GMP akibat penggunaan zat

March 20, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download GMP akibat penggunaan zat...

Description

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa

Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT

Oleh: RADHIYANA PUTRI NIM. 0910015031

Pembimbing dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.KJ

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman 2014

2

LEMBAR PENGESAHAN

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT Laporan Kasus Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Disusun oleh: Radhiyana Putri NIM: 0910015031 Dipresentasikan pada 15 Desember 2014

Pembimbing dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.KJ Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda 2014

1

BAB I KASUS PSIKIATRI

Dipresentasikan pada Kegiatan Kepaniteraan Klinik Madya Lab. Kesehatan Jiwa/Psikiatri. Pemeriksaan dilakukan pada Hari Jumat, 5 Desember 2014 pukul 20.00 WITA di IGD RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. Sumber Anamnesa : autoanamnesa dan heteroanamnesa. RIWAYAT PSIKIATRI A. Identitas Pasien Nama

: Tn. AY

Umur

: 18 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Kristen

Status perkawinan

: Belum menikah

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

Suku

: Dayak

Alamat

: Kampung Keay Rt.05 Kec.Damai Kutai Barat

Pasien datang berobat ke Poliklinik Atma Husada Mahakam Samarinda diantar oleh keluarga pasien (ayah kandung pasien). Identitas Keluarga Nama

: Tn.K

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 44 Tahun

Status dengan pasien

: Ayah kandung

Alamat

: Kampung Keay Rt.05 Kec.Damai Kutai Barat

B. Keluhan Utama Susah tidur

1

C. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang: Autoanamnesis: Pasien mengalami susah tidur sejak ± 1 bulan SMRS, pasien mengaku sering mengalami mimpi buruk yaitu tubuhnya tidak dapat bergerak. Hal ini menyebabkan pasien sering terbangun saat malam hari. Pasien juga mengaku sering tidak dapat tidur karena takut mengalami mimpi buruk. Pasien mengaku mudah tersinggung dan marah dalam 1 bulan terakhir dan mengaku sering membanting barang jika sedang mengamuk, mengaku hingga ingin membunuh orang. Pasien biasanya mengamuk karena jengkel pada orangorang di luar rumah. Pasien pun terkadang mendengar suara bisikan. Namun tidak pernah melihat bayangan-bayangan. Pasien mengaku sebelumnya sering ngelem. Hal ini sudah dilakukan sejak awal masuk SMA namun sudah berhenti ± 1 bulan yang lalu. Pasien biasanya ngelem sebanyak 3x/hari. Selain itu, pasien juga mengkonsumsi alkohol dan obat batuk dextromethorphan (DMP) sejak awal masuk SMA. Berdasarkan pengakuan pasien, alkohol yang diminum berada dalam botol warna hijau tinggi dan biasanya ia meminum 3-4 botol dalam 1 hari. Namun alkohol tidak diminum bersamaan dengan obat DMP. Pasien mengaku sudah berhenti meminum alkohol sejak ± 1 bulan belakangan. Sedangkan Obat DMP yang dikonsumsi pasien dalam sehari biasanya hingga > 100 butir. Obat ini masih dikonsumsi hingga 1 hari SMRS. Sejak pasien berhenti mengkonsumsi Alkohol dan ngelem, pasien mulai susah tidur, mendengar bisikan, mulai mudah marah dan tersinggung, cemas, mudah berkeringat, dan gemetar. Heteroanamnesis: Menurut ayah kandung pasien, pasien sering mengalami susah tidur sejak 1 bulan SMRS. Pasien sering tidak tidur selama berhari-hari. Pasien juga sering mengamuk di rumah hingga membanting barang-barang di rumah. Terakhir kali, pasien mengamuk 5 hari SMRS. Saat itu pasien membanting barang-barang di rumah. Ayah pasien juga melihat pasien terkadang berbicara sendiri saat di rumah. Ayah kandung pasien mengatakan bahwa pasien sempat dikeluarkan dari SMK karena ketahuan ngelem dan meminum obat DMP. Saat itu pasien sedang duduk di bangku kelas 2 SMK. Saat itu,pasien masih sering berkumpul dengan teman gank nya. Namun ± 1 bulan terakhir, ayah pasien jarang melihat anaknya berkumpul dengan teman-temannya lagi dan lebih sering di dalam rumah. Saat di rumah, ayah pasien sering melihat pasien 2

mengkonsumsi obat DMP dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, ayah pasien memutuskan membawa pasien ke RSJD Atma Husada agar dapat membantu menghentikan kebiasaan pasien meminum DMP dan mengatasi susah tidur yang dialami oleh pasien. D. Riwayat Medis dan Psikiatrik Lain 1. Gangguan Mental dan Emosi Pasien tidak memiliki riwayat gangguan mental dan emosi sebeluumnya. 2. Gangguan Psikosomatik Pasien tidak memiliki riwayat gangguan psikosomatik sebelumnya. 3. Kondisi Medis o Riwayat trauma (-), kejang (-), penyakit infeksi (-) o Riwayat meminum alkohol (+) sejak awal masuk SMA (usia 16 tahun) hingga ± 1 bulan SMRS o

Riwayat merokok (-)

o

Riwayat ngelem (+) sejak awal masuk SMA (usia 16 tahun) hingga ± 1 bulan SMRS

o

Riwayat mengkonsumsi obat DMP sejak awal masuk SMA (usia 16 tahun) hingga 1 hari SMRS.

4. Gangguan Neurologi Pasien tidak memiliki riwayat gangguan neurologi. 5. Faktor Pencetus Diajak oleh teman-teman satu gank di sekolah 6. Riwayat Perkawinan Belum menikah 7. Riwayat Sosial Ekonomi Berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. 8. Riwayat Religius Selama ini pasien jarang menjalankan ibadah. 9. Hubungan Dengan Keluarga Dan Lingkungan Pasien memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang tua dan saudarasaudaranya. Pasien hanya dekat dan sering keluar dengan teman-teman gank nya di sekolah

3

E. Riwayat Keluarga 1. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat keluhan atau penyakit yang sama. 2. Riwayat pada Saat Pasien Berusia Kurang dari 10 Tahun Ketika berusia kurang dari 10 tahun pasien tinggal bersama kedua orang tuanya, beserta 5 saudara kandungnya dan 1 saudara tirinya (1 kakak tiri, 5 adik kandung). Hubungan pasien dengan kedua orang tuanya kurang baik dan harmonis, begitupun dengan saudara-saudara kandung serta saudara tirinya. Pasien cenderung lebih dekat dengan teman-temannya di luar rumah. 3. Pasien Usia Sekarang Saat ini pasien tinggal dengan ayahnya saja. Saat ini pasien belum menikah. E. Genogram

Keterangan : : Laki-laki tanpa gangguan jiwa : Pasien : Perempuan tanpa gangguan jiwa : Bercerai

F. Riwayat Pribadi 1. Masa Anak-Anak Awal (0-3 Tahun) 

Pasien tidak mengalami gangguan kesehatan selama masih kecil. Tidak pernah mengalami trauma. Saat itu, pasien masih tinggal bersama saudara tirinya dan orangtua kandungnya.



Tumbuh kembang dalam batas normal.



Pasien mudah bergaul dengan teman sebayanya, ceria. 4



Prestasi akademis di sekolah cukup, tidak pernah tinggal kelas.

2. Masa Anak-Anak Pertengahan (3-11 tahun)



Pasien tidak mengalami masalah kesehatan yang berarti.



Tumbuh kembang dalam batas normal.



Pasien mudah bergaul dengan teman sebayanya, ceria.



Prestasi akademis di sekolah cukup, tidak pernah tinggal kelas. 3. Masa Anak-Anak Akhir (Pubertas sampai Remaja) a. Hubungan dengan Teman Sebaya Tidak pernah terjadi perkelahian hebat dengan teman sebayanya. Pasien cenderung akrab dengan teman-teman sebayanya b. Hubungan dengan Keluarga Pasien tidak dekat dengan keluarga dan lebih sering bergaul dengan teman sebayanya b. Riwayat Sekolah Pasien mengalami putus sekolah saat kelas 2 SMK karena ketahuan ngelem oleh guru sekolah c. Perkembangan Kognitif dan Motorik Tidak ada masalah/kemunduran dalam fungsi kognitif dan motorik. d. Masalah Fisik dan Emosi Remaja yang Utama Tidak ada masalah fisik, emosi pasien memang cenderung stabil e. Riwayat Psikoseksual Tidak diketahui f. Latar Belakang Agama Pasien kurang taat beribadah.

STATUS MENTAL A. Penampilan : 1. Identifikasi Pribadi

: pasien merupakan pribadi yang cenderung tertutup

2. Perilaku & Aktivitas Psikomotor : psikomotor pasien dalam batas normal.

5

3. Gambaran Umum

: tenang, kooperatif, ada kontak visual dan verbal, tampak bingung

B. Bicara : Pasien cukup banyak bicara, dan intonasinya sesuai. C. Mood dan Afek : 1. Mood

: stabil

2. Afektif

: sesuai

D. Pikiran dan Persepsi 1. Bentuk Pikiran

:

a. Produktivitas

: normal

b. Kelancaran berpikir/ide

: lambat

c. Gangguan bahasa

: tidak terdapat gangguan bahasa.

2. Isi Pikiran

: Assosiasi longgar

3. Gangguan Berpikir

:

a. Waham

:(-)

b. Fligh of ideas

:(-)

4. Gangguan Persepsi a. Halusinasi

: : auditorik (+), visual (-)

b. Depersonalisasi & derealisasi : ( - ) 5. Mimpi dan Fantasi

:(-)

E. Sensorik 1. Kesadaran

: composmentis

2. Orientasi

:

a. Orientasi waktu

:(+)

b. Orientasi tempat

:(+)

c. Orientasi orang

:(+)

3. Konsentrasi & Berhitung

:

a. Konsentrasi

: sedikit terganggu

b. Berhitung

:(+) 6

4. Ingatan

:

a. Masa dahulu

:(+)

b. Masa kini

:(+)

c. Segera

:(+)

5. Pengetahuan

:(+)

6. Kemampuan berpikir abstrak

: tidak dinilai

7. Penilaian sosial

:(+)

PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LEBIH LANJUT A. Pemeriksaan Fisik 1.

Keadaan umum

: tenang

2.

Tekanan darah

: 120 / 90 mmHg.

3.

Nadi

: 72x/menit.

4.

Respirasi

: 20x/menit.

5.

Keadaan gizi

: baik.

6.

Kulit

: tidak dilakukan pemeriksaan.

7.

Kepala

: alopesia (-), ulserasi (-).

8.

Mata

: anemia (-), ikterik (-), pupil isokor.

9.

Hidung

: rhinorrhea (-), deviasi sepetum (-).

10. Telinga

: pendengaran dalam batas normal.

11. Mulut dan tenggorok

: tidak dilakukan pemeriksaan.

12. Leher

: pembesaran KGB (-).

13. Thorax

: simetris kiri kanan.

14. Jantung

: dalam batas normal.

15. Paru

: ronki (-/-), wheezing (-/-).

16. Abdomen

: dalam batas normal.

17. Hepar

: pembesaran hepar (-).

18. Bising usus

: metalic sound (-).

19. Ektremitas

: akral hangat, edema (-), tremor (-)

B. Pemeriksaan Neurologis Panca indera

: tidak didapatkan kelainan

Tanda meningeal

: tidak didapatkan kelainan

Tekanan intrakranial : tidak dilakukan pemeriksaan 7

Mata Gerakan

:

normal

Pupil

:

isokor

Diplopia

:

tidak ditemukan

Visus

:

tidak dilakukan pemeriksaan

8

IKHTISAR dan KESIMPULAN PEMERIKSAAN PSIKIATRIK A. Keadaan Umum Kesadaran

: komposmentis

Sikap

: kooperatif

Tingkah laku

: tenang

Perhatian

: (+)

Inisiatif

: normal

Verbalisasi

: lancar

B. Keadaan Spesifik Keadaan Afek Afek

: sesuai

Arus emosi

: stabil

Keadaan dan fungsi intelek Daya ingat

: baik

Konsentrasi

: susah berkonsentrasi

Orientasi

: waktu (+), ruang (+), orang (+)

Keadaan sensasi dan persepsi Ilusi

: (-)

Halusinasi

: auditorik (+), visual (-)

Keadaan proses fikir Arus

: lambat

Mutu

: asosiasi longgar

Isi

: waham (-)

Kemauan

: ADL mandiri

Psikomotor

: dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang A. Lab Darah Leukosit

: 7.200

Kreatinin : 0,5

Hb

: 14.6

Ureum

: 22,5

Hct

: 47.8

SGOT

: 23

SGPT

: 30

Trombosit :234.000 GDS

: 89 9

B. Pemeriksaan urine Narkoba Morfin

: Negatif

Amphetamine

: Negatif

Met Amphetamine: Negatif Maryuana/THC

: Negatif

Benzodiazepine

: Negatif

DIAGNOSIS Formulasi Diagnosis Seorang pria berumur 18 tahun, agama kristen, tidak bekerja, datang pada hari Jumat, 5 Desember 2014 Pukul 20.00 WITA, di IGD RSJD Atma Husada SamarindaPada proses autoanamnesis, pasien mengaku susah tidur dan mudah marah dalam 1 bulan terakhir. Pasien juga merasa cemas, gemetar, dan mendengar suara bisikan. Hal ini terjadi sejak pasien berhenti ngelem dan menggunakan alkohol. Pasien juga mengaku masih mengkonsumsi obat batuk DMP sebanyak >100 butir/hari pada saat 1 hari SMRS Pada proses heteroanamnesa dengan ayah andung pasien, pasien sering mengalami susah tidur sejak 1 bulan SMRS. Pasien sering tidak tidur selama berhari-hari. Pasien juga sering mengamuk di rumah hingga membanting barang-barang di rumah. Terakhir kali, pasien mengamuk 5 hari SMRS. Saat itu pasien membanting barang-barang di rumah. Ayah pasien juga melihat pasien terkadang berbicara sendiri saat di rumah. Ayah kandung pasien mengatakan bahwa pasien sempat dikeluarkan dari SMK karena ketahuan ngelem dan meminum obat DMP. Saat itu pasien sedang duduk di bangku kelas 2 SMK. Saat itu,pasien masih sering berkumpul dengan teman gank nya. Namun ± 1 bulan terakhir, ayah pasien jarang melihat anaknya berkumpul dengan teman-temannya lagi dan lebih sering di dalam rumah. Saat di rumah, ayah pasien sering melihat pasien mengkonsumsi obat DMP dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, ayah pasien memutuskan membawa pasien ke RSJD Atma Husada agar dapat membantu menghentikan kebiasaan pasien meminum DMP dan mengatasi susah tidur yang dialami oleh pasien. Pada pemeriksaan psikiatri, didapatkan penampilan rapi, tenang, kooperatif, kontak visual normal dan verbal normal, emosi stabil, afek sesuai, orientasi waktu (+), ruang (+), dan orang (+), proses pikir lambat, asosiasi longgar, dan tidak ada waham, didapatkan halusinasi auditorik, tidak didapatkan ilusi, intelegensia cukup (pasien lulus SMP), ADL mandiri,dan psikomotor normal. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan pada pasien.

Diagnosis Multiaksial Aksis I

: Gangguan mental dan perilaku akibat zat

Aksis II : Tidak ada diagnosis pada aksis ini Aksis III : Tidak ada diagnosis pada aksis ini Aksis IV : Masalah berkaitan dengan primary support group Aksis V : GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, diabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik. PENATALAKSANAAN Psikofarmakologis 

Risperidone 2mg 2 x 1



Diazepam 2 x 5 mg

Psikoterapi -

Psikoterapi individual suportif

-

Konseling keluarga Selain pemberian terapi antipsikotik, diperlukan juga psikoterapi yang ditujukan kepada

penderita sendiri, diharapkan untuk mengerti keadaan dirinya untuk menghadapi stress psikososial yang dihadapi dan konseling kepada keluarga untuk mendapatkan dukungan baik dalam pengobatan maupun sosialisasi penderita. Prognosis ` Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Dubia ad bonam jika: 1. Minum obat secara teratur 2. Keinginan sembuh dari pasien 3. Dukungan keluarga untuk sering memperhatikan dan memberikan perhatian kepada pasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. BATASAN DAN PENGERTIAN 1. Napza NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA(4). Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran(4). 2. Narkoba NARKOBA adalah singkatan Narkotika dan Obat/Bahan berbahaya. Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk media massa dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai makna yang sama dengan NAPZA. Ada juga menggunakan istilah Madat untuk NAPZA Tetapi istilah Madat tidak disarankan karena hanya berkaitan dengan satu jenis Narkotika saja, yaitu turunan Opium(4). B. JENIS NAPZA YANG DISALAHGUNAKAN 1. NARKOTIKA Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, NARKOTIKA adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan(4). NARKOTIKA dibedakan kedalam golongan-golongan(4,5) : 

Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain, ganja)



Narkotika Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin) 

Narkotika Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).

2. Psikotropika Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Yang dimaksud dengan PSIKOTROPIKA adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. PSIKOTROPIKA dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut(4,5) : 

PSIKOTROPIKA GOLONGAN I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD)



PSIKOTROPIKA GOLONGAN II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin)



PSIKOTROPIKA GOLONGAN III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).



PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).

3. Zat adiktif lainnya Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi(4,5) :



Minuman berakohol, Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minumanberakohol, yaitu : o Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir) o Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur) o Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House, Johny Walker, Kamput.)



Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.



Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan,

karena

rokok

dan

alkohol

sering

menjadi

pintu

masuk

penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya. Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai berikut(5) : 

Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.



Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif hipnotika.



Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.



Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan (4): 1. Golongan Depresan (Downer) Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2. Golongan Stimulan(Upper) Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain. 3. Golongan Halusinogen Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin C. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang menunjukan ciri pemakaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat pemakaianpsikologik-sosial, yang belum bersifat patologik Penyalahgunaan Napza adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial(1,4). Ketergantungan Napza adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal symptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”(1,4) D. TINGKAT PEMAKAIAN NAPZA 

Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat(5).



Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat(5)



Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaaqn, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut(5).



Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai oleh : tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif(5).



Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan pada keluarga dan masyarakat(5).

E. PENYEBAB PENYALAHGUNAAN NAPZA Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut (1,4) : 1. Faktor individu (1,4): Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain : o Cenderung membrontak dan menolak otoritas o Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti Depresi,Cemas, Psikotik, keperibadian dissosial. o Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku o Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negatif (low self-esteem) o Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif o Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran o Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)

o Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambang keperkasaan dan kehidupan modern. o Keinginan untuk diterima dalam pergaulan. o Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan” o Kurang menghayati iman kepercayaannya 2. Faktor Lingkungan(1,4) : Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah : a. Lingkungan Keluarga o Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif o Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga o Orang tua otoriter atau serba melarang o Orang tua yang serba membolehkan (permisif) o Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan o Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga o Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA b. Lingkungan Sekolah o Sekolah yang kurang disiplin o Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA o Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif o Adanya murid pengguna NAPZA c. Lingkungan Teman Sebaya o Berteman dengan penyalahguna o Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar d. Lingkungan masyarakat/sosial o Lemahnya penegakan hukum o Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung 3. Faktor Napza(1,4) 

Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”



Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba



Khasiat

farmakologik

NAPZA yang

menenangkan,

menghilangkan

nyeri,

menidurkan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA. Gangguan Berhubungan dengan Penggunaan Zat Inhalan Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), kategori gangguan berhubungan dengan inhalan memasukkan sindrom psikiatrik yang disebabkan oleh penggunaan oleh pelarut, lem, perekat, bahan pembakar aerosol, pengencer cat, dan bahan bakar. Senyawa aktif dalam bahan inhalan tersebut adalah toluene, acetone, benzene, trichloroethylene, 1,2-dichloropropane, dan hidrokarbon berhalogen. DSMIV secara spesifik mengeluarkan gas-gas anestetik (contoh, nitrogen oksida dan ether) dan nitrit kerja cepat (contoh, amylnitrite) dari gangguan berhubungan denan inhalan, DSM-IV mengklasifikasikannya sebagai gangguan berhubungan dengan zat lain (atau tidak diketahui) (1)

.

a.

Epidemiologi Zat inhalan tersedia secara legal, tidak mahal, dan mudah didapatkan. Ketiga faktor

tersebut berperan pada pemakaian inhalan yang tinggi diantara orang-orang miskin dan orang-orang muda. Pada tahun 1991, kira-kira 5 persen dari total populasi di Amerika Serikat telah menggunakan inhalan sekurangnya satu kali, dan kira-kira 1 persen pemakai sekarang ini. Di antara orang dewasa yang berusia 18-25 tahun, 11 persen pernah menggunakan inhalan sekurangnya satu kali dan 2 persen merupakan pemakai sekarang ini. Diantara pemuda yang berusia 12-17 tahun, 7 persen pernah menggunakan inhalan sekurangnya satu kali, dan 2 persen merupakan pemakai sekarang ini. Dalam suatu penelitian, terhadap pelahjar sekolah menengah ke atas, 18 persen dilaporkan telah menggunakan inhalan dalam bulan sebelumnya. Suatu data menyatakan bahwa di Amerika Serikat, pemakai inhalan lebih sering pada masyarakat di pinggiran perkotaan daripada masyarakat perkotaan(1). Pemakaian inhalan berjumlah 1 persen dari semua kematian yang berhubungan dengan zat dan kurang dari 0,5 persen dari semua kunjungan ruang gawat darurat yag berhubungan dengan zat. Kira-kira 20 persen kunjungan ke ruang gawat darurat oleh pemakai inhalan dilakukan oleh orang yang perusia kurang dari 18 tahun. Penggunaan inhalan diantara remaja

paling sering pada mereka yang mempunyai orangtua atau saudara kandung lainnya yang menggunakan zat yang ilegal. Penggunaan inhalan di kalangan remaja juga dihubungkan dengan gangguan onduksi atau gangguan kepribadian anti-sosial (1). b.

Neurofarmakologi Inhalan biasanya dilepaskan ke dalam paru-paru dengan menggunakan suatu tabung,

kaleng, atau kantung plastik, atau dengan suatu kain yang direndam dengan inhalan. Pemakai dapat menghirupinhalan melalui hidung atau menyedot inhalan melalui mulut. Kerja umum inhalan adalah sebagai depresan sistem saraf pusat. Toleransi terhadap inhalan tidak terjadi, walaupun gejala pemutusan inhalan biasanya sangat ringan dan tidak diklasifikasikan sebagai gangguan dalam DSM-IV(1). Inhalan sangat cepat diserap melalui paru-paru dan cepat dikirim ke otak. Efeknya tampak dalam 5 menit dan bertahan hingga 30 menit sampai beberapa jam. Tergantung pada zat inhalan dan dosisnya. Konsentrasi darah dari banyak zat inhalan meningkat jika digunakan dalam kombinasi dengan alkohol, kemungkinan karena kombinasi untuk enzim hepatik. Walaupun kira-kira seperlima zat inhalan diekskresikan oleh paru-paru dalam bentuk yang tidak berubah, sisanya dimetabolisme oleh hati. Inhalan dalam hati dapat terdeteksi dalam darah selama 4 sampai 10 jam setelah penggunaannya, dan sampel darah harus diambil di ruang gawat darurat jika dicurigai penggunaan inhalan(1). Inhalan menimbulkan efek farmakodinamik spesifik yang tidak dimengerti dengan baik. Karena efeknya biasanya mirip dengan efek depresan pada sistem saraf pusat (contoh etanol, barbiturat, dan benzodiazpine), beberapa peneliti menyatakan bahwa inhalan beerja melalui suatu peningkatan sistem gamma-aminobutyric acid (GABA)(1). c.

Diagnosis Kriteria diagnosis untuk intoksikasi inhalan (1): A. Pemakaian inhalan volatil yang disengaja dan belum lama atau pemaparan dengan inhalan volatil jangka pendek dan dosis tinggi (termasuk gas anestetik dan vasodilator kerja cepat) B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya kenakalan, penerangan, apati, gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera setelah, pemakaian atau pemaparan dengan inhalan volatil. C. Dua (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah, pemakaian atau pemaparan dengan inhalan

(1). Pusing (2). Nistagmus (3). Inkoordinasi (4). Bicara cadel (5). Gaya berjalan tidak mantap (6). Letargi (7). Depresi refleks (8). Retardasi Psikomotor (9). Tremor (10). Kelemahan otot umum (11). Pandangan Kabur atau diplopia (12). Stupor atau koma (13). Euforia D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain. Beberapa gangguan yang berhubungan dengan inhalan (1,5) : 1. Ketergantungan dan penyalahgunaan inhalan Sebagian besar orang mungkin menggunakan inhalan untuk jangka waktu singkat tanpa menimbulkan pola penggunaan jangka panjang yang berakibat ketergantungan dan penyalahgunaan. Namun, ketergantungan dan penyalahgunaan dapat terjadi. 2. Intoksikasi Inhalan Keadaan intoksikasi inhalan sering ditandai dengan apati, penurunan fungsi sosial dan okupasional, daya nilai terganggu, serta perilaku impulsif atau agresif, dan dapat disertai mual, anoreksia, nistagmus, refleks terdepresi, dan diplopia. Pada dosis tinggi dan pajanan jangka panjang, status neurologis pengguna dapat berlanjut menjadi stupor dan tidak sada, dan seseorang mungkin kemudian menjadi amnesik selama periode intoksikasi. d.

Gambaran klinis Pada dosis awal, inhalan dapat menyebakan disinhibisi serta dapat menimbulkan

perasaan euforia dan eksitasi serta sensasi mengambang yang menyenangkan. Dosis tinggi inhalan dapat menyebabkan gejala psikologis ketakutan, ilusi sensorik, halusinansi, serta distorsi ukuran tubuh. Gejala neurologis dapat mencakup bicara cadel, penurunan kecepatan bicara, dan ataksia (1,5). e.

Pengobatan

Biasanya, penggunan inhalan adalah relatif singkat dalam kehidupan sesenan baheorang. Orang tersebut menghentikan aktivitas menggunakan zat atau pindah ke zat lain. Identifikasi penggunaan inhalan pada seorang remaja adalah indikasi bahwa remaja tersebut harus mendapatkan konseling dan pendidikan tentang masalah umum penggunaan zat. Adanya diagnosis penyerta gangguan konduksi atau gangguan kepribadian anti sosial harus mengarahkan dokter untuk menilai situasi dengan mendalam karena adanya peningkatan kemungkinan bahwa remaja tersebut akan menjadi semakin terlibat dalam penggunaan zat. Tetapi pada sebagian besar orang dengan penyalah gunaan inhalan adalah orang lanjut usia dan cacat yang memerlukan intervensi sosial yang nyata sebagai bagian dari pendekatan pengobatan(1). Intoksikasi inhalan biasanya tidak memerlukan perhatian medis dan bisa sembuh spontan. Namun, efek intoksikasi seperti koma, bronkospasme, larigospasme, aritmia jantung, trauma atau luka bakar memerlukan tindakan cepat. Penanganan agresif terhadap penyulit yang mengancam nyawa bersama dengan penatalaksanaan konservatif intoksikasi sudah cukup memadai(1,5).

Gangguan Berhubungan dengan Penggunaan Alkohol Alkohol merupakan substansi yang paling banyak digunakan di dunia, dan tidak ada obat lain yang dipelajari sebanyak alkohol. Dari segi kimiawi, alkohol merupakan suatu senyawa kimia yang mengandung gugus OH. Alkohol dalam masyarakat umum mengacu kepada etanol atau grain alkohol. Etanol dapat dibuat dari fermentasi buah atau gandum dengan ragi(1). Istilah alkohol sendiri pada awalnya berasal dari bahasa Arab “Al Kuhl” yang digunakan untuk menyebut bubuk yang sangat halus yang biasanya dipakai untuk bahan kosmetik khususnya eyeshadow. Sejak 5000 tahun yang lalu alkohol digunakan sebagai minuman dengan berbagai tujuan, seperti sarana untuk komunikasi transedental dalam upacara kepercayaan dan untuk memperoleh kenikmatan(1). Alkohol bersifat depresan terhadap sistem saraf pusat dengan menghambat aktivitas neuronal. Ini berakibat hilangnya kendali diri dan mengarah kepada keadaan membahayakan diri sendiri maupun orang disekitarnya. Diperkirakan alkohol menjadi penyebab 25% kunjungan ke Unit Gawat Darurat rumah sakit.1 Alkohol dapat menyebabkan komplikasi yang serius dalam menangani dan mengobati pasien trauma. Interaksi antara alkohol dengan obat lainnya dapat terjadi, sehingga harus diperhitungkan secara hati-hati penggunaannya

dalam obat, operasi, maupun obat anestesi. Akibat penggunaan alkohol dapat muncul masalah kesehatan lainnya seperti gangguan hati, cardiomyopati, gangguan pembekuan darah, gangguan keseimbangan cairan, hingga ketergantungan terhadap alkohol. Ini akan menyebabkan perlunya pertimbangan yang lebih matang dalam menangani pasien dengan Alkohol(1). Mengidentifikasi permasalahan yang dapat timbul akibat penggunaan alkohol pada pasien yang memerlukan pembedahan pada saat perioperatif merupakan suatu tantangan bagi dokter, terutama ahli bedah dan anestesi. Setelah diiidentifikasi, masalah pada pasien dapat ditangani dengan lebih efektif untuk meningkatkan outcome dari pembedahan dan mengurangi efek samping yang dapat terjadi(1). Epidemiologi Sekitar 14 juta warga Amerika termasuk dalam kriteria alkoholism, membuatnya sebagai peringkat ketiga penyakit yang memerlukan kunjungan ke psikiater dan menghabiskan lebih dari 165 miliar dolar amerika setiap tahunnya akibat penurunan produksi kerja, kematian, dan biaya pengobatan langsung. Diantara mereka 10% wanita dan 20% pria termasuk dalam kriteria penyalahgunaan alkohol, sedangkan 3-5% wanita dan 10% pria dimasukkan dalam ketergantungan alkohol(1). Usia 13-15 tahun merupakan usia yang berisiko dimana pada usia tersebut remaja mulai menjadi peminum. Pengkonsumsi alkohol terbanyak berkisar pada usia 20-35 tahun.2 Penelitian pada sebuah sekolah di Amerika menunjukkan bahwa siswa kulit putih mengkonsumsi alkohol terbanyak, siswa kulit hitam merupakan peminum yang paling sedikit, dan siswa Hispanic berada diantaranya. Survey memfokuskan kepada masalah yang dihadapi oleh 4.390 siswa dimana hampir 80% dilaporkan menjadi peminuman saat pesta. Lebih dari 50% mengaku Alkohol menyebabkan mereka merasa sakit, kehilangan sekolah maupun pekerjaan, ditahan polisi, atau mengalami kecelakaan lalu lintas(1). Pria dilaporkan mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan wanita. Wanita mulai mengkonsumsi alkohol lebih lambat dibandingkan pria. Namun wanita lebih cepat menjadi alkoholik karena rendahnya kadar air dalam tubuh dan tingginya lemak pada wanita dibandingkan pria.2 Karena tingginya kadar alkohol, wanita memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan yang berkaitan dengan alkohol seperti cirosis, cardiomiopaty, dan atropi otak(1).

Kimiawi Alkohol Dalam kimia, alkohol (atau alkanol) adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apa pun yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon, yang ia sendiri terikat pada atom hidrogen dan/atau atom karbon lain.3 Rumus kimia umum alkohol adalah CnH2n+1OH. Alkohol dapat dibagi kedalam beberapa kelompok tergantung pada bagaimana posisi gugus -OH dalam rantai atom-atom karbonnya. Kelompok-kelompok alkohol antara lain alkohol primer, sekunder, dan tersier. Titik didih alkohol meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah atom karbon(1). Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Alkohol sering dipakai untuk menyebut etanol, yaitu minuman yang mengandung alkohol. Hal ini disebabkan karena memang etanol yang digunakan sebagai bahan dasar pada minuman tersebut, bukan metanol, atau grup alkohol lainnya. Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula yang dikandung dari malt dan beberapa buah-buahan seperti hop, anggur dan sebagainya(1). Setiap Negara memiliki aturan yang membahas kadar alkohol dalam darah yang masih ditolerir demi keamanan bersama. Kadar alkohol dalam darah atau Blood Alkohol Concentration (BAC) digunakan sebagai satuan ukur intoksikasi alkohol untuk tujuan hukum maupun medis. BAC dihitung dengan membandingkan massa tubuh per volume. Jumlah alkohol yang dikonsumsi tidak dapat di hitung dengan BAC, karena bervariasi terhadap berat badan, jenis kelamin, dan lemak tubuh. Namun secara umum diperkirakan bahwa satu gelas alkohol yang tidak menyebabkan mabuk (contohnya 14 gram (17,74 ml) ethanol berdasarkan standar amerika) akan meningkatkan ± 0,02-0,05% BAC dalam 1,5 sampai 3 jam berikutnya(1). Farmakokinetik Alkohol Absorpsi Setelah diminum, alkohol kebanyakan diabsorpsi di duodenum melalui difusi. Kecepatan absorpsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara lain (1); a. Volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi. Alkohol dengan konsentrasi rendah diabsorpsi lebih lambat. Namun alkohol dengan konsentrasi

tinggi akan menghambat proses pengosongan lambung. Selain itu, karbonasi juga dapat mempercepat absorpsi alkohol. b. Kecepatan minum, semakin cepat seseorang meminumnya, semakin cepat absorpsi terjadi. c. Makanan. Makanan memegang peranan besar dalam absorpsi alkohol. Jumlah, waktu, dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi lemak secara signifikan dapat memperlambat absorpsi alkohol. Efek utama makanan terhadap alkohol adalah perlambatan pengosongan lambung. d. Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat secara signifikan menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum memasuki sistem sirkulasi. Distribusi Alkohol didistribusikan melalui cairan tubuh. Terdapat perbedaan komposisi tubuh antara pria dan wanita, dimana wanita memiliki proporsi cairan tubuh yang lebih rendah dibandingkan pria, meskipun mereka memiliki berat badan yang sama. Karena itu, meskipun seorang wanita dengan berat badan yang sama, mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang sama dengan pria, wanita tersebut akan memiliki kadar alkohol darah yang lebih tinggi(1). Metabolisme Metabolisme primer alkohol adalah di hati, dengan melalui 3 tahap. Pada tahap awal, alkohol dioksidasi menjadi acetaldehyde oleh enzim alkohol dehydrogenase (ADH). Enzim ini terdapat sedikit pada konsentrasi alkohol yang rendah dalam darah. Kemudian saat kadar alkohol dalam darah meningkat hingga tarap sedang (social drinking), terjadi zero-order kinetics, dimana kecepatan metabolisme menjadi maksimal, yaitu 7-10 gram/jam (setara dengan sekali minum dalam satu jam). Namun kecepatan metabolisme tersebut sangat berbeda antara masing-masing individu, dan bahkan berbeda pula pada orang yang sama dari hari ke hari(1). Tahap kedua reaksi metabolisme, acetaldehyde diubah menjadi acetate oleh enzim aldehyde dehydrogenase. Dalam keadaan normal, acetaldehyde dimetabolisme secara cepat dan biasanya tidak mengganggu fungsi normal. Namum saat sejumlah besar alkohol di

konsumsi, sejumlah acetaldehyde akan menimbulkan gejala seperti sakit kepala, gastritis, mual, pusing, hingga perasaan nyeri saat bangun tidur(1). Tahap ketiga merupakan tahap akhir, terjadi konversi gugus acetate dari koenzim A menjadi lemak, atau karbondioksida dan air.6 Tahap ini juga dapat terjadi pada semua jaringan dan biasanya merupakan bagian dari siklus asam trikarbosilat (siklus Krebs). Jaringan otak dapat mengubah alkohol menjadi asetaldehid, asetil koenzim A, atau asam asetat(1). Pada peminum alkohol kronis dapat terjadi penumpukan produksi lemak (fatty acid). Fatty acis akan membentuk plug pada pembuluh darah kapiler yang mengelilingi sel hati dan akhirnya sel hati mati yang akan berakhir dengan cirrosis hepatis(1). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson menunjukkan bahwa konsentrasi alkohol dalam darah (BAC) setelah mengonsumsi secara cepat berbeda pada setiap orang. Selain itu, jika sejumlah alkohol di konsumsi dalam jangka waktu yang lama, BAC menjadi lebih rendah.8 Dibawah ini ditunjukkan konsentrasi alkohol dalam darah setelah beberapa jam. 100 mg% merupakan konsentrasi alkohol dalam darah yang masih di ijinkan pada beberapa negara, sedangkan BAC 50 mg% merupakan kadar aman yang masih diperbolehkan untuk mengemudikan kendaraan(1). Farmakodinamik Alkohol Alkohol lebih banyak bekerja pada sistem saraf, terutama otak. Pada otak, alkohol mengakibatkan depresi yang menyerupai depresi akibat narkotik, kemungkinan melalui gangguan pada transmisi sinaptik, dimana impuls saraf akan mengalami inhibisi. Terjadi pembebasan pusat otak yang lebih rendah dari kontrol pusat yang lebih tinggi dan inhibisi(1). a. Efek pada sistem GABA Alkohol menimbulkan efek seperti kerja GABA-A dengan berinteraksi dengan GABA-A reseptor, namun melalui tempat yang berbeda dari tempat berikatannya GABA ataupun benzodiazepine. Interaksi ini akan mengaktifkan neuron DA di sistem

mesolimbik.

hyperexcitability(1).

Akibatnya

muncul

efek

sedatif,

anxiolytic,

dan

b. Efek pada sistem Dopamin dan Opioid Alkohol tidak bekerja secara langsung pada reseptor DA, namun secara tidak langsung dengan meningkatkan kadar DA pada sistem mesocorticolimbic. Peningkatan ini memiliki efek terhadap penguatan efek alkohol dalam tubuh. Interaksi alkohol dengan sistem opioid juga tidak langsung dan mengakibatkan pengaktifan sistem opioid. Interaksi ini bersifat menguatkan (kemungkinan melalui reseptor MU). Sistem opioid juga terlibat dalam munculnya kecanduan alkohol(1). c. Efek terhadap sistem lain (NMDA, 5HT, stress hormone) Alkohol menghambat reseptor NMDA, tidak dengan berikatan langsung pada glutamate binding site, namun dengan mengubah jalan glutamate menuju tempatnya berikatan pada reseptor (allosteric effect). Interaksi ini juga memfasilitasi

munculnya

efek

sedatif/hypnotic

alkohol,

seperti

halnya

neuroadaptation(1). Sistem serotonin juga berperanan dalam farmakologi alkohol. Meskipun mekanisme kerja belum jelas, namun membantu dalam pelepasan DA. Peningkatan kadar serotonin pada sinap menurunkan pengambilan alkohol(1). Konsumsi alkohol akut juga memiliki efek terhadap hypothalamic-pituitary axis, kemungkinan dengan melibatkan hormone CRF (corticotrophin releasing factor). Kerja pada tempat ini kemungkinan mendasari efek penekanan stress pada alkohol(1). Interaksi Alkohol dengan Obat Terdapat dua tipe interaksi alkohol dan obat lain, yaitu interaksi farmakokinetik, dimana alkohol mempengaruhi efek obat, dan interaksi farmakodinamik, alkohol mengubah efek obat, umumnya di sistem saraf pusat (contoh : sedasi). Interaksi farmakokinetik umumnya terjadi di hati, dimana alkohol dan banyak obat-obatan di metabolisme, kebanyakan oleh enzim yang sama. Pada alkohol dosis akut (sekali minum atau beberapa kali minum setelah beberapa jam) dapat menghambat metabolisme obat dengan berkompetisi dengan menggunakan enzim metabolisme yang sama. Interaksi ini akan memperpanjang dan

mengubah kemampuan obat, berpotensi meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat. Pada peminum alkohol kronis (dalam jangka waktu lama), alkohol akan mengaktifkan enzim metabolisme. Ini akan menurunkan dan mengurangi efek kerja obat. Setelah enzim diaktifkan, mereka akan selalu ada meskipun tanpa adanya alkohol, mempengaruhi metabolisme beberapa obat selama beberapa minggu setelah penghentian konsumsi alkohol(1). Sejumlah golongan obat dapat menimbulkan interaksi dengan alkohol, termasuk obat anestesi, antibiotic, antidepresan, antihistamin, barbiturate, benzodiazepine, histamine H2 receptor antagonis, muscel relaxan, obat penghilang nyeri golongan non narkotik, antiinflamasi, opioid, dan warfarin(1). Obat Anestesi Obat-obatan anestesi diberikan mengawali pembedahan untuk membuat pasien tidak nyeri dan tenang. Konsumsi alkohol secara kronik meningkatkan dosis propofol yang diperlukan untuk menurunkan kesadaran pasien. Konsumsi alkohol dalam jangka lama akan meningkatkan risiko kerusakan hati oleh pemakaian gas anestesi seperti enflurane dan halotan(1). Antikoagulan Warfarin berfungsi untuk memperlambat pembekuan darah. Adanya konsumsi alkohol akut mengubah kemampuan warfarin, menyebabkan pasien berpeluang mengalami pendarahan yang mengancam nyawa. Konsumsi alkohol secara kronik menurunkan kerja warfarin, menimbulkan gangguan pembekuan darah(1). Antidepressant Alkohol meningkatkan efek sedasi dari tricyclic anti-depressant seperti amitriptyline, menurunkan kemampuan yang diperlukan dalam mengemudi. Konsumsi alkohol kronic meningkatkan kerja beberapa tricyclic dan menurunkan kerja tricyclic lainnya. sebuah substansi kimia yang disebut tyramine terdapat dalam beberapa bir dan wine, berinteraksi dengan beberapa antidepresan, seperti monoamine oxidase (MAO) inhibitor menyebabkan peningkatan tekanan darah yang berbahaya(1). Antihistamin

Obat seperti diphenhydramine dapat digunakan untuk menangani gejala alergi dan insomnia. Alkohol bersifat meningkatkan efek sedasi pada antihistamin. Obat ini menyebabkan kelebihan sedasi dan nyeri kepala pada orang tua. Efek kombinasi dengan alkohol akan sangat signifikan berbahaya pada kelompok ini(1). Penghilang rasa nyeri golongan narkotik Obat golongan ini digunakan untuk nyeri sedang hingga berat. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain morfin, codein, propoxyphene, dan meperidine. Kombinasi alkohol dengan opioid meningkatkan efek sedasi kedua substansi tersebut, meningkatkan risiko kematian akibat overdosis. Satu dosis alkohol dapat meningkatkan kemampuan kerja propoxyphene, dan meningkatkan efek samping sedasi. opioid merupakan agen yang memiliki efek seperti opium (sedatif, penghilang nyeri, dan euphoria) yang digunakan untuk pengobatan. Overdosis alkohol dan opioid sangat berbahaya karena mereka dapat menurunkan reflek batuk dan fungsi pernafasan, sehingga berpotensi untuk terjadinya regurgitasi maupun sumbatan jalan nafas(1). Penghilang Nyeri golongan non-Narkotik Aspirin paling sering dipergunakan oleh orang tua. Beberapa obat jenis ini dapat menyebabkan pendarahan lambung dan menghambat pembekuan darah. Alkohol dapat memperparah efek ini. Orang tua yang mencampurkan alkohol dengan aspirin dalam dosis besar tanpa resep dokter memiliki risiko lebih besar untuk mengalami pendarahan lambung. Aspirin juga meningkatkan kerja alkohol. Konsumsi alkohol secara kronis mengaktifkan enzim yang mengubah acetaminophen menjadi substansi kimia yang dapat menyebabkan kerusakan hati, meskipun acetaminophen dipergunakan dalam kadar therapeutic. Efek ini dapat terjadi dengan 2,6 gr acetaminophen yang diberikan pada pengkonsumsi alkohol berat(1). Sedatif dan Hipnotik Interaksi farmakodinamik antara dosis kecil diazepam denga alkohol telah diteliti dengan menggunakan double blind randomized study. Diazepam yang diberikan sebanyak 5 mg dengan pemberian oral pada pasien yang telah disuntikkan alkohol intravena hingga kadar

dalam darah 0,5 gram. Dari penelitian ini didapatkan bahwa kombinasi diazepam dan alkohol kebanyakan bersifat addictive tanpa interaksi sinergis yang signifikan(1). Benzodiazepines seperti diazepam (Valium®) pada umumnya digunakan untuk mengobati kecemasan dan insomnia. Karena keamanannya, mereka telah menggantikan barbiturates, yang sebagian besar digunakan untuk perawatan darurat untuk kejang. Dosis Benzodiazepines yang diberikan secara berlebihan sebagai obat penenang disertai dengan adanya alkohol dapat menyebabkan rasa kantuk yang hebat, meningkatkan risiko kecelakaan rumah tangga dan lalu lintas. Lorazepam telah digunakan untuk anticemas dan obat penenang. Kombinasi dari alkohol dan lorazepam dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada jantung dan fungsi pernafasan, oleh karena itu Lorazepam sebaiknya tidak diberikan kepada pasien mabuk(1). Relaksasi Otot Beberapa obat relaksasi (carisoprodol, cyclobenzaprine, dan baclofen), saat digunakan bersama alkohol dapat menimbulkan reaksi seperti narkotik, seperti kelemahan pada alat gerak, pusing, euphoria, dan kebingungan. Carisopodol dikenal sebagai obat narkotik yang dijual di jalanan. Campuran carisoprodol dengan bir merupakan bahan adiktif yang popular di masyarakat jalanan untuk mendapatkan keadaan euphoria secara cepat(1). Permasalahan pasien alkoholik Alkohol secara signifikan berperanan dalam terjadinya trauma. Berdasarkan miller (1984), intoksifikasi (BAC 100 mg/dl) berhubungan dengan 40-50% kecelakaan lalulintas yang fatal. Roizen (1988) melaporkan bahwa antara 20-37% dari semua kasus trauma di Unit Gawat Darurat disebabkan karena penggunaan alkohol(1). Hasil dari tes laboratorium dan pengakuan pasien sangat penting untuk mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan juga untuk menangani lukanya(1). Permasalahan yang dapat terjadi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol antara lain thrombocytopenia., dimana terjadi penurunan jumlah platelet dalam darah. Dengan menghentikan penggunaan alkohol, trombositosis akan terjadi setelah satu minggu. Karena kedua kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi dalam pembedahan, maka sangatlah

penting untuk memonitor secara ketat vital sign, fungsi jantung, dan kadar elektrolit selama operasi dan dalam perawatan pasca operasi(1). Gejala Klinis Telah disebutkan bahwa alkohol termasuk dalam zat adiktif dimana zat tersebut dapat menimbulkan candu. Penyalahgunaan atau ketergantungan jenis Alkohol ini dapat dimenimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dala fungsi berpikir, perasaan dan perilaku. Berikut geala-gejala gangguan mental organik yang terjadi pada seseorang (3,5) : 1. Terdapat dampak perubahan berupa perubahan perilaku, misalnya berkelahi, atau tindak kekerasan lain. 2. Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut: pembicaraan cadel. Ganggua koordinasi, cara berjalan yang tidak mantap, mata jereng, muk merah. 3. Tampak gejala psikologik sebagai berikut : perubahan alam perasaan (euphoria atau disforia), mudah marah dan tersingga, banyak bicra, gangguan perhtian atau konsentrasi

Menurut Jellinek progresifitas alkoholisme terbagi dalam 3 fase (3): 1. Fase dini ditandai dengan bertambahnya toleransi terhadap alkohol, amnesia, timbulnya rasa bersalah karena mengonsumsi alkohol dan terhadap perilaku yang diakibatkannya. 2. Fase krusial ditandai dengan hilangnya kendali terhadap kebiasaan mengkonsumsi alkohol, perubahan kepribadian, kehilangan teman dan pekerjaan. 3. Fase kronis ditandai kebiasaan mengonsumsi alkohol di pagi hari, tremor serta halusinasi Bagi mereka yang sudah ketagihan akan menimbulkan sindrom putus alkohol, ditandai gejala-gejala tersebut antara lain (2,3) : 1. Gemetaran (tremor), kasar pada tangan, lidah dan kelopak mata. 2. Ampak gejala fisik sebagai berikut, yaitu mual muntah, lemah letih lesu, hiperaktif saraf otonom, hipotensi ortostatik. Tampak gejala psikologik sebagai berikut: kecemasan dan ketakutan, perubahan alam perasaan, mengalami halusinsi dan delusi.

Diagnosis dan Gambaran Klinis Kriteria DSM-IV untuk putus alkohol memerlukan dihentikannya atau penurunan penggunaan alkohol yang sebelumnya adalah berat dan lama, dan juga adanya gejala fisik atau neuropsikiatrik spesifik. Diagnosis DSM –IV juga memungkinakna untuk menentukan dengan gangguan persepsi(1,2). Tanda Klasik dari putus alkohol adalah gemetar, walaupun spectrum dgejala dapat meluas sampai termasuk gejala psikoik dan perepsi (cth: waham dan halusinasi), kejang, dan gejala delirium tremens, atau delirium putus alkohol(1). Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepine. Banyak penelitian telah menemukan bahwa benzodiazepine membantu mengontrol aktivitas kejang, delirium, kecemasan, takikardia, hipertensi, dan tremor yang berhubungan dengan putus alkohol. Benzodiazepine dapat diberikan peroral maupun parenteral; tetapi baik diazepam maupun chlordiazepoxide tidak boleh diberikan secara intramuscular karena adanya absorbs yang tidak menentu bila diberikan dengan cara tersebut(1). Selain itu, dapat juga diberikan obat lain secara simptomatik sesuai dengan keluhan pasien, misalnya anti psikotik untu gejala psikosis yang dialami oleh pasien(5).

Gangguan Berhubungan dengan Penggunaan Dextromethorphan (DMP) DEFINISI Menurut kamus besar bahasa Indonesia penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan menyalahgunakan; penyelewengan. Dalam aritan luasnya adalah suatu kegiatan dimana seseorang melakukan kegiatan yang menyalahgunakan apapun itu diluar dari koridor yang seharusnya(5). Dextromethorphan (DXM atau DMP) merupakan bahan kimia sintetik dengan nama kimianya adalah 3 methoxy-17-methyl morphinan monohydrat yang merupakan d-isomer dari levophenol, analog dari kodein dan analgesik opioid. Dekstrometorfan berupa serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau, larut dalam air maupun ethanol dan tidak larut dalam

ether. Adapun struktur kimia dari dekstrometorfan adalah: C18H25NO.HBr.H2O dengan berat molekul: 370,3(1,2) Dextromethorphan merupakan jenis obat penekan batuk (antitusif) yang dapat diperoleh secara bebas, dan banyak dijumpai pada sediaan obat batuk maupun flu. Dosis dewasa adalah 15-30 mg, diminum 3-4 kali sehari. Efek anti batuknya bias bertahan 5-6 jam setelah penggunaan per-oral. Jika digunakan sesuai aturan, jarang menimbulkan efek samping yang berarti(1,2)

EPIDEMIOLOGI Prevalensi penggunaan obat dextrometorfan untuk anak-anak dibawah umur boleh dikatakan cukup tinggi. Sebagai contoh survey yang dilakukan oleh badan narkotika provinsi Jawa barat dalam situs resminya mengatakan bahwa 38,50% anak yang pernah memakai pil dextro merasakan pusing dan tidak nyaman. Tetapi mereka ingin mencoba lagi. Sementara 38,07% merasa pusing dan tidak nyaman, serta ingin segera berhenti. Serta dari hasil kunjungan kerja ke 26 kota/kabupaten di Jabar. Ternyata hasilnya ditemukan pemakaian narkoba sudah bergeser dari sebatas sabu, putaw, ekstasi, menjadi pil dextro. Selain ketakutan terhadap ancaman hukuman penjara yang cukup berat, pil dextro relatif mudah dibeli dan murah.(3) ETIOLOGI& PATOFISIOLOGI Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat (3,5) : 1. Seseorang awalnya memang sakit, misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia, dll, yang memang membutuhkan obat, dan mereka mendapatkan obat secara legal dengan resep dokter. Namun selanjutnya, obat-obat tersebut menyebabkan toleransi, di mana pasien memerlukan dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Merekapun kemudian akan meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa berkonsultasi dengan dokter. Selanjutnya, mereka akan mengalami gejala putus obat jika pengobatan dihentikan, mereka akan menjadi kecanduan atau ketergantungan terhadap obat tersebut, sehingga mereka berusaha untuk memperoleh obat-obat tersebut dengan segala cara. 2.Seseorang memulai penyalahgunaan obat memang untuk tujuan rekreasional. Artinya, sejak awal penggunaan obat memang tanpa tujuan medis yang jelas, hanya untuk memperoleh efek-efek menyenangkan yang mungkin dapat diperoleh dari obat tersebut. Kejadian ini umumnya erat kaitannya dengan penyalahgunaan substance yang lain, termasuk yang bukan obat diresepkan, seperti kokain, heroin, ecstassy, alkohol, dll.

Yang 3. Seseorang menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti yang telah disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya mengikuti saja apa yang diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang dapat menyebabkan toleransi dan ketagihan. Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka waktu lama yang menyebabkan ketergantungan. Dextro ditujukan sebagai antitusif, yaitu menekan batuk. Secara farmakologi, obat ini akan menaikkan ambang batas rangsang batuk, sehingga pasien tidak terlalu sensitif dengan rangsang batuk. Karena molekul dextro mudah berikatan ke berbagai reseptor jadilah efeknya tidak spesifik hanya menekan si batuk saja, tetapi juga dapat menyebabkan efek rekreasi dan berbagai efek samping seperti gatal-gatal, pusing, mual, kesulitan bernafas (pada dosis normal), juga halusinasi, muntah, pandangan kabur, berkeringat, demam, hipertensi, dan lainlain (pada dosis 12,5-75x lipat dari dosis normal)(4) Dextromethorphan merupakan isomer levorphanol (suatu analog kodein, turunan morfin).Hal inilah yang menyebabkannya memiliki afinitas terhadap reseptor opioid (reseptornya narkoba) dan mengaktifkan reseptor tersebut sehingga dapat menimbulkan efek rekreasi. Selain itu, dextromethorphan juga bisa menjadi antagonis reseptor NMDA, Penghambatan reseptor NMDA yang berlebihan ini dapat menyebabkan berkurangnya fungsi memori, halusinasi, confusion, analgesik, dan justru disalah artikan sebagai fungsi 'rekreasi'. Padahal, hal ini bahkan bisa sampai menyebabkan skizofrenia yang disebabkan oleh neurotoksisitas(5). Untuk menjelaskan tentang adiksi, perlu dipahami dulu istilah system reward pada manusia. Manusia, umumnya akan suka mengulangi perilaku yang menghasilkan sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang menyebabkan rasa menyenangkan tadi dikatakan memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang, yang membuat orang merasakan senang ketika makan, minum, disayang, dll. Bisa juga berasal dari obat-obatan. Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di otak, yang disebut reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh reward alami ini dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk survived (mempertahankan kehidupan)(5). Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang disebut: ventral tegmental area (VTA),nucleus accumbens, dan prefrontal cortex. VTA terhubung dengan nucleus accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang akan mengirim informasi melalui saraf. Saraf di VTA mengandung neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward ini akan teraktivasi

jika ada stimulus yang memicu pelepasan dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system reward(5). Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi / ketagihan seperti kokain, misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin, sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan dopamine dari saraf dan menghambat re-uptake-nya, sehingga menyebabkan kadar dopamine meningkat(5). GAMBARAN KLINIS Penderita dengan gangguan penyalahgunaan obat dextromentrofan mempunyai gambaran klinis(3): Pada dosis normal: 

Tubuh ruam / gatal



mual



kantuk



pusing



Kesulitan bernapas

Pada dosis 12,5-75 kali dosis normal: 

halusinasi



muntah



penglihatan kabur



merah mata



dilatasi pupil



berkeringat



demam



hipertensi



Pernapasan dangkal



diare



retensi urin

Penyalahgunaan dextromethorphan menggambarkan adanya 4 plateau yang tergantung dosis, seperti berikut(3):

Plateau 1st

Dose (mg)

Behavioral Effects

100–200

Stimulasi ringan

2

200–400

3rd

300– 600

Euforia dan halusinasi Gangguan persepsi visual dan hilangnya

nd

4th 500-1500 PROGNOSIS

koordinasi motorik Dissociative sedation

Prognosis umumnya dipengaruhi oleh besar kecilnya predisposisi (pengaruh factor kepribadian, sosio budaya dan fisik), mudah-sukarnya mendapatkan obat tersebut dan seringjarangnya kesempatan memakai obat tersebut serta lamanya ketergantungan. Makin mudah faktor-faktor ini dapat ditangani, makin baik prognosisnya(3). PENATALAKSANAAN Penyalahgunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis, serta kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat yaitu ada dua, kondisi intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya (5): 1

Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh

2

Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program penghentian obat

3

Pengobatan medika mentosa pada orang-orang yang mengalami ketergantungan pada obat dextromethorphan dapat menggunakan obat Naltrexone, dimana Naltrexone bekerja dengan menghalangi perasaan menyenangkan, atau "tinggi," mendapatkan seseorang dari ketergantungan obat, sehingga mengurangi motivasi untuk mengkonsumsi. Naltrexone dapat digunakan setiap hari sebagai pil dan tersedia dalam injeksi long-acting.

BAB III PEMBAHASAN Aksis I Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol, dengan Keadaan Putus Zat dari DSM-IV Pedoman Diagnostik

Pada pasien



Penghentian atau penurunan pemakaian alkoho yang telah lama dan berat



Dua atau lebih tanda berikut ini, yang berkembang dalam beberapa jam

x

sampai beberapa hari setelah kriteria pertama: 

Hiperaktivitas otonomik ( misalnya, berkeringat, atau kecepatan denyut nadi lebih dari 100)





Peningkatan tremor tangan



Insomnia



Mual dan muntah



Halusinasi atau ilusi lihat, raba, atau dengar yang transien



Agitasi psikomotor



Kecemasan



Kejang grand mal

x x x

x

Gejala dalam kriteria kedua menyebabkan penderitaan yang serius secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.



x

Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.

Sebutkan jika : Dengan gangguan persepsi Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Inhalan, dari DSM-IV

Pedoman Diagnostik

Pada

A. Pemakaian inhalan volatil yang disengaja dan belum lama atau

Pasien x

pemaparan dengan inhalan volatil jangka pendek dan dosis tinggi (termasuk gas anestetik dan vasodilator kerja cepat) B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya kenakalan, penerangan, apati, gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama, atau

x

segera setelah, pemakaian atau pemaparan dengan inhalan volatil. C. Dua (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah, pemakaian atau pemaparan dengan inhalan (1). Pusing (2). Nistagmus (3). Inkoordinasi (4). Bicara cadel

x

(5). Gaya berjalan tidak mantap (6). Letargi (7). Depresi refleks (8). Retardasi Psikomotor (9). Tremor

x

(10). Kelemahan otot umum (11). Pandangan Kabur atau diplopia (12). Stupor atau koma (13). Euforia D.

Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik

x

diterangkan oleh gangguan mental lain.

Axsis II Untuk Axsis II, berdasarkan anamnesia tidak didapatkan kelainan. Axsis III Untuk Axsis III, berdasarkan anamnesa tidak didapatkan kelainan Axsis IV Untuk Axsis IV, berdasarkan anamnesa didapatkan bahwa terdapat masalah dari psikososial pasien yaitu pasien diajak oleh teman-teman segank nya dan perpisahan dari kedua orangtuanya Axsis V

Pada pasien terlihat gejala yang muncul seperti mendengar bisikan-bisikan, mudah marah hingga pernah mengamuk. Gejala lain yang terlihat juga bahwa pasien tampak gelisah, terutama saat malam hari pasien tidak bisa tidur. Oleh karena itu GAF Scale : 70-61, Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik Penatalaksanaan Intoksikasi inhalan biasanya tidak memerlukan perhatian medis dan bisa sembuh spontan. Namun, efek intoksikasi seperti koma, bronkospasme, larigospasme, aritmia jantung, trauma atau luka bakar memerlukan tindakan cepat. Penanganan agresif terhadap penyulit yang mengancam nyawa bersama dengan penatalaksanaan konservatif intoksikasi sudah cukup memadai. Begitu pula pada enyalahgunaan dekstromethorphan, tujuan terapi adalah : 1. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh 2. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program penghentian obat 3. Pengobatan medika mentosa pada orang-orang yang mengalami ketergantungan pada obat dextromethorphan dapat menggunakan obat Naltrexone, dimana Naltrexone bekerja dengan menghalangi perasaan menyenangkan, atau "tinggi," mendapatkan seseorang dari ketergantungan obat, sehingga mengurangi motivasi untuk mengkonsumsi. Naltrexone dapat digunakan setiap hari sebagai pil dan tersedia dalam injeksi long-acting.

Pada penatalaksanaan pasien dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol, dengan sindroma putus zat, selain psikoterapi, medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepine. Selain itu bila pasien dengan gejala psikotik dapat diberikan obat antipsikotik. Oleh karena itu, kami merekomendasikan untuk pemberian Risperidon 2 mg 2x1 dan Diazepam 5 mg 0-0-1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10. Alih bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara 2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta

3. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya: Jakarta. 2003 4. Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Bagian ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007 5. Joewana, Satya. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif.

Jakarta: EGC.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF