Wrap Up Skenario 1 blok respirasi

October 19, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Wrap Up Skenario 1 blok respirasi...

Description

WRAP UP SKENARIO 1 BLOK RESPIRASI “PILEK PAGI HARI”

KELOMPOK B – 14 : Ketua

: PRATISTHA SATYANEGARA (1102012211)

Sekertaris : SILA INGGIT F. (1102012276) NURYADI HERMITA (1102012209) PRIMA ERIAWAN PUTRA (1102012212) RIZAL FADHLURRAHMAN (1102012250) RIZKI FITRIANTO (11012012251) RIZKY ALAMSYAH MARTANI (1102012253) SHOFA MUMINAH (1102012275) TITIS NUR INDAH SARI (1102011282) TRI ANDINI AYU LESTARI (1102011284)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510 Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574

SKENARIO 1

PILEK PAGI HARI

Seorang pemuda usia 20 tahun, selalu bersin-bersin di pagi hari, keluar ingus encer, gatal di hidung dan mata, terutama bila udara berdebu, diderita sejak usia 14 tahun. Tidak ada pada keluarganya yang menderita seperti ini, tetapi ayahnya mempunyai riwayat penyakit asma. Pemuda tersebut sangat rajin sholat tahajud, sehingga dia bertanya adakah hubungannya memasukkan air wudhu ke dalam hidungnya di malam hari dengan penyakitnya? Kawannya menyarankan untuk memeriksakan ke dokter, menanyakan mengapa bisa terjadi demikian, dan apakah berbahaya apabila menderita seperti ini dalam waktu yang lama.

1

KATA-KATA SULIT 

Asma



Ingus

: serangan berulang dispneaparoxismal dengan radang jalan nafas dan mengi akibat kontraksi plasmodik bronkus. : mukus yang keluar dari hidung.

PERTANYAAN 1. Kenapa terjadi bersin-bersin? 2. Mengapa gejala selalu terlihat di pagi hari? 3. Kenapa gejala muncul pada usia remaja? 4. Apa diagnosis kasus di atas? Dan alasannya? 5. Apakah ada hubungannya dengan riwayat penyakit asma ayahnya? 6. Saluran pernapasan apa saja yang mengalami gangguan? 7. Mengapa bisa terjadi gatal di hidung dan mata? Dan mengapa ingus yang keluar encer? 8. Apakah penyakit ini berbahaya dalam waktu lama? 9. Apa saja faktor resikonya? 10. Bagaimana proses terbentuknya ingus? 11. Bagaimana tatalaksana untuk pemuda ini? 12. Apa hubungannya memasukkan air wudhu ke dalam hidung dengan penyakitnya?

JAWAB 1. Karena ada reaksi alergi. Hipereaksi kelenjar mukosa dan sel goblet, serta permeabilitas kapiler meningkat. 2. Karena udara dingin merangsang saraf dan juga karena sistem imun mulai aktif di pagi hari. 3. Karena sudah tersensitasi dari kecil, sel imun membentuk antibodi. Pada usia remaja, sel imun sudah matang dan menimbulkan gejala. 4. Rhinitis alergi. Karena ada riwayat penyakit asma dari ayahnya dan gejala muncul pada pagi hari saja (pemuda kontak dengan alergen). 5. Ada. Karena rhinitis alergi merupakan penyakit herediter. 6. Hidung dan saluran nafas atas. 7. Karena ada histamin di jaringan dan ingusnya encer karena bukan karena adanya infeksi sekunder. 8. Iya. Bisa menyebabkan infeksi atau asma sebagai salah satu komplikasinya. 9. Genetik, lingkungan, cuaca, pekerjaan (kebiasaan), umur. 10. Sel goblet mengeluarkan sekret untuk membersihkan saluran nafas dari debu/kotoran. 11. Farmako: AH1, kortikosteroid nasal, pseudoefedrin (dekongestan). Non-farmako: hindari kontak dengan alergen. 12. Air wudhu berfungsi untuk membersihkan hidung tetapi untuk orang yang alergi terhadap dingin akan menimbulkan gejala penyakit.

2

HIPOTESIS Seseorang yang memiliki faktor genetik terhadap penyakit alergi, bila terpapar alergen maka akan mengaktifkan sel imun. Sel imun yang aktif kemudian akan meningkatkan jumlah sel mast dan mediator kimia lain. Sel mast akan melepaskan histamin dan menyebabkan pada penderita timbul gejala seperti bersin-bersin, keluar ingus yang encer, dan sebagainya. Untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi bisa dilakukan berbagai pemeriksaan, yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Bila sudah ditegakkan dengan pasti, penderita bisa diberikan terapi yang cocok dan sesuai.

3

SASARAN BELAJAR

LI. 1 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANATOMI SALURAN NAFAS ATAS LO. 1.1 Memahami dan menjelaskan makroskopis anatomi saluran nafas atas LO. 1.2 Memahami dan menjelaskan mikroskopis anatomi saluran nafas atas LI. 2 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FISIOLOGI PERNAFASAN ATAS LI. 3 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN RHINITIS ALERGI LO. 3.1 Memahami dan menjelaskan definisi rhinitis alergi LO. 3.2 Memahami dan menjelaskan etiologi dan klasifikasi rhinitis alergi LO. 3.3 Memahami dan menjelaskan epidemiologi rhinitis alergi LO. 3.4 Memahami dan menjelaskan patofisiologi rhinitis alergi LO. 3.5 Memahami dan menjelaskan manifestasi klinis rhinitis alergi LO. 3.6 Memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding rhinitis alergi LO. 3.7 Memahami dan menjelaskan penatalaksanaan dan pencegahan rhinitis alergi LO. 3.8 Memahami dan menjelaskan komplikasi rhinitis alergi LO. 3.9 Memahami dan menjelaskan prognosis rhinitis alergi LI. 4 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIKMAH BERWUDHU DALAM ISLAM

4

LI. 1 ANATOMI SALURAN NAFAS ATAS 1. Makroskopis Hidung Hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran pernapasan. Ada 2 bagian dari hidung, yaitu:  Eksternal: menonjol dari wajah, disangga oleh Os. Nasi dan tulang rawan kartilago. Keduanya dibungkus dan dilapisi oleh kulit dan sebelah dalamnya terdapat bulu-bulu halus (rambut) yang membantu mencegah benda-benda asing masuk ke dalam hidung.

Gambar 1. Struktur hidung bagian eksternal (Hansen, 2010)  Internal: permukaan yang bermukosa berupa rongga (vestibulum nasi) yang disekat antara kanan-kiri oleh septum nasi. Pada vestibulum nasi terdapat cilia yang kasar berfungsi untuk menyaring udara. Bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan (cavum nasi) dimulai dari lubang hidung depan (nares anterior) sampai lubang hidung belakang (nares posterior, dibagian ini ada 3 concha nasalis , yaitu:  Concha nasalis superior  Concha nasalis media  Concha nasalis inferior

Gambar 2. Penampang lateral dari cavitas nasalis (Hansen, 2010)

5

Langit-langit dibentuk aloe tulang athmoidalis pada bagian dasar tengkorak dan lantai yang keras serta palatum lunak pada bagian langit-langit mulut. Dinding lateral rongga dibentuk oleh maksila, konkanasalis tengah dan sebelah luar tulang ethmoidalis yang tegak lurus dan vomertis, sementara bagian anterior dibentuk oleh tulang rawan. Beberapa tulang disekitar rongga dasar berlubang. Lubang didalam tulang tersebut disebut sinus parasinalis, yang memperlunak tulang dan berfungsi sebagai ruang bunyi suara, menjadikan suara beresonansi. Sinus maksilaris terletak dibawah orbit dan terbuka melalui dinding lateral hidung. Sinus frontalis terletak diatas orbit ke arah garis tengah tulang frontalis. Sinus frontalis cukup banyak dan merupakan bagian tulang ethmoidalis yang memisahkan lingkaran hidung dan sinus sfeinoidalis berada didalam tulang sfenoidalis. Semua sinus paranasalis dilapisi oleh membrane bermukosa dan semua terbuka kedalam rongga nasal, dimana mereka dapat terinfeksi. Faring Bagian sebelah atas faring dibentuk oleh badan tulang sfenoidalis dan sebelah dalamnya berhubungan langsung dengan esophagus. Pada bagian belakang faring dipisahkan dari vertebra servikalis oleh jaringan penghubung, semntara dinding depannya tidak sempurna dan berhubungan dengan hidung, mulut dan laring. Faring merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:  Nasofaring (terletak posterior dari cavitas nasalis di atas palatum)  Orofaring (membentang dari palatum menuju ujung superior epiglottis; terletak posterior dari cavitas oral)  Laringofaring (membentang dari ujung epiglottis ke bagian inferior dari cartilaginosa cricoidea)

Gambar 3. Subdivisi dari faring (Hansen, 2010) 6

Nasofaring adalah bagian faring yang terletak di belakang hidung di atas spalatum yang lembut. Pada dinding posterior terdapat lintasan jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal yang biasanya disebut adenoid. Jaringan ini kadang-kadang membesar dan menutupi faring serta menyebabkan pernafasan mulut pada anak-anak. Tubulus auditorium terbuka dari dinding lateral nasofaring dan melalui tabung tersebut udara dibawa ke bagian tengah telinga. Orofaring terletak di belakang mulut di bawah palatum lunak, dimana dinding lateralnya saling berhubungan. Di antara lipatan dinding ini, ada yang disebut arkus palate-glosum yang merupakan kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil palatum. Laring Daerahnya dimulai dari aditus laringis (pintu laring) sampai batas bawah cartilago cricoid. Terbentuk oleh tulang dan tulang rawan. Tulangnya adalah Os. Hyoid. Tulang rawannya:  Epiglotis: tulang rawan berbentuk sendok. Pada saat ekspirasi inspirasibiasa, epiglotis terbuka. Pada waktu menelan, epiglotis menutup adituslaringis agar makanan tidak masuk ke laring.  Cartilago tyroid (adam‟s apple): jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.  Cartilago arytenoid: ada 2. Digunakan dalam gerakan pita suaradengan cartilago thyroid.  Cartilago cricoid: adalah batas bawah laringDalam cavum laringis terdapat pita suara asli (plica vocalis) dan pita suarapalsu (plica vestibularis).

Gambar 4. Kartilago laring, ligamen, dan membran (Hansen, 2010)

Tulang rawan tiroid dibentuk oleh dua lempeng tulang rawan datar yang digabungkan bersama kebagian depan untuk membentuk tonjolan laryngeal atau adam‟s apple (buah jakun). Disebelah atas tonjolan laring tersebut terdapat suatu noktah tiroid. Tulang rawan tiroid pada pria lebih besar daripada wanita. Bagian atas dilapisi oleh epitel berjenjang dan bagian bawahnya oleh epitel bersilia. Tulang hyoid dan tulang rawan laringeus digabungkan oleh ligament dan membrane. Salah satunya ialah membrane krikotiroid, sekelilingnya menyatu dengan sisi atas tulang rawan 7

krikoid dan memiliki batas sebelah atas yang bebas, yang tidak sirkular seperi batasan sebelah bawah, tetapi membentuk dua garis paralel yang melintas dari depan kebeakang. Kedua batasan parallel tersebut adalah ligament suara (vocal ligament). Mereka terikat pada bagian tengah tulang rawan tiroid disebelah depan dan pada tulang rawan aritenoid pada bagian belakang dan mengandung banyak jaringan elastic. Ketika otot intrinsic lain menggantikan posisi tulang rawan aritenoid, ligament suara ditarik bersama, menyempitkan celah diantara mereka. Apabila udara digerakkan melalui celah sempit yang disebut chink selama ekspirasi, ligamen suara bergetar dan menghasilkan bunyi. Nada dari bunyi yang dihasilkan tergantung pada panjang dan kekencangan ligamen. Tekanan yang meningkat menghasilkan not yang lebih tinggi sedangkan tekanan yang lebih kendur menghasilkan not yang lebih rendah. Suara bergantung kepada tenaga yang menyebabkan udara terhisap. Perubahan suara menjadi kata-kata yang berbeda tergantung pada gerakan mulut, lidah, bibir dan otot muka.

Gambar 5. Laring (Hansen, 2010) 2. Mikroskopis

8

Gambar 6. Gambaran umum sistem respirasi (Cui, 2011) Secara fungsional, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu bagian konduksi (bagian yang mentransport udara) dan bagian respiratori (tempat pertukaran gas). Bagian konduksi meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, sementara bagian respiratori meliputi bronchiolus respiratori, ductus alveolaris, sacus alveolaris dan alveoli. Bagian Konduksi a. Saluran pernafasan atas

Gambar 7. Vestibulum nasi (Cui, 2011). Cavitas nasalis memiliki sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum nasi; udara yang melewati cavitas ini dilembabkan dan dihangatkan sebelum masuk ke paru-paru. Terdapat 3 jenis epitel yang ada pada cavitas nasalis, yaitu: a) regio vestibularis dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis, b) regio mucosa nasal dilapisi oleh epitel respiratori, dan c) mucosa olfactorius dilapisi oleh epitel olfactori yang terspesialisasi. (Cui, 2011)

Gambar 8. Membrana mucosa nasalis. Pada kasus infeksi saluran pernfasan atas, ataupun karena reaksi alergi, dapat terjadi inflamasi pada mucosa hidung (terutama concha

9

inferior), sehingga menghambat udara yang masuk melalui cavitas nasalis. Kondisi ini disebut rhinitis. (Cui, 2011)

Gambar 9. Epiglottis (Cui, 201) Laring merupakan jalur pendek yang menghubungkan faring dengan trake; fungsi utamanya adalah untuk menghasilkan suara dan untuk mencegah makanan/minuman masuk ke trakea. Bangunan yang terdapat di laring antara lain epiglottis, pita suara, dan sembilan kartilago yang terletak pada dindingnya (termasuk juga cartilago thyroidea atau „jakun‟). Epiglottis dilapisi oleh dua jenis sel epitel, yaitu sel epitel gepeng berlapis (pada bagian lingual) dan sel epitel respiratori (pada bagian laringeal). (Cui, 2011) b. Saluran pernafasan bawah

Gambar 10. Trakea (Cui, 2011) Trakea merupakan penampang yang fleksibel, fungsinya adalah untuk menghubungkan laring dengan bronchus primer. Panjangnya adalah sekitar 10-12 cm, dan diameternya 10

adalah 2-2.5 cm. Posisinya adalah anterior dari esofagus. Strukturnya terdiri dari mucosa, submucosa, tulang rawan hyaline, dan adventitia. (1) Mucosa melapisi bagian dalam dari trakea, dan terdiri dari epitel respiratori serta lamina propia. (2) pada submucosa terdapat jaringan penyambung yang lebih padat dari lamina propia. (3) Tulang rawan hyaline memiliki bentuk yang sangat khas, yaitu seperti huruf C (beberapa hewan, misalnya tikus, memiliki tulang rawan hyaline berbentuk O), dan jumlahnya adalah sebanyak 16-20 cincin sepanjang trakea. (4) Adventitia terdiri dari jaringan penyambung, yang melapisi bagian luar dari tulang rawan dan menghubungkan trakea ke jaringan sekitarnya.

LI. 2 FISIOLOGI PERNAFASAN ATAS a. Fungsi mukosa serta aktivitas cilia Permukaan seluruh saluran pernafasan (dari hidung hingga ke bronchiolus terminalis), dijaga agar sebisa mungkin lembab. Kelembaban ini dijaga oleh mukosa yang melapisi seluruh permukaannya. Mukosa ini dihasilkan sebagian oleh sel goblet pada sel-sel epitel saluran pernafasan, dan juga oleh glandula submucosa. Selain itu, untuk selalu menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab, ada mekanisme yang menyebabkan terperangkapnya partikel-partikel kecil yang terbawa oleh udara. Fungsi ini bermanfaat agar partikel tersebut tidak masuk hingga alveoli. Mukosa, dalam kasus ini, berperan untuk mengeluarkan partikel tersebut dengan cara sebagai berikut: Seluruh permukaan saluran pernafasan, baik dari hidung hingga bronchiolus terminalis, dilapisi oleh epitel bersilia (dengan 200 cilia per 1 sel epitel). Cilia ini terus menerus bergerak sebanyak 10-20 kali per detik, dan arah gerakannya adalah menuju faring. Oleh karena itu, sifat gerakan cilia dari paru adalah ke atas, sementara gerakan cilia dari hidung adalah ke bawah. Pergerakan yang terus menerus ini menyebabkan mukosa untuk mengalir secara perlahan, dengan kecepatan beberapa milimeter per menit menuju faring. Kemudian, mukosa dan partikel-partikel yg terlarut bisa tertelan, ataupun keluar karena mekanisme batuk. (Hall, 2006) b. Mekanisme refleks batuk Broncus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan yang sangat halus, bahkan bendabenda asing yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan iritasi sehingga menyebabkan batuk. Laring dan carina (tempat bercabangnya trakea menjadi bronchi) adalah bagian tersensitif, sementara bronchiolus terminalis hingga ke alveolus sangat sensitif terhadap zat korosif, misalnya sulfur dioxide atau gas chlorine. Impuls saraf aferen dari saluran pernafasan umumnya melalui nervus vagus, yang diteruskan ke medulla otak. Oleh karena itu, beberapa urutan kejadian „mekanisme batuk‟ dipicu oleh rangkaian neuron yang ada di medulla otak, dengan urutan sebagai berikut: (1) sebanyak 2.5 liter udara secara cepat diinspirasi. (2) Epiglottis menutup, dan pita suara menutup secara erat untuk menahan udara agar tidak keluar dari paru-paru. (3) Otot-otot abdominal berkontraksi secara kuat, sehingga dapat mendorong diafragma; bersamaan dengan itu, otot-otot ekspirasi (misalnya m. intercostalis interna) juga 11

berkontraksi secara kuat. Akibatnya, tekanan di dalam paru-paru meningkat secara drastis, hingga pada tekanan 100 mmHg atau lebih. (4) Pita suara dan epiglottis secara cepat membuka, menyebabkan udara yang bertekanan tinggi dari paru-paru „meledak‟ ke luar. Oleh karena itu, kadang-kadang udara dapat dikeluarkan dari paru secepat 75-100 mph karena mekanisme batuk ini. Kompresi yang kuat oleh paru-paru ini menyebabkan kolapsnya bronchi dan trachea, akibatnya, struktur non-kartilago yang mereka miliki menjadi cekung ke dalam. Udara yang keluar secara cepat ini biasanya juga mengandung benda-benda asing yang ada di bronchi ataupun trachea. (Hall, 2006) c. Respon refleks bersin Mekanisme terjadinya refleks bersin sebetulnya mirip dengan batuk, namun pada bersin, mekanisme utama terjadi pada rongga hidung. Stimulus yang merangsang terjadinya bersin mengiritasi bagian nasal; impuls aferen dihantarkan melalui nervus V menuju medulla, tempat di mana reflex dapat dipicu. Serangkaian mekanisme selanjutnya sama dengan batuk, namun pada bersin, terjadi depresi pada uvula, sehingga banyak udara yang keluar melalui hidung; hal ini dapat membersihkan saluran hidung dari benda asing. (Hall, 2006) Fungsi Respiratori Normal Hidung Ketika udara masuk melalui hidung, terdapat 3 fungsi utama yang terjadi pada hidung, yaitu (1) Udara dihangatkan oleh permukaan conchae dan septum; luas permukaan yang dapat menghangatkan udara ini kurang lebih 160 cm2. (2) Udara dilembabkan sebelum masuk bagian lebih dalam lagi dari hidung. (3) Udara disaring secara partial. Ketiga fungsi ini dinamakan fungsi „air conditioning’ saluran nafas atas. Biasanya, temperatur udara yang diinspirasi naik hingga suhunya menjadi 0,5°C lebih dingin atau hangat dari suhu tubuh. Ketika seseorang bernafas secara langsung dari trachea (misalnya pada tracheostomy), dinginnya udara (dan keringnya udara) yang dihirup dapat menyebabkan kerusakan serius pada paru-paru karena dapat menyebabkan crusting dan infeksi. Ukuran Partikel yang Terperangkap di Saluran Pernafasan Turbulensi pada hidung memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-partikel dari udara. Mekanisme ini cukup efektif karena partikel dengan ukuran lebih dari 6 µm dapat tersaring, sehingga tidak masuk hingga ke paru-paru. Ukuran ini sebetulnya lebih kecil dari satu sel darah merah. Sisa partikelnya, dengan ukuran antara 1-5 µm dapat bersarang di bronchiolus (akibat dari gravitational precipitation). Contohnya, orang-orang yang bekerja sebagai penambang batubara dapat mengalami gangguan bronchiolus akibat dari penumpukan partikel-partikel debu halus. Beberapa partikel yang lebih kecil lagi (ukurannya di bawah 1 µm) dapat berdifusi dengan dinding alveoli dan beradhesi ke cairan alveolar. Partikel yang lebih kecil dari 0,5 µm dapat bertahan di udara alveolus, dan dapat dikeluarkan dengan cara ekspirasi. Misalnya saja, partikel rokok dengan ukuran 0,3 µm sebetulnya tidak dapat terpresipitasi sebelum masuk ke alveolus. Namun, sebanyak 1/3 dari partikel tersebut dapat berdifusi dengan alveoli. 12

Partikel-partikel yang terperangkap di alveoli dapat dihilangkan oleh makrofag alveolus, dan sebagiannya lagi dapat dibawa oleh saluran limfatik yang ada di paru-paru. (Hall, 2006)

Vokalisasi Mekanisme „berbicara‟ tidak hanya melibatkan sistem respirasi, tetapi juga melibatkan (1) Pusat saraf pengatur berbicara di cortex cerebral, (2) Pusat pengatur respirasi di otak dan (3) Struktur artikulasi dan resonansi mulut dan saluran hidung. Secara mekanis, berbicara melibatkan 2 fungsi, yaitu (1) Fonasi, yang dapat dilakukan oleh laring, dan (2) Artikulasi, yang dapat dilakukan oleh struktur mulut. (Hall, 2006) Fonasi Laring merupakan tempat yang sudah beradaptasi menjadi vibrator. Elemen getar pada laring adalah plica vocalis, atau lebih sering dikenal sebagai pita suara. Pada gambar B, terlihat bentuk-bentuk bukaan pita suara apabila dilihat dengan menggunakan larngoscope. Pada saat pernafasan biasa, pita suara ini terbuka lebar agar udara lebih mudah masuk. Pada saat fonasi, kedua pitanya bergerak mendekat sehingga terdapat celah yang dilewati udara dan menimbulkan getaran. Nada yang dihasilkan oleh vibrasi ini ditentukan oleh seberapa meregangnya pita suara, dan juga ditentukan oleh seberapa dekatnya jarak celah antara satu pita suara dengan pita suara lainnya. (Hall, 2006)

Gambar 11. (A) Anatomi laring; (B) Fungsi fonasi dari laring, menunjukkan posisi dari pita suara pada keadaan fonasi yang berbeda-beda (Hall, 2006) Artikulasi dan Resonansi Tiga organ utama yang terkait dengan artikulasi adalah bibir, lidah, dan palatum. Pergerakan dari ketiga organ tersebut dapat mengubah artikulasi. Sementara resonansi dapat dipengaruhi oleh mulut, hidung, sinus nasalis, dan juga fraing, serta rongga dada. Misalnya saja, pada saat orang terkena flu (dan biasanya mengalami blokade hidung karena pilek), suaranya menjadi berubah, hal ini akibat dari berubahnya resonansi yang terjadi di bagian hidung. (Guyton & Hall, 2006) Sistem Pertahanan di Hidung dan Oropharynx 13

Udara yang dihirup masuk melalui hidung atau mulut dan diteruskan ke bagian glotis, kemudian ke bagian extrathorax sebelum masuk ke thorax. Apabila bernafas dengan menggunakan hidung, udara disaring dan dilembabkan serta suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh oleh turbinat (conchae) dan mucosa faring posterior. Apabila terjadi obstruksi nasal, ataupun kebutuhan pernafasan yang melebihi 20-30 L/menit, maka diperlukan pernafasan dari mulut. Udara yang dihirup dari mulut dapat masuk ke trakea tanpa dikondisikan (tanpa disaring dan disesuaikan suhunya). Beberapa substansi yang ada di sekresi hidung dapat membantu mengendalikan populasi bakteri maupun virus. Substansi yang dimaksud terutama adalah lysozyme dan immunoglobulin (secretory IgA yang membasahi permukaan mucosa saluran pernafasan). Sekresi nasal kaya akan IgA, di mana imunoglobulin tipe ini disintesis secara lokal di bagian sel plasma submucosa. Selain IgA, terdapat juga imunoglobulin tipe lain seperti IgG, namun dalam jumlah yang lebih sedikit. IgE secara normal tidak diproduksi, terutama pada orang yang tidak mengalami atopy (nonatopic). Meski demikian, IgE memiliki peranan yang penting pada penderita rhinitis alergi. (Fishman, et. al., 2008)

Gambar 12. Komponen lumen mucosal saluran pernafasan. Sel epitel silindris berlapis dengan cilia dilapisi oleh mucus (diproduksi oleh sel goblet dan glandula bronchialis), dan juga cairan yang mengandung berbagai macam protein, termasuk immunoglobulin dan komponen sekretori. Beberapa sel juga dapat ditemukan di permukaannya, misalnya limfosit dan makrofag. Pada lapisan submucosa di bawah membrana basalis, terdapat sel plasma dan sel mast; sel plasma menghasilkan immunoglobulin A sementara sel mast menghasilkan mediator alergi, misalnya histamine. (Fishman, et. al., 2008) 14

LI.3

RHINITIS ALERGI

1. Definisi Rhinitis didefinisikan sebagai kondisi inflamasi mucosa nasal, yang menyebabkan gejala klinis meliputi obstruksi nasal, hiperirritabilitas, dan hipersekresi. Sementara rhinitis alergi adalah radang selaput lendir hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas/alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersinbersin, rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. 2. Etiologi Rhinitis alergi disebabkan oleh paparan terhadap alergen yang berulang. Sifat alergen ini umumnya tidak membahayakan, misalnya debu, spora jamur, bulu binatang, tungau debu rumah, makanan, dan gigitan serangga. Sementara penyebab utama dari rhinitis alergi ini adalah inflamasi membrana mukosa nasal yang disebabkan oleh reaksi IgE terhadap satu ataupun beberapa alergen. Selain itu, perlu diketahui juga faktor predisposisi rhinitis alergi, antara lain: (1) Suseptibilitas genetik (misalnya riwayat keluarga yang alergik), (2) faktor lingkungan (misalnya tingginya paparan debu dan jamur), (3) Paparan terhadap alergen (misalnya kulit/bulu binatang dan makanan), (4) Paparan pasif terhadap rokok (terutama pada masa kanak-kanak), (5) Partikel polusi udara, terutama pada penduduk perkotaan. Tabel 1. Beberapa gen yang terkait dengan alergi beserta fenotip yang dihasilkan (McPherson & Pincus, 2011)

15

Pada masa kanak-kanak, alergi makanan/minuman seperti susu, telur, kacang kedelai, dan tungau debu, serta alergen inhalasi lainnya merupakan penyebab utama rhinitis alergi (biasanya juga diikuti oleh dermatitis atopic, otitis media dengan efusi, dan asma). (Lalwani, 2008) 3.

Epidemiologi Rhinitis alergi merupakan salah satu penyakit alergi yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, sebanyak 20-25% populasinya (atau sekitar 40 juta orang) mederita rhinitis alergi. Onset dari rhinitis alergi dapat terjadi kapan saja, namun paling banyak terjadi pada masa remaja, dan akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.

Gambar 13. Prevalensi alergi rhinitis berdasarkan umur di Amerika Serikat (Lalwani, 2008) 4.

Klasifikasi a. Rhinitis Alergi Musiman

16

Rhinitis alergi yang terjadi secara musiman, biasanya terjadi ataupun meningkat pada musim-musim tertentu (hal ini terkait dengan waktu di mana tumbuhan mengalami polinasi). Di negara barat, pohon-pohon mengalami polinasi pada musim semi, rumput mengalami polinasi pada akhir musim semi atau awal musim panas, sementara tumbuhan liar mengalami polinasi pada musim gugur. Jamur dapat mengalami polinasi pada musim gugur. b. Rhinitis Alergi Perennial Gejala rhinitis alergi perennial biasanya konstan; musim biasanya hanya berpengaruh sedikit terhadap gejalanya. Karakteristik dari gejalanya antara lain kongesti nasal, namun rinorrhea dan bersin-bersin jarang terjadi. Gejala pada mata biasanya jarang terjadi, kecuali alergi terhadap binatang. Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi ini biasanya indoor inhalant, misalnya tungau debu rumah, spora jamur, dan kecoa. Alergen okupasional juga dapat menyebabkan rhinitis alergi perennial; namun biasanya tidak terjadi secara konstan, karena tergantung dari tempat bekerjanya. Alergi makanan juga dapat berkontribusi menyebabkan terjadinya rhinitis alergi perennial. Meski demikian, alergi makanan umumnya ditambah dengan gejala lain, seperti gangguan gastrointestinal, urticaria, angioedema, bahkan anafilaksis. Infeksi dan iritan nonspesifik lain dapat memicu terjadinya rhinitis alergi perennial. Insidens terjadinya infeksi saluran pernafasan atas lebih tinggi terjadi pada anak dengan alergi. c. Klasifikasi lain Baru-baru ini, beberapa klasifikasi rhinitis alergi telah ditambahkan. Gejala dapat diklasifikasi menjadi (1) Intermittent ( 4 hari), dan (2) berdasarkan beratnya gejala yang ditimbulkan. (Lalwani, 2008) 5.

Patofisiologi Mukosa saluran nafas selalu terpapar oleh bermacam alergen yang terbawa oleh udara nafas. Pada penderita yang mempunyai bakat alergi, alergen yang terbawa udara nafas akan menyebabkan sensitisasi mukosa respirasi. Akibat sensitisasi ini, apabila terjadi paparan berikutnya akan menimbulkan gejala alergi. Selengkapnya imunopatogenesis rinitis alergi adalah sebagai berikut: a) Fase sensitisasi Alergen yang terhirup bersama udara nafas akan terdeposit dalam mukosa hidung yang kemudian diproses oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Didalam endosom alergen diproses menjadi bentuk fragmen peptide (berupa 7 sampai 14 asam amino) yang akan berikatan dengan molekul MHC (major histocompatibility complex) kelas II, yang disintesis di vesikel golgi. Dengan gerakan intraseluler, endosom yang mengandung peptide bergabung (intersect) dengan vesikel yang berisi molekul MHC kelas II dan membentuk 17

ikatan non kovalen. Fusi antara endosom dengan membran plasma akan mengekspresikan komplek peptide dan MHC kelas II di permukaan sel penyaji. Tipe polimorfik molekul MHC kelas II yang diekspresikan oleh tiap-tiap individu akan menentukan afinitas molekul terhadap peptide antigen spesifik, yang akan berperanan pada respon sistem imun terhadap protein spesifik. Sel penyaji antigen ini akan berjalan melintasi adenoid, tonsil dan limfonodi regional. Pada area sel T limfonodi, antigen dipresentasikan pada sel Th 0 yang baru keluar dari timus. Diduga sel Th 0 ini mengekspresikan tanda permukaan sel yang dapat membuat sel tersebut tinggal di pembuluh darah mukosa saluran nafas. Penderita dengan kecenderungan atopik, reseptor antigen spesifik sel Th 0 (TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC kelas II, CD 28 dengan B7 serta molekul asesoris pada sel T ( CD2, LFA-1) dengan ligand pada sel penyaji antigen, memicu terjadinya rangkaian aktivitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan, sel T CD4 dapat mengalami polarisasi menjadi sel Th 1 dan atau sel Th 2 yang tergantung dari tipe antigen, dosis, tipe sel APC, microenviroment sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik. Sel T CD4+ pada individu yang atopik mengalami polarisasi menjadi sel Th 2 dan akan menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13, GM-CSF yang akan mempertahankan lingkungan pro atopik ( terutama IL-4) yaitu menginduksi sel B yang memproduksi Ig E dan menghambat produksi sitokin sel Th 1. Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus dan presentasi alergen oleh sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 maka sel B akan memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan beredar bebas dalam sirkulasasi, berikatan dengan reseptornya (high affinity receptors mast, yang kemudian keluar dari sirkulasi berada dalam jaringan termasuk mukosa hidung. Dalam fase ini maka sesorang sudah dalam keadaan sensitif. b) Fase elisitasi Terjadinya gejala-gejala rinitis ditandai dengan dimulainya aktivasi sel mast yang diakibatkan oleh paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah sensitif. Terjadi cross- linking dua molekul IgE pada permukaan sel mast dengan alergen (multivalent/bivalen). Akibatnya terjadi aktifasi guanosin triphosfate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospholipase C untuk mengkatalisa phosphatidyil inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosfate (IP3) dan diacyglicerol (DAG) pada membrane PIP2. IP3 menyebabkan pelepasan ion calcium intraseluler (Ca2+) dari reticulum endoplasma. Ca2+ di sitoplasma secara langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase A, dan komplek Ca2+ kemudian mengaktifkan enzim myosin light chain kinase C. Sehingga hasil akhir aktivasi ini terbentuk lipids mediators ( newly formed mediators) seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrin C4 (LCT4), platelet activating factor dan exocytosis sekresi granula yang berisi mediator kimia (preformed mediators) seperti 18

histamin, tryptase, bradykinin. Histamin merupakan mediator penting yang dihasilkan dari degranulasi sel mast, merupakan penyebab lebih dari 50% gejala rinitis alergi. Histamin dimetabolisme oleh histamine N-methyltransferase (HMT) pada sel epitel maupun endotel. Reseptor histamin H1 terdapat pada sel endotel, yang apabila diinduksi dapat menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan rinore. Selain itu histamin juga terikat pada resptor H1 di saraf nociceptive tipe C. Saraf ini secara luas bercabang di epitel dan submukosa. Neuron berasal dari cabang pertama dan kedua nervus trigeminus. Salah satu fungsi penting dari saraf nociceptive mengaktifkan pusat gatal, mengerakkan reflek sistemik seperti bersin-bersin dan reflek parasimpatik yang mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar. Gejala-gejala hidung gatal, rinore, kongesti dan bersin yang disebabkan pelepasan mediator kimia oleh sel mast akibat paparan alergen disebut reaksi fase cepat. Apabila mediator-mediator telah mengalami metabolisme dan dibersihkan dari mukosa, gejala-gejalanya akan berkurang. Tetapi setelah reaksi fase cepat, adanya pelepasan sitokin dan aktivasi sel endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam.2 Keadaan ini secara klinik ditandai dengan penebalan mukosa hidung yang dapat dideteksi dengan adanya kenaikan resistensi nasal airflow dengan sedikit perubahan pada gejala hidung lainnya. Gambaran khas reaksi fase lambat ditandai dengan tertariknya berbagai sel inflamasi khususnya eosinofil pada mukosa hidung. Kenaikan eosinofil dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kadar eosinophil cationic protein (ECP) dan produk eosinofil lainnya pada sekresi hidung. Mekanisme tertariknya eosinofil sampai ke lokasi alergi dipengaruhi sekresi sitokin oleh sel mast, eosinofil dan sel Th 2, yang dapat meningkatkan ekspresi molekul adhesi endotel (IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF) dan eosinofil chemoattractant (eotaxin, IL-5, RANTES). Oleh pengaruh IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat meningkatkan survival eosinofil dijaringan. Eosinofil dalam perjalannya dari sirkulasi sampai ke lokasi alergi melalui beberapa tahap yaitu perpindahan eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan berikatan secara reversibel dengan sel endotel (rolling) yang disebabkan interaksi antar E-selectin dengan glikoprotein eosinofil. Selanjutnya oleh karena pengaruh sitokin (IL-4) terjadi peningkatan ekspresi molekul adhesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell adhesion molecule-1), VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1). VCAM-1 bersifat spesifik terhadap perlekatan eosinofil karena eosinofil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1, sehingga ekspresi VCAM-1 meningkat pada rinitis alergi. Dengan adanya ikatan antara VCAM-1 dan VLA-4 ini eosinofil semakin kuat melekat pada endotel, kemudian terjadi perubahan bentuk dan diikuti migrasi eosinofil keluar dari pembuluh darah lewat celah antar sel endotel (diapedesis) untuk selanjutnya menuju lokasi alergi. Tertariknya eosinofil ditempat alergi menyebabkan perubahan mukosa saluran nafas. Pelepasan granula eosinofil yang mengandung berbagai macam mediator kimia yaitu major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derived 19

neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO) yang berikatan dengan proteoglikan dan hyaluran membran basalis menyebabkan disagregasi sel dan deskuamasi epitel. Protein ini juga merusak membran sel yang berakibat kematian sel. EDN dapat menginaktifkan saraf mukosa dan EPO menyebabkan kerusakan sel oleh karena radikal bebas.

Gambar 14. Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kasus rhinitis alergi dan asma (Holt & Sly, 2012) Singkatnya, terjadinya rhinitis alergi adalah sebagai akibat dari respon hipersensitivitas tipe 1. Respon ini melibatkan produksi IgE yang berlebihan, dan dikategorikan sebagai reaksi atopic. Pada pasien dengan disposisi atopic (atau yang memiliki „bakat‟ genetik), reaksi alergi bermula dengan sensitasi terhadap alergen spesifik (pada kasus rhinitis alergi, umumnya alergen yang ada di udara), yang dapat menginduksi terbentuknya antibodi IgE. Reaksi ini terjadi karena cascade reaction sel T, sel B, dan sel plasma. Apabila penderita telah beberapa kali terpapar antigen spesifik, antigen tersebut akan diikat oleh dua antibodi IgE, yang mana IgE ini sudah berikatan dengan sel mast. Sel mast ini banyak terdapat pada lapisan submucosa dari saluran pernafasan dan saluran pencernaan, serta terdapat juga di bagian subconjunctiva mata, dan lapisan subkutan dari kulit. Akibatnya, reaksi IgE ini menyebabkan degranulasi sel mast, yang kemudian menstimulasi terjadinya respon infalmasi dengan menyebabkan pelepasan mediator seperti histamine, leukotrien, sitokin, prostaglandine, dan platelet-activating factor. Rekasi ini termasuk reaksi early-phase atau humeral reaction, dan terjadi dalam waktu 10-15 menit setelah terjadinya paparan alergen; pengeluaran histamine menyebabkan gejala seperti bersin-bersin, rinorrhea, gatal-gatal, vasodilatasi, dan sekresi glandular.

20

Pelepasan sitokin dan leukotrien kemudian menyebabkan influks dari sel inflamatori (umumnya eosinofil) ke tempat terjadinya reaksi alergi (kemotaksis). Respon inflamasi ini termasuk rekasi late-phase atau celullar reaction, yang umumnya terjadi dalam waktu 4-6 jam setelah sensitasi pertama. Reaksi ini dapat memperpanjang respon alergi hingga selama 48 jam. Respon inilah yang menyebabkan gejala kongesti nasal. (Lawalni, 2008)

Gambar 15. Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernafasan atas yang ditandai dengan rinorrhea, bersin-bersin, gatal, dan kongesti hidung, serta gatal pada palatum (Holgate & Broide, 2003) 6.

Manifestasi Klinis  Serangan bersin berulang terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. 21



Ingus (rinore) yang encer



Hidung tersumbat



Hidung dan mata gatal



Banyak air mata yang keluar (lakrimasi)



Lipatan hidung melintang (garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute))



Lubang hidung bengkak



Edema kelopak mata



Kongesti konjungtiva



Lingkar hitam di bawah mata (allergic shiner)



Otitis media serosa sebagai hasil hambatan tuba eustachii

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa, batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur

7.

Diagnosis dan Diagnosis Banding Anamnesis Diagnosis dari rhinitis alergi perlu ditegakkan dengan benar agar jelas apabila pasien mengalami atopic, dan untuk mengetahui alergen kausatifnya. Untuk mendiagnosis, perlu dilakukan anamnesis (umumnya menanyakan riwayat alergi pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, perlu ditanyakan riwayat penyakit pasien maupun keluarga terkait dengan alergi, karena dapat memunculkan beberapa petunjuk penting. Faktor genetik menyebabkan individu lebih mudah tersensitasi dan memproduksi antibodi IgE. Riwayat keluarga yang positif menderita alergi, eczema, ataupun asma dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rhinitis alergi. Anak dengan kedua orangtua yang menderita alergi, memiliki kemungkinan >50% menderita alergi. Apabila hanya salah satu orangtua yang menderita, maka kemungkinannya lebih kecil, namun tetap signifikan. Pasien perlu ditanyakan mengenai onset, durasi, tipe, progresi, dan juga derajat gejala yang dialami. Hal ini berguna untuk menetukan klasifikasi rhinitis alergi yang dideritanya. Selain itu, perlu ditanyakan juga bagaimana rhinitis yang dialami dapat memengaruhi kualitas hidupnya. Karena dengan diagnosis yang tepat, dan juga terapi yang tepat, maka kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. Pemeriksaan Fisik 22

Pemeriksaan fisik untuk kasus rhinitis alergi meliputi inspeksi bagian telinga, tenggorokan, dan saluran hidung (inspeksi juga perlu dilakukan setelah pemberian decongestan topikal). Beberapa kondisi yang umum ditemui antara lain conchae yang berwarna kebiruan, pucat, dan lembab. Mucosa hidung terlihat basah dan bengkak, serta terjadi kongesti hidung dengan obstruksi nasal. Pada alergi perennial, kongesti nasal merupakan tanda utama. Abnormalitas anatomi, misalnya deviasi septum nasal, bullosa concha, dan polip dapat ditemukan. Kelainan anatomi ini perlu diperhatikan, apakah abnormalitas ini menjadi penyebab utama ataupun menjadi faktor kontribusi dari gejala yang dialami pasien. Apabila terdapat polip nasal, maka perlu dilakukan endoskopi nasal. Beberapa temuan lainnya antara lain conjunctivitis, eczema, dan wheezing asma. Pada anak-anak, dapat terlihat „shiners‟ (lingkar hitam pada bagian bawah mata), pernafasan mulut, dan nasal salute (menggaruk-garuk bagian ujung hidung secara konstan). (Lalwani, 2008) Pemeriksaan Penunjang a. Tes Alergi (epikutan dan intradermal) Prick Test merupakan tes alergi epikutan yang paling umum dilakukan. Tes ini sifatnya cepat, spesifik, aman, dan ekonomis. Namun apabila hasil tes tidak memberikan petunjuk, maka perlu dilakukan pemeriksaan intradermal. Pemeriksaan intradermal, yaitu dengan menggunakan dilusi 1:5 kuantitatif. Metode ini digunakan oleh hampir seluruh klinisi alergi THT. b. Pemeriksaan in vitro Pada serum, terdapat IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, dan saat ini dapat diperiksa dengan akurat dan cepat. Dengan peralatan yang modern, pemeriksaan in vitro kurang lebih ekuivalen dengan pemeriksaan kulit untuk mendiagnosis alergi atopic. Pemeriksaan in vitro aman, spesifik, dan cost-effective, dan tidak ada interfensi dari antihistamin yang sedang dikonsumsi. Metodologi terbaru dapat menghitung IgE total pada serum. Jika dibandingkan dengan pemeriksaan kulit, pemeriksaan IgE total kurang sensitif, namun lebih spesifik. Penghitungan protein IgE total dalam serum dapat mendiagnosis berbagai macam penyakit terkait alergi, dan juga dapat digunakan sebagai faktor prediktif bagi bayi maupun anak-anak. (McPherson & Pincus, 2011; Lalwani, 2008; Fauci, 2008) Tabel 2. Nilai normal IgE serum berdasarkan usia (McPherson & Pincus, 2011)

23

Differential Diagnosis Beberapa diganosis banding yang perlu diperhatikan antara lain: (1) rhinitis infeksi (akut atau kronis), (2) rhinitis nonalergic (vasomotor rhinitis), (3) iritan atau polutan, (4) rhinitis hormonal (pada saat kehamilan atau hypotiroid), (5) rhinitis medicamentosa, (6) deformitas anatomi, (7) tumor atau badan asing. (Lalwani, 2008) 8.

Tatalaksana dan Pencegahan Terapi Farmakologis a. Antihistamin Antihistamin oral (kelas H1) sangat efektif untuk mengatasi gatal nasopharyngeal, bersin-bersin, dan rinorrhea yang encer, dan juga dapat mengatasi gatal pada bagian mata dan erythema. Meski demikian, antishistamin tidak dapat mengatasi kongesti nasal. Antihistamin generasi awal bersifat sedasi, dan biasanya menyebabkan penurunan fungsi psikomotor. Sifat anticholinergicnya menyebabkan gangguan pengelihatan, retensi urin dan konstipasi. Antihistamin H1 generasi terbaru lebih selektif terhadap H1, dan umumnya sedikit yang dapat menembut brain blood barrier. Antihistamin tersebut antara lain fexofenadine, loratadine, deloradine, cetirizine, levocetirizine, olopatadine, bilastine, dan azelastine. Obat-obat antihistamin generasi baru ini tidak berbeda efektivitasnya dengan generasi sebelumnya. Azelastine dalam bentuk semprot (spray) bermanfaat bagi pasien yang mengalami vasomotor rhinitis (non-alergi). Karena antihistamin memiliki efek yang sedikit untuk 24

hidung tersumbat, maka obat a-adrenergic seperti phenylephrine atau oximetazoline biasanya digunakan secara topikal untuk mengatasi obstruksi nasal. (Fauci, 2012)

Tabel 3. Beberapa antihistamin H1, berikut dengan aktivitas anticholinergicnya. (Katzung, 2012)

b. Dekongestan Dekongestan nasal adalah alfa agonis yang banyak digunakan pada pasien rhinitis alergika atau rinitis vasomotor dan pada pasien ISPA dengan rinitisakut. Obat ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melaluireseptor alfa 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung. Obat golongan ini disebut obat adrenergik atau obat simptomimetik, karena obat ini merangsang saraf simpatis. Kerja obat ini digolongkan 7 jenis : 1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, misal : vasokontriksi mukosa hidung sehingga menghilangkanpembengkakan mukosa pada conchae. 25

2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus dan bronkus, misal :bronkodilatasi. 3. Perangsangan jantung : peningkatan denyut jantung dan kekuatankontraksi. 4. Perangsangan Sistem Saraf Pusat : perangsangan pernapasan dan aktivitaspsikomotor. 5. Efek metabolik : peningkatan glikogenolisis dan lipolisis. 6. Efek endokrin : modulasi sekresi insulin, renin, dan hormon hipofisis. 7. Efek prasipnatik : peningkatan pelepasan neurotransmiter.

Gambar 16. Efek beberapa direct adrenergic agonist pada reseptor α adrenoreceptor, dan β adrenoreceptor (Harvey, 2011) α-adrenoreceptor menunjukkan respon yang lemah terhadap agonist sinteteik isoproterenol, namun responsif terhadap beberapa catecholamine seperti epinephrine dan norephinephrine. α-adrenoreceptor dibagi menjadi dua subgroup, yaitu α1 dan α2, berdasarkan afinitasnya terhadap α agonist dan α blocker.Misalnya, reseptor α1 memiliki afinitias yang lebih tinggi pada penylephrine daripada α2. Kebalikannya, clonidine secara selektif berikatan dengan α2, dan sedikit efeknya pada reseptor α1. Reseptor α1 Reseptor ini terdapat pada membran postsinaptik dari organ efektor dan memediasi berbagai macam efek, yang umumnya melibatan konstriksi dari otot polos. Aktivasi dari reseptor α1 dapat menginisiasi serangkaian aktivasi protein G. Reseptor α2 26

Reseptor ini terdapat pada presinaptik dari ujung saraf, misalnya pada sel beta di pankreas dan beberapa sel otot polos vaskular. Reseptor β Reseptor ini memiliki respon yang berbeda dengan reseptor alpha. Hal ini ditunjukkan dengan respon yang sangat kuat terhadap isoproterenol, dan dengan sensitivitas yang lebih kecil pada epniephrine serta norepinephrine. Reseptor β terbagi lagi menjadi 3 subdivisi, yaitu β1, β2, dan β3

Karakteristik Respon pada Stimulasi Reseptor Adrenergic Penting untuk mengetahui respon fisiologis yang dihasilkan reseptor adrenergic ketika distimulasi. Secara general, stimulasi dari reseptor α1 menyebabkan vasokonstriksi (terutama pada kulit dan visceral abdominalis), dan peningkatan dari resistensi perifer serta peningkatan tekanan darah. Sebaliknya, stimulasi dari reseptor β menyebabkan stimulasi jantung, sedangkan stimulasi β2 menyebabkan vasodilatasi dan relaksasi otot polos. (Harvey, 2011)

Gambar 17. Efek stimulasi adrenoreseptor (Harvey, 2011) Obat Dekongestan Oral 1. Efedrin Adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta 1 dan beta 2. Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat, tekanan nadi membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena vasokontriksi dan stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang relatif lama.Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik yang dapat diatasi dengan pemberian sedatif. Dosis Dewasa : 60 mg/4-6 jam Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam 27

2. Phenylpropanolamine Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain menimbulkan konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksipembuluh dara h lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan stimulasi jantung. Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi kurang menimbulkan efek SSP. Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada pria dengan hipertrofi prostat. Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontraindikasi. Obat ini jika digunakan dalam dosis besar (>75 mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan kejadian stroke, sehingga hanya bolehdigunakan dalam dosis maksimal 75 mg/hari sebagai dekongestan. Dosis Dewasa : 25 mg/4 jam Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam3. 3. Phenylephrine Phenylephrine adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung secara langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah. Kortikosteroid Inhalasi & Oral Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidungakibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat danlambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Cromolyn Intranasal

28

Penggunaan intranasal cromolyn (misalnya Nasalcrom) hanya efektif apabila diberikan sebelum terjadinya onset gejala. Obat ini tergolong aman digunakan, dengan dosis empat kali sehari. (Lalwani, 2008) Imunoterapi Imunoterapi bertujuan untuk meningkatkan tingkat toleransi individu terhadap paparan aeroallergen. Mekanisme bagaimana cara kerja imunoterapi saat ini masih belum bisa dijelaskan; beberapa pendapat mengatakan bahwa imunoterapi dapat menginduksi produksi antibodi „pemblokir‟, dan juga regulasi terhadap serangkaian respon imun yang menyebabkan reaksi alergi. Indikasi imunoterapi adalah apabila adanya farmakoterapi yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang, atau terapi yang inadekuat (ataupun intoleransi terhadap obat), dan juga sensitivitas terhadap alergen yang signifikan. Sebelum melakukan imunoterapi, klnisi harus memastikan bahwa pasien mengalami atopic, yaitu dengan cara memeriksakan IgE pasien terhadap spesifik alergen. Cara tatalaksana imunoterapi (di Amerika Serikat) adalah dengan meningkatkan dosis paparan antigen secara bertahap, hingga gejala berkurang. Pada beberapa klinik, imunoterapi sublingual menjadi pilihan. Imunoterapi lebih umum dilakukan di Eropa dan cenderung lebih aman dan mudah untuk dilakukan mandiri di rumah . Tabel 4. Farmakoterapi untuk rhinitis alergi (Lalwani, 2008)

Pencegahan Tabel 5. Beberapa hal yang harus diperhatikan bagi penderita rhinitis alergi (Lalwani, 2008)

29

Gambar 18. Managemen pasien dengan rhinitis (Fauci, 2008) 9.

Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 1. Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal (Soepardi, 2004)

30

10. Prognosis Prognosis baik jika penderita tidak terpajan dengan alergen dan belum terjadi komplikasi serta tidak memiliki predisposisi seperti asma dan riwayat keluarga.

LI. 4 HIKMAH BERWUDHU DALAM ISLAM Pintu masuk kotoran ke dalam tubuh, salah satunya adalah melalui lubang hidung. Berbagai kotoran dan debu yang beterbangan dan tak terlihat oleh mata, dapat terhirup masuk ke dalam hidung. Apalagi dengan polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Hal itu dapat menyebabkan kesehatan terganggu. Karena itu, sebaiknya kita senantiasa menjaga kebersihan hidung dengan cara membersihkannya menggunakan air, yaitu memasukkannya (menghirup) ke dalam hidung kemudian dikeluarkan kembali. Dalam wudhu disunatkan menghirup air dari hidung dan dikeluarkan lewat mulut. Cara ini adalah penangkal efektif ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), TBC, dan kanker secara dini. Dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Salim, tentang manfaat kesehatan wudhu, dijelaskan, bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar, maka tubuh seseorang akan terhindar dari segala penyakit. “Sesungguhnya cara berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan lalu berkumur-kumur, kemudian mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung lalu mengeluarkannya. Langkah ini dilakukan sebanyak tiga kali dan seterusnya.” Dan berdasarkan analisisnya, orang-orang yang tidak berwudhu, maka warna hidung mereka memudar dan berminyak, terdapat banyak kotoran dan debu. Ditambahkanya, rongga hidung mereka itu memiliki permukaan yang lengket dan berwarna gelap. Adapun orang-orang yang teratur dalam berwudhu, jelas Salim, permukaan rongga hidungnya tampak cemerlang, bersih, dan tidak berdebu. Selain itu, kata dia, jumlah kuman tampak lebih banyak terdapat pada rongga hidung orang yang tidak berwudhu, dan itu menjadi tempat pertumbuhan kuman penyakit. Kondisi tersebut, akan mempercepat pertumbuhan dan penularan kuman penyakit lainnya. Sementara itu, orang-orang yang senantiasa mengerjakan wudhu, maka hidung mereka tampak bersih dari kuman. Bahkan, lanjut Salim, tempat pertumbuhan kuman relatif tidak ada. Penelitian Muhammad Salim ini juga menjelaskan, bahwa orang yang berwudhu dengan memasukkan air ke dalam rongga hidungnya, kendati hanya sekali, maka hal itu dapat membersihkan hidung dari separoh penyakit.

31

Selanjutnya, bila memasukkan air ke dalam rongga hidung sebanyak dua kali, maka dapat menambah sepertiga kebersihan. Kemudian, jika memasukkan air sebanyak tiga kali, maka hidung benar-benar bersih dari kuman. Dari hal yang tampaknya kecil dan bahkan disepelekan, ternyata wudhu mengandung hikmah yang sangat besar manfaatnya bagi kesehatan seseorang. Rasul SAW bersabda: “Sempurnakan wudhu, lakukan istinsyaq, yaitu memasukkan air ke dalam lubang hidung, kecuali jika kamu berpuasa.” Secara ilmiah telah dibuktikan, besarnya manfaat yang bisa dipetik dari wudhu, terutama dalam hal membersihkan lubang hidung. Logikanya, apabila sekali berwudhu dan melakukan istinsyaq, maka hal itu dapat menjaga kebersihan hidung hingga 3-5 jam. Dan bila kotor lagi, maka dapat dibersihkan dengan wudhu berikutnya. Lebih tegas lagi, Muhammad Salim menjelaskan, orang yang rajin berwudhu dengan melakukan istinsyaq dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung),kemudian melanjutkannya dengan mendirikan shalat, maka hal itu dapat menghilangkan 11 kuman penyakit membahayakan yang ada di dalam lubang hidung, terutama dalam hal gangguan pernafasan, radang paru-paru, panas rumatik, penyakit rongga hidung, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang tidak berwudhu, akan lebih mudah terkena penyakit gangguan pernafasan. Prof Hembing menambahkan, hidung merupakan reseptor penciuman (sel-sel olfaktoris) yang lebih peka daripada reseptor pengecap (lidah) . Disebutkan, hidung mampu membedakan lebih dari 10 ribu macam bau-bauan. Saluran nafas atau indera penciuman terdapat di hidung pada lapisan selaput lendir. Indera ini dapat menerima rangsangan berupa bau atau oflaksi oleh sel pembau. Sel pembau mempunyai ujung-ujung berupa rambut halus, yang dihubungkan dengan urat syaraf melalui tulang saringan dan bersatu menjadi urat syaraf elfektori menuju pusat pencium bau di otak. Indera ini dapat membantu indera pengecap (lidah) menaikkan selera makan. Dan bila seseorang terkena influenza (pilek dan flu), maka indera penciuman akan mengalami gangguan dan akan kurang mampu dalam menerima rangsangan bau. Selain itu, akan berkurang pula selera makannya. Hembing menambahkan, hidung bisa menjadi alat penyaringan. Di dalam rongga hidung terdapat rambut-rambut yang berfungsi menyaring debu-debu yang akan masuk ke dalam hidung bersama dengan udara. Adanya indera pembau dalam rongga hidung dapat menyebabkan gas yang tidak enak baunya dan tidak berguna bagi tubuh akan dapat dihindari. Selain itu, tambahnya, hidung juga berfungsi sebagai alat penghangatan. Adanya konka yang permukaannya banyak mempunyai kapiler darah yang menyebabkan udara masuk lewat rongga hidung akan dihangatkan. 32

Ia menambahkan, banyak manfaat yang dapat dipetik dari ber-istinsyaq danistintsar ini. Setiap kali orang membersihkan dan membasuh hidung, maka kuman penyakit seperti sinusitis, influenza (pilek dan flu), bronchitis, dan lainnya akan hilang. Dan faedah yang bisa diambil dari membasuh hidung ini memiliki makna ganda, yakni untuk kesehatan fisik dan kesehatan jiwa. (Dz/syafik-kerenunik).

33

DAFTAR PUSTAKA Cui, D. (2011). Atlas of histology: with functional and clinical correlations. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. Fauci, A. (2012). Harrisons Principles of Internal Medicine Self-Assessment and Board Review 18th Edition. New York: McGraw-Hill Professional. Fishman, A. P., & Elias, J. A. (2008). Fishman's pulmonary diseases and disorders (4th ed.). New York [etc.: McGraw-Hill Medical. Hall, J. E., & Guyton, A. C. (2011). Guyton and Hall textbook of medical physiology (12th ed.). Philadelphia, Pa.: Saunders/Elsevier. Hansen, J. T., & Netter, F. H. (2010). Netter's clinical anatomy (2nd ed.). Philadelphia: Saunders/Elsevier. Harvey, R. A. (2011). Lippincott's illustrated reviews: Pharmacology. (5th ed., International ed.). Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams & Wilkins. Henry, J. B. (2011). Henry's clinical diagnosis and management by laboratory methods (22nd ed.). Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders. Holgate, S. T., & Broide, D. (2003). New targets for allergic rhinitis — a disease of civilization. Nature Reviews Drug Discovery, 2, 903-915. Holt, P. G., & Sly, P. D. (2012). Viral infections and atopy in asthma pathogenesis: new rationales for asthma prevention and treatment. Nature Medicine, 18, 726-735. Katzung, B. G., Masters, S. B., & Trevor, A. J. (2012). Basic & clinical pharmacology (12th ed.). New York: McGraw-Hill Medical ;. Lalwani, A. K. (2008). Current diagnosis & treatment in otolaryngology head & neck surgery (2nd ed.). New York: McGraw-Hill Medical. Novina. (2011). Faktor Risiko yang Mempengaruhi Disfungsi Tuba pada Penderita Rinitis Alergi Persisten. Semarang: Universitas Diponegoro. Pusponegoro, H. D. (2004). Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak (1st ed.). Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Soepardi, I. N. (2004). Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher ed. 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 34

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF