Referat Drowning

December 3, 2018 | Author: Jesse Griffin | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

drowning...

Description

R eferat Drowning

Oleh: Intan Apriliana, S.Ked

04054821618004 04054821618004

Rolando Agustian Halim, S.Ked

04054821618010 04054821618010

Merta Aulia, S.Ked

04054821618013 04054821618013

Albert Leonard Kosasih, S.Ked

04054821618102 04054821618102

Muhammad Alex Januarsyah, S.Ked

04054821719111 04054821719111

Tri Legina Oktari, S.Ked

04054821719113 04054821719113

M. Arvin Arliando, S.Ked

04054821719130 04054821719130

Margaretha Margaretha Carolina, S.Ked

04054821719160 04054821719160

Pembimbing: dr. Baringin Sitanggang, Sp.F

DEPARTEMEN DEPARTEMEN FORENSIK RSUP DR MOH HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2017 2

HALAMAN PENGESAHAN

 Referat

Drowning

Oleh: Intan Apriliana, S.Ked

04054821618004 04054821618004

Rolando Agustian Halim, S.Ked

04054821618010 04054821618010

Merta Aulia, S.Ked

04054821618013 0405482161801 3

Albert Leonard Kosasih, S.Ked

04054821618102 04054821618102

Muhammad Alex Januarsyah, S.Ked

04054821719111 04054821719111

Tri Legina Oktari, S.Ked

04054821719113 04054821719113

M. Arvin Arliando, S.Ked

04054821719130 04054821719130

Margaretha Margaretha Carolina, S.Ked

04054821719160 04054821719160

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 28 Agustus 2017 s/d 2 Oktober 2017.

Palembang,

September 2017

dr. Baringin Sitanggang

3

KATA PENGANTAR 

Pertama-tama, kami mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan dan waktu yang telah diberikan sehingga referat yang berjudul “ Mati Tenggelam” ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Baringin Sitanggang selaku pembimbing kami yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing. Sebagai penulis, kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam  penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk memperbaikinya. Di samping itu, diperlukan juga berbagai referensi lain untuk mengembangkan laporan kasus ini. Akhir kata, kami sangat berharap bahwa laporan kasus ini akan memberikan manfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palembang,

September 2017

Penulis

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iv BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 2 2.1. Tanatologi ............................................................................................................... 2 2.1.1. Definisi ........................................................................................................ 2 2.1.2. Tanda – Tanda Kematian ............................................................................ 5 2.2. Mati Tenggelam .................................................................................................... 13 2.2.1. Definisi ...................................................................................................... 13 2.2.2. Epidemiologi ............................................................................................. 13 2.2.3. Klasifikasi ................................................................................................. 14 2.2.4. Mekanisme ................................................................................................ 15 2.2.5. Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam ........................................................ 17 BAB III. KESIMPULAN......................................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

5

BAB I PENDAHULUAN

Drowning atau tenggelam didefinisikan sebagai suatu sufokasi akibat masuknya cairan ke dalam saluran nafas atau paru-paru. Dalam kasus tenggelam, terendamnya seluruh tubuh dalam cairan tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah adanya cukup cairan yang menutupi lubang hidung dan mulut. Di dunia, setiap tahun dilaporkan sekitar 372.000 kasus kematian akibat tenggelam. Tenggelam menempati urutan ke‐3 penyebab kematian di dunia akibat cedera yang tidak disengaja dan merupakan 7% dari seluruh kasus kematian akibat cedera. Sekitar 91% kasus mati tenggelam terjadi di negara miskin dan berkembang. Lebih dari separuh kasus mati tenggelam terjadi di negara  –   negara Kepulauan Pasifik dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ada 4 cara kematian pada kasus tenggelam (drowning), yaitu kecelakaan ,  pembunuhan, bunuh diri, dan undeterminated. Mekanisme kematian pada kasus tenggelam terdiri dari asfiksia, spasme laring, reflex vagal, fibrilasi ventrikel dan edema paru (tenggelam  pada air asin). Diperlukan pemeriksaan postmortem, baik pemeriksaan luar maupun  pemeriksaan dalam untuk mengetahui penyebab kematian pada kasus mati tenggelam. Sebagai dokter umum, kompetensi yang harus dicapai dalam pemeriksaan korban mati tenggelam berdasarkan SKDI 2013 adalah mampu melakukan secara mandiri dan tuntas. Hal ini menunjukkan dokter harus mampu mengenali gambaran klinis yang khas dari kasus mati tenggelam serta mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam  proses penegakkan diagnosis. Karena mempertimbangkan kepentingan-kepentingan di atas,  penulis memutuskan untuk mengangkat kasus mati tenggelam sebagai sebuah karya tulis.

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanatologi 2.1.1. Definisi

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian serta faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Dalam arti luas, tanatolgi kadang-kadang  juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari problem-problem medis dan psikologis yang

berhubungan

dengan

persoalan

kematian

penderita

dan

keluarga

yang

ditinggalkan.1,2 Mati pada awalnya didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi, ada alat yang  bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi berhentinya ketiga sistem yaitu kardiovaskular, respirasi, dan sistem saraf pusat.1,2 Beberapa istilah yang berkaitan dengan mati antara lain1,2 : 

Mati somatis/mati klinis Diartikan sebagai matinya 3 sistem (kardiovaskular, respirasi, dan sistem saraf  pusat) secara ireversibel/menetap, tetapi beberapa organ & jaringan masih bisa  berfungsi sementara. Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidak terdengar pada auskultasi. Aktivitas otak dinyatakan berhenti bila EEG mendatar selama 5 menit.



Mati seluler/molekuler Kematian organ jaringan, sesaat setelah kematian somatis. Susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit; otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan mengalami mati seluler setelah 4 jam; dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfat atropin 1% ke dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau fisostigmin 0,5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pasca mati. Kulit 7

masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%; spermatozoa masih  bertahan

hidup

beberapa

hari

dalam

epididimis;

kornea

masih

dapat

ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam  pasca mati. 

Mati suri Dalam stadium  somatic death perlu diketahui suatu keadaan yang dikenal dengan istilah mati suri atau apparent death. Mati suri ini terjadi karena proses vital dalam tubuh menurun sampai taraf minimum untuk kehidupan, sehingga secara klinis sama dengan orang mati. Dalam literatur lain mati suri adalah terhentinya ketiga sistem kehidupan yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan  peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur (barbiturat), tersengat aliran listrik, kedinginan, mengalami anestesi yang dalam, mengalami acute heart failure, mengalami neonatal anoxia, menderita catalepsy dan tenggelam.



Mati serebral Kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya, yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.



Mati otak/batang otak Kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan. Penentuan mati seperti dicetuskan  Declaration of Sydney  pada tahun 1968 harus

 berdasarkan atas pemeriksaan klinis, dan bila perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratoris. Apabila hendak dilakukan transplantasi jaringan, penentuan bahwa seseorang telah meninggal harus dilakukan oleh 2 orang dokter atau lebih, dan dokter ini bukanlah dokter yang akan mengerjakan transplantasi nanti.

8

Kriteria medikolegal untuk menentukan brain death (mati serebral) 1,2 : 1)

dilatasi bilateral dan fixasi pupil,

2)

absennya semua reflex

3)

 berhentinya respirasi pernapasan tanpa bantuan

4)

 berhentinya aktivitas kardiak

5)

 jejak gelombang otak datar. Kelima kriteria itu semuanya harus ada sebelum seseorang dinyatakan mati dan

dihentikan bantuan mesin pembantu kehidupannya. Estimasi waktu mati dilakukan oleh dokter berdasarkan fenomena biokimia dan biologis, sedangkan waktu mati legal juga dinyatakan oleh dokter, tetapi berdasarkan saat mayat ditemukan. 1,2 Urutan yang terjadi pada proses kematian mulai dari hilangnya kesadaran sampai kematian serebral1,2 : 1)

Hilangnya kesadaran: hilangnya mentasi (disorientasi, dan bingung), hilangnya kesadaran, hilangnya sirkulasi karena jantung berhenti dan pernapasan normal melambat;

2)

Apnea terminal: berhentinya ritme pernapasan normal

3)

Fase agonal: perioda waktu sesudah onset absennya denyut nadi (absennya sirkulasi), dan sesudah apnea terminal, terjadi hembusan napas terakhir dan mendeguk, berderik (gurgling. rattled).

4)

Mati klinis; Koma, apnea, tidak ada hembusan napas, tidak ada denyut nadi tetapi kegagalan otak masih reversible dan bantuan segera dengan CPR dengan restorasi sirkulasi serta aliran udara harus ada untuk mencegah kecepatan matinya sel sel otak. Ini merupakan transisi antara mati dan hidup. Bila bantuan CPR gagal dan mati cerebral terjadi maka kematian sudah final, dan ireversibel

5)

Fase vegetative, bila sirkulasi diperlambat lebih jauh daripada mati klinis, koma akan berlanjut dengan EEG (Electro Encephalograph) abnormal. Ini terjadi bila ada intervensi untuk mencegah proses lebih lanjut kerusakan otak

6)

Kematian serebral; bila sirkulasi ke otak memburuk hasilnya adalah koma yang dalam, apnea tanpa respirasi dan tidak ada aktivitas otak (otak mati) dan ireversibel.

9

Cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem respirasi1,2 : 1.

Tidak ada gerak napas pada inspeksi dan palpasi.

2.

Tidak ada bising napas pada auskultasi.

3.

Tidak ada gerakan air dalam gelas yang ditaruh diatas perut pada tes Winslow.

4.

Tidak ada uap pada cermin yang diletakkan di depan lubang hidung atau mulut.

5.

Tidak ada gerakan bulu burung yang diletakkan di depan lubang hidung atau mulut. Cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf 1,2 :

1.

Areflex

2.

Relaksasi

3.

Pergerakan tidak ada

4.

Tonus tidak ada

5.

Elektoensefalografi (EEG) mendatar/flat selama 5 menit

Ada 6 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler 1,2 : 1.

Denyut nadi berhenti pada palpasi.

2.

Detak jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi.

3.

Elektro Kardiografi (EKG) mendatar/flat.

4.

Tes magnus : tidak adanya tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari tangan korban kita ikat.

5.

Tes Icard : daerah sekitar tempat penyuntikan larutan Icard subkutan tidak  berwarna kuning kehijauan.

6.

Tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis.

2.1.2. Tanda –   Tanda Kematian

Tanda-tanda kematian dapat dibedakan menjadi tanda tak pasti dan tanda pasti. Adapun yang termasuk tanda tak pasti adalah sebagai berikut 1,2 : •

Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit



Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba



Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan



Tonus otot menghilang dan relaksasi, Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat kematian disebut relaksasi primer. Hal ini 10

mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang. •

Pembuluh darah retina mengalami segmentasi bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap



Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air

Tanda kematian pasti meliputi1,2 : •

Lebam mayat (livor mortis) Lebam mayat (livor mortis, post mortum lividity, post mortum suggilation, post mortum hypostasis) : terjadi karena pengendapan butir-butir ertirosit karena adanya gaya gravitasi sesuai dengan tubuh, berwarna biru ungu tetapi masih dalam  pembuluh darah. Timbul 20-30 menit dan setelah 6-8 jam lebam mayat masih bisa ditekan dan masih bisa berpindah tempat. Suhu tubuh yang tinggi dapat mempercepat timbulnya lebam mayat.  Namun setelah 8-12 jam, lebam mayat sudah tidak dapat hilang. Tidak hilangnya lebam mayat pada saat itu, dikarenakan telah terjadinya perembesan darah kedalam  jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel  –   sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Terbentuknya lebam mayat terjadi karena kegagalan sirkulasi, dan aliran balik vena gagal mempertahankan darah mengalir melalui saluran pembuluh darah kapiler akibatnya butir sel darahnya saling tumpuk memenuhi saluran tersebut dan sukar dialirkan di tempat lain. Gaya gravitasi menyebabkan darah yang terhenti tersebut mengalir ke area terendah. Bentuk dari lebam mayat tergantung posisi tubuh setelah mati. Sering posisi mayat terlentang dengan bahu, pantat dan punggung menekan permukaan tanah. Hal ini menyebabkan tekanan pada aliran darah di area-area tersebut, sehingga lebam tidak timbul pada daerah tersebut dan kulit tetap berwarna sama. Bila tubuh dalam posisi vertikal setelah mati, dalam kasus penganiayaan, lebam mayat terbanyak di kaki, tungkai kaki, ujung jari tangan dan lengan bawah. Sebagai tambahan, bagian pucat terjadi di daerah penunjang atau daerah tertekan lainnya sehingga meniadakan adanya lebam mayat dan membentuk pola. Sebagai contoh, daerah pucat yang tidak rata yang pada penekanan daerah tubuh mayat oleh 11

tepi seprei, tekanan oleh ikat pinggang yang ketat, bahkan kaos kaki. Pada korban yang terkena arus listrik, yang mengambil tempat di air (biasanya bak mandi) lebam mayat terbatas dalam bentuk horizontal menurut batas air. Lebam mayat sering berwarna merah padam, tetapi bervariasi, tergantung oksigenasi sewaktu korban meninggal. Bila terjadi bendungan, hipoksia, mayat memiliki warna lebam yang lebih gelap karena adanya hemoglobin tereduksi dalam pembuluh darah kulit. Lebam mayat merupakan indikator kurang akurat dalam menentukan mekanisme kematian, dimana tidak ada hubungan antara tingkat kegelapan lebam mayat dengan kematian yang disebabkan asfiksia. Sering kematian sebab wajar oleh karena gangguan koroner atau penyakit lain memiliki lebam yang lebih gelap. Terkadang area lebam mayat berwarna terang dan dilanjutkan dengan area lebam mayat berwarna lebih gelap. Hal ini akan berubah seiring memanjangnya interval post mortem. Sering kali warna lebam mayat merah terang atau merah muda. Kematian yang disebabkan hipotermi atau terpapar udara dingin selama beberapa waktu, seperti tenggelam, dimana warna lebam mayat dapat menentukan penyebab kematian, tetapi relatif tidak spesifik oleh karena mayat yang terpapar udara dingin setelah mati (terutama bila mayat yang di dalam lemari es mayat) dapat terjadi perubahan lebam dari merah padam menjadi merah muda. Mekanismenya belum pasti, tetapi sangatlah jelas merupakan hasil dari perubahan hemoglobin tereduksi menjadi oksihemoglobin. Hal ini dapat dimengerti pada kasus hipotermi, dimana metabolisme reduksi dari jaringan gagal mengambil oksigen dari sirkulasi darah. Diketahui bahwa lebam mayat yang merah padam berubah menjadi merah muda  pada batas horizontal anggota tubuh bagian atas, warna lebam pada anggota tubuh  bagian bawah tetap gelap, sehingga perubahan secara kuantitatif lebam dapat ditentukan, dimana hemoglobin lebih mudah mengalami reoksigenasi karena eritrosit kurang mengendap pada bagian lebam. Perubahan lainnya pada warna lebam lebih berguna. Yang paling sering adalah merah terang (cherry-pink ) oleh karena karboksihemoglobin (CO-Hb) terletak pada seluruh jaringan. Warna ini khas dan sering merupakan indikasi pertama adanya keracunan karbonmonoksida (CO). Keracunan sianida (CN) memiliki ciri khas tertentu, yaitu warna lebam mayat merah kebiruan yang disebabkan terjadi  bendungan dan sianosis. Lebam mayat yang berwarna merah kecoklatan pada 12

methemoglobinemia dan dapat memiliki warna yang bervariasi pada keracunan aniline dan klor. Kematian yang disebabkan sepsis dimana Clostridium perfringens sebagai agen infeksi, bercak berwarna pucat keabuan dapat terkadang terlihat pada kulit. Pemeriksaan laboratorium sederhana yaitu test resistensi alkali dapat juga dilakukan, yaitu dengan menetesi contoh darah yang telah diencerkan dengan  NaOH/KOH 10%. Pada CO, warna tetap beberapa saat oleh karena resistensi, sedangkan pada CN, warna segera menjadi coklat oleh karena terbentuknya hematina alkali. Pada anemi berat, lebam mayat yang terjadi sedikit, warna lebih muda dan terjadi biasanya lebih lambat. Pada polisitemia sebaliknya lebam mayat lebih cepat terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan lebam mayat adalah: viskositas darah, termasuk berbagai penyakit yang mempengaruhinya, kadar Hb, dan perdarahan (hipovolemia). Warna lebam mayat: - Normal

: Merah kebiruan

- Keracunan CO

: Cherry red

- Keracunan CN

: Bright red

- Keracunan nitrobenzena : Chocolate brown - Asfiksia



: Dark red

Kaku mayat (rigor mortis)  Rigor mortis  berasal dari bahasa latin Rigor berarti “stiff” atau kaku, dan mortis yang berarti tanda kematian ( sign of death). Setelah kematian, otot-otot tubuh akan melalui 3 fase. Pertama, terjadi inisial flaksid atau flaksid primer segera setelah kematian somatik, yaitu relaksasi tubuh dan mata tapi masih dapat berespon terhadap rangsangan kimia dan listrik. Fase kedua, yaitu onset rigiditas otot yang disebut kaku mayat, tidak ada lagi respon terhadap rangsang kimia dan listrik. Terakhir, fase flaksid sekunder, ketika kaku mayat hilang dan mulai terjadi pembusukan. Terbentuknya kaku mayat karena kombinasi aktin dan miosin otot akibat kurangnya ekstensibilitas otot.  Livor mortis terjadi karena adanya kelenturan otot setelah mati karena adanya metabolisme tingkat selular masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen. Selama masih ada energi, aktin miosin masih regang. Menurut Szent-Gyorgyi di dalam pembentukan rigor mortis peranan ATP sangat penting. Rigor mortis terjadi akibat hilangnya ATP. ATP digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin 13

sehingga terjadi relaksasi otot. Namun karena pada saat kematian proses metabolisme tidak terjadi sehingga tidak ada produksi ATP. Karena kekurangan ATP sehingga kepala miosin tidak dapat dilepaskan dari filamen aktin, dan sarkomer tidak dapat berelaksasi. Karena hal ini terjadi pada semua otot tubuh maka terjadilah kekakuan dan tidak dapat digerakkan. Kekakuan yang menyerupai kaku mayat : 1. Cadaveric spasm (instantaneous rigor) Timbul akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat  pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Terlihat pada kasus : bunuh diri dengan pistol atau senjata tajam, mati tenggelam, mati mendaki gunung, pembunuhan dimana korban menggenggam pakaian pembunuh. 2.  Heat stiffening : Kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Pada saat autopsi, otot mungkin akan terasa layu dan kering. Pada permukaan otot mungkin akan tampak daerah yang terkarbonisasi, kemudian di bawahnya akan tampak daerah “brownish pink ” yaitu gambaran seperti daging merah yang dimasak, dan di  bawahnya lagi apabila panas lingkungan belum dapat mempengaruhi daerah tersebut, maka akan tampak otot yang berwarna merah normal. Serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju ( pugilistic attitude) pada kasus mati terbakar. Hal ini dikarenakan massa dari otot-otot fleksor bersatu dengan otot-otot ekstensor yang mana anggota gerak menjadi fleksi dan tulang belakang menjadi terlihat seperti posisi opistotonus. Perubahan ini jelas merupakan tanda post-mortem dan tidak ada hubungannya dengan dibakar saat masih hidup, sebagaimana distorsi pada saat kremasi. 3. Cold stiffening Terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot. Pada temperature yang ekstrim, otot dapat membentuk suatu kekakuan yang palsu. Pada suhu yang terlalu dingin hingga di bawah 0º celcius, panas tubuh telah hilang, otot dapat menjadi lebih kaku karena cairan dalam tubuh menjadi membeku sebagaimana daging yang disimpan didalam lemari pendingin. Bila terjadi keadaan seperti ini, kemungkinan besar suhu lingkungan saat mayat meninggal adalah sekitar di 14

 bawah -5º celcius. Kekauan ini juga dapat disebabkan oleh adanya pembekuan  pada lemak subkutan. Ketika tubuh mayat di panaskan/dihangatkan, rigor mortis yang sebenarnya mungkin akan muncul.



Penurunan suhu tubuh (algor mortis) Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari tubuh ke lingkungan disertai tidak adanya proses produksi panas pada mayat. Kecepatan  penurunan suhu tubuh dipengaruhi suhu keliling, aliran dan kelembaban udara,  bentuk tubuh, posisi tubuh, dan pakaian. Suhu tubuh akan lebih cepat turun pada suhu lingkungan yang rendah, berangin, mayat kurus, terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, orang tua dan anak-anak.



Pembusukan (decomposition, putrefaction) Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi atau  putrefection. Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama protein akibat autolisis dan kerja  bakteri pembusuk terutama clostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas pembusukan berupa H 2S, HCN, dan asam amino. H 2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya mikroorganisme dan enzim  proteolitik. Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan baru tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau  busuk. Ada 17 tanda pembusukan, yaitu: 1. Wajah membengkak. 2. Bibir membengkak. 3. Mata menonjol. 4. Lidah terjulur. 5. Lubang hidung keluar darah. 6. Lubang mulut keluar darah. 7. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), i si lambung, dan partus (gravid). 8. Badan gembung 15

9. Bulla atau kulit ari terkelupas. 10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan. 11. Pembuluh darah bawah kulit melebar. 12. Dinding perut pecah. 13. Skrotum atau vulva membengkak. 14. Kuku terlepas. 15. Rambut terlepas. 16. Organ dalam membusuk. 17. Larva lalat. Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme. Autolisis adalah  perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses aut0lisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim. Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien, lambung, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ yang lambat membusuk antara lain  paru-paru, jantung, ginjal dan diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar prostat dan uterus non gravid. Larva lalat dapat kita temukan  pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita  perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam la rva lalat Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena ialah nukleoprotein yang terdapat  pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair. Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh  pengaruh suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat. Pembusukan dalam air lebih lambat prosesnya dibandingkan pembusukan pada udara terbuka. Setelah mayat dikeluarkan dari dalam air, maka proses pembusukan akan berlangsung sangat cepat, lebih kurang 16 kali lebih cepat dibandingkan 16

 biasanya. Karena itu pemeriksaan post-mortem harus segera dilaksanakan pada kasus mati tenggelam. Kecepatan pembusukan juga bergantung kepada jenis airnya; pada air yang kotor tidak mengalir dan dalam, pembusukan lebih cepat. Pada mayat yang tenggelam, waktu yang dibutuhkan untuk muncul dan mulai mengapung adalah 24 jam. Kecepatan pengapungan mayat tergantung dari : -

Usia. Mayat anak-anak dan orangtua lebih lambat terapung.

-

Bentuk tubuh. Orang yang gemuk, mayatnya cepat terapung. Mayat yang kurus lebih lambat terapung.

-

Keadaan air. Pada air yang jernih, pengapungan mayat lebih lambat terjadi dibandingkan dnegan pada air kotor.

-

Cuaca. Pada musim panas, pengapungan mayat 3 kali lebih cepat dibandingkan pada musim dingin.



Adiposera atau lilin mayat Terjadi karena hidrogenisasi asam lemak tidak jenuh (asam palmitat, asam stearat, asam oleat) dihidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh yang relatif padat . Syarat terjadinya adiposera :



1.

Suhu rendah, kelembaban tinggi

2.

Lemak cukup

3.

Aliran udara rendah

4.

Waktu yang lama

Mumifikasi Terjadi bila temperatur naik, kelembaban turun sehingga terjadi dehidrasi viceral dan kuman-kuman tidak berkembang. Mayat mengecil, kulit berwarna coklat kehitaman seperti kertas perkamen, struktur anatomi masih lengkap sampai  bertahun-tahun. Proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang terjadi harus cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan Syarat terjadinya mummifikasi : 1.

Suhu relatif tinggi

2.

Kelembaban udara rendah

3.

Aliran udara baik

4.

Waktu yang lama (12-14 minggu) 17

2.2. Mati Tenggelam 2.2.1. Definisi

Drowning atau tenggelam didefinisikan sebagai suatu sufokasi akibat masuknya cairan ke dalam saluran nafas atau paru-paru. Dalam kasus tenggelam, terendamnya seluruh tubuh dalam cairan tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah adanya cukup cairan yang menutupi lubang hidung dan mulut sehingga kasus tenggelam tidak hanya terbatas pada perairan yang dalam seperti laut, sungai, danau, atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam dalam kubangan atau selokan di mana hanya bagian muka yang  berada dibawah permukaan air.3,4,5 Pengertian terbaru yang diadopsi World Health Organization (WHO) tahun 2002 menyatakan bahwa tenggelam merupakan suatu proses kejadian gangguan pernapasan akibat perendaman ( submersion) atau pencelupan (immersion) dalam cairan. Proses kejadian tenggelam diawali dengan gangguan pernapasan

baik karena jalan nafas

seseorang berada di bawah permukaan cairan ( submersion) ataupun air hanya menutupi  bagian wajahnya saja (immersion).3,4,5

2.2.2. Epidemiologi

Di dunia, setiap tahun dilaporkan sekitar 372.000 kasus kematian akibat tenggelam. Tenggelam menempati urutan ke ‐3 penyebab kematian di dunia akibat cedera yang tidak disengaja dan merupakan 7% dari seluruh kasus kematian akibat cedera. Sekitar 91% kasus mati tenggelam terjadi di negara miskin dan berkembang. Lebih dari separuh kasus mati tenggelam terjadi di negara  –   negara Kepulauan Pasifik dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.6 Secara global, korban mati tenggelam paling sering berasal dari kelompok anakanak 1 – 4 tahun, diikuti kelompok 5-9 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa  penyebab kematian yang paling sering pada kelompok usia 5-14 tahun di negara-negara Kepulauan Pasifik adalah tenggelam. Hal ini terjadi karena anak-anak pada kelompok usia tersebut belum memilik kemampuan berenang dan sering lolos dari pengawasan orang tua.6 Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki merupakan kelompok yang lebih beresiko untuk tenggelam dibanding perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki lebih terpapar terhadap air seperti berenang, naik kapal, berenang dan memancing. Mereka yang lebih terpapar dengan air lebih beresiko untuk tenggelam. Kelompok ini meliputi mereka yang

18

 bekerja sebagai nelayan, memiliki hobi memancing dari atas perahu, mereka yang harus  berpergian menggunakan transportasi air, atau ada bencana banjir.6 Beberapa faktor resiko meminum yang dapat meningkatkan resiko tenggelam adalah terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh alkohol, cacat atau obat-obatan, kondisi air yang melebihi kemampuan perenang (arus deras, dalam, berobak besar,  pusaran air), dan faktor lingkungan yang ekstrim (air sangat dingin, berbatu besar sehingga memungkinkan cedera). 6

2.2.3. Klasifikasi

Tenggelam dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, meliputi 3,4 : a.

wet drowning Kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air yang terinhalasi. Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, yaitu akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru pada kasus tenggelam di air asin.

 b.

dry drowning Suatu kematian tenggelam dimana air yang terinhalasi tidak ada atau sangat sedikit. Penyebab kematian pada kasus ini sendiri dikarenakan terjadinya spasme laring yang menimbulkan asfiksia dan terjadinya refleks vagal, cardiac arrest , atau kolaps sirkulasi.

c.

 secondary drowning Suatu keadaan dimana terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.

d.

the immersion syndrome (cold water drowning) Suatu keadaan dimana korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Pada umumnya alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus pada kejadian ini.

Berdasarkan lokasi atau tempat terjadinya, tenggelam terdiri atas3,4: a.

tenggelam dalam air tawar Pada keadaan ini terjadi absorbsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit dalam air tawar lebih rendah dari pada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah merah (hemolisis). 19

Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepas ion kalium dari serabut otot jantung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma meningkat, sehingga terjadi gangguan keseimbangan ion K +  dan Ca++ dalam serabut otot jantung. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian menyebabkan terjadinya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu ± 5 menit.  b.

tenggelam dalam air asin (hipertonik) Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi dari pada dalam darah, sehingga air akan ditarik dari sirkulasi pumonal ke dalam interstisial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.

2.2.4. Mekanisme

Mekanisme kematian pada kasus tenggelam terdiri dari 3,4 : a.

Asfiksia

 b.

Spasme laring

c.

Reflex vagal

d.

Fibrilasi ventrikel

e.

Edema paru (tenggelam pada air asin) Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia, mekanisme

kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena inhibisi vagal, dan spasme larynx. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam, akan memberi warna pada pemeriksaan mayat dan pemeriksaan laboratorium, dengan kata lain kelainan yang didapatkan pada kasus tenggelam tergantung dari mekanisme kematiannya.4 Terendam dalam medium cair mengakibatkan kematian dengan berbagai mekanisme. Kebanyakan kematian individual terjadi akibat dari terhirupnya cairan ( wet drowning ), menghasilkan gangguan pernapasan dan selanjutnya hipoksia serebri. Sebagian lagi tidak menghirup cairan (dry drowning ). Kemungkinan lain, kematian dapat tertunda setelah episode near drowning . Kematian biasanya terjadi akibat ensefalopati hipoksia atau perubahan-perubahan sekunder dalam paru-paru. Pada beberapa kasus,

20

khususnya dimana keadaan terapung dipertahankan secara buatan, kematian terjadi akibat hipotermia.4 Seorang perenang yang mahir sekalipun dapat menjadi lemah secara bertahap sebagai hasil dari hipotermia dan tenggelam. Air menyerap panas lebih cepat daripada udara. Terdapat tiga fase klinis dari hipotermia yang dimulai dengan fase eksitatorik dimana menggigil berhubungan dengan kebingungan mental, fase adinamik dimana terdapat kekakuan otot dan sedikit penurunan kesadaran, dan fase paralitik yang dicirikan oleh keadaan tidak sadar yang menuntun kepada aritmia jantung dan kematian. Fase-fase ini memiliki hubungan penting terhadap resusitasi pada korban near drowning , sebagian  besar karena fase paralitik dapat menirukan keadaan mati.4 Pada orang tenggelam, tubuh korban dapat beberapa kali berubah posisi, umumnya korban akan tiga kali tenggelam, ini dapat dijelaskan sebagai berikut 4 : •

Pada waktu pertama kali orang ”terjun” ke air oleh karena gravitasi ia akan terbenam untuk pertama kalinya.



Oleh karena berat jenis tubuh lebih kecil dari berat jenis air, korban akan timbul, dan berusaha untuk bernafas mengambil udara, akan tetapi oleh karena tidak bisa  berenang, air akan masuk tertelan dan terinhalasi, sehingga berat jenis badan sekarang menjadi lebih besar dari berat jenis air, dengan demikian ia akan tenggelam untuk kedua kalinya.



Sewaktu berada pada dasar sungai, laut atau danau, proses pembusukan akan  berlangsung dan terbentuk gas pembusukan.



Waktu yang dibutuhkan agar pembentukan gas pembusukan dapat mengapungkan tubuh korban adalah sekitar 7-14 hari.



Pada waktu tubuh mengapung oleh karena terbentuknya gas pembusukan, tubuh dapat pecah terkena benda-benda disekitarnya, digigit binatang atau oleh karena  pembusukan itu sendiri, dengan demikian gas pembusukan akan keluar, tubuh korban terbenam untuk ketiga kalinya dan yang terakhir

Ada 4 cara kematian pada kasus tenggelam (drowning), yaitu 4 : •

Kecelakaan (paling sering).



Pembunuhan.



Bunuh diri.



Undeterminated.

21

2.2.5. Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam

Pada pemerikasaan jenazah akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar mekanisme kematian dapat ditentukan karena seringkali jenazah sudah ditemukan dalam keadaan membusuk. 3,4 Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah 3,4 : 1.

Menentukan identitas korban. Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:

2.

a.

Pakaian dan benda-benda milik korban

 b.

Warna dan distribusi rambut

c.

Kelainan atau deformitas dan jaringan parut

d.

Sidik jari

e.

Pemeriksaan gigi

f.

Teknik identifikasi lain

Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam Pada mayat yang masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup atau sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil pemeriksaan. a.

Pemeriksaan diatom (metode yang paling memuaskan)

 b.

Perbandingan kadar elektrolit magnesium pada bilik jantung kiri dan kanan.

c.

Benda asing pada paru dan saluran pernapasan mempunyai nilai yang menentukan pada mayat yang terbenam selama bebrapa waktu dan mulai membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.

d.

Pada mayat yang masih segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara fisik dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban tenggelam mempunyai nilai yang bermakna.

e.

Pada beberapa kasus, ditemukannya kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan  bahwa korban sedang dalam keadaan keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air.

3.

Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning  Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan tipe drowning  dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau kekerasan lain. Pada kecelakaan di kolam renang, benturan ante-mortem (ante-mortem impact )  pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan pada vertebra servikalis dan medulla spinalis dapat ditemukan.

22

4.

Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian, misalnya kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah.

5.

Tempat korban pertama kali tenggelam. Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam saluran  pernapasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat membantu menentukan apakah korban tenggelamdi tempat itu atau di tempat lain.

6.

Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup, pada waktu masuk ke dalam air, maka perlu ditentukan bahwa apakah kematian disebabkan karena air masuk ke dalam saluran pernapasan (tenggelam). Pada immersion,  kematian terjadi dengan cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh karena  sudden cardiac arrest yang terjadi  pada waktu cairan melalui saluran pernapasan bagian atas. Beberapa korban yang terjun dengan kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang keracunan alkohol. Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung, berarti kematian terjadi seketika akibat spasme glotis, yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.

Pada pemeriksaan luar autopsi, tidak ada patognomonis untuk mati tenggelam. Ada  beberapa tanda penting yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning), yaitu3,4 : 1.

Kulit tubuh mayat basah, dingin, pucat dan pakaian basah.

2.

Lebam mayat biasanya sianotik kecuali mati tenggelam di air dingin (berwarna merah muda).

3.

Kulit telapak tangan / telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput (washer woman's hands/feet).

4.

Kadang-kadang terdapat cutis anserine / goose skin pada lengan, paha dan bahu mayat akibat kontraksi otot erektor pili.

5.

Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz froth).

6.

Bila mayat kita miringkan, cairan akan keluar dar i mulut / hidung.

7.

Bila terdapat cadaveric spasme, kotoran air / bahan setempat berada dalam genggaman tangan mayat.

8.

Luka lecet pada siku, jari, lutut, dan kaki akibat gesekan dengan benda pada waktu di dalam air. 23

Ada 5 tanda penting yang yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning)  pada pemeriksaan dalam autopsi, yaitu3,4,7 : 1.

Saluran napas mayat berisi buih. Kadang-kadang berisi lumpur, pasir, atau rumput air.

2.

Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti (lebih berat), dan saat diiris akan keluar cairan.

3.

Lambung mayat berisi banyak cairan dan lumpur.

4.

Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli.

5.

Organ dalam (otak, ginjal, hati, limpa) mengalami perbendungan.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada kasus tenggelam adalah 7,8,9,10: 1.

Percobaan Getah Paru (Lonsef Proef) Kegunaan melakukan percobaan paru (lonsef proef) yaitu mencari benda asing (pasir, lumpur, tumbuhan, telur cacing) dalam getah paru-paru mayat. Syarat melakukannya adalah paru-paru mayat harus segar / belum membusuk. Cara melakukan percobaan getah paru (lonsef proef) yaitu permukaan paru-paru dikerok (2-3 kali) dengan menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris permukaan  paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek gelas. Syarat sediaan harus sedikit mengandung eritrosit. Evaluasi sediaan yaitu pasir berbentuk kristal, persegi dan lebih besar dari eritrosit. Lumpur amorph lebih besar daripada pasir, tanaman air dan telur cacing. Ada 3 kemungkinan dari hasil percobaan getah paru (lonsef  proef), yaitu : •

Hasilnya positif dan tidak ada sebab kematian lain.



Hasilnya positif dan ada sebab kematian lain.



Hasilnya negatif.

Jika hasilnya positif dan tidak ada sebab kematian lain maka dapat kita interpretasikan bahwa korban mati karena tenggelam. Jika hasilnya positif dan ada sebab kematian lain maka ada 2 kemungkinan penyebab kematian korban, yaitu korban mati karena tenggelam atau korban mati karena sebab lain. Jika hasilnya negatif maka ada 3 kemungkinan penyebab kematian korban, yaitu : •

Korban mati dahulu sebelum tenggelam.



Korban tenggelam dalam air jernih.



Korban mati karena vagal reflex / spasme larynx. 24

2.

Pemeriksaan Diatome (Destruction Test) Kegunaan melakukan pemeriksaan diatome adalah mencari ada tidaknya diatome dalam paru-paru mayat. Diatome merupakan ganggang bersel satu dengan dinding dari silikat. Keseluruhan prosedur dalam persiapan bahan untuk analisa diatom meliputi contoh air dari dugaan lokasi tenggelam, contoh jaringan dari hasil otopsi korban, jaringan yang dihancurkan untuk mengumpulkan diatom, konsentrasi diatom, dan analisa mikroskopis. Pengumpulan bahan dari media tenggelam yang diduga harus dilakukan semenjak penemuan jenazah, dari air permukaan dan dalam, menggunakan 1 hingga 1,5 L tempat steril untuk disimpan pada suhu 4°C, di dalamnya disimpan bahan-bahan dari korban dugaan tenggelam yang diambil dengan cara steril, kebanyakan berasal dari paru-paru, ginjal, otak, dan sumsum tulang. Usaha untuk mencari diatome (binatang bersel satu) dalam tubuh korban. Karena adanya anggapan bahwa bila orang masih hidup pada waktu tenggelam, maka akan terjadi aspirasi, dan karena terjadi adanya usaha untuk tetap bernafas maka terjadi kerusakan bronkioli/bronkus sehingga terdapat jalan dari diatome untuk masuk ke dalam tubuh. Syaratnya paru-paru harus masih dalam keadaan segar, yang diperiksa bagian kanan perifer paru-paru, dan jenis diatome harus sama dengan diatome di perairan tersebut. Cara melakukan pemeriksaan diatome yaitu: 1.

Ambil potongan jaringan sebesar 2-5 gram (hati, ginjal, limpa dan sumsum tulang).

2.

Potongan jaringan tersebut dimasukkan 10 mL asam nitrat jenuh, 0,5 ml asam sulfat jenuh.

3.

Kemudian dimasukkan lemari asam sampai semua jaringan hancur.

4.

Warna jaringan menjadi hitam oleh karena karbonnya.

5.

Ditambahkan natrium nitrat tetes demi tetes sampai warna menjadi jernih.

6.

Kadang-kadang sifat cairan asam sehingga sukar untuk melakukan  pemeriksaan, oleh karena itu ditambahkan sedikit NaOH lemah (sering tidak dilakukan oleh karena bila berlebihan akan menghancurkan chitine).

25

7.

Kemudian dicuci dengan aquadest. Lalu dikonsentrasikan (seperti telur cacing), disimpan/diambil sedikit untuk diperiksa, diteteskan pada deck gelas lalu keringkan dengan api kecil.

8.

Kemudian ditetesi oil immersion dan diperiksa dibawah mikroskop.

Metode lain dalam pengidentifikasian diatom adalah dengan amplifikasi DNA ataupun RNA diatom pada jaringan manusia, analisa mikroskopis pada bagian  jaringan, kultur diatom pada media, dan  spectrofluophotometry untuk menghitung klorofil dari plankton di paru-paru. 3.

Pemeriksaan Kimia Darah (Gettler Test) Pemeriksaan kimia darah (gettler test) bertujuan untuk memeriksa kadar NaCl dan kalium. Interpretasinya adalah korban yang mati tenggelam dalam air tawar, mengandung Cl lebih rendah pada jantung kiri daripada jantung kanan. Kadar Na menurun dan kadar K meningkat dalam plasma. Korban yang mati tenggelam dalam air laut, mengandung Cl lebih tinggi pada jantung kiri daripada jantung kanan. Kadar Na meningkat dan kadar K sedikit meningkat dalam plasma.

4.

Pemeriksaan Histopatologi Pada pemeriksaan histopatologi dapat kita temukan adanya bintik perdarahan di sekitar bronkioli yang disebut Partoff spot.

26

BAB III KESIMPULAN

Dalam kasus tenggelam, terendamnya seluruh tubuh dalam cairan tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah adanya cukup cairan yang menutupi lubang hidung dan mulut sehingga kasus tenggelam tidak hanya terbatas pada perairan yang dalam seperti laut, sungai, danau, atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam dalam kubangan atau selokan di mana hanya bagian muka yang berada dibawah permukaan air. Pada pemeriksaan luar autopsi, tidak ada patognomonis untuk mati tenggelam. Beberapa tanda penting yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning), yaitu kulit tubuh mayat basah dan dingin, pucat dan pakaian basah, washer woman's hands/feet, bleached hand, cutis anserine / goose skin pada lengan, paha dan bahu, buih  putih halus pada hidung atau mulut (scheumfilz froth), cairan keluar dari mulut / hidung saat mayat dimiringkan, cadaveric spasme dengan kotoran air / bahan setempat berada dalam genggaman tangan serta luka lecet pada siku, jari, lutut, dan kaki. Tanda penting yang yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning) pada  pemeriksaan dalam autopsi, yaitu saluran napas mayat berisi buih, lumpur, pasir, atau rumput air yang dapat mencapai alveoli, aru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti (lebih berat), dan saat diiris akan keluar cairan, serta lambung mayat berisi  banyak cairan dan lumpur. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat dugaan mati tenggelam adalah pemeriksaan getah paru, pemeriksaan diatom, pemeriksaan kimia darah dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan diatom disamping dapat menentukan apakah mayat mati tenggelam atau mati sebelum tenggelam, juga dapat menentukan apakah lokasi mayat ditemukan sama dengan lokasi mayat tenggelam  pertama kali. Pemeriksaan kimia darah dapat membantu menentukan apakah mayat tenggelam di air tawar atau air asin.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tanatologi. Dalam : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.  Ilmu Kedokteran Forensik . Jakarta: Balai Penerbit FKUI. (Hal. 25-36). 2. Aflanie, I, Abdi, M dan Setiawan, R. 2011. Tanatologi. Dalam : Aflanie, I, Abdi, M dan Setiawan, R. 2011.  Roman’s Forensic The Text Book of Forensic 25 th  Edition. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. (Hal. 59-81). 3. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tanatologi. Dalam : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.  Ilmu Kedokteran Forensik . Jakarta: Balai Penerbit FKUI. (Hal. 64-70). 4. Aflanie, I, Abdi, M dan Setiawan, R. 2011. Tenggelam. Dalam : Aflanie, I, Abdi, M dan Setiawan, R. 2011.  Roman’s Forensic The Text   Book of Forensic 25 th  Edition. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. (Hal. 96-102). 5. DiMaio, D.J. dan DiMaio, V.J. 2001.  Forensic pathology.

Ed

II .

New

York:

CRC Press LLC. 6. WHO.

2014.

 Drowning .

Diakses

dari

:

http://www.who.int/mediacentre/

factsheets/fs347/en/  pada 13 September 2017. 7. Farrugia, A.dan

Ludes, B. 2011.  Diagnostic of Drowning in Forensic Medicine.

Forensic Medicine –  From Old Problems to New Challenges: 53-60. 8. Putra, A. A. G. 2012.  Kematian Akibat Tenggelam: Laporan Kasus. Diakses dari : http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/8857 pada 13 September 2017. 9. Jamaludin, N. I. 2015. Pemeriksaan Getah Paru Korban Tenggelam yang Diotopsi di  RSUP Sanglah Periode Januari 2010-November 2014 . Intisari Sains Medis Vol. 2 (1) Januari –  April : 9-12. 10. Wilianto, W. 2012. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam . Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 14 No. 3, J uli –  September 2012: 39-45.

28

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF