laki usia 60 tahun dengan riwayat mengalami lupus eritematosus kutaneus selama 25 tahun. Lesi kulit telah tampak selama 3 bulan, tidak tampak atrofi dermal pada tahap ini.

Gambar 155-5. Lupus eritematosus diskoid. Plak eritematosus pada leher dan wajah, berbatas tegas, bentuk bulat sampai oval, sedikit meninggi. Sebagian besar plak menunjukkan derajat ringan dari hiperkeratosis, dan beberapa menunjukkan atrofi dermal. Area hipopigmentasi yang tidak mengalami inflamasi dan skar sebagai pertanda lesi sebelumnya yang telah menyembuh.

Lesi DLE lebih sering ditemui pada wajah, kulit kepala, telinga, area V dari leher, dan bagian ekstensor dari lengan. Berbagai area pada wajah, termasuk alis, kelopak mata,

15

hidung dan bibir dapat terkena. Plak DLE yang simetris, hiperkeratotik, bentuk seperti kupu-kupu terkadang ditemukan pada area malar pada wajah dan melewati hidung. Beberapa lesi seharusnya tidak sulit dibedakan dengan sifatnya yang tidak menetap, edematus, ACLE dengan reaksi eritema dan skuama yang minimal yang terjadi pada area yang sama. DLE pada wajah, seperti ACLE dan SCLE, biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial. Sulit untuk membedakan lesi awal dari DLE malar dengan ACLE, tapi indurasi dan rekalsitran dengan steroid topikal/ inhibitor kalsineurin mendukung diagnosis sebelumnya. Pada saat lesi DLE terjadi perioral, menyembuh dengan pola akneiform yang jelas dengan bintik-bintik jaringan parut. DLE dapat mengenai telinga bagian luar, termasuk bagian luar dari kanal auditori eksternal (Gambar 155-6 A). Beberapa lesi sering tampak sebagai folikel yang hiperpigmentasi dan berdilatasi. Kulit kepala melibatkan 60 % pasien DLE. Alopesia ireversibel dengan jaringan parut yang dihasilkan dari beberapa keterlibatan telah dilaporkan pada sepertiga pasien (lihat gambar 155-6B). Alopesia jaringan parut ireversibel yang disebabkan DLE dibedakan dari alopesia tanpa jaringan parut yang reversibel dengan SLE yang sering berkembang pada periode dari aktivitas kelainan sistemik. Tipe dari hilangnya rambut ini yang juga disebut lupus hair, kemungkinan dapat terjadi telogen effluvium oleh karena perluasan kelainan sistemik. Lesi DLE lokalisata terjadi hanya pada kepala atau leher, dimana DLE generalisata terjadi pada leher bagian atas dan bawah. DLE generalisata lebih sering terjadi dan berhubungan dengan SLE dan selalu lebih rekalsitran dengan terapi standar, sering membutuhkan pengobatan antimalaria dan immunosupresif. Lesi DLE dibawah dari leher sebagian besar terjadi pada bagian ekstensor dari lengan, lengan bawah, dan tangan, walaupun dapat tampak pada beberapa bagian dari tubuh. Telapak tangan dan kaki dapat menjadi bagian yang nyeri dan sering terjadi kecacatan pada lesi DLE yang erosif. Terkadang, lesi DLE yang kecil terjadi hanya di sekitar orifisium folikular, muncul pada siku dan bagian lain (DLE folikular). Telah diamati bahwa siku/ekstensor dari lengan dapat terjadi bersamaan dengan lesi akral jari dari DLE, dan pasien dengan kombinasi ini sering memiliki kelainan sistemik. Lesi DLE dapat terbatas pada kuku. Kuku dapat mempengaruhi bentuk lain CLE, sama seperti SLE, membentuk lipatan kuku yang eritema dan telengiektasi, lunula merah, clubbing dan paronikia, pitting, leukonikia striata, dan onikolisis.

16

Gambar 155-6. Lupus eritematosus diskoid klasik (DLE) dan DLE mukosal pada wanita AfrikaAmerika berusia 45 tahun dengan riwayat 20 tahun tidak mendapatkan pengobatan untuk kelainan lupus eritematosus kutaneus. A. Keterlibatan dari telinga dengan atrofi dan hiperpigmentasi paska inflamasi sama seperti plak kemerahan yang inflamasi pada kulit kepala dengan hipopigmentasi paska inflamasi. B. Lesi yang bergabung pada kulit kepala menghasilkan alopesia dengan jaringan parut yang luas. C. Plak DLE pada mukosa palatum menunjukkan gambaran morfologi yang sama dengan lesi kutaneus.

Lesi DLE dapat terjadi oleh karena paparan sinar matahari tapi lebih sedikit meluas dibandingkan lesi ACLE dan SCLE. DLE seperti bentuk lesi LE kulit, dapat dicetuskan oleh trauma kulit (seperti fenomena Koebner atau efek isomorfik). Hubungan antara lesi klasik DLE dan SLE menjadi bahan perdebatan. Beberapa poin dapat disimpulkan: (1) 5 % pasien DLE klasik berkembang menjadi SLE dan (2) pasien DLE yang generalisata (yaitu lesi pada bagian atas dan bawah dari leher) mempunyai risiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi manifestasi yang berat dari SLE dibandingkan dengan DLE lokalisata. Seperempat pasien SLE mempunyai lesi DLE pada beberapa titik dari perjalanan penyakitnya, dan beberapa pasien cenderung terjadi bentuk yang lebih ringan dari SLE. Gambar 155-7 menggambarkan risiko relatif dari kelainan sistemik yang berhubungan dengan variasi klinis kelainan kulit LE spesifik. Selain DLE klasik, terdapat beberapa beberapa varian dari CCLE yang tidak umum terjadi, yang 17

dimasukkan dalam subklasifikasi oleh karena gambaran histologinya yang tumpang tindih dan cenderung lebih jarang berhubungan dengan SLE.

Gambar 155-7. Faktor risiko untuk terjadi bersamaan atau berkembang menjadi lupus eritematosus sistemik pada pasien dengan bentuk yang bervariasi dari kelainan kulit LE yang spesifik. Spektrum dari LE bervariasi dari kelainan kulit saja hingga kelainan kulit yang mengancam kehidupan. ACLE = acute cutaneous lupus erythematosus; DLE= discoid lupus erythematosus; SCLE = subacute cutaneous lupus erythematosus

DLE hipertrofik DLE hipertrofik, yang juga disebut sebagai DLE hiperkeratotik atau DLE verukosa, merupakan varian yang jarang pada CCLE, dimana hiperkeratosis normalnya ditemukan pada lesi DLE klasik. Lengan bagian ekstensor, punggung bagian atas, dan area wajah paling sering terkena. Gambaran yang tumpang tindih antara LE hipertrofik dan liken planus telah dijabarkan sebagai the rubric lupus planus. Kesatuan dari lupus erythematosus hypertropicus et profundus mengenai wajah dengan gambaran keunguan/merah pudar, tepi yang menggulung, tepi yang meninggi, dan bagian tengah yang menonjol dan atrofi yang berbentuk kawah. Penamaan klinis sering sulit ditentukan, karena pasien dengan LE panikulitis tidak ditandai dengan histopatologi. Pasien dengan DLE hipertrofi kemungkinan tidak mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembangnya SLE dibandingkan dengan pasien dengan lesi DLE klasik.

18

DLE mukosal DLE mukosal kira-kira terjadi pada 25 % dari pasien CCLE. Mukosa oral paling sering terkena, walaupun, nasal, konjungtiva, dan permukaan mukosa genital juga dapat terkena. Pada mulut, permukaan mukosa bukal paling sering terkena, dengan palatum (lihat gambar 155-6 C), tulang alveolar, dan lidah merupakan area yang lebih jarang terkena. Lesi dimulai dengan nyeri, bercak kemerahan yang melibatkan plak kronis yang sulit dibedakan dengan liken planus. Plak kronik mukosa bukal mempunyai batas tegas dengan tepi yang tidak beraturan, garis putih yang menyebar dengan striae putih dan telengiektasia. Permukaan dari plak diatas mukosa palatum sering memberi gambaran sarang tawon. Depresi sentral sering terjadi pada lesi yang lebih lama dan dapat berkembang menjadi ulkus yang nyeri. Mukosa oral lesi DLE jarang menjadi karsinoma sel skuamosa, sama dengan DLE lesi kutaneus yang lama. Berbagai derajat dari nodul yang tidak simetris pada lesi DLE mukosa harus dievaluasi kemungkinan terjadinya keganasan. Plak DLE kronik juga muncul pada tepi bibir yang berwarna merah terang. Kadang-kadang, keterlibatan DLE pada bibir dapat muncul sebagai keilitis yang difus, terutama pada bagian bawah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Lesi DLE dapat muncul pada nasal, konjungtiva, dan mukosa anogenital. Perforasi dari septum nasal sering berhubungan dengan SLE daripada DLE. Lesi DLE konjungtiva lebih sering mengenai lipatan bawah daripada lipatan atas. Lesi dimulai pada area fokal dari inflamasi yang menonjol yang umumnya mengenai konjungtiva palpebra atau batas kelopak mata. Jaringan parut akibat lesi yang lama, dan hilangnya bulu mata yang permanen dan dapat berkembang menjadi ektropion, dapat menjadi suatu kecacatan. LE Profundus/LE Panikulitis LE profundus/LE panikulitis (penyakit Kaposi-Irgang) merupakan bagian yang jarang dari CCLE, ditandai dengan lesi inflamasi pada dermis bagian bawah dan jaringan subkutaneus. Rata-rata 70 % dari pasien dengan CCLE juga memiliki lesi DLE yang khas, sering diatas dari lesi panikulitis. Beberapa telah menggunakan istilah LE profundus untuk menjabarkan pasien yang memiliki lesi LE panikulitis dan lesi DLE, dan LE panikulitis mengacu pada pasien yang hanya mengalami keterlibatan subkutaneus. Lesi subkutaneus yang khas muncul sebagai nodul padat, dengan diameter 1-3 cm. Kulit diatasnya sering melekat pada nodul subkutaneus dan tertarik 19

kedalam menghasilkan depresi yang dalam (Gambar 155-8). Kepala, lengan atas proksimal, dada, punggung, payudara, pantat, dan paha adalah bagian yang sering terkena. LE panikulitis, dengan tidak adanya DLE diatasnya, dapat menghasilkan nodul pada payudara yang mirip dengan karsinoma secara klinis dan radiologi (lupus mastitis). Keterlibatan wajah yang konfluen dapat menstimulasi gambaran lipoatrofi. Kalsifikasi distrofi sering terjadi pada lesi LE profundus/LE panikulitis yang telah lama, dan nyeri yang berhubungan dengan kalsifikasi, dapat merupakan permasalahan utama. Lima puluh persen pasien dengan LE profundus/LE panikulitis terjadi SLE. Walaupun, gambaran sistemik dari pasien dengan LE panikulitis /profundus menjadi lebih berat, sama dengan pasien SLE yang memiliki lesi DLE.

Gambar 155-8. Lupus eritematosus panikulitis. Lupus panikulitis menghasilkan gambaran area cekung yang besar diatas kulit ; tampak eritema dan atrofi pada kulit.

LE chilblain Lesi LE chilblain terutama berkembang menjadi bercak merah keunguan, papul dan plak pada jari kaki, jari tangan dan wajah, yang dicetuskan oleh suasana dingin, iklim yang lembab dan secara klinis dan histologi sama dengan idiopatik chilblain (pernio) (lihat bab 94). Dalam perkembangannya, lesi ini umumnya dianggap sebagai gambaran plak atrofik dengan jaringan parut yang berhubungan dengan telengiektasi. Lesi ini dapat menyerupai lesi lama dari DLE atau bisa menyerupai lesi akral dari vaskulitis pembuluh darah kecil. Temuan histologi termasuk reaksi pembuluh darah superfisial dan limfositik yang dalam dan juga deposisi fibrin pada retikular, pembuluh darah pada dermal. Pasien dengan LE chilblain selalu mempunyai lesi khas DLE pada wajah dan kepala. LE chilblain kemungkinan dimulai sebagai lesi akral klasik, lesi yang dicetuskan oleh suasana dingin yang kemudian mencetuskan lesi

20

koebner DLE, hal ini menjelaskan spektrum dari temuan histologi klinis, yang terlihat sangat bervariasi. Dalam perjalanan lesinya, dapat diampil biopsi. LE chilblain tampak berhubungan dengan anti-Ro/antibodi SS-A. dan berhubungan dengan fenomena Raynaud pada beberapa kasus. Lesi yang persisten karena musim yang dingin, tes ANA positif, atau adanya satu dari kriteria ACR untuk SLE pada saat diagnosis dari lesi chilblain ditegakkan membantu untuk membedakan LE chilblain dari idiopatik chilblain. Rata-rata 20 % dari pasien dengan LE chilblain dapat berkembang menjadi SLE. LE chilblain terdiagnosis sebagai penyebab yang paling banyak dari lesi pada jari pada pasien dengan LE. Sering salah didiagnosis dengan vaskulitis dan dapat tumpang tindih dengan DLE akral seperti yang telah dijelaskan diatas. Autosomal dominan, bentuk familial dari LE chilblain, belakangan ini telah dijelaskan, dan dapat disebabkan oleh mutasi missense dari gen TREX 1 (perbaikan endonuklease). Lupus eritematosus tumidus Lupus eritematosus tumidus (LET; LE tumid) adalah varian dari CCLE yang merupakan temuan dermal dari DLE, yaitu adanya deposisi musin yang banyak dan inflamasi pembuluh darah superfisial dan periadneksa, yang ditemukan pada pemeriksaan histologi. Perubahan histologi epidermal dari kelainan kulit LE non spesifik hanya minimal terlihat. Hasilnya terjadi edematosa, plak seperti urtikaria dengan sedikit perubahan pada permukaan (gambar 155-9).

Plak anular seperti

urtikaria juga dapat terlihat. Perubahan dari epidermal sering berubah sering menyulitkan diagnosis dari LET sebagai bentuk dari CCLE. Terdapat beberapa laporan terbaru yang mendukung subklasifikasi dan ciri lebih lanjut dari subtipe CCLE. Walaupun dijelaskan terjadi pada beberapa pasien dengan SLE, sebagian besar pasien dengan LET mempunyai ANA yang negatif dan perjalanan penyakit yang tidak membahayakan. LET tampak sebagai subtipe dari lupus kutaneus yang paling fotosensitif, dan ditandai dengan berespon baik terhadap anti malaria. Sebagai tambahan, lesi LET cenderung menyembuh dengan sempurna tanpa jaringan parut atau atrofi. Masih terus terjadi perdebatan tentang validitas dari LET sebagai bentuk asli dari kelainan kulit LE. Beberapa pendapat menyatakan lesi LET dapat menjadi bentuk dari CLE (LE kutaneus intermiten) yang setara pentingnya dengan LE kutaneus akut, LE kutaneus subakut, dan LE kutaneus kronik. 21

Variasi lain Telah dijelaskan bentuk lain yang jarang dari lupus eritematosus kutaneus. Hal ini meliputi LE hipertrofikus dan profundus, DLE likenoid, LE vermikulatus, LE telengiektasis, CLE linear, dan LE edematosa (kemungkinan sebutan untuk lesi plak DLE menyerupai urtikaria). Informasi lebih lanjut penyebutan dari klinis ini belakangan telah disampaikan. TABEL 155-4 Penyebab Lupus yang diinduksi oleh Obat SCLE diinduksi obat ACE inhibitors Phenytoin Hidroklorokuin Griseofulvin Terbinafin Tetrasiklin Beta blocker Calsium Channel Blocker Tamoxifien Docetaxel Paclitaxel Anastrozole NSAID Diuretik Thiazid Bupoprion Leflunomide Proton pump inhibitor Anti TNF biologis Interferon –

SLE yang diinduksi obat (tanpa keterlibatan kulit) Hidralasin Isoniasid Agen antihiperlipidemia Minosiklin Prokainamid Anti TNF biologi

22

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pada Tabel 155-3.1 edisi online merangkum temuan laboratorium penting yang terkait dengan bermacam jenis kelainan kulit lupus eritematosus (lupus erythematosus (LE) yang spesifik, dan pada Tabel 155-5 menyajikan autoantibodi yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik/systemic lupus erythematosus (SLE). Karena keterkaitan yang erat antara lupus eritematosus kutaneus akut/acute cutaneous lupus erythematosus (ACLE) dan SLE, hasil laboratorium ACLE yang terkait dengan SLE adalah (titer ANA, anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA), anti-Sm yang tinggi dan hipokomplementemia). Tabel 155-3.1

(edisi online)

Perbandingan dari jenis umum kelainan kulit spesifik lupus eritematosus Manifestasi penyakit ACLE SCLE DLE klasik Manifestasi klinis lesi kulit Indurasi Atrofi dermis Perubahan pigmen Sumbatan folikular hiperkeratosis Histopatologi Penebalan membran basal Infiltrasi likenoid Inflamasi periappendageal Lupus band Lesi Non lesi Antibodi antinuklear Antibodi RO/SS-A Dengan imunodifusi Dengan Elisa

0 0 + 0 +

0 0 ++ 0 ++

+++ +++ +++ +++ +++

0 + 0

+ ++ +

+++ +++ +++

++ ++

++ +

+++ 0

+++

++

+

+ ++

+++ +++

0 +

Antibodi Anti-dsDNA

+++

+

0

Hipokomplementemia

+++

+

+

Risiko menjadi SLE

+++

++

+

sumber:

Lupus erythematosus. Dalam: Cutaneous Manifestations of Rheumatic diseases, diedit oleh Sontheimer RD, Provos TT, Baltimore, Lippincot Williams & Wilkins, 1996

Penanda laboratorium yang khas untuk lupus eritematosus kutaneus subakut/subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE) adalah adanya autoantibodi anti-Ro/SS-A (70%-90%) dan yang jarang yaitu anti-La/SS-B (30%-50%). ANA didapatkan pada 60%-80% dari pasien dengan SCLE, dan faktor rematoid/rheumatoid factor (RF) ditemukan pada kira-kira 1/3 kasus SCLE. Autoantibodi lainnya pada

23

pasien SCLE diantaranya adalah hasil positif palsu pada pemeriksaan serologis pada sifilis (VDRL rapid plasma reagin) (7%-33%), antikardiolipin (10%-16%), antitiroid (18%-44%), anti-Sm (10%), anti-ds-DNA (10%), dan anti-U1 ribonukleoprotein (anti-U1RNP) (10%). Pasien dengan SCLE terutama yang dengan keterlibatan sistemik, dapat memiliki beberapa abnormalitas laboratorium yaitu anemia, leukopenia,

trombositopenia,

peningkatan

nilai

laju

endap

darah

(LED),

hipergamaglobulinemia, proteinuria, hematuria, perubahan warna urin, peningkatan serum kreatin dan blood urea nitrogen (BUN) serta kadar komplemen yang menurun (akibat defisiensi genetik atau konsumsi komplemen yang meningkat). Tabel 155-5

Autoantibodi terkait dengan unselected lupus eritematosus sistemik Frekuensi autoantibodi (%) Antigen ID SPA/RI A

Spesifitas

Klinis terkait

molekular

Spesifitas penyakit pada SLE tinggi dsDNA Sm rRNP PCNA Spesifitas penyakit pada SLE

2

60

DNA asing Ribonukleoprote

LE Nefritis _

5 1

in Ribosomal

CNS LE

0 3

protein Cyclin

_

60

Denatured DNA

Risiko

50

Histones Ribonukleoprote

pasien DLE SLE diinduksi obat Overlap CTD (MCTD)

rendah ssDNA

P

SLE

pada

Histones U1RNP

2

Ro/SS-A

5 2

50

in Ribonukleoprote

SLCE, SSJ, LE neonatal

La/SS-B

5 1

20

in Ribonukleoprote

SSJ, SCLE

Ku

0 1

in Faktor

Overlap CTD

0

transkripsi

sumber:

Lupus erythematosus. Dalam: Cutaneous Manifestations of Rheumatic diseases, diedit oleh Sontheimer RD, Provos TT, Baltimore, Lippincot Williams & Wilkins, 1996

Pada 30%-40% dari pasien lupus eritematosus diskoid/discoid lupus erythematosus (DLE) memiliki titer ANA yang rendah, tetapi kurang dari 5% pasien DLE memiliki titer ANA yang tinggi yang merupakan ciri khas dari pasien SLE yang jelas (>1:320). Antibodi terhadap single-stranded DNA sering pada DLE, tetapi antibodi terhadap dsDNA cukup jarang. Antibodi pencetus U1RNP kadang-kadang

24

ditemukan pada pasien yang perjalanan klinisnya dominan lesi DLE, tetapi pasien tersebut biasanya hanya memiliki manifestasi ringan SLE atau tumpangtindih dengan kelainan jaringan ikat seperti kelainan jaringan ikat campuran. Autoantibodi pencetus Ro/SS-A dan La/SS-B jarang pada pasien DLE, kadar yang rendah dari antibodi antiRo/SS-A lebih sering dideteksi dengan enzyme-linked immunoassay. Sebagian kecil pasien DLE mengalami anemia ringan, positif palsu biologis pada tes serologi untuk sifilis (VDRL rapid plasma reagent), faktor rematoid positif, kadar komplemen serum sedikit menurun, γ globulin meningkat sedang dan terdapat leukopenia sedang. Temuan laboratorium ini telah dikemukakan merupakan faktor risiko terjadinya SLE. ANA positif pada 70%-75% pasien LE profundus/panikulitis, namun antibodi antidsDNA cukup jarang. Temuan hasil laboratorium yang berhubungan dengan SLE serta lupus eritematosus kutaneus/cutaneous lupus erythematosus (CLE) pada orang dewasa dan bayi baru lahir juga telah diamati.

HISTOPATOLOGI Histopatologi dari penyakit kulit LE spesifik adalah suatu kumpulan yang jelas dari hiperkeratosis, atrofi epidermis, degenerasi sel basal vakuolar, penebalan tautan dermis-epidermis membran basalis, edema dermis, deposisi mucin dermis infiltrasi sel mononuklar dari tautan dermis-epidermis dan dermis, fokus pada distribusi perivaskular dan periappendageal (Gambar 155-9.I edisi online). Derajat yang beragam pada fitur ini ditemui dalam berbagai bentuk kelainan kulit LE spesifik. Untuk mengetahui apakah merupakan suatu lesi ACLE, SCLE dan DLE dapat dibedakan berdasarkan masing-masing gambaran histopatologinya.

25

Gambar 155-9.1 (pada edisi online) Histopatologi lupus eritematosus kutaneus. Histopatologi lesi LE diskoid menunjukkan kerusakan lapisan sel basal yang jelas dengan vakuolisasi dan ukuran sel basal yang tidak baraturan.

LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS AKUT Perubahan histopatologi pada lesi ACLE biasanya kurang khas dibandingkan pada lesi SCLE dan DLE, terutama pada dermatitis interface dengan sedikit sel. Infiltrasi sel limfohistiositik relatif jarang. Beberapa penulis telah menyatakan adanya suatu peningkatan jumlah infiltrat neutrofil. Dapat tampak suatu perubahan vakuolar setempat yang ringan pada dasar keratinosit, dan juga telangiektasis dan ekstravasasi eritrosit. Seseorang dapat melihat adanya suatu nekrosis keratinosit secara individual, dan dalam bentuk yang paling parah, pada ACLE dapat terjadi nekrosis epidermal yang luas serupa dengan TEN. Dermis bagian atas biasanya tampak suatu mucinosis yang jelas dan dapat membantu untuk membedakan ACLE dengan penyebab lain dari suatu dermatitis interface dengan sedikit sel. Pada ACLE jarang ditemukan adanya suatu penebalan area membran basal, sumbatan folikel atau penebalan epidermis, meskipun kadang-kadang tampak atrofi epidermis. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS SUBAKUT SCLE juga sering tampak sebagai suatu dermatitis interface dengan perubahan vakuolar setempat pada basal keratinosit bergantian dengan area dermatitis likenoid. Atrofi epidermis yang berat sering terjadi. SCLE merupakan diagnosis banding dari dermatitis likenoid atrofik yang berhubungan dengan liken planus atrofi dan erupsi obat likenoid. Perubahan pada dermis meliputi edema, endapan mucin yang jelas dan infiltrasi mononuklear yang jarang dan terbatas pada daerah sekitar pembuluh darah dan struktur periadneksal pada sepertiga bagian atas dermis. Adanya hiperkeratosis sedang, sumbatan folikular, infiltrasi sel mononuklear pada struktur adneksal dan melanofak dermis dapat membantu untuk membedakan lesi SCLE dari lesi DLE. Papuloskuamus belum dapat disingkirkan dari SCLE anular hanya dengan kriteria histopatologi saja. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS KRONIS Pada lesi DLE klasik, perubahan epidermal meliputi hiperkeratosis, atrofi variabel dan perubahan interface mirip pada SCLE. Membran basal epidermis tampak menebal. Perubahan dermis termasuk adanya suatu infiltrasi sel mononuklear yang padat menyebabkan limfosit T CD4 dan makrofag meningkat pada daerah perivaskular dan periappendageal, melanofak dan endapan mucin pada dermis. Infiltrasi sering cukup

26

padat dan biasanya meluas sampai dermis retikular paling bawah dan atau sampai subkutan, yang dapat membantu untuk membedakan ini dari ACLE atau SCLE. Pada lesi skar DLE yang kronis, infiltrasi sel inflamasi yang padat akan berkurang dan menjadi fibroplasia dermis. Suatu varian folikulotropik dari DLE yang merupakan infiltrat inflamatori yang banyak terdapat di sekitar folikel rambut, telah dijelaskan memiliki varian limfomatoid dimana tampak infiltrasi yang sangat padat yang mungkin terdiri dari sel limfoid atipikal. IMUNOHISTOLOGI Imunohistologi sering sangat membantu dalam menegakkan suatu diagnosis lupus eritematosus kutaneus/cutaneous lupus erythematosus (CLE) dan tampak telah meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas diagnosis tersebut. Karena tidak jarang menemukan penelitian imunofluoresensi yang negatif pada pasien dengan LE akut, subakut dan kronis serta hasil positif palsu pada orang sehat, imunohistologi harus diinterpretasi dalam konteks temuan klinis dan histologis pada pasien tertentu.

Gambar 155-10 imunopatologi dari lupus eritematosus kutaneus. Pemeriksaan langsung imunofluoresensi pada suatu biopsi kulit lesi lupus eritematosus diskoid tampak suatu pita yang menyambung dari suatu fluoresensi granular pada tautan dermis-epidermis hasil dari pewarnaan dengan fluorescein isothiocyanate-conjugated goat anti-immunoglobulin G.

IgG, IgA, IgM dan komponen komplemen (C3, C4, Clq, properdin, faktor B dan membrane attack complex C5b-C9) yang terletak pada suatu butiran yang menyambung atau seperti pita lurus yang tersusun pada tautan dermis-epidermis telah diamati pada kulit pasien LE yang terdapat lesi maupun tidak terdapat lesi sejak awal 1960an (Gambar. 155-10). Namun, perdebatan tentang terminologi ini berlanjut menjadi tidak jelas. Beberapa pendapat membatasi penggunaan istilah lupus band test (LBT) mengacu pada pemeriksaan biopsi kulit nonlesi untuk melihat adanya susunan seperti pita dari imunoreaktan pada tautan dermis-epidermis. Pendapat lain

27

menggunakan istilah LBT sebagai “lesi” atau “nonlesi”. Mungkin akan lebih sesuai jika istilah LBT lesional (lesional lupus band) dan LBT nonlesional (nonlesional lupus band) diseragamkan. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS AKUT Sedikit data yang ada menunjukkan bahwa 60%-100% lesi ACLE tampak suatu lesional lupus band. Sebaliknya, kenyataan bahwa kulit yang rusak karena sinar matahari pada individu yang sehat dapat menunjukkan imunopatologi yang mirip telah mengurangi nilai klinis dari temuan ini. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS SUBAKUT Penelitian awal menunjukkan bahwa sekitar 60% pasien dengan SCLE memiliki lesional lupus band. Suatu pola “dustlike particle” dari endapan IgG terfokus di sekitar keratinosit basal epidermis dianggap lebih spesifik pada SCLE dengan merefleksikan adanya autoantibodi Ro/SS-A yang mengelilingi secara in vivo. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS KRONIS Laporan awal menunjukan bahwa lebih dari 90% dari lesi DLE klasik yang memiliki lesi imunoreaktan pada tautan dermis-epidermis, sering meluas sampai membran basal folikel rambut, tetapi penelitian selanjutnya melaporkan sedikit lebih rendah. Lesi pada kepala, leher dan lengan lebih sering positif (80%) daripada pada badan (20%). Lesi lupus band juga menunjukkan fungsi usia lesi yang diperiksa, dengan lesi yang lebih lama (> 3 bulan) lebih sering positif dari pada lesi yang lebih baru. Lokalisasi ultrastruktur imunoglobulin pada tautan dermis-epidermis menegaskan bahwa protein ini terletak pada serat kolagen dermis bagian atas dan sepanjang lamina densa dari area membran basal epidermis. Pada LE profunda, tumpukan imunoglobulin dan komplemen biasanya ditemukan pada dinding pembuluh darah dermis bagian bawah dan subkutan. Tumpukan imunoglobulin pada tautan dermis-epidermis bisa ada atau tidak ada, tergantung pada lokasi biopsi, ada atau tidak adanya SLE yang menyertai dan ada atau tidak adanya perubahan yang mendasari dari DLE pada tautan dermis-epidermis. NONLESIONAL LUPUS BAND TEST Terdapat banyak perdebatan selama tiga dekade terakhir atas diagnosis dan prognosis yang signifikan dari suatu imunoglobulin/complement band pada tautan dermisepidermis dari kulit tanpa lesi yang diambil dari pasien dengan LE. Ketika kulit tanpa lesi yang benar-benar telindung dari sinar matahari (misalnya bokong) diambil sebagai sampel, spesifitas diagnosis SLE menjadi sangat tinggi ketika tiga atau lebih 28

imunoreaktan terdapat pada tautan dermis-epidermis. Secara prospektif, dipastikan bahwa data dari tindak lanjut juga menunjukkan bahwa adanya suatu LBT nonlesional berkorelasi positif dengan risiko terjadinya LE nefritis. Tetapi LBT nonlesional sudah tidak digunakan sebagai suatu alat klinis karena informasi yang diperoleh belum terbukti memiliki nilai signifikan yang lebih besar daripada hasil tes serologi yang lebih mudah dan tersedia seperti antibodi terhadap dsDNA.

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari CLE dijelaskan pada kotak 155-1 dan kotak 155-1.1 pada edisi online. Selain itu, reticuled eritematosus mucinasis (REM) telah disarankan oleh beberapa orang untuk menjadi suatu bentuk LE kutaneus fotosensitif yang mungkin terkait dengan LE tumidus. REM tampak sebagai suatu susunan retikuler makula dan papula pada dada bagian atas dan punggung Kotak 155-1 DIAGNOSIS BANDING LUPUS ERITEMATOSUS Paling menyerupai Dapat Selalu dipertimbangkan disingkirka n • ACLE • Lokalisata • Akne rosasea • Dermatomiositis • Generalisata • Reaksi hipersensitifitas obat • Reaksi obat fotoalergi/fototoksik • Viral eksantem • SCLE • Papuloskuamus • Psoriasis fotosensitif • Anular • Eritema anular sentrifugum • Granuloma anulare • DLE • Early DLE/LET • Polymorphous light eruption • Akne • Fully Evolved DLE/ Hypertrophyc DLE • Karsinoma sel skuamus • Keratosis aktinik • Keratoacanthoma • Lupus panikulitis • Morfea profunda

• ACLE • Lokalisata • Dermatitis seboroik • Polymorphous light eruption • Dermatitis kontak fotoalergi • Generalisata • Dermatomiositis • SCLE • Papuloskuamus • Erupsi obat fotoalergi/foto likenoid • DLE • Early DLE/LET • Granuloma fasiale • Sarkoidosis • Jessner benign limphocytic infiltration of the skin • Pseudolimfoma • Limfoma kutis • Lupus vulgaris • Urtikaria • Urtikaria vaskulitis • Fully

• ACLE • Generalisata • Toxic epidermal necrolysis • DLE • Tinea incognito • Cutaneous T-cell lymphoma • Lupus panikulitis • Panikulitis infeksius (deep fungal/atypi cal mycobacteri al organism) • kalsifilaksis

29

Evolved/hypertrophyc DLE • Prurigo nodularis • Liken planus hipertrofik • Sarkoidosis subkutan • Panikulitis traumatik • Eosinophilic fasciitis

Kotak 155-1.1 KOMPLIKASI              



(edisi online)

ACLE/SCLE SLE luas yang berpotensi melibatkan organ Ulserasi dengan risiko super infeksi Berkembang menjadi ACLE/SCLE yang mirip TEN Hiperpigmentasi pasca inflamasi DLE SLE luas yang berpotensi melibatkan organ (khusunya jika diseminata) Pembentukan jaringan parut, termasuk jaringan parut alopesia LE panikulitis Kalsifikasi distrofik Cacat atrofik yang menekan kejiwaan Lupus mastitis Kelainan kulit LE non spesifik Vaskulitis/vaskulopati  Terkait keterlibatan sistemik dengan kondisi yang mengancam organ atau jiwa  Nekrosis kutaneus/ulserasi Fenomena Raynaud  Ulkus pada jari/gangren kering/kehilangan jari

PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS AKUT Kedua bentuk lokalisata dan generalisata dari lesi ACLE, kambuh dan mereda bersamaaan dengan aktifitas penyakit dasar SLE. Oleh karena itu prognosis untuk setiap pasien dengan ACLE ditentukan oleh pola SLE yang mendasari. Tingkat kelangsungan hidup baik 5 tahun (80%-95%) dan 10 tahun (70%-90%) untuk SLE telah semakin meningkat selama empat dekade terakhir karena diagnosis dini mungkin ditegakkan dengan pemeriksaan laboatorium yang lebih sensitif dan rejimen

30

terapi imunosupresif yang semakin baik. Tanda prognosis yang buruk pada SLE adalah hipertensi, nefritis, vaskulitis sistemik dan penyakit sistem saraf pusat. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS SUBAKUT Karena SCLE telah diakui sebagai entitas penyakit yang terpisah hanya selama dua dekade, hasil jangka panjang yang terkait dengan lesi SCLE belum ditentukan. Pengalaman penulis bahwa kebanyakan pasien SCLE memiliki kekambuhan kelainan kulit yang intermiten setelah jangka waktu yang lama tanpa perkembangan signifikan dari keterlibatan sistemik (kita sadar hanya satu kematian langsung terkait dengan SLE pada sekitar 150 pasein dengan SCLE). Pasien lain menikmati remisi yang lama jika tidak sembuh permanen dari aktifitas kelainan kulitnya. Beberapa pasien mengalami kelainan kulit berulang. Pengalaman penulis bahwa sekitar 15% dari pasien SCLE menjadi SLE aktif, termasuk lupus nefritis. Kelompok pasien ini ditandai dengan adanya papuloskuamus SCLE, ACLE lokalisata, titer ANA yang tinggi, leukopenia dan antibodi pada dsDNA. Penelitian pengamatan jangka panjang diperlukan untuk menentukan risiko perkembangan penyakit sistemik berat pada pasien SCLE. Lesi CCLE, DLE klasik tipikal juga timbul pada pasien yang awalnya SCLE. Bukti menunjukan bahwa terjadi tumpang tindih antara SCLE dan sindroma Sjogren. Pasien dengan SCLE yang menjadi sindroma Sjogren berisiko mengalami komplikasi sistemik ekstraglandular yang terkait dengan sindroma Sjogren, termasuk vaskulitis, neuropati perifer, tiroiditis autoimun, asidosis tubular ginjal, miositis, hepatitis kronis, sirosis bilier primer, psikosis, limfadenopati, splenomegali dan limfoma sel B. LUPUS ERITEMATOSUS KUTANEUS KRONIS Kebanyakan pasien dengan lesi klasik DLE yang tidak diterapi mengalami perkembangan yang lamban menjadi distrofik kulit dengan area luas dan skar alopesia yang dapat menyebabkan kecacatan dan secara psikososial menghancurkan masa depan. Namun dengan perawatan, kelainan kulit umumnya dapat diatasi. Kadangkadang terjadi remisi spontan, dan aktifitas penyakit dapat timbul kembali di lokasi lama lesi yang tidak aktif. Rebound setelah penghentian pengobatan sangat khas dan direkomendasikan untuk melakukan penurunan dosis pengobatan dengan perlahan selama periode tidak aktif. Karsinoma sel skuamus kadang-kadang terjadi pada lesi DLE aktif yang kronis. Kematian pada SLE jelas jarang pada pasien yang awalnya lesi DLE 31

lokalisata. Sebagaimana dibahas pada bagian “epidemiologi”, pasien dengan DLE lokal hanya memiliki 5% kemungkinan secara klinis menjadi penyakit SLE aktif yang signifikan. Pada DLE generalisata dan menetap, kelainan laboratorium yang rendah tampaknya menjadi faktor risiko untuk perkembangan penyakit tersebut. Karsinoma sel skuamus yang belum jelas terjadi pada suatu lesi kulit DLE jangka lama dapat menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas.

HASIL PENILAIAN Perkembangan terbaru dari suatu instrumen yang tervalidasi untuk mengukur aktivitas dari CLE, The Cutaneus Lupus Erythematosus Area and Severity Index (CLASI) telah dapat mengikuti perjalanan penyakit pasien dan respon terapi secara obyektif. Instrumen ini memiliki sistem penilaian terpisah untuk kerusakan (pembentukan skar) dan aktifitas yang penting, karena seseorang tidak berharap suatu “burned-out” area bekas luka dapat sembuh dengan obat-obatan yang diharapkan dapat mengurangi aktifitas LE. Instrumen ini telah divalidasi sebagai suatu alat yang berguna untuk menilai respon klinis.

PENGOBATAN Penanganan awal pada pasien dengan semua bentuk dari CLE sebaiknya meliputi suatu evaluasi untuk menyingkirkan aktifitas yang mendasari penyakit SLE pada saat diagnosis ditegakkan. Semua pasien dengan CLE harus dijelaskan tentang pentingnya perlindungan dari sinar matahari dan sumber radiasi ultra violet buatan dan harus dijelaskan untuk menghindari penggunaan obat yang berpotensi memberi efek fotosensitisasi seperti hidroklorotiazid, tetrasiklin, griseofulvin dan piroksikam. Dengan memperhatikan terapi medis khusus, aplikasi topikal sebaiknya maksimal dan agen sistemik digunakan jika aktifitas kelainan lokal menetap secara signifikan atau disertai aktivitas sistemik. Lesi ACLE biasanya merespon terhadap pemberian agen imunosupresif sistemik yang diperlukan untuk mengobati penyakit dasar SLE yang sering disertai bentuk-bentuk dari CLE (misalnya glukokortikoid sistemik, azatioprin dan siklofosfamid). Banyaknya laporan bukti hasil penelitian menunjukan bahwa agen antimalaria aminokuinolin seperti hidroksiklorokuin dapat memiliki efek pendamping 32

steroid pada SLE dan obat-obatan ini dapat bermanfaat pada ACLE. Pengobatan lokal yang dibahas pada terapi lokal dibawah juga berguna pada pengobatan ACLE. Karena lesi SCLE dan CCLE sering ditemukan pada pasien yang sedikit atau tidak memiliki bukti adanya aktivitas penyakit sistemik yang mendasari, tidak seperti lesi ACLE, modalitas pengobatan nonimunosupresif lebih disukai untuk SCLE dan CCLE (Tabel 155-6). Pada umumnya lesi SCLE dan CCLE sama-sama merespon kepada agen tersebut. Tabel 155-6 Terapi pilihan untuk penyakit kulit lupus eritematosus spesifik

Obat

Dosis

Topikal glukokortikoid

Asetonid intralesi

Steroid klas I à 2 minggu bergantian dengan pimekrolimus 1%/takrolimus 0,1% à 2 minggu 2,5-10,0 mg/cc

Lini kedua (ambang rendah digunakan untuk lesi jaringan parut, luas & gejala sistemik)

Hidroksi klorokuin

6,5 mg/kgbb/hari

Klorokuin

3,0-3,5 mg/kgbb/hari

Kuinakrin (jika monoterapi gagal, tambahkan kuinakrin untuk hidroksiklorokuin /klorokuin)

100 mg perhari (tersedia dalam campuran obat)

Hanya jangka pendek (2-16 minggu) (obat alternatif penyerta untuk mencegah rebound saat penghentian)

Prednosin

5-60 mg/hari

Talidomid

50-200 mg/hari; dosis diturunkan 50 mg bila respon baik

Lini ketiga (imunosupresif)

Dapson

50-200 mg/hari

Akutan

0,5-2 mg/hari

Asisetrin

10-50 mg

Emas

Diberikan hingga 50 mg/minggu, diturunkan setelah dosis 1 g

Lini keempat (dibatasi oleh efek samping)

Siklofosfamid

1,5-2,0 mg/kgbb/hari

Masih di teliti (beberapa sudah tersedia)

Efalizumab (Raptiva), Lefluonamid (Arava), antitumor necrosis factor agents Rituximab (rituxan), abatasep, Epratuzumab, Antiinterferon-α agents

Lini pertama

Topikal calcineurin inhibitor

Klofasimin

33

PENGOBATAN LOKAL PERLINDUNGAN TERHADAP SINAR MATAHARI Menganjurkan pasien untuk menghindari paparan sinar matahari langsung, menggunakan pakaian dengan anyaman yang rapat dan topi bertepi lebar serta secara teratur menggunakan pelindung matahari yang tahan air dan berspektrum luas {SPF >30 dengan agen pelindung UVA yang efisien seperti bentuk photostabilized avobenzone (Parsol 1789), micronized titanium dioxide, micronized zinc oxide atau Mexoryl SX}. Jendela rumah dan mobil sebaiknya menggunakan pelindung kaca film UV dan pada lampu neon harus ditutup dengan penutup paparan sinar yang terbuat dari bahan akrilik. Produk kosmetik kamuflase seperti Dermablend dan Covermak memberikan manfaat ganda menjadi tabir surya fisik yang sangat efektif serta agen pelindung kosmetik yang baik secara estetik. Pembahasan lebih dalam mengenai teori dan penggunaan pelindung sinar serta terapi lokal untuk penyakit kulit jaringan ikat autoimun telah dibahas secara rinci (Bab 223). GLUKOKORTIKOID LOKAL Pada area yang sensitif seperti di wajah, agen topikal superpoten kelas 1 seperti klobetasol propionat 0,05% atau betametason dipropionat 0,05% memberikan hasil yang paling baik pada CLE, meskipun beberapa pendapat lebih memilih preparat sedang hingga kuat seperti triamsinolon asetonid 0,1%. Pengolesan dua kali sehari preparat superpoten pada lesi kulit selama 2 minggu dilanjutkan dengan periode istirahat selama 2 minggu berikutnya dapat meminimalisir risiko terjadinya komplikasi lokal seperti atrofi karena steroid dan telangiektasis. Sebagai alternatif, suatu preparat calcineurin inhibitior topikal dapat digunakan setiap hari selama 2 minggu pada masa istirahat steroid topikal. Salep lebih efektif dibandingkan dengan krim untuk lesi hiperkeratotik seperti lesi DLE hiperkeratotik. Terapi oklusif dengan plester yang berisi glukokortikoid (misalnya flurandrenolid) atau glukokortikoid dengan plastik pembungkus makanan (misalnya Saran atau Glad Press-N-Seal) dapat berpotensi memberikan manfaat dari glukokortikoid topikal tapi juga berisiko tinggi pada efek lokal. Larutan dan gel glukokortikoid topikal klas I atau klas II merupakan preparat yang paling baik untuk mengobati kulit kepala. Sayangnya, meskipun rejimen glukokortikoid yang paling

34

agresif pun tidak dengan sendirinya memberikan perbaikan yang signifikan pada kebanyakan pasein dengan SCLE dan CCLE. CALCINEURIN INHIBITOR TOPIKAL Salep pimekrolimus 1% dan takrolimus 0,1% telah menunjukan hasil yang baik dalam pengobatan ACLE, DLE dan SCLE. Sebuah penelitiaan percontohan double blind dengan kontrol menunjukan bahwa pimekrolimus 1% krim memiliki khasiat yang sama dengan betametason valerat 0,1% krim dalam pengobatan DLE pada wajah dan pada sebuah studi lainya campuran takrolimus 0,3% dan klobetasol propionat 0,05% topikal menunjukan hasil yang baik untuk kasus CLE yang berulang. GLUKOKORTIKOID INTRALESI Glokokortikoid intralesi (misalnya, triamsinolon asetonid 2,5-5 mg/ml untuk wajah yang tidak terlalu sensitif dapat dengan konsentrasi yang lebih tinggi) lebih memberikan hasil yang baik dalam pengobatan DLE dibandingkan dengan SCLE. Glukokortikoid sendiri dapat menyebabkan atrofi kulit dan subkutan (injeksi yang dalam sampai jaringan subkutan, sangat berisiko). Jarum ukuran 30 lebih disukai karena hanya mengakibatkan rasa tidak nyaman yang ringan saat penetrasi, terutama ketika disuntukkan secara tegak lurus pada kulit. Penyuntikan harus benar-benar masuk mengenai tepi aktif dari lesi. Terapi intralesi diindikasikan terutama untuk lesi hiperkeratotik atau lesi yang tidak responsif terhadap glukokortikoid topikal, namun kebanyakan pasien dengan CLE, memiliki jumlah lesi yang terlalu banyak untuk diterapi dengan modalitas injeksi glukokortikoid intralesi.

TERAPI SISTEMIK ANTIMALARIA Penggunaan antimalaria aminokuinolin tunggal atau kombinasi dapat efektif pada sekitar 75% dari pasien CLE yang tidak memuaskan pada pemberian terapi lokal. Kemungkinan terjadinya toksisitas pada retina harus dijelaskan pada pasien dan harus dilakukan pemeriksaan oftalmologi sebelum pemberian terapi. Namun risiko terjadinya retinopati akibat penggunaan antimalaria sangat jarang, biasanya dalam 10 tahun pertama terapi, jika direkomendasikan, dosis maksimum harian agen ini tidak melebihi (hidroksiklorokuin, 6,5mg/kg/hari sesuai berat badan ideal; klorokuin, 3 mg/kg/hari). Pasien harus dilakukan evaluasi pemeriksaan oftalmologi setiap 6-12 bulan selama masa pengobatan ini.

35

Hidroksiklorokuin sulfat (Plaqueni), 6-6,5 mg/kg, harus diberikan rutin setiap hari, baik sekali sehari ataupun dosis terbagi dua untuk mencegah efek samping gastrointestinal. Pasien harus dijelaskan bahwa awitan hasil terapi yang baik baru tampak sekitar 2-3 bulan. Jika tidak tampak respon setelah 8-12 minggu, kuinakrin hidroklorid, 100mg/hari (saat ini tersedia di Amerika serikat hanya dalam sediaan campuran), dapat diberikan sebagai tambahan pada hidroksiklorokuin tanpa peningkatan risiko retinopati (kuinakrin tidak menyebaban retinopati). Jika setelah 4-6 minggu tidak didapatkan hasil klinis yang adekuat, sebaiknya mempertimbangan utuk mengganti hidroksiklorokuin dengan klorokuin difosfat (Aralen), 3 mg/kg untuk mencegah retinopati. Dosis mungkin perlu penyesuaian untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hati. Di Eropa, klorokuin umumnya memberikan hasil lebih baik dibandingkan hidroksiklorokuin pada pengobatan CLE, mungkin akibat respon terapi yang cepat yang mungkin terjadi sebagai akibat dari periode waktu yang lebih pendek yang diperlukan untuk mencapai kadar darah yang stabil dengan klorokuin dibandingkan dengan hidroksiklorokuin. Hidroksiklorokuin dan klorokuin sebaiknya jangan digunakan bersamaan karena dapat meningkatkan risiko toksisitas retina. Terdapat beberapa bukti bahwa klorokiun dapat menjadi lebih retinotoksik dibandingkan hidroksiklorokuin. Beberapa efek samping selain toksisitas retina, berhubungan dengan penggunaan antimalaria. Kuinakrin dibandingkan dengan hidroksiklorokuin atau klorokuin lebih sering mengalami efek samping, seperti nyeri kepala, intoleransi gastrointestinal, toksisitas hematologi, pruritus, erupsi obat likenoid dan deposisi pigmen kulit dan mukosa. Kuinakrin biasanya menyebabkan kekuningan pada seluruh kulit dan sklera pada individu yang berkulit terang, yang akan kembali normal ketika pengobatan dihentikan. Kuinakrin dapat menyebabkan hemolisis yang signifikan pada pasien dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (efek samping ini juga telah dilaporkan jarang terjadi pada pemberian hidroksiklorokuin dan klorokuin). Setiap golongan antimalaria aminokuinolin dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, termasuk anemia aplastik, meskipun efek samping ini sangat jarang dengan jumlah pemberian dosis rejimen saat ini. Psikosis toksik, grand mal seizures, neuromiopati dan aritmia jantung terjadi akibat penggunaan dosis tinggi dari obat ini pada masa lalu; reaksi ini jarang terjadi dengan pemberian dosis rendah harian dari rejimen yang digunakan saat ini. Sebelum terapi dengan hidroksiklorokuin dan klorokuin dimulai, harus 36

dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, fungsi hati dan fungsi ginjal, pemeriksaan ini harus diulang 4-6 minggu setelah terapi dimulai dan 4-6 minggu setelahnya. Dianjurkan untuk lebih sering melakukan skrining untuk toksisitas hematologi ketika kuinakrin digunakan. Pasien dengan gejala yang jelas atau gejala subklinis dari porfiria kutanea tarda sangat berisiko tinggi untuk mengalami hepatotoksisitas akut yang sering diduga suatu kasus bedah abdomen akut, ketika diterapi dengan dosis terapi antimalaria untuk CLE. Pemeriksaan kadar urin β-human chorionic gonadotropin awalnya dianjurkan pada perempuan yang mengandung, walaupun bukti terbaru menunjukan bahwa risiko untuk ibu hamil pada dosis rejimen antimalaria yang saat ini dianjurkan cukup sedikit.

AGEN NON IMUNOSUPRESIF PILIHAN UNTUK PENYAKIT YANG SULIT DISEMBUHKAN DENGAN ANTIMALARIA Beberapa pasien dengan CLE yang sulit disembuhkan (SCLE lebih sulit dari DLE) memiliki respon baik terhadap pemberian diaminodiphenylsulfone (dapson). Dosis awal 25 mg per oral dua kali sehari dapat ditingkatkan hingga 200-400 mg/hari jika diperlukan.

Dosis

signifikan

yang

menyebabkan

hemolisis

dan

atau

methemoglobinemia dapat diakibatkan dari penggunaan dapson, terutama pada individu

yang

mengalami

suatu

defisiensi

aktivitas

glucose-6-phosphate

dehydrogenase, dan karenanya, pemeriksaan hitung darah lengkap dan fungsi hati harus dilakukan secara teratur. Isotretinoin 0,5-2,0 mg/kglbb/hari dan asitretin 10-50 mg/hari juga telah digunakan, namun keberhasilannya dibatasi oleh efek sampingnya (teratogenisitas, kekeringan pada mukokutan dan hiperlipidemia). Selain itu penggunaan jangka panjang retinoid telah menjadi suatu masalah dalam pemecahan aktivitas CLE. Talidomid (50-200 mg/hari) sangat efektif pada CLE yang sulit membaik dengan pengobatan yang lain. Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa respon kesembuhan antara 85% dan100%, dengan banyak pasien yang mengalami remisi total. Namun, aturan pemberian resep talidomid yang ketat dilaksanakan di Amerika serikat pada tahun 1998 karena efek teratogenik yang berat, menyebabkan talidomid dilarang untuk diberikan pada perempuan usia subur. Neuropati sensoris merupakan toksisitas lainnya akibat pemberian talidomid, dan 25%-75% pasien dengan CLE mengalami neuropati perifer saat mengkonsumsi obat. Kebanyakan kasus akan 37

kembali normal dari neuropati ketika terapi dihentikan. Neuropati tampaknya berhubungan dengan total lama pengobatan sehingga pemberian jangka pendek lebih disukai. Sering terjadi kekambuhan setelah obat dihentikan. Rasa kantuk yang kuat serta adanya keluhan konstipasi dan efek samping ringan yang lain kadang-kadang membatasi penggunaannya, meskipun efek ini biasanya mereda dengan dosis harian yang lebih rendah. Tromboemboli merupakan efek samping yang serius dengan keadaan hiperkoagulasi yang sudah ada sebelumnya (misalnya, adanya antibodi fosfolipid). Ahli onkologi yang menggunakan talidomid untuk mieloma multipel sering memulai terapi antikoagulasi bersamaan untuk mencegah efek samping ini. Lenalidomid (Revlamid, Celgene) merupakan suatu analog talidomid yang memberikan hasil yang baik namun memiliki efek teratogenik, neuropati perifer, tromboemboli dan juga memiliki tambahan efek samping potensial leukopeni yang rendah. Obat-obat lain yang dilaporkan menghasilkan perbaikan dalam pengobatan CLE yang sulit disembuhkan adalah preparat emas dan klofazimin; namun manfaatnya bervariasi pada beberapa kasus dan kedua agen ini berhubungan dengan risiko efek samping yang signifikan. Vitamin E, fenitoin, sulfasalazin, danazol, DHEA dan fototerapi (fototerapi UVAI, fotoferesis) juga telah dilaporkan memberi respon untuk CLE dalam beberapa penelitian uji tanpa kontrol. GLUKOKORTIKOID SISTEMIK Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari penggunaan glukokortikoid sistemik pada pasien dengan LE yang terbatas pada kulit. Namun pada beberapa pasien tertentu yang memiliki keluhan kelainan kulit khususnya yang berat, telah menggunakan metilprednisolon dosis denyut secara intravena. Pada kasus yang tidak akut, dosis sedang harian glukokortikoid oral (prednison 20-40 mg/hari, diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari) dapat digunakkan sebagai terapi tambahan selama fase loading dari terapi suatu agen antimalaria. Dosis harus dikurangi sedini mungkin pada saat yang memungkinkan karena komplikasi dari terapi glukokortikoid jangka panjang, terutama nekrosis tulang avaskular (aseptik), suatu efek samping pada pasien LE yang mana sangat rentan sekali. Karena osteoporosis akibat steroid-induced terjadi paling cepat dalam 6 bulan pertama dari pemberian, semua pasien yang tidak memiliki kontraindikasi sebaiknya 38

memulai mengkonsumsi obat untuk mencegah osteoporosis dengan terapi steroid pada awalnya. Suatu tinjauan yang sangat bagus dan menjelaskan rekomendasi terkini untuk pencegahan osteoporosis dan efek samping lain dari glukokortikoid sistemik telah dipublikasikan. Ketika aktivitas penyakit sedang terkontrol, dosis harian harus diturunkan dari 5 mg sampai 10 mg sampai ada aktivitas kambuh lagi atau hingga dosis harian 20 mg/hari tercapai. Dosis harian selanjutnya harus diturunkan sebesar 2,5 mg (beberapa dokter lebih memilih untuk menggunakan penurunan dosis 1 mg dibawah 10 mg/hari). Terapi glukokortikoid dengan pemberian berselang sehari belum berhasil menekan aktivitas penyakit pada kebanyakan pasien dengan CLE atau SLE. Pada pasien yang memiliki penyakit dasar liver sebaiknya menggunakan prednisolon daripada prednison karena prednison membutuhkan hidroksilasi dalam hati untuk menjadi aktif secara biologis. Setiap jumlah prednison yang diberikan sebagai dosis tunggal di pagi hari mengalami aktivitas penekanan adrenal yang rendah daripada jumlah yang sama diberikan dalam dosis terbagi sepanjang hari. Namun setiap jumlah obat yang diberikan ini diminum dalam dosis terbagi dimana memiliki suatu aktivitas menekan LE yang lebih besar dibandingkan jumlah dosis yang sama diberikan sebagai dosis tunggal pagi hari. PENCEGAHAN Memprediksi dan mencegah manifestasi klinis awal LE, apakah itu kelainan kulit atau sistemik, tidak layak pada saat ini. Namun karena banyak pasien LE menunjukkan perburukkan aktivitas kelainan kulit mereka dengan paparan sinar UV, harus dianjurkan untuk melindungi fisik dari sinar matahari dan sumber sinar UV buatan serta penggunaan rutin tabir surya spektrum luas yang memiliki SPF 30 atau lebih besar.

39

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF