Referat CAPD Shanty

April 7, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Referat CAPD Shanty...

Description

1 BAB 1 PENDAHULUAN Di negara berkembang, morbiditas dan mortalitas pasien dengan end stage renal disease (ESRD) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Jumlah pasien gagal ginjal yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi diprediksi terus meningkat dari 340.000 pada tahun 1999 dan mencapai 651.000 pada 2010. Tingginya morbiditas dan mortalitas ini dapat diturunkan secara signifikan jika pasien secara dini mendapat renal replacement therapy (RRT). Selain itu, dengan meningkatnya pengetahuan tentang proses penyakit ini, pandangan baru tentang patogenesis, dan pilihan terapeutik yang baru dapat meningkatkan angka ketahanan hidup dan kualitas hidup pada pasien dengan ESRD (Wibisono dkk, 2007). Pilihan terapi yang tersedia untuk pasien gagal tergantung pada onsetnya, akut atau kronik. Pada gagal ginjal kronik atau ESRD pilihan terapi meliputi hemodialisa; dialisa peritoneal seperti continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), intermitten peritoneal dialysis (IPD), dan continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD); atau transplantasi ginjal (Wibisono dkk, 2007). Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien dengan dialisis mendekati 18% per tahun. Kematian ini disebabkan oleh masalah kardiovaskular dan infeksi. Lima belas persen populasi dialisis di dunia menggunakan cara dialisis peritoneal. Dialisis peritoneal merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solut yang berisi ureum yang akan dibuang. Dialisis peritoneal digunakan hampir 12% pada populasi dialisis di Amerika Serikat. Di negara berkembang, populasi pasien dengan dialisis peritoneal ini cenderung naik (Wibisono dkk, 2007). Sejumlah mesin otomatis telah dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis menjadi lebih sederhana dan lebih mudah. Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu teknik peritoneal dialisis yaitu continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi alternatif untuk pasien dengan gagal ginjal. Continuous ambulatory peritoneal dyalisis (CAPD) adalah suatu proses dialisis dimana jantung bertindak sebagai pompa darah dan peritoneum

2 sebagai tempat dialisis yang digunakan secara terus-menerus 4-6 kali sehari selama 30 menit (Wibisono dkk, 2007). Angka

ketahanan

hidup

pada

pasien

yang

menggunakan

hemodialisa

dibandingkan dengan dialisis peritoneal hampir sama. Kelebihan dialisis peritoneal antara lain lebih fleksibel, lebih murah dan teknik yang lebih sederhana, sehingga cenderung lebih disukai (Wibisono dkk, 2007). Dalam pemilihan dialisis dengan cara hemodialisis ataupun peritoneum diálisis, haruslah sesuai dengan kondisi pasien.

Penting dipertimbangkan keuntungan dan

kerugian akibat tindakan yang diambil (Wibisono dkk, 2007).

3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Peritoneum Membran peritoneum adalah membran semi-permeabel yang melapisi dinding abdomen (peritoneum parietal) dan organ-organ abdomen (peritoneum viseral). Di dalam rongga perut terdapat banyak prmbuluh-pembuluh darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialisis pada sisi yang lain. Rongga peritoneum berisi + 100 ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan (Fresenius Medical Care, 2006). Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaan + 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu: •

Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), + 20% dari total luas membran peritoneum.



Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), + 80% dari luas total membran peritoneum.

A. Pasokan Darah Suplai darah peritoneum parietal berasal dari arteri di dinding abdomen. Darah ini mengalir ke sirkulasi sistemik. Peritoneum visceral disuplai oleh darah dari arteri mesenterika dan celiac yang mengalir ke vena porta (Fresenius Medical Care, 2006). B. Limfatik Limfatik subdiafragmatika bertanggung jawab atas 80% dari drainase rongga peritoneal. Drainase tersebut kemudian diserap ke dalam sirkulasi vena melalui duktus limfa thorak kanan dan kiri. Keseimbangan zat terlarut dan cairan dalam jaringan interstisial diatur oleh penyerapan cairan dari rongga peritoneal. Penyerapan limfatik pada pasien peritoneal dialisis sekitar 0,5-1,0 ml/menit. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan adalah laju napas, postur, dan tekanan intraabdomen (Fresenius Medical Care, 2006).

4

Gambar 1. Peritoneum Sumber: http://www.your-mesothelioma-resource.com/

Gambar 2. Dialisis Peritoneal Sumber: http://www.advancedrenaleducation.com/

5 2.2 Dialisis Dialisis adalah tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal sama dengan yang dilakukan oleh ginjal yang sehat. Dialisis diperlukan apabila ginjal tidak dapat lagi bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Dialisis diperlukan apabila sudah sampai pada tahap akhir kerusakan ginjal atau gagal ginjal terminal (End Stage Renal Disease) dimana fungsi ginjal anda tidak lagi dapat kembali berfungsi seperti sedia kala. Biasanya terjadi apabila kerusakan ginjal sudah mencapai 85 – 90 % (Mayo Clinic Staff, 2008). Seperti halnya ginjal sehat, tindakan dialisis juga menjaga agar tubuh berada dalam keseimbangan. Tindakan dialisis dilakukan untuk membuang sisa – sisa metabolisme, dan kelebihan cairan agar tidak menumpuk di dalam tubuh, menjaga level yang aman dari unsur – unsur kimiawi dalam tubuh seperti potasium dan sodium. Selain itu tindakan dialisis juga untuk membantu mengkontrol tekanan darah (Mayo Clinic Staff, 2008). Terdapat 2 tipe tindakan dialisis yaitu: - Hemodialisis - Peritoneal dialisis. 2.2.1 Hemodialisis Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun unsur kimiawi lainnya dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita ke dialyzer, diperlukan semacam akses ke pembuluh darah yang dapat dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha. Biasanya hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama masing – masing 4 -5 jam per tindakan. Namun beberapa petimbangan turut berkontribusi terhadap waktu yang dibutuhkan untuk tindakan hemodialisa yaitu (Parsudi dkk, 2007): -

Berapa baik ginjal penderita bekerja

-

Berapa berat kenaikan tubuh penderita diantara dua tindakan hemodialisa

-

Berapa banyak racun yang ada dalam tubuh pasien

-

Berapa besar tubuh penderita

-

Tipe dialyzer yang digunakan

6

Tabel dibawah ini kelemahan dan kerugian dalam menggunakan hemodialisa:

2.2.2 Peritoneal Dialisis Peritoneal dialisis adalah suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis, dan peritoneum sebagai membran semi permeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memasang akses berupa kateter di dalam abdomen penderita. Pada saat tindakan, area abdominal pasien akan secara perlahan diisi oleh cairan dialisat melalui kateter. Peritoneal dialisis merupakan dialisis yang dilakukan intra-corporeal dialysis di mana jantung bertindak sebagai pompa darah dan peritoneum sebagai dialyzer yang biasanya berlangsung 4 kali sehari masing – masing selama 30 menit. Total luas

7 permukaan peritoneum kira-kira luas permukaan kulit dewasa dan suplai darah 60-70 mlmin (Parsudi dkk, 2007).

Dialisis peritoneal dapat berupa (Parsudi dkk, 2007): 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Metode ini umum digunakan sebanyak 4-6 pertukaran per hari. Prinsip kerjanya dengan menghubungkan tabung dan kantong yang berisi cairan solution dengan menggunakan prinsip gravitasi untuk mengisi dan mengeringkan rongga peritoneum. 2. Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD) Dalam teknik ini sebuah cylcer yang diisi kantong cairan solution yang digunakan terhubung dengan kateter dialisis peritoneal sebelum tidur. Selama malam hari, cycler ini melakukan 4-6 pertukaran secara otomatis. Pada siang hari tersisa 2 L larutan di rongga peritoneal tanpa pertukaran di siang hari. 3. Automated Peritoneal Dialysis (APD). Terdapat beberapa mesin cycler yang berbeda yang secara otomatis melakukan pertukaran dengan volume yang dikehendaki dan juga mengukur volume ultra-filtrasi. Mesin ini juga menghangatkan cairan solution dan dapat mengulangi arus keluar jika volume yang dikehendaki belum pulih. Jika tidak mampu, alarm akan berbunyi dan mesin mati. 4. Nocturnal Intermittent Peritoneal Dialysis (NIPD) Cara ini dilakukan pada malam hari dengan sebuah cycler dengan rongga peritoneum kosong pada siang hari. 5. Tidal Peritoneal Dialysis (TPD) Rongga peritoneal diisi dengan cairan solution dan dalam waktu yang singkat (misalnya 20 menit) setengah dari cairan akan dibuang dan diganti. Hal ini dilakukan

8 terus menerus sehingga rongga tidak pernah kosong. Namun metode ini sangat mahal, dan jarang dilakukan. 2.2.2.3 Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) CAPD adalah salah satu bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan end stage renal disease (ESRD). ESRD merupakan stadium akhir dari gagal ginjal kronik dimana pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa hemodialisis dan dialisis peritoneal (Parsudi dkk, 2007). CAPD dapat dilakukan di rumah dengan bantuan kateter tetap yang dipasang menembus dinding abdomen. Kateter dialisis ini dipasang melalui laparatomi terbuka atau secara operasi endoskopik. Biasanya dipakai kateter Tenckhoff yang merupakan kateter silikon yang lurus atau bengkok dengan dua manses untuk fiksasi di dinding abdomen dan melingkar pada ujungnya (Sjamsuhidajat dkk, 2004). Elemen penting untuk dialisis peritoneal adalah rongga peritoneal yang sehat dengan fungsi membran peritoneal yang baik, adanya kateter pada rongga peritoneal dan cairan dialisat beserta sistem transfernya (Munib, 2006). 2.2.2.4 Prinsip Dialisis Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui kateter tenchoff dengan teknik operasi yaitu dengan cara teknik seldinger percutaneous, peritoneoscopy dan laparotomi dibawah anestesi umum atau lokal. Cairan tersebut didiamkan untuk waktu tertentu (6 – 8 jam) dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable untuk mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah. Kemudian akan terjadi proses osmosis, difusi dan konveksi di dalam rongga peritoneum. Setelah dwell time selesai cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui

9 catheter yang sama, proses ini berlangsung 3–4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu (Munib, 2006).

Dialisis melalui proses sebagai berikut (Munib, 2006): a.

Difusi dan Osmosis Perpindahan molekul terlarut dari larutan konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah disebut difusi. Jadi molekul seperti urea, kreatinin, vitamin B12 dan fosfat berdifusi dari darah ke dialisat, dimana konsentrasi awal adalah nol. Faktor-

10 faktor yang mempengaruhi difusi adalah gradien konsentrasi antara darah dan cairan dialisat (semakin besar gradien, semakin cepat difusi), dan luas permukaan serta permeabilitas membran peritoneum (semakin luas dan permeabel, semakin cepat difusi). b.

Ultra-filtrasi Perpindahan molekul pelarut (air) melewati membran peritoneal yang dikendalikan oleh gradien tekanan disebut ultra-filtrasi (UF). Tingginya konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat menyebabkan tekanan osmotik untuk ultra-filtrasi.

c.

Konveksi Molekul-molekul terlarut bergerak dalam jumlah besar dengan pelarut (air). Proses ini disebut konveksi.

d.

Net ultra-filtrasi Perbedaan volume cairan yang dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dengan cairan yang dikeluarkan.

e.

Penyerapan limfatik Air (dengan zat terlarut) dalam jumlah yang signifikan juga diserap ke dalam limfatik. Pada dialisis peritoneal biasa dipakai kateter peritoneum untuk dipasang pada

abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisat dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisat dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru (Parsudi dkk, 2007).

11

Gambar 4. Tahap Dialisis Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi : • Kualitas membrane • Ukuran & karakteristik larutan • Volume dialisat. Beberapa agen osmotik selain glukosa juga dapat digunakan, seperti; agar agar, xylitol,

sorbitol,

manitol,

fruktosa,

dextrane,

polyanion,

asam

amino, gliserol dan glukosa polimer. Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan antara tekanan osmotik dan konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler. Dibawah ini komposisi cairan dialisat (Munib, 2006).

12 2.2.2.5 Kateter Dialisis Peritoneal Kateter yang digunakan untuk dialisis peritoneal terdiri dari beberapa bentuk dan merk. Pada umumnya terdiri dari 3 bentuk yaitu : 1.

Kateter yang keras dengan mandren yang ujungnya tajam dan tebal disebut stiloenth.

2.

Kateter lunak dengan ujung tumpul tanpa mandren sehingga memerlukan trokar untuk memasukkannya ke dalam rongga peritoneum.

3.

Kateter Tenckhoft.

Dengan perkembangan kateter Tenckhoff, dialisis peritoneal jangka panjang menjadi mungkin. Kateter dialisis peritoneal terdiri dari tiga bagian, yaitu: segmen eksternal, segmen subkutan (memiliki dua bagian, yang luar ditempatkan tepat di bawah kulit bagian keluar dan yang dalam di fasia eksternal peritoneum) dan segmen intraabdomen dengan beberapa lubang kecil dan terbuka di ujung ke arah rongga peritoneum (Munib, 2006). Kateter dialisis peritoneal dapat disisipkan dengan tiga teknik, yaitu: teknik perkutaneous Seldinger, peritoneoskopi dan laparotomi (Munib, 2006).

Gambar 5. Kateter Tenckhoff Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

13

Gambar 6. Perlengkapan Dialisis Peritoneal Sumber: http://kidney.niddk.nih.gov/

2.2.2.6 Cairan Dialisis Peritoneal Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi, namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila dialisis peritoneal dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia, dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 3,5-4,5 mEq/L (Parsudi dkk, 2007). Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCl, 0,294 gram CaCl2, 0,153 gram MgCl2, 4.880 gram Nalaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat mengandung kadar glukosa >1,5%, maka disebut cairan dialisat hipertonik (2,5; 3,5; 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 5001000 U tiap 2 liter cairan (Parsudi dkk, 2007). Berikut ini komposisi cairan dialisis (Munib, 2006): Tabel 1. Komposisi Cairan Dialisis Elektrolit

Larutan Standar

14

Sodium Potassium Calcium Magnesium Klorida Laktat Glukosa (g/dl) pH

(mmol/L) 132 0 2.5-3.5 0.5-1.5 96-102 35-40 1.5, 2.5, 3.5, 4.25 5.2-5.5

2.2.2.7 Tatacara Dialisis Peritoneal Tatacara dialisis peritoneal adalah sebagai berikut (Rani, 2008): •

Penjelasan kepada pasien mengenai penyakit pasien dan tindakan yang akan dilakukan serta komplikasinya.



Pasien dibaringkan dalam posisi telentang, tangan dan kaki difiksasi. Kandung kemih dikosongkan dengan kateterisasi urin.



Bila perlu dapat diberikan premedikasi dengan diazepam.



Giving set dipersiapkan sedemikian rupa dengan menghubungkan ujung giving set dengan kolf cairan dialisat, dan ujung yang lain bebas karena akan dihubungkan dengan kateter dialisis peritoneal untuk memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga peritoneum dan mengeluarkan cairan dan rongga peritoneum.



Dilakukan tindakan a dan antiseptik. Dinding abdomen antara umbilikus dan simfisis pubis disterilkan. Pada daerah garis tengah 1/3 proksimal antara umbilikus dan simfisis pubis dilakukan anestesi lokal.



Dengan jarum suntik yang agak besar dan panjang, dinding abdomen yang sudah dianestesi ditusuk sampai menembus peritoneum. Lalu dimasukkan cairan dialisat atau NaCl fisiologis 20 ml/kgBB, untuk membuat asites buatan, agar terhindar bahaya perforasi sewaktu memasukkan trokar atau stilokateter. Pada pasien dengan asites yang banyak tidak diperlukan asites buatan.



Kulit dinding abdomen di tempat yang sudah ditentukan diinsisi selebar ½ cm. Melalui lubang insisi, trokar beserta mandrinnya ditusukkan ke dalam rongga peritoneum sampai menembus peritoneum yang dapat dirasakan dengan berkurangnya tegangan dinding abdomen secara tiba-tiba disertai keluarnya cairan asites melalui pinggir trokar. Mandrin trokar dicabut dan kateter dialisis peritoneal dimasukkan melalui lubang trokar, kemudian didorong sampai mencapai daerah rongga pelvis atau kavum Douglas. Kemudian trokar dicabut.

15 •

Ujung kateter dialisis peritoneal yang berada di luar rongga abdomen dihubungkan dengan giving set yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dialisis siap dilakukan. Dialisis dilakukan dengan memasukkan cairan dialisat 40 mI/kgBB, membiarkannya di dalam rongga peritoneum, kemudian mengeluarkannya. Cairan dialisat sebaiknya dihangatkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan efektivitas dialisis.



Untuk menghindari rembesan cairan keluar melalui pinggir lubang tempat kateter, dilakukan penjahitan kulit pada luka insisi dengan mengelilingi kateter.



Kemudian kateter difiksasi dengan kasa steril dan diplester ke dinding abdomen.



Pada permulaan sebaiknya cairan dialisat segera dikeluarkan setelah masuk ke dalam rongga peritoreum untuk menguji kelancaran keluar masuknya cairan dialisat.



Setiap siklus memerlukan waktu kira-kira I jam, terdiri dari waktu memasukkan cairan dialisat kira-kira 15 menit, cairan dialisat dibiarkan di dalam rongga peritoneum selama 30 menit, dan kemudian dikeluarkan selama kira-kira 15 menit.



Pada beberapa siklus pertama sebaiknya dimasukkan heparin ke dalam kolf cairan dialisat dengan dosis 1.000 unit per liter untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat menyumbat kateter.



Bila sejak semula kadar kalium darah normal, harus ditambahkan kalium ke dalam cairan dialisat sejak siklus pertama dengan dosis 4 mEq per liter. Bila terdapat hiperkalemia, maka pada beberapa siklus pertama tidak ditambahkan kalium ke dalam cairan dialisat sampai kalium darah normal.



Untuk mencegah peritonitis, dapat diberikan antibiotik ampisilin 230 mg atau gentamisin 5 mg per liter ke dalam cairan dialisat setiap 6 jam.

Perawatan tempat lubang keluarnya kateter Tenckhoff dilakukan setiap hari untuk mencegah infeksi (Rani, 2008). 2.2.2.8 Indikasi Dialisis Peritoneal Dialisis peritoneal dapat digunakan pada pasien (Parsudi dkk, 2007): 1. Gagal ginjal akut (dialisis peritoneal akut): sebagai pencegahan maupun atas indikasi klinis (keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata) atau indikasi biokomiawi (ureum darah >200 mg%, kalium
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF