Analisa Opera House Guangzhou

October 3, 2017 | Author: ECa Roelia | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tentang penjelasan kajian ilmu mendapatkan pengetahuan mengenai lmu kedap suara yang mengambil contoh dari bangunan Guan...

Description

The Next-Gen Opera House: Guangzhou Opera House

“Apa yang muncul di pikiran anda ketika mendengar opera house?” Ya, bentuk-bentuk cangkang Sydney Opera House karya Jorn Utzon pasti muncul di kepala anda, mau atau tidak. Ikon kota Sydney bergaya arsitektur ekspresionis modern ini juga seringkali muncul sebagai ikon Australia, sebuah keberhasilan dari proses perancangan arsitektur visioner sekitar 50 tahun yang lalu. 37 tahun setelah Sydney Opera House selesai dibangun, Guangzhou Opera House (GOH) diresmikan.

Pemikiran dan pandangan starchitect Zaha Hadid diekspresikan dalam masterpiece ini untuk menjadi the new image of opera house bagi

generasi selanjutnya. Lokasi GOH berseberangan dengan Guangdong Museum oleh Rocco Design Architect. Keduanya merupakan salah satu bangunan di area Zhujiang New Town, Guangzhou, China yang juga terhubung langsung dengan Zhujian Boulevard, central avenue of Guangzhou city.

Sayembara desain GOH dimenangkan oleh Zaha Hadid Architects, kemudian diresmikan pada tahun 2010 setelah lima tahun masa pembangunan. Pembangunannya tidak hanya melibatkan Zaha Hadid, sebagai principal architect, tapi juga Sir Harold Marshall, seorangworld top acoustic designer. Kolaborasi inilah yang menyukseskan GOH sebagai 10 best opera houses around the world oleh USA Today dan world’s most spectacular theatres oleh The Telegraph.

The Double Pebble Bentuk bangunan GOH merupakan hasil perancangan dengan konsep arsitektur parametrik Zaha Hadid Architects yang mewakili dua buah batu kerikil yang terkikis oleh erosi air sungai Pearl River, yang berada tepat di samping site. Kedua massa bangunan merupakan gedung pentas dengan satu massa untuk auditorium utama dan yang lainnya untuk multifunction hall.

Bentuk bangunan yang monumental dan state-of-the-art ini dicapai dengan menggukanan struktur rangka beton dan kaca berlapis dengan rangka baja. Berdiri di atas lahan berkontur di tepi sungai, arsitek menerapkan kembali keunggulannya merancang bangunan yang menyatu dengan alam.

The Flow Konsep fluidity and nature yang menjadi kekuatan desain arsitek begitu terasa dalam berbagai aspek. Dalam proses mendekati bangunan, pengunjung akan bergerak dalam aliran-aliran ramp yang mengantar pengunjung mengeksplorasi wajah bangunan dari berbagai sudut.Aliran ramp di bagian eksterior seakan berlanjut ke bagian interior, mengajak

pengunjung mengeksplorasi pengalaman visual dan sekuens demi sekuens sense of motion yang dinamis.

“It is about no 90 degree corners,” prinsip dasar arsitek diekspresikan dalam bentuk lekukan-lekukan bentuk yang mendominasi mulai dari bentuk bangunan, path, hingga kesatuan antara dinding dan langitlangit.Prinsip tersebut bahkan diterapkan dalam penataan ruang, membentuk stacking spaces dengan bagian atas lebih kecil dari satu lapis di bawahnya. Bentuk penataan ruang “berkontur” ini membentuk diagonal visual continuity dari atas ke bawah. The Glow Pada area transisi antara ruang luar dan ruang utama (auditorium), cahaya matahari dibiarkan menembus lapisan-lapisan kaca dengan rangka segitiga baja yang memberikan bentuk pada bangunan. Cahaya

matahari masuk menerangi setiap sudut area transisi, menjadikan efisiensi energi sebagai salah satu keunggulan perancangan.

Pada malam hari, indirect lighting mendominasi ruangan-ruangan interior maupun eksterior. Cahaya-cahaya lampu indirect light seakan berlari ke setiap sudut ruangan, mengikuti dinamika lekukan demi lekukan yang terbentuk oleh shape bangunan.

Sebagai fasilitas utama yang ditawarkan, ruang auditorium juga memberikan nuansa yang berbeda. Konfigurasi smooth and flowing hard surfaces diterapkan pada dinding dan langit-langit dengan material Glassfibre Reinforced Gypsum (GRG) dengan ketebalan 40-50mm yang dicetak off-site dan dipasang di konstruksi rangka baja.

Bentuk pelingkup ruang yang amorf yang meliuk-liuk dirancang bersama dengan desainer akustik Sir Harold Marshall untuk memberikan kualitas akustik yang serupa untuk setiap 1800 tempat duduk penonton. Berbeda dengan dominasi indirect lighting di bagian luar, ruang auditorium menawarkan suasana ribuan bintang di langit dengan dominasi 3500 lampu LED. Kombinasi pencahayaan, akustika dan bentuk ruangan yang megah sungguh menjadi pengalaman ruang yang sulit tercipta di tempat lain.Nuansa serupa namun tak sama ditawarkan pada fungsi pendukung auditorium, Music & Ballet Rehearsal room. Perpaduan sempurna flowing shape, dynamic lighting dan acoustic engineering sekali lagi tercipta lewat kombinasi panel berlubang 25mm dari GRG dan Corian (solid surface material, developed by DuPont) untuk absorbsi suara dengan frekuensi rendah dan kaca fiber berkepadatan tinggi pada tepi panel untuk absorbsi suara dengan frekuensi tinggi.

The Fall Meski dikemas dengan apik dan memacu rasa takjub pengunjung di berbagai sudut, outer dan inner beauty bangunan ini tetap memiliki berbagai anomali. Ketika di satu sisi astounding exterior berhasil dicapai bersamaan dengan efisiensi energi dengan penggunaan material kaca pada interior ground floor, area lobby-entrance justru harus senantiasa menggunakan penerangan buatan. Akses cahaya ke dalam ruangan ini tertutup oleh ground-level plaza dan massa double pebble yang masif.

Belum lagi satu aspek yang terlupakan, yaitu maintenance. Karya arsitektur sebaik apapun juga akan bermasalah tanpa building maintenance yang baik. Elemen air berupa kolam yang mengelilingi double pebble misalnya, dipenuhi oleh air keruh yang tidak bergerak, menghasilkan kontras dengan konsistensi aliran ramp dan sense of motion yang terbentuk. Elemen kaca yang sangat penting pada akhirnya juga menghadapi masalah seperti kusam dan noda bekas aliran hujan, dan dilansir dari thetelegraph.co.uk, ada juga kaca yang retak atau bahkan pecah.New Image Maintenance memang merupakan aspek yang sepertinya banyak dilewatkan pemerintah China, seperti yang terjadi pada miniatur-miniatur arsitektur di Window of the World, Shenzhen.Apabila terus diabaikan, aspek ini sepatutnya dikaji secara serius, untuk mempertahankan kualitas visionary designed Guangzhou Opera

House, dengan inner dan outer beauty, lengkap dengan background gedung-gedung tinggi central business district Zhujiang New City untuk menjadi 21st century’s image of the opera house, sebagai “Sydney Opera House” yang baru.

Material Akustik

July 24, 2010

Filed under: kuLiah teknik industri . — askar @ 5:20 pm Tags: akustik, bising, bunyi, frekuensi, serapan

Telinga normal tanggap terhadap bunyi di antara jangkauan frekuensi audio sekitar 20 sampai 20.000 Hz. Kebanyakan bunyi (pembicaraan, musik, dan bising) terdiri dari banyak frekuensi, yaitu komponen-komponen frekuensi rendah, tengah, medium. Karena itu amatlah penting untuk memeriksa masalah-masalah akustik meliputi spektrum frekuensi yang dapat didengar. Frekuensi standar yang dapat dipilih secara bebas sebagai wakil yang penting dalam akustik lingkungan adalah 125, 250, 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz atau 128, 256, 512, 1024, 2048, dan 4096 Hz (Doelle,1986). Penyerapan bunyi Doelle (1986) menyatakan efisiensi penyerapan suatu bunyi suatu bahan pada suatu frekuensi tertentu dinyatakan oleh koefisien penyerapan bunyi. Koefisien penyerapan bunyi suatu permukaan adalah bagian energi bunyi dating yang diserap, atau tidak dipantulkan oleh permukaan. Permukaan interior yang keras, yang tak dapat ditembus (kedap), seperti bata, bahan bangunan batu, dan beton, biasanya menyerap energi gelombang bunyi datang kurang dari 5% (0,05). Di lain pihak, isolasi tebal menyerap energi gelombang bunyi yang datang lebih dari 80% (koefisien penyerapan di atas 0,8). Dalam kepustakaan akustik arsitektur dan pada lembaran informasi yang diterbitkan oleh pabrik-pabrik dan penyalur, bahan akustik komersial kadang-kadang dicirikan oleh koefisien reduksi bising, yang merupakan rata-rata dari koefisien penyerapan bunyi pada frekuensi 250, 500, 1000, dan 2000 Hz yang dinyatakan dalam kelipatan terdekat dari 0,05. Nilai ini berguna dalam membandingkan penyerapan bunyi bahan-bahan akustik komersial secara menyeluruh bila digunakan untuk tujuan reduksi bising (Doelle, 1986). Bila bunyi menumbuk suatu permukaan, maka ia dipantulkan atau diserap. Energi bunyi yang diserap oleh oleh lapisan penyerap sebagian diubah menjadi panas, tetapi sebagian besar ditransmisikan ke sisi lain lapisan tersebut, kecuali bila transmisi tadi dihalangi oleh penghalang yang berat dan kedap. Dengan perkataan lain penyerap bunyi yang baik adalah pentransmisi bunyi yang efisien dan arena itu adalah insulator bunyi yang tidak baik. Sebaliknya dinding insulasi bunyi yang efektif akan menghalangi transmisi bunyi dari satu sisi ke sisi lain. Bahan-bahan dan kontruksi penyerap bunyi dapat dipasang pada dinding ruang ataupun digantung di udara (Doelle, 1986). Bahan-bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1.

Bahan berpori, seperti papan serat (fiber board), plesteran lembut, mineral wools, dan selimut isolasi, memiliki karakteristik dasar suatu jaringan seluler dengan pori-pori yang saling berhubungan. Energi bunyi datang di ubah menjadi energi panas dalam pori-pori ini. Bahan-bahan selular, dengan sel yang tertutup dan tidak saling berhubungan seperti damar busa, karet selular, dan gelas busa, adalah penyerap bunyi yang buruk. Penyerap berpori mempunyai karakteristik penyerapan bunyinya lebih efisien pada frekuensi tinggi dibandingkan pada frekuensi rendah dan efisiensi akustiknya membaik pada jangkauan frekuensi rendah dengan bertambahnya tebal lapisan penahan yang padat dan dengan

bertambahnya jarak dari lapisan penahan ini. Bahan berpori ini antara lain ubin selulosa, serat mineral, serat-serat karang (rock wool), serat-serat gelas (glass wool), serat-serat kayu, lakan (felt), rambut, karpet, kain dan sebagainya. 2.

Penyerap panel atau selaput merupakan penyerap frekuensi rendah yang efisien. Bila dipilih dengan benar, penyerap panel mengimbangi penyerapan frekuensi sedang dan tinggi yang agak berlebihan oleh penyerap-penyerap berpori dan isi ruang. Jadi penyerap ruang menyebabkan karakteristik dengung yang serba sama pada seluruh jangkauan frekuensi audio. Penyerap-penyerap panel yang berperan pada penyerapan frekuensi rendah antara lain panel kayu dan hardboard, gypsum boards, langit-langit plesteran yang digantung, plesteran berbulu, jendela, kaca, dan pintu. Bahan-bahan yang berpori yang diberi jarak dari lapisan penunjangnya yang padat juga berfungsi sebagai penyerap panel yang bergetar dan menunjang penyerapan pada frekuensi rendah.

3.

Resonator rongga (Helmholtz) merupakan penyerap bunyi yang terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi dinding-dinding tegar dan dihubungkan oleh celah sempit ke ruang sekitarnya, di mana gelombang bunyi merapat.

Pemasangan dan Distribusi Bahan-Bahan Penyerap Karakteristik penyerapan bunyi tidak boleh dianggap seperti sifat intrinsik bahan-bahan akustik, tetapi sebagai suatu segi yang sangat tergantung pada sifat-sifat fisik, detail pemasangan dan kondisi lokal. Tidak ada tipe cara pemasangan tertentu yang dapat dikatakan sebagai pemasngan optimum untuk setiap pemasangan. Bermacam-macam perincian yang harus diperhatikan secara serentak yaitu tentang sifat-sifat bahan akustik, kekuatan, susunan (texture) permukaan, dan lokasi dinding-dinding ruang di mana bahan akustik akan dipasang, ruang yang tersedia untuk lapisan permukaan tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan itu, kemungkinan penggantian di waktu yang akan datang, biaya dan lain-lain (Doelle,1986). Pemilihan Bahan Penyerap Bunyi Bahan-bahan akustik dimaksudkan untuk mengkombinasikan fungsi penyerapan bunyi dan penyelesaian interior, maka dalam pemilihan lapisan akustik sejumlah pertimbangan di luar segi akustik juga harus diperhatikan. Perincian berikut ini harus diperiksa dalam pemilihan lapisan-lapisan penyerap bunyi yaitu mengenai koefisien penyerapan bunyi pada frekuensifrekuensi wakil jangkauan frekuensi audio, penampilan (ukuran, tepi, sambungan, warna, jaringan), daya tahan terhadap kebakaran dan hambatan terhadap penyebaran api, biaya instalasi, kemudahan instalasi, keawetan (daya tahan terhadap tumbukan, luka-luka mekanis, dan goresan), pemantulan cahaya, ketebalan dan berat, nilai insulasi termis, daya tarik terhadap kutu, kutu busuk, jamur, kemungkinan penggantiannya dan kebutuhan serentak akan insulasi bunyi yang cukup (Doelle,1986). Jenis bahan peredam suara yang sudah ada yaitu bahan berpori, resonator dan panel (Lee, 2003). Dari ketiga jenis bahan tersebut, bahan berporilah yang sering digunakan. Khususnya untuk mengurangi kebisingan pada ruang-ruang yang sempit seperti perumahan dan perkantoran. Hal ini karena bahan berpori retaif lebih murah dan ringan dibanding jenis peredam lain (Lee, 2003). Material yang telah lama digunakan pada peredam suara jenis ini adalah glasswool dan rockwool. Pengaruh bising dan Pengukuran Bising Bising yang cukup keras, di atas sekitar 75 dB, dapat menyebabkan kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah. Bising yang sangat keras, di atas 85 dB, dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kesehatan seseorang pada umumnya, dan bila berlangsung lama, kehilangan pendengaran sementara atau permanen dapat terjadi. Bising yang berlebihan dan berkepanjangan terlihat dalam masalah-masalah kelainan seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan luka perut.

Tabel Singkap bising yang diijinkan seperti yang dinyatakan dalam Walsh-Healay Public Contracts Act (United States)

Tingkat bunyi Db-a Durasi, per hari jam

8

90

6

92

4

95

Sumber : Doelle, 1986 Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998 Tingkat pajanan kebisingan maksimal selama 1 hari pada ruang proses produksi adalah sebagai berikut : Tabel Tingkat kebisingan yang diijinkan

3 97

No Tingkat Kebisingan (Dba) 2 100 1 85 1½ 102 2 93 1 105 3 88 ½ 110 4 97 ¼ atau kurang 115 5 91

Pemaparan Harian

6

94

1 jam

7

97

30 menit

8

100

15 menit

8 jam 6 jam 4 jam 3 jam 2 jam

Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan, 1998 Desain Akustik Desain akustik ruangan tertutup pada intinya adalah mengendalikan komponen suara langsung dan pantul ini, dengan cara menentukan karakteristik akustik permukaan dalam ruangan (lantai, dinding dan langit-langit) sesuai dengan fungsi ruangannya. Ada ruangan yang karena fungsinya memerlukan lebih banyak karakteristik serap (studio, home theater, dll) dan ada yang memerlukan gabungan antara serap dan pantul yang berimbang (auditorium, ruang kelas, dsb). Dengan mengkombinasikan beberapa karakter permukaan ruangan, seorang desainer akustik dapat menciptakan berbagai macam kondisi mendengar sesuai dengan fungsi ruangannya, yang diwujudkan dalam bentuk parameter akustik ruangan (Sarwono, 2008). Karakteristik akustik permukaan ruangan pada umumnya dibedakan atas (Sarwono, 2008): 

Bahan Penyerap Suara (absorber) yaitu permukaan yang terbuat dari material yang menyerap sebagian atau sebagian besar energi suara yang datang padanya. Misalnya glasswool, mineral wool, foam. Bisa berwujud sebagai material yang berdiri sendiri atau digabungkan menjadi sistem absorber (fabric covered absorber, panel absorber, grid absorber, resonator absorber, perforated panel absorber, acoustic tiles, dsb).



Bahan Pemantul Suara (reflektor) yaitu permukaan yang terbuat dari material yang bersifat memantulkan sebagian besar energi suara yang datang kepadanya. Pantulan yang

dihasilkan bersifat spekular (mengikuti kaidah Snelius yaitu sudut datang = sudut pantul). Contoh bahan ini misalnya keramik, marmer, logam, aluminium, gypsum board, beton, dsb. 

Bahan pendifuse/penyebar suara (diffusor) yaitu permukaan yang dibuat tidak merata secara akustik yang menyebarkan energi suara yang datang kepadanya. Misalnya QRD diffuser, BAD panel, diffsorber dsb.

Koefisien Serapan Bunyi Koefisien serapan bunyi (α) menyatakan besarnya serapan energi bunyi pada suatu material pada frekuensi tertentu. Karakteristik dari serapan bunyi bervariasi terhadap frekuensi. Efisiensi dari serapan bunyi dinyatakan dalam bilangan antara 0 dan 1. Nilai koefisien serapan 0 menyatakan tidak ada energi bunyi yang diserap dan nilai koefisien serapan 1 menyatakan serapan yang sempurna (Hassal, 1988) Menurut Lewis (1994) koefisien serapan bunyi tergantung secara dinamis pada frekuensi bunyi dan sudut yang dibentuk oleh gelombang bunyi yang datang dengan garis normal permukaan medium. Nilai serapan akan berbeda untuk sudut datang yang berbeda karena tergantung pada sudut datang. Untuk sudut datang 00, koefisien serapan dapat dicari dengan menggunakan metode tabung impedansi maka nilai koefisien serapan normal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut : αn = 1- R2

Guangzhou Opera House Arts Building China: Architecture Information – Architecture by Zaha Hadid 28 Feb 2011

Guangzhou Opera House Building 2003-11 Design: Zaha Hadid Architects Address: 1 Zhujiang West Rd, Tianhe, Guangzhou, Guangdong, China Phone: +86 20 3839 2888 Province: Guangdong Province, R.O.C.

Guangzhou Opera House photos : Virgile Simon Bertrand

Guangzhou Opera House Like pebbles in a stream smoothed by erosion, the Guangzhou Opera House sits in perfect harmony with its riverside location. The Opera House is at the heart of Guangzhou’s cultural development. Its unique twin-boulder design enhances the city by opening it to the Pearl River, unifying the adjacent cultural buildings with the towers of international finance in Guangzhou’s Zhujiang new town. The 1,800-seat auditorium of the Guangzhou Opera House houses the very latest acoustic technology, and the smaller 400-seat multifunction hall is designed for performance art, opera and concerts in the round.

Guangzhou Opera House photos : Virgile Simon Bertrand

The design evolved from the concepts of a natural landscape and the fascinating interplay between architecture and nature; engaging with the principles of erosion, geology and topography. The Guangzhou Opera House design has been particularly influenced by river valleys – and the way in which they are transformed by erosion. Fold lines in this landscape define territories and zones within the Guangzhou Opera House, cutting dramatic interior and exterior canyons for circulation, lobbies and cafes, and allowing natural light to penetrate deep into the building. Smooth transitions between disparate elements and different levels continue this landscape analogy. Custom moulded glass-fibre reinforced gypsum (GFRC) units have been used for the interior of the auditorium to continue the architectural language of fluidity and seamlessness.

Guangzhou Opera House photos : Virgile Simon Bertrand

The Guangzhou Opera House has been the catalyst for the development of cultural facilities in the city including new museums, library and archive. The Opera House design is the latest realization of Zaha Hadid Architects’ unique exploration of contextual urban relationships, combining the cultural traditions that have shaped Guangzhou’s history, with the ambition and optimism that will create its future.

Guangzhou Opera House – Building Information Program: 1,800 seats Grand theatre, entrance lobby & lounge Multifunction hall, other auxiliary facilities & support premises Client: Guangzhou Municipal Government Architect: Design Zaha Hadid Area : 73,019 m2 Site Area: 42,000 m2 Cost: 1.38 Billion RMB Opera House: 1,804 seats Multipurpose Hall: 443 seats

Guangzhou Opera House photo : Virgile Simon Bertrand

Conceptual Interpretation Overlooking the Pearl River the Guangzhou Opera House is at the heart of Guangzhou’s cultural sites development. Adopting state of the art technology in its design and construction it will be a lasting monument to the New Millennium, confirming Guangzhou as one of Asia’s cultural centres. The unique twin boulder design of the opera house will enhance urban function by opening access to the riverside and dock areas and creating a new dialogue with the emerging new town. Guangzhou Opera House Building : Further Information

Opera House photograph © Virgile Simon Bertrand

Location: 1 Zhujiang Xi Road, Zhujiang New Town, Tianhe, Guangzhou, China Architecture tour opening hours: Tue to Sun 10 am – 4:30 pm, closed on Mon Guangzhou Opera House images / information from Zaha Hadid Architects 110108

Guangzhou Opera, by Zaha Hadid Architects

Like pebbles in a stream smoothed by erosion, the Guangzhou Opera House sits in perfect harmony with its riverside location. The Opera House is at the heart of Guangzhou’s cultural development. Its unique twin-boulder design enhances the city by opening it to the Pearl River, unifying the adjacent cultural buildings with the towers of international finance in Guangzhou’s Zhujiang new town. The 1,800-seat auditorium of the Opera House houses the very latest acoustic technology, and the smaller 400-seat multifunction hall is designed for performance art, opera and concerts in the round. The design evolved from the concepts of a natural landscape and the fascinating interplay between architecture and nature; engaging with the principles of erosion, geology and topography. The Guangzhou Opera House design has been particularly influenced by river valleys – and the way in which they are transformed by erosion.

Micro Perforated Panel May 5, 2013 in Akustika Ruangan, Uncategorized | 2 comments

Micro Perforated Panel (MPP) adalah sebuah elemen penyerap energi suara jenis baru. Fungsi utamanya adalah menyerap energi suara yang datang ke permukaannya. Elemen akustik ini merupakan alternatif elemen penyerap suara yang terbuat dari material berpori. MPP berbentuk lembaran tipis yang memiliki lubang-lubang kecil di permukaannya. Ketebalan plat tipis ini pada umumnya dalam range 0.5 – 2 mm, dengan luasan total lubang pada umumnya berkisar 0.5 – 2 % dari luas total plat, tergantung dari aplikasinya. Dimensi lubang pada MPP tidak lebih dari 1 mm, dengan ukuran umum di range 0.05 – 0.5 mm, yang dibuat dengan proses microperforasi. Fungsi utama suatu elemen penyerap (absorber) adalah untuk mengubah energi suara atau energi akustik menjadi energi kalor. Pada elemen penyerap tradisional, gelombang suara yang datang pada permukaan elemen dan berpenetrasi ke dalam pori sedemikian hingga menyebabkan osilasi pada partikel udara yang berada dalam pori. Osilasi partikel udara ini akan bergesekan dengan dinding-dinding pori sehingga energi akustik yang dikandungnya akan berkurang dan berubah menjadi kalor. Pada kasus MPP, penetrasi osilasi molekul udara ke dalam lubang-lubang plat akan mengakibatkan gesekan antara partikel atau molekul udara dengan permukaan MPP. Gesekan ini akan mengakibatkan berkurangnya energi akustik yang datang ke permukaan MPP tersebut. Konsep MPP, yang merupakan pengembangan dari konsep perforated panel dan Helmholtz Resonator, pertama kali muncul pada tahun 1975, diperkenalkan oleh Prof Daa- You Maa. Pada saat ini MPP lebih disukai oleh para akustikawan karena secara estetik memiliki tampak visual yang lebih indah dibandingkan elemen penyerap suara berpori seperti glasswool, rockwool, foam dsb. MPP juga relatif tidak mengakibatkan gangguan kesehatan pernafasan (sebagaimana diakibatkan oleh glasswool yang berbahan serat kaca), lebih tahan api, dan berumur lebih panjang, serta lebih tahan pada lingkungan yang ekstrim (misalnya pada ruang mesin, generator, dsb). Kinerja akustik MPP dapat divariasikan dengan mengubah geometri dan bahan plat nya.

Formasi Elemen Akustik dalam Ruang May 5, 2013 in Akustika Ruangan | Leave a comment

Formasi elemen akustik dalam sebuah ruangan akan menentukan kinerja akustik ruang tersebut sesuai dengan fungsi nya. Beberapa catatan berikut dapat digunakan sebagai acuan perancangan formasi penempatan elemen akustik pada ruang dengan fungsi tertentu. Ruang Kelas: Elemen Pemantul atau Penyebar pada dinding depan, samping serta langit-langit depan. Elemen penyerap atau penyebar pada dinding belakang serta langit-langit belakang. Lantai bisa keramik atau parket atau karpet. Masjid: Dinding depan elemen pemantul atau penyebar, dinding samping kombinasi pemantulan dan penyerap, dinding belakang penyerap atau penyebar, langit-langit penyerap bila menggunakan sound system atau kombinasi pemantul-penyebar bila tanpa sound system, lantai boleh karpet atau keras (keramik atau parket) Ruang Auditorium: Dinding depan pemantul atau penyebar, Dinding samping kombinasi pemantul – penyerap atau penyebar – penyerap, Dinding Belakang penyerap atau penyebar, langit-langit penyebar atau penyerap, dengan elemen pemantul di area atas panggung, lantai bebas. Bila menggunakan sound system, harus diperhatikan type dan posisi pemasangan. Ruang Konser Akustik/Philharmonik: hindari pemakaian elemen penyerap, maksimalkan penggunaan pemantul dan penyebar pada seluruh bagian permukaan. Ruang Studio: Banyak penyerap di ruang kontrol (bisa dikombinasikan dengan penyebar) dan kombinasi penyerap=penyebar di ruang live. Kamar Tidur, Living Room, Ruang rawat inap: kombinasi 3 elemen sesuai kondisi bising dan kenyamanan individu. Ruang rapat: Dinding kombinasi penyerap-penyebar, langit-langit dan lantai berlawanan karakteristik (bila lantai penyerap, langit-langit pemantul atau penyebar, dan sebaliknya) Ruang Bioskop: mayoritas permukaan dilapisi elemen penyerap. Gelanggang Olah Raga: lantai keras, langit-langit kombinasi penyerap-penyebar, dinding kombinasi pemantul-penyerap-penyebar (tergantung bentuk geometri nya) Ruang Kantor tapak terbuka: dinding bebas, langit-langit penyerap, lantai bebas.

Mengendalikan Medan Suara dalam Ruang May 5, 2013 in Akustika Ruangan | 1 comment

Secara garis besar, permasalahan akustik dalam ruangan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pengendalian medan suara dalam ruangan (sound field control) dan pengendalian intrusi suara dari/ke ruangan (noise control). Pengendalian medan suara dalam ruang akan sangat tergantung pada fungsi utama ruangan tersebut. Ruang yang digunakan untuk fungsi percakapan saja, akan berbeda dengan ruang yang digunakan untuk mengakomodasi aktifitas terkait musik, serta akan berbeda pula dengan ruang yang digunakan untuk kegiatan yang melibatkan percakapan dan musik. Pengendalian medan suara dalam ruang (tertutup), pada dasarnya dilakukan untuk mengatur karakteristik pemantulan gelombang suara yang dihasilkan oleh permukaan dalam ruang, baik itu dari dinding, langit-langit, maupun lantai. Ada 3 elemen utama yang dapat digunakan untuk mengatur karakteristik pemantulan ini yaitu: 1. Elemen Pemantul (Reflector)

Elemen ini pada umumnya digunakan apabila ruang memerlukan pemantulan gelombang suara pada arah tertentu. Ciri utama elemen ini adalah secara fisik permukaannya keras dan arah pemantulannya spekular (mengikuti kaidah hukum Snellius: sudut pantul sama dengan sudut datang). 2. Elemen Penyerap (Absorber) Elemen ini digunakan apabila ada keinginan untuk mengurangi energi suara di dalam ruangan, atau dengan kata lain apabila tidak diinginkan adanya energi suara yang dikembalikan ke ruang secara berlebihan. Efek penggunaan elemen ini adalah berkurangnya Waktu Dengung ruang (reverberation time). Ciri utama elemen ini adalah secara fisik permukaannya lunak/berpori atau keras tetapi memiliki bukaan (lubang) yang menghubungkan udara dalam ruang dengan material lunak/berpori dibalik bukaannya, dan mengambil banyak energi gelombang suara yang datang ke permukaannya. Khusus untuk frekuensi rendah, elemen ini dapat berupa pelat tipis dengan ruang udara atau bahan lunak dibelakangnya. 3. Elemen Penyebar (Diffusor) Elemen ini diperlukan apabila tidak diinginkan adanya pemantulan spekular atau bila diinginkan energi yang datang ke permukaan disebarkan secara merata atau acak atau dengan pola tertentu, dalam level di masing-masing arah yang lebih kecil dari pantulan spekularnya. Ciri utama elemen ini adalah permukaannya yang secara akustik tidak rata. Ketidakrataan ini secara fisik dapat berupa permukaan yang tidak rata (beda kedalaman, kekasaran acak, dsb) maupun permukaan yang secara fisik rata tetapi tersusun dari karakter permukaan yang berbeda beda (dalam formasi teratur ataupun acak). Energi gelombang suara yang datang ke permukaan ini akan dipantulkan secara no spekular dan menyebar (level energi terbagi ke berbagai arah). Elemen ini juga memiliki karakteristik penyerapan. Pada ruang (akustik) riil, 3 elemen tersebut pada umumnya dijumpai. Komposisi luasan per elemen pada permukaan dalam ruang akan menentukan kondisi medan suara ruang tersebut. Bila Elemen pemantulan menutup 100 % permukaan, ruang tersebut disebut ruang dengung (karena seluruh energi suara dipantulkan kembali ke dalam ruangan). Medan suara yang terjadi adalah medan suara dengung. Sebaliknya, apabila seluruh permukaan dalam tertutup oleh elemen penyerap, ruang tersebut menjadi ruang tanpa pantulan (anechoic), karena sebagian besar energi suara yang datang ke permukaan diserap oleh elemen ini. Medan suara yang terjadi disebut medan suara langsung. Medan suara ruang selain kedua ruang itu dapat diciptakan dengan mengatur luasan setiap elemen, sesuai dengan fungsi ruang. Untuk pemakaian pengendalian medan suara dalam ruang yang lebih detail, sebuah elemen bisa dirancang sekaligus memiliki fungsi gabungan 2 atau 3 elemen tersebut. Misalnya gabungan Penyerap dan Penyebar dikenal dengan elemen Abfussor atau Diffsorbor, gabungan antara pemantul dan penyebar, dsb. Pola pemantulan 3 elemen tersebut merupakan fungsi dari frekuensi gelombang suara yang datang kepadanya.

Sound System versus Akustik Ruang May 5, 2013 in Akustika Ruangan, Sistem Tata Suara | Leave a comment

Pertanyaan yang sering saya jumpai dalam pekerjaan konsultansi kenyamanan mendengar di dalam suatu space (ruang tertutup maupun terbuka) adalah, “Mana yang lebih Penting: Sound System atau Akustika Ruangan?”. Pertanyaan ini mirip-mirip dengan anekdot: “mana yang lebih dulu: ayam atau telur?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, biasanya saya mulai dari definisi akustik sendiri. Sebuah sistem Akustik harus memiliki 3 komponen, yaitu Sumber Suara, Medium Penghantar Energi dan Penerima Suara. Apabila salah satu dari 3 hal tersebut tidak ada, maka sistem tidak bisa disebut sebagai sistem akustik. Misalnya saja, didalam sebuah ruangan yang dirancang sedemikian hingga seluruh permukaannya berfungsi secara akustik, tidak akan menjadi ruang akustik apabila tidak

ada sumber suara yang dimainkan dalam ruangan tersebut atau tidak ada penonton atau sensor penerima energi suara (microphone-red) yang berada didalam ruangan tersebut. Jadi ke 3 komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kembali ke pertanyaan awal, lantas mana yang lebih penting kalau begitu? Akustika Ruang merupakan kondisi audial yang nilainya ditentukan oleh fungsi ruangan atau space itu sendiri. Misalnya, sebuah ruangan kelas memerlukan kondisi akustik ruang yang berbeda dengan ruangan konser musik klasik atau musik pop/rock. Perbedaan berdasarkan fungsi itu kemudian diimplementasikan dalam bentuk: geometri ruangan dan material penyusun permukaan ruangan. Geometri da material ruangan inilah yang kemudian akan berinteraksi dengan sumber suara yang dimainkan dalam ruangan tersebut, yang pada akhirnya diterima oleh pendengar yang ada dalam ruangan, bisa orang yang memiliki telinga (live listening) ataupun microphone sebagai simulator telinga (recording). Interaksi ketiga komponen akustik ini ditunjukkan dengan sebuah fenomena yang disebut sebagai transmisi, absorpsi, refleksi (termasuk diffusi) dan difraksi gelombang suara yang dihasilkan sumber suara. Dari fenomena akustik tersebut muncullah istilahistilah seperti level suara (SPL), waktu dengung (RT), intelligibility (D50), Clarity (C80), spaciousness (IACC, LF, ASW, dsb). Nilai-nilai parameter itulah yang kemudian dikenal sebagai Akustik Ruang, yang kembali ditegaskan merupakan kondisi mendengar SESUAI dengan fungsi ruangan. Sumber suara yang terlibat disini bisa berupa suara natural dari sumber suara apapun (percakapan manusia, alat musik, dsb) atau dari komponen Sound System yang kita kenal dengan nama Loudspeaker. Sound System disisi lain, pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang pada awalnya dirancang untuk mengatasi KURANG nya energi suara yang sampai ke pendengar karena besarnya volume space atau jauhnya jarak pendengar dari sumber. Itu sebabnya mengapa disebut sebagai Sound Reinforcement System sebagai nama dasarnya, dan disingkat sebagai Sound System. Pada saat sebuah sound system diaplikasikan di dalam ruangan atau spcae, dia berfungsi untuk meningkatkan energi suara yang dihasilkan oleh sumber suara natural dan mendistribusikan energinya kepada seluruh pendengar di dalam space atau ruangan tersebut. Faktor pendengar di dalam ruangan atau space menjadi kunci dalam menjawab pertanyaan awal. Telinga manusia yang berada dalam ruangan atau space akan menerima 2 komponen akustik dari sumber suara, yaitu suara langsung (energi suara yang menempuh jalur langsung dari sumber ke telinga) serta suara pantulan (energi suara yang sampai telinga setelah menumbuk satu atau lebih permukaan di dalam ruangan). Interaksi 2 komponen ini yang akan menentukan nyaman tidaknya kondisi mendengar di telinga pendengar tadi. Bila suara langsung dan suara pantulan bercampur dengan baik (misalnya tidak ada delay yang berlebihan), maka pendengar akan nyaman merasakan medan akustik di sekitar telinganya. Desain permukaan ruangan yang menghasilkan pola pemantulan yang berinteraksi positif dengan suara langsung dari sumber menjadi sisi krusial dalam desain Akustik Ruang. Suara pantulan ini tidak boleh lebih dominan dari suara langsung. Itu sebabnya level energi suara dari sumber memegang peranan penting bagi pendengar. Apabila level suara sumber memungkinkan untuk mencapai seluruh bagian ruangan (atau seluruh posisi pendengar) maka ruangan tersebut pada dasarnya TIDAK MEMERLUKAN Sound System, karena problemnya adalah bagaimana perancang ruangnya mendesain karakteristik pemantulan yang dihasilkan permukaan dalam ruangan untuk memperkaya suara langsung yang sampai ke telinga pendengar. Sedangkan bila level energi suara dari sumber tidak mungkin mengcover seluruh area pendengar, pada saat itulah diperlukan Sound System. Dalam kondisi ini, problemnya bergeser dari perancangan karakterisasi pantulan ruang menjadi perancangan posisi sumber suara nonnatural. Jadi, Sound System dan Akustik Ruangan sebenarnya adalah satu sistem yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pertanyaan awal tadi sebenarnya tidak perlu dijawab, karena keduanya memegang peranan penting dalam porsinya masing-masing. Sound System memerlukan Akustik Ruangan yang minimal baik untuk bekerja secara optimal, dan Akustik Ruangan memerlukan Sound System bila energi sumber suara natural tidak mencukupi levelnya. Dan satu hal yang perlu diingat adalah Sound System tidak boleh mengubah karakter sumber suara yang dia layani, karena fungsinya adalah menjaga kualitas suara sumber supaya tetap terdengar baik di telinga pendengar. Bagaimana kalau suara sumbernya tidak layak didengar? Kalau itu yang terjadi, persoalannya bukan lagi masalah akustik, tetapi masalah sumber suara saja. Sebagai ilustrasi penutup, mengapa seluruh permukaan didalam bioskop bersifat menyerap energi suara (pantulan minimum)? Karena pendengar yang masuk ke dalam ruangan tersebut memang diminta untuk mendengarkan suara “langsung” yang dihasilkan oleh Sound Systemnya, sembari menikmati tayangan visual tentunya. Mana yang lebih penting Sound System nya atau Akustika

Ruangannya? Ya keduanya penting, karena kalau Sound Systemnya buruk, penonton (pendengar) akan merasa tidak nyaman secara audial. Sebaliknya, bila kondisi akustik ruangan buruk (misalnya ada pantulan berlebihan atau ada kebocoran suara dari luar), maka kondisi mendengar medan suara yang dihasilkan oleh Sound System akan terganggu.

Respon Frekuensi Ruangan April 14, 2012 in Akustika Ruangan | Tags: Frekuensi cut-off, Frekuensi Kritis, Room Modes | Leave a comment

Secara umum, sebuah ruangan tertutup dapat dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan respons frekuensinya. Bagian pertama merupakan daerah frekuensi yang dibatasi oleh frekuensi cut off ruangan. Pada bagian ini, analisis frekuensi harus dititik beratkan pada tekanan suara sumber yang dimainkan dalam ruangan. Frekuensi cut off sendiri dapat dihitung dengan persamaan berikut: freq cut off = c/(2 x dimensi terpanjang ruang), dengan c adalah cepat rambat suara di udara. Bagian kedua atau region kedua adalah daerah frekuensi yang didominasi modes ruang dan disebut sebagai daerah modal (modal region), yaitu daerah frekuensi mulai dari frekuensi (cut off) sampai dengan frekuensi kritis ruang. Pada daerah frekuensi ini, analisis harus lebih difokuskan pada karakterisitik modes ruang. (penjelasan menggunakan pendekatan medan difuse cenderung akan gagal). Frekuensi kritis ruang dapat dicari dengan dua pendekatan. Yang pertama menggunakan pendekatan Main Free Path, yang merupakan fungsi dari Volume (V) dan Luas Permukaan Ruangan (S), dimana MFP = 4V/S. Frekuensi kritis dengan pendekatan MFP ini dapat dihitung dengan persamaan berikut: frek kritis = (3/2) [c/MFP] , dengan c adalah cepat rambat suara di udara. Pendekatan kedua didapatkan dengan memanfaatkan perhitung waktu dengung (RT atau T60). Dengan pendekatan ini, frekuensi kritis dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut: frek kritis = 2012 [akar kuadrat(T60/V)], dimana V adalah volume ruangan. Daerah frekuensi ketiga, yaitu daerah frekuensi diatas frekuensi kritis, disebut sebagai daerah diffuse alias diffuse region, dimana medan diffuse dapat terjadi, sehingga konsep waktu dengung (reverberation time) bisa diterapkan. Konsep frekuensi kritis tersebut, dapat juga digunakan untuk mengkategorikan ruangan dari sudut pandang akustik. Ada dua kategori ruang yang bisa dibuat dari sudut pandang ini, yaitu ruangan besar (large room) dan ruangan kecil (small room). Ruangan besar adalah sebuah ruangan yang memiliki frekuensi kritis lebih rendah daripada frekuensi terendah sumber suara yang dimainkan dalam ruangan tersebut. Sedangkan ruangan kecil adalah sebuah ruangan yang memiliki frekuensi kritis didalam range frekuensi sumber suara yang dimainkan dalam ruangan tersebut. Contoh ruangan besar misalnya Ruang Konser Philharmonik (Concert Hall), Katedral, dan ruangan studio rekaman berukuran besar. Contoh ruangan kecil adalah Kamar tidur, kamar mandi atau normal size living room.

Pengukuran Impulse Response March 30, 2012 in Akustika Ruangan | Tags: Acoustic Parameters, History, Impulse Response | Leave a comment

Salah satu cara untuk mengetahui kinerja akustik sebuah ruangan adalah dengan melakukan pengukuran respon impuls (Impulse Response) dari ruangan tersebut. Dari pengukuran ini akan didapatkan gambaran interaksi antara sumber suara dengan permukaan dalam ruangan, yang dapat digambarkan dalam pola urutan waktu pemantulan energi suara pada suatu titip dalam

ruangan serta reduksi energi suara pada setiap waktu/setiap informasi suara pantulan. Dari pola urutan dan reduksi energi suara ini dapat diturunkan parameter-parameter akustik ruangan tertutup, misalnya SPL (distribusi tingkat tekanan suara), D50 (kejelasan suara ucapan), C80 (kejernihan suara musik), G (kekuatan sumber suara), EDT (early decay time), Tx (waktu dengung ruangan), ITDG (waktu tunda pantulan awal, intimacy), IACC (spaciousness dan envelopment), LEF(spaciousness dan envelopment), dan turunan-turunannya. Metodologi pengukuran dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup pesat. Secara kronologis waktu, metode pengukuran impulse response dapat diringkaskan sebagai berikut: 1. Pengukuran menggunakan sumber suara impulsive (Balon atau pistol start). 2. Pengukuran menggunakan transducer omnidirectional (dodecahedral loudspeaker dan omni directional microphone) 3. Pengukuran secara elektro akustik menggunakan 1 sumber suara omnidirectional, perangkat lunak dalam PC atau laptop, dan 1 mikropon omnidirectional. Sinyal suara yang digunakan misalnya MLS (Maximum Length Sequences), TDL (Time Delay Spectrometry alias Sine sweep) dan ESS (Exponential Sine Sweep). Pada era ini muncul perangkat lunak yang melegenda, MLSSA (simply called Melissa) yang menjadi cikal bakal munculnya perangkat lunak pengukuran yang lain (TEF, RTF, Dirac, dsb) 4. Pengukuran menggunakan sound card, 2 atau lebih loudspeaker dan multi microphones ( 2 – 8 ). Pengukuran dengan 2 microphones kadang-kadang menggunakan kepala manusia atau kepala tiruan (dummy head), misalnya untuk pengukuran IACC. Penggunaan jenis microphones juga bisa divariasikan (berdasarkan konfigurasinya dan jenis directivity yang digunakan), misalnya untuk pengukuran LEF. Sound card yang digunakan bisa dari type standard full duplex, (baik internal maupun external). ataupun special external sound card multi channels. Pengukuran dengan metode ini memungkinkan untuk mendapatkan response ruangan secara binaural maupun ambisonic. Di era ini Sound Field Microphones banyak digunakan. 5. Saat ini, pengukuran yang melibatkan Array Loudspeaker system dan Array Microphone System, untuk mendapatkan informasi pola arah (directivity pattern) yang lebih akurat di setiap titik pendengar dalam ruangan, banyak dikembangkan, baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya.

Waktu Dengung Formulasi Sabine March 27, 2012 in Akustika Ruangan | Tags: Difuse, Reverberation Time, Sabine, Waktu Dengung |Leave a comment

Salah satu formulasi perhitungan waktu dengung yang paling banyak digunakan para desainer ruangan adalah rumusan waktu dengung (reverberation time) yang diformulasikan oleh Sabine. Dalam formulasi yang diturunkan berdasarkan percobaan empiris, Sabine menyatakan bahwa waktu dengung (T60) berbanding lurus dengan Volume Ruangan (V) dan berbanding terbalik dengan Luas Permukaan Ruangan (S) dan rata-rata Koefisien Absorpsi permukaan ruangan (alpha). Formulasi ini sampai saat ini masih sering digunakan orang, terutama di dalam proses awal desain dan penentuan material finishing ruangan, sesuai dengan fungsi ruangannya. Formula Sabine: T60 = 0,161 V / S.alpha Beberapa hal yang seringkali dilupakan dalam aplikasi formula ini adalah: 1. T60 adalah fungsi frekuensi, karena Koefisien Absorpsi (Alpha) adalah fungsi frekuensi. 2. Formula ini dibuat dengan asumsi, seluruh permukaan ruang memiliki probabilitas yang sama untuk didatangi energi suara.

3. Formula ini disusun dengan asumsi Medan Suara Ruangan bersifat Diffuse. 4. Formula ini hanya “berlaku” dengan baik apabila rata-rata Alpha < 0,3 dan perbedaan Alpha antar material penyusun partisi tidak terlalu besar. Untuk harga Alpha rata-rata > 0,3, formula ini akan memberikan kesalahan T60 > 6%. 5. Harga T60 yang dihasilkan dengan formula ini adalah harga rata-rata saja,sehingga tidak menunjukkan kondisi di setiap titik dalam ruangan. note: Formulasi Sabine ini kemudian disempurnakan oleh Norris-Errying. (T60 = -0,161 V/S.ln(1-Alpha)

FSTC vs STC March 21, 2012 in Akustika Ruangan | Tags: isolasi, sound transmission class, sound transmission loss | Leave a comment

Salah satu parameter akustik yang banyak dikenal di kalangan desainer ruangan adalah Sound Transmission Class or STC. Parameter ini merupakan angka tunggal yang digunakan untuk menunjukkan kinerja insulasi akustik dari material penyusun ruangan. Secara khusus digunakan untuk menyatakan kinerja suatu partisi atau dinding ruangan. Harga STC ditentukan secara grafis dengan cara membandingkan kurva rugi transmisi suara atau sound transmission loss (STL) dengan kurva standard STC. STL partisi atau dinding terpasang dapat diukur dengan mengacu pada standard ASTM E 336, sedangkan harga STC nya dapat dihitung berdasarkan standard ASTM E 416. Harga STC secara umum menunjukkan kondisi kinerja optimal dari sebuah partisi atau dinding, karena didapatkan melalui pengukuran STL di laboratorium. Dalam kondisi riil, setelah partisi atau dinding tersebut dipasang di dalam ruangan, harga STC tersebut sulit sekali dicapai. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu kebocoran (leakage) energi suara dan Adanya flanking path di ruangan. Kebocoran energi suara ini bisa disebabkan oleh komponen-komponen dalam sistem partisi atau dinding itu sendiri (kualitas pemasangan, sambungan antar bagian, dsb) maupun oleh sistem-sistem yang lain (pintu, jendela atau partisi/dinding yang lain). Sedangkan flanking adalah perambatan energi suara lewat jalur selain menembus dinding, misalnya melewati langit-langit ruangan atau bukaan di bagian dinding yang lain. Sebagai akibatnya, kinerja insulasi ruangan (atau terkadang disebut juga kinerja isolasi antar ruang) seringkali dinyatakan dengan besaran Field Sound Transmission Class (FSTC) yang menunjukkan kinerja rugi transmisi partisi atau dinding dalam kondisi terpasang dalam ruangan. FSTC merupakan sebuah ukuran kinerja isolasi antar ruang yang dipengaruhi oleh bising latar belakang, volume ruangan, koefisien absorpsi bahan penyusun interior ruangan, luas permukaan dalam ruangan dan karakteristik spektral sumber suara yang dibunyikan dalam ruangan. Harga FSTC suatu partisi atau dinding pada umumnya 5 – 7 skala lebih rendah dari harga STC nya. Dua buah partisi atau dinding yang memiliki harga FSTC yang setara mungkin saja memiliki karakteristik akustik yang berbeda, misalnya sebuah partisi/dinding beton setebal 20 sm dengan FSTC 50 akan bekerja lebih baik dibandingkan dengan partisi/dinding dari dry wall (double gypsum atau double hardwood sistem) ber-FSTC 50 juga, apabila digunakan dalam ruangan yang difungsikan untuk kegiatan yang melibatkan suara dengan frekuensi rendah (bass), misalnya untuk kegiatan musik. Secara umum, nilai STC maupun FSTC berkaitan dengan persepsi manusia terhadap suara yang didengarkan dalam konteks antar ruang. Semakin besar nilaiSTC maupun FSTC, menunjukkan kinerja partisi/dinding yang semakin baik dalam mengisolasi ruangannya dari aktifitas akustik di ruangan yang berbatasan. Sebuah partisi atau dinding yang permukaannya terdiri dari berbagai jenis material, nilai STC atau FSTC nya cenderung ditentukan oleh STC yang paling rendah dari material penyusun. (itu sebabnya, celah pada partisi akan membuat harga STC atau FSTC turun drastis). Beberapa contoh berikut (sumber International Building Code IBC) dapat digambarkan untuk memberikan gambaran efektifitas kinerja partisi/dinding secara subyektif terkait dengan nilaiSTC (FSTC).

STC 26-30 (FSTC 20-22) : Most sentences clearly understood 30-35 (25-27) : Many phrases and some sentences understood without straining to hear 35-40 (30-32) : Individual words and occasional phrases clearly heard and understood 42-45 (35-37) : Medium loud speech clearly audible, occasional words understood 47-50 (40-42) : Loud speech audible, music easily heard 52-55 (45-47) : Loud speech audible by straining to hear; music normally can be heard and may be disturbing 57-60 (50-52) : Loud speech essentially inaudible; music can be heard faintly but bass notes disturbing 62-65 (55-60) : Music heard faintly, bass notes “thump”; power woodworking equipment clearly audible 70- 60 : Music still heard very faintly if played loud. 75+ 65+ : Effectively blocks most air-borne noise sources

Identifikasi Karakteristik Akustik Suara Pengucap termanipulasi Aktif: Studi kasus Penyulih Suara (dubber) February 15, 2012 in Suara Ucapan | Leave a comment

Salah satu upaya bangsa Indonesia untuk bangkit kembali adalah dengan pemberantasan korupsi. Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai lembaga negara yang mempunyai tugas khusus dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia. Salah satu bahan bukti awal adalah sadapan hasil dari pembicaraan seseorang dengan pihak lain yang dapat dicurigai sebagai bagian proses komunikasi yang berhubungan dengan tindak korupsi. Untuk keperluan forensik, sampel suara ucap dari beberapa rekaman sadapan harus dibandingkan dengan sampel suara dari tersangka tersebut yang direkam selama proses penyidikan. Hasil dari analisa sekumpulan sampel suara ucap harus memberikan kesimpulan apakah suara ucap itu dari sumber subjek yang sama atau tidak. Secara scientific produksi suara dapat dianalogikan dengan model source-filter, dimana laring sebagai sumber suara (source) dan supralaryngeal vocal tract sebagai filter akustik. Dengan model source-filter bahwa produksi suara ucap manusia digambarkan bahwa suara ucap manusia berasal dari suatu sumber suara yang melewati filter akustik. Sumber suara ini memiliki frekuensi yang disebut dengan frekuensi fundamental atau pitch. Sedangkan filter akustiknya memiliki frekuensi-frekuensi resonansi yang disebut dengan formant. Satu tantangan dalam proses forensik, adalah seringkali tersangka tidak kooperatif dalam pengambilan sampel suara ucap selama proses penyidikan, sehingga diperlukan satu sistem identifikasi suara ucap yang dikembangkan untuk keperluan forensik. Satu pendekatan yang digunakan untuk estimasi sumber suara adalah berdasarkan ekstraksi ciri akustik dari suara ucap yang berbasis pada pitch dan/atau formant. Untuk keperluan identifikasi secara otomatis, perlu suatu sistem klasifikasi berbasis statistik untuk membuat suatu keputusan dari ciri akustik dari beragam sample suara ucap yang diproses. Proses identifikasi akan semakin kompleks pada saat terjadi manipulasi/penyamaran (disguissing) suara dari subyek/tersangka akibat adanya modifikasi pada proses produksi suara baik yang terjadi pada bagian source dan atau filter. Modifikasi ini dapat terjadi secara pasif akibat perubahan keadaan emosi dari subyek misalnya dalam kondisi tertekan secara kejiwaan maupun mengalami gangguan kesehatan yang berhubungan dengan organ-organ pengucapan sehingga yang bersangkutan tidak dapat melakukan produksi suara-ucap secara normal. Modifikasi juga dapat terjadi secara aktif bila subyek dengan secara sengaja merubah warna suara maupun gaya bicara dari kebiasaan sehari-hari. Teknik yang bisa digunakan untuk jenis modifikasi yang terakhir ini salah satunya adalah voicing yaitu suatu teknik memanipulasi suara dengan phonation yang menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi dasar(pitch) dari suara yang diucapkan pada waktu (timing) tertentu. Hal ini terjadi karena adanya modifikasi kekakuan dari glottis sehingga terjadi perubahan dari volume aliran udara (airstream) yang mengalir ke daerah vocal tract yang selanjutnya menghasilkan warna suara (tone) yang berbeda. Sementara itu, perubahan gaya bicara pada umumnya dilakukan dengan melakukan perubahan dalam penekanan (stressing)

pengucapan pada suku kata tertentu, memperpanjang-memperpendek panjang ucapan,perubahan bentuk bibir, dll., sehingga berpengaruh pada intonasi ucapan. Penelitian ini difokuskan untuk memperbanyak data base suara termanipulasi aktif, yang pada penelitian terdahulu telah digunakan pemain teater, dalang wayang golek, dan dalang wayang kulit, serta penyanyi tenor dan sopran. Pada penelitian kali ini, studi kasus akan menggunakan subjek suara penyulih suara (dubber), sebagai bentuk pengembangan lanjut dari sistem indentifikasi suara pengucap dengan suara yang termanipulasi aktif, dimana pengucap mampu memodifikasi suaranya dengan rentang yang cukup lebar, dan mampu merubah ciri khasnya. Dari tiap sampel suara, akan dilakukan ekstraksi ciri akustik untuk mendapatkan ciri akustik pitch dan Formant. Untuk deteksi dari ciri akustik pitch , akan dibandingkan metode yang berdasarkan frekuensi domain dan time-frekuensi domain. Tiga jenis formant yaitu dikenal dengan F1, F2 dan F3 yang biasa digunakan untuk ekstraksi ciri akustik dengan metode Linear Predictive Coding. Pada sistem klasifikasi ciri akustik, akan dilakukan pendekatan likelihood ratio, untuk mendeteksi besarnya rentang frekuensi suara termanipulasi aktif, khususnya untuk profesi Penyulih Suara (dubber).

Synopsis: Akustik Perkantoran Tapak Terbuka (Acoustics of Openplan Offices) February 15, 2012 in Akustika Ruangan | Leave a comment

Latar belakang masalah Seiiring dengan semakin mahalnya energi fosil di dunia, konsep pembangunan gedung perkantoran di Indonesia, sebagaimana halnya dibelahan dunia yang lain, semakin banyak yang mengacu pada konsep bangunan hijau (green building). Ini berarti, pemanfaatan energi terbarukan seperti energi matahari, dalam kaitannya dengan energi pencahayaan misalnya, semakin banyak dijadikan pertimbangan utama di dalam desain selubung bangunan. Sebagai salah satu akibatnya, ruangan kerja dibuat mendekati perimeter selubung bangunan, dan bertipe tapak-terbuka (open-plan), agar supaya cahaya matahari semakin banyak masuk ke dalam ruangan. Dengan demikian pemakaian energi fosil untuk pencahayaan ruangan bisa dikurangi. Konsep Perkantoran Tapak-terbuka (Open-plan Offices), yang secara umum dikategorikan dengan tidak adanya dinding dan partisi, pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang produsen furnitur Jerman Barat, Eberhard dan Wolfgang Schnelle[1]. Para inovator ini percaya bahwa konsep ini memiliki banyak keuntungan dari sisi managerial, ekonomi dan kondisi kerja, misalnya terciptanya kondisi komunikasi yang lebih baik antara bagian, penghematan ruang karena tidak memerlukan koridor, dan lingkungan kerja yang lebih[2, 1, 4]. Masalah yang sering ditemui terkait dengan kenyamanan berkomunikasi dalam konsep kantor tapak-terbuka adalah gangguan secara aural akibat interferensi bunyi dan kebisingan, hilangnya privasi dalam berkomunikasi, dan seringnya interupsi oleh rekan kerja [4]. Beberapa peneilitian menunjukkan bahwa gangguan ini dapat memberikan efek psikologis pada para pekerja, terutama bagi mereka yang sebelumnya telah terbiasa bekerja di lingkungan tertutup atau semi tertutup. Akibat penggunaan pembatas ruang kerja (‘working space’) yang bersifat semi-terbuka, beberapa penelitian di US [2, 5] menunjukkan kebisingan diakibatkan oleh suara percakapan antar pekerja merupakan gangguan akustik ruang yang paling signifikan. Hal ini ditemui terutama di perkantoran yang memberikan jasa pelayanan ke konsumen entah melalui percakapan langsung atau media komunikasi elektronik. Sumber kebisingan lain berkaitan dengan peralatan elektronik yang mendukung aktivitas kerja diantaranya dering telepon, komputer, mesin fax, mesin fotokopi maupun printer. Problem akustik yang lain akibat layout ruangan adalah tidak terpenuhinya privasi dalam percakapan (speech privacy). Interferensi bunyi merupakan penyebab utama gangguan ini. Tidak adanya dinding penghalang (barriers free) menyebabnya gelombang suara dengan mudah dapat berpropagasi secara bebas ke seluruh sudut ruangan. Gangguan ditunjukkan dengan sulitnya memahami suara percakapan yang mengandung informasi penting akibat adanya gangguan suara percakapan lain yang lebih jernih, lebih keras, mudah ditangkap dan mendominasi zona pendengaran. Atenuasi (penyerapan) dan peredaman suara hanya di layani oleh material-material partisi dengan ketinggian terbatas sementara peran langit-langit sebagai penyerap suara menjadi

sangat berkurang karena refleksi bunyi tidak mampu mencapai pembatas ruang tersebut. Dengan adanya gangguan-gangguan akustik tersebut diatas, konsep perkantoran tapak-terbuka dinilai kurang tepat untuk mendukung efektifitas kerja, walaupun dari sisi perancangan arsitektur dianggap lebih estetis, efisien dan memiliki tingkat perawatan yang lebih mudah karena dapat dengan mudahnya ditata ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan. Dari sisi interaksi antar pekerja, konsep perkantoran ini mampu menciptakan keakraban dan suasana kebersamaan. Tujuan riset Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan hubungan kuantitatif antara kondisi akustika ruang pada ruangan kantor tapak-terbuka dengan tingkat kepuasan atau kenyamanan privasi wicara (speech privacy) para pekerja yang berada di dalam ruangan tersebut. Hasil kuantitatif ini akan memberikan manfaat di dalam proses desain ruangan yang memenuhi standard konsep bangunan hijau, tanpa mengganggu tingkat kepuasan privasi wicara orang yang bekerja di ruangan tersebut. METODOLOGI Metodologi yang digunakan pada penelitian ini merupakan kombinasi antara pengukuran akustika ruangan, pemodelan dan simulasi ruangan, dan observasi dan survey kepada pengguna ruangan. Objek penelitian setidaknya akan melibatkan 3 bangunan perkantoran tapak-terbuka di kota Bandung, Yogyakarta dan Jakarta. Pengukuran Akustik Ruangan Pengukuran ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik akustik ruangan, yang dilakukan dengan metode pengukuran respon impuls ruangan dan perekaman kondisi tingkat tekanan suara sebagai fungsi waktu maupun fungsi frekuensi (spektrum). Parameter akustik yang diharapkan dapat diperoleh dari pengukuran ini meliputi: Tingkat tekanan suara rata-rata, tingkat tekanan suara puncak, komponen frekuensi suara percakapan dan suara-suara mesin-mesin kantor, serta interaksi suara yang terjadi di dalam ruangan (atenuasi, masking, coloration, etc). Pengukuran akan dilakukan dengan mempertimbangkan karakter sumber suara dan pendengar, sehingga perlu melibatkan penapisan sinyal menggunakan fungsi pembobot yang lazim digunakan misalnya pembobot A, B, atau C. Pemodelan dan Simulasi Pemodelan dan Simulasi ruangan digunakan untuk mencari kesempatan perbaikan kinerja ruangan secara akustik apabila diperlukan. Proses ini dilakukan dengan pendekatan geometri ruangan dan kombinasi antara Ray Tracing Method dan Image Method, dengan menggunakan perangkat lunak CATT Acoustics v 8.0. Besaran akustik yang terukur di bagian 3.1 akan menjadi acuan di dalam proses ini. Proses auralisasi akan digunakan juga didalam bagian ini untuk memberikan listening experience bagi pengguna ruangan. Observasi dan Survey Pengguna Observasi dan Survey pengguna ruangan, dilakukan dengan metode pengamatan langsung dan menggunakan quesioner, untuk mendapatkan gambaran efek-efek yang dihasilkan besaran akustik yang diukur pada bagian 3.1 terhadap kepuasan privasi wicara pengguna. DAFTAR PUSTAKA 1. Hundert, A. T., & Greenfield, N. (1969). Physical space and organizational behavior: A study of an office landscape. Proceedings of the 77th Annual Convention of the American Psychological Association (APA) (pp. 601-602). Washington, D.C.: APA. 2. Boyce, P. R. (1974). Users’ assessments of a landscaped office. Journal of Architectural Research, 3(3), 44-62 3. Zalesny, M. D., & Farace, R. V. (1987). Traditional versus open offices: A comparison of sociotechnical, social relations, and symbolic meaning perspectives. Academy of Management Journal, 30, 240-259. 4. Hedge, A. (1982). The open-plan office: A systematic investigation of employee reactions to their work environment. Environment and Behavior, 14(5), 519-542. 5. Sundstrom, E., Town, J. P., Rice, R. W., Osborn, D. P., & Brill, M. (1994). Office noise, satisfaction, and performance. Environment and Behavior, 26(2), 195-222.

6. Navai, M., Veitch, J.A. Acoustics Satisfaction in Open-Plan Offices (2003): Review and Recommendations, Institute for Research in Construction, 5.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF