Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei

January 18, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei...

Description

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kehadiran varietas udang vannamei tidak hanya menambah pilihan bagi petambak, tetapi juga menopang kebangkitan usaha pertambakan udang di Indonesia. Komoditas Udang pernah menjadi primadona perikanan budidaya, tetapi sekarang keadaan tersebut sulit dipertahankan. Bahkan, keadaan tersebut bertambah parah dengan adanya krisis multidimensi, gangguan lingkungan, dan ancaman penyakit (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S, 2005). Pada tahun 1999, beberapa petambak di Indonesia mulai mencoba membudidayakan udang vannamei. Produksi yang dicapai saat itu sungguh luar biasa. Apalagi, produksi udang windu yang saat itu sedang berkembang, mengalami penurunan karena serangan penyakit, terutama bercak putih (white spot syndrome virus) (Haliman, R.W dan Adijaya D.S, 2005). Kehadiran

udang

vannamei

diakui

sebagai

penyelamat

dunia

pertambakan udang di Indonesia. Petambak mulai bergairah kembali, begitu juga dengan para pelaku pembenihan udang. Para pelaku mulai membenihkan udang vannamei untuk memenuhi kebutuhan petambak (Haliman, R.W dan Adijaya D.S, 2005). Berdasarkan permasalahan di atas penulis melakukan Praktek Kerja Lapang II di daerah Situbondo karena di daerah ini banyak terdapat usaha budidaya udang vannamei.

1.2 Maksud dan Tujuan 1.2.1. Maksud Maksud dari pelaksanan Praktek Kerja Lapang II tentang pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di BBAP Situbondo adalah: 1.

Mempelajari teknik pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di BBAP Situbondo Jawa Timur.

2.

Mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di BBAP Situbondo Jawa Timur.

1.2.2. Tujuan Tujuan Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan teknik pemeliharaan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei).

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Vannamei 2.1.1 Morfologi Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut. 1.

Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).

2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas. 3.

Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.

a. Kepala (thorax) Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Bentuk periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis, ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi.

2. Perut (abdomen) Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S, 2005). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari gambar 1 berikut ini :

Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S 2005)

2.1.2 Klasifikasi Menurut Haliman, R.W

dan

Adijaya, D.S (2005) klasifikasi udang

vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut : Kingdom

: Animalia

Sub kingdom

: Metazoa

Filum

: Artrhopoda

Sub filum

: Crustacea

Kelas

: Malascostraca

Sub kelas

: Eumalacostraca

Super ordo

: Eucarida

Ordo

: Decapoda

Sub ordo

: Dendrobrachiata

Infra ordo

: Penaeidea

Super famili

: Penaeioidea

Famili

: Penaeidae

Genus

: Litopenaeus

Spesies

: Litopenaeus vannamei

2.1.3 Siklus Hidup Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) udang vannamei bersifat noktural, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Proses perkawinan ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat loncatan tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat besamaan, udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu.

Proses perkawinan

berlangsung sekitar 1 menit. Sepasang udang vannamei dapat menghasilkan 100.000-250.000 butir telur yang menghasilkan telur yang berukuran 0,22 mm. Siklus udang vannamei meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva.

2.1.4

Perkembangan Stadia larva Udang Vannamei Stadia larva dalam budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut :

a)Stadia Naupli Udang masih belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga udang masih belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, larva berukuran 0,32 - 0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.

Menurut Elovaara, A.K (2001) fase naupli dimulai dari pengeraman sampai hari ke-2 yaitu N1 sampai N2. b)Stadia Zoea Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) stadia selanjutnya adalah stadia zoea, stadia ini terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 - 3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pengantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4 - 5 hari. Pada stadia ini udang dapat diberi pakan alami berupa artemia. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase zoea dimulai dari hari ke-2 sampai hari ke-4 yaitu Z1, Z2, Z3. c)Stadia Mysis Menurut Haliman RW dan Adijaya D (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada stadia post larva. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase mysis dimulai dari hari ke-5 sampai hari ke-10 yaitu M1, M2, M3. d)Stadia Post larva Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan. Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) fase post larva dimulai dari hari ke-11 sampai hari ke-21 yaitu PL1 sampai M2. Fase larva udang vannamei dapat dilihat dari gambar 2 berikut :

Gambar 2. Fase larva udang vannamei (Elovaara, A.K, 2001)

2.1.5 Tingkah Laku Makan Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), udang merupakan golongan hewan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae) yang terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxillipied. Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dicapit menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxillipied di dalam mulut. 2.1.6 Sifat Udang Vannamei

Dalam usaha pemeliharaan larva

udang vannamei, perlu adanya

pengetahuan tentang sifat udang vannamei, menurut Haliman, R.W dan Adijayam D.S (2005), beberapa tingkah laku udang vannamei yang perlu kita ketahui antara lain : a. Aktif pada kondisi gelap (sifat noktunal) b. Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline) c. Suka memangsa sesama jenis (sifat kanibal) d. Tipe pemakan lambat, tapi terus-menerus (continuo feeder) e. Menyukai hidup di dasar (bentik) f.

Mencari makanan lewat organ sensor (chemoreceptor)

2.2 Sarana Pokok dan Penunjang Hatchery 2.2.1 Sarana Pokok 2.2.1.1 Bak pemeliharaan larva Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak pemliharaan adalah bak unuk pemliharan larva. Untuk membangunnya perlu diperhatikan bentuk dan ukurannya. a. Bentuk Larva udang tidak memerlukan bentuk bak yang spesifik.

Bak dapat

berbentuk segi empat, bulat, atau oval. Yang penting sesuai dengan biaya yang tersedia dan agar bentuk pekarangan tetap indah Bak larva sudut-sudutnya tidak mati, agar sisa-sisa metabolisme, sisasisa makanan, larva yang mati, dan kotoran lainnya tidak terkumpul pada bagian ini.

Dasar bak memiliki kemiringan 2% kearah pembuangan,agar mudah

dikeringkan dan dibersikan. Sedang dinding harus licin, agar kotoran, jamur atau parasit tidak menempel serta mudah dibersihkan. b. Ukuran Baik bak yang berukuran besar maupun yang kecil keduanya sama baiknya. Karena keduanya dapat digunakan untuk menghasilkan postlarva (PL) jual. Namun, dari kedua ukuran itu ada keuntungan dan kerugiannya. Bak besa akan menciptakan kondisi air media yang stabil seperti suhu dan salinitasnya, tetapi sering mendapat serangan penyakit. Dengan demikian ukuran yang ideal adalah yang kapasitasnya 10-20 ton; tingginya 1,2-1,5 m; panjang dan lebarnya masing-masing 4 m dan 2,5 m. 2.2.1.2 Bak kultur pakan alami Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak kultur pakan alami dapat dibuat dari kayu yang dilapisi plastik atau semen. Ukuran bak yang baik 10% dari ukuran kapasitas bak pemeliharaan, yaitu panjangnya 2 m; lebar 2 m; tinggi 0,6 m. Bak sebesar itu sudah cukup untuk memenuhi satu siklus pemeliharaan pada bak pemeliharaan yang berkapasitas 10 ton. 2.2.1.3 Instalasi Sistem Aerasi Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi sebagian besar organisme aquatik, menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bahwa oksigen yang terlarut saling berkaitan dengan parameter-parameter kualitas air lainya, oleh karena itu kandungan okigen harus stabil. Untuk menjaga kestabilan oksigen terlarut di air media, maka perlu alat yang menyuplai oksigen. Kalau hanya mengandalkan difusi dan fotosintesis Skletonema costotum akan kurang

mencukupi. Alat yang biasa di digunakan adaah blower yang dilengkapi dengan slang, batu aerasi, dan kran pengatur udara. 2.2.1.4 Tenaga Listrik Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) tanpa energi listrik, kegiatan operasional tidak dapat berjalan sesui rencana. Energi listrik digunakan sebagai penggerak blower, pompa celup, dan penerangan karenanya tenaga listrik disalur selama 24 jam. Sumber energi listrik diperoleh dari mesin genset atau PLN. Namun yang baik didatangkan dari PLN bila ditinjau dari tegangannya maupun kebersihannya. Jika digunakan genset akan muncul asap sisa pembakaran dan tumpahan solar yang akan mengganggu kehidupan larva. 2.4.1.5 Sarana Pengadaan Air Laut 1. Pompa air Pompa air digunakan untuk pengambilan air baik untuk pengambilan air laut maupun untuk mengalirkan air dari bak penampungan air laut ke bak pengendapan, kemudian dari bak pengendapan ke ruang Ozonisasi yang kemudian dialirkan ke tandon, dan yang terakhir dari tandon ke bak pemeliharaan. 2. Bak penampungan air laut Bak penampungan ini terdiri dari berbagai bak yang menggunakan sistem gravitasi. Bak yang digunakan diantaranya adalah bak batu, dan bak ijuk, arang, pasir. 3. Bak Pengendapan Bak ini digunakan untuk mengendapakan partikel yang lolos dari proses filter pressure.

4. Tandon Bak yang digunakan untuk menampung air setelah dilakukan beberapa threatment, dimana air tersebut dipakai untuk persediaan. Tandon yang ada terdiri dari 2 tandon, hal tersebut dikarenakan agar pergantian air dapat berlangsung setiap hari, karena untuk mengisi penuh 1 tandon dibutuhkan waktu 1 hari. 5. Bak penampungan 1 Air dari hasil budidaya dialirkan ke bak penampungan ini dan selanjutnya diproses oleh protein skimmer. 6. Bak penampungan 2 Bak penampungan ini digunakan untuk menampung air yang telah diproses (BBAP Situbondo, 2006).

2.3.2

Sarana Penunjang Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) yang merupakan sarana

penunjang yaitu saringan, termometer, salinometer, pompa celup, ember, wadah penetasan Artemia sp. 2.4

Pemeliharaan Larva Udang Vannamei Pada pembenihan udang, pemeliharaan larva merupakan aspek terpenting

dalam pengoperasian sebuah hatchery. Kegiatan pemeliharaan larva dimulai dari stadium nauplius hingga mencapai stadium post larva (PL) yang dikenal sebagai benih udang atau benur yang sudah menyerupai udang dewasa. Termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan seperti persiapan bak pemeliharaan, penebaran nauplius,

penyediaan

dan

pemberian

pakan,

pengelolaan

kualitas

pengendalian penyakit dan proses pemanenan (Heryadi D dan Sutadi 1993).

air,

2.4.1

Persiapan Bak Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) persiapan bak meliputi :

a. Sanitsi Bak Bak pemeliharaan yang akan digunakan harus disucihamakan sehingga bebas dari penyakit. Caranya, bak dikeringkan (dijemur), kemudian dasar dan dinding bak disikat. Agar lebih steril gunakan zat-zat kimia seperti klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium permanganat) 10 ppm, dan formalin 50 ppm.

b. Perlakuan air media Air media, umumnya dibeli pada penjual khusus yang menyediakan jasa penyaluran air laut. Air laut yang dibutuhkan adalah air yang berkadar garam 2931 permil, dan bebas bahan pencemar.

1) Sterilisasi tahap I Sebelum dipakai, air laut diberi perlakuan dengan menggunakan zat-zat kimia agar bebas dari bakteri, protozoa, jamur, dan mikroorganisme lainnya. Setelah air laut ditampung dalam bak ditambahkan kaporit 30 ppm (30 g/m3 air). Setelah itu tambahkan natrium tiosulfat sebanyak 10-12,5 ppm, kemudian biarkan proses tersebut berlangsung selama 24 jam sambil tetap diaerasi. Apabila air laut sudah netral kembali, tambahkan EDTA sebanyak 10 ppm (10g/m3), dibiarkan selama 24 jam sambil diaerasi. Langkah berikutnya menyimpan endapan sampai air jernih dan steril. Cara lain yang dapat ditempuh yaitu dengan memindahkan air yang sudah jernih tersebut ke bak lain dengan menggunakan pompa celup.

2) Sterilisasi tahap II Sterilasasi air laut tahap kedua dilakukan pada saat air sudah dalam kondisi jernih dan dilakukan 2-3 hari sebelum larva ditebar. Pada tahap ini masih digunakan EDTA sebanyak 8 ppm yang dimasukan ke air media. Setelah itu ditambah antibiotic, misalnya Erytromycyn sebanyak 1 ppm (1g/m3). Antibiotik berfungsi untuk menghilangkan bakteri dan protozoa, sedangkan untuk menghilangkan jamur dapat

ditambahkan Trefflan sebanyak 0,1 ppm

(0,1ml/m3). Dengan demikian zat kimia tersebut diberikan dalam waktu yang sama dengan urutan, EDTA, antibiotik, dan trefflan.

c. Perlakuan terhadap organisme Walaupun bak dan air media sudah bebas panyakit, justru organisme yang ditebar yang membawa penyakit. Karenanya, organisme yang akan dipelihara sebaiknya diberi perlakuan dahulu sebelum ditebar. Apabila usahanya dimuai dari telur, maka telur diberi perlakuan dengan meggunakan bahan kimia di antaranya Methelen Blue 1 ppm selama 10 menit atau KMNO4 dengan dosis 3 ppm selama 30 menit. Jika usahanya mulai dari nauplius, maka perlu direndam dengan larutan Trefflan 0,1-0,2 ppm agar nauplius bebas jamur.

d. Memeriksa Aerasi Sehari sebelum penebaran, aerasi perlu di cek apakah penyebaran gelembung dari batu aerasi sudah rata. Untuk mengetahuinya, hidupkan blower lalu kran udara dibuka. Bila gelembung udara yang dihasikan sama rata berarti aerasinya baik. Aerasi ini juga meningkatkan kandungan oksigen sehingga gasgas beracun akan menguap keluar.

1.4.2

Penyediaan Telur Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) cara untuk mendapatkan telur

udang penaeid : a. Menyewa Induk Menyewa induk udang di Jawa Timur sudah lazim dilakukan oleh para pembenih. Harga sewa induk sepasang sekitar Rp 25.000,00. Sistem ini cukup menguntungkan pihak penyewa dan yang menyewa. Bagi

penyewa

dengan

mengeluarkan

biaya

sewa

masih

biasa

memperoleh keuntungan, karena sekali berelur bias sebanyak 600.000-700.000 butir/induk. Daya tetas telur (hatching rate) ditingkat pembenihan antara 70-80% b. Membeli Telur Membeli telur udang memang menjanjikan keuntungannya dari pada membeli nauplius karena harganya lebih murah. Namun resikonya juga lebih besar, karena daya tetas telur dan kesehatan induknya belum diketahui.

1.4.3

Penebaran Nauplius Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) sebelum naupli ditebar ke dalam

bak perlu diperhatikan salinitas, kondisi naupli, dan suhu air media. Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat aktif terutama jika kena sinar. Dan bila terjadi perbedaan suhu dan salinitas, maka dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan proses aklimatisasi. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan menggunakan dengan menggunakan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit. Untuk penurunan kadar garam sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 15-30 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak pemeliharaan sudah

sama dengan air media pada baskom naupli, maka proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai. Setelah aklimatisasi selesai naupli ditebarkan ke dalam bak pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang berisi naupli perlahan-lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L.

2.4.4 Penyediaan Pakan Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang biasa diberian pada larva uadang vannamei yaitu Skeletonema costatum dan Artemia sp. Pakan alami ini sangat dibutuhkan pada stadium akhir napulius (N-6) atau awal stadium zoea. Sedangkan pakan buatan mulai diperlukan ketika larva memasuki stadium zoea.

Pakan buatan ini ada yang dijual dalam bentuk

kalengan maupun bungkusan. Dosis pakan yang diberikan pada larva tidak dihitung berdasarkan jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab larva membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat. Yang dimaksud dengan ppm adalah gram/ton volume air media yang jika pakan berbentuk tepung, sedangkan yang

cair

ml/ton. Dosis terebut hanya untuk pakan buatan, sedangkan untuk dosis pakan alami yaitu sel/cc/hari atau individu /ekor larva/hari. Pemberian pakan dilakukan setiap 4-6 kali/hari dengan selang waktu 4-5 jam. Larva suka makan pada malam hari maka pemberian pakan pada malam hari lebih baik dari pada siang hari, yaitu pukul 05.00, 10.00, 15.00, 20.00 dan pukul 24.00. Pemberian pakan dilakukan dengan cara dimasukkan kedalam saringan yang kemudian dimaukkan ke dalam ember yang berisi air tawar. Setelah itu saringn diremas-remas sampai pakan yang ada dalam saringan habis, kemudian

ditambahkan pakan alami. Pakan yang berada dalam ember yang berisi air tadi langsung ditebar ke dalam bak pemeliharan (Heryadi D dan Sutadi, 1993)

2.4.5 Pengelolaan Kualitas Air Menurut

Elovaara,

A.K

(2001)

temperatur

air

untuk

optimalkan

pertumbuhan dan transisi dari satu larva ke larva berikutnya adalah 28 0C, sedangkan salinitas adalah 26-30 dan pH sekitar 8,0, namun pH 7,8 sampai 8,4 sudah cukup. Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993), dalam pengelolaan kualitas air ada beberapa perlakuan agar air media tetap sesuai untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva, diantaranya : 1. Penyimponan Penyimponan dilakukan agar sisa-sisa pakan buatan maupun sisa-sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehingga tidak terjadi penumpukan dan pembusukandalam air media. Penyimponan dapat dilakukan setelah larva mencapai stadium mysis, frekuensinya 2 hari sekali, waktunyasetelah 2 jam pemberian pakan. Cara menyimpon adalah sebagai berikut : 

Blower dimatikan,setelah itu slang yang akan digunakan utuk menyedot air diisi air penuh dan dipasang saringan pada salah satu ujungnya.



Kemudian slang dimasukkan kedalam bak dan ujungnya yang dilepas tutupnya sehingga air keluar dengan sendirinya.

2. Pengaturan cahaya Untuk stadium naupli dan zoea, keduaya bersifat plangtonis yang aktif berenang di permukaan air. Bagi kedua stadium ini diusahakan agar suasana

bak pemeliharaan gelap dengan cara menutup bak. Apabila larva sudah masuk stadium post larva, bak pemeliharaan lebih sering dibuka dalam upaya penyesuaian lingkungan. Parameter kualitas air untuk budidaya udang vannamei dapat dilihat dari Tabel 1, berikut : Tabel 1. Parameter kualitas air untuk budidaya udang vannamei Parameter Kualitas Air

Batasan yang dianjurkan

DO Karbondioksida pH Salinitas Clorda Sodium Total Hardness (as CaCO3) Calcium Hardness (as CaCO3) Magnesium Hardness (as CaCO3) Total Alkalinitas (as CaCO3) Uninoized Ammonia (NH3) Nitrit (NO2) Nirat( NO3) Hidrogen Sulfida (H2S) Klorin Kadmium Kromium Kopper Lead Merkuri Zinc Suhu Total Iron Sumber : Elovaara, A.K (2001)

5,0 – 9,0 ≥ 20 ppm 7,0 – 8,3 0,5 – 35 ppt ≥ 300 ppm ≥ 200 ppm ≥ 150 ppm ≥ 100 ppm ≥ 50 ppm ≥ 100 ppm ≤ 0,03 ppm ≤ 1 ppm ≤ 60 ppm ≤ 2 ppb ≤ 10 ppb ≤ 10 ppb ≤ 100 ppb ≤ 25 ppb ≤ 100 ppb ≤ 0,1ppb ≤ 100 ppb 28 – 32 0 C ≤ 1,0 ppm

Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) selain pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila dipermukaan air telah banyak mengandung

gelembung-gelembung

busa

yang

telah

menumpuk

dan

gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan-perombakan gas di dalam air.

Pengisian air pada awal penebaran naupli adalah sekitar 30% dari kapasitas wadah, saat stadia zoea ditambah sampai 70%, stadia mysis 80% dan stadia post larva 100%. Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), Pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi.

2.4.6 Penerapan Bioscurity Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak ±1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan.

2.4.7 Pengendalian Penyakit Menurut Ghufron M.H Kordik K (2006) penyakit adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya penyakit yang menyerang udang datangnya melalui tiga faktor yaitu kondisi

lingkungan

(kualtas

air),

kondisi

inang

(Udang)

dan

jasad

organisme/penyakit. Udang vannamei juga bukan spesies yang tahan terhadap berbagai macam penyakit, oleh karena itu perlu penerapan sitem budidaya terbaik agar kualitas udang yang dihasilkan lebih baik. Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like virus (REO), and Taura Syndrome virus (TSV ).

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), gejala klinis penyakit udang yaitu : bercak putih oleh virus, kematangan cepat 2-3 hari, berenang ke dekat pematang kemudian mati, kepala kuning oleh virus YHV, kerusakan organ limfoid dan insang, serangan MBV mengakibatkan kerdil, penyakit bercak putih dicirikan dengan bagian kepala berukuran kecil.

2.5

Pemanenan Pemanenan benur dilakukan mulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah

mencapai 1 cm dan yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur yang siap dipanen. Caranya adalah membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan di dalamnya agar air yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar. Sebelum hal tersebut dilakukan terlebih dahulu mengurangi ketinggian air hingga 6-10 cm sehingga benur mudah ditangkap dengan menggunakan serok. Setelah ketinggian air mencapai 5 cm hentikan penyerokan dan buka saringan, sehinga sisa benur akan keluar bersama air tersebut.

Langkah berikutnya adaptasi

salinitas, penghitungan, dan pengemasan (Heryadi D dan Sutadi 1993).

2.6 Pengangkutan Menurut Heryadi D dan Sutadi (1993) pengangkutan benur ummnya dilakukan

dengan cara tertutup dan terbuka.

Pengangkutan cara tertutup

disenangi karena pengirimannya dapat dilakukan dengan menggunakan bus, kereta api, pesawat udara, dan kendaraan lainnya. Cara ini membutuhkan es, kantong pastik, tabung oksigen dan kardus Styrofoam. Kunci keberhasilan dalam pengangkutan cara tertutup adalah suhu dan kepadatan.

Dalam pengangkutan diusahakan agar suhu tetap rendah, oleh

karena itu setelah plastik diikat, maka bagian luarnya digantungkan plastik berisi es. Untuk daerah tropis suhu yang dianggap aman adalah 18-20 0 C.

Kepadatan yang aman dalam pengankutan cara tertutup yaitu 4.0006.000 ekor /kantong.

Setiap kantong diisi dengan 4 liter air dengan

perbandingan oksigen dan air 5:1. Pengangkutan dengan cara ini akan aman jika lama perjalanan maksimum 6 jam.

IV. KEADAAN UMUM

4.1. Tata Letak Lokasi Instalasi Pembenihan Udang (IPU) Gelung dibangun pada lahan seluas 7,37 ha yang berjarak 100 m dari garis pantai dan berjarak 12 km dari pusat kota Situbondo. Sehingga untuk mencapai ke lokasi dari kota Situbondo, digunakan kendaraan darat dengan waktu tempuh 20 menit. Sedangkan dari BBAP Situbondo (dari Desa Pecaron) diperlukan waktu lebih kurang 30 menit. Lokasi IPU Gelung berada pada posisi 104º00’00’ Bujur Timur dan 07º42’35’ Lintang Selatan. Lokasi ini juga sangat strategis karena kondisi perairan yang berkarang dan berpasir serta angin, gelombang dan arusnya relatif kecil. Perairan pantai Gelung juga relatif aman dari pencemaran limbah pabrik.

4.2. Sejarah dan Perkembangan IPU Gelung Unit pembenihan udang yang terletak di desa Gelung ini dibangun pada tahun 1986 yang diresmikan oleh Bapak Dirjen Perikanan Ir. Soeprapto pada tanggal 9 Mei 1987. Unit Pembenihan Udang (UPU) merupakan proyek pembenihan udang milik Direktorat Jenderal Perikanan yang berada dibawah Departemen Pertanian yang dibiayai dari dana ADB (Asian Development Bank). Proyek UPU Gelung ini adalah salah satu proyek pembenihan udang yang direncanakan dibangun di Indonesia selain proyek pembenihan udang yang ada di Siddo Barru Sulawesi Selatan (UPU Siddo Barru), Pandeglang Jawa Barat (UPU Pandeglang), Aceh Banda Aceh (UPU Aceh), Tuban Jawa Timur (UPU Tuban) dengan nama Proyek Pengembangan Budidaya Tambak (PPBT). Setelah 3 tahun berjalan, tepatnya bulan April tahun 1990, Ditjen Perikanan menjalin Kerja sama Operasional (KSO) dengan PT. Sarana

Adyaboga Agung Jakarta (PT. SABA) dengan komoditas udang windu (Penaeus monodon) sampai tahun 2000. Sejak tahun 2000-2006 ketika Ditjen Perikanan memisahkan diri dari Departemen Pertanian dan menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan maka status UPU Gelung berada dibawah koordinasi langsung Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya - Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Pada bulan Januari tahun 2007 untuk lebih memudahkan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya maka UPU Gelung secara administrasi dan manajemen dibawah koordinasi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo yang pada akhirnya berubah nama menjadi Instalasi Pembenihan Udang (IPU) Gelung - BBAP Situbondo.

Gambar 3. Instalasi Pembenihan Udang (IPU) Gelung (Data Primer, 2009)

Instalasi Pembenihan Udang Gelung tidak hanya melakukan kegiatan pembenihan udang saja tetapi juga melakukan kegiatan pembesaran udang vannamei di tambak untuk memproduksi udang konsumsi. Sejak tahun 2009 IPU Gelung dilengkapi pula fasilitas Multiplication Broodstock Center (MBC) untuk memproduksi calon induk udang vannamei.

4.3. Struktur Organisasi Struktur kerja di IPU Gelung BBAP Situbondo adalah sebagai berikut: KOORDINATOR

SEKSI ADMINISTRASI/KEUANGAN

LABORATURIUM KESLING

MULTIPLICATION BROODSTOCK CENTER (MBC) UDANG VANNAMEI

PERGUDANGAN SATUAN PENGAMANAN TRANSPORTASI

SEKSI INDUK VANNAMEI

KEBERSIHAN

SEKSI LARVA SEKSI POST LARVA

SEKSI BUDIDAYA TAMBAK

SEKSI ALGA

Gambar 4. Struktur Kerja Pada IPU Gelung SEKSI KELISTRIKAN

SEKSI SARANA DAN AIR

Keterangan: 1. Koordinator

: Winarno, A.Pi

2. Laboratorium Kesling

: 1. Ribut Wijayaning Putri, S.Pi 2. Juliana P

3. Bag. Admin/Keuangan

: 1. Supardi 2. Hadi Sukoco

4. Broodstock Center

: 1. Ir. Dedi Mulyadi, MP 2. Wendy Tri P, S.Pi 3. Yusron Rahman

5. Bag. Induk

: 1. Drs. Susetyo Pramudjo

2. Imron 3. Sugianto 6. Bag. Larva dan PL

: 1. Edi Muhtar 2. Sujibno 3. Syamsul Bahri 4. Baihaqi 5. Mulyadi 6. H. Nawawi

7. Bag. Alga

: 1. Ir. Praptono 2. Wafiroh 3

8. Bag. Budidaya Tambak

Asmawi

: 1. Edi Majid Romadlon, A.Md 2. Sutoyo

9. Transportasi

: Surahman

10. Kebersihan

: Suyono

11. Bag. Pengamanan

: 1. Syamsul Huda 2. Syahwan

12. Bag. Admin.Gudang

: 1. Wafiroh 2. Wahyu Endah S

13. Bag. Listrik/Mesin

: Sumardjito

14. Bag. Saran Pompa Air

: 1. Ahmad Rifa’i 2. Talogo

4.4. Sarana dan Prasarana a. Sarana Pokok Sarana pokok di IPU Gelung meliputi : bak pemeliharaan larva, bak kultur Chaetoceros sp, tong plastik (conical tank) untuk kultur artemia, instalasi aerasi, tenaga listrik diperoleh atau bersumber dari PLN, dan sistim pengadaan air laut.

b. Sarana Penunjang Lainnya Sarana penunjang meliputi: saringan (saringan pakan, larva, dan air), termometer, salinometer, pompa celup, ember, wadah penetasan Artemia sp, seser, timbangan, selang, alat sipon, dan peralatan panen. c. Prasarana Prasarana yang terdapat pada IPU Gelung adalah: 3 bangunan hatchery,

mess

karyawan,

kantor,

laboratorium

kesehatan

lingkungan,

laboratorium plankton, ruang tamu, gudang, pos penjagaan, 2 buah mobil yang digunakan sebagai sarana transportasi dalam memasarkan benur, musholla, dan akses jalan mudah dilewati.

III. METODOLOGI

3.1

Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapang (PKL) II Praktek Kerja Lapang (PKL) II ini dilaksanakan di Instalasi Pembenihan

Udang Gelung Balai Budidaya Air Payau Situbondo Desa Gelung Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo-Jawa Timur pada tanggal 19 Oktober sampai dengan 8 November 2009. Adapun jadwal kegiatan pada Praktek Kerja Lapang II ini dapat dilihat pada lampiran 1.

3.2

Metode Praktek Kerja Lapang (PKL) II Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapang

(PKL) II adalah metode survey yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keteranganketerangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir, 1988).

3.3

Sumber Data Adapun sumber data yang dikumpulkan adalah data primer dan data

sekunder. Menurut Nazir (1988) data primer adalah sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi dari kejadian yang lalu. Sedangkan data sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa, ataupun catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinal.

3.4

Teknik Pengumpulan Data Menurut Nazir ( 1988), data yang diperoleh diambil dengan cara :

a. Observasi Langsung Observasi langsung atau pengamatan langsung dilakukan dengan cara mengambil data mengunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. b. Wawancara / interveiw Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atu responden dengan mengunakan alat yang dinamakan interview guide ( paduan wawancara ) Alat lain untuk mengumpulkan data adalah daftar pertanyaan, yang sering disebutkan secara umum dengan nama kuisioner. Pertanyaan – pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner atau datar pertanyaan tersebut cukup terperinci dan lengkap. Ini membedakan daftar pertanyaan dengan interview guide. Adapun daftar pertanyaaan pada Praktek Kerja Lapang II ini dapat dilihat pada lampiran 2.

3.5

Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data

3.5.1 Teknik Pengolahan Data Data teknis yang didapatkan dari kegiatan pengumpulan data selanjutnya dikelompokkan menurut jenis dan ukurannya. Setelah itu dilakukan pengolahan data dengan tahap sebagai berikut : a. Editing Yaitu memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data. Tujuan dari pada editing adalah untuk mengurangi kesalahan

atau kekurangan yang ada di dalam daftar pertanyaan yang sudah diseleisakan sampai sejauh mungkin (Narbuko, C dan Achmadi, D.S, 2004). b. Tabulating Yaitu pekerjaan menyusun tabel-tabel mulai dari penyusunan tabel utama yang berisi seluruh data atau informasi yang berhasil dikumpulkan dengan daftar pertanyaan sampai dengan tabel khusus yang telah benar-benar ditentukan bentuk dan isinya sesuai dengan tujuan penelitian (Suparmoko, 1988).

3.5.2

Analisa Data Adapun data yang akan dianalisis adalah data teknis. Data teknis yang

terkumpul akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparmoko (1995), bahwa metode penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai suatu objek.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeliharaan Larva 5.1.1. Persiapan Bak Bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo ini berbentuk bulat dan berkapasitas 10 ton serta memiliki kemiringan 3% ke arah pembuangan. Sebelum digunakan sebagai tempat pemeliharaan larva, bak terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran yang menempel pada bak tersebut. Bak dibersihkan dengan cara dicuci dengan menggunakan deterjen, seluruh permukaan dinding dan dasar bak digosok dengan menggunakan spon untuk menghilangkan kotoran yang menempel di bak, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih setelah itu siram dengan larutan kaporit 60% sebanyak 100 pm ke seluruh permukaan dan biarkan hingga kering. Apabila bak akan digunaan, maka bak dan perlengkapan lainnya dicuci kembali dengan diterejen. Setelah persiapan selesai, maka bak sudah siap digunakan untuk pemeliharaan larva. Setelah itu bak diisi air laut sebanyak 5 ton atau separuh dari kapasitas bak dengan menggunakan filter ukuran 10µ. Tahapan selanjutnya air pada bak di treatmen menggunakan larutan trevlan sebanyak 0,25 ppm, kemudian aerasi dinyalakan dan disterilisasi selama 1-2 hari. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993) yang menyatakan bahwa sebelum dipakai, air laut diberi perlakuan dengan menggunakan zat-zat kimia agar bebas dari bakteri, protozoa, jamur, dan mikroorganisme lainnya. Setelah air laut ditampung dalam bak ditambahkan kaporit 30 ppm (30 g/m3 air).

5.1.2. Penebaran Naupli Naupli yang akan ditebar adalah naupli yang berasal dari hatchery BBAP Situbondo desa Pecaron. Penebaran naupli dilakukan pada malam hari, hal ini dilakukan dengan harapan untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu tinggi terhadap lingkungan. Naupli yang sudah dihitung kemudian diseser dengan menggunakan saringan, ditempatkan terlebih dahulu kedalam ember kecil yang sudah diberi air laut kemudian naupli dibilas menggunakan formalin sebanyak 1 ml yang bertujuan untuk menghilangkan jamur dan bakteri yang terdapat pada naupli. Sebelum naupli ditebar kedalam bak pemeliharaan larva perlu dilakukan aklimatisasi suhu dan salinitas, hal ini bertujuan agar naupli yang ditebar tidak mengalami stress. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meletakkan ember yang berisi naupli di atas permukaan air pada bak pemeliharaan larva, kemudian bak tersebut dialiri air sampai penuh dengan menggunakan slang kecil dan biarkan naupli keluar dengan sendirinya dari baskom supaya tidak stress, hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993), yang menjelaskan bahwa aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan menggunakan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit. Proses aklimatisasi selesai ditandai dengan mengumulnya naupli kepermukaan air dalam bak pemeliharaan. Setelah penebaran dilakukan, bak pemeliharaan ditutup dengan plastik transparan tembus cahaya agar fekuinditas suhu tetap stabil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3, Gambar 4 dan padat penebarannya dapat dilihat pada Tabel 2:

Gambar 3: Persiapan Penebaran

Gambar 4: Aklimatisasi Naupli

Naupli

Tabel 2: Padat Penebaran Naupli Populasi ( ekor )

Volume Air ( ton )

Bak A1 1.500.000 A2 1.500.000 A3 1.500.000 A4 1.500.000 Sumber: IPU Glung BBAP Situbondo

10 10 10 10

Padat Penebaran ( ekor/liter ) 150 150 150 150

Dari proses aklimatisasai yang dilakukan maka naupli tidak mengalami stress pada saat ditebar. Sedangkan dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata kepadatan penebaran naupli adalah 150 ekor/liter, hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993) bahwa padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L.

5.2. Pengelolaan dan Pengamatan Kualitas Air Pengelolaan kualitas air pada saat masa pemeliharaan larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo dilakukan dengan cara pengukuran kualitas air dan pergantian air (water Exchange). Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa selain pengukuran

parameter-parameter

tersebut

dilakukan

pergantian

dan

penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila

dipermukaan air telah banyak mengandung gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakanperombakan gas di dalam air. Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk meningkatkan atau menjaga kualitas air supaya tetap dalam keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan udang. Pergantian air ini dilakukan pada saat memasuki stadia mysis 3 berkisar 10-30%, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi. Hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan jika warna air sudah tampak keruh dan banyak terdapat busa. Pergantian air ini dimaksudkan untuk mengurangi kandungan bahan organik sehingga tidak menimbulkan pada larva. Pergantian air ini dilakukan dengan cara mengurangi volume air sedikit demi sedikit melalui pipa pembuangan. Selain itu dilakukan monitoring kualitas air yang dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari, parameter air yang dilakukan secara rutin adalah parameter suhu dengan tujuan agar selama masa pemeliharan proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar yaitu pada kisaran 29-32ºC. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan kekurangan oksigen. Pengecekan parameter kualitas air selama pemeliharaan larva dilakukan pada saat pergantian stadia, pH berkisar pada 7,5-8,5 sedangkan salinitas berkisar 29-

33, alkalinitas berkisar 118-112 mg/liter, bahan organik (BO) antara 73,2-110,4 mg/liter. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Grafik di bawah ini:

Sumber : Data Primer (2009)

Dari hasil pengukuran tersebut maka diperoleh kualitas air yang optimal untuk kehidupan larva. Selama pemeliharaan larva pemantauan kualitas air juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Parameter kualitas air yang diukur meliputi, suhu, pH, dan salinitas. Untuk lebih jelasnya parameter kualitas air selama pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 5.

5.3. Pengelolaan Pakan Pemberian pakan ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan larva udang vannamei, adapun jenis pakan yang diberikan yaitu :

5.3.1. Pakan alami Jenis pakan alami yang diberikan pada larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo yaitu Chaetoceros dan Artemia sp. Pemberian pakan alami fitoplankton Chaetoceros diberikan mulai stadia zoea 1 yaitu dimana larva sudah mulai kehabisan persediaan kuning telur ( egg yolk ) dan diberikan sampai

stadia PL 3. Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pemberian Chaetoceros sp dilakukan mulai dari stadia zoea 1 – mysis 3, sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan dikarenakan pada stadia ini larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur (yolk) sebagai pensuplai makanan.

Pemberian Chaetoceros sp

bertujuan untuk meningkatkan anti body yang sangat dibutuhkan oleh larva udang vannamei terutama pada fase-fase transisi seperti dari stadia naupli ke stadia zoea, yang mana pada fase ini sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah, yaitu larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan mortalitas hingga 90%. Selain itu, Chaetoceros sp mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi selama proses pemeliharaan larva. Kultur Chaetoceros dilakukan dengan 3 cara, yaitu skala laboraturium, skala semi massal (Intermediate) dan skala Massal. Pemberiannya dilakukan dengan cara memompa Chaetocerosla langsung ke bak pemeliharaan dengan slang. Artemia salina merupakan pakan alami jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang mulai dari stadia larva mysis 3 – post larva. Pemberian nauplius artemia dikarenakan banyak mengandung nilai nutrisi yag sangat dibutuhkan

oleh

larva

udang

seiring

dengan

peningkatan

nilai

usaha

pemeliharaan larva dalam masalah kualitas larva. Di samping itu, nauplius artemia merupakan zooplankton yang bergerak aktif sehingga dapat merangsang dan meningkatkan nafsu makan larva udang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut :

Gambar 5: Naupli Artemia sp

Sebelum

diberikan,

dilakukan

dekapsulasi

pada

cyste

artemia

menggunakan bahan kimia yaitu klorin 1000 ml dan soda api 500 ml dengan perbandingan 2:1. Klorin dapat melarutkan senyawa lipoprotein pada cangkang telur artemia yang banyak mengandung Heamatin yang dapat mempercepat pengikisan cangkang artemia, sedangkan soda api berfungsi untuk melunakkan cangkang. Selama proses dekapsulasi diusahakan suhu tidak lebih dari 40ºC karena dapat menyebabkan artemia terbakar dan mati. Setelah proses dekapsulasi selesai artemia ditetaskan dalam conical tank selama 1 × 24 jam dan diberi aerasi. Artemia yang sudah menetas diberikan dengan cara ditebar keseluruh permukaan air dengan menggunakan gayung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 3 berikut :

Gambar 6: Pemberian Pakan Alami (Chaetoceros dan Artemia sp)

Tabel 3: Jenis, Dosis dan Waktu Pemberian Pakan Alami Stadia Zoea - PL 3

Jenis Pakan Alami Chetoceros

PL1 – PL7 Artemia Sumber: Data Primer 2009

Dosis

Waktu

500 liter/1,5 juta

06:00, 16:00

larva 56 g/10ton

06:00, 16:00

b). Pakan Buatan Pakan buatan yang akan diberikan disaring terlebih dahulu dengan menggunakan saringan. Jenis pakan yang digunakan adalah Nosan R1, Nosan R2, Frippak 1 CAR, Frippak 2CD, Epyfeed LHF-1,Epyfeed LHF-2, dan Riall. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7:

Gambar 7: Jenis Pakan Buatan Pakan yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam saringan pakan dan diaduk den sampai merata kemudian diberikan dengan cara ditebar menggunakan gayung. Untuk dosis pemberian pakan buatan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4: Jenis, Dosis dan Waktu Pemberian Pakan Buatan

Stadia

Jenis Pakan Buatan Epyfeed LHF1, Nosan R1, Frippak 1 CAR

Dosis ( ppm )

Waktu

0,7-1

Mysis

Epyfeed LHF1-2, Nosan R1-R2, Frippak 1 CAR-2CD

1-1,5

PL1 – PL7

Epyfeed LHF 2, Nosan R2, Frippak 2CD, Riall

1,5 – 3

04:00, 06:00, 10:00, 13:00, 16:00, 19:00, 22:00, 01:00 04:00, 06:00, 10:00, 13:00, 16:00, 19:00, 22:00, 01:00 04:00, 06:00, 10:00, 13:00, 16:00, 19:00, 22:00, 01:00

Zoea

Sumber: Data Primer 2009 Dengan pemberian pakan ini maka larva udang vannamei dapat mengalami

pertumbuhan.

Pemberian

pakan

buatan

bersamaan

dengan

pemberian probiotik sanolife yang mengandung bakteri Bacillus licheniformis, Bacillus Subtilus, Bacillus Pumilus. Pemberian Bacillus ini untuk menguraikan bahan-bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran yang berada di media pemeliharan agar tidak menjadi racun. Pemberian probiotik ini diberikan setiap hari pada saat memasuki stadia zoea sampai post larva. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan untuk dosis dan waktu pemberian dapat dilihat pada Tabel 5:

Gambar 8: Probiotik

Tabel 5: Dosis dan Waktu Pemberian Probiotik

Stadia Zoea Mysis PL1 – PL5

Dosis (ppm) 1 1,5 2

Waktu 10:00 10:00 10:00

Sumber: Data Primer

(2009) 5.4. Pengamatan Pertumbuhan Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap hari dengan cara mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan dengan menggunakan beaker glass, kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva. hal ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan larva, gerakan, dan sisa pakan. Sedangkan pengamatan mikroskopis dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan dilakukan pengamatan menggunakan alat mikroskop, pengamatan ini dilakukan untuk melihat dan mengamati morfologi tubuh larva, keadaan parasit, pathogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. Dengan mengetahui perkembangan larva maka juga dapat menentukan perubahan stadia, gerakan aktif juga menandakan bahwa larva tersebut baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9:

Dari hasil pengamatan maka dapat diketahui perkembangan Gambar 9: Pengamatan Pertumbuhan Larva Udang Vannameilarva dari setiap stadia yaitu: 1). Stadia naupli

Stadia ini memiliki ciri-ciri yaitu badan berbentuk bulat telur, beranggota badan tiga dan masih memiliki cadangan kuning telur hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), yang menjelaskan bahwa stadia naupli masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Secara visual stadia naupli terlihat seperti laba-laba kecil dengan gerakan renang

tersedat-sedat, lalu berhenti sesaat kemudian melanjutkan renang.

Pembagian tubuh atas karapas dan abdomennya belum terlihat jelas dimana naupli 1 badan berbentuk bulat telur dengan tiga pasang anggota tubuh, naupli 2 pada ujung antena pertama terdapat satae yang panjang dan pendek, naupli 3 terdapat dua buah furtcel mulai tampak jelas dengan masing-masing tiga duri, tunas maxillped mulai tampak, naupli 4 masing-masing furtcel mulai tampak jelas terdapat empat buah duri, antena kedua beruas-ruas, naupli 5 tonjolan pada maxilliped suah mulai jelas, naupli 6 perkembangan satae semakin sempurnadan duri pada fortcel tumbuh makin panjang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10 berikut :

2). Stadia zoeaGambar 10: Stadia Naupli Larva Udang Vannamei Stadia naupli akan berubah menjadi stadia zoea setelah ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Pada stadia ini zoea akan mengalami ganti kulit

(moulting) hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), yang menjelaskan bahwa pada stadia ini benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya sekitar 4-5 hari. Secara visual stadia ini memiliki ciri yang khas, yaitu terlihat adanya kotoran yang enempel pada ekor. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 dan untuk perkembangannya dapat dilihat pada Tabel 6:

Tabel 6: Ciri-ciri stadia zoea pada udang vannamei (Litopenaeus vannamei) Stadia Ciri-ciri yang menonjol Gambar 11: Stadia Zoea Larva Udang Vannamei Zoea 1 Badan pipih dan karapas mulai nyata, mata mulai tampak, alat pencernaan makanan mulai jelas. Zoea 2 Mata mulai bertangkai dan pada karapas sudah terlihat rostrum. Zoea 3 Sepasang uropoda mulai berkembang, ruas-ruas perut mulai tumbuh. Sumber: Data Primer (2009)

3). Stadia Mysis Pada stadia ini larva sudah hampir menyerupai bentuk udang yang bercirikan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Larva berukuan berkisar antara 3 – 4,5 mm. Pada stadia ini berlangsung selama 3-4 hari dimulai dari stadia mysis 1-3 sebelum memasuki stadia post larva (PL). Hal ini sesuai

dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada stadia post larva. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 12 dan pada Tabel 7 berikut:

Tabel 7: Ciri-ciri stadia mysis pada udang vannamei (Litopenaeus vannamei) Stadia Ciri-ciri yang menonjol Mysis 1 Bentuk badan sudah menyerupai udang dewasa Mysis 2 Tunas kaki renang (pleopoda) mulai tampak nyata tetapi belum beruas-ruas Mysis 3 Tunas kaki panjang beruas Gambar 12:bertambah Stadia Mysis Larvadan Udang Vannamei Sumber: Data Primer (2009) 4). Stadia Post Larva Pada stadia ini akan tampak jelas seperti udang dewasa. Larva sudah mulai bergerak aktif lurus ke depan serta mempunyai sifat karnivora dimulai dari post larva (PL 1) sampai dengan panen benur. Hal ini sesuai denan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak

seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13 berikut:

Berdasarkan pengamatan pada tingkat kelangsungan hidup larva udang (Survival Rate/SR) pada larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo didapatkan data seperti pada Tabel 8 di bawah ini : Gambar 13: Stadia Post Larva Udang Vannamei

Tabel 8. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia

Naupli 6

Bak

A1

Volume

Jumlah

Σ Larva

Bak

Tebar

Sampling

(Ton) 10

(ekor/bak) 1.500.000

1.402.500

SR (%)

93,57

A2 10 A3 10 A4 10 Zoea 3 A1 10 A2 10 A3 10 A4 10 Mysis 3 A1 10 A2 10 A3 10 A4 10 PL 7 A1 10 A2 10 A3 10 A4 10 Sumber : Data Primer (2009)

1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000

1.399.500 1.327.500 1.356.000 1.387.500 1.339.500 1.297.500 1.341.000 1.048.500 997.500 967.500 997.500 652.500 613.500 598.500 636.000

93,33 88,50 90,45 92,56 89,33 86,58 89,44 69,95 66,53 64,57 66,56 43,56 40,95 39,97 42,49

5.5. Penerapan Biosecurity Penerapan biosecurity dalam kegiatan pemeliharaan larva sangat diperlukan untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit dari satu tempat ke tempat lain. Tindakan penceghan dengan penerapan bioscurity dilakukan dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak 1 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk ruangan. Dengan penerapan biosecurity ini maka diharapkan dapat meminimalisir bibit penyakit yang masuk ke area pembenihan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13 berikut:

Gambar 14: Biosekuritas pada IPU Gelung BBAP Situbondo

5.6. Pengendalian Penyakit Pengendalian penyakit pada larva udang vannamei dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Dengan melakukan pencegahan diharapkan agar larva tidak sampai terserang penyakit yang dapat mengakibatkan mortalitas dan kualitas menurun. Pencegahan penyakit dapat pemberian probiotik. Stadia yang paling rawan dalam pemeliharaan larva yaitu pada saat memasuki stadia zoea, jenis penyakit yang sering mewabah adalah jenis zoothamnium sp dari golongan protozoa, menyerang ketika stadia mysis-1 dengan gejala gerakan lemah, kebanyakan larva berada di atas permukaan air, namun selama praktek tidak ditemukan adanya penyakit pada larva udang. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Elovaara, A.K (2001) yang menyatakan bahwa penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like virus (REO), and Taura Syndrome virus (TSV ). Protozoa disebabkan oleh air media dan peralatan yang kurang steril. Kurang sterilnya peralatan dimungkinkan pencucian menggunakan air tawar yang belum ditrietment terlebih dahulu. Tindakan untuk mengurangi populasi protozoa tersebut dengan melakukan pergantian air dan pemberian obat (treflan) sesuai dengan dosis yang dibutuhkan. Sedangkan

upaya

pencegahan

yang

dilakukan

adalah

dengan

penambahan bacillus, pencegahan yang lain adalah penerapan biosekuritas yang membatasi pencampuran antara bagian yang satu dengan yang lain dalam produksi. Dengan melakukan upaya pencegahan tersebut maka dapat memperkecil kemungkinan bibit penyakit tersebut menyerang larva.

5.7. Panen dan Pemasaran 5.7.1. Panen

Waktu pemanenan dapat dilakukan kapan saja tergantung keinginan pembeli, pada pemeliharaan larva untuk siklus ini pemanenan dilakukan pada malam hari sekitar pukul 21:00. Pemanenan benur dilakukan dengan mengurangi volume air hingga mencapai 50% dari daya tampung bak melalui pipa goyang atau pipa pengeluaran dan pipa saringan bagian dalam, air yang keluar ditampung dengan menggunakan ember saringa yang berukuran 300µ, kemudian benur diseser dan ditampung dalam baskom bersaring, hal ni sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993), yang menyatakan bahwa caranya adalah membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan di dalamnya agar air yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar. Setelah benur bekurang, pipa saringan bagian dalam dilepas untuk dipanen secara total. Langkah selanjutnya yaitu disaring kembali dengan saringan rangka besi berukuran 50x70 cm, dan airnya dialirkan melalui saluran pembangan serta ditampung dalam ember bersaring. Setelah dipanen, dilakukan sampling dengan menggunaka takaran yang telah diperitungkan kepadatannya. Setelah proses sampling selesai kemudian benur dikemas.

Gambar 15 : Pemanenan dan Penghitungan Benur

5.6.2. Pengangkutan Pengankutan yang dilakukan di IPU Gelung BBAP Situbondo adalah pengangkutan cara tertutup, yaitu dengan menggunakan kantong plastik yang

ditempatkan dalam sterofom kemudian diberi es untuk menurunkan suhu hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi D dan Sutadi (1993), yang menyatakan bahwa pengangkutan benur ummnya dilakukan

dengan cara tertutup dan terbuka,

pengangkutan cara tertutup disenangi karena pengirimannya dapat dilakukan dengan menggunakan bus, kereta api, pesawat udara, dan kendaraan lainnya. Cara ini membutuhkan es, kantong pastik, tabung oksigen dan kardus Styrofoam. Tujuan dari penurunan suhu yaitu agar selama dalam perjalanan benur tidak aktif. Pengaruh suhu terhadap benur adalah, jika suhu dari air yang ada dalam kantong meningkat maka akan meningkatkan metabolisme dari benur. Dengan meningkatnya metabolisme dari benur maka sisa metabolisme atau ekskresi akan tinggi. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama maka akan mangakibatkan terjadinya penurunan kualitas air sehingga dapat mempengaruhi benur yang ada dalam media tersebut. Kepadatan benur dalam kantong disesuaikan dengan permintaan pembeli dan jarak pengiriman benur. Kepadatan benur untuk jarak dekat (lokal) yaitu 1000 ekor/liter. Kemudian diberi oksigen dan diikat kuat dengan menggunakan karet gelang. Perbandingan antara air dan oksigen adalah 1 : 2, hal ini untuk menjaga ketersediaan oksigen selama pengangkutan. Setelah itu kantong plastik dimasukkan ke dalam kotak sterofoam. Pengiriman dilakukan dengan menggunakan alat transportasi darat yaitu mobil pick up ke daerah Situbondo,

Banyuwangi,

Jember,

Gresik,

Tuban,

Lamongan,

Sumenep,

Rembang, Yogyakarta dan Purworejo. Sedangkan prosedur pengangkutan jarak jauh (luar pulau) perlakuanya sama dengan pengiriman jarak dekat, hanya saja kepadatannya ditingkatkan menjadi 4.000 – 8.000 ekor/kantong dan suhu air yang dipakai sebagai media benur tidak sama. Suhu air untuk sistem pengangkutan benur jarak jauh/luar

pulau harus lebih rendah yaitu 27oC. Secara langsung keadaan ini berhubungan dengan proses metabolisme serta reaksi kimia

dalam tubuh larva udang yang

semakin menurun sehingga menyebabkan larva bergerak pasif.

Gambar 16: Proses Packing Pengemasan benur untuk konsumen luar pulau dilakukan dengan menggunakan truk yang dilakukan dengan pesawat terbang. Daerah pemasaran luar pulau adalah wilayah Tarakan dan Kalimantan Timur.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1). Lokasi IPU Gelung BBAP Situbondo sudah tepat karena berada di daerah

pesisir,

dataran

rendah

sehingga

memudahkan

dalam

pengadaan air laut. Letaknya juga sangat strategis karena dekat dengan jalur pantura, sehingga memudahkan dalam akses transportasi dan sarana yang dimiliki terdiri dari, sarana pokok, sarana penunjang dan prasarana. 2). Pengadaan air laut sudah baik karena sebelum digunakan untuk proses produksi telah melewati proses treatment dengan menggunakan larutan trevlan sebanyak 0,25 ppm, hasilnya telah diperoleh kualitas air yang baik dan siap digunakan untuk proses produksi. Volume air pada masing-masing bak yaitu 10 ton dan terdiri dari 16 bak. 3). Kegiatan pemeliharaan larva yang dilakukan di IPU Gelung BBAP Situbondo meliputi : a.

Persiapan bak pemeliharaan menggunakan kaporit 60% sebanyak 100 ppm dan ditreatment dengan mengunakan larutan trevlan sebanyak 0,25 ppm.

b.

Penebaran naupli sekitar 1.500.000 ekor.

c.

Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap hari mulai dari tebar naupli sampai panen.

d.

Pemberian pakan dilakukan dengan memberi Chaetoceros dan Artemia sp.

e.

Pengamatan kualitas air (suhu sekitar 30-33 0 C , pH 8,0-8,5, salinitas 33-34 ppt, alkalinitas 100-120 ppm, dan BO 70-110 ppm).

f.

Penerapan biosecurity dengan menggunakan larutan PK sebayak 1 ppm.

g.

Pencegahan penyakit dilakukan dengan tindakan pencegahan dan pengobatan.

h.

Panen dan Pengangkutan dilakukan malam hari dengan tujuan agar tidak terjadi perubahan suhu yang terlalu besar.

Dari rangkaian kegiatan tersebut telah dilakukan dengan baik, hanya sehari sebelum pemanenan tidak dilakukan penyiponan dasar bak. 4). Kultur pakan alami yang dilakukan dengan baik, yaitu kultur Chaetoceros dengan skala laboraturium, intermediet dan missal dengan menggunakan bak berukuran 10 ton serta dekapsulasi artemia yang dilakukan dengan menggunakan larutan klorin sebanyak 1000 ml dan soda api sebanyak 500 ml. 5). Tingkat kehidupan (SR) pada saat pemanenan mencapai sekitar 30 % dari padat tebar 1.500.000 ekor yaitu 450.000 ekor. 6.2. Saran 1). Sebaiknya tingkat kebersihan di IPU Gelung tersebut ditingkatkan 2.) Sebaiknya pemberian pakan harus sesuai dengan jadwal pemberian dan tepat waktu. 3). Sebaiknya sehari sebelum panen benur dilakukan penyiponan pada dasar bak agar kotoran dan sisa pakan tidak mencemari media.

DAFTAR PUSTAKA

BBAP

Situbondo.

2006.

Sarana

dan

Prasarana

Multipication

Center.

http://my.opera.com/sampahbermanfaat/blog/2009/09/13/manajemenakuakultur-payau-indah-rufiati-sy-ugm-2006 [ 13 oktober 2009] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Monitoring Kesehatan Udang. Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Jakarta Elovaara, A.K. 2001. Shrimp Farming Manual Practical Technology For Intensive Commercial Shrimp Production. Caribbean Press, LTD and British West Indies. United Statet of America Ghufron, M H. Kordi K. 2007. Pemeliharaan Udang Vannamei. Inda Surabaya. Surabaya. Haliman, R.W dan Adijaya, D.S. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta. Heryadi D dan Sutadi. 1993. Back Yard Usaha Pembenihan Udang Skala Rumah Tangga. Penebar Swadaya. Jakarta. Narbuko, C dan Achmadi, A. 2004. Metode Penelitian. Bumi Aksara.Jakarta. Nazir, M. 1988. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Timur. Subaidah, S dan Pramudjo, S. 2008. Pembenihan Udang Vanname. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo. Suparmoko, M. 1991. Metode Penelitian Praktis. BPFE. Yogyakarta.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF