Referat Fraktur Cruris-Relly Kurniawan

December 15, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Referat Fraktur Cruris-Relly Kurniawan...

Description

REFERAT FRAKTUR CRURIS

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun Oleh: Relly Kurniawan 22010116210026

Pembimbing: Dr. Kamal Adib, Sp.OT, M.Kes

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUD KABUPATEN BATANG 2017

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Relly Kurniawan

NIM

: 22010116210026

Judul Referat : Fraktur Cruris Pembimbing : Dr. Kamal Adib, M.Kes, SpOT

Batang, 25 September 2017 Mengetahui, Pembimbing

Dr. Kamal Adib, M.Kes, Sp.OT

BAB I PENDAHULUAN

Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki. Fraktur pada lokasi ini sangat sering dijumpai pada kecelakaan lalu lintas. Menurut data Depkes RI (2011), dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.1 Fraktur tibia dan fibula merupakan fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi. Rata-rata insiden dari kasus ini diperkirakan terjadi sekitar 26 fraktur diaphyseal tibia dalam 100.000 penduduk per tahun. Laki-laki lebih sering mengalami fraktur ini dibandingkan perempuan, dengan insiden laki-laki yang sekitar 41 dalam 100.000 penduduk per tahun dan insiden perempuan sekitar 12 dalam 100.000 penduduk per tahun. Usia rata-rata pasien yang mengalami fraktur shaft tibia adalah 37 tahun, dengan laki-laki yang memiliki usia rata-rata 31 tahun dan wanita 54 tahun.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai

pembuluh

darah,

otot

dan

persarafan.

Trauma

yang

menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.2. Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.2

2.2. Anatomi

Gambar Os Tibia dan Os Fibula

Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region cruris. Ini merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini terbentang ke proksimal untuk membentuk articulation genu dan ke distal terlihat semakin mengecil. Os fibula atau calf bone terletak sebelah lateral dan lebih kecil dari tibia. Extremitas proximalis fibula terletak agak posterior dari caput tibia, dibawah articulation genus dan tulang ini tidak ikut membentuk articulation genus.3 Fascia cruris merupakan tempat perleketan musculus dan bersatu dengan perosteum. Ke proximal akan melanjutkan diri ke fascia lata, dan akan melekat di sekitar articulation genus ke os patella, ligamentum patellae, tuberositas tibiae dan capitulum fibulae. Ke posterior membentuk fascis poplitea yang menutupi fossa poplitea. Disini tersusun oleh serabutserabut transversal yang ditembus oleh vena saphena parva. Fascia ini menerima serabut-serabut tendo m.biceps femoris femoris disebelah lateral dan tendo m. Sartorius, m. gracilis, m. semitendinosus, dan m. semimembranosus disebelah medial. Ke anterior, fascia ini bersatu dengan perosteum tibia serta perostenium capitulum fibulae dan malleolus fibulae. Ke distal, faascia ini melanjutkan diri ke raetinaculum mm.extensorum superior dan retinaculum mm. flexorum. Fascia ini menjadi tebal dan kuat dibagian proximal dan anterior cruris, untuk perlekatan m.tibialis anterior dan m.extensor digitorum longus. Tetapi, fascia ini tipis dibagian posterior yang menutupi m.gastrocnemeus dan m.soleus. disisi lateral cruris, fascia ini membentuk septum intermusculare anterius dan septum intermusculare posterius. Musculus di region cruris dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok anterior, (b) kelompok posterior dan (c) kelompok lateralis.3 A. Musculus di region anterior 1. M. tibialis anterior 2. M. extensor hallucis longus 3. M. extensor digitorum longus dan m.peroneus tertius B. Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis 1. M. gastrocnemius

2. M. soleus 3. M. plantaris Musculus regio cruris posterior kelompok profunda 1. M. popliteus 2. M. flexor hallucis longus 3. M. flexor digitorum longsu 4. M. tibialis posterior C. Musculus region cruris lateralis 1. M. peroneus longus 2. M. peroneus brevis Tibia berada pada batas anteromedial dan terletak pada subkutaneus. Pada daerah diafisis bagian distal menjadi lebih tipis sehingga rentan terjadi cedera twisting. Cruris terbagi menjadi 4 kompatemen yang masing – masing diselubungi oleh fascia. Kompartemen anterior terdiri dari 4 otot yaitu tibialis anterior, extensor hallucis longus, extensor digitorum longus dan peroneus tertius. Dan pada kompartemen ini terdapat arteri tibialis anterior, nervus peroneal deep. Kompartemen lateral terdiri dari 2 otot yaitu peroneus longus dan peroneus brevis disertai nervus peroneal superficial. Kompartemen posterior terdiri dari 2 yaitu kompartemen posterior deep dan kompartemen posterior superficial. Pada kompartemen posterior superficial

terdapat

otot

gastrocnemius,

plantaris

dan

soleus.

Gastrocnemius dan soleus sangat penting untuk menutup defek pada fraktur diafisis tubia proksimal. Kompartemen posterior deep sangat penting karena berhubungan dengan kompartemen anterior dan biasanya terjadi sindrom kompartemen. Terdiri dari flexor digitorum longus, flexor haliccis longus, dan tibialis posterior,

disertai

arteri

tibialis

posterior

dan

nervus

tibialis

posterior.Dikarenakan nervus tibialis posterior mensuplai motorik otot – otot cruris dan pedis maka adanya kerusakan saraf ini perlu dipikirkan antara limb salvage ataupun amputasi.

Gambar Kompartemen Cruris

2.3.Fisiologi Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran dalam pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut (Price dan Wilson, 2006). Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara lain: osteoblast, osteosit dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai matriks tulang dan jaringan osteoid melalui suatu proses yang di sebut osifikasi. Ketika

sedang

aktif

menghasilkan

jaringan

osteoid

,

osteoblas

mengsekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peran penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang, sebagian fosfatase alkali memasuki aliran darah dengan demikian maka kadar fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis kanker ke tulang. Ostesit adalah sel- sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteklas

adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat di absorbsi. Tidak seperti osteblas dan osteosit, osteklas mengikis tulang. Sel-sel ini menghsilkan enzim-enzim proteolotik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah. Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain: 1. Sebagai kerangka tubuh Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk tubuh. 2. Proteksi Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting, misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk oleh tulangtulang kostae (iga) 3. Ambulasi dan Mobilisasi Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh dan perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit yang di gerakan oleh otot- otot yang melekat pada tulang tersebut ; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh kerja otot- otot yang melekat padanya 4. Deposit Mineral Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan elemen- elemen lain. Tulang mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh 5. Hemopoesis Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk menghasilkan sel- sel darah merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu.

2.4.Etiologi Fraktur Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat: (1)

peristiwa trauma tunggal; (2) tekanan yang berulang – ulang ; atau (3) kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).4 a. Fraktur akibat Trauma Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak juga

pasti

rusak.

Pemukulan

(pukulan

sementara)

biasanya

menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.; penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan yang tidak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak ditempat frakur mungkin tidak ada.2,4 Kekuatan dapat berupa: (1) pemuntiran, yang menyebabkan fraktur spiral; (2) penekukan, yang menyebabkan fraktur melintang; (3) penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang yang disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang terpisah ; (4) kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan penekanan yang menyebabkan fraktur oblik pendek; atau (5) penarikan, dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang sampai terpisah.4

Gambar (a). Fraktur spiral, (b). Fraktur melintang, (c). Fraktur oblik, (d). Fraktur Butterfly

b. Fraktur kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat tekanan berulang – ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari , dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.2,4 c. Fraktur patologik Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit pager).2,4

D. Patofisiologi Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan

kerusakan

syaraf

perifer.

Bila

tidak

terkontrol

pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ). Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna. 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur 4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya 5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).

F. Klasifikasi Fraktur Fraktur dapat terbagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu: A. Klasifikasi etiologis. 1. Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.

Gambar Fraktur akibat Trauma 2. Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang, misalnya tumor tulang primer atau sekunder,

mieloma

multipel,

kista

tulang,

osteomielitis

dan

sebagainya.

Gambar Fraktur patologis 3. Fraktur stress (fraktur fatigue) Terjadi karena disebabkan oleh trauma ringan tetapi terus menerus, misalnya fraktur tibia pada penari balet, fraktur fibula pada pelari jarak jauh dan sebagainya.

Gambar Fraktur stress B. Klasifikasi klinis 1) Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain: a. Fraktur tertutup (closed) Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: -

Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.

-

Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

-

Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.

-

Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur) Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi

dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka menurut Gustillo Anderson, Merkow dan Templeman (1990) : -

Derajat I : Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan dari fragmen tulang yang menembus keluar kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, transversal, obliq pendek atau sedikit kominutif

-

Derajat II : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan

yang sedang dari

jaringan

dengan

sedikit

kontaminasi dari fraktur -

Derajat III : Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Derajat IIIA : Jaringan lunak cukup untuk menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental atau kominutif yang hebat Derajat IIIB : Fraktur disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, periosteal stripping (pendorongan) biasanya ada kontaminasi, kontaminasi yang hebat serta fraktur kominutif yang hebat Derajat IIIC : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak

2) Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu: a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur) Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan

yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat. b. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur) Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut Price dan Wilson (2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. 3) Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu: a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.

Gambar Fraktur Tranversal dan Oblik c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma rotasi.

Gambar Fraktur Spiral d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kearah permukaan lain.

Gambar Fraktur Kompresi e. Fraktur Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

Gambar Fraktur Avulsi 4) Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain: a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

Gambar Fraktur Komunitif

b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

Gambar Fraktur Segmental c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. 5) Menurut ekstensi: a. Fraktur total b. Fraktur tidak total (fraktur crack) c. Fraktur buckle atau torus d. Fraktur garis rambut e. Fraktur green stick

Gambar Skema Pergeseran Fraktur 6) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya: a. Tidak bergeser (undisplaced) b. Bergeser (displaced) Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara: 1. Bersampingan 2. Angulasi 3. Rotasi 4. Distraksi 5. Over-riding 6. Impaksi 7) Klasifikasi Fraktur Tibia dan Fibula menurun The Orthopaedic Trauma Association (OTA) OA

C. Klasifikasi Fraktur Terbuka Menurut Gustillo Anderson

D. Klasifikasi Fraktur Tertutup Menurut Tscherne

 Grade 0 : fraktur sederhana tanpa atau dengan disertai sedikit kerusakan jaringan lunak

 Grade 1: abrasi superficial, atau kontusio pada kulit dan jaringan subkutan

 Grade 2: kontusio signifikan (pembengkakan) pada jaringan lunak, abrasi kulit terkontaminasi

 Grade 3: cedera jaringan lunak yang berat, dapat disertai degloving, crushing, sindrom kompartemen ataupun cedera vaskular

E. Diagnosis A. Anamnesis Apabila ditemukan adanya fraktur secara spontan atau setelah suatu trauma ringan maka harus dianggap suatu fraktur patologis sebelum dapat dibuktikan lain. Pada penderita lanjut usia selalu harus ditanyakan tentang riwayat penyakit atau operasi sebelumnya, adanya penyakit tumor ganas atau setelah satu operasi gastrektomi yang akan menyebabkan malabsorbsi. Adanya penurunan berat badan, nyeri, batuk-batuk atau hematuria, menunjukkan kecurigaan akan adanya tumor ganas di tempat lain. B. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:  Syok, anemia atau perdarahan 

Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen



Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget)

Pada pemeriksaan fisik dilakukan: a) Look (Inspeksi) - Deformitas: angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi,perpendekan atau perpanjangan) - Bengkak atau kebiruan - Fungsiolaesa (hilangnya fungsi gerak) - Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound) b) Feel (palpasi) Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan: - Temperatur setempat yang meningkat - Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang - Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati - Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku - Cedera

pembuluh

darah

adalah

keadaan

darurat

yang

memerlukan pembedahan

c) Move (pergerakan) - Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif - Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya

- Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.2,4,5,6

F. Pemeriksaan Penunjang 1.

Pemeriksaan radiologis a.

Pemeriksaan foto polos 1.

Pemeriksaan pada daerah fraktur Pada daerah fraktur harus diperhatikan bentuk kelainan, apakah berbentuk kista,erosi korteks, trabekulasi pada daerah yang abnormal atau penebalan periosteal.juga diperhatikan adanya kompresi.

2.

Pemeriksaan pada daerah lain Perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada tulang yang lain apabila dicurigai adanya metasrasis atau mieloma, pemeriksaan foto paru-paru serta pemeriksaan saluran kencing.

b.

Pemeriksaan dengan pencitraan lain 1.

Pemeriksaan CT Scan

Gambar CT-Scan fraktur femur 2. Pemeriksaan MRI.

Gambar MRI fraktur femur Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui asal metastasis. 3. Radionuklida imaging 2. Pemeriksaan laboratorium a.

Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah lengkap seperti: jumlah sel darah, laju endap darah, elektroforesisprotein, uji untuk sifilis serta penyakit tulang metabolik. -

Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

-

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

-

Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

b.

Pemeriksaan urin Pemeriksaan urin misalnya pemeriksaan Bence-Jones

c. Biopsi tulang Beberapa kelainan yang sangat kecil tidak perlu dilakukan biopsi misalnya kista soliter, defek kortikal fibrosa, penyakit Paget. Pada kelainan lain mungkin perlu dilakukan biopsi baik biopsi tertutup atau biopsi terbuka dengan mengambil jaringan pada waktu operasi untukpemeriksaan patologis.

3. Pemeriksaan Khusus Lain a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.

G. Fase Penyembuhan Fraktur Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami frkatur dapat sembuh tanpa jaringan parut.Pengertian tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur merupakan dasar untuk mengobati fragmen fraktur. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur. Proses penyembuhan fraktur berbeda pada tulang kortikal pada tulang panjang serta tulang kanselosa pada metafisis tulag panjang atau tulang-tulang pendek, sehingga kedua jenis penyembuhan fraktur ini harus dibedakan.5 Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu : 1.

Fase hematom Apabila terjadi fraktur pada tulang panjag, maka pembuluh darah kecil yag melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma di atara kedua sisi fraktur, hematoma yang besar diliputi oleh periosteoum.

Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yag terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.5 Osteofit dengan lakunanya yag terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulag yag mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah fraktur.5 2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan. Penyembuha fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yag berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagaiaktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambhan jumlah sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yag sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringa seluler tidak terbentuk dari organisasi pembentukan hematoma suatu daerah fraktur. Stelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yag meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.5 3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis) Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yag berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garamgaram kalsium membentuk suatu matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur.Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone.Pada pemeriksaan radiologis kalus atau woven bone sudah terlihat dan

merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.5 4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik) Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan direabsorbsi secara bertahap.5 5.

Fase remodeling Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi reabsorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggan untuk membentuk ruang sumsum.5

Gambar Proses Penyembuhan Tulang H. Penatalaksanaan Fraktur

Prinsip penanganan fraktur secara umum meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. 1) Rekognasi Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah. Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya (Smeltzer C dan B. G Bare, 2001). 2) Traksi Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu: i. Skin Traksi Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam). ii. Skeletal traksi Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.

3) Reduksi Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu: i. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Indikasi pemasangan ORIF Absolut 1. Tidak dapat direposisi kecuali melalui operasi 2. Fraktur tidak stabil dan cenderung displaced setelah reposisi 3. Fraktur yang memiliki waktu penyatuan yang lama dan sulit menyatu 4. Fraktur yang berlawanan dengan posisi dengan gerak otot Relatif 1. Fraktur multiple dimana fiksasi segera dapat menurunkan resiko komplikasi umum dan multi organ failure 2. Fraktur pada penderita dengan asuhan keperawatan sulit

ii. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.

Gambar Pemasangan OREF pada Tibia dan Fibula Indikasi pemasangan OREF 1. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang berat sehingga luka harus dirawat terbuka 2. Fraktur disertai infeksi 3. Fraktur pada area persendian 4. Fraktur multiple berat 5. Fraktur yang tidak menyatu

4) Imobilisasi Fraktur Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

I. Penatalaksanaan Fraktur Cruris Terdapat 4 prinsip penanganan fraktur diafisis tibia. Non operative terdiri dari longleg casts maupun patellar tendon-bearing casts. 3 metode operative lainnya meliputi plating, intramedullary nailing, dan fiksasi eksternal.

1. Casting Indikasi dilakukan casting jika fraktur tibia dengan comminutif minimal yang stabil dan acceptable. Kriteria relative stabilitas adalah displacement kurang dari 50% lebar tibia dan shortening kurang dari 1 cm. Pada foto x-ray angulasi varus dan valgus kurang dari 5⁰ dan angulasi anterior dan posterior kurang dari 10⁰.

2. Patellar-Tendon-Bearing Casts (PTBC) Sarmineto memperkenalkan casting patellar-tendon-bearing dimana casting long – leg cast digunakan hingga bengkak menghilang. Atau adanya long leg cast dapat diiganti dengan PTBC setelah 3- 4 minggu dan harus dilakukan pemeriksaan x-ray ulang untuk memastikan dalam aligment yang baik. Namun jika dibandingkan dengan penggunaan intramedullary nail menunjukkan lebih sedikit komplikasi non union dan malunion. Dan pada terapi casting, 27% pasien menunjukkan malaligment varus dan valgus yang signifikan, 46% terjadi shortening. Dan 54% pasien yang mendapat terapi casting bersifat tidak stabil dan memerlukan tambahan screw ataupun wiring.

3. Operatif Indikasi operasi dibagi menjadi indikasi absolute dan relative Indikasi absolute:

-

Fraktur terbuka

-

Fraktur dengan cedera vascular

-

Fraktur dengan sindrom kompartemen

-

Pasien dengan cedera multiple untuk meningkatkan mobilisasi, mengurangi nyeri dan mengurangi pelepasan mediator – mediator sehingga menurunkan resiko sindrom distress pernafasan. Indikasi relative:

-

Adanya shortening yang signifikan pada foto x-ray

-

Cominutif yang signifikan

-

Fraktur tibia dengan fibula yang intak

4. Intramedullary Nailing Closed intramedullar nailing digunakan untuk Open fraktur tibia tipe I, II, III A dan fraktur tertutup tibia terutama fraktur tibia segmental dan bilateral. Intramedullary nailing menjaga jaringan lunak sekitar tempat fraktur dan memberikan keuntungan mobilisasi lebih awal. Locking nails pada daerah proksimal dan distal memberikan control panjang, aligment dan rotasi pada fraktur tidak stabil dan memberikan stabilisasi pada fraktur tibia yang terletak 3-4 cm diatas sendi ankle. Nailing tidak direkomendasikan untuk pasien dengan fisis terbuka, deformitas anatomis, luka bakar ataupun luka terbuka, serta fraktur terbuka tipe III C.

Gambar Intramedullary nailing pada fraktur tibia Komplikasi tersering pada terapi intramedullary nailing tibia adalah nyeri pada knee anterior. Penyebab nyeri ini masih belum jelas, namun disebutkan beberapa factor yang mempengaruhi seperti usia muda, pasien aktif, adanya nail prominence diatas cortex tibia proksimal, robekan meniscus, cedera intraarticular, peningkatan tekanan pada artikulasi patellofemoral, cedera nervus infrapatellar, dan pembentukkan scar akibat pembedahan. Selain itu, dapat timbul komplikasi berupa gangguan neurologi, cedera vascular, meningkatnya kerusakan tulang.

5. Fikasi Plate dan Screw Fiksasi dengan plating diindikasikan untuk frkatur tibia prokssimal dan distal yang displaced dan tidak stabil baik dengan atau tanpa

keterlibatan

intrartikular.

Reduksi

terbuka

dan

plating

memberikan hasil fiksasi stabil, mobilisasi awal sendi knee dan ankle dan memelihara panjang serta alignment. Kerugian pemasangan plate adalah membuka jaringan lunak dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi.

6. Fiksasi External Tiga tipe fixators terdiri dari half-pin fixators, wire dan ring fixators dan hybrid fixators. Fikasi eksterna memberikan fiksasi stabil, menjaga vaskularitas tulang dan menjaga jaringan lunak, sedikit perdarahan. Komplikasi tersering fiksasi eksterna adalah infeksi pin site, malunion, joint stiffness, delayed union. Fiksasi eksterna digunakan pada fraktur terbuka berat (tipe IIIB dan tipe C).

J. Komplikasi Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price

(2005) antara lain: 1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis. i. Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra. ii. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah. iii. Sindroma Kompartement Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk) iv. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. v. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit

(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat vi. Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001). 2) Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non union. i. Malunion Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. ii. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. iii. Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 69 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan Wilson, 2006).

K. Prognosis

Prognosis fraktur cruris dikatakan baik, jika : (1) frakturnya ringan, (2) bentuk perpatahan simple, (3) tidak ada infeksi, (4) pada daerah fraktur mempunyai peredaran darah yang lancar, (5) kondisi umum penderita baik, (6) usia penderita muda (Garrison, 1996), tetapi jika ada tanda yang berkebalikan dari yang di atas maka prognosisnya jelek. Pada pemberian terapi latihan secara tepat dan adekuat akan memberikan prognosis baik dimana (1) quo ad vitam yaitu yang berhubungan dengan hidup matinya pasien karena pasien telah menjalankan operasi di mana telah dilakukan reposisi pada fraktur tersebut, (2) quo ad sanam yaitu menyangkut segi penyembuhan di prediksi baik, (3) quo ad fungsionam yaitu menyangkut fungsionalnya yang berhubungan dengan aktifitas keseharian dari pasien adalah baik, (4) quo ad cosmetikam disebut juga remodeling sehingga dapat berbentuk seperti semula (Prasetyo Hudoyo, 2002). Selain itu dibutuhkan waktu yang relatif lama dan latihan yang intensif untuk mengembalikan fungsi secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Depkes RI. 2. Louis S, Warwick D, Nayagam S. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. United States: CRC Press. 3. Snell, Richard S. 2012. Anatomi Klinik Edisi 9. Jakarta : EGC.

4. Rasjad, Chairuddin. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : Yarsif Watampone.

5. Sjamsuhidajat, R, Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF